Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

Gestational Diabetes Mellitus Risk Factors in Women with Polycystic Ovary


Syndrome (PCOS)

Pembimbing:
dr. Edy Priyanto, M.Kes., Sp.OG

Disusun Oleh :
Angkat Prasetya Abdi Negara

G4A014050

Zhita Wahyu Agrinartanti

G4A015051

Rizka Amalia Fulinda

G4A014052

SMF ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
PURWOKERTO
2015

REFERAT

Gestational Diabetes Mellitus Risk Factors in Women with Polycystic Ovary


Syndrome (PCOS)

Disusun oleh :
Angkat Prasetya Abdi Negara

G4A014050

Zhita Wahyu Agrinartanti

G4A015051

Rizka Amalia Fulinda

G4A014052

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat


di Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disetujui dan disahkan


Pada tanggal

Juli 2015

Pembimbing,

dr. Edy Priyanto, M.Kes., Sp.OG

BAB I
PENDAHULUAN
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) adalah salah satu penyebab terbanyak
kelainan endokrin yang melibatkan 5%-10% wanita dalam masa reproduksi.
Sindrom ini terdiri dari oligo/amenorrhoea, oligo/anovulasi, hirsutisme,
hiperandrogenaemia, morfologi ovarium yang spesifik, hiperinsulinaemia, dan
resistensi terhadap insulin (Mikola et al., 2001). Definisi yang paling dapat
diterima secara internasional pada saat ini adalah yang diadopsi pada tahun 2003
oleh European Society for Human Reproduction dan Embryology and the
American Society for Reproductive Medicine, yang dikenal dengan ESHRE/ASRM
Rotterdam Consensus. Dalam konsensus ini, PCOS ditegakkan bila terdapat dua
dari tiga kriteria diagnosa yakni: (1) oligoamenorrhoea atau anovulation, (2)
gejala hiperandrogen baik secara klinik maupun biokimia, dan (3) adanya
gambaran ovarium yang polikistik dengan USG (Murizah et al., 2009).
Etiologi PCOS didasarkan atas dua konsep besar yaitu: hiperandrogenisme
dan resistensi terhadap insulin. Hormon androgen mengalami aromatisasi di
jaringan perifer menjadi estrogen, menyebabkan ketidakseimbangan sekresi
Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) pada tingkat
pituitari yang menyebabkan hipersekresi LH endogen. LH ini sangat kuat
menstimulasi produksi androgen di dalam ovarium. Hiperinsulinemia yang
terdapat pada penderita PCOS juga dapat menstimulasi langsung biosintesis
hormon steroid di ovarium, terutama androgen ovarium. Akibatnya, produksi Sex
Hormone Binding Globulin (SHBG) di dalam hati akan menurun, sehingga
menyebabkan meningkatnya kadar androgen bebas. Adanya stimulasi sel teka
secara terus-menerus yang berakibat pada meningkatnya kadar androgen akan
menyebabkan

terganggunya

folikulogenesis,

kelainan

siklus

haid,

dan

oligo/anovulasi kronik (Speca, Napotilano, & Tagliafeni, 2007). Selain itu,


tingginya kadar insulin juga dapat memicu timbulnya Diabetes Mellitus Tipe II
atau Diabetes Mellitus Gestasional pada pasien-pasien PCOS yang hamil (Ashrafi
et al., 2014).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.

Diabetes Mellitus Gestasional


a.

Definisi
Diabetes Mellitus Gestasional (DMG) adalah suatu
gangguan toleransi karbohidrat yang terjadi dan diketahui pertama
kali pada saat kehamilan sedang berlangsung (PERKENI, 2002).
Menurut American Diabetes Association (ADA) Guidelines,
seorang wanita dianggap memiliki risiko tinggi menderita DMG
bila memiliki satu atau lebih dari kriteria berikut yaitu: menderita
obesitas, riwayat kehamilan sebelumnya dengan DMG, memiliki
intoleransi glukosa atau glukosuria, memiliki anggota keluarga
dengan DM Tipe II. Wanita yang memiliki risiko rendah untuk
menderita DMG adalah wanita hamil berusia < 25 tahun, memiliki
berat badan normal sebelum hamil, tidak memiliki anggota
keluarga pada tingkat pertama yang menderita diabetes, tidak
pernah memiliki riwayat toleransi glukosa yang abnormal, tidak
memiliki riwayat persalinan yang bermasalah sebelumnya, dan
bukan merupakan grup etnik dengan risiko tinggi menderita
diabetes gestasional (Afrika-Amerika, Hispanik, India-Amerika,
Asia-Amerika, Pasifik) (Tracy et al, 2005)

b.

Etiologi
Diabetes Mellitus Gestasional disebabkan karena adanya
perubahan metabolisme karbohidrat selama kehamilan, dimana
keadaan resistensi insulin tidak diimbangi dengan sekresi insulin
yang adekuat. Insulin disekresi oleh sel pankreas, dan pada ibu
dengan DMG terjadi defek pada fungsi sel pankreas ini. Ibu yang
menderita DMG kebanyakan telah mengalami resistensi insulin
kronis karena disfungsi sel pankreas sejak sebelum masa
kehamilan. Disfungsi sel pankreas dapat disebabkan oleh

berbagai macam faktor, salah satunya adalah destruksi sel


pankreas oleh reaksi autoimun yang ditemukan pada DM tipe I.
Selain reaksi autoimun, defek fungsi sel pankreas juga
dapat disebabkan oleh mutasi autosomal yang menyebabkan
Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY). MODY terdiri atas
beberapa subtipe tergantung tempat terjadinya kelainan. Mutasi
dapat terjadi pada gen yang mengkode glukokinase (MODY 2),
Hepatocyte Nuclear Factor 1 (MODY 3), dan Insulin Promoter
Factor 1 (MODY 4). Selain karena adanya defek fungsi sel
pankreas, DMG juga dapat disebabkan karena adanya gangguan
pada insulin signaling pathway, penurunan ekspresi PPAR, dan
penurunan transport glukosa yang dimediasi insulin pada otot
skelet dan adiposit.
c.

Patogenesis dan Patofisiologi


Kehamilan merupakan suatu kondisi diabetogenik yang
ditandai dengan adanya resistensi insulin dan peningkatan respons
sel pankreas dan hiperinsulinemia sebagai kompensasi.
Resistensi insulin umumnya dimulai sejak trimester kedua
kehamilan dan keadaan ini terus berlangsung selama sisa
kehamilan. Sensitivitas insulin selama kehamilan dapat menurun
hingga 80%. Hormon-hormon yang disekresi oleh plasenta, seperti
progesteron, kortisol, human placental lactogen (hPL), prolaktin
dan growth hormone, merupakan faktor yang berperan penting
dalam keadaan resistensi insulin saat kehamilan (Tracy et al, 2005)
Progesteron dan estrogen dapat berpengaruh mempengaruhi
resistensi insulin secara langsung maupun tidak langsung. Kadar
hPL semakin meningkat seiring bertambahnya usia kehamilan, dan
hormon ini bekerja seperti growth hormone yaitu meningkatkan
lipolisis. Lipolisis menyebabkan bertambahnya kadar asam lemak
bebas yang beredar dalam darah, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan resistensi insulin di jaringan perifer. Pertumbuhan
fetus bergantung pada kadar glukosa plasma ibu. Adanya resistensi

insulin menyebabkan tingginya kadar glukosa plasma ibu, yang


kemudian akan berdifusi ke dalam aliran darah janin melalui
plasenta. Ibu yang menderita diabetes gestasional tingkat resistensi
insulin yang lebih tinggi daripada kehamilan normal dan tidak
dikompensasi dengan sekresi insulin yang adekuat (Cunningham et
al., 2010).

