Anda di halaman 1dari 7

Hiperirusemia adalah peningkatan kadar asam urat dalam darah.

Kadar
asam urat normal pada laki-laki adalah 7,0 mg/dL darah, sedangkan pada
perempuan yaitu 5,7 mg/dL darah (Soeroso dan Algristian, 2011)

Epidemiologi
Prevalensi hiperurisemia di jawa tengah adalah sebesar 24,3 % pada laki-
laki dan 11,7% pada perempuan (Hensen dan Putra, 2007). Sedangkan penelitian
yang dilakukan oleh McAdam-DeMaro et al pada tahun 2013, dari 8.342 orang
yang diteliti selama 9 tahun, insiden kumulatifnya adalah 4%, yakni 5% pada laki-
laki dan 3% pada perempuan. Kejadian hiperirusemia disebabkan oleh berbagai
faktor seperti genetik, usia, jenis kelamin, berat badan berlebih dan diet (Liu et al,
2011; Villegas et al, 2012; Lee et al, 2013).
Prevalensi hiperirusemia berbeda-beda pada tiap golongan umur dan akan
meningkat pada usia 30 tahun pada laki-laki dan usia 50 tahun pada perempuan (Liu
et al, 2011). Hal ini disebabkan karena degeneratif yang menyebabkan penurunan
fungsi ginjal sehingga akan menghambat ekskresi asam urat dari darah dan akhirnya
menyebabkan hiperirusemia.
Jenis kelamin juga mempengaruhi kadar asam urat. Prevalensi laki-laki
lebih tinggi daripada perempuan untuk mengalami hiperurisemia. Hal ini terjadi
karena pada perempuan memiliki hormone estrogen yang membantu dalam eksresi
asam urat. Sedangkan pada perempuan post menopause memiliki risiko
hiperurisemia yang lebih tinggi (McAdam-De Maro, et al, 2013).
Obesitas juga memiliki peran dalam terjadinya hiperurisemia. Pada orang
yang obesitas terjadi penumpukan adiposa yang akhirnya akan menyebabkan
peningkatan produksi asam urat dan penurunan eksresi asam urat (Lee et al, 2013).

Ananmnesis
Anamnesis ditujukan untuk mengetahui usia, konsumsi obat-obatan,
konsumsi pangan sehari-hari, faktor keturunan dan kelainan atau penyakit lain
sebagai penyebab sekunder hiperurisemia (Partan, 2014). Penyebab sekunder
hiperurisemia diantaranya adalah penyakit ginjal kronik/ Chronic Kidney Disease
(CKD), dimana penurunan fungsi ginjal menyebabkan penurunan eksresi asam urat
sehingga akan terjadi hiperurisemia (Suwitra, 2009). Sedangkan konsumsi pangan
yang dapat meningkatkan terjadinya hiperurisemia adalah makanan yang
mengandung purin tinggi diantaranya yaitu kopi, cokelat, hati sapi, jamur kuping,
daun melinjo, paru-paru sapi, kangkung, bayam, hati ayam, ikan teri, udang, ikan
kakap (Apriyanti, 2013). Penggunaan obat yang bisa meningkatkan asam urat yaitu
golongan diuretik seperti thiazide.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik ditujukan untuk mencari kelainan atau penyakit sekunder,
keadaan kardiovaskuler, kelainan ginjal, serta kelainan pada sendi (Partan, 2014).
Penyakit sekunder yang dialami pada orang dengan hiperurisemia diantaranya yaitu
batu saluran kemih, dimana hiperurisemia merupakan faktor risiko terjadinya batu
saluran kemih (Saparina, 2017).
Penyakit kardiovaskuler seperti hipertensi juga dialami oleh orang dengan
hiperurisemia (Niskanen et al, 2004; Heinig and Johnson, 2006; Feig et al, 2008).
Selain itu penyakit jantung coroner juga terjadi pada orang dengan hiperurisemia,
dimana hubungan antara hiperurisemia dan aterosklerosis ialah disfungsi endotel
dan proses inflamasi (Bakalukamar et al, 2009; Hayden dan Tyagi, 2004).
Hiperurisemia menyebabkan terbentuknya agregasi platelet pada pembuluh darah,
yang akhirnya mencetus penyakit kardiovaskuler

