Disusun oleh:
Dokter pembimbing:
MEDAN
2020
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat pada
waktunya. Kami mengucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing kami dr.
Heru Rahmadhony, Sp.OT(K) Spine yang telah memberikan tugas kepada kami
sebagai upaya untuk menjadikan kami manusia yang berilmu dan berpengetahuan.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Untuk itu,
kami mengharapkan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini
sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Penulis
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
yang membentang di sepanjang segmen-segmen medulla spinalis yang sesuai.
Masing-masing radiks saraf memiliki sebuah ganglion radiks posterior, yaitu sel-
sel yang membentuk serabut saraf pusat dan tepi. 31 pasang saraf spinal di
antaranya yaitu: 1,2
a. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikornu motorik atau kornu
ventralis.
5
b. Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks tungkai, Refleks
merupakan respon bawah sadar terhadap adanya suatu stimulus internal
ataupun eksternal untuk mempertahankan keadaan seimbang dari tubuh.
Refleks yang melibatkan otot rangka disebut dengan refleks somatis dan
refleks yang melibatkan otot polos, otot jantung atau kelenjar disebut
refleks otonom atau viseral.
2.3 Epidemiologi
Berdasarkan data dari National Spinal Cord Injury Statistical Centre dari
University of Alabama yang dipublikasikan pada Februari 2013, insiden cedera
medulla spinalis diperkirakan sekitar 40 kasus per satu juta populasi di Amerika
Serikat atau 12.000 kasus per tahun. Cedera medulla spinalis seringkali diderita
oleh dewasa muda, dengan hampir setengah dari seluruh kasus terjadi pada usia
16-30 tahun. Sejak tahun 2010, disabilitas neurologis yang diderita adalah
tetraplegia inkomplit sebesar 40,6%, paraplegia inkomplit 18,7%, paraplegia
komplit 18 % dan tetraplegia komplit 11,6 %.7
7
2.4 Klasifikasi
• Grade (A) Fraktur komplit. Tidak ada fungsi motorik maupun sensorik di
seluruh segmen dermatom dari titik lesi hingga S4-S5.
• Grade (D) Fraktur Inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi masih berfungsi
dan mayoritas memiliki kekuatan otot dengan nilai lebih dari 3.
9
kekuatan > 3
Sedangkan lesi pada medulla spinalis menurut ASIA resived 2000, terbagi atas:5
Cedera umum medulla spinalis dapat dibagi menjadi komplit dan tidak
komplit berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.
Terdapat 5 sindrom utama cedera medulla spinalis inkomplit menurut American
Spinal Cord Injury Association yaitu :
Selain itu, Spinal Cord Injury juga dibagi menjadi 3 fase yaitu:
a. Gangguan motorik
11
Bila terjadi pada daerah servikal maka kelumpuhan terjadi pada ke
empat ekstremitas yang disebut tetraplegi, sedangkan pada lesi di
bawah daerah servikal akan terjadi kelumpuhan pada anggota gerak
bawah yang disebut paraplegi.
b. Gangguan sensorik
Dapat terjadi gangguan respirasi jika terletak lesi yang terkena level
C4 yaitu cabang dari C4 adalah keluarnya n. phrenicus yang
mempersarafi tractus respiratorius, jika terkena maka diafragma
pasien tidak akan bekerja secara maksimal sehingga dapat terkena
gangguan pernafasan.
e. Hipotensi orthostatik
a. Kriteria 1
b. Kriteria 2
c. Kriteria 3
d. Kriteria 4
13
lesi, hidung buntu, sakit kepala, pandangan kabur, nadi cepat lalu menjadi
lambat.
2.5 Etiologi
2.6 Patofisiologi
A. B
15
tarikan (stretch) pada medulla. Biasanya cedera medulla spinalis disertai
subluksasi dengan atau tanpa rotasi dari vertebra yang menekan medulla diantara
tulang yang dislokasi. Kompresi aksial tulang belakang jarang menyebabkan
kerusakan atau pendesakan pada vertebra, dan tulang lain atau fragmen diskus
intervertebralis dapat menekan ke dalam kanalis spinalis dan menjepit medulla
dan arteri spinalis. Cedera seringkali terjadi pada orang tua dengan arthritis
degeneratif dan stenosis vertebra servikalis, termasuk hiperekstensi leher disertai
ligantum flavum yang terletak di kanalis vertebra posterior dari medulla. Medulla
spinalis terjepit diantara spurs (osteofit) anterior dari tulang yang mengalami
artritis dan posterior dari ligamentum flavum, sehingga menyebabkan cedera yang
dikenal dengan sebutan sindroma medulla sentral.10
17
2.7 Gejala Klinis
1. Lesi Komplit yaitu terjadinya cedera medulla yang luas akibat anatomi dan
fungsi transeksi medulla disertai kehilangan fungsi motorik dan sensorik
dibawah lesi. Mekanisme khasnya adalah trauma vertebra subluksasi yang
parah mereduksi diameter kanalis spinalis dan menghancurkan medulla.