Pada wanita hamil, terdapat perubahan metabolisme salah


satunya metabolisme glukosa. Pada awal kehamilan, terjadi
hiperplasia dari sel pankreas yang merupakan dampak dari
meningkatnya hormon estrogen dan progesteron pada ibu. Kondisi
tersebut menyebabkan tingginya kadar insulin pada awal
kehamilan. Pada trimester kedua dan ketiga, adanya faktor dari
feto-plasenta membuat penurunan sensitivitas insulin dari ibu.
Karena janin sangat membutuhkan transport glukosa dan tidak bisa
membentuk glukosa sendiri, suplai glukosa akan dikirim dari ibu
melalui plasenta. Oleh sebab itu, dalam tubuh ibu terjadi
peningkatan glukoneogenesis.
Secara lebih spesifik, patofisiologi dari DMG dibagi
menjadi dua : 1) Peranan unit feto-plasenta dan 2) Peranan jaringan
adipose (Al-Noaemi & Shalayel, 2011).
1.

Peranan Unit Feto-Plasenta


Dalam beberapa abad terakhir, terjadinya DMG
disebabkan oleh adanya peningkatan resistensi insulin dan
penurunan sensitivitas insulin selama kehamilan yang
merupakan efek dari meningkatkan hormon yang dihasilkan
selama kehamilan seperti estrogen, progesteron, kortisol

dan laktogen dalam sirkulasi maternal. Sehingga semakin


meningkatnya usia kehamilan, resistensi insulin semakin
besar (Al-Noaemi & Shalayel, 2011).
2.

Hormon Plasenta
Plasenta mensintesis progesteron dan pregnenolon.
Progesteron ini memasuki sirkulasi janin sebagai sumber
pembentukan kortisol dan kortikosteron di kelenjar adrenal
janin. Peningkatan kortisol selama kehamilan menyebabkan
penurunan toleransi glukosa. Sedangkan pregnenolon
merupakan sumber pembentuk estrogen, dimana hormon
ini mempengaruhi fungsi sel pankreas (Al-Noaemi &
Shalayel, 2011).
Selain estrogen dan progesteron, Human Placental
Lactogen (hPL) merupakan produk dari gen hPL-A dan
hPL-B yang disekresikan ke dalam sirkulasi maternal dan
janin. hPL ini akan terpengaruhi oleh kadar glukosa,
dimana akan ikut tinggi bila hipoglikemia dan sebaliknya.
Pada trimester kedua kehamilan, kadar hPL ini meningkat
10x lipat, yang menandakan adanya kondisi hipoglikemia.
Selanjutnya, hPL ini akan menstimulasi lipolisis, yang
menyebabkan tingginya kadar asam lemak dalam sirkulasi,
ditujukan untuk membentuk glukosa yang dibutuhkan oleh
janin. Asam lemak ini berfungsi antagonis dengan fungsi
insulin, sehingga terjadi hambatan penyimpanan glukosa
dalam sel (Al-Noaemi & Shalayel, 2011).

3.

Peranan Jaringan Adiposit


Dalam beberapa dekade terakhir, adipositokin, yang
merupakan produk dari jaringan adiposit diduga berperan
dalam regulasi metabolisme maternal dan resitensi insulin
selama kehamilan. Namun, untuk mengetahui peranannya
secara lebih spesifik ini masih dibutuhkan penelitian dan
pengamatan lebih lanjut. Adipositokin, termasuk leptin,

adiponektin, Tumor Necrosis Factor-, IL-6, resistin,


visfatin, dan apelin ini diproduksi intrauterine (Al-Noaemi
& Shalayel, 2011).
d.

Penegakan Diagnosis Diabetes Mellitus Gestasional


Sampai

saat

mendiagnosis
pendekatan

ini,

DMG.
dalam

Ada

masih

banyak

banyak

diagnosis

perdebatan

pihak

DMG. Tabel

yang
di

dalam

menyusun
bawah

ini

memaparkan pendekatan diagnosis secara single-step yang


dipublikasi oleh The International Association of Diabetes and
Pregnancy Study Groups (IADPSG). Pendekatan yang dipublikasi
ini tidak disetujui oleh The American College of Obstreticians and
Gynecologists yang menggunakan pendekatan two-step dalam
melakukan skrining dan diagnosis DMG. Namun, satu hal yang
sama, kedua pendekatan diagnosis tersebut dilakukan pada wanita
hamil di atas usia kehamilan 24 minggu (Cunningham et al., 2010).
Tabel 1. Diagnosis Diabetes Mellitus Gestasional (Cunningham et al., 2010)
Jenis pengukuran glukosa

Ambang batas

Gula darah puasa


1 jam post 75 g glukosa
2 jam post 75 g glukosa

92mg/dL
180 mg/dL
153 mg/dL

Tabel 2. Diagnosis Diabetes Mellitus Gestasional (Cunningham et al., 2010)


Pemberian glukosa per oral
Waktu
Puasa
1 jam
2 jam
3 jam

100 gram glukosa


95 mg/ dL
180 mg/ dL
155 mg/ dL
140 mg/ dL

75 gram glukosa
95 mg/ dL
180 mg/ dL
95 mg/ dL

Tabel di atas menggambarkan tentang kriteria diagnosis


diabetes gestasional yang telah disetujui oleh WHO, ADA dan The
American College of Obstetricians and Gynecologists. Untuk
8

syarat diagnosis, pemberian glukosa di lakukan pagi hari setelah 8


jam puasa dan setelah 3 hari tidak diet berpantang dan berolahraga
(Cunningham et al., 2010).
e.

Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Gestasional


Wanita dengan DMG akan memiliki komplikasi yang buruk. Tidak
hanya pada saat melahirkan, namun juga setelahnya karena DMG memicu
adanya kemungkinan kerusakan vaskular progresif yang cukup signfikan.
Pada trimester pertama, hiperglikemia dapat meningkatkan resiko
terjadinya malformasi pada fetus. Kemudian, pada kehamilan lanjut,
hiperglikemia juga dapat meningkatkan resiko terjadinya makrosomia dan
komplikasi metabolik lainnya saat lahir. Untuk sang ibu, dapat terjadi
gangguan retinopati, hipertensi, gangguan ginjal kronis, dan penyakitpenyakit jantung. Oleh karena itu diperlukan tatalaksana yang tepat dan
teknik screening yang tepat. Di Amerika Serikat sendiri, menurut
American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), lebih dari
90% tempat praktek sudah melakukan screening, dan sudah terbukti
memberikan hasil yang lebih baik (Serlin & Lash, 2009).
Salah satu teknik screening yang telah dilakukan di banyak tempat
di Amerika Serikat adalah dengan Glucose Challenge Test yang dilakukan
pada saat pemeriksaan antepartum. Pada pemeriksaan antepartum pertama,
wanita dengan resiko DGM yang tinggi dilakukan 50-g Glucose Challenge
Test dengan batas 130 mg/dL (sensitivitas 90%) atau 140 mg/dL
(sesnitivitas 80%). Apabila pada pemeriksaan ini didapatkan hasil positif,
maka dilakukan 100-g three hour oral glucose challenge test untuk
mendiagnosis DMG. Diagnosis ditentukan apabila 2 hasil pemeriksaan
glukosa darah melebihi batas, dimana pemeriksaan meliputi glukosa puasa,
1 jam glukosa, 2 jam glukosa, dan 3 jam glukosa, dengan batas sesuai pada
tabel di bawah ini. Pada rekomendasi WHO, digunakan 75-g oral glucose
tolerance test (Serlin & Lash, 2009).

Tabel 3. Nilai glukosa untuk diagnosa Diabetes Mellitus Gestasional (Serlin &
Lash, 2009)
Tes Diagnostik

Puasa

1 jam (mg/dL)

2 jam (mg/dL)

(mg/dL)
100-g oral glucose tolerance
test
75-g oral glucose tolerance
test

3 jam

95

180

155

(mg/dL)
140

126

140

Beberapa terapi pada penderita DMG adalah terapi medis, terapi


dietetik, terapi insulin, dan terapi olahraga. Tujuan terapi medis pada DMG
tidak lain adalah untuk mencegah morbiditas dan mortalitas perinatal
dengan jalan menormalkan kadar glukosa dan hasil metabolit lainnya
(seperti lipid dan asam amino).
Pengaturan diet yang baik sehingga dapat mensuplai kalori dan
kebutuhan nutrien bagi bayi dan ibu sehingga tercapai keadaan
normoglikemi, mencegah ketosis, dan penambahan berat badan berlebihan.
Sebuah dilema dihadapi pada wanita obesitas dengan DMG dimana
pada satu sisi diperlukan diet rendah kalori dan pengurangan berat badan
untuk mencegah gangguan metabolik, namun disisi lain diperlukan nutrisi
yang baik untuk pertumbuhan janin.
Jovanovic dan Peterson menemukan panduan diet untuk mencapai
keadaan normoglikemik pada DMG. Pada wanita dengan berat badan
normal 30 kcal/kg/hari. untuk wanita obesitas 24 kcal/kg/hari (120-150 %
berat badan ideal). Untuk wanita obesitas 12-15 kcal/kg/hari (>150 %berat
badan ideal). Pada wanita kurus 40 kcal/kg/hari (<80% bert badan ideal).
Komposisi diet yang dianjurkan adalah 40-50% karbohidrat, 20-25%
protein, 30-40% lemak poliunsaturated.
Terapi insulin diperlukan bila diet tidak berhasil menurunkan kadar
glukosa darah kearah euglikemi. ADA dan ACOG (American College of
Obstetricians and Gynecologists) merekomendasikan pasien dengan terapi
insulin harus mengecek kadar gula darah puasa dan PP selama 1-2 minggu.
Insulin digunakan bila kadar gula darah puasa >105 mg/dl atau 2 jam PP
>120 mg/dl pada 2 atau lebih pemeriksaan dalam interval 2 minggu.

10

Pada beberapa pusat penelitian diambil kadar gula darah 1 jam PP


karena dianggap mencerminkan kadar puncak glukosa setelah makan.
Maka jika didapatkan kadar gula darah 90 mg/dl sedangkan 1 jam PP >120
mg/dl dalam 2 kali pemeriksaan, maka terapi insulin harus segera dimulai.
Target nilai glukosa normal pada wanita hamil setelah dilakukan
studi observasional adalah glukosa puasa dibawah 96 mg/dL, untuk
glukosa 1 jam postprandial yaitu dibawah 140 mg/dL dan untuk 2 jam post
prandial yaitu dibawah 120 hingga 127 mg/dL (Serlin & Lash, 2009).
Olahraga aerobik dan senam kesehatan jantung juga diketahui
memiliki efek segera dan efek jangka panjang pada sensitifitas insulin,
sekresi insulin, dan metabolisme glukosa. Olahraga juga dapat
meningkatkan penurunan gula darah dan mengontrol berat badan, maka
olahraga sangat penting dalam mencegah DMG.
Mengingat pentingnya aktifitas fisik ini, maka the Third
International

Workshop

Conference

on

Gestasional

Diabetes

merekomendasikan olahraga sebagai terapi utama untuk DMG pada pasien


yang tidak memiliki kontraindikasi melakukan olahraga.
Dalam manajemen obsetrik sendiri, perawatan antepartum pada
penderita DMG juga menitikberatkan pada pengawasan keadaan janin
yang intensif pada kehamilan 28-32 minggu. Metode pengawasan yang
bisa dilakukan adalah menghitung gerakan janin, Non-Stress Test (NST),
tes kontraksi stress (CST), dan profil biofisik janin. Janin dicurigai tidak
sehat bila terdapat pengurangan gerakan janin, NST yang nonreaktif, CST
yang positif, dan profil biofisik yang jelek
Frekuensi dan waktu survei tergantung kepada derajat penyakit dan
kontrol gula darah. Pengukuran pertumbuhan janin melalui USG harus
dilakukan setiap 4 sampai 6 minggu. Jika ditemukan tes yang abnormal
maka harus diukur usia janin untuk memastikan kehamilan sudah matur
dan siap untuk dilakukan persalinan. Jika janin belum matur perlu diukur
kematangan paru melalui cairan amnion sebelum mengambil keputusan
terhadap kehamilannya. Jika janin belum matur, perlu tes lanjutan seperti
CST dan pasien dirawat untuk memantau keadaan jantung janin.

11

Pada DMG sering terjadi persalinan preterm dan mereka harus


diberi terapi magnesium sulfat sebagai tokolitik inisial karena golongan
betamimetik dapat mempengaruhi kadar glukosa darah. Kortikosteroid
dapat meningkatkan glukosa darah sehingga pada beberapa kasus perlu
diteruskan terapi infus insulin.
Sedangkan pada perawatan intrapartum dan postpartum, induksi
persalinan pada pasien diabetes tak terkontrol dan makrosomia dilakukan
pada kehamilan 38 minggu. Pada pasien diabetes tergantung insulin
induksi harus dilakukan pada kehamilan 40 minggu jika belum terjadi
persalinan spontan. Induksi dilakukan jika janin tidak besar dan serviks
kompeten (serviks lunak, menipis, dan berdilatasi).
Harus disadari kemungkinan timbulnya distosia bahu pada janin
makrosomia dari ibu yang diabetes. Operasi cesaria dapat dilakukan untuk
menghindari trauma lahir janin yang besar tersebut (>4000 gram). Selama
persalinan dengan metode apapun keadaan euglikemia harus tetap dijaga.
2.