Gejala
Orang dengan hiperurisemia biasanya tanpa gejala/ asimptomatik. Tetapi
bila sudah kronik dan telah terjadi artritis gout bisa dirasakan dengan nyeri hebat di
kaki saat bangun tidur dan tidak dapat berjalan. Biasanya bersifat monoartikuler
dengan keluhan utama berupa nyeri, bengkak, terasa hangat, eritema yang luas di
sekitar area sendi yang terkena, dengan gejala sistemik berupa demam, menggigil
dan merasa lelah (Tehupeiory, 2006).
Diagnosis
Secara umum penegakkan pasti hiperurisemia bisa ditentukan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis ditujukan untuk mengetahui faktor keturunan, dan kelainan atau
penyakit lain sebagai penyebab sekunder hiperurisemia. Pemeriksaan fisik untuk
mencari kelainan atau penyakit sekunder, keadaan kardiovaskuler, kelainan ginjal,
serta kelainan pada sendi. Pemeriksaan penunjang ditujukan untuk memastikan
penyebab hiperurisemia. Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan adalah
pemeriksaan asam urat darah, dan kreatinin darah, pemeriksaan asam urat urin 24
jam, dan kreatinin urin 24 jam.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah di gunakan untuk diagnosis hiperurisemia,
sedangkan pemeriksaan urin untuk melihat ekskresi urat dan mendeteksi batu
ginjal. Kadar normal asam urat dalam darah adalah 2 sampai 6 mg/dL untuk
perempuan dan 3 sampai 7,2 mg/dL untuk laki-laki. Bagi yang berusia lanjut kadar
tersebut lebih tinggi. Rata-rata kadar normal asam urat adalah 3,0 sampai 7,0 mg/dl.
Bila kadar asam urat darah lebih dari 7,0 mg/dl dapat menyebabkan serangan gout.
Bila hiperurisemia lebih dari 12 mg/dl dapat menyebabkan terjadinya batu ginjal.
Sebelum pemeriksaan di anjurkan puasa selama kurang lebih 4 jam sebelumnya.
Juga tidak boleh menggunakan obatobatan tertentu yang dapat mempengaruhi hasil,
yaitu: diuretika, etambutol, vinkristin, pirazinamid, tiazid, analgetik, vitamin C dan
levodopan, begitupun makanan tertentu yang kaya purin (Iskandar,2012).

Komplikasi
Menurut Rotschild (2013), komplikasi dari hiperurisemia meliputi severe
degenerative arthritis, infeksi sekunder, batu ginjal, dan fraktur pada sendi. Sitokin,
kemokin, protease, dan oksidan yang berperan dalam proses inflamasi akut juga
berperan pada proses inflamasi kronis sehingga menyebabkan sinovitis kronis,
dekstruksi kartilago, dan erosi tulang. Kristal monosodium urat dapat mengaktifkan
kondrosit untuk mengeluarkan IL-1, merangsang sintesis nitric oxide dan matriks
metaloproteinase yang nantinya menyebabkan dekstruksi kartilago. Kristal
monosodium urat mengaktivasi osteoblas sehingga mengeluarkan sitokin dan
menurunkan fungsi anabolik yang nantinya berkontribusi terhadap kerusakan juxta
artikular tulang (Choi et al, 2005). Hiperurisemia telah lama diasosiasikan dengan
peningkatan resiko terjadinya batu ginjal. Penderita dengan artritis gout membentuk
batu ginjal karena urin memilki pH rendah yang mendukung terjadinya asam urat
yang tidak terlarut (Liebman et al, 2007). Terdapat tiga hal yang signifikan kelainan
pada urin yang digambarkan pada penderita dengan uric acid nephrolithiasis yaitu
hiperurikosuria (disebabkan karena peningkatan kandungan asam urat dalam urin),
rendahnya pH (yang mana menurunkan kelarutan asam urat), dan rendahnya
volume urin (menyebabkan peningkatan konsentrasi asam urat pada urin) (Sakhaee
dan Maalouf, 2008).

Tatalaksana Medikamentosa
Pada kasus hiperurisemia tanpa gejala tidak memerlukan pengobatan, tetapi
dapat dicegah dengan terapi diet saja, yang menjadi masalah adalah jika sendi yang
rusak sudah mengandung kristal-kristal urat, sehingga sistem imunitas tubuh akan
menyerang benda asing tersebut. Sel darah putih ikut menginfiltrasi sendi dengan
mengeradikasi kristal tersebut. Namun keadaan ini justru akan menyebabkan
terjadinya inflamasi pembengkakan (radang) sendi yang akut. Sendi membengkak
sehingga muncul rasa sakit yang hebat, akibat tekanan pada kapsula sendi.
Pengobatan di gunakan untuk menurunkan kadar asam urat di dalam darah dan
mencegah komplikasi lain, misalnya allopurinol yang bekerja sebagai inhibitor
xanthine-oxidase. Allopurinol dimulai dari dosis terendah 100 mg, kemudian
bertahap dinaikkan bila perlu dengan dosis maksimal 800 mg/hari. Target terapi
adalah kadar asam urat < 6 mg/dL.
Obat urikosurik, misalnya probenesid untuk membantu mempercepat
pembuangan asam urat lewat ginjal. Obat untuk mengatasi radang dan rasa sakit
yaitu golongan OAINS seperti Na diklofenak dosis 25-50 mg selama 3-5 hari.
Sedangkan untuk pencegahan serangan berulang, biasanya diberikan kolkisin 0,5-
0,6 mg/hari, dosis maksimal 6 mg. Kolkisin efektif pada 24 jam pertama setelah
serangan nyeri sendi timbul. Prednisone 2-3 x 5 mg/hari selama 3 hari diberikan
bila OAINS dan kolkisin tidak berespon baik.

