Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) di dunia masih
terbilang tinggi, menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2013,
ada sekitar 800 ibu di dunia meninggal setiap harinya akibat komplikasi kehamilan dan
persalinan. Penyebab utama dari kematian ibu antara lain sumberdaya yang rendah,
perdarahan, hipertensi, infeksi, dan penyakit penyerta lainnya yang diderita ibu
sebelum masa kehamilan. Wanita yang tinggal di negara berkembang memiliki resiko
kematian 23 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita yang tinggal di negara maju
sehubungan dengan faktor yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan. Selain
angka kematian ibu, angka kematian anak di dunia juga masih tinggi.1

Menurut hasil pengamatan yang dilakukan oleh WHO terhadap program


Millennium Development Goals (MDGs) melalui program Global Health Observatory
(GHO), terutama MDGs yang berisi tentang mengurangi angka kematian anak terlihat
bahwa angka kematian anak di dunia mengalami penurunan sekitar 50% pada tahun
2013 bila dibandingkan dengan tahun 1990, tahun dimana program MDGs sendiri
mulai dicanangkan, pada tahun 1990 angka kematian anak mencapai 12,7 juta, dan
pada 2013 angka kematian anak di dunia tercatat sebesar 6,3 juta.1

Di Indonesia sendiri AKI masih terbilang tinggi bila di bandingkan dengan negara-
negara tetangga, menurut survey demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2012 AKI yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas adalah 359 per
100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut belum sesuai dengan target MDGs yaitu
102/100.000 kelahiran hidup.1

Kehamilan kembar (multiple pregnancy) ialah satu kehamilan dengan dua janin
atau lebih. Sedangkan gemelli adalah satu kehamilan dengan dua janin. Dari tahun ke
tahun angka kejadian gemelli semakin meningkat. National Center for Health Statistics
(2006) menyebutkan bahwa antara tahun 1980 sampai tahun 2004, tingkat kelahiran
gemelli meningkat secara dramatis di Amerika Serikat (dari 18,9 menjadi 32,2 per
1000 kelahiran hidup). Di Provinsi Sumatera Utara angka kelahiran ganda sebanyak
30% dari kehamilan tunggal.2

Komplikasi pada ibu akibat gemelli lebih sering daripada kehamilan tunggal.
Sebagian besar bayi gemelli dilahirkan secara prematur sehingga mortalitas gemelli
menjadi 4 kali lipat dibandingkan mortalitas bayi tunggal. Walaupun kelahiran gemelli
hanya menggambarkan 1% dari seluruh kehamilan dan 2% dari kelahiran hidup, angka
ini mempresentasikan 12% dari kematian neonatal dan 17% angka kematian bayi
(infant) dengan retardasi pertumbuhan.2

Pada kehamilan ganda, kemungkinan untuk terjadinya kematian perinatal lebih


besar dibandingkan dengan kehamilan tunggal yaitu sebesar 10-12%. Dan semua

1
kematian intrauterin yang terjadi pada kehamilan ganda dikaitkan dengan kembar
monokorionik.2

1.2 Tujuan
Paper ini dibuat untuk membahas komplikasi gemelli monokorionik.

1.3 Manfaat
Dengan adanya paper ini diharapkan dapat memberikan pengatahuan dan memperjelas
tentang komplikasi gemelli monokorionik agar kelak dapat diterapkan dan
dilaksanakan oleh klinisi pada praktiknya di lapangan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Klasifikasi Gemelli


Gemelli terbagi atas dizygotic dan monozygotic. Gemelli dizygotic terjadi sewaktu dua
ovum dibuahi dua sperma, sedangkan gemelli monozygotic terjadi sewaktu satu ovum
yang dibuahi satu sperma mengalami pembelahan. Gemelli dizygotic terbagi atas
dichorionic dan diamniotic. Gemelli monozygotic terbagi atas dichorionic diamniotic,
monochorionic diamniotic, monochorionic monoamniotic, dan conjoined twin bergantung
pada waktu terjadinya pembelahan.3
Gemelli monozygotic dichorionic diamniotic terjadi sewaktu blastomer membelah 72
jam setelah fertilisasi, dimana korion dan amnion belum terbentuk. Gemelli monozygotic
monochorionic diamniotic terjadi sewaktu blastomer mengalami pembelahan pada hari
keempat hingga ketujuh setelah fertilisasi, korion telah terbentuk tapi amnion belum
terbentuk. Gemelli monozygotic monochorionic monoamniotic terjadi sewaktu blastomer
mengalami pembelahan pada hari kedelapan setelah fertilisasi, korion dan amnion telah
terbentuk. Apabila pembelahan terjadi pada hari ke-13 maka dapat terjadi conjoined twin
karena lempeng germinal telah terbentuk sempurna.4

Gambar 1. Proses pembentukan gemelli4

3
Gambar 2. Klasifikasi gemelli5

Korionisitas merujuk kepada tipe plasentasi dimana plasenta monokorionik dapat datang
dengan gejala klinis beragam karena adanya komunikasi vaskular diantara kedua fetus.4

