Anda di halaman 1dari 43

Mengenal Sindroma Mayer-Rokitansky-Küster-Hauser dan penatalaksananya

Pendahuluan

Sindrom MRKH juga disebut sebagai agenesis Müllerian, adalah penyebab kedua
paling umum amenore primer. Kelainan ini termasuk kategori malformasi uterus yang
paling parah (kelas 5) dari klasifikasi ESHRE / ESGE. Hal ini ditandai dengan tidak
adanya rahim rahim, tuba fallopi, serviks, dan bagian vagina bagian atas pada wanita
46, XX yang tidak normal secara fenotip. Saluran telur biasanya normal, namun
mereka mungkin mengalami hipoplasia / aplastik atau cacat, struktur dan fungsi
ovarium juga biasanya normal, walaupun disgenesis gonad dan agenesis ovarium
telah dijelaskan dalam beberapa kasus. Sindroma MRKH memiliki insidensi sekitar 1
dari 4.500-5.000 pada perempuan baru lahir dan umumnya dibagi menjadi dua
subtipe: MRKH tipe 1, dimana hanya vagina bagian atas, serviks dan rahim terkena,
dan MRKH tipe 2 yang terkait dengan malformasi tambahan yang umumnya
menyerang sistem ginjal dan kerangka, dan juga mencakup MURCS (Renal Cervical
Somite) yang ditandai dengan defek serviks-toraks.1,2,3

Pembentukan alat genital dimulai pada minggu ke-5 dan 6, yaitu di lateral urogenital
ridge, di daerah kranial, timbul saluran paramesonefrik (muller duct) kanan kiri yang
tembus terus ke arah bawah lateral dari saluran wolf (saluran mesonefrik) dan pada
suatu tempat di daerah distal, saluran muller ini masuk ke dalam dan menyilang
saluran mesonefrik di anteriornya. Kemudian pada bagian distal bersatu atau berfusi,
dan akhirnya menyentuh sinus urogenitalis. Bagian bawah saluran muller yang telah
berfusi kemudian mengalami rekanalisasi sehingga terbentuklah vagina, serviks dan
uterus. Sedangkan dua saluran yang tidak berfusi pada bagian proksimal akan
berkembang menjadi tuba falopii. Fusi kedua saluran muller tersebut terjadi pada
minggu ke-7 akan tetapi belum sempurna sampai minggu ke-12. Pada titik pertemuan
saluran muller bagian bawah dengan sinus urogenitalis disebut tuberkel muller, hal ini
akan menyebabkan terjadinya proliferasi dari sinus urogenitalis ke arah atas dan
kemudian terjadi rekanalisasi bersamaan dengan rekanalisasi saluran muller sehingga
terbentuk vagina bagian distal. Sebagian sinus urogenitalis yang terletak pada anterior
tuberkel muller akan menyempit dan membentuk uretra, sedangkan bagian bawah
terbuka lebar akan menjadi vestibulum vulva dengan uretra dan vagina terbuka di
dalamnya.4,5
Jika uterus dan vagina tidak terbentuk, maka keluhan utamanya adalah amenore
primer dan nyeri saat berhubungan seksual sementara fungsi ovarium normal,
perkembangan fisik dan penampilan terlihat normal. Individu dengan memiliki
perkembangan ovarium, fungsi endokrin, dan eksternal genitalia yang normal. Namun
pada pemeriksaan fisik didapatkan aplasia uterus dan 2/3 proksimal vagina. Individu
ini juga memiliki karyotype genotipe yang normal yaitu 46,XX.6 Mutasi gen WNT4
diduga dapat menyebabkan MRKH sindrom. Gen WNT4 ini berperan terhadap
regulasi pembentukan duktus mulleri dan mengkontrol steroidogenesis pada
ovarium.7

Untuk menegakkan diagnosa Sindroma MRKH tidak sulit, namun memerlukan biaya
mahal karena memerlukan pemeriksaan kromosom, endokrinologi, dan radiologi
hingga laparoskopi diagnostik. Hal ini merupakan kendala bagi penderita yang tidak
mampu. Penegakan diagnosa pada masa bayi atau anak sangat sulit. Sedangkan fusi
vertebra cervical dari pemeriksaan radiologi. Penanganan penderita dengan MRKH
dapat dilakukan dengan cara memperbaiki fungsi seksualnya dengan cara melakukan
rekontruksi vagina (vaginoplasti). Perbaikan ini perlu dilakukan bila penderita secara
fisiologis menerima keadaannya. Vaginoplasti dikerjakan bila penderita sudah matang
kejiwaannya dan ciri kelamin sekunder sudah nampak.8
NJAUAN PUSTAKA

Definisi

Sindrom mayer rokitanski kuster hauser (MRKH) adalah

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser (MRKH) mengacu pada aplasia
kongenital atau hipoplasia parah pada struktur yang berasal dari saluran mullerian,
termasuk vagina bagian atas, rahim, dan tuba fallopi. Diperkirakan terjadi pada satu
dari 4.000 sampai 5.000 kelahiran. Kelainan perkembangan beberapa struktur ini
dapat ditemukan pada entitas lain (yaitu organ tubuh lain), namun mereka memiliki
peran sentral pada MRKH. Meskipun terdapat penjelasan yang masuk akal terhadap
temuan klasik pada rahim dan vagina yang tidak sempurna atau tidak ada pada
individu dengan kariotipe XX yang mungkin aktivasi zat penghambat mullerian yang
abnormal, yang akan lebih kondusif bagi penghambatan pengembangan struktur
paramesonefrik pada wanita. Namun belum ada bukti molekuler sejauh ini.1

Ada beberapa gen yang terlibat dalam perkembangan normal struktur mullerian,
ginjal, dan tulang, namun dua kelompok tampaknya merupakan kandidat terkuat: gen
HOXA dan gen WNT4. Karena HOXA10 mewakili daerah rahim yang sedang
berkembang, HOXA11 segmen rahim bawah dan serviks, dan HOXA13 vagina,
secara biologis masuk akal bahwa ekspresi gen yang berubah ini akan menghasilkan
anomali yang ditemukan pada MRKH. Menariknya, gen HOX juga dikaitkan dengan
perkembangan normal ginjal, tulang, dan struktur vaskular, yang akan memperkuat
hipotesis disregulasi perkembangan gen yang terlibat dalam asal embrio dari saluran
reproduksi wanita.1-3

Karena kesulitan dalam mengklasifikasi berbagai presentasi klinis, beberapa penulis


telah mengusulkan sistem yang mempengaruhi korelasi abnormalitas embriologis atau
predominan terhadap temuan klinis tertentu. Secara umum, diterima adanya bentuk
tipikal (tuba fallopi, ovarium, dan sistem ginjal yang biasanya berkembang), bentuk
atipikal (dengan malformasi pada sistem ovarium atau ginjal), dan asosiasi MURCS
(malformasi mullerian, renal, dan cervico thoracical somite). Yang terakhir mengacu
pada yang terkait anomali pada sistem ginjal dan kerangka aksial, walaupun anomali
vaskular juga telah dijelaskan.1

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Sindrom Mayer-Rokitansky-Küster-Hauser (MRKH)

2.1.1 Definisi

Sindrom Mayer-Rokitansky-Küster-Hauser (MRKH) ditandai oleh perkembangan


fisiologis dari karakter seksual sekunder dan oleh kariotipe wanita 46 XX yang
normal, namun dengan aplasia kongenital rahim dan bagian superior 2/3 vagina
bagian atas. Secara skematis, kita dapat membedakan antara sindrom yang sederhana,
tipe pertama (I), dan sindrom kompleks, tipe kedua (II). Pada tipe kedua, malformasi
terkait lainnya ditemukan pada aplasia duktus Müllerian Displasia Ginjal dan anomali
Somite Serviks (MURCS) dengan agenesis unilateral ginjal, ektopia ginjal, atau ginjal
sepatu kuda,2 Perubahan skeletal dengan alasan tertentu pada anomali vertebralis
dengan sindrom Klippel-Feil, vertebra meleleh, dan skoliosis; anomali sistem
pendengaran; hanya dalam beberapa kasus, cacat jantung dan syndactyly atau
polydactyly terkait dengannya. Menurut pengalaman Pizzo, dkk. 4 kasus sindrom
MRKH, dimana 3 kasus tidak memiliki kelainan rangka dan saluran kemih, dan satu
kasus terkait dengan tidak adanya ginjal kanan dan ektopia dari ginjak kiri. Beberapa
studi mengasumsikan dua sindrom berbeda yang merupakan bentuk terisolasi dari
agenesis uterus dan vagina kongenital dan kondisi yang lebih umum, di mana
agenesis rahim dan vagina merupakan fitur penting dan spesifik dalam sindrom yang
lebih kompleks. Selain itu, kelompok atipikal dan akronim lainnya menunjukkan
asosiasi malformasi lainnya, karena genital-renal-ear-syndrome (GRES) dapat
diperhitungkan.5

2.1.2 Epidemiologi

Meskipun sindrom Rokitansky atau sindrom MRKH (Mayer-Rokitansky-Küster-


Hauser) telah lama dianggap sebagai anomali sporadis, MRKH (Mayer-Rokitansky-
Küster-Hauser) merupakan suatu kondisi klinis yang banyak terbukti dengan kejadian
satu dari 4.500 wanita. Kelainan kongenital vagina dan bagian rahim bagian atas
adalah ciri utama penyakit ini, namun sering dikaitkan dengan agenesis unilateral
ginjal atau / dan malformasi skeletal. Tipe I (atau tipe terisolasi) yang ditandai oleh
aplasia vagina-rahim secara statistik lebih jarang daripada tipe kompleks, dan tidak
memiliki predisposisi rasial. Namun, ini adalah kelainan kongenital, yang tidak dapat
didiagnosis hingga masa remaja atau pada awal masa dewasa. Selain itu, sebuah studi
yang dilakukan oleh Oppelt dkk. Pada tahun 2006, telah melihat bentuk khas dari
47% kasus, bentuk atipikal dalam 21% kasus, dan bentuk MURCS dalam 32% kasus;
Dari sini, seseorang dapat menyimpulkan bahwa malformasi terkait sangat sering
terjadi, dan ini mewakili lebih dari 1/3 kasus.5

2.1.3 Embriologi

Malformasi pada fase embrionik adalah anomali khas dari periode embriogenesis,
yaitu pada delapan minggu pertama perkembangan. Secara konvensional,
embriogenesis dibagi menjadi dua tahap: blastogenesis dan organogenesis. Selama
blastogenesis, pada awal 28 hari perkembangan, domain ekspresi genetika
berpengaruh secara global terhadap perkembangan semua bagian embrio. Sifat
perkembangan awal yang terintegrasi dan saling tergantung dapat berkontribusi untuk
menjelaskan cacat yang muncul pada fase ini, yang biasanya sangat serius dan kadang
mematikan. Fase embriogenesis, dimulai pada hari ke 29 sampai 56 perkembangan
disebut sebagai organogenesis, karena selama periode ini organ mulai berkembang.