Prognosis
Artritis gout merupakan istilah yang dipakai untuk kelompok gangguan
metabolik, yang ditandai oleh meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia).
Prognosis artritis gout dapat dianggap sebuah system bukan penyakit sendiri.
Dengan kata lain prognosis penyakit artritis gout merupakan prognosis penyakit
yang menyertainya (Tehupeiroy, 2003). Artritis gout sering dikaitkan dengan
morbiditas yang cukup besar, dengan episode serangan akut yang sering
menyebabkan penderita cacat. Namun, artritis gout yang diterapi lebih dini dan
benar akan membawa prognosis yang baik jika kepatuhan penderita terhadap
pengobatan juga baik (Rothschild, 2013). Jarang artritis gout sendiri yang
menyebabkan kematian atau fatalitas pada penderitanya. Sebaliknya, artritis gout
sering terkait dengan beberapa penyakit yang berbahaya dengan angka mortalitas
yang cukup tinggi seperti hipertensi, dislipidemia, penyakit ginjal, dan obesitas.
Penyakit-penyakit ini bisa muncul sebagai komplikasi maupun komorbid dengan
kejadian artritis gout (Tehupeiroy, 2003).
Dengan terapi yang dini, artritis gout dapat dikontrol dengan baik. Jika
serangan artritis gout kembali, pengaturan kembali kadar asam urat (membutuhkan
urate lowering therapy dalam jangka panjang) dapat mempengaruhi aktivitas
kehidupan penderita. Selama 6 sampai 24 bulan pertama terapi artritis gout,
serangan akut akan sering terjadi (Schumacher et al, 2007). Luka kronis pada
kartilago intraartikular dapat mengakibatkan sendi lebih mudah terserang infeksi.
Tofus yang mengering dapat menjadi infeksi karena penumpukan bakteri. Tofus
artritis gout kronis yang tidak diobati dapat mengakibatkan kerusakan pada sendi.
Deposit dari kristal monosodium urat di ginjal dapat mengakibatkan inflamasi dan
fibrosis, dan menurunkan fungsi ginjal (Rothschild, 2013).
Pada tahun 2010, artritis gout diasosiasikan sebagai penyebab utama
kematian akibat penyakit kardiovaskuler. Analisis 1383 kematian dari 61527
penduduk Taiwan menunjukkan bahwa individu dengan artritis gout dibandingkan
dengan individu yang memiliki kadar asam urat normal, hazard ratio (HR) dari
semua penyebab kematian adalah 1,46 dan HR dari kematian karena penyakit
kardiovaskuler adalah 1,97. Sedangkan individu dengan artritis gout, HR dari
semua penyebab kematian adalah 1,07 dan HR dari kematian karena penyakit
kardiovaskuler adalah 1,08 (Kuo et al, 2010).

Dafpus
All Cause Mortality in Middle Aged Men: A Prospective Cohort Study.
Arch Itern Med, pp: 1541-46.
Braunwald, Fauci, Hauser, editor. 2008. Harrison’s Principals of Internal Medicine.
17th ed. USA: McGraw Hill.
Choi et al. 2005, Pathogenesis of Gout, American College of Physicians, pp. 499-
516
Disease, and Metabolic Syndrome. Cleveland Clinic Journal of Medicine,
Feig DI, Kang DH, Johnson RJ. 2008. Uric Acid and Cardiovascular Risk. N Eng
Heinig M and RJ Johnson. 2006. Role of Uric Acid in Hypertension, Renal
Iskandar, J. 2012. Rematik & Asam urat. Edisi Revisi, Jakarta, PT Bhuana Ilmu
Populer Kelompok Gramedia. Hal. 79-101
J Med, pp: 1811-21.
Kuo et al, 2010, Gout: An Independent Risk Factor for Allcause and Cardiovascular
Mortality, Rheumatology Oxford, Vol. 49, No. 1, pp. 141-146
Liebman et al. 2007, Urid Acid Nephrolithiasis, Current Rheumatology Reports,
Vol. 9, No. 3, pp. 251-257
Niskanen LK, Laaksonen DE, Nyysonen K, Alfthan G, Lakka HM, Lakka TA,
pp: 1059-64.
Putra T., 2006. Hiperurisemia. Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi IV Jakarta Pusat:
Ilmu Penyakit FKUI hal.1203-13
Sakhaee K, Maalouf NM 2008, Metabolic Syndrome and Uric Acid
Nephrolithiasis, Seminars in Nephrology, Vol. 28, No. 2, pp. 174-180
Salonen JT. 2004. Uric Acid Level as a Risk Factor for Cardiovascular and
Schumacher et al. 2007, Outcome Evaluations in Gout, Journal Rheumatol, Vol.34,
No. 6, pp. 1381-1385
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. 2006. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Vol III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI.
Suwitra K., 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Edisi V. Jakarta: FKUI hal.1035-40
Tehupeiory E.,2006. Artritis pirai. Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi IV Jakarta
Pusat: Ilmu Penyakit FKUI hal.1208-10

Anda mungkin juga menyukai