2.2 Komplikasi
2.2.1 TRAP (Twin Reversed Arterial Perfusion)
Merupakan komplikasi yang jarang dari kehamilan kembar monokorionik, mono- atau
diamniotik, dimana salah satu kembaran tidak memiliki jantung atau jantung yang belum
sempurna (tidak berfungsi). Kondisi ini telah dideskripsikan sebagai malformasi terparah
pada manusia. Malformasi ini mengganggu seluruh sistem tubuh, dimana hal tersebut
selalu menyebabkan kelainan. Insidensi kejadian TRAP dengan frekuensi 1/35.000
kehamilan atau 1% dari kehamilan monokorionik.6

Salah satu variasi dari TTTS, dimana salah satu janin tumbuh dengan normal
sedangkan janin yang lain mengalami kegagalan dalam pembentukan organ jantung dan
organ tubuh lainnya. Pada kehamilan ini, tali pusat janin acardiac merupakan percabangan
langsung dari tali pusat dengan aliran darah dari janin normal yang disebut juga dengan
“pump twin”, dengan aliran darah yang terbalik (reversed) sehingga kondisi ini disebut
twin reversed arterial perfusion (TRAP). Pada beberapa kasus aliran darah dari pump twin
berhenti dan pertumbuhan janin acardiac akan berhenti. Sedangkan pada kasus lainnya
aliran darah akan terus berlanjut dengan pertumbuhan dari janin acardiac, yang
mengakibatkan kegagalan fungsi jantung dan polihidramnion pada pump twin/janin
donor.7

Kembar penerima atau parasit ini dapat memiliki empat bentuk presentasi yang
berbeda sesuai dengan derajat perkembangan cephalic dan truncal:8
1) Acardius-acephalus: di mana tidak ada struktur kepala. Kepala dan ekstremitas atas
tidak terbentuk. Ini adalah presentasi yang paling umum.

4
2) Acardius-anceps: di mana terdapat struktur kranial dan jaringan saraf atau otak. Tubuh
dan ekstremitas juga berkembang. Ini adalah bentuk yang paling berkembang/tumbuh dari
semua subtipe.

3) Acardius-acormus: yang dijumpai dengan struktur akhir sefalik; Namun, struktur


trunkal tidak dijumpai. Tali pusat melekat ke ujung kepala. Ini adalah bentuk acardia yang
paling langka.

4) Acardius amorf: yang paling sedikit berkembang, dan bentuk malformasi parah ini
membuatnya tidak dapat dikenali sebagai janin manusia. Bentuk ini seperti massa
heterogen, karena struktur kranial atau struktur trunkal tidak terlihat pada pencitraan.

Diagnosis

Diagnosis antenatal dapat dideteksi dengan tidak terlihat adanya jantung pada
ultrasonografi dan tampak anastomosis vaskular plasenta dengan Doppler meskipun
terdapat pergerakan trunkus dan ekstremitas pada kembar yang memiliki banyak kelainan.
Diagnosis prenatal janin acardiac dapat dilakukan dengan ultrasonografi pada akhir
trimester pertama. Studi Doppler dapat menunjukkan fitur patognomonik dari aliran balik
pada arteri-arteri anastomosis.9

Sedangkan untuk pemeriksaan ekokardiografi dari “pump twin” diperlukan tidak


hanya untuk memperkirakan tingkat gagal jantung tetapi juga untuk mengidentifikasi
kemungkinan cacat struktural dan yang paling umum yaitu kelainan jantung.10

Tatalaksana
Pilihan dalam penatalaksanaan terdiri atas pengobatan konservatif, paliatif, dan invasif.
Pilihannya ditentukan berdasarkan usia kehamilan, ukuran kembar acardiac, ketersediaan
ahli bedah anak, peralatan khusus yang sebagian besar kurang di negara berkembang.
Manajemen konservatif mencakup pengawasan antenatal yang dekat dan rujukan jika ada
bahaya pada twin pump. Sangat cocok untuk kasus yang tidak terlalu parah ketika twin
pump mendominasi. Perawatan paliatif melibatkan perpanjangan kehamilan dengan serial
amnioreduksi. Kematian perinatal dari perawatan di atas dilaporkan 10% - 55%.
Pengobatan invasif dengan mengganggu aliran darah ke kembar acardiac menggunakan
histerotomi dan pelahiran selektif dari kembar acardiac; embolisasi sirkulasi acardiac oleh
zat tromboemboli; fetoscopic cord ligation dan koagulasi dipandu ultrasound dari tali pusat
menggunakan laser atau radiofrequency ablation. Histerotomi dan kelahiran selektif dari

5
kembar acardiac tidak lagi dilakukan, karena ini terkait dengan komplikasi ibu dan janin
yang tinggi, dan teknik invasif yang kurang tersedia. Injeksi alkohol intra-janin dipandu
USG lebih sederhana dan dibandingkan dengan prosedur endoskopi, tidak mahal dan dapat
digunakan di negara-negara berpenghasilan rendah. Koagulasi dipandu ultrasound dari tali
pusat menggunakan laser atau radiofrequency ablation dapat dilakukan sedini 16-24
minggu dan dikaitkan dengan tingkat kelangsungan hidup 80% - 88% dan usia kelahiran
rata-rata 38 minggu.11

