PENDAHULUAN
BAB II
KEHAMILAN
1
A. DEFINISI
Seorang wanita diduga hamil apabila terdapat gejala mual, muntah,
gangguan berkemih, mudah lelah dan amenorea. Berikutnya diikuti tanda
pembesaran abdomen, perubahan pada serviks dan uterus, serta tes hormone
chorionic gonadotropin (hCG) positif. Tanda pasti adanya kehamilan adalah
identifikasi detak jantung janin, adanya embrio atau fetus melalui ultrasonografi,
serta terabanya gerakan janin. (11)
2
sampai melakukan implantasi pada uterus, jaringan fetus tersebut tidak ditolak
atau dihancurkan oleh sistem kekebalan tubuh ibu. Hal ini disebabkan antara
lain(11):
a. Kesatuan unit jaringan fetoplasental secara imunologis memiliki keistimewaan
dalam hal jaringan tersebut tidak mengekspresikan HLA antigen yang klasik,
namun mengekspresikan ligand Fas yang banyak, serta protein regulator
komplemen. Hal ini melindungi sel jaringan fetus dari penghancuran oleh
sistem imun.
b. Pada kehamilan, jaringan desidua dan fetoplasenta menghasilkan sitokin-
sitokin yang menyebabkan respon tubuh ibu bergeser kearah respon dominan
T-helper 2(Th2) yang tidak menolak jaringan fetus dan menurunkan respon Th-
1 yang menyebabkan penolakan jaringan.(14)
c. Progesteron yang dihasilkan oleh jaringan fetomaternal juga menginduksi
factor penghambat fungsi sel NK dan sekresi IL-10 sehingga membantu
melindungi fetus terhadap penolakan dari tubuh ibu.(15)
d. Sel-sel sinsitiotrofoblas menghasilkan senyawa Indoleamine 2,3 Dioksigenase
(IDO) yang mengkatabolisme triptofan. Triptofan diketahui memainkan
peranan dalam penolakan jaringan fetus.
e. Beberapa hormon yang ada pada kehamilan juga diperkirakan mempengaruhi
respon imunitas tubuh ibu.(11,21)
3
Gambar 2. Efek hormon steroid pada sel imun (16)
4
Peningkatan Glomerular Filtration Rate (GFR), urin formation rate dan
aliran urin.
Namun demikian pada ibu hamil dimana dilatasi ureter umumnya
muncul pada pertengahan masa kehamilan, maka hal tersebut lebih
menyokong kemungkinan kompresi dari uterus yang membesar terhadap
uterus sebagai penyebabnya dibandingkan dengan faktor hormonal.(18).
Selain ukuran ginjal membesar, perubahan juga terjadi pada traktus
urinarius. Kaliks, pelvis renalis dan ureter mengalami vasodilatasi. Dilatasi
lebih berat pada sebelah kanan dibandingkan sebelah kiri dan muncul pada
awal trimester pertama. Mekanisme hormonal dan obstruksi mekanis
mengambil peran penting. Intra Venous Pielografi menunjukkan iliac sign
dimana dilatasi ureter berakhir pada level Pelvic brim ditempat ureter
memotong arteri iliaka. Dilatasi ureter dan stasis urin memberikan kontribusi
pada peningkatan insiden bakteriuria asimptomatik dan pielonefritis pada
kehamilan.(19)
5
glukosuria dan aminoasiduria(15). Sistem renin-angiotensin terstimulasi
selama kehamilan, dan terjadi retensi kumulatif Natrium sekitar 950 mEq.
Retensi natrium dihasilkan dari proses yang komplek antara stimulus
natriuretik dan anti-natriuretik selama kehamilan.(17)
6
udem, yang muncul pada 35-83% wanita hamil normal. Pada akhir
kehamilan faktor lain yang memperberat udem adalah kompresi pada vena
cava inferior akibat pembesaran uterus dan reduksi dari tekanan osmotik
koloid (20)
3. Perubahan hematologi
Volume darah meningkat sekitar 40-45% pada wanita hamil, dimulai
saat trimester pertama dengan peningkatan baik volume plasma maupun
jumlah sel darah merah. Peningkatan plasma lebih besar daripada jumlah
sel darah merah, sehingga menyebabkan anemia fisiologis pada kehamilan.
Kadar hemoglobin dan hematokrit akan menurun sedikit pada kehamilan
normal. Akibatnya viskositas darah juga akan menurun. kadar hemoglobin
pada kehamilan aterm sekitar 12,5 g/dl, namun sekitar 6% ibu hamil akan
mempunyai kadar hemoglobin dibawah 11 g/dl.(19)
7
Pada kehamilan diduga terjadi supresi sejumlah fungsi imunologi baik
yang humoral maupun seluler dalam upaya mengakomodasi keberadaan
janin sebagai benda asing dalam tubuh ibu. Salah satu mekanisme yang
penting melibatkan proses supresi terhadap sel T-helper (Th)1 dan T-
cytotoksik (Tc) yang akan menurunkan sekresi interleukin (IL)-2, interferon
dan faktor nekrosis tumor. Pada kehamilan normal, kaskade koagulasi
berada dalam keadaan teraktivasi, dimana terjadi peningkatan konsentrasi
seluruh faktor pembekuan kecuali factor XI dan XII dengan peningkatan
kadar komplek fibrinogen yang mempunyai berat moloekul besar.(13)
Selama kehamilan normal pada akhir masa kehamilan konsentrasi
fibrinogen meningkat hingga 50% menjadi sekitar 450 mg/dl. Komplek
fibrin-fibrinogen dengan berat molekul besar yang mudah larut beredar
pada kehamilan normal dan konsentrasi serum d-dimer akan meningkat
dengan bertambahnya usia kehamilan. Jumlah trombosit akan menurun
sedikit selama kehamilan menjadi 213.000/ul dibandingkan dengan
250.000/ul kontrol yaitu perempuan normal tidak hamil. (11) Selama
kehamilan normal, besar trombosit dan volumenya akan meningkat.
Penurunan konsentrasi trombosit sebagian disebabkan efek hemodilusi dan
peningkatan penggunaan trombosit. Pada pertengahan usia kehamilan,
produksi tromboxan A2 yang menginduksi terjadinya agregasi trombosit
akan meningkat secara progresif. Kadar antitrombin akan relatif konstan
selama kehamilan dan nifas awal.(14)
8
BAB III
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
A. DEFINISI
B. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi LES di berbagai negara sangat bervariasi, berkisar 40
kasus per 100.000 penduduk di Eropa Utara sampai lebih dari 200 per
100.000 penduduk seperti bangsa negro. LES lebih sering ditemukan pada
ras tertentu seperti bangsa negro, Cina dan mungkin juga Filipina.
Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi dan geografi tidak
mempengaruhi distribusi penyakit.(23) Prevalensi penyakit LES di
Indonesia belum dapat dipastikan secara tepat, karena sistem pelaporan
masih berupa laporan kasus dengan jumlah penderita terbatas. Insidensi
penyakit LES di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta sebesar 15
kasus/10.000 kasus dirawat (th 1971-1975) kemudian meningkat
37,7/10.000 kasus (th 1988-1990).(1)
9
Etiologi dan pathogenesis LES masih belum diketahui dengan
jelas. Terdapat banyak bukti bahwa pathogenesis LES bersifat multifaktor,
dan ini mencakup pengaruh faktor genetik, lingkungan dan hormonal
terhadap respon imun.(1,24) Sekitar 10-20 % pasien LES mempunyai
kerabat dekat (first degree relative) yang juga menderita LES. Penelitian-
penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan,
terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. (25) Kaitan dengan
haplotipe MHC tertentu terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan
komplemen yang berperan pada fase awal reaksi ikatan komplemen (yaitu
C1Q, C1R, C1S, C2, C3 dan C4) telah terbukti. (1,3,26) Gen gen lain yang
mulai terlihat ikut berperan ialah gen yang mengkode reseptor sel T,
immunoglobulin dan sitokin yaitu gen yang terdapat pada lokus Sle1, Sle2
dan Sle3. Sistem neuroendokrin ikut berperan dalam sistem imun,
beberapa penelitian menunjukkan bahwa hormon estrogen dan prolaktin
dapat merangsang respon imun.(27)
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu (hormon seks, sinar ultraviolet,
infeksi, dll) yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi
genetik akan menghasilkan tenaga pendorong yang abnormal terhadap sel
T CD4, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen.
Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan
induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi antibodi maupun
yang berupa sel memori.(1,2,3,4) Pada LES autoantibodi yang terbentuk
ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak dalam nukleoplasma.
Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon. (28)
Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk
agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel
ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah mereka tidak
tissue specific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti nuclear antibody).(29)
Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang
beredar dalam sirkulasi. Pada LES, penanganan kompleks imun terganggu,
10
berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan
pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks
imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya
deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear.(13) Kompleks
imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat
terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang menimbulkan reaksi radang.
Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan gejala pada
organ atau tempat bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus
koroideus, kulit dan sebagainya.(28)
Genetically Susceptible
Individual
Gene Involved :
MHC class II
Complement
Additional unidentified
genes
Enviromental
Triges(s)
(unknown) T-cell driving
forces
CD-4 depencent
(specificities
unknown)
IgG autoantibody
production
Self-antigen driven
Autoantibody
mediated
Clinical Manifestation
11
Gambar 6. Patogenesis LES (22)
12
nasolabialis
Lesi diskoid bercak eritematosus yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat
disertai penyumbatan folikel
Fotosensitif lesi kulit akibat reaksi abnormal terhadap matahari
Ulkus mulut Ulserasi di mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, diketahui
melalui pemeriksaan dokter
Artritis Non erosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak
atau efusi
Serositis Pleuritis atau perikarditis diperoleh dari EKG atau bunyi gesek (rub)
atau efusi
Kelainan ginjal Proteinuria > 0,5 g/hari atau 3+ atau silinder sel
Kelainan neurologis Kejang atau psikosis tanpa penyebab lain
Kelainan hematologi Anemia hemolitik atau lekopeni (<4000/ul) atau limfopeni (<1500/ul)
atau trombositopeni (<100,000/ul) tanpa adanya penyebab lain
Kelainan imunologi Anti DS-DNA, anti-SM dan atau anti-phospholipid
Antibodi antinuklear Titer abnormal antibody antinuclear (ANA)
13
Prevalensinya berkisar 25-40% kasus pada awal LES dan berkembang
menjadi 60-70% kasus pada LES dewasa.(35) Pada suatu penelitian terhadap
nefritis lupus (NL) didapatkan hasil bervariasi antara 31-65% pada 8
penelitian kohort yang diikuti 2649 pasien LES. Suatu studi di John Hopkins
Medical Center antara 1992-1994, dan didapatkan insidensi penyakit ginjal
akut sebesar 10 persen pada 384 pasien.(33) Pada pria dengan LES insiden
terjadinya NL lebih tinggi walaupun tidak berbeda bermakna dengan
perempuan.(5)
2. Patogenesis
Gambaran klinik kerusakan glomerulus berhubungan dengan letak lokasi
terbentuknya deposit kompleks imun. Lokasi kompleks imun ditentukan oleh
spesifisitas, afinitas, dan aviditas antibodi yang terbentuk, kelas dan subkelas,
ukuran dan valensi kompleks. Deposit kompleks imun dapat terletak pada
mesangial, subendotel atau subepitel (terkadang pada ketiga lokasi tersebut
secara simultan).(33,34,35) Deposit pada mesangium dan subendotel terletak
proksimal terhadap membrane basalis glomerulus sehingga mempunyai akses
ke pembuluh darah.(1,22) Deposit pada daerah ini akan mengaktifkan
komplemen, yang kemudian membentuk kemoatraktan C3a dan C5a.
Selanjutnya terjadi influks sel netrofil dan sel mononuklear. Deposit pada
mesangium dan subendotel secara histopatologis memberikan gambaran
mesangial, proliferatif fokal, dan proliferatif difus ; secara klinis memberi
gambaran sedimen urin yang aktif (ditemukan eritrosit, lekosit, silinder sel
dan granuler), proteinuria, dan sering disertai penurunan fungsi ginjal.
Sedangkan deposit pada subepitelial tidak mempunyai hubungan dengan
pembuluh darah karena dipisahkan oleh membran basalis glomerulus
sehingga tidak terjadi influks netrofil dan sel mononuklear. Secara
histopatologis memberikan gambaran nefropati membranosa dan secara
klinis hanya memberi gambaran proteinuria.(5,32-35)
14
Gambar 7. Lokasi kompleks imun dalam glomerulus. (11)
podosi Sintesi
t s
kolage
Aktivasi Proliferasi dan
Kompleks imun pelepasan
Yang komplemen C5b-6+C7-
TGF dan TNF
mempengaruhi 9
Kerusakan
jaringan Sel IL-1 Sel
mesangial mesangial
Trombosit PGE
tromboxa
n
15
yang kemudian direvisi pada tahun 1982. Tahun 2003 International Society of
Nephrology (ISN) bekerjasama dengan Renal Pathology Society (RPS)
memperbarui klasifikasi tersebut.(14)
16
II Perubahan pada mesangial
a. Normal dengan mikroskop cahaya, deposit pada mesangial dengan
imunofluoresen dan atau mikroskop electron
b. Hiperseluleritas mesangial dan terdapat deposit pada imunofluoresen
dan atau mikroskop elektron
III Focal segmental glomerulonephritis
a. Lesi nekrotik aktif
b. Leso sklerotik aktif
c. Lesi sklerotik
IV Glomerulonefritis difus (proliferasi luas pada mesangial, endokapiler atau
mesangiokapiler dan atau deposit luas sub endotel)
a. Tanpa lesi segmental
b. Dengan lesi nekrotik aktif
c. Dengan lesi aktif dan sklerotik
d. Dengan lesi sklerotik
V Glomerulonefritis membranosa difus:
a. Glomerulonefritis membranosa murni
b. Berhubungan dengan lesi kelas II (a atau b)
VI Glomerulonefritis sklerotik lanjut
17
Kelas II : kelainan ringan atau minimal, antibodi anti-dsDNA mungkin
meningkat, kadar komplemen turun, sedimen urin inaktif,
hipertensi jarang, proteinuria <1 gram/24 jam, kreatinin serum
dan GFR biasanya normal.
Kelas III : sering terdapat hipertensi dan sedimen urin aktif. Proteinuria >1
gram/24 jam, 25-30% menunjukkan sindrom nefrotik. Mayoritas
pasien menunjukkan peningkatan serum kreatinin.