Cacat yang didapat selama organogenesis biasanya lebih terbatas daripada


blastogenesis dan umumnya hanya mempengaruhi satu organ tunggal tanpa
mengganggu kelangsungan hidup organisme yang sedang berkembang. Dikatakan
bahwa tampaknya penting untuk mempertimbangkan asal embriologis berbagai dalam
sistem genitourinari, untuk memahami patogenesis malformasi genital. Sekitar
minggu kelima kehamilan, duktus Müllerian (atau paramesonephric ducts) muncul
sebagai struktur yang berkembang dan dengan cara yang berbeda tergantung pada
bagian yang dipertimbangkan. Ujung-ujung saluran kaudal ditakdirkan untuk
bergabung dan membentuk bagian 2/3 superior vagina dan serviks uterus yang lebih
tinggi, bagian tengah luruh dan menciptakan tubuh rahim, sementara bagian atas
mempertahankan bentuk mereka sendiri, kemudian membuka rongga coelomic
(selanjutnya rongga peritoneal), membuat saluran tuba. Pada periode yang sama,
sistem ginjal berkembang melalui pertumbuhan sketsa uretra, yang berasal dari duktus
Wolff (saluran mesonephric) di dalam mesenkim metanefros.

Pada saat yang sama, migrasi sel germinal primordial dari kantung kuning
telur mengarah pada pembentukan ovarium yang timbul dari mesenkim dan dari epitel
puncak genital mesoderm perantara, dengan proses organogenetik yang berbeda
dengan mesonefros; Oleh karena itu, anomali saluran Müllerian tidak terkait,
umumnya, dengan anomali perkembangan ovarium. Sindroma MRKH, yang
mewakili 5-10% anomali genital, dapat dianggap sebagai akibat dari perkembangan
yang gagal antara minggu kelima dan minggu keenam kehamilan dan peleburan
konsekuen pada garis median saluran Müllerian, bahwa dalam kondisi ini adalah
hanya terkait dengan ligamen mesonephric kaudal, ditakdirkan untuk membuat
ligamen bundar. Bundel dorsal halus pada otot kandung kemih dan vagina rudimental
secara teratur dibentuk, karena timbulnya masing-masing dari duktus Wolff dan dari
duktus Gartner. Oleh karena itu, agenesis atau ektopia ginjal umumnya dihubungkan
dengan perubahan ini.5
Gambar 1. embriologi dari genetalia laki-laki dan perempuan

Setelah klasifikasi malformasi rahim yang diadopsi oleh American Fertility


Society (Gambar 2), sindrom MRKH, seperti yang ditunjukkan oleh Troiano dan
McCarthy (2004) sebelumnya, termasuk kelas pertama. Kelas ini merancang secara
ekstensif agenesis atau hipoplasia bilateral Mülleri, dan oleh karena itu, mencakup
agenesis vagina, agenesis leher dan rahim bawah, tabung dan bentuk gabungan, yang
ditandai oleh agenesis tubuh rahim, yang mungkin dengan dua sketsa uterus
rudimental yang terpisah yang berkomunikasi dengan dua tabung yang berkembang
normal yang terkait dengan agenesis vagina, yang juga dikenal sebagai Mayer-
Rokitansky-Küster-Hauser. Malformasi ini sangat mengganggu kinerja obstetrik
seorang wanita, dan perawatan mereka, bila mungkin, tidak setiap hari dan
dikodekan.5
Gambar 2. Klasifikasi dari kelainan ductus Mullerian yang dkembangkan oleh
American Fertility Society (1988) dan direproduksi oleh Troiano dan McCarthy.5

2.1.4 Etiopatogenesis

Sindrom Mayer-Rokitansky-Küster-Hauser (MRKH) telah dipertimbangkan


untuk waktu yang lama sebagai suatu anomali okasionali, namun literatur tentang
kasus yang familiar mendukung anggapan bahwa substratum genetik tertentu ada, dan
sebenarnya sindrom ini tampaknya ditransmisikan sebagai karakter autosom dominan
dengan kemampuan penetrasi yang tidak lengkap dan ekspresivitas variabel.
Beberapa penelitian menyelidiki mutasi genetik selama fase awal perkembangan
embrio. Ada beberapa asumsi tentang gen yang terlibat, seperti tumor Wilms 1
(WT1), PAX2 (diperkirakan bahwa onkosupresor WT1 dapat bertindak sebagai
represor transkripsi PAX2), HOXA7-HOXA13 (kelompok genetika yang sangat
penting untuk embriogenesis yang benar ), dan leukemia pre-B-cell homeobox 1
(PBX1), walaupun beberapa penelitian mengenai implikasi langsung gen ini belum
memberikan hasil tertentu; keluarga integrasi situs MMTV tanpa sayap, gen anggota
4 (WNT4) tampaknya benar-benar terlibat, karena mengintervensi pengembangan
wanita genital embrio dengan fungsi spesifik.5

Selain itu, gen kandidat lainnya telah dilaporkan, seperti: TCF2 (juga dikenal sebagai
HNF1B, gen yang mengkodifikasi faktor transkripsi spesifik untuk hati, termasuk
dalam famili homeobox yang mengandung motif heliks ganda) dan LHX1
(menghasilkan protein dengan fungsi faktor kontrol untuk pengembangan sel saraf
dan jaringan limfoid). Dalam sebuah penelitian terhadap 20 wanita yang menderita
sindrom MRKH, sebuah skrining telah dilakukan untuk mutasi gen-gen ini, dan telah
diketahui bahwa tidak ada perubahan yang berkaitan dengan patologi pada
pemeriksaan saat ini. Ledig dkk. (2011), dengan metode Array-CGH, telah
mengidentifikasi tiga regio (1q21.1, 17q12, dan 22q11.21), menunjukkan bahwa
LHX1 dan HNF1B mungkin merupakan gen yang terlibat dalam determinisme
sindrom MRKH, yang telah mengidentifikasi penghapusan berulang dan kekalahan
mutasi.

Selanjutnya, dalam penelitian lain, beberapa ketidakseimbangan telah


ditemukan yang berkaitan dengan regio kromosom 1q21.1, 17q12, 22q11.21, dan
Xq21.31; LHX1 dan KLHL4 adalah gen kandidat yang diidentifikasi dalam kasus ini
(mengkodifikasi gen untuk anggota keluarga protein Kelch); adanya perubahan yang
sama pada ibu normal fenotipik pasien telah menyarankan asumsi kapasitas penetrasi
yang tidak lengkap dan/atau ekspresivitas variabel [19]. Studi lain telah menunjukkan
bahwa agenesis vagina dapat dikaitkan dengan aktivitas enzim galaktosa-1-fosfat
uridil transferase (GALT). Penulis penelitian ini menyatakan bahwa mutasi GALT
janin atau ibu dapat menyebabkan eksposisi intrauterine lebih besar pada galaktosa,
yang telah terbukti berpotensi membahayakan perkembangan sistem genitourinari
pada model tikus. Ghirardini dan Segre (1982) telah menekankan dan mendukung
asumsi yang awalnya diajukan oleh Schmid Tannwald dan Hauser, menurutnya akan
ada faktor penghambat Müllerian (MIF) yang sangat kuat pada pasien dengan
sindrom MRKH, yang akan menyebabkan kerusakan saluran Müllerian yang gagal
sebagai struktur primitif (seperti biasanya terjadi pada fenotipe laki-laki), dan oleh
karena itu, mereka telah mengusulkan agar sindrom MRKH dianggap sebagai salah
satu bentuk pseudohermafroditisme sekecil apapun. Hiperterpresi MIF dapat
bergantung pada gen mutasi yang telah dijelaskan sebelumnya atau pada ekspresi
yang berubah, yang memprovokasi, oleh karena itu, sebuah "kegagalan pematangan"
struktur yang berasal dari saluran Müllerian. Selain itu, ada anggapan bahwa mutasi
aktivator gen untuk hormon anti-Müllerian (AMH) atau reseptornya (AMHRII) dapat
dianggap sebagai penyebab potensial sindrom MRKH. Selain itu, ada bukti yang
menunjukkan bahwa duplikasi parsial wilayah Xpter pseudoautosomal 1, yang
mengandung gen homeobox untuk ketinggian pendek (SHOX), dapat dilibatkan
dalam asal mula sindrom ini

(Tabel 1).5

Tabel 1. Gen yang terlibat pada sindrom MKRH, dari “GeneCards: the human gene
compendium”.5

Classification

MRKH syndrome is classified into three types: Oppelt P, Renner SP, Kellermann A,
Brucker S, Hauser GA, Ludwig

KS, et al. Clinical aspects of Mayer–Rokitansky–Kuester–Hauser syndrome:


recommendations for clinical diagnosis and staging. Hum Reprod 2006;21:792–7

1 Typical (type I): isolated symmetrical uterovaginal aplasia or hypoplasia


2 Atypical (type II): asymmetrical uterovaginal aplasia or hypoplasia, absence or
hypoplasia of one or both fallopian tubes and malformation in the ovaries and/or
the renal system
3 MURCS (m¨ullerian duct aplasia, renal dysplasia and cervical somite anomalies)
syndrome: uterovaginal aplasia or hypoplasia with malformation in the skeletal
system
and or the heart, muscular weakness and renal malformation

In a meta-analysis of 521 cases of MRKH syndrome, Oppelt et al.4, 5 observed that