2.2.2 TTTS (Twin-to-Twin Transfusion Syndrome)


Twin-to-Twin Transfusion Syndrome adalah suatu keadaan dimana terjadi transfusi
darah intrauterin dari janin ke janin yang lain pada kehamilan kembar. Kondisi ini hanya
terjadi pada monochorionic diamniotic (1/3 dari monozygotic twin). Pada sebagian besar
kehamilan ini, plasenta tunggal akan memiliki pembuluh darah yang akan menghubungkan
kedua janin. Untuk alasan yang belum diketahui sampai dengan saat ini, pada 15%-20%
dari monochorionic diamniotic aliran darah yang melalui pembuluh darah ini menjadi tidak
seimbang menghasilkan kondisi yang disebut twin-twin transfusion syndrome (TTTS) yang
bukan merupakan faktor yang diturunkan/genetik atau disebabkan oleh sesuatu yang
dilakukan oleh ibu atau ayah.12,13
Pada TTTS, janin yang lebih kecil (disebut janin donor) tidak mendapatkan aliran
darah yang mencukupi sedangkan janin yang lebih besar (disebut janin resipien) menjadi
overloaded karena terlalu banyak aliran darah. Sehingga menghasilkan gangguan pada
trimester kedua ditandai dengan perbedaan jumlah air ketuban dan gangguan pertumbuhan
yang mencolok diantara keduanya, terjadi hipovolemik dan insufiensi plasenta pada janin
donor, dan hipervolemik dan disfungsi jantung pada resipien (Gambar 1). Adanya transfusi
yang tidak seimbang diantara keduanya oleh karena anastomosis arteri-vena yang berjalan
satu arah, dengan ketidakmampuan atau tanpa adanya kompensasi pada sepanjang
anastomosis dua arah, sehingga menghasilkan up-regulation dari sistem renin-angiotensin
pada donor dan down-regulation pada resipien.12,13
Dalam usaha untuk mengurangi volume darahnya, janin resipien akan meningkatkan
produksi urin sehingga pada pemeriksaan ultrasound didapatkan vesica urinaria yang besar
dan jumlah air ketuban yang banyak (polihidramnion). Pada saat yang sama janin donor
akan menghasilkan air ketuban yang sedikit, air ketuban disekitarnya akan menjadi sedikit
atau tidak ada (oligohidramnion). Dalam perjalanan kondisi ini, janin donor akan
memproduksi sangat sedikit urin sehingga vesica urinaria tidak dapat terlihat pada
6
pemeriksaan ultrasonografi, jumlah air ketuban yang sedikit akan menghasilkan gambaran
janin donor terbungkus oleh membran ketubannya (stuck twin). Machin et al melakukan
pemeriksaan anatomi vaskular plasenta pada 69 kehamilan kembar monochorioc,
ditemukan bahwa prognosis klinis terburuk didapatkan pada tipe anastomosis arteri-vena
yang berasal dari donor ke resipien yang tidak diimbangi dengan aliran yang
sebaliknya.12,13

Gambar 1. Anastomosis kedua janin


Diagnosis
TTTS merupakan kondisi dengan perjalanan yang lambat, dengan dimulai (dilaporkan)
pada umur kehamilan 13 minggu atau trimester kedua. Diagnosis TTTS ditegakkan dengan
evaluasi ultrosonografi yang menunjukkan adanya kehamilan kembar dengan satu plasenta
(monochorionic), jenis kelamin sama dengan dipisahkan oleh membran ketuban,
pengukuran nuchal translucency >3mm pada umur kehamilan 10-14 minggu, hasil crown-
rump length (CRL) yang buruk pada salah satu janin, polihidramnion pada janin resipien
dan oligohidramnion pada janin donor. Jumlah air ketuban diukur dengan maximum
vertical pocket (MVP) .12,13
Diagnosis postnatal TTTS dapat ditegakkan dengan:12,13
1. Adanya perbedaan berat badan kedua janin yang >500g atau perbedaan >20% pada
janin preterm.
2. Terdapat perbedaan kadar hemoglobin dan hematocrit dari kedua janin, janin donor
dapat mencapai 8 g% atau kurang dan janin resipien bisa mencapai 27%.
3. Perbedaan ukuran pada organ-organ jantung, ginjal, hepar, dan thymus.

7
Berdasarkan ultrasonografi, Quintero at al membagi TTTS menjadi 5 klasifikasi:12,13
Stage I: awal dari TTTS akan tampak pada pemeriksaan ultrasonografi terdapat
oligohidramnion pada janin donor dengan MVP 2cm atau kurang, vesika urinaria masih
tampak dan polihidramnion pada janin resipien MVP 8 cm atau lebih.
Stage II: stage I dengan vesika urinaria janin donor yang tidak tampak.
Stage III: pemeriksaan aliran darah (Doppler velocimetry) pada tali pusat dan ductus
venosus janin akan tampak gambaran abnormal (pada salah satu atau kedua janin). Pada
arteri umbilikalis akan didapatkan tidak adanya gambaran aliran diastolik atau terbalik,
gambaran ini biasa didapatkan pada janin donor. Pada ductus venosus, didapatkan diastolik
yang hilang atau terbalik. Gambaran ini biasa didapatkan pada janin resipien dengan awal
kegagalan fungsi jantung. Janin resipen juga menunjukkan gambaran kebocoran katup
jantung sebelah kanan (regurgitasi trikuspid).
Stage IV: satu atau kedua janin menunjukkan gejala hidrops, yang berarti telah terjadi
kelebihan/penumpukan cairan pada beberapa bagian tubuh janin seperti pembengkakan
pada kulit kepala (scalp edema), abdomen (ascites), sekitar paru-paru (pleural effusion)
atau sekitar jantung (pericardial effusion). Hasil ini sebagai bukti adanya kegagalan fungsi
jantung dan biasanya didapatkan pada janin resipien.
Stage V: kedua janin meninggal.