Kelas IV : gambaran klinis lebih berat dan aktif dengan proteinuria >1
gram/24 jam. Hampir 50% pasien menunjukkan sindrom
nefrotik.
Kelas V : didapatkan 40% pasien dengan proteinuria <3 g/24 jam dan 20%
proteinuria <1 gram/24 jam. 60% pasien memiliki kadar
komplemen yang rendah dan peningkatan titer antibody anti-
dsDNA. Sedimen urin aktif, hipertensi dan disfungsi renal pada
hamper seluruh pasien. Nefropati membranosa dapat muncul
dengan manifestasi proteinuria berat dan sindrom nefrotik
idiopatik sebelum munculnya gejala klinis dan laboratoris yang
lain.
Kelas VI : disebut juga End-stage lupus nephritis, disebabkan kerusakan yang
terjadi sudah kronis dan jumlah nefron yang berfungsi sudah
banyak berkurang. Pasien terkadang masih menunjukkan
mikrohematuria dan proteinuria. Mayoritas pasien terdapat
hipertensi dan penurunan GFR. Kadar antibodi anti-dsDNA dan
komplemen serum biasanya justru normal.
Pasien dengan gambaran histopatologi nefritis lupus tetapi secara klinis tidak
menunjukkan bukti adanya keterlibatan renal seperti sedimen urin aktif,
penurunan GFR ataupun serologis lupus negative, disebut silent lupus nephritis.(34)
18
Gejala Klinis
Klasifikasi Protein hematuria hipertensi Sindrom Fungsi
urin nefrotik ginjal
Kelas I + - - - N
Kelas IIa + - - - N
Kelas IIb + + - - N
Kelas III ++ ++ + + N/
Kelas IV ++ +++ ++ ++
Kelas V ++ + +/- ++ N/
Kelas VI + +/- +/- +/- lambat
19
Prinsip dasar pengobatan adalah menekan reaksi inflamasi lupus,
memperbaiki fungsi ginjal atau setidaknya mempertahankan fungsi ginjal
agar tidak bertambah buruk. Pengobatan sebaiknya diberikan setelah
didapatkan hasil pemeriksaan histopatologi dari ginjal.(34,35)
Table 6. Terapi nefritis lupus(35)
NL kelas I Tidak perlu terapi spesifik
NL kelas II Jika tidak disertai proteinuria >1g/24 jam dan sedimen tidak aktif, tidak
perlu terapi spesifik.
Jika disertai proteinuria >1g/24 jam, titer anti dsDNA tinggi, hematuri,
diberikan prednisone 0,5-1,0 mg/kg/hari selama 6-12 minggu. Kemudian
dosis diturunkan perlahan (5-10 mg) tiap 1-3 minggu.
NL kelas III dan IV Terapi induksi
a. Pulse glukokotikoid (diberikan pada NL dengan Acute Kidney Injury,
rapidly progressive glomerulonephritis dan kelainan ekstrarenal yang
berat diberikan pulse metilprednisolon 500-1000 mg iv/hari
selama 3 hari. Dilanjutkan prednisone 0,5-1,0 mg/kg/hari)
b. Siklofosfamid (dosis 750 mg/m2 tiap bulan selama 6 bulan.
Diberikan bersama prednisone dosis 0,5 mg/kg/hariyang diturunkan
perlahan sampai dosis 0,25 mg/kg/hari)
c. Mikofenolat mofetil (dosis 1 g, 2kali sehari (total 2 g/hari) selama 6
bulan) lalu dosis diturunkan jadi 500 mg 2 kali sehari selama 6 bulan
berikutnya.
d. Azatioprin (dosis 2 mg/kg/hari dikombinasikan dengan prednisone
0,5 mg/kg/hari. Dosis prednisone kemudian diturunkan perlahan
sampai 0,25 mg/kg/hari. Pemberian azatioprin selama 6 bulan)
e. Siklosporin (dosis 5 mg/kg/hari selama 6 bulan lalu diturunkan
menjadi 2,5 mg/kg/hari selama 2 tahun)
f. Obat lain (Imunoglobulin iv, siklosporin
Terapi pemeliharaan
a. Siklofosfamid (dosis 750 mg iv setiap 3 bulan sampai 2 tahun)
b. Mikofenolat mofetil (dosis 1-2 g/hari minimal selama 2 tahun)
c. Azatioprin (dosis 2 mg/kg/hari selama minimal 2 tahun)
d. Siklosporin (dosis 2-2,5 mg/kg/hari selama 2 tahun)
NL kelas V Bila pada hasil biopsy ginjal didapatkan tipe campuran NL kelas V
dengan kelas III atau IV, maka terapi diberikan sesuai kelas III dan IV
Pada NL kelas V diberikan prednisone dosis 1 mg/kg/hari selama 6-12
minggu. Prednisone kemudian diturunkan menjadi 10-15 mg/hari selama
1-2 tahun.
NL kelas VI Pengobatan ditujukan untuk manifestasi ekstra renal. Untuk
memperlambat penurunan fungsi ginjal diberikan terapi suportif seperti
restriksi protein, terapi hipertensi, pengikat fosfor dan vitamin D.
BAB IV
NEFRITIS LUPUS DENGAN KEHAMILAN
20
Dengan kemajuan di bidang pengobatan five years survival rate pasien LES
bisa mencapai 90% sehingga kehamilan pada pasien LES tidak dapat dihindarkan.
Pasien LES diperbolehkan hamil tetapi dengan syarat penyakitnya harus dalam
fase tenang dan harus mendapat pengawasan ketat. Kehamilan pada pasien LES
(1,6,38,39,40)
merupakan kehamilan dengan resiko tinggi, dengan berbagai komplikasi.
Perubahan anatomi dan fisiologi pada kehamilan dapat mencetuskan aktivitas
penyakit LES terutama dengan gangguan fungsi jantung dan ginjal, serta adanya
autoantibodi pada tubuh ibu yang mungkin dapat menembus plasenta atau bahkan
mempengaruhi pertumbuhan plasenta oleh berbagai sebab.(41,42)
A. Faktor resiko terjadinya komplikasi pada pasien LES
Faktor resiko terjadinya komplikasi pada kehamilan pasien LES yaitu : riwayat
obstetrik buruk sebelumnya, nefritis lupus, gagal ginjal, gagal jantung, hipertensi
pulmonal, penyakit paru interstitial, LES aktif, kerusakan organ ireversibel, terapi
steroid dosis tinggi, adanya sindrom antibodi antifosfolipid, antibodi anti Ro/La,
kehamilan multiple dan usia >40 tahun.