64% showed a typical form, 24% were atypical and 12% were of MURCS syndrome.
According to the American Fertility Society classification of congenital uterine
abnormalities, agenesis or hypoplasia of the uterus in MRKH syndrome is grouped
into class I (Table 1). Folch M, Pigem I, Konje JC. M¨ullerian agenesis: etiology,
diagnosis, and management. Obstet Gynecol Surv 2000;55:644–9

2.1.5 Gambaran Klinis

Umumnya, amenore primer adalah gejala pertama pada wanita dengan normal
fenotipe 46 dan kariotipe XX, ovarium dalam batas normal, dan tanda-tanda
kelebihan androgens, perkembangan normal karakteristik seksual seperti payudara
dan rambut kemaluan, alat kelamin eksternal normal, pemeriksaan fisik menunjukan
pemendekan dari vagina sekitar 2 sampai 7 cm. tipe sindrom MRKH, hanya rahim
dan vagina bagian atas yang abnormal, sedangkan tuba fallopi tidak terpengaruh,
karakter seksual sekunder, dan normalitas alat kelamin eksternal. Penting untuk fokus
pemeriksaan anatomi dalam mendiagnosis dari kedua tipe dari MRKH, aplasia uterus
dihadapan dua tanduk dasar dihubungkan oleh lipatan peritoneum dan saluran indung
telur normal sesuai dengan sindrom MRKH tipe I, tipe II MRKH ditandai dengan
simetris dan asimetrisnuterus hipoplasia, disertai dengan aplasia dari salah satu dari
tanduk atau oleh perbedaan ukuran antara dua tanduk tersebut. Ditambah dengan
malforrmasi tuba seperti hipoplasia atau aplasia dari satu atau kedua tuba. 5

Kelainan lain dari anomali tipe II MRKH yaitu terlibatnya anomali lain pada
saluran urogenetalia, skeletal, sistem pendengaran, dan cacat jantung, dan ini
dinamakan sebagai Mullerian Duct Aplasia Renal Dysplasia dan Cervical Somite
Anomali (MURCS). Saat ini, jenis patologi ovarium tidak dianggap untuk menjadi
bagian dari spectrum klinis MRKH atau MURCS, karena tidak ada satu kelompok
pasien menunjukkan secara acak hubungan antara salah satu patologi ini dengan
uterovaginal aplasia dilaporkan.

Gambar 3. Foto agenesis vagina pada wanita 20 tahun

1. Malformasi terkait MRKH sindrom tipe II (MURCS)

Hubungan malformasi traktus urinarius bagian atas hubungan malformasi


traktus urinarius secara keseluruhan, terkait kelainan saluran kemih bagian
atas ditemukan pada sekitar 40% kasus, dengan kasus MRKH, terutaa,
termasuk agenesis ginjal unilateral (23-28%), ektopik dari salah satu atau
kedua ginjal (17%), hypoplasia ginjal bilateral (4%), horseshoe kidney dan
hidronephrosis. Kasus agenesis ginjal bilateral (urutan potter)terkait dengan
adanya uterus dan indung telur ini pernah dilaporkan pada kasus abortus
medisinalis, ini memperkuat gagasan bahwa aplasia mulerian, prinsip fitur
sindrom MRKH, bias jadi manifestasi ekstra herediter adyplasia ginjal (HRA)
pada beberapa kasus. Mempertimbangkan hal ini, adyplasia ginjal tampaknya
baik karakteristik utama HRA dimana malformasi mulerian pada berbagai
jenis kadang-kadang ditemui atau bermanifestasi sekunder terhadap sindrom
MRKH. Mesti mirip, sindrom ini mungkin bisa dibedakan satu sama lain
ketika riwayat keluarga yang tersedia: HRA ditulakan sebagai autosomal yang
ketat dominan sifat, sedangkan MRKH menunjukkan lengkap penetrasi
ditambah dengan ekspresivitas sangat bervariasiketika dijelaskan dalam
anggota keluarga. Oleh karena itu penting bahwa evaluasi ginjal tidak hanya
diperlukan ketika mendiagnosis sindrom MRKH, tetapi juga sepenuhnya
dibenarkan di probands anggota keluarga.

2. Hubungan kelainan tulang


Kelainan ini terutama melibatkan tulang belakang (30 sampai 40%) dan, lebih jarang,
wajah dan ekstrimitas. Malformasi Rachidial ditemui dalam MURCS asosiasi adalah
scoliosis (20%), kelainan vertebra (asimetris, menyatu atau terjepit vertebra), Klippel-
Feil asosiasi (fusi setidaknya dua segmen serviks, leher pendek, garis rambut rendah,
pembatasan gerak leher) dan/atau Sprengel yang cacat, malformasi tulang rusuk atau
agnesis, dan spina bifida. Malformasi wajah dan tungkai terutama
brachimesophalang, ectrodactyli, jempol ganda, tidak adanya radius, displasia atrio-
digital (Holt-Oram like syndrom) dan asimetris wajah.

3. Hubungan gangguan pendengaran


Gangguan pendengaran atau tuli berhungan dengan 10 sampai 25% pasien MURCS,
mereka sering terkena tuli konduktif akibat kelainan telinga tengah, seperti ankilosis
stapedial, atau defek sensorineural dengan berbagai keparahan. Pasien dengan
gangguan pendengaran terkait dengan adysplasia dari meatus auditorius dan/atau
malformasi telinga juga telah dilaporkan.

4. Hubungan Malformasi jantung


Hubungan MRKH dengan malformasi jantung kurang umum. Semua laporan yang
terlibat menyebabkan kematian atau kelainan jantung berat mengevokasi Holt-Oram
atau sindrom velocardiofacial seperti membutuhkan pembedahan bila memungkinkan.
Seperti dilaporkan malformasi katup aorta-pulmonal, defekseptum atrium dan defek
conotruncal seperti stenosis katup pulmonal atau Tetralogi Fallot.

2.1.6 Diagnosis

Sindrom MRKH ditandai dengan aplasia bawaan dari uterus dan bagian atas
2/3 dari vagina perempuan, menunjukkan perkembangan sex sekunder yang normal,
disertai karakteristik 46, XX kariotipe normal, malformasi terkait lainnya (tipe II atau
MURCS) yaitu:

 Ginjal (agenesis unilateral, ginjal tapal kuda (horsekidney))

 Rangka dan khususnya tulang belakang (vertebra menyatu, scoliosis)

 Disfungsi pendengaran

 Anomaly jantung, namun ini jarang (sindaktili dan polidaktili)

 Pemeriksaan fisik:

Gambaran dan perkembangan sex sekunder normal, perineum normal, saluran


vagina yang sempit.

 Pemeriksaan penunjang

o Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk melakukan studi genetik


untuk kromatin dan kariotipe X, pemeriksaan fungsionalitas sistem
endokrin melalui identifikasi kadar plasmatik stimulating follicle
hormone (FSH), hormon luteinizing (LH), prolaktin, estradiol, 17β-
estradiol, dan progesteron. Oleh karena itu, penting untuk melakukan
pemeriksaan tingkat plasmatik, yang biasanya normal, testosteron,
delta-4-androstenedione,17-hydroxyprogesterone, and
dehydroepiandrosterone
o Ultrasonografi

Tujuannya untuk melihat dan mengkomfirmasi organ pelvik dan


sekaligus melihat ginjal. Pilihan utama diantara studi pencitraan adalah
ultrasound dan magnetic resonance imaging (MRI). Ultrasound mudah
diakses dan tersedia di banyak tempat, namun tidak selalu efektif
dalam mengidentifikasi struktur mullerian yang belum berkembang
dan ovarium, yang biasanya terletak tinggi di panggul, seringkali pada
tingkat panggul. Kehadiran ovarium ekstra-pelvis telah dilaporkan
pada 16% -19% pasien. Untuk perencanaan operasi, MRI adalah
metode yang paling berguna, namun lebih mahal daripada ultrasound.
Ada kesepakatan dalam beberapa penelitian bahwa MRI sendiri adalah
modalitas pilihan untuk evaluasi lebih lanjut terhadap semua anomali
rahim, dan ini termasuk MRKH.

o USG Transvaginal

USG transvaginal adalah metode diagnostik dan non-invasif


sederhana, dan mengikuti prosedur yang biasa, ultrasonografi murni
menunjukkan dugaan anomali Mu ̈llerian; Hal ini berguna untuk
mengungkapkan kelainan rahim antara kandung kemih dan rektum.
Selanjutnya, ini adalah metode yang cermat untuk diagnosis dan
klasifikasi anomali bawaan rahim dan efektif untuk memperkirakan
struktur tanduk rudimental uterus yang tidak eksperimental pada
sindrom Rokitansky. Selain itu, perkembangan terkini ultrasound
tridimensional dan resonansi magnetik telah meningkatkan
keterampilan untuk mengatasi anomali dengan hati-hati dan
malformasi kompleks pada sistem reproduksi wanita. Tridimensional
ultrasound sangat efektif dalam hal sensitivitas dan spesifisitas,
dibandingkan dengan kinerja ultrasound bidimensional untuk studi
anomali sifat genital wanita.10
o MRI

Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah metode diagnostik


noninvasif dan merupakan alat yang lebih spesifik untuk diagnosis
daripada ultrasound. Biasanya, metode diagnostik ini diterapkan saat
laporan ultrasound tidak pasti dan tidak lengkap, karena identifikasi
yang gagal dengan kejernihan rahim atau dasar Müllerian dan dasar
indung telur tidak menyertai kelainan. Oleh karena itu, MRI telah
memperkuat sedemikian rupa perannya sebagai metodologi penilaian
anomali saluran Mullerian (MDA). Memang, MRI mengungkapkan
dengan tepat beberapa struktur sifat genital perempuan dan, lebih dari
itu, dapat memberi gambaran rinci tentang anatomi intrauterine,
membuat sketsa bagian luar rahim di semua tingkat pemindaian
multipel dalam pemeriksaan yang unik. Telah terbukti dengan hati-hati
dengan 100% sensitivitas dan spesi, mencatat kesepakatan yang baik
dengan laparoskopi (κ = 0,55) dan sangat banyak dengan identifikasi
kavitasi antara resonansi magnetik dan ultrasound intraoperatif.
Sebuah studi tentang Mueller dkk. (2007), yang dilakukan pada 103
pasien mengalami resonansi magnetik untuk menduga anomali
Mu ̈llerian, telah digunakan untuk sumbu rahim panjang, pemindaian
aksial T1-spin-echo (SE) (TR / TE, 500/10), dan untuk sumbu rahim
pendek, pemindaian sagital T2-SE dengan berat (5.000 / 80),
menyimpulkan bahwa kesepakatan yang sangat baik dibuat (κ = 0,8)
antara MRI dan diagnosis klinis anomali duktus Mu ̈llerian, karena
perkiraan rahim tidak memiliki kesepakatan antara MRI dan diagnosis
klinis pada 83 dari 103 pasien, ketidaksepakatan dalam 15 dari 103,
sebuah laporan meragukan di 5 dari 103 karena diagnosis yang tidak
pasti. Meskipun ada kesepakatan yang sangat baik antara MRI dan
diagnosis klinis, beberapa kasus ketidaksesuaian telah diperhatikan,
dan ini terutama bergantung pada kurangnya skema klasifikasi yang
tepat dan terpadu, dan pada keakraban yang rendah dengan entitas
yang kompleks dan langka, dan nally karena sebuah representasi yang
tidak memadai dari beberapa struktur melalui MRI. Lebih jauh lagi,
perlu difokuskan pada frekuensi perubahan radiologi ekstremitas distal
tungkai atas yang terkait dengan sindrom MRKH. Sebuah penelitian
yang dilakukan terhadap 40 pasien telah menggarisbawahi
brachymesophagusy dari jari kedua sampai kelima (22/39 pasien),
sedikit phalanx distal jari firrst (22/39 pasien), phalanx proksimal
panjang pada jari ketiga dan keempat (19/39 pasien), dan metacarpus
panjang dari jari pertama sampai keempat (20/39 pasien).

o Laparoskopi

Hampir tidak pernah ditunjukkan dalam evaluasi diagnostic,


laparoskopi dan untuk kasus-kasus agenesis vagina tanpa nyeri
panggul tidak diperlukan kecuali bentuk anatomi tidak dapat
didefinisikan oleh modalitas lain. Survei laparoskopi diterapkan jika
ada diagnosis yang meragukan dan merupakan pemeriksaan
noninvasif, yang telah dijelaskan dan memungkinkan definisi yang
tepat tentang perubahan anatomi yang khas dari sindrom ini.
Laparoskopi mendefinisikan morfologi anomali uterus, tuba, dan
ovarium yang tepat. Laparoskopi merupakan teknik medis yang
digunakan umumnya sebagai survei persiapan operasi bedah.5

2.1.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding yang dipertimbangkan dengan amenore primer dimana ada


karakter seksual sekunder normal dan disgenesis gonad. Oleh karena itu, penting
untuk memverifikasi amenore primer, karakter sekunder seksual normal dari kelainan
kongenital rahim dan vagina atresia. Septum vagina transversal dan selaput dara
imperforata tidak menunjukkan aplasia Mulerian. Ultrasound adalah alat diagnostik
yang penting untuk menentukan anatomi pelvis secara hati-hati. Diagnosis banding
bahkan akan diterapkan pada ketidaksensitifan terhadap sindroma androgens (AIS),
yang juga dikenal sebagai sindrom feminisasi testis (TFM), Kelainan dimana
hermaphroditisme pria disebabkan oleh mutasi gen untuk reseptor androgen. Seorang
pasien yang menderita sindrom ini kebal terhadap androgen dan memiliki hypospadia,
mikropenis, dan ginekomastia.5
2.1.6 Terapi

Psychological support

The diagnosis of MRKH syndrome can be devastating for any woman, especially an
adolescent, due to the psychological, social and reproductive implications. The
diagnosis must be disclosed sensitively. The way the diagnosis is explained may have
a lasting negative impact on the woman’s psychological status and self-esteem.
Extensive counselling and psychological support is important at the time of diagnosis
and later in life. Group-based interventions and cognitive behavioural therapy have
been found to be effective. Bean EJ, Mazur T, Robinson AD. Mayer–Rokitansky–
K¨uster–Hauser syndrome: sexuality, psychological effects, and quality of life. J

Pediatr Adolesc Gynecol 2009;22:339–46

Non-surgical treatment

The non-operative approach to creating a functional vagina is by using vaginal


dilators. This was first described by Frank in 1938 with the use of Pyrex tubes of
gradually increasing sizes. These dilators are held in place for 20–30 minutes, two or
three times a day, in order to stretch the vaginal epithelium into the potential space
between the bladder and rectum. Success rates of up to 81–88% are reported for this
method. In 1981, Ingram modified Frank’s technique by using a bicycle seat mounted
on a stool to facilitate perineal pressure. A success rate of 91% is reported using
Ingram’s method.20 Plastic vaginal dilators are offered as the first-line therapy. The
advantages are low morbidity, creation of a more physiological vaginal milieu and
that there is no scarring. With appropriate support from a dedicated and fully trained
nurse, success rates are high and the initial discomfort can be overcome with a
combination of anaesthetic lubricating jelly and simple analgesics taken half an hour
before commencing the dilatation. Gargollo PC, Cannon GM Jr, Diamond DA,
Thomas P, Burke V, Laufer MR. Should progressive perineal dilation be considered
first line therapy for vaginal agenesis? J Urol 2009;182(Suppl 4):1882–9

Rekonstruksi Agenesis Vagina Dengan Metode Non Operatif


Pada tahun 1938, Frank mendeskripsikan metode pembuatan vagina baru tanpa
operasi. Pada tahun 1940 dia melaporkan hasil yang baik pada delapan pasien yang
ditangani dengan metode ini. Dia mengikuti pasien tersebut dan hasilnya
menunjukkan bentuk vagina yang tetap baik pada kedalaman dan lebarnya, bahkan
pada pasien yang tidak melakukan dilatasi selama satu tahun.Ingram mendeskripsikan
tehnik pasif dilatasi untuk pembuatan vagina baru dengan melakukan modifikasi pada
tehnik Frank. Dia menginstruksikan kepada pasiennya untuk memakai dilator khusus
yang dirancang dengan bantuan kursi sepeda dan Ingram berhasil membuat
kedalaman vagina yang baik dan berfungsi koitus pada 10 dari 12 pasien dengan
agenesis vagina dan 32 dari 40 kasus dengan berbagai tipe stenosis. Lee MH. Non
surgical treatment of vaginal agenesis using a simplified
version of Ingram’s method. Yonsei Medical Journal 2006;47(6):892-895

Lee pada penelitiannya mengatakan tehnik Ingram dengan pasif dilatasi memiliki
berbagai keuntungan dimanapasien tidak diminta untuk melakukan penekanan
kedalam kantung vagina dengan tangan.Seperangkat dilator Lucite secara perlahan
dipakaiuntuk dilatasi pada ruang neovagina. Pasien harus secara hati-hati
diinstruksikan bagaimana menggunakan dilator,dimulai dengan dilator yang paling
kecil. Pasien ditunjukkan bagaimana cara menaruh dilator kedalam kantung introitus
dengan menggunakan kaca. Dilator dapat ditahan dengan pakaian dalam. Pasien
ditunjukkan bagaimana duduk diatas kursi sepeda yang ditaruh diatas kursi 24 inchi
diatas lantai. Pasien diinstruksikan untuk duduk sedikit condong maju dengan dilator
ditempatkan setidaknya sebanyak dua kali sehari dengan lama 15 sampai dengan 30
menit. Tindak lanjut dilakukan setiap bulan dan pasien diharapkan dapat berhasil ke
ukuran dilator yang lebih besar setiap bulan. Hubungan sexual disarankan setelah
penggunaan dilator yang paling besar selama satu atau dua bulan. Rekomendasi untuk
melanjutkan dilatasi apabila hubungan sexual jarang dilakukan. Definisi sukses
menggunakan metode nonoperatif ini adalah tercapainya hubungan sexual yang
nyaman atau tercapainya dilator terbesar tanpa menimbulkan perasaan kurang
nyaman. Keberhasilan pada penelitian Lee mencapai 91,9 persen dari seluruh usaha
dilatasi. Oleh karena itu pasif dilatasi disarankan pada pasien sebagai terapi awal
pembuatan vagina baru. Apabila metode dilatasi ini tidak berhasil yang seringkali
oleh karena ketidaksabaran penderita, merupakan indikasi untuk melakukan
vaginoplasty. Lee MH. Non surgical treatment of vaginal agenesis using a simplified
version of Ingram’s method. Yonsei Medical Journal 2006;47(6):892-895

Gambar 4.3. Menunjukkan dilator acrylic yang dipakai pada metode non bedah Lee
MH. Non surgical treatment of vaginal agenesis using a simplified
version of Ingram’s method. Yonsei Medical Journal 2006;47(6):892-895

Gambar 4.4. Menunjukkan kursi tempat duduk sepeda (A) dan kursi kantor (B) Lee
MH. Non surgical treatment of vaginal agenesis using a simplified
version of Ingram’s method. Yonsei Medical Journal 2006;47(6):892-895

 Terapi Bedah

o Tehnik

Seperti yang dinyatakan sebelumnya, anomali Mullerian selain menyangkut rahim


dan vagina mungkin tampak terkait dengan kerangka yang lebih kompleks, dengan
keterlibatan tabung gonad dan sistem saluran kemih. Mengenai hal ini, perlu untuk
menunjukkan bahwa kondisi ini memerlukan analisis pra-operatif yang hati-hati dan
sangat membantu perencanaan operasi bedah. Metode perbaikan struktur yang tertarik
bertujuan untuk membangun kembali anatomi normal yang membuat neovagina
dengan pemisahan pita rektum dari ruang uretraase. Prosedur bedah yang paling
sering digunakan adalah sebagai berikut: McIndoe, Williams, Vecchietti, Davydov,
Baldwin, dan teknik bedah tanpa operasi dari Frank. Teknik asli telah dikembangkan
dan diterapkan, seperti teknik William yang dimodifikasi oleh Creatsas. Dalam
pengalaman kami, kami telah melaporkan 4 kasus: pertama, pasien (15 tahun) dikirim
ke pusat spesialis untuk rekonstruksi bedah vagina (kami tidak tahu teknik mana yang
digunakan), dalam kasus kedua (20 tahun), pasien telah memutuskan untuk menunda
operasi hanyaa setelah mencoba untuk memperluas rongga retrohymenal melalui
hubungan seksual, pada kasus ketiga (23 tahun), pasien mencapai peningkatan yang
substansial dalam panjang dan luas vagina. melalui hubungan seksual, dan dalam
kasus keempat (12 tahun), pasien pertama kali menjalani operasi dengan teknik
McIndoe dan kemudian menyebabkan nyeri panggul persisten, akibat reseksi
rudimental uterus awal dengan laparoskopi. Dalam kasus terakhir, dua operasi bedah,
masih ada nyeri pelvis kronis (mungkin disebabkan oleh adanya jaringan
endometrium residual, tidak dibuktikan dalam tindak lanjut oleh TC dan ultrasound),
sehingga pasien menjalani terapi dengan kontinyu sangat rendah. -dosis dari
estroprogestin oral. Saat ini, pasien memiliki kehidupan seksual yang memuaskan,
dengan remisi rasa sakit yang sebelumnya sangat dirasakan. Junizaf, Erwinanto.
Embriologi sistem urogenital wanita dalam buku ajar
uroginekologi Indonesia.