Tatalaksana
1. Reduction amniocentesis
Amniocentesis secara serial untuk mengurangi jumlah air ketuban yang berlebihan dari
kantung amnion janin resipien dengan menggunakan jarum melewati dinding perut ibu
(Gambar 2). Jumlah air ketuban yang dikeluarkan bervariasi berdasarkan volume awal air
ketuban pada janin resipien, umur kehamilan dan adanya kontraksi uterus selama prosedur
tindakan. Pada umumnya tidak lebih dari 3 liter pada setiap kali prosedur dan diselesaikan
dalam waktu kurang dari 30 menit. Tindakan ini sementara waktu dapat mengembalikan
keseimbangan dalam jumlah air ketuban pada kedua kantung amnion janin dan dilakukan
pada TTTS stadium I-II yang timbul pada akhir kehamilan. Akan tetapi tindakan ini
memerlukan pengulangan yang dilakukan setiap beberapa hari sampai dengan minggu
dimana jumlah air ketuban kembali mencapai berlebihan. Prosedur ini dirasakan tidak
efektif pada TTTS stadium III dan IV. Komplikasi dari prosedur berulang ini yaitu
8
termasuk persalinan prematur 3%, ketuban pecah dini 6%, infeksi sejumlah 1% dan
pelepasan dini plasenta (abruptio plasenta) pada 1% kasus. Kehamilan TTTS dengan
manajemen amniosentesis berulang dengan angka rata-rata persalinan pada umur
kehamilan 29-30 minggu dengan survival rate dilaporkan sejumlah 18%-83%, dimana 56%
nya dengan TTTS lanjut dengan luaran satu janin hidup tanpa kerusakan otak. Mendekati
20%-25% dari janin TTTS yang hidup didapatkan memiliki gangguan pertumbuhan jangka
panjang.12,13

Gambar 2. Reduction amniocentesis12,13

2. Septostomy atau microseptostomy


Septostomy adalah tindakan untuk membuat lubang pada membran diantara membran
ketuban kedua janin dengan menggunakan jarum (Gambar 3). Lubang ini akan
menyebabkan perpindahan cairan dari kantung ketuban dengan jumlah air ketuban yang
berlebihan (resipien) ke kantung ketuban dengan jumlah sedikit (donor). Dikarenakan
tindakan septostomy menggunakan dengan jarum yang sama dengan tindakan
amniocentesis, komplikasi dari infeksi, persalinan prematur dan ketuban pecah dini sangat
jarang. Septostomy memiliki risiko dimana lubang yang menghubungkan kedua kantung
amnion menjadi lebih besar oleh karena sobeknya membran ketuban sehingga
memungkinkan kedua janin untuk berbagi ruang kantung ketuban yang sama (dilaporkan
sejumlah 3%). Dalam kondisi terburuk, tali pusat kedua janin dapat terlilit satu sama lain
yang mengakibatkan kematian salah satu atau kedua janin. Pada penelitian dengan skala
besar didapatkan survival rate sejumlah 80% untuk salah satu janin dan 60% untuk kedua
janin.12,13

9
Gambar 3. Septostomy12,13

3. Selective laser ablation of the placenta anastomosis vessels


Pada TTTS stadium II atau lebih, tindakan ablasi laser pada pembuluh darah pada
plasenta yang menghubungkan kedua janin dapat merupakan tindakan kuratif (Gambar 4).
Dengan membuat insisi kecil pada kulit yang memungkinkan untuk memasukkan
instrumen dengan panduan ultrasonografi kedalam kantung ketuban janin resipien. Dengan
menggunakan fetoscope untuk menemukan pembuluh darah yang menghubungkan kedua
janin pada permukaan plasenta kemudian “ditutup” dengan menggunakan energi laser,
dilanjutkan dengan amniocentesis hingga mencapai volume normal. Oleh karena fetoscope
memerlukan lubang/insisi pada kulit yang lebih lebar sehingga dihubungkan dengan
komplikasi yang lebih tinggi dari kontraksi prematur, ketuban pecah dini (15%-20%),
abruptio plasenta (2%) dan infeksi, sehingga dengan alasan ini diberikan medikasi untuk
mencegah kontraksi dan infeksi sebelum dan sesudah prosedur. Sebagai tambahan, terapi
laser dapat dihubungkan dengan risiko unik dimana energi laser dapat menyebabkan
perdarahan pada beberapa area plasenta atau pembuluh darah di permukaan plasenta.
Ablasi dengan laser memiliki survival rate setidaknya salah satu janin sebesar 70%-80%
dan keduanya 1/3 kasus. Jika salah satu janin meninggal akibat prosedur tindakan,
kemungkinan bagi janin hidup untuk timbulnya komplikasi mengalami penurunan dari
35% menjadi 7% dikarenakan keduanya tidak lagi berbagi pembuluh darah.12,13