B. Komplikasi kehamilan pasien LES
1. Komplikasi maternal : hipertensi, preeklamsia, eklamsia, kelahiran preterm,
seksio sesaria, perdarahan post partum, tromboemboli, lupus flare, sindrom
antifosfolipid, sindrom HEELP
2. Komplikasi fetal : berat bayi lahir rendah, abortus, intrauterine growth
retardation (IUGR), kematian intra uterin, lahir prematur
Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Khamasta 2006, menyatakan 65 %
pasien LES dengan kehamilan akan mencetuskan flare.(43)
Flare diartikan sebagai peristiwa yang tidak dapat diprediksi dari suatu penyakit,
setelah suatu periode remisi.(4,5,6,11,34) Identifikasi flare LES selama kehamilan
bukanlah perkara mudah karena kehamilan juga memicu trombositopenia dan
proteinuria yang menyerupai aktifitas LES. Penelitian terbaru menunjukkan flare
lebih banyak terjadi pada pasien LES dengan kehamilan dibanding tidak hamil
dan flare lebih sering terjadi pada kehamilan trimester 2, 3 dan masa nifas,
terutama pada LES aktif.(43) Salah satu cara mengukur aktivitas penyakit lupus dan
flare adalah penggunaan indeks aktivitas penyakit lupus. Indeks ini telah
21
dimodifikasi untuk menilai aktivitas LES pada kehamilan sebagai upaya
membedakan komplikasi kehamilan dengan lupus flare.(44)
LES flare saat kehamilan dapat dinilai menggunakan SLE Disease Activity Index
(SLEDAI) yang dimodifikasi untuk kehamilan yaitu SELENA (Safety of Estrogen
in Lupus), SLEDAI (SLEPDAI, systemic lupus erythematosus pregnancy disease
activity index), LAI (LAI-P, lupus activity index pregnancy) atau SLAM-R (m-
SLAM, modified systemic lupus activity measure).(6,7,34)
Tabel 7. SELENA SLEDAI(34)
22
fotosensitif, profundus/cutaneus vasculitis, nephritis, myositis, Platelet <60.000, Hb <7%
bullous lupus, ulkus nasofaring, pleuritis, atau penurunan Hb >3%
pericarditis, arthritis, demam (LES) Mendapat : double prednisone atau
Prednisone >0,5 mg/kg/day
Peningkatan dosis prednisone, tidak lebih dari Prednisone >0,5 mg/hari
>0,5 mg/kg/day
Penambahan NSAID atau plaquenil Mendapat terapi baru:Azatioprin, siklosporin,
metotrexat atau rawat inap karena LES
Peningkatan PGA 1,0, tapi tidak lebih dari 2,5 Peningkatan PGA >2,5
Resiko flare LES meningkat pada wanita dengan lupus aktif dalam kurun
waktu 6 bulan sebelum kehamilan. Mayoritas aktivitas LES pada kehamilan
tergolong ringan-sedang, 25-90% menunjukkan lupus kutaneus, 20 % arthritis,
10-40 % trombositopenia. Flare berat yang berat misalnya glomerulonefritis (4-
30%) atau lupus serebral (5-46%).
C. Pengaruh Kehamilan pada Nefritis Lupus
23
polimorfisme gen dan kerusakan plasenta.(42) Berikut adalah beberapa faktor
dalam kehamilan yang dapat memicu aktivasi atau flare pada lupus nefritis :
d. Perubahan hormonal
24
Selama kehamilan, perubahan hormonal diregulasi oleh unit feto-plasental,
estrogen, progesteron dan prolaktin meningkat sedangkan androgen
menurun. Kenaikan estrogen, prolaktin dan hormone lain saat kehamilan
terlihat pada gambar 1. Estrogen meningkatkan respon sel T dan sintesis
immunoglobulin sedangkan androgen sebaliknya. Interleukin (IL)-1, IL-2,
IL-6 dan TNF- dipengaruhi hormone seks.(10,31,38)
D. Gejala klinis nefritis lupus pada kehamilan
Banyak gejala dan tanda dari kehamilan dapat disalahartikan
sebagai tanda dari LES aktif. Gejala seperti mudah lelah, melasma, rambut
rontok, sesak nafas, artralgia dan nyeri kepala sering menyertai kehamilan
normal.(6,38)
25
perifer yang ekstrem sering terjadi pada lupus nefritis difus atau
membranosa karena proteinuria berat.(41)
E. Diagnosis nefritis lupus pada kehamilan
a. Diagnosis LES berdasarkan kriteria American College of Rheumatology
(ARA) 1997.
b. Diagnosis pasti LN ditegakkan dengan biopsi ginjal berdasarkan
klasifikasi ISN/RPS atau WHO.
c. Pemeriksaan autoantibodi(6,44,45)
26
proteinuria <3,5 gram/hari, atau dua kali lipat bila proteinuria basal > 3,5
gram/hari) disertai hematuria mikroskopik (> sel darah merah/LPB).(47,48)
27
tampak pada awal kehamilan.(26) Telah dinyatakan bahwa pathologic
hallmark adalah suatu kegagalan total atau parsial dari fase kedua invasi
trofoblas saat kehamilan 16-20 minggu kehamilan, hal ini pada kehamilan
normal bertanggung jawab dalam invasi trofoblas ke lapisan otot arteri
spiralis. Seiring dengan kemajuan kehamilan, kebutuhan metabolik
fetoplasenta makin meningkat. Bagaimanapun, karena invasi abnormal
yang luas dari plasenta, arteri spiralis tidak dapat berdilatasi untuk
mengakomodasi kebutuhan yang makin meningkat tersebut, hasil dari
disfungsi plasenta inilah yang tampak secara klinis sebagai preeklampsia.
(52)
Meskipun menarik, hipotesis ini tetap perlu ditinjau kembali.
Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi klasik
preeklampsia meliputi 3 elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan
sebagai suatu tekanan darah yang menetap 140/90 mmHg pada wanita
yang sebelumnya normotensif), onset baru proteinuria ( didefinisikan
sebagai > 300 mg/24 jam atau +2 pada urinalisis bersih tanpa infeksi
traktus urinarius), dan onset baru edema yang bermakna.(17,18)
Karakteristik histologis lesi renal pada preeklampsia adalah adanya
endoteliasis glomerulus, dimana glomerulus besar dan membengkak
dengan sel-sel endotel bervakuola. Gambaran histologis ini, berpasangan
dengan vasokonstriksi umum yang menandai preeklampsia, menyebabkan
penurunan sebesar 25-30% dari aliran plasma ginjal dan glomerular filtrasi
dibandingkan dengan kehamilan normal. Bagaimanapun, kerusakan
fungsional pada ginjal dibandingkan dengan preeklampsia secara umum
bersifat ringan dan mengalami perbaikan sempurna setelah persalinan.(20)
28
Gambar 9.Plasenta pada kehamilan normal (52)
29
Gambar 12. sFlt1 dan sEng menyebabkan
disfungsi endotel(52)
30
Membedakan preeklamsia dengan NL pada kehamilan dengan LES
cukup sulit, sebab keduanya dapat menimbulkan proteinuria, edema, dan
gagal ginjal yang cepat memburuk. Pada proteinuria yang terkait NL
biasanya ditemukan tanda aktivitas penyakit LES pada organ lain,
misalnya ulkus di mulut, arthritis, vaskulitis, ruam, limfadenopati (41).