Polycystic Ovary Syndrome (PCOS)


a.

Definisi
Polycystic Ovary Syndrome merupakan serangkaian gejala
yang dihubungkan dengan hiperandrogenisme dan anovulasi
kronik yang berhubungan dengan kelainan endokrin dan metabolik
pada wanita tanpa adanya penyakit primer pada kelenjar hipofisis
atau adrenal yang mendasari (William, 2007). Penyakit ini sangat
umum terjadi pada wanita dalam masa reproduksi dengan gejalagejala yang beragam dan bervariasi. PCOS digambarkan dengan
adanya anovulasi kronik, siklus hadi yang ireguler, dan
hiperandrogen yang dapat disertai dengan hirsutisme (60%),
jerawat (30%), seborrhea, dan obesitas (40%) (Speca, Napolitano,
& Tagliafeni, 2007).
PCOS adalah kelainan endokrin wanita yang
paling sering dijumpai, yang melibatkan 5-10% dari
wanita dalam masa reproduksi. Walaupun ovarium

12

polikistik dapat ditemukan dalam

20%

populasi

wanita, hal ini tidak selalu menimbulkan gejala klinik


seperti PCOS, akan tetapi dalam perjalanannya akan
menimbulkan gejala klinik bila diprovokasi oleh
kenaikan

berat

badan

atau

resistensi

terhadap

insulin. PCOS berkaitan dengan 75% dari seluruh


kelainan anovulasi yang menyebabkan infertilitas,
90% dari wanita dengan oligomenorrhoea, lebih dari
90% dengan hirsutisme dan lebih dari 80% dengan
jerawat yang persisten (Homburg, 2008).
b.

Etiologi
Etiologi PCOS masih belum diketahui dengan pasti dan
tidak ada gen atau substansi lingkungan spesifik yang terbukti
mengakibatkan terjadinya PCOS (Norwitz et al., 2006), meskipun
beberapa penelitian mencoba menghubungkan kejadian PCOS
dengan pengaruh genetik melalui aktifitas 5-reduktase (William
et al., 2007). Menurut POGI (2006) penyebab terbanyak PCOS
adalah akibat adanya gangguan hormonal. Gangguan hormonal ini
dapat berupa resistensi insulin, adanya deposit lemak sentral
(obesitas) dan Diabetes Mellitus tipe 2 yang sering dianggap
berhubungan dengan kejadian PCOS pada wanita usia subur
(William et al., 2007).
Yen et al mengajukan hipotesa klasik yang di dasarkan atas
dua konsep besar yaitu hiperandrogenisme dan resistensi terhadap
insulin. Hormon androgen ini mengalami aromatisasi di jaringan
perifer menjadi estrogen, menyebabkan ketidakseimbangan sekresi
Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone
(FSH) pada tingkat pituitari yang menyebabkan hipersekresi
endogenous LH. LH ini sangat kuat menstimulasi produksi
androgen di dalam ovarium. Insulin seperti juga LH menstimulasi
langsung biosintesis hormon steroid di ovarium, terutama androgen
ovarium. Lebih lanjut, insulin menyebabkan menurunnya produksi

13

Sex Hormone Binding Globulin (SHBG) di dalam hati, yang


menyebabkan meningkatnya kadar androgen bebas. Dengan
demikian, kedua jalur diatas akan menstimulasi sel teka dari
ovarium sehingga terjadi peningkatan produksi androgen dari
ovarium

yang

menyebabkan

terganggunya

folliculogenesis,

kelainan siklus haid dan oligo/anovulasi kronik (Amato &


Simpson, 2004).
c.

Patogenesis dan Patofisiologi


Patognesis dari PCOS sangat kompek dan walaupun faktorfator yang menginisiasinya belum sepenuhnya dimengerti, sekali
terjadi gangguan endokrin dari PCOS maka akan berlangsung
secara terus-menerus. Temuan utama adalah peningkatan kadar LH
serum dan FSH yang rendah atau normal dan peningkatan kadar
androgen. Kelainan metabolik berupa hiperinsulinemia dan
resistensi insulin diduga ikut berperan dalam timbulnya PCOS.
1.

Kelainan neuroendokrin
Perubahan pada pulsatil Gonadotropine Releasing
Hormon (GnRH) dapat menyebabkan peningkatan dari
Lutenizing

Hormone

(LH)

dan

penurunan

Follicle

Stimulating Hormone (FSH). LH akan menstimulasi


produksi androgen pada ovarium, sementara itu kekurangan
relatif dari FSH menjaga stimulasi yang cukup dari
aktivitas aromatisasi pada sel granulosa, dengan cara
demikian penurunan androgen menjadi pote estrogenestradiol.
Peningkatan

level

androgen

intrafollicular

menyebabkan atresia follicular. Peningkatan sirkulasi level


androgen menambah abnormalitas dari profil lipid pasien
dan perkembangan hirsutisme serta jerawat. Peningkatan
serum androgen (androstenedione) dikonversikan di perifer
menjadi estrogens. Ketika konversi terjadi terutama di sel
stromal dari jaringan adiposit, produksi estrogen akan
ditambahkan pada pasien PCOS dengan obesitas. Konversi
14

ini menyebabkan feedback kronik pada hipothalamus dan


kelenjar pituitari, secara feedback normal diamati pada
keberadaan folikel yang tumbuh dan perubahan level
estradiol yang cepat. Stimulasi estrogen yang tidak dapat
dicegah dari endometrium dapat menyebabkan terjadinya
hiperplasia endometrium

15

Gambar.

Polycystics

Ovarian

Syndrome

and

Hyperandrogenism

(Cunningham, Schorge, Schaffer, et al)


2.
Hiperandrogen
Hormon androgen disintesis di dalam ovarium (selsel teka) dan di kelenjar adrenal (korteks adrenal).
Peningkatan hormon andrenalin memberikan pengaruh
pada bagian sentral dan perifer organ target. Secara sentral,
peningkatan

kadar

androgen

dalam

darah

(hiperandrogenemia) akan mengganggu gonadostat di


hipotalamus dan menekan GnRH. Akibatnya, terjadi
gangguan perkembangan seksual dan penekanan langsung
terhadap gonadotropin baik pada tingkat hipothalamus
maupun pada hipofisis. Dalam hal ini, LH lebih jelas
dipengaruhi daripada FSH. Sedangkan secara perifer,
terjadi pengaruh yang lebih menarik dan penting pada
tingkat ovarium dan folikel. Disini terjadi pemusatan
androgen di dalam sel-sel perifolikuler, sehingga folikel
ovarium
3.

menjadi

resisten

terhadap

rangsangan

gonadotropin (Prawirodihardjo, 2008).