Surgery is undertaken if non-surgical methods fail or if the woman chooses a surgical


option at the outset.

Surgical treatment has evolved over the years, with many procedures being only of
historical interest due to the serious risks and complications. The McIndoe procedure,
sigmoid vaginoplasty and Williams’ vulvovaginoplasty are among these outdated
procedures; with the availability of safer, more effective and simpler laparoscopic
procedures, the British Society for Paediatric and Adolescent Gynaecology
recommends that they are not performed in the UK. These outdated procedures are
described below to highlight the progress made in the surgical management of this
uncommon syndrome

The two most popular techniques for vaginoplasty practised in Europe are now the
Vecchietti and Davydov procedures (described below). Both were originally
described as being open techniques but with advances in minimal access surgery,
laparoscopic modifications have become popular. Ismail IS, Cutner AS, Creighton
SM. Laparoscopic vaginoplasty: alternative techniques in vaginal reconstruction.
BJOG 2006;113:340–3

McIndoe procedure

This involves creation of neovaginal space between the bladder and rectum and lining
this space with a split-thickness skin graft placed over a mould, which is then inserted
into the neovagina. The woman has to wear the mould for 3 months and is advised to
use a dilator regularly.The main disadvantages of this technique are potential vaginal
stenosis, perforation of the bladder and rectum, graft failure and unsightly scarring at
the graft site. Emans SJ, Laufer MR, Goldstein DP. Pediatric and
AdolescentGynecology. 5th ed. Lippincott Williams & Wilkins: Philadelphia;2005.

Salah satu tehnik rekonstruksi vagina yang cukup dikenal adalah tehnik operasi
McIndoe. Dia menggunakan selaput amnion dari donor sebagai graft. Selaput amnion
yang akan digunakan sebagai graft dipisahkan dari plasenta segera setelah plasenta
lahir . Darah ibu dan pencemar lain dibuang dengan mencucinya pada larutan saline
steril sampai bersih . Selaput amnion kemudian disimpan pada suhu 4 ̊ C dalam cairan
yang mengandung 80 mg gentamisin per 100 ml larutan saline steril selama 48 jam
sampai 72 jam sebelum digunakan untuk operasi. Selaput amnion dipasang pada
cetakan vagina dari karet sedemikian rupa sehingga permukaan mesenkim amnion
dapat kontak langsung dengan jaringan penderita.
Fotopoulou C, Sehouli J, Gehrmann N, Schoenborn I, Lichtenegger W.
Functional and anatomic results of amnion vaginoplasty in young women
with Mayer Rokitansky Kuster Hauser syndrome. Fertility and Sterility
2010;94(1):317-323

Penderita dalam narkose umum dan dalam posisi litotomi. Insisi oblik dibuat pada
ruang rektovesikel secara hati-hati jangan sampai melukai vesika urinaria dan rektum.
Liang vagina dibuat dengan diseksi secara tumpul sedalam 14 sampai 16 cm dan
diameter 3 – 4 cm. Setelah dilakukan hemostasis, cetakan vagina yang terbungkus
dengan lapisan amnion dimasukkan. Dua sampai tiga jahitan dengan silk pada labia
mayora untuk menjaga agar cetakan pada posisinya.Setelah 10 sampai 14 hari jahitan
dibuka dan cetakan vagina dikeluarkan. Selanjutnya pasien diberitahu cara
menggunakan dilator vagina yang dilapisi kondom dan dianjurkan untuk memasukkan
dua sampai tiga kali sehari selama 10 menit. Jika memungkinkan setelah tiga minggu,
penderita dianjurkan untuk melakukan hubungan seksual, atau melanjutkan
menggunakan dilator sampai pasien menikah. Setelah 60 hari post operasi dilakukan
pemeriksaan sampel pada selaput amnion dan didapatkan terjadi perubahan epitel
amnion menjadi epitel skuamosa matang yang menunjukkan epitelisasi yang lengkap.
Fotopoulou C, Sehouli J, Gehrmann N, Schoenborn I, Lichtenegger W.
Functional and anatomic results of amnion vaginoplasty in young women
with Mayer Rokitansky Kuster Hauser syndrome. Fertility and Sterility
2010;94(1):317-323

Berikuttahapanpembentukan vagina dengan amnion kraft :


1.Persiapan gaas/kain kasa steril
2. Persiapan selaput amnion
3. Gaas steril diselimuti selaput amnion
4.Gaas steril yang sudah diselimuti selaput amnion diikat dengan benang
5,6,7 Membuat lubang vagina baru
8. Memasukkan gaas steril kedalam lubang vagina baru
9.Dilakukan penjahitan
10. Setelah 14 hari jahitan dibuka, gaas steril dikeluarkan
11. Dilakukan dilatasi
12.Terbentuknya vagina baru
Gambar 4.5.Pembentukan vagina dengan amnion graft Fotopoulou C, Sehouli J,
Gehrmann N, Schoenborn I, Lichtenegger W.
Functional and anatomic results of amnion vaginoplasty in young women
with Mayer Rokitansky Kuster Hauser syndrome. Fertility and Sterility
2010;94(1):317-323

Chakrabarty dan kawan kawan melaporkan 18 pasien dengan sindrom MRKH yang
dilakukan operasi dengan metode Sheares dimana ruang antara dua labia dilakukan
dilatasi dengan dilator hegar sepanjang duktus mulleri. Kemudian dua saluran dibuat
dengan bagian sentral septum dieksisi untuk membentuk lubang vagina. Sebuah kasa
yang dilapisi dengan selaput amnion dimasukkan kedalam lubang vagina. Semua
kasus diikuti selama kurang lebih enam bulan dan menunjukkan hasil yang
memuaskan, baik ukuran panjang maupun lebar vagina. Pasien tetap disarankan
menggunakan dilator secara teratur. Chakrabarty S, Mukhopadhyay P, Mukherjee G.
Sheares’ Method of
Vaginoplasty –Our Experience. Journal of Cutaneous and Aesthetic
Surgery 2011;4:118-121

Coskun dan kawan kawan melakukan operasi pembedahan untuk pembentukan


vagina baru dengan metode McIndoe, melaporkan pengalamannya dalam penggunaan
silikon berbentuk akrilik untuk stent vagina pada dua kasus agenesis vagina oleh
karena kelainan duktus mulleri. Hasilnya, penggunaan silikon berbentuk akrilik untuk
stent vagina pada pasien post operasi pembuatan vagina baru dapat mencegah
kemungkinan terjadinya konstriksi. Coskun A, Coban YK, Vardar MA, Dalay AC.
The use of silicone-coated
acrylic vaginal stent in McIndoe vaginoplasty and review of the literature
concerning silicone-based vaginal stents: a case report. BMC Surgery
2007;7(13):1-4
Gambar 4.6. Vaginal stent yang terbuat dari silikon yang digunakan pada
vaginoplasty dengan metode Mc Indoe17

Gambar 4.7. Penggunaan selang infus set untuk memfiksasi silikon sten vagina
keperineal dan hasil operasi setelah satu tahun. Coskun A, Coban YK, Vardar MA,
Dalay AC. The use of silicone-coated
acrylic vaginal stent in McIndoe vaginoplasty and review of the literature
concerning silicone-based vaginal stents: a case report. BMC Surgery
2007;7(13):1-4

Gambar 4.8. Vagina baru setelah operasi 3 bulan dengan menggunakan metode
Mc Indoe dan setelah penggunaan silikon berbentuk akrilik. Coskun A, Coban YK,
Vardar MA, Dalay AC. The use of silicone-coated
acrylic vaginal stent in McIndoe vaginoplasty and review of the literature
concerning silicone-based vaginal stents: a case report. BMC Surgery
2007;7(13):1-4

El Saman dan kawan kawan menunjukkan data perioperatif morbiditas, anatomi dan
fungsi karakteristik yang berhubungan dengan fungsi rekonstruksi vagina
menggunakan selaput amnion manusia pada tujuh pasien Rokitansky 4 bulan setelah
vaginoplastydalam bentuk tabel sebagai berikut : El Saman AM, Vellota JA, Bedaiwy
MA. Surgical management of
Mullerian duct anomalies in current women’s health reviews
2010;6(2):183-193

Tabel 4.1.Data perioperatif morbiditas, anatomi, fungsi karakteristik yang


berhubungan dengan fungsi rekonstruksi vagina menggunakan selaput amnion
manusia pada tujuh pasien Rokitansky setidaknya 4 bulan setelah vaginoplasty