Sedimen urin pada NL lebih sering menunjukkan sedimen urin yang aktif
yaitu didapatkan peningkatan lekosit, eritrosit, dan toraks granuler. Sifat
proteinuria pada NL biasanya lebih cepat memburuk dibandingkan
preeklamsia. Pemeriksaan komplemen dan anti-dsDNA cukup
membantu(37,41). Berikut table menunjukkan perbandingan preeklamsia
dengan NL :
Table 11. Perbandingan preeklamsia dengan LN(6)
Parameter Preeklamsia Lupus nefritis
Hipertensi (+) (+)
Proteinuria (+) (+)
Trombositopenia (+) (+)
Kreatinin
Fungsi liver Normal/ Normal
Antibody anti-dsDNA Normal
C3 dan C4 Normal/
Urinalisa Silinder eritrosit(-) Silinder eritrosit (+)
Respon terhadap (-) (+)
kortikosteroid
31
mekanisme aPL ini dalam menimbulkan kematian janin atau abortus belum
diketahui dengan pasti. Diduga aPL bereaksi terhadap 2GPI (beta 2
glikoprotein 1) yang terikat dengan trofoblas menekan produksi HCG dan
menimbulkan gangguan plasenta. Gejala yang timbul di semua cabang
pembuluh darah adalah thrombosis.(54)
Pada kehamilan terutama pasien LES harus diwaspadai adanya APS apabila :
1. Abortus berulang, 3 kali atau lebih pada awal trimester pertama atau
<10 minggu gestasi setelah menyingkirkan kemungkinan penyebab dari
anatomis, genetic dan hormonal.
2. Abortus 1 atau lebih pada usia kehamilan >10 minggu
3. Kelahiran preterm, 1 atau lebih, pada usia kehamilan <34 minggu
karena adanya preeklamsia berat atau eklamsia atau insufisiensi
plasenta yang berat.(55)
Selain abortus, aPL juga berkaitan dengan peningkatan kejadian komplikasi
obstetrik dan postnatal, termasuk preeklamsia, fetal distress, gangguan
pertumbuhan janin, partus prematurus dan kejadian trombotik pasca
persalinan.(48)
32
Gambar 15. Efek aPL pada plasenta(51)
3. Sindrom neonatal lupus eritematosus
Neonatal lupus terjadi disebabkan antibodi antiSSA/Ro dan anti SSB/La pada
ibu yang melewati placenta dan berikatan dengan jaringan fetus. Komplikasinya
adalah congenital heart block/CHB (paling sering), terjadi pada 2 % fetus dari
wanita dengan antibodi antiRo positip, angka rekurensi 16 % pada kehamilan
berikutnya. Manifestasi yang lain yaitu ruam kutaneus, sitopenia, dan manifestasi
sistemik lainnya dari LES.(6)
Pathogenesis CHB belum jelas, diduga anti SSA/Ro dan anti SSB/La
menembus plasenta pada trimester 2 dan menimbulkan jejas imunologik pada
sistem hantaran jantung. Congenital Heart Block bersifat ireversibel dan
menyebabkan mortalitas dan morbiditas, 60% memerlukan pacu jantung
permanen dan 10% kardiomiopati berat. Ekokardiografi janin harus dilakukan
pada kehamilan 16-24 minggu untuk mendeteksi kemungkinan miokarditis dan
regurgitasi.(6)
G. Penatalaksanaan nefritis lupus pada kehamilan
Prinsip terapi NL dengan kehamilan adalah
mempertahankan keselamatan ibu dan janin, mencegah
komplikasi, deteksi dini dan terapi secepatnya bila terjadi
flare.(41)
33
a. Tindakan Umum
- Cukup istirahat, batasi aktivitas yang berlebih
- Mobilisasi otot-otot penting untuk mencegah atrofi otot ekstremitas.
- Stop merokok
- Diet makanan berimbang , pada LES tidak diperlukan diet khusus.
Asupan protein dibatasi 0,6-0,8 g/kgBB/hari. Pada NL yang disertai
gejala klinis sindrom nefrotik, diperlukan pembatasan garam dapur,
tidak perlu terlalu ketat apabila sembab tidak berat. Penderita
dilarang makan ikan asin, telur asin, kecap asin atau makanan
kaleng. Untuk penderita edema anasarka dilakukan restriksi garam
ketat 10 mEq/hari
- Hindari paparan sinar matahari pada jam 10 pagi-3 sore(14).
b. Terapi farmakologi
Prinsip dasar terapi NL adalah memperbaiki fungsi ginjal dan
mempertahankan fungsi ginjal agar tidak bertambah buruk. Pemberian
terapi berdasarkan klasifikasi terapi NL pada umumnya tetapi perlu
diperhatikan efek samping obat terhadap kelangsungan kehamilan serta
kondisi janin.
1. Kortikosteroid
Steroid dengan kerja (efek) cepat dan waktu paruh biologik pendek
(<12 jam) misalnya kortison dan hidrokortison biasanya mempunyai
efek farmakologik kurang cepat, sering menimbulkan retensi garam dan
air. Steroid dengan waktu paruh biologik panjang, biasanya mempunyai
efek farmakologik lebih poten (kuat), misalnya betametason dan
deksametason. Steroid kerja medium dengan waktu paruh biologik
antara 12-36 jam sangat ideal untuk pengobatan alternating (alternate-
day therapy) yang mempunyai banyak keuntungan untuk jangka
panjang, misalnya prednison, prednisolon, metilprednisolon dan
triamnisolon. Golongan yang terakhir ini relatif tidak menyebabkan
retensi natrium.(13) Prednisone dan metilprednisolon sangat kecil
menembus sawar plasenta meskipun diberikan dosis besar pada ibu,
sehingga aman diberikan pada ibu hamil, golongan deksametason dan
34
betametason sebaiknya tidak digunakan karena dapat menembus
plasenta jauh lebih banyak dan dan hanya digunakan untuk mengobati
kelainan pada fetus. Kortikosteroid dosis tinggi dapat menimbulkan
ketuban pecah dini dan IUGR (intra uterine growth retardation). Dosis
< 15 mg prednisolon/hari tidak terbukti memiliki efek samping pada
janin. Prednisone 0,5-1 mg/kg/hari diberikan pada NL yang disertai
proteinuria >1 g/24 jam. Penyesuaian dosis kortikosteroid pada
kehamilan tidak diperlukan. Terapi diberikan selama 6-12 minggu
kemudian diturunkan perlahan-lahan (5-10 mg) tiap 1-3 minggu dan
disesuaikan aktivitas klinik penyakit.(5,15) Pada nefritis flare diberikan
metilprednisolon 1000 mg/hari, intravena selama 3 hari diikuti
prednisone oral 0,5-1,0 mg/kgBB/hari. Belum ada laporan mengenai
efek samping pemberian dosis bolus kortikosteroid, tetapi para ahli
meyakini metilprednisolon dosis tinggi intravena dapat mencapai fetus.
(5,6)
2. Siklosporin A
Siklosforin adalah imunosupresif yang paling aman digunakan pada
kehamilan. Terbukti tidak teratogenik pada binatang, juga tidak ada
peningkatan resiko anomali kongenital pada manusia. Studi prospektif
pada anak dari ibu yang diterapi dengan siklosporin menunjukkan tidak
ada efek nefrotoksik. Siklosporin diberikan pada NL kelas III dan IV.
Tidak dibutuhkan penyesuaian dosis pada keadaan hamil. Siklosporin
dapat diberikan bersama dengan prednisone. Dosis awal 5 mg/kgBB/hari,
setelah 6 bulan diturunkan 2,5 mg/kgBB/hari, selama 2 tahun.(6,41)
3. Azatioprin
Azatioprin banyak digunakan untuk transplantasi ginjal dan dilaporkan
aman untuk kehamilan dengan lupus. Azatioprin bersifat teratogenik pada
binatang, tetapi pada manusia dilaporkan tidak menimbulkan anomali
congenital yang berat, kecuali sangat jarang dapat menimbulkan
35
polidaktili dan pes ekuinovarus pada janin.(6) Beberapa klinisi menyatakan
azatioprin menyebabkan supresi sumsum tulang pada ibu dan janin.