10
Gambar 4. Selective laser ablation pada anastomosis pembuluh darah plasenta12,13

4. Selective cord coagulation


Pada beberapa kasus didapatkan kondisi dimana pasien sulit untuk mengambil
keputusan terhadap manajemen yang akan dilakukan oleh karena kemungkinan kematian
salah satu janin untuk menyelamatkan yang lainnya. Prosedur selective cord coagulation
ini dilakukan jika ablasi dengan laser tidak dimungkinkan atau jika salah satu dari janin
dalam kondisi mendekati kematian. Dengan menghentikan aliran darah pada tali pusat
janin yang sekarat, janin lainnya dapat terlindungi dari konsekuensi kematian saudaranya.
Prosedur ini dilakukan dengan menggunakan forcep khusus yang dimasukkan kedalam
kantung ketuban janin resipien dengan panduan ultrasonografi (Gambar 5). Tali pusat
dikoagulasi dengan menggunakan aliran listrik sehingga aliran darah ke janin ini akan
berhenti dan hubungan antara kedua janin akanterputus, tetapi akan menghilangkan
kesempatan hidup dari salah satu janin. Komplikasi dari prosedur ini adalah persalinan
prematur dan ketuban pecah dini 20%.12,13

11
Gambar 5. Selective cord coagulation12,13

5. Radio frequency ablation


Prosedur ini dilakukan untuk kondisi sindroma TRAP. Tali pusat dari janin dengan
acardiac biasanya sangat pendek dan sulit ditemukan dengan ultrasonografi sehingga sulit
untuk menghentikan aliran darah ke jantung janin dengan cara koagulasi tali pusat
(Gambar 6). Sehingga sebuah pembuluh darah besar pada acardiac janin biasanya menjadi
ujuan utama. Hal ini dilakukan dengan menggunakan radio frequency ablation catheter
dimana sebuah jarum khusus digunakan untuk membakar pembuluh darah besar pada janin
yang abnormal, sehingga menghentikan aliran darah dari janin normal ke janin acardiac.
Komplikasi dari infeksi, persalinan prematur dan ketuban pecah dini 8% sama dengan
prosedur lainnya yang menggunakan jarum dan kesempatan janin normal bertahan hidup
90%.12,13

Gambar 6. Radio frequency ablation11,12

12
2.2.3 TAPS (Twin Anemia Polycythemia Sequence)
TAPS adalah bentuk sindrom transfusi kembar-ke-kembar (TTTS) yang dapat
memperumit kehamilan kembar monokorion. Dalam kehamilan monokorionik, kembar
identik berbagi satu plasenta (setelah lahir) dan jaringan pembuluh darah yang memasok
oksigen dan nutrisi penting untuk perkembangan dalam rahim. Kehamilan ini rentan
terhadap komplikasi seperti TTTS dan urutan anemia polisitemia kembar (TAPS).
TAPS adalah kondisi langka yang terjadi ketika ada jumlah darah yang tidak sama
antara kembar di dalam rahim. Jumlah darah yang tidak merata menyebabkan si kembar
menderita ketidakseimbangan dalam sel darah merah dan hemoglobin. Ini berarti satu
kembar tidak menerima jumlah oksigen dan nutrisi yang diperlukan yang dibutuhkan untuk
berkembang dengan baik. TAPS dapat terjadi secara acak atau setelah operasi laser yang
tidak lengkap untuk mengobati TTTS.
Berbeda dengan TTTS klasik, TAPS disebabkan oleh bergabungnya beberapa koneksi
pembuluh arteri-ke-vena kaliber kecil (AV anastomoses). Arteri adalah pembuluh darah
yang membawa darah kaya oksigen dari jantung ke seluruh tubuh. Vena adalah pembuluh
yang melaluinya darah kembali ke jantung. AV anastomosis ini biasanya di dekat tepi
plasenta dan berdiameter kurang dari 1 mm.
GEJALA KLINIS
Tanda dan gejala yang berhubungan dengan TAPS termasuk lebih tebal dari darah
normal pada kembar penerima dan anemia pada kembar donor. Jika menderita
polycythemia, si kembar penerima mungkin memiliki aliran darah yang lambat di
pembuluh-pembuluh kecil dan bahkan mungkin menderita penyumbatan aliran darah
(trombosis) secara spontan.
DIAGNOSA
Tidak adanya tanda ultrasonografi antenatal oligohidramnion dan polihidramnion
adalah suatu kondisi yang kondisio untuk diagnosis TAPS. Kehadiran TOPS adalah
patognomonik untuk TTTS dan membutuhkan manajemen yang berbeda. Berbeda dengan
TTTS, TAPS dapat didiagnosis baik sebelum atau setelah melahirkan. Sejak TAPS baru
saja baru-baru ini dijelaskan, kriteria seragam masih perlu jelas didirikan
Kriteria antenatal
Diagnosis TAPS antenatal dapat dicapai berdasarkanKelainan USG Doppler
menunjukkan peningkatan kecepatan sistolik puncak di arteri serebral tengah (MCAPSV)
pada kembar donor (menunjukkan anemia janin) dan penurunan MCA-PSV pada kembar
penerima (sugestif polisitemia), mengusulkan penggunaan a MCA-PSV 1,5 kelipatan
median (MoM) untuk donor kembar dan! 0.8 MoM di penerima. Namun demikian
sensitivitas, spesifisitas dan nilai prediktif kriteria ini belum diteliti. The MCA-PSV di
penerima mungkin tidak selalu turun di bawah 0.8 MoM. Dalam kasus TAPS terbaru yang
terdeteksi di pusat kami, meskipun MCA-PSV dari donor adalah 1 1.5 MoM, namun
MCA-PSV penerima tetap sekitar 1.0 MoM. Namun demikian, kembar penerima adalah
polycythemic di lahir dan membutuhkan transfusi penukaran sebagian (memenuhi kriteria
untuk TAPS pascanatal). Di lain yang serupa kasus dengan satu janin dengan MCA-PSV 1
1.5 MoM dan MCA-PSV co-twin yang tersisa sekitar 1.0 MoM tidak ada intervensi yang