Obesitas

16

Obesitas akan menyebabkan hiperinsulin yang


kronis

atau

resistensi

insulin.

Hiperinsulin

akan

menstimulasi sel teka ovarium secara berlebihan untuk


memproduksi

androgen.

Stimulasi

tersebut

akan

menghambat produksi Sex Hormone Binding Globulin


(SHBG) sehingga androgen bebas akan meningkat. Di
perifer, androgen akan diaromatisasi menjadi estrogen
sehingga dengan estrogen yang tinggi dapat menyebabkan
kelainan pulsasi LH. Selain itu, pada obesitas juga terdapat
gangguan

dalam

pengendalinan

sinyal

rasa

lapar

(pengendalian rasa lapar berkurang). Akibatnya asupan


glukosa akan meningkat. Meningkatnya glukosa akan
menyebabkan hiperinsulinemia yang akan menstimulasi
sekresi steroid adrenal sehingga terjadi hiperandrogen
4.

(Kasim-Karakas, Cunningham, & Tsodikov, 2007).


Hiperinsulinemia
Hiperinsulinemia akan menyebabkan sensitivitas sel
teka terhadap insulin meningkat sehingga sel teka
terstimulasi

berlebihan.

Kondisi

ini

mengakibatkan

terjadinya fosforilasi serine dari komponen 17,20-lyase


yang terdapat pada sitokrom 9P450c17 alfa di sel teka.
Fosforilasi tersebut akan memicu sintesis androgen di
kelenjar adrenal dan ovarium.
d.

Penegakan Diagnosis PCOS


PCOS adalah sindrom yang sangat beragam dalam hal
gejala klinik maupun manifestasi laboratorium. Sementara dasar
dari kelainan ini terletak pada ovarium, gambaran klinik dan
beratnya gejala tergantung pada faktor di luar ovarium seperti
obesitas, resisten terhadap insulin, dan konsentrasi Luteinizing
Hormone (LH). Kombinasi dari berbagai gejala dapat dijumpai
dari hirsutisme yang ringan dengan ovulasi yang regular dan
ovarium polikistik, sampai dengan gejala yang lengkap dari
sindroma

Stein-Leventhal

yaitu

amenorrhoea,

hirsutisme,

17

munculnya jerawat, infertil dan obesitas. Demikian juga dengan


hasil laboratorium biokimia. Hampir 50% dari kasus akan
didapatkan peningkatan konsentrasi LH (terutama pada yang berat
badan normal), dan hanya lebih kurang 30% yang didapatkan
peningkatan total testosteron pada pemeriksaan sesaat (Webber et
al., 2003).
e.

Resistensi Insulin pada PCOS


Resistensi

insulin

didefinisikan

sebagai

penurunan

kemampuan insulin untuk menstimulasi pemasukan glukosa ke


dalam jaringan target, atau berkurangnya respon glukosa pada
pemberian sejumlah insulin sebagai respon kompensasi terhadap
resistensi jaringan target. Beberapa mekanisme telah di usulkan
untuk menjelaskan resistensi insulin, termasuk resistensi jaringan
perifer target, penurunan pembersihan di hepar, atau peningkatan
sensitivitas pankreas. Penelitian dengan menggunakan teknik
euglycemic clamp mengindikasikan bahwa wanita hiperandrogen
dengan hiperinsuliemia mempunyai resistensi insulin perifer dan
penurunan rerata pembersihan insulin yang disebabkan oleh
penurunan ekstraksi insulin di hepar (Ben-Haroush, Yogev, &
Fisch, 2004).

Resistensi insulin perifer pada PCOS bersifat unik


disebabkan kelainan di luar aktivasi dari reseptor kinase, yang
disebut sebagai penurunan tyrosine autophosphorylation dari
reseptor insulin (Ben-Haroush, Yogev, & Fisch, 2004).
Serine residue phosphorylation yang berlebihan pada reseptor
insulin menurunkan transmisi signal, dan hal ini telah diusulkan
untuk

menjelaskan

juga

hiperandrogenisme

oleh

serine

phosphorylation pada saat yang bersamaan dari enzim P450c17


pada kelenjar adrenal dan ovarium, yang mana dapat meningkatkan
aktifitas 17,20-lyse dan produksi androgen.
Resistensi insulin mungkin dapat dihubungkan dengan
aktifitas sitokrom P450c17 yang berlebihan, yang merupakan

18

enzim kunci pada biosintesa androgen di ovarium dan kelenjar


adrenal (Zhang et al., 1995). Insulin sendiri, bekerja melalui
reseptornya, memperlihatkan suatu rangsangan biosintesa androgen
pada ovariun dan kelenjar adrenal, yang dapat eningkatkan
produksi luteinizing hormone (LH)-induced androgen oleh sel teca
sehingga menyebabkan hiperandrogenemia (Willis et al., 1998).
Perbaikan hiperinsuliemia secara dramatik akan menurunkan
sirkulasi androgen pada kadar yang normal.

Gambar. Mekanisme resistensi insulin pada PCOS (BenHaroush, Yogev, & Fisch, 2004)

f.

Penatalaksanaan PCOS
Bagi wanita yang belum ingin memiliki anak, cukup diobati
dengan pil kontrasepsi kombinasi oral, yang di Indonesia terkenal dengan
sebutan pil KB. Pil KB yang sering digunakan adalah jenis pil
kombinasi

yang

mengandung

estrogen

dan

progesteron

sintetik.

Penggunaan pil KB ini bertujuan untuk menekan fungsi ovarium, sehingga

19

sekresi hormon testosteron menurun. Komponen estrogen yang terdapat


dalam pil kontrasepsi akan memicu terjadinya produksi sex-hormone
binding globulin (SHBG) di hepar. Hormon SHBG yang tinggi tersebut
akan mengikat lebih banyak lagi testosteron di dalam darah. Komponen
progesteron yang terdapat dalam pil kontrasepsi akan mencegah terjadinya
hiperplasia endometrium. Pada wanita dengan gejala dan tanda hirsutisme,
lebih dianjurkan pemberian pil kontrasepsi yang mengandung hormon
antiandrogen siproteron asetat (SPA); siproteron asetat dapat juga
diberikan tidak dalam bentuk pil kombinasi. Siproteron asetat termasuk
jenis

hormon

progestogen

alamiah

yang

sangat

kuat

efek

antiandrogeniknya (Baziad, 2012).