Dilaporkan pemberian azatioprin bersama prednisone dapat menimbulkan
IUGR, BBL (berat badan lahir) rendah dan prematuritas pada pasien
cangkok ginjal. Sebaliknya banyak ibu hamil dengan LES yang sukses
dengan pemberian azatioprin bersama kortikosteroid. Pada kehamilan,
azatioprin diberikan pada kasus flare yang ringan serta NL kelas III dan
IV. Dosis azatioprin 2 mg/kgBB/hari dikombinasikan dengan prednison
0,5 mg/kg/hari. Dosis prednison kemudian diturunkan perlahan sampai
0,25 mg/kg/hari. Pemberian azatioprin selama 6 bulan. (23,24)
4. Siklofosfamid
Siklofosfamid merupakan salah satu alkylating agent dan golongan
imunosupresif yang sangat poten. Dalam tubuh dimetabolisme oleh sel
hati menjadi beberapa metabolit aktif dan dieliminasi melalui ginjal.
Sebaiknya tidak digunakan pada kehamilan karena bersifat teratogenik.
Siklofosfamid juga menimbulkan resiko kanker yang meningkat pada
janin yang terpapar, serta menyebabkan infertilitas (ovarian failure)
terutama pada dosis > 200 mg/kgBB. Wanita yang mendapat terapi
siklofosfamid dianjurkan untuk tidak hamil sampai dengan 1 tahun setelah
terapi.(6)
5. Mofetil mikofenolat
Pada terapi lupus nefritis, mofetil mikofenolat (MMF) menunjukkan hasil
yang setara dengan siklofosfamid. Belum ada laporan yang luas dari
penggunaan MMF pada ibu hamil dengan lupus. Tetapi pada beberapa
kasu didapatkan terjadinya abortus dan malformasi congenital, sehingga
tidak disarankan penggunaanya pada kehamilan. Dalam daftar Food and
Drug of America (FDA), MMF masuk dalam kategori D (terbukti
beresiko) untuk kehamilan. Dosis MMF pada lupus nefritis 0,5-2
gram/hari, khususnya bila pengobatan dengan siklofosfamid tidak berhasil.
36
Diberikan bersama dengan prednisone 0,5 mg/kgBB/hari, kemudian
diturunkan perlahan. Lama pengobatan bisa mencapai 2 tahun.(6,41)
6. Klorokuin
7. Aspirin
` Aspirin digunakan untuk mencegah agregasi trombosit dan deposit
fibrin atau thrombus. Aspirin dalam dosis besar (>3 gram) dapat
memperpanjang waktu kehamilan maupun kelahiran, menimbulkan
oligohidramnion, penutupan premature duktus arteriosus, hipertensi
pulmonal, dan perdarahan postpartum. Walaupun demikian aspirin tidak
menyebabkan anomali congenital. plasenta serta toksisitasnya, walaupun
tidak terbukti teratogenik.(6) OAINS (obat anti inflamasi non steroid) dapat
bersifat teratogenik, mempengaruhi kontraksi uterus, mengganggu fungsi
Sebaiknya aspirin dan OAINS dosis tinggi dihindari pada ibu hamil
mg) dapat diberikan pada ibu hamil dengan lupus, mulai minggu ke-10
8. Antikoagulan
37
Antikoagulan dipertimbangkan bila didapatkan sindrom antifosfolipid
untuk mencegah thrombosis. Heparin lebih baik dibanding warfarin
karena heparin terfraksinasi dan berat molekulnya rendah tidak melewati
plasenta sehingga aman digunakan.(6)
9. Hemodialisa
Pasien dengan kadar serum kreatinin lebih dari 3 mg/dl, untuk jangka
panjang tidak dianjurkan pemberian obat sitotoksik. Pasien ini
memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal.(6)
H. Konseling pra-kehamilan
Salah satu hal yang penting dalam penatalaksanaan pasien lupus yang
merencanakan kehamilan adalah konseling pra-kehamilan, meliputi
pemberitahuan /informasi tentang resiko kehamilan, efek samping pada ibu dan
bayi, serta perawatan saat kehamilan. Pada saat ini dilakukan pemeriksaan
autoantibody khususnya anti-phospholipid antibodies (aPL), anti-cardiolipin
antibodies (aCL), lupus anticoagulant (LA), anti-Ro dan anti-La antibodi. Juga
derajat aktivitas lupus dan gangguan organ. Wanita dengan lupus aktif harus
menunda kehamilan sampai fase tenang, apalagi bila didapatkan keterlibatan
renal, jantung dan neurologis.(41)
Kontraindikasi kehamilan pada wanita dengan lupus(13,22):
- Hipertensi pulmonal berat ( estimated systolic pulmonary arterial
pressure >50 mmHg atau gejala (+))
- Severe restrictive lung disease (forced vital capacity < 1 L)
- Gagal jantung
- Gagal ginjal progresif (kreatinin >2,8 mg/dL)
- Menderita preeklamsia berat atau sindrom HELLP sebelumnya
- Stroke dalam kurun waktu 6 bulan sebelumnya
- Lupus flare berat dalam kurun waktu 6 bulan sebelumnya
- Hipertensi berat
- Sedang dalam terapi obat-obatan teratogenik atau yang dapat
menyebabkan abortus seperti : siklofosfamid atau metotrexate
- Penyakit sistem saraf sentral yang berat
Pada pasien lupus nefritis yang telah diberi terapi kemudian hamil maka
pertama kali yang harus diperhatikan adalah obat-obatan yang sedang
dipakai saat ini. Tidak ada peraturan mutlak dalam penghentian terapi pada
38
lupus. Saat mempertimbangkan penghentian atau penurunan dosis dari
terapi, harus diketahui persistensi obat dalam tubuh. Hidroksikloroquin
berada dalam tubuh selama berbulan-bulan. Idealnya, hidroksikloroquin
harus dihentikan 6 bulan sebelum kehamilan (waktu yang diperlukan
untuk ekskresi total obat dari tubuh 3 bulan dan observasi eksaserbasi
penyakit 3 bulan berikutnya).(6,41,49)
Tabel 12. Terapi imunosupresan pada lupus nefritis dengan
kehamilan(42,60)
Terapi efek samping FDA pra hamil hamil
prednison supresi adrenal fetal, katarak B teruskan teruskan
kongenital, imunosupresi fetal
15 minggu postpartum, infeksi
CMV neonatal, lahir preterm,
hipertensi maternal, gestasional
DM
azatioprin IUGR, supresi sutul fetal, D teruskan teruskan
imunosupresi fetal
siklosporin lahir preterm, berat lahir rendah C teruskan teruskan
siklofosfamid teratogen, cacat lahir, IUGR, D stop kontraindikasi
keterlambatan perkembangan,
IUFD
mikofenolat mofetil abortus, cacat lahir C hati-hati kontraindikasi
metotrexate abortus, anomali kongenital X stop kontraindikasi
hidroksiklorokuin toksik retina atau telinga pada C teruskan teruskan
>6 bulan
IVIG belum ditemukan efek samping ? teruskan aman
TNF- antagonis belum ditemukan efek samping ? hati-hati stop
I. Follow Up
Respon klinis terhadap terapi dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi
parsial dan resisten (7) :
a. Remisi lengkap
proteinuria 0,2 g/24 jam, urin sedimen inaktif (<5 sel darah
merah/LPB, <5 sel darah putih/LPB, tidak ada silinder seluler),
GFR >60 ml/menit/1,73m2
b. Remisi parsial
proteinuria 0,2-1 mg/24 jam, GFR >60 ml/menit/1,73 m2
39
c. Resisten
klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau
perbaikan setelah pengobatan 6 bulan. (41)
40
adalah : LES flare yang berat yang mengancam nyawa ibu, gagal terapi,
psikologis, sosial, fetal distres, eklamsia progresif, sindrom HELLP, payah
jantung berat dan trombositopenia berat.(56) Usia kehamilan yang optimal
untuk melakukan seksio cesaria adalah 32-34 minggu, untuk menghindari
terjadinya gangguan pertumbuhan janin dalam kandungan akibat gangguan
sirkulasi uteroplasental. Juga jika terjadi proteinuria dan azotemia.