13
dilakukan tetapi janin ganda tidak terduga kematian terjadi 2 minggu kemudian. Karena itu
kami menyarankan untuk menggunakan level cutoff baru dari MCA-PSV penerima 1.0
MoM bukannya! 0.8 MoM. Antenatal yang diusulkan Kriteria diagnostik TAPS diringkas
dalam tabel 1. Level cutoff yang berbeda untuk MCA-PSV dalam TAPS masih perlu
divalidasi dan dibandingkan dengan Hb postnatal level dalam seri yang lebih besar. Untuk
deteksi tepat waktu dan pada akhirnya pengobatan TAPS kasus, kami merekomendasikan
pengukuran rutin MCA-PSV dengan Doppler ultrasound secara teratur (setidaknya sekali
setiap 2 minggu) pada semua kembar monokorionik, khususnya setelah perawatan laser.
Namun, diagnosis antenatal untuk TAPS dapat dilewatkan pada tahap kehamilan
selanjutnya karena kesulitan dalam mengukur MCA-PSV ketika satu kembar berada di
posisi cephalic.  Menariknya, dalam beberapa kasus, TAPS spontan terdeteksi antenatal di
dapat menemukan pemogokan perbedaan ketebalan plasenta dan ekodensitas pada
pemeriksaan ultrasonografi (gbr.3). Bagian plasenta dari kembar anemia adalah hidropik
dan memiliki peningkatan echodensity sedangkan bagian plasenta dari polisitemia kembar
tampak normal. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk menyelidiki validitas dan
signifikansi antenatal ini (Doppler) temuan ultrasound.

Kriteria Postnatal
Diagnosis TAPS postnatal didasarkan pada adanya anemia (kronis) pada donor dan
polisitemia pada Penerima (gbr.4), dalam kaitannya dengan arsitektur plasenta khas
sebagaimana diidentifikasi dengan injeksi dengan pewarna.

14
Kriteria seragam untuk nilai hematologi dalam TAPS belum ditetapkan dan beberapa
kriteria pascanatal yang berbeda telah diusulkan. TAPS didefinisikan sebagai keberadaan
Hb level 11 g / dl pada kembar anemik dan 20 g / dl pada kembar-polisitemia. Meskipun
penggunaan tingkat cutoff tetap karena nilai Hb memiliki keunggulan praktis yang jelas,
nilai itu tidak memperhitungkan korelasi kadar Hb dengan usia kehamilan. Konsentrasi Hb
janin diketahui meningkat linear dengan kehamilan .Dalam studi sebelumnya,
menggunakan tingkat cutoff independen usia kehamilan untuk menentukan anemia pada
donor (Hb 5centile) dan polisitemia pada penerima (hematokrit 65%). Namun, definisi ini
memiliki kepraktisan kerugian dalam hal itu memerlukan penggunaan normogram tertentu
yang berkaitan dengan usia kehamilan. Beberapa normogram telah diterbitkan dan sedikit
berbeda satu sama lain.

Klasifikasi TAPS
TAPS adalah penyakit heterogen, sistem pementasan dapat membantu membedakan
antara yang beragam formulir. Selain itu, sistem pementasan juga terbukti berguna di masa
depan untuk membandingkan dan menganalisis kasus TAPS (termasuk efek pengobatan)
antara berbagai pusat. Karena itu kami mengembangkan sistem pementasan TAPS atas
dasar patofisiologis, untuk mengklasifikasikan kasus-kasus TAPS menggunakan temuan
USG Doppler pada deteksi pertama (table 2). Tujuan dari sistem pementasan ini adalah
untuk mencerminkan meningkatkan keparahan anemia dan polisitemia pada kembar
berpasangan dengan TAPS, termasuk tanda-tanda USG klinis kemunduran terkait dengan