Pengobatan utama pada semua wanita dengan sindrom ovarium
polikistik yang kegemukan adalah menurunkan berat badan. Dengan cara
yang sederhana ini kadang-kadang proses ovulasi dapat terjadi secara
spontan. Bila dengan menurunkan berat badan tetap tidak terjadi proses
ovulasi, perlu diberi obat-obat pemicu ovulasi, seperti klomifen sitrat, atau
FSH murni. Pada semua wanita yang ingin mempunyai anak,
pengobatannya adalah pemberian obat-obat pemicu proses ovulasi.
Namun, selama kadar LH masih tinggi, akan sangat sulit terjadi proses
ovulasi, apalagi kehamilan. Dewasa ini, mulai dicoba pengobatan sindrom
ovarium polikistik dengan analog gonadotropin-releasing hormone
(GnRH) (Genazzani et al., 1997). Cara ini adalah cara pengobatan yang
dapat menekan tingginya kadar LH dalam waktu relatif cepat. Selain itu,
pemberian analog GnRH menekan fungsi ovarium dengan kuat sehingga
produksi testosteron di ovarium tertekan. Keuntungan lain penggunaan
GnRH analog adalah bahwa hormon ini tidak begitu kuat menekan
pengeluaran FSH (follicle-stimulating hormone) dan sintesis prolaktin.
FSH sangat dibutuhkan untuk pematangan folikel di ovarium, sedangkan
prolaktin dibutuhkan untuk membantu sintesis progesteron di korpus
luteum. Penurunan kadar progesteron darah yang signifikan sering
menyebabkan terjadinya keguguran (abortus). Tidak dijumpai adanya

20

perbedaan angka kejadian kehamilan yang bermakna pada semua jenis


pengobatan yang diuraikan di atas (Baziad, 2012).
Tindakan pembedahan atau operatif berupa eksisi baji sudah mulai
ditinggalkan dan diganti dengan tindakan elektrodiatermi pada setiap
folikel yang terlihat (drilling). Cara ini dapat dilakukan dengan teknik
laparoskopi. Namun, dalam konteks terjadinya proses kehamilan, ternyata
tidak dijumpai perbedaan bermakna antara penggunaan obat-obat pemicu
proses ovulasi maupun penggunaan analog GnRH. Tindakan drilling pada
ovarium perempuan dengan sindrom ovarium polikistik ini mulai
diperdebatkan di kalangan ahli. Banyak dilaporkan kasus menopause dini
akibat kerusakan folikel saat tindakan drilling. Karena itu, perlu kehatihatian dan kompetensi operator yang cukup dalam melakukan tindakan
drilling ini. Cara lain untuk menekan produksi testosteron di folikel-folikel
kecil ialah dengan memberikan preparat analog GnRH yang mempunyai
efek sangat kuat menekan sintesis testosteron dan hampir tidak pernah
menyebabkan komplikasi klinis berupa menopause dini. Seorang
perempuan yang didiagnosis mengalami menopause dini sudah pasti akan
sulit mendapatkan keturunan. Perempuan tersebut juga harus diberi terapi
sulih hormon jangka panjang, dengan risiko kanker payudara (Baziad,
2012).
3.

Pembahasan Jurnal
Penelitian dari Ashrafi et al bahwa risiko terjadinya DM
Gestasional paling tinggi terdapat pada wanita infertil dengan PCOS yang
memperoleh kehamilan dengan bantuan ART (assisted reproductive
technology) sebanyak 44.4%. Peneliti melakukan pengamatan melalui
rekam medis terhadap 234 wanita tanpa PCOS dengan kehamilan spontan,
234 wanita tanpa PCOS yang memperoleh kehamilan dengan ART, dan
234 wanita dengan PCOS yang memperoleh kehamilan dengan ART.
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa faktor prediktor
terpenting dari munculnya DM Gestasional pada wanita-wanita dengan

21

PCOS adalah akibat siklus mens yang ireguler, level serum trigliserida
150 mg/dL, dan konsumsi metformin sebelum periode gestasi.

Meningkatnya prevalensi DM Gestasional pada wanita-wanita


dengan PCOS diduga kuat juga berkaitan erat dengan faktor etnis.
Penelitian yang dilakukan oleh Ashrafi et al ini dilakukan pada wanita Iran
dengan PCOS yang mengalami DM Gestasional. Beberapa penelitian lain
juga mengungkapkan hal serupa, seperti penelitian-penelitian yang
dilakukan pada wanita-wanita Israel, Amerika, dan Meksiko (ReyesMunoz et al., 2012; Radon, McMahon, & Meyer, 1999; Levran et al.,
1990). Namun, Turhan

et al mengungkapkan hal yang berbeda.

Berdasarkan studi yang dilakukan pada wanita-wanita Turki, diungkapkan


bahwa tidak ada perbedaan prevalensi DM Gestasional yang signifikan
pada wanita-wanita dengan PCOS maupun tanpa PCOS (Turhan et al.,
2003).
Perbedaan insidensi DM Gestasional pada berbagai macam wanita
dengan PCOS yang berasal dari suku bangsa yang berbeda-beda
merupakan suatu fakta bahwa munculnya DM Gestasional akibat PCOS
juga dipengaruhi oleh etnis. Hal ini bisa disebabkan oleh perbedaan
karakteristik tiap etnis dan resistensi insulin pada PCOS yang dapat juga
dipengaruhi oleh perbedaan kondisi lingkungan karakteristik metabolisme
insulin tiap individu (Reyes-Munoz et al., 2012). Pada penelitian ini
sendiri, tiga hal yang dapat memicu munculnya DM Gestasional pada
wanita-wanita dengan Iran adalah akibat resistensi insulin (Dunaif, 1997;
Glueck et al., 2003), efek infertilitas dan penggunaan ART (Szymanska et
22

al., 2011; Ashrafi et al., 2014), dan prevalensi DM Gestasional yang


relatif lebih tinggi pada wanita-wanita ras Timur Tengah dibanding wantawanita dari negara Asia yang lain (Berkowitz et al., 1992).
Dibandingkan dengan penyebab-penyebab infertilitas lain, PCOS
menunjukkan faktor risiko yang lebih besar atas terjadinya resistensi
insulin (Szymanska et al., 2011; Legro, Castracane, & Kauffman, 2004).
Dua studi metaanalisis yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa wanita
dengan PCOS memiliki faktor risiko yang besar untuk mengidap DM
Gestasional (Toulis et al., 2009; Boomsma et al., 2006). Namun, studi
yang pernah dilakukan oleh Kashanian et al dan Haakova et al
menunjukkan bahwa PCOS yang berhubungan dengan Obesitaslah yang
memicu berkembangnya DM Gestasional dan tidak ada perbedaan yang
nyata terhadap munculnya DM Gestasional akibat PCOS (Kashanian,
Fazy, & Pirak, 2008; Haakova et al., 2003).
Pada studi ini sendiri, 66.3% dari kasus DM Gestasional dan 60%
kasus dari kasus non-DM Gestasional pada wanita dengan PCOS terjadi
pada wanita-wanita dengan berat badan berlebih. Memang tidak ada
hubungan antara BMI dan insidensi GDM pada wanita dengan PCOS
setelah dilakukan studi regresi, namun Mikola et al memaparkan hasil
yang berbeda. Mikola et al memaparkan bahwa BMI >25 yang merupakan
indikasi obesitas adalah faktor prediktor terbesar untuk terjadinya DM
Gestasional (Mikola et al., 2001).
Hasil lain dari penelitian ini juga memaparkan bahwa peningkatan
risiko DM Gestasional terjadi pada pasien tanpa PCOS namun
menggunakan ART terutama dengan metode IVF/ICSI. Penggunaan
progesteron selama kehamilan akibat ART merupakan salah satu faktor
terjadinya DM Gestasional pada wanita tanpa PCOS (Ashrafi et al., 2014;
Grady et al., 2012; Jackson et al., 2004). Meskipun begitu, masih banyak
studi yang dibutuhkan untuk mendukung teori ini.
Keterbatasan penelitian ini adalah belum adanya pengamatan yang
linier terhadap wanita PCOS yang mendapatkan kehamilan spontan. Oleh
karena itu, peneliti belum mampu untuk mengevaluasi peningkatan risiko