Penggunaan steroid sangat membantu dalam proses pematangan paru-paru
janin, sehingga diperoleh hasil luaran yang baik. (41)
K. Kontrasepsi
Estrogen dosis rendah dapat diberikan pada pasien dengan penyakit
inaktif. Progesterone dapat digunakan jika estrogen merupakan kontraindikasi.
Penggunaan spiral atau IUD dapat meningkatkan resiko infeksi. Paling aman
adalah kontrasepsi mekanik yang berupa kondom dan diafragma.(6)
BAB V
RINGKASAN
41
tanda dari kehamilan dapat disalahartikan sebagai tanda dari LES aktif. Gejala
seperti mudah lelah, melasma, rambut rontok, sesak nafas, artralgia dan nyeri
kepala sering menyertai kehamilan normal. Outcome kehamilan dipengaruhi
beberapa faktor : disfungsi plasenta, adanya antibodi antifosfolipid, aktivitas LES
sebelum konsepsi, berat ringannya gangguan ginjal dan onset LES saat
kehamilan.
Lupus nefritis meningkatkan resiko kematian janin intrauterin,
pertumbuhan janin terhambat, kelahiran prematur dan preeklampsia terutama jika
sebelumnya telah terdapat hipertensi dan proteinuria. Pasien dengan riwayat lupus
nefritis kemudian hamil, resiko kehilangan janin sebesar 8-36%. Pada pasien
dengan lupus nefritis aktif saat kehamilan, resiko kehilangan janin sebesar 36-
52%. Pada pasien dengan riwayat lupus nefritis tetapi kreatinin dalam batas
normal dan proteinuria minimal saat kehamilan, resiko kehilangan janin 11-13%.
Prinsip dasar terapi NL adalah memperbaiki fungsi ginjal dan
mempertahankan fungsi ginjal agar tidak bertambah buruk. Pemberian terapi
berdasarkan klasifikasi terapi NL pada umumnya tetapi perlu diperhatikan efek
samping obat terhadap kelangsungan kehamilan serta kondisi janin. Terminasi
kehamilan dengan segera, terbukti tidak memperbaiki kondisi lupus flare. Yang
harus segera dilakukan adalah terapi agresif untuk flare yang berat, dimana hal ini
dapat menimbulkan konsekuensi sitotoksik pada janin.
.
DAFTAR PUSTAKA
42
4. Cook H.T, Lightstone L. 2008. Systemic Lupus Erythematosus : Renal
Involvement. In: Mason J, Charles P (Eds). Handbook of Systemic
Autoimun Disease (Volume 7) : The Kidney in Systemic Autoimune
Disease. P:311-323.
5. Bawazier L.A, Dharmeizar, Markum H.M.S. 2007. Nefritis Lupus. Dalam
: Sudoyo A.W. Setiyohadi B. Alwi I. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi IV. Hal:537-545.
6. Yuliasih. 2007. Kehamilan pada Lupus Eritematosus Sistemik. In: Sudoyo
A.W. Setiyohadi B. Alwi I. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi IV. hal : 1222-1226.
7. Imbasciati E. Tincani A. Gregorini G. Doria A. Moroni G. Cabiddu G. et
al. 2009. Pregnancy in women with pre-existing lupus nephritis: predictors
of fetal and maternal outcome. Nephrol Dial Transplant. 24:519-525.
8. August P. 2005. Kidney Disease and Hypertension in Pregnancy. In : Berl
T, Bonventre JV, eds.Atlas of Diseases of The Kidney. P:112-32.
9. Krane NK dan Hamrahian M. Pregnancy: Kidney Diseases and
Hypertension. American Journal of Kidney Diseases, vol.49, No. 2
(February), 2007: pp 336-345.
10. Clowse M.E.B. 2007. Lupus Activity in Pregnancy. Rheum Dis Clin North
Am. 33(2):237-242.
11. Lockshin M.D, Sammaritano L.R, Schwartzman S. 2004. Lupus
Pregnancy. Lahita R.G (ed). In: Systemic Lupus Erythematosus. Elsevier.
P:659-754
12. Baylis C and Davison JM. 2003. Renal Phisiology in Normal Pregnancy.
In: Johnson RJ, Feehally J (Eds). Comprehensive Clinical Nephrology. 2nd
Edition. Spain. Harcourt Publishers Limited; p:559-565.
13. Ocviyanti D. 2008. Fisiologi Kehamilan, Persalinan dan Laktasi. Dalam:
Laksmi P.W, Mansjoer A, Alwi I, Setiati S, Ranitya R (eds). Penyakit-
penyakit pada Kehamilan : Peran Seorang Internis. Penerbit FKUI.
Jakarta. Hal:1-18.
14. Sukmana N, Salim S. 2008. Penyakit Lupus dalam Kehamilan. Dalam:
Laksmi P.W, Mansjoer A, Alwi I, Setiati S, Ranitya R (eds). Penyakit-
penyakit pada Kehamilan : Peran Seorang Internis. Penerbit FKUI.
Jakarta. Hal:263-273.
15. Verthelyi D. 2001. Sex hormones as immunomodulators in health and
disease. International Immunopharmacology. Elsevier. 983-993.
16. Zen M, Ghirardello A, Iaccarino L, Tonon M, Campana C, Arienti S,
Rampudda M, Canova M, Doria A. 2010. Hormones, immune response,
and pregnancy in healthy women and SLE patients. Swiss Med Wkly.
140(13-14):187-201.
17. Krane NK dan Hamrahian M. 2007. Pregnancy: Kidney Diseases and
Hypertension. American Journal of Kidney Diseases, vol.49, No. 2
(February). p: 336-345.
18. August P, Katz AI, Lindheimer MD. 2000. The Patient with kidney disease
and hypertension in pregnancy. In: Schrier RW (ed). Manual of
Nephrology, 5th ed, Philadelphia : Lippincott Williams& Wilkins,. p.219-20
43
19. Gallery EDM. 2000. Renal physiology in normal pregnancy. In: Johnson
RJ, Feehaely J (eds). Comprehensive Clinical Nephrology, 1st ed, London :
Mosby, p.46
20. Paller M.S, Connaire J.J. 2003. The Kidney and Hypertension in
Pregnancy. In: Brenner B.M, Rector F.C (eds). The Kidney 2nd edition.
Edinburg, Mosby. P: 1659-1687
21. Borchers A.T, Naguwa S.M, Keen C.L, Gershwin M.E. 2010. The
implications of autoimmunity and pregnancy. Journal of Autoimmunity.