Tabel 4.2.Penelitian dan laporan kasus lain yang berkaitan dengan penanganan
sindrom MRKH dengan selaput amnion manusia.El Saman AM, Vellota JA, Bedaiwy
MA. Surgical management of
Mullerian duct anomalies in current women’s health reviews
2010;6(2):183-193
Lin dan kawan kawan melakukan pembuatan vagina baru terhadap delapan wanita
Taiwan dengan sindrom MRKH dengan menggunakan mukosa bukal yang kurang
umum digunakan sebagai graft dalam pembentukan vagina. Tujuannya adalah
membuat vagina baru yang secara fungsional dan kosmetik berfungsi baik dengan
tehnik operasi sederhana. Penderita diintubasi dengan general anestesi. Mukosa bukal
diambil dengan retraktor dengan ukuran 2.5 x 6 sampai 8 cm. Perdarahan diatasi
dengan kasa dan elektrokauter. Dalam posisi litotomi dipasang kateter foley dan
rektal tube untuk menghindari trauma pada saat operasi. Insisi dilakukan pada
cekungan vagina diantara vesika urinaria dan rektum hingga masuk dua jari. Setelah
perdarahan diatasi, stent ukuran 2 cm x 12 cm dibalut dengan mukosa bukal dan
dimasukan kedalam lubang vagina yang baru. Dilakukan jahitan pada labia minora
dan kulit perineal untuk menahan stent.Kateter dipertahankan selama satu minggu
hingga stent dibuka, tujuannya untuk mencegah kontaminasi urin terhadap luka
operasi. Antibiotik juga diberikan selama perawatan. Hasil operasi cukup memuaskan
terhadap kedelapan pasien walaupun terdapat dua komplikasi saat operasi, satu pasien
mengalami perdarahan pervaginam dan satu dengan trauma pada kandung kemih.
Kedua komplikasi tersebut dapat diatasi dengan baik. Panjang vagina yang terbentuk
rata-rata 8 cm dengan dua jari pemeriksa dapat masuk kedalam lubang vagina yang
baru. Tidak terdapat eksudat, luka operasi kering. Setelah operasi, 3 hari pertama
pasien dianjurakan diet cair, dan diet normal pada hari ke 6. Mobilisasi dilakukan
pada hari ke 10. Luka operasi pada mukosa bukal sembuh dengan baik. Enam bulan
pertama pasien disuruh kontrol setiap bulan, diperiksa mukosa mulut, kedalaman
vagina dan epitel mukosa vagina. Pasien disarankan memakai dilatator vagina
siang dan malam selama 3 bulan pertama sampai melakukan hubungan seks yang
teratur. Lin WC, Chang C, Shen Y, Tsai H. Use of autologous buccal mucosa for
vaginoplasty : a study of eight cases. Human Reproduction
2003;18(3):604-607

Sigmoid vaginoplasty
In this procedure one end of a resected sigmoid segment is pulled down with its
vascular pedicle to the introitus to form a new vagina and the other end is closed to
create a blind pouch. Potential disadvantages are chronic vaginal discharge, foul
odour, stenosis at the anastomotic site and the risk of developing adenocarcinoma in
the graft. Emans SJ, Laufer MR, Goldstein DP. Pediatric and AdolescentGynecology.
5th ed. Lippincott Williams & Wilkins: Philadelphia;2005

Penggunaan flap dengan usus untuk operasi agenesis vagina diperkenalkan 100 tahun
yang lalu oleh Baldwin. Karena morbiditasnya tinggi penggunaan usus dalam sejarah
tidak dipergunakan lagi sebagai terapi pilihan utama. Tetapi keuntungan tehnik ini
memberikan hasil anastomosis yang baik. Dengan peningkatan tehnik anastomosis
colorektal, persiapan usus yang baik dan penggunaan antibiotik profilaksis sehingga
sekarang ini penggunaan graft sigmoid menjadi terapi pilihan pertama. Persiapan
mekanis usus (dengan polyethyleneglycol dan enema rektal) dimulai 36 jam sebelum
operasi. Antibiotik diberikan selama operasi dan dilanjutkan empat hari setelah
operasi. Prosedur operasi dengan tehnik insisi pfannensteil. Setelah memeriksa organ
genetalia interna, mobilitas dan panjang kolon, tanduk uterus yang rudimenter dan
bagian atas septum fibromuskuler dibuang. Kemudian sebuah saluran dibuat antara
vesika urinaria dan rektum dari kavum dauglas ke perineum. Perlukaan vesika
urinaria dan rektum dicegah dengan memasukkan ruang vestibuler dengan dilator
transparan yang bercahaya dari perineum. Langkah selanjutnya adalah
mempersiapkan kolon sigmoid secara Champeau. Setelah pengangkatan kolon
sigmoid, 15-20 cm diatas rectosigmoid junction. Kemudian segmen kolon dibawa
ke perineum melalui saluran antara vesika urinaria dan rektum. Dilakukan
anastomosis colovestibular dengan benang polyglactine 3.0 secara terputus. Ujung
neovagina dijahit pada fascia promontorium dengan benang polyester. Tindakan
diakhiri dengan penutupan mesosigmoid dan rongga abdomen.Kateter Foley
dipertahankan selama empat hari. Pada saat keluar dari rumah sakit pasien disarankan
untuk mencuci vagina dengan air setiap hari selama delapan minggu dan setelah itu
dilakukan setiap minggu.Kolon dan ileum dapat digunakan untuk pembuatan vagina
baru, akan tetapi kolon sigmoid lebih baik dari yang lain karena memiliki kriteria
sebagai berikut : Rawat J, Ahmed I, Pandey A, Khan TR, Singh S, Wakhlu A, Kureel
SN.
Vaginal agenesis : Experience with sigmoid colon neovaginoplasty. J
Indian Assoc Pediatr Surg 2010;15:19-22

1. Dapat menghasilkan lubrikasi sendiri


2. Lebih sedikit produksi mukus dibandingkan menggunakan usus yang lebih
kecil
3. Dapat tumbuh sesuai dengan pertumbuhan anak bila neovagina dikerjakan
sebelum pubertas
4. Resiko kecil untuk terjadi stenosis
5. Mendekati perineum
6. Mempunyai vaskuler pedikel
7. Tidak memerlukancetakan

Tidak satupun dari pasien mengeluh iritasi lokal, kekeringan atau nyeri saat
melakukan hubungan sex. Pengeluaran mukus yang banyak dilaporkan pada
bulan-bulan pertama dan berkurang setelah 3-4 bulan. Prolaps mukosa merupakan
salah satu komplikasi post operatif yang dapat ditangani pada kasus-kasus yang
sukses diterapi dengan eksisi. Fiksasi neovagina dengan sigmoid kepromontorium,
sakrum dan atau dinding pelvis dapat mengurangi komplikasi prolaps mukosa ini.
Rawat J, Ahmed I, Pandey A, Khan TR, Singh S, Wakhlu A, Kureel SN.
Vaginal agenesis : Experience with sigmoid colon neovaginoplasty. J
Indian Assoc Pediatr Surg 2010;15:19-22

Profil psikoseksual pada pasien, menurut penelitian Rawat dan kawan- kawan melalui
intervew menyampaikan semua pasien dapat menerima penampilan vaginanya. Dari 8
pasien yang diteliti, 7 pasien di follow up secara reguler, dua sudah aktif secara
seksual. Tidak ada satupun yang menderita komplikasi. Rawat J, Ahmed I, Pandey A,
Khan TR, Singh S, Wakhlu A, Kureel SN.
Vaginal agenesis : Experience with sigmoid colon neovaginoplasty. J
Indian Assoc Pediatr Surg 2010;15:19-22

Vaginoplasty sigmoid merupakan prosedur yang aman untuk menangani pasien


dengan agenesis vagina dengan hasil kosmetik yang baik dan derajat komplikasi yang
dapat ditangani. Disarankan untuk vaginoplasty dengan kolon sigmoid karena
merupakan terapi yang lebih baik dimana kolon sigmoid mempunyai lumen yang
cukup besar, sekresi lubrikasi yang adekuat, tidak memerlukan dilatasi yang lama dan
waktu penyembuhan yang cepat.Rawat J, Ahmed I, Pandey A, Khan TR, Singh S,
Wakhlu A, Kureel SN.
Vaginal agenesis : Experience with sigmoid colon neovaginoplasty. J
Indian Assoc Pediatr Surg 2010;15:19-22

Ji-xiang dan kawan kawan melaporkan keberhasilan melakukan laparaskopi


vaginoplasti dengan menggunakan segmen ileum terhadap 86 kasus di Beijing
Anzhen hospital. Semua operasi berlangsung sukses tanpa komplikasi intraoperatif.
Hanya terdapat tiga komplikasi post operatif berupa satu kasus dengan perdarahan
intraabdomen, satu kasus dengan meatal stenosisdan satu kasus dengan obstruksi usus
halus. Rata rata waktu untuk melakukan follow up adalah 18 bulan. Tujuh puluh enam
orang menyatakan nyaman dengan kehidupan seksual mereka, 5 orang mengalami
vaginal stenosis, dan 3 orang tidak punya partner seksual. Mereka menyimpulkan
laparaskopi vaginoplasti dengan menggunakan segmen ileum sangat baik secara
kosmetik, fungsional dan hasil anatomi. Ji-Xiang W, Bin L, Tao L, Wen-zhi L,
Young-Guang J, Jie-xiong L,
Chung-sheng W, Hai-ou H, Chen-xi Z. Eighty cases of laparoscopic
vaginoplasty using an ileal segment. Chin Med Journal
2009;122(16):1862-1866

Karateke dan kawan kawan membandingkan pembuatan vagina dengan menggunakan


graft dari usus halus dan kolon sigmoid. Dua pasien menggunakan graft berupa usus
halus dan sembilan pasien menggunakan kolon sigmoid. Hasilnya terjadi nekrosis
usus halus pada donor yang membutuhkan reseksi, stenosis ringan dijumpai pada dua
wanita dengan menggunakan graft sigmiod. Dia menyarankan penggunaan kolon
sigmoid sebagai graft dibandingkan dengan usus, karena mempunyai lumen yang
besar, lebih tahan terhadap trauma, lubrikasi yang cukup, tidak membutuhkan dilatasi
dengan waktu penyembuhan yang lebih cepat. Karateke A, Gurbuz A, Haliloglu B,
Kabaca C, Koksal N. Intestinal
vaginoplasty : is it optimal treatment of vaginal agenesis? A pilot study
2005;17:40-45