23

terjadinya DM Gestasional pada wanita dengan PCOS yang hamil spontan


dan hamil dengan bantuan ART. Studi prospektif untuk membandingkan
prevalensi terjadinya DM Gestasional pada kedua grup merupakan hal
yang harus dilakukan.
Hipotiroidisme subklinikal dan klinikal (peningkatan nilai TSH dan
hormon-hormon tiroid) juga dihubungan dengan DM Gestasional, karena
banyak pasien dengan hipotiroidisme mengalami resistensi insulin
(Mannisto et al., 2013; Maratou et al., 2009). Seperti yang ditunjukkan
dari penelitian ini, prevalensi DM Gestasional lebih tinggi pada wanita
baik dengan PCOS maupun tanpa PCOS yang melakukan terapi hipotiroid.
Terapi hipotiroid dengan menggunakan levothyroxine pada wanita dengan
PCOS dapat memicu tingginya prevalensi dari DM Gestasional, namun,
hubungan ini tidak bernilai signifikan setelah dilakukan uji analisis regresi
multivariat.
Penelitian ini juga menduga bahwa dua kelainan endokrin berupa
PCOS dan hipotiroidisme subklinikal saling berkaitan dan mempengaruhi
proses metabolisme yang pada akhirnya dapat memicu timbulnya DM
Gestasional. Peningkatan serum trigliserida dan kolesterol merupakan
faktor risiko yang memicu timbulnya DM Gestasional. Holte et al dalam
penelitiannya memaparkan bahwa wanita dengan ovarium polikistik dan
DM Gestasional memiliki nilai VLDL (very low-density lipoprotein) dan
kolesterol yang tinggi daripada wanita dengan kondisi ovarium yang
normal (Holte et al., 1998).
Pada studi ini, penggunaan metformin pada masa pre-gestasional
dianggap dapat menurunkan risiko terjadinya DM Gestasional. Meskipun
begitu, peneliti juga beranggapan adanya studi lebih lanjut untuk
menganalisis efikasi dari terapi gaya hidup pada orang-orang yang
menggunakan maupun tidak menggunakan metformin untuk mencegah
timbulnya DM Gestasional pada wanita-wanita dengan PCOS. Kekuatan
penelitian ini adalah adanya perbandingan antara karakteristik kasus DM
Gestasional dan kasus non-DM Gestasional pada wanita-wanita dengan
PCOS yang diperlihatkan dengan studi regresi yang bertujuan untuk

24

menilai risiko terjadinya DM Gestasional pada wanita-wanita dengan


PCOS. Meskipun begitu, keterbatasan penelitian ini adalah, mayoritas
wanita dengan PCOS mendapat intervensi nutrisi dan menggunakan
metformin sebelum mereka hamil, yang dapat menyebabkan bias terhadap
insidensi DM Gestasional pada mereka. Selain itu, studi ini juga belum
menggunakan teknik yang paling tepat untuk mengestimasi faktor-faktor
risiko, sehingga, dibutuhkan studi kohort prospektif pada masa mendatang.
Kesimpulan penelitian ini, pada wanita-wanita Iran, mereka yang
memiliki PCOS dan mendapatkan kehamilan dengan bantuan ART
memiliki faktor risiko dua kali lebih besar untuk mengidap DM
Gestasional. Fakta ini dapat menjadi rekomendasi untuk melakukan
skrining DM Gestasional terhadap wanita-wanita dengan PCOS yang
hamil dengan riwayat menggunakan ART, siklus haid yang ireguler, dan
tingginya nilai serum trigliserida pada trimester awal kehamilan mereka.

25

BAB III
KESIMPULAN
1.

Diabetes melitus gestasional (DMG) adalah suatu gangguan toleransi


karbohidrat yang terjadi dan diketahui pertama kali pada saat kehamilan
sedang berlangsung.

2.

Diabetes gestasional disebabkan karena adanya perubahan metabolisme


karbohidrat selama kehamilan, dimana keadaan resistensi insulin tidak
diimbangi dengan sekresi insulin yang adekuat.

3.

Pengobatan DM Gestasional dapat menggunakan terapi medis, terapi


dietetik, terapi insulin, dan terapi olahraga.

4.

Polycystic Ovary Syndrome merupakan serangkaian gejala yang


dihubungkan dengan hiperandrogenisme, anovulasi kronik, dan ovarium
polikistik.

5.

Beberapa etiologi yang dihubungan dengan PCOS antara lain kelainan


neuroendokrin, hiperandrogen, obesitas, dan hiperinsulin

6.

Beberapa terapi PCOS antara lain dapat menggunakan pil KB, analog
GnRH, dan terapi pembedahan.

7.

Pada penelitian ini ditemukan fakta bahwa wanita dengan PCOS yang
memperoleh kehamilan dengan bantuan ART lebih rentan untuk
mengalami DM Gestasional.