Elsevier. 34:287-299.
22. Hahn B.H. 2008. Systemic Lupus Erythematosus. In: Fauci AS, Kasper
DL, Braunwald E, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. (eds.) Harrinsons
Principles of Internal Medicine. 17th ed. Mc Graw-Hill. New York. p:
1123-1145
23. Alarcon G.S, Alen J.C, Mc Gwin G, Uribe A.G, Toloza S.M.A, Roseman
J.M, et al. 2006. Systemic Lupus Erythematosus in a multiethnic cohort :
LUMINA XXXV. Predictive factors of high disease activity over time.
Ann Rheum Dis. 65:1168-1174.
24. Clatworthy M.R, Smith K.G. 2008. Systemic Lupus Erythematosus :
Mechanisms. In: Mason J, Charles P (Eds). Handbook of Systemic
Autoimun Disease (Volume 7) : The Kidney in Systemic Autoimune
Disease. P:285-310.
25. Wenner M.H, Mannik M. 2004. Immune Complexes. Lahita R.G (ed). In:
Systemic Lupus Erythematosus. Elsevier. P:377-399.
27. Crispin J.C, Liossis S.N, Kis-Toth K, Lieberman L.A, Kyttaris V.C, Juang
Y.T et al. 2010. Pathogenesis of Human Systemic Lupus Erythematosus :
recent advances. Trends Mol Med. 16(2):45-57.
28. Toong C, Adelstein S, Phan T.G. 2010. Clearing the complexity : immune
complexes and their treatment in lupus nephritis. IJNRD. 14:17-28.
29. Rus V, Maury EE, Hochberg MC. 2007. Epidemiology of Systemic Lupus
Erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH, eds. Dubois Lupus
Erythematosus. 7th ed. Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins;
p:34-44.
30. Lee H.M, Sugino H, Nishimoto N. 2010. Cytokine Network in Systemic
Lupus Erythematosus. Journal of Biomedicine and Biotechnology.
Hindawi publishing Corporation. 676284:1-5
31. Brady H.R, Brenner B.M. 2008. Glomerular Disease. In: Fauci AS, Kasper
DL, Braunwald E, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. (eds.) Harrinsons
Principles of Internal Medicine. 17th ed. Mc Graw-Hill. New York. p: 497-
503
32. Sukandar E. 2006. Nefropati Lupus. Dalam : Nefrologi Klinik. Edisi III.
PII FK UNPAD Bandung. Hal: 199-215.
44
33. Dooley M.A. 2007. Clinical and Laboratory Features of Lupus Nephritis.
In: Wallace DJ, Hahn BH, eds. Dubois Lupus Erythematosus. 7th ed.
Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins; p:1112-1130
34. Apel G.B, Radhakrishnan J, Dagati V. 2008. Systemic Lupus
Erythematosus. In: Brenner B.M, Rector F.C (eds). The Kidney, 8th ed.
Elsevier. P:1067-1079.
38. Brent LH, Hamed FA. 2008. Lupus Nephritis. In: James K, Blom, eds.
Systemic Lupus Erythematosus. 12th ed. Washington, PA: Lippincott
Williams and Wilkins. p: 849-67.
39. Packham DK, Fairley KF, Smith PK. Pregnancy with Pre-Existing Renal
Disease. In: Johnson RJ, Feehally J (Eds). Comprehensive Clinical
Nephrology. 2nd Edition. Spain. Harcourt Publishers Limited; 2003. P583-
594.
40. Cunningham FG, Grant NF, Leveno KJ et al (eds). 2001. Renal and
urinary tract disorders. In: Williams Obstetrics, 21st ed, New York :
McGraw Hill, p. 1253-62.
41. Clowse M.E.B. 2007. Lupus Activity in Pregnancy. Rheum Dis Clin North
Am. 33(2):237
42. Karpouzas G.A, Kitridou R.C. 2007. The Mother in Systemic Lupus
Erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH, eds. Dubois Lupus
Erythematosus. 7th ed. Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins;
p:992-1028
43. Clowse M.E, Jamison M, Myers E, James A.H. 2008. A national study of
the complications of Lupus in pregnancy. Am J Obstet Gynecol.
199(2):127.
44. Mackillop L.H, Germain S.J, Piercy C.N. 2007. Pregnancy Plus Systemic
Lupus Erythematosus. BMJ. 335:933-6.
45. Ballow J.E, Boumpas D.T, Austin H.A. 2004. Systemic Lupus
Erythematosus and The Kidney. Lahita R.G (ed). In: Systemic Lupus
Erythematosus. Elsevier. P:878-912
46. Lahita R.G. 2004. The Clinical Presentation of Systemic Lupus
Erythematosus. Lahita R.G (ed). In: Systemic Lupus Erythematosus.
Elsevier. P:435-448
45
47. Dhar J.P, Sokol R.J. 2006. Lupus and Pregnancy: Complex Yet
Manageable : review. Clinical Medicine & Research. 4:310-321.
48. Roy J.S, Das P.P, Datta A. 2010. SLE in pregnancy. BSMMU J. 3(1):54-59
49. Georgiou P.E, Politi E.N, Katsimbri P, Sakka V. Drosos A.A. 2000.
Outcome of lupus pregnancy: a controlled study. British Society for
Rheumatology. 39:1014-1019
50. Brunner HI, Gladman DD, Ibaez D, Urowitz MD, Silverman ED.
Difference in disease features between childhood-onset and adult-onset
systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum. Feb 2008;58(2):556-62.
51. Belmont MH. Lupus Clinical Overview. James K, Blaire M, eds. In:
Nephritis Lupus. 5th ed. New York, PA: McShane; 2006: 123-58.
52. Dharmeizar. 2009. Diagnostik dan Pengobatan Nefritis Lupus. In: Naskah
Lengkap Update in Nephrology for Better Renal Care. PERNEFRI. Hal:
205-213
53. Cameron J.S. 1999. Lupus Nephritis. J Am Soc Nephrol. 10:413-424.
54. Gordon P, Beedham T, Khamasta M, DCruz D. 2004. Systemic lupus
erythematosus in pregnancy: review. The Obstetrician & Gynaecologist.
6:80-87.
55. Alice Wang, Sarosh Rana, S. Ananth Karumanchi. 2009. Preeclampsia :
The Role of Angiogenic Factors in Its Pathogenesis. Physiology. p: 147-58
56. Natejumnong C.N, Ruangkanchanasetr P, Aimpun P, Supraporn T. 2006.
Significance of Antiphospholipid Antibodies in Lupus Nephritis. J ed
Assoc Thai. 89(Suppl 2): 121-8
57. Meroni P.G, Borghi M.O, Raschi E, Tedesso F. 2011. Pathogenesis of
antiphospholipid syndrome: understanding the antibodies. Nature Reviews
Rheumatology. Volume 7:330-339.
58. Salmon J.E, Girardi G. 2008. Antiphospholipid antibodies and pregnancy
loss: a disorder of inflammation. J Reprod immunol. 77(1):51-56.
59. Irastorza G.R, Khamashta M.A. 2009. Managing lupus patients during
pregnancy. Best Practice & research Clinical Rheumatology. 23:575-582.
60. Dhar J.P, Sokol R.J.2006. Lupus and Pregnacy : Complex Yet Manageable.
Clinical Medicine & Research. Volume 4:4:310-321.
46