Darai dan kawan kawan melakukan pembuatan vagina baru dengan laparoskopi
sigmoid colpoplasty. Sejak September 1995 sampai dengan November 2002 sebanyak
tujuh wanita dengan sindrom MRKH menjalani operasi pembuatan vagina. Hasilnya
rata-rata waktu operasi yang dibutuhkan adalah 312 menit (220-450 menit).
Komplikasi perioperatif berupa infeksi saluran kencing terhadap satu pasien, dan satu
pasien dengan hematom vulva yang tidak memerlukan drainase. Rata rata waktu
rawat adalah 7,7 hari (6-12 hari). Rata rata panjang vagina yang baru adalah 11,5 cm
(7-15 cm) dan tidak terjadi penyempitan selama pemantauan dengan dua jari tangan
dapat masuk kelubang vagina. Darai menyimpulkan pembuatan vagina baru dengan
laparoskopi sigmoid kolpoplasty dapat dikerjakan oleh dokter yang sudah
berpengalaman dibidang ginekologi dan gastrointestinal laparoskopi. Secara anatomi
dan fungsi menunjukkan hasil operasi yang baik. Darai E, Toullalan O, Besse O,
Potiron L, Delga P. Anatomic and
functional results of laparascopic-perineal neovagina construction by
sigmoid colpoplasty in women with Rokitansky’s syndrome. Human
Reproduction 2003;18(11):2454-2459

Kannaiyan dan kawan kawan melaporkan keberhasilan penggunaan kolon untuk


membuat vagina baru pada 11 pasien dengan vagina atau servikvagina agenesis yang
mengeluh sangat kesakitan bila mau haid. Mereka menolak untuk dilakukan
histerektomi dan meminta dilakukan operasi untuk mengatasi cryptomenore.
Kanniyan L, Chacko J, George A, Sen S. Colon replacement of vaginal to
restore menstrual function in 11 adolescent girls with vaginal
cervicovaginal agenesis. Pediatr Surg Int 2009;25:675-681
Williams vulvovaginoplasty

A horseshoe-shaped incision is made on the perineum and skin flaps from the labia
majora are used to create a pouch horizontal to the perineum. Although technically
simpler than the other two techniques, this method became less popular due to the
short length and unusual angle for coitus of the resulting

pouch.2 Emans SJ, Laufer MR, Goldstein DP. Pediatric and AdolescentGynecology.
5th ed. Lippincott Williams & Wilkins: Philadelphia;2005

Vecchietti procedure

The principle is to create a neovagina by gradual stretching of the vaginal skin. This is
one of the most popular techniques for surgical creation of a vagina and it is
performed in certain centres in the UK. The procedure involves placing an olive-
shaped bead onto the vaginal dimple, which is pulled up gradually by threads that run
through the olive from the perineum into the pelvis subperitoneally, across the
vesicorectal space and out through the abdomen, where they are attached to a traction
device placed suprapubically. Gradually increasing traction is applied to produce 1.0–
1.5 cm of invagination per day. It takes 7– 9 days to create the neovagina. The
dilating olive and the traction device are removed once the neovagina is at least 7–8
cm long. Once the neovagina is created it is maintained by using vaginal dilators or
by regular sexual activity. The traction can be completed as an outpatient. Fedele et
al reported anatomical success in 98% and functional success in 97% of 110 women
who underwent this procedure. Potential complications are visceral damage during
laparoscopy and an increased risk of stress urinary incontinence.. Fedele L, Bianchi S,
Frontino G, Fontana E, Restelli E, Bruni V. The laparoscopic Vecchietti’s modified
technique in Rokitansky syndrome: anatomic, functional and sexual long-term results.
Am J Obstet Gynecol 2008;198:377.e1–6.

Metode operasi Vecchietti diperkenalkan pertama kali oleh Giuseppe Vechieti tahun
1965. Metode ini diterima dengan baik oleh negara di Eropa untuk membuat
neovagina. Tetapi metode ini kurang terkenal pada negara-negara yang berbahasa
Inggris.1Instrumen Vecchieti terdiri dari alat traksi, pengait benang lurus dan
lengkung dan bahan akrilik berbentuk olive (buah Zaitun) ukuran 2,2 x 1,9 cm.
Operasi Vecchieti konvensional dilakukan melalui operasi transabdominal
dengan insisi Pfannensteil. Peritoneum yang menutupi vesikorektal junction
dibuka dan dipisahkan dengan antara vesika urinaria dengan rektum. Pengait
benang lurus dimasukkan dari abdomen melalui vesikorektal yang dibuat, menembus
pseudohimen pada perineum. Satu ujung benang polyglycolicacid nomor 2
dimasukkan pada mata pengait benang yang kemudian ditarik kedalam ruang
peritoneum. Olive kemudian diikat pada ujung luar perineum. Benang paralel kedua
dimasukan dengan cara yang sama. Sementara itu pengait benang lengkung yang
dimasukkan lateral dari otot rektus pada posisi subperitoneal sepanjang dinding
samping pelvis. Ujung benang dari perineum dimasukkan pada mata pengait lengkung
begitu ujung pengait terlihat dibawah peritoneum yang diinsisi. Pengait benang
kemudian dikeluarkan sambil menarik benang keluar dari permukaan kulit.
Peritoneum pada vesicorektal junction dan insisi pada abdomen ditutup. Alat traksi
diletakkan pada abdomen dan ujung benang dikait pada alat traksi. Metode operasi
Vecchietti konvensional dengan pendekatan transabdominal, sekarang diganti dengan
bantuan alat laparaskopi dengan masih menggunakan instrumen Vecchietti. Imparato
E, Alfei A, Aspesi G, Meus AL, Spinillo A. Long-term results of
sigmoid vaginoplasty in consecutive series of 62 patients. Int Urogynecol J
2007;18:1465-1469

Gambar4.9. Prosedur Laparascopi Veccietti24


Gambar 4.10. Traksi vecchietti yang ditempatkan diatas perut24

Metode Vecchietti terdiri dari dua fase yaitu intraoperatif dan postoperatif. Fase
operatif melakukan pembedahan untuk menempatkan olive dan benang traksi.
Fase postoperatif adalah fase invaginasi yang membuat neovagina dengan
menggunakan tarikan konstan yang diteruskan melalui benang keolive yang ada
diperineum. Kecepatan invaginasi rata-rata 1,0-1,5cm/hari, yang menghasilkan
kedalaman neovagina 10-12 cm dalam 7-9 hari. Mobilisasi dini dianjurkan karena
kontraksi otot rektus akan memberikan tambahan tenaga tarikan. Semua pasien
diberikan alat penutup vagina sebelum dipulangkan dan diinstruksikan cara
penggunaannya. Imparato E, Alfei A, Aspesi G, Meus AL, Spinillo A. Long-term
results of
sigmoid vaginoplasty in consecutive series of 62 patients. Int Urogynecol J
2007;18:1465-1469

Gambar 4.11. Instrumen Vecchietti terdiri dari alat traksi Vecchietti, pengait
benang lurus dan melengkung, dilation olive Imparato E, Alfei A, Aspesi G, Meus
AL, Spinillo A. Long-term results of
sigmoid vaginoplasty in consecutive series of 62 patients. Int Urogynecol J
2007;18:1465-1469

Gambar 4.12. Ilustrasi penggunaan laparoskop pada metode Vecchieti Imparato E,


Alfei A, Aspesi G, Meus AL, Spinillo A. Long-term results of
sigmoid vaginoplasty in consecutive series of 62 patients. Int Urogynecol J
2007;18:1465-1469

Gambar 4.13. Posisi akhir metode Vecchietti. Dilation olive ditarik pada
psudohimen dan kedua benang traksi telah ditempatkan pada alat
traksi Imparato E, Alfei A, Aspesi G, Meus AL, Spinillo A. Long-term results of
sigmoid vaginoplasty in consecutive series of 62 patients. Int Urogynecol J
2007;18:1465-1469

Giannesi dan kawan kawan melaporkan hasil operasi dengan laparaskopi Davydof
terhadap 28 orang wanita dengan agenesis vagina yang berhubungan dengan agenesis
uterus atau hipoplasia. Ada tiga tahap operasi, dua tahap laparaskopi dan satu tahap
diperineal. Setelah operasi pasien diharuskan memakai mould atau dilator selama satu
bulan. Hasil operasi disimpulkan dengan menanyakan kenyaman seks setelah operasi
dengan menggunakan Female Seksual Function Index (FSFI). Pengukuran vagina
dilakukan dan didapatkan 26 dari 28 pasien mempunyai ukuran > 6 cm dengan rata-
rata panjang vagina 7.2±1.5 cm. Dari 28 pasien yang dioperasi 19 orang diantaranya
menunjukkan hasil yang sangat baik dan memuaskan. Giannesi A, Marchiole P,
Benchaib M, Measson MC, Mathevet P, Dargent
D. Sexuality after laparascopic Davydov in patients affected by congenital
complete vaginal agenesis associated with uterine agenesis or hypoplasia.
Human Reproduction 2005;20(10):2954-2957

Fedele dan kawan kawan menelitimukosa vagina yang baru terhadap 19 orang pasien
yang telah dilakukan laparoskopi vecchieti. Biopsi dilakukan pada bulan ke 12 sampai
18 setelah operasi. Pemeriksaan dilakukan dengan cahaya, elektron skaning dan
transmisi elektron mikroskop. Hasilnya didapatkan terdapat pengurangan
vaskularisasi pada mukosa vagina yang telah dilakukan laparoskopi vecchieti
dibandingkan dengan mukosa vagina yang normal. Ismail I, Cutner A, Creighton S.
Laparoscopic vaginoplasty: alternative
techniques in vaginal reconstruction. British Journal Obstetric 2006;340-
343