26

DAFTAR PUSTAKA
Al-Noaemi MC, Shalayel MHF. 2011. Pathophysiology of Gestatinal Diabetes
Mellitus: The Past, the Present and the Future. Croatia: InTech.
Amato P & Simpson J. L. 2004. The genetics of polycystic ovary syndrome. Best
Pract Res Clin Obstet Gynaecol 18:707-18.
Ashrafi M, Gosili R, Hosseini R, Arabipoor A, Ahmadi J, Chehrazi M. 2014. Risk
of gestational diabetes mellitus in patients undergoing assisted
reproductive techniques. Eur J Obstet Gynecol.
Baziad, Ali. 2012. Sindrom Ovarium Polikistik dan Penggunaan Analog GnRH.
Cermin Dunia Kedokteran-196 39(8);573-575
Ben-Haroush A, Yogev Y, Fisch B. 2004. Insulin resistance and metformin in
polycystic ovary syndrome. European Journal of Obstetrics &
Gynecology and Reproductive Biology 115:125133.
Berkowitz GS, Lapinski RH, Wein R, Lee D. 1992. Race/ethnicity and other risk
factors for gestational diabetes. Am J Epidemiol 135(9):96573.
Boomsma C, Eijkemans M, Hughes E, Visser G, Fauser B, Macklon N. 2006. A
metaanalysis of pregnancy outcomes in women with polycystic ovary
syndrome. Hum Reprod Update 12(6):67383.
Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Rouse D, Spong C. 2010. Maternal
Physiology. Williams Obstetrics. 23rd ed. Pennsylvania: McGraw-Hill p.
1114.
Dunaif A. 1997. Insulin resistance and the polycystic ovary syndrome: mechanism
and implications for pathogenesis. Endocr Rev 18(6):774800.
Genazzani AD, Petraglia F, Battaglia C, Gamba O, Volpe A, Genazzani AR. 1997.
A long-term treatment with gonadotropin-releasing hormone agonist plus a
loe-dose oral contraceptive improves the recovery of the ovulatory

27

function in patients with polycystic ovary syndrome. Fertil Steril. 67:4638


Glueck C, Wang P, Kobayashi S, Phillips H, Sieve-Smith L. 2002. Metformin
therapy throughout pregnancy reduces the development of gestational
diabetes in women with polycystic ovary syndrome. Fertil Steril
77(3):520.
Grady R, Alavi N, Vale R, Khandwala M, McDonald SD. 2012. Elective single
embryo transfer and perinatal outcomes: a systematic review and metaanalysis. Fertil Steril 97(2):32431.
Haakova L, Cibula D, Rezabek K, Hill M, Fanta M, Zivny J. 2003. Pregnancy
outcome in women with PCOS and in controls matched by age and weight.
Hum Reprod 18(7):143841.
Holte J, Gennarelli G, Wide L, Lithell H, Berne C. 1998. High prevalence of
polycystic ovaries and associated clinical, endocrine, and metabolic
features in women with previous gestational diabetes mellitus. J Clin
Endocrinol Metab 83(4):114350.
Homburg R. Polycystic ovary syndrome. 2008. Best Pract Res Clin Obstet
Gynaecol 22(2):261-74.
Jackson RA, Gibson KA, Wu YW, Croughan MS. 2004. Perinatal outcomes in
singletons following in vitro fertilization: a meta-analysis. Obstet Gynecol
103(3):55163.
Kaaja R, Ronnemaa T. 2009. Gestational Diabetes: Pathogenesis and
Consequences to Mother and Offspring. Rev Diabet Stud 5(4):194202
Kashanian M, Fazy Z, Pirak A. 2008. Evaluation of the relationship between
gestational diabetes and a history of polycystic ovarian syndrome.
Diabetes Res Clin Pract 80(2):28992.
Kasim-Karakas, SE., Cunningham, WM., Tsodikov, A. 2007. Relation ot Nutrients
and Hormones in Polycystic Ovary Syndrome. Am J Clin Nutr 85: 688-94.

28

Legro RS, Castracane VD, Kauffman RP. 2004. Detecting insulin resistance in
polycystic ovary syndrome: purposes and pitfalls. Obstet Gynecol Surv
59(2):14154.
Levran D, Shoham Z, Habib D, Greenwald M, Nebel L, Mashiach S. 1990.
Glucose tolerance in pregnant women following treatment for sterility. Int
J Fertil 35(3):1579.
Mannisto T, Mendola P, Grewal J, Xie Y, Chen Z, Laughon SK. 2013. Thyroid
diseases and adverse pregnancy outcomes in a contemporary US cohort. J
Clin Endocrinol Metab 98(7):272533.
Maratou E, Hadjidakis DJ, Kollias A, et al. 2009. Studies of insulin resistance in
patients with clinical and subclinical hypothyroidism. Eur J Endocrinol
160(5):78590.
Mikola M, Hiilesmaa V, Halttunen M, Suhonen L, Tiitinen A. 2001. Obstetric
outcome in women with polycystic ovarian syndrome. Hum Reprod
16(2):2269.
Norwitz, Errol., Schorge, John. 2006. Obstetric dan Ginekologi At Glance Edisi
kedua. Erlangga medical series (EMS), Jakarta.
Perkumpulan

Endokrinologi

Indonesia

(PERKENI).

2002.

Konsesnsus

Pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia. Jakarta: PERKENI.


Prawirohardjo, Ssarwono. 1994. Ilmu Kandungan. Edisi 2. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: EGC.
Radon PA, McMahon MJ, Meyer WR. 1999. Impaired glucose tolerance in
pregnant women with polycystic ovary syndrome. Obstet Gynecol
94(2):1947.
Reyes-Munoz E, Castellanos-Barroso G, Ramirez-Eugenio BY, et al. 2012. The
risk of gestational diabetes mellitus among Mexican women with a history
of infertility and polycystic ovary syndrome. Fertil Steril 97(6):146771.

29

Serlin DC, Lash RW. 2009. Diagnosis and management of Gestational Diabetes
Mellitus. Am Fam Physician 80(1):57-62.
Speca S, Napolitano C, Tagliafeni G. 2007. The pathogenetic enigma of
polycystic ovary Syndrome. Journal of Ultrasound 10:l53-60.
Szymanska M, Horosz E, Szymusik I, Bomba-Opon D, Wielgos M. 2011.
Gestational

diabetes

in

IVF

and

spontaneous

pregnancies.

Neuroendocrinol Lett 32(6): 885888.


Toulis KA, Goulis DG, Kolibianakis EM, Venetis CA, Tarlatzis BC, Papadimas I.
2009. Risk of gestational diabetes mellitus in women with polycystic
ovary syndrome: a systematic review and a meta-analysis. Fertil Steril
92(2): 667677.
Tracy L, Setji M, Brown AJ, Feinglos MN. 2005. Gestational Diabetes Mellitus.
Clin Diabetes 23(1):1724.
Turhan NO, Seckin NC, Aybar F, Inegol I. 2003. Assessment of glucose tolerance
and pregnancy outcome of polycystic ovary patients. Int J Gynaecol
Obstet 81(2):1638.
Webber L. J, Stubbs S, Stark J et al. 2003. Formation and early development of
follicles in the polycystic ovary. Lancet 362:1017-21.
William, Lippincott., Wilkins. 2007. Berek & Novak's Gynecology, 14th Edition.
California, Johns Hopkins University School of Medicine.
Willis D. S, Watson H, Mason H. D et al. 1998. Premature response to luteinizing
hormone of granulosa cells from anolulatory women with polycystic ovary
syndrome: relevance to mechanisrn of anovulation. J Clin Endocrinol
Metab 83:3984-91.
Zhang L, Rodriguez H, Ohno S et al. 1995. Serine phosphorylation of human
P450c17 increases 17,20-lyase activity: implications for adrenarche and
the polycystic ovary syndrome. Proc Natl Acad Sci USA 92:106-19.

30

Anda mungkin juga menyukai