15
peningkatan anemia janin. Kami mendefinisikan tahap 1 sebagai MCA-PSV 1.5 MoM di
donor dan 1.0 MoM di penerima. Tahap 2 didefinisikan sebagai MCA PSV 1.7 MoM di
donor dan 0,8 MoM di penerima. Pada tahap 3, selain MCA-PSV abnormal nilai-nilai
(seperti pada tahap 1 atau 2), tanda-tanda kompromi jantung dari donor (didefinisikan
sebagai aliran diastolik akhir yang tidak ada atau terbalik di arteri umbilikalis, aliran
pulsatil di vena umbilikalis, peningkatan indeks pulsilitas atau aliran balik) dalam ductus
venosus) harus ada. Tahap 4 didasarkan pada Kehadiran hidrops fetalis dalam donor
karena parah anemia. Tahap 5 merupakan tahap terburuk ketika kematian intrauterin terjadi
pada 1 atau kedua janin yang didahului oleh TAPS. Karena diagnosis TAPS sering tidak
mencapai antenatal (dalam kasus di mana pengukuran USG Doppler tidak dilakukan atau
dalam kasus di mana MCA-PSV negatif palsu), juga mengusulkan pementasan pascanatal
sistem untuk menentukan tingkat keparahan TAPS. Postnatal klasifikasi tahap hanya
didasarkan pada intertwin Hb perbedaan pada hari 1. Semakin besar perbedaannya,
semakin tinggi pula tahap TAPS (tabel 3).

2.2.4 sIUGR (single intrauterine growth retard)


Ukuran yang tidak sesuai pada janin kembar merupakan tanda terhambatnya
pertumbuhan janin pada satu janin, dapat diperkirakan dengan menggunakan ukuran janin
yang lebih besar sebagai penentu. Peningkatan perbedaan berat antar janin berbanding
lurus dengan angka mortalitas perinatal. Karena plasenta yang tunggal pada kembar
monokorionik tidak selalu seimbang dalam distribusi nutrisi, maka angka kejadian PJT

16
tanpa adanya TTTS lebih tinggi pada kembar monokorionik dibandingan dikorionik.
Pertumbuhan janin yang terhambat pada salah satu janin biasanya terjadi pada trimester 2
akhir dan awal trimester 3, apabila terjadi ketidaksesuaian pertumbuhan yang lebih awal
maka terjadi resiko peningkatan kematian janin dalam kandungan pada janin yang lebih
kecil (khususnya pada pertumbuhan yang terhambat pada usia kehamilan <20 minggu
dimana didapati angka mortalitas sebesar 20 %.14

Patogenesis

Penyebab ketidaksesuaian berat janin pada kembar monokorionik dikaitkan pada


kelainan anastomose pembuluh darah plasenta yang menyebabkan ketidakseimbangan
hemodinamik antara kedua janin. Kurangnya tekanan dan perfusi darah dapat
menyebabkan mengecilnya plasenta dan pertumbuhan janin yang terhambat. Berbeda pada
kembar dikorionik, pertumbuhan janin terhambat dapat terjadi karena tempat implantasi
yang tidak optimal akibat diperlukannya tempat implantasi yang lebih luas.14

Diagnosis

Pertumbuhan janin terhambat dapar dinilai dari USG dengan membandingkan berat
janin yang lebih kecil dengan berat janin yang lebih besar. Persentasi diskordansi sama
dengan (berat janin yang lebih besar - berat janin yang lebih kecil)/ berat janin yang lebih
besar, namun variabel berat janin dapat diganti dengan variabel lingkar perut. Data
menunjukkan bahwa perbedaan berat sebesat 25-30% secara akurat dapat memprediksi
luaran perinatal yang buruk. Luaran yang buruk ini dapat berupa distress pernapasan,
perdarahn intraventrikuler, kejang, periventrikuler leukomalasia, sepsis, dan NAC. Dan
dijumpai peningkatan angka mortalitas sebesar 5,6 kali lipat pada diskordansi sebesar
30%.14

Managemen

Pemantauan USG terhadap pertumbuhan janin dan kalkulasi perbedaan pertumbuhan


menjadi patokan dalam tatalaksana. Berdasarkan penelititan Thorson dkk, didapati bahwa
pemeriksaan USG serial dengan interval 2 minggu diasosiasikan dengan deteksi TTTS
yang lebih awal. The American College of Obstetricians and Ginecologist pada tahun
2010 merekomendasikan pemeriksaan antepartum dapat dilakukan pada kehamilan kembar
seperti pada kehamilan tunggal. Pada rumah sakit Parkland, semua wanita yang
mengandung bayi kembar dengan perbedaan pertumbuhan sebesar 25% atau lebih harus

17
menjalani pemeriksaan harian rutin di ruang rawat. Terminasi tidak dilakukan hanya atas
dasar perbedaan pertumbuhan saja kecuali didapati usia kehamilan yang sudah aterm (37
minggu untuk kembar monokorionik dan 38 minggu untuk kembar dikorionik).14

2.2.5 KJDK
Menurut WHO dan The American College of Obstetricians and Gynocologist yang
disebut dengan kematian janin adalah janin yang mati dalam rahim dengan berat badan 500
gram atau lebih atau kematian janin dalam rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih.15