Laparoscopic Balloon Vaginoplasty

Darwish mengembangkan konsep pembuatan vagina dengan menggunakan balon


kateter. Tujuan utamanya adalah memperkenalkan suatu pendekatan yang sederhana,
cepat, efektif dan aman yang dapat dilakukan oleh dokter kandungan diseluruh dunia.
Inovasi laparoskopi yang dilakukan oleh Darwish ada yang dengan pembedahan
kantong rektovesikel ada juga yang tidak.Pembedahan dilakukan dengan general
endotrakeal anestesi, dilakukan evaluasi standar laparoskopi. Pembedahan peritoneum
mencakup kantong vesikorektal. Sebuah kain kasa dimasukkan kedalam rektum yang
kemudian digerakan sesuai instruksi operator. Sebuah kateter metal dimasukan
kedalam kandung kemih yang digerakan sesuai instruksi operator. Kemudian
dilakukan pembedahan pada ruang vesikorektal. Sebuah trokar dimasukkan 5mm
disebelah atas kiri suprapubis menembus peritoneum sampai mencapai ruang
vesikorektal yang telah dilakukan pembedahan. Sebuah Foley kateter silikon 18F
dimasukkan ekstraperitoneum sampai mencapai ruang vesikorektal. Balon kateter
dikembangkan dengan 6cm3 saline sambil diangkat keatas dan tarikan dilakukan
sambil dipertahankan dengan dua buah klem talipusat. Untuk menghindari nyeri
dan iskemia dibawah klem dapat diberikan penahan berupa pakaian yang telah
dilubangi. Meskipun pembedahan diekstraperitoneal namun prosedur laparoskopi
ini memerlukan pengalaman yang matang supaya pembedahan antara rektum dan
kandung kemih bersifat aman. Darwish AM. Balloon Vaginoplasty : A Revolutionary
Approach for
Treating Vaginal Aplasia 2010;5(1):295-314

Gambar 4.14. Posisi lateral silikon kateter foley diekstraperitoneal 27

Sebuah silikon balon kateter dimasukkan oleh operator yang sudah berpengalaman
melalui transperitoneal dan melalui dinding pelvis dimana balon diposisikan pada
cekungan vagina. Secara perlahan tarikan dinaikkan 1-2 cm/hari melalui dinding perut
selama satu minggu dan dipakai alas berupa tiga buah DVD. Seiring dengan tarikan,
peningkatan kapasitas balon kateter 5 ml tiap hari juga dilakukan untuk mencapai luas
vagina yang diinginkan. Hubungan seks disarankan satu minggu setelah pembedahan.
Meskipun prosedur ini tampaknya mudah, namun pencapaian intraperitoneal
dilakukan secara buta sehingga resiko usus melingkari loop ataupun terjadi iritasi
peritoneum. Darwish AM. Balloon Vaginoplasty : A Revolutionary Approach for
Treating Vaginal Aplasia 2010;5(1):295-314
Gambar 4.15. Sebuah inserter didesain untuk memasukkan kateter 27

Gambar 4.16. Posisi pasien rekonstruksi vagina dengan balon kateter post operatif
John AR, Lesley LB, Surgery for Anomalies of the Mullerian Ducts. In:
Telinde’s Operative Gynecology,10th Edition Chapter 25.2008:1-128

Davydov procedure
A neovagina is created using the woman’s own peritoneum as lining. The procedure
involves dissection of rectovesical space, abdominal mobilisation of the peritoneum to
create vaginal fornices and attachment of the peritoneum to the introitus.
Postoperatively a vaginal mould is inserted for 6 weeks and regular vaginal dilators
are used until commencement of regular sexual activity.Good anatomical and
functional success is reported with this procedure.24 No major complications are
reported other than growth of granulation
tissue at the vaginal vault. The laparoscopic approach has the added benefit of clear
visualisation of the anatomy, a shorter hospital stay and less postoperative pain.
Reichman DE, Laufer MR. Mayer–Rokitansky–K¨uster–Hauser syndrome: fertility
counseling and treatment. Fertil Steril 2010;94:1941–3

Fertility options
The inability to reproduce is one of the most emotionally detrimental aspects of
MRKH syndrome. As the ovaries function normally, in vitro fertilisation and
surrogacy are possible ways of producing genetically related offspring using
thewoman’s own eggs. Transvaginal egg retrieval is challenging in some cases where
there is an artificially created vagina and abnormally positioned ovaries.
Transabdominal or, rarely, laparoscopic egg retrieval may be necessary. There is also
concern about transmitting the same congenital abnormality to the offspring. In a
study25 of 58 women with MRKH syndrome undergoing fertility treatment with
gestational surrogates, none of the 17 female children born had MRKH syndrome.
Adoption is another option.

Future prospects
Uterine transplantation may hold hope for these women in the future, as studies in
animals have been promising. One attempted uterine transplantation in humans has
been reported but was unsuccessful. Research is focusing on such novel therapies and
the genetic aetiology and pattern of inheritance of MRKH syndrome. Reichman DE,
Laufer MR. Mayer–Rokitansky–K¨uster–Hauser syndrome: fertility counseling and
treatment. Fertil Steril 2010;94:1941–3
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Mayer-Rokitansky-Ku ̈ster-Hauser tampak lebih dan lebih mungkin sebagai patologi


dengan etiologi kompleks dan multifaktorial; Sindrom Mayer-Rokitansky-Küster-
Hauser adalah jenis malformasi saluran mullerian yang ditandai dengan aplasia
kongenital rahim dan dua pertiga bagian atas vagina pada wanita dengan kariotipe 46
XX. Pasien adalah fenotip normal betina dengan ovarium yang berfungsi dan
biasanya hadir dengan amenore primer, sedangkan Sindrom Turner adalah suatu
monosomi kromosom seks. Ini merupakan penyebab penting amenore primer dengan
perawakan pendek, dengan variabel hipogonadisme tergantung derajat perkembangan
gonad. Sindrom Turner merupakan hasil dari ketidakhadiran lengkap atau sebagian
dari kromosom seks kedua dengan atau tanpa garis mosaik sel.

MRKH syndrome is a spectrum of congenital abnormalities of the vagina and the


uterus with varying anatomical presentation in a phenotypically and genotypically
normal female. Management includes psychological support and the creation of a
neovagina for sexual function. As this condition is relatively rare, centralising the care
of such women in centres of expertise may improve patient care and help with future
research into aetiology and management.
DAFTAR PUSTAKA

1. Londra L, Chuong FS, Kolp L. Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser syndrome:


a review. International Journal of Women’s Health 2015:7 865–870

2. Nodale C, Ceccarelli S, Giuliano M, et al. Gene expression pro le of patients


with Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser syndrome: new insights into the
potential role of developmental pathways. PloS One. 2014;9(3): E91010.
3. Bombard DS 2nd, Mousa SA. Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser syndrome:
complications, diagnosis and possible treatment options: a review. Gynecol
Endocrinol. 2014;30(9):618–623.
4. Afendi NR, et al. Coexistence of Mayer-Rokitansky-Küster-Hauser syndrome
with Turner syndrome: A case report. Edorium J Gynecol Obstet 2017;3:5-8
5. Pizzo A, et al. Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser Syndrome: Embryology,
Genetics and Clinical and Surgical Treatment. Hindawi Publishing
Corporation, Vol 13, 2012.
6. K. Morcel, D. Guerrier, T. Watrin, I. Pellerin, and J. Leveˆque, “Mayer-
Rokitansky-Kuster-Hauser (MRKH) syndrome: clinical description and
genetics,” Journal de Gynecologie Ob- stetrique et Biologie de la

Reproduction, vol. 37, no. 6, pp. 539– 546, 2008. 
 


7. P. Oppelt, S. P. Renner, A. Kellermann et al., “Clinical aspects of Mayer-


Rokitansky-Kuester-Hauser syndrome: recommen- dations for clinical
diagnosis and staging,” Human Reproduc- tion, vol. 21, no. 3, pp. 792–797,

2006 


8. L. Fedele, S. Bianchi, M. Barbieri, G. Frontino, R. Meroni, and E. Fontana,


“Use of an endoscopic ultrasound probe for the evaluation of the Mullerian
rudiments in patients with Rokitansky syndrome,” Fertility and Sterility, vol.

89, no. 4, pp. 981–983, 2008. 


9. Vallerie AM, Breech LL, “Update in Mullerian anomalies: diagnosis,


management, and outcomes,” Current Opinion in Obstetrics and Gynecology,

vol. 22, no. 5, pp. 381–387, 2010. 



10. E. Caliskan, S. Ozkan, Y. Cakiroglu, H. T. Sarisoy, A. Corakci, and S.
Ozeren, “Diagnostic accuracy of real-time 3D sonography in the diagnosis of
congenital Mullerian anomalies in high-risk patients with respect to the phase
of the menstrual cycle,” Journal of Clinical Ultrasound, vol. 38, no. 3, pp.

123–127, 2010. 


Referensi

1. Fontana L, Gentilin B, Fedele L, Gervasini C, Miozzo M. Genetics of Mayer-


Rokitansky-Küster-Hauser (MRKH) syndrome. Clin Genet. 2017 Feb;91(2):233-
246. doi: 10.1111/cge.12883. Epub 2016 Nov 16
2. Oppelt P, Renner SP, Kellermann A, et al. Clinical aspects of Mayer-Rokitansky-
Kuester-Hauser syndrome: recommendations for clinical diagnosis and
staging. Hum Reprod. 2006;21(3):792–797
3. Ekici AB, Strissel PL, Oppelt PG, et al. HOXA10 and HOXA13 sequence
variations in human female genital malformations including congenital absence of
the uterus and vagina. Gene. 2013;518(2):267–272
4. Junizaf, Erwinanto. Embriologi sistem urogenital wanita dalam buku ajar
uroginekologi Indonesia.
5. Fetal Growth and Development. In : Cunningham, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth
JC, Rouse DJ, Spong CY.Williams Obstetric 23rd edition, 2010 chapter 4
6. Guerrier D, Camborieux L, Morcel K. Mayer-Rokitansky-Küster-Hauser (MRKH)
syndrome. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007, 2:13:172-2-13, License:
BioMed Central Ltd. Published on 14 March 2007.
7. Lauber AB, Konrad D et al. A WNT4 Mutation associated with müllerian duct
regression and virilization in a 46,XX woman. N Eng l J Med 2004; 351:792-8.
8. Fiaschetti V, Taglieri A, Gisone V, Coco I, Simonetti G. Mayer-Rokitansky-
Kuster-Hauser syndrome diagnosed by magnetic resonance imaging. Role of
imaging to identify and evaluate the uncommon variation in development of the
female genital tract. J Radiol Case Rep. 2012;6(4):17–24

Anda mungkin juga menyukai