Kasus kematian janin pada kehamilan kembar, paling sering terjadi pada kembar
monokorionik, dimana biasanya hanya ada satu janin yang meninggal dalam rahim atau
yang disebut dengan Single Intrauterine Foetal Death (sIUFD). sIUFD sendiri merupakan
akibat langsung dari anastomosis vaskuler antara dua sirkulasi feto-plasenta. Pada
kematian janin, tonus vaskuler janin berkurang. Disaat yang bersamaan, pembuluh darah
feto-plasenta janin yang mati bervasodilatasi dan beralih fungsi sebagai pompa dengan
mendrainase volume feto-plasenta dari janin yang hidup. Dimana berakibat fatal pada janin
yang hidup, yakni severe acute hypotension, yang lalu menyebabkan hipoksia organ
(terutama CNS) dan kematian. Toksin-toksin tromboplastin juga mungkin dihasilkan oleh
jaringan janin yang mati dan masuk ke sirkulasi antar janin, lalu mengakibatkan kerusakan
organ pada janin yang hidup. Resiko janin yang hidup, mati adalah sekitar 30%, kalaupun
janin hidup berhasil bertahan, sekitar 20% akan mengalami resiko kerusakan neurologis
yang amat parah.6

Hingga saat ini belum ada cara untuk mendiagnosa kejadian sIUFD pada kehamilan
kembar. Namun kerusakan neurologis seperti hidrosefalus pada janin dapat di monitor via
USG. Dapat juga dilakukan MRI pada otak janin yang hidup untuk melihat terjadinya
leukomalacia atau atrofi otak 3 minggu pasca terjadinya sIUFD untuk melihat apakah
adanya kerusakan neurologis. Pada keadaan seperti ini, terminasi kehamilan sudah dapat
dipertimbangkan oleh orangtua dikarenakan prognosis dari kerusakan neurologis yang
dialami oleh janin yang bertahan sulit untuk ditentukan.6

18
BAB III
KESIMPULAN
Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) di dunia masih terbilang
tinggi, menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2013, ada sekitar 800
ibu di dunia meninggal setiap harinya akibat komplikasi kehamilan dan persalinan.
Menurut survey demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 AKI yang
berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas adalah 359 per 100.000 kelahiran hidup.
Kehamilan kembar (multiple pregnancy) ialah satu kehamilan dengan dua janin atau lebih.
Sedangkan gemelli adalah satu kehamilan dengan dua janin. Dari tahun ke tahun angka
kejadian gemelli semakin meningkat. Komplikasi pada ibu akibat gemelli lebih sering
daripada kehamilan tunggal. Sebagian besar bayi gemelli dilahirkan secara prematur
sehingga mortalitas gemelli menjadi 4 kali lipat dibandingkan mortalitas bayi tunggal.

19
Daftar Pustaka
1. Setyadi DYT. 2016. Analisis Hubungan Penggunaan Buku KIA dengan
Pengetahuan Ibu Hamil tentang Kesehatan Ibu. UMS. 1-8 p
2. Safitri N. 2013. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian Asfiksia pada
Gemelli. Undip. 1-3 p.
3. Tommy. 2018. Multiple pregnancy. Available from:
https://www.tommys.org/pregnancy-information/pregnancy-
complications/multiple-pregnancy
4. Junior J. E., Santana E. F. M., & Cecchino G. N. 2015. Monochorionic Twin
Pregnancy— Potential Risks and Perinatal Outcomes. Available from:
https://www.intechopen.com/books/contemporary-gynecologic-
practice/monochorionic-twin-pregnancy-potential-risks-and-perinatal-outcomes
5. Brigham and Women’s Health. 2019. Classification of Twins. Available from:
https://www.brighamandwomens.org/assets/BWH/obgyn/pdfs/bwh_twins-
classification.pdf
6. Marginean C et al. 2016. The TRAP (twin reversed arterial perfusion) sequence
case presentation Rom J Morphol Embryol, 57(1):259–265
7. Nora H. 2013. Twin twin transfusion syndrome. JKS, 2: 86-95
8. Masroor I, Jeelani S, Aziz A, et al. 2018. Twin Reversed Arterial Perfusion
Sequence: Assessing the Role of the Correct Imaging Modality in a Rare Clinical
Entity. Cureus 10(7): e2910. DOI 10.7759/cureus.2910
9. Buyukkaya A. Tekbas G, and Buyukkaya R. 2015. Twin Reversed Arterial
Perfusion (TRAP) Sequence; Characteristic Gray-Scale and Doppler
Ultrasonography Findings.Iran J Radiol;12(3):e14979
10. Janiak K, Litwinska M, dan Szaflik K. 2014. TRAP sequence: diagnosis,
management and outcome of co-twin. Ultrasound in Obstetrics & Gynecology
2014; 44 (Suppl. 1): 181–369.
11. Adamou N. and Yakasai I. 2014. Twin Reverse Arterial Perfusion (TRAP): Case
Report. Open Journal of Obstetrics and Gynecology, 4, 1072-1076.
http://dx.doi.org/10.4236/ojog.2014.416147
12. Rusda M. & Roeshadi RH. 2005. Twin-to-Twin Transfusion Syndrome. Majalah
Kedokteran Nusantara. 38:4.
13. Nora H. Twin Twin Transfusion Syndrome. 2013. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala.
13:2.
14. Roberts S., Horsager R., Rogers V., et al. 2014. Williams Obstetrics Study Guide.
Ed. 24. McGrawHill. 909-910 p.
15. Gibson Janice, Cameron Alan. 2008. Complication of Monochorionic Twins.
Paediatrics and Child Health Journal. 18:12.

20

Anda mungkin juga menyukai