Konsekuensinya bisa terjadi paraplegia atau quadriplegia (tergantung dari
level lesinya), rusaknya fungsi otonomik termasuk fungsi bowel, bladder
dan sensorik.
2. Lesi Inkomplit
a. Sindroma medulla anterior. Gangguan ini akibat kerusakan pada
separuh bagian ventral medulla (traktus spinotalamikus dan traktus
kortikospinal) dengan kolumna dorsalis yang masih intak dan sensasi
raba (propioseptif), tekan dan posisi masih terjaga, meskipun terjadi
paralisis motorik dan kehilangan persepsi nyeri (nosiseptif dan
termosepsi) bilateral. Hal tersebut disebabkan mekanisme herniasi
diskus akut atau iskemia dari oklusi arteri spinal.
b. Brown Squard's syndrome. Lesi terjadi pada medulla spinalis secara
ekstensif pada salah satu sisi sehingga menyebabkan kelemahan
(paralisis) dan kehilangan kontrol motorik, perasaan propioseptif
ipsilateral serta persepsi nyeri (nosiseptif dan termosepsi) kontralateral
di bawah lesi. Lesi ini biasanya terjadi akibat luka tusuk atau tembak.
c. Sindrom medulla sentral. Sindroma ini terjadi akibat dari cedera pada
sentral medulla spinalis (substansia grisea) servikal seringkali disertai
cedera yang konkusif. Cedera tersebut mengakibatkan kelemahan pada
ekstremitas atas lebih buruk dibandingkan ekstremitas bawah disertai
parestesi. Namun, sensasi perianal serta motorik dan sensorik
ekstrimitas inferior masih terjaga karena distal kaki dan serabut saraf
sensorik dan motorik sakral sebagian besar terletak di perifer medulla
servikal. Lesi ini terjadi akibat mekanisme kompresi sementara dari
medulla servikal akibat ligamentum flavum yang tertekuk selama
trauma hiperekstensi leher. Sindroma ini muncul pada pasien stenosis
servikal.
Sindroma konus medullaris. Cedera pada regio torakolumbar dapat
menyebabkan sel saraf pada ujung medulla spinalis rusak, menjalar ke
serabut kortikospinal, dan radiks dorsaliss lumbosakral disertai
disfungsi upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN).
Sindrom kauda ekuina. Sindrom ini disebabkan akibat dislokasi tulang
atau ekstrusi diskus pada regio lumbal dan sakral, dengan radiks
dorsalis kompresi lumbosakral dibawah konus medullaris. Pada
umumnya terdapat disfungsi bowel dan bladder, parestesi, dan
paralisis.
19
Gambar 2.7 Pola Cedera Medulla Spinalis.14
Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot
flaksid, refleks hilang, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan
hipestesia. Juga dibawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor,
keringat dan piloereksi serta fungsi seksual. Kulit menjadi kering dan pucat serta
ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan tulang. Spingter vesika
urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi (disebabkan oleh hilangnya inhibisi
dari pusat sistem saraf pusat yang lebih tinggi. 1,5,6,8
Apabila medulla spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba, maka tiga
fungsi yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh
refleks pada bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang baik
refleks tendon, refleks autonomic disebut spinal shock. Kondisi spinal shock ini
terjadi 2-3 minggu setelah cedera medulla spinalis. Fase selanjutnya setelah spinal
shock adalah keadaan dimana aktifitas refleks yang meningkat dan tidak
terkontrol. Pada lesi yang menyebabkan cedera medulla spinalis tidak komplit,
spinal shock dapat juga terjadi dalam keadaan yang lebih ringan atau bahkan tidak
melalui shock sama sekali. Selain itu gangguan yang timbul pada cedera medulla
spinalis sesuai dengan letak lesinya, dimana pada UMN lesi akan timbul
gangguan berupa spastisitas, hyperefleksia, dan disertai hypertonus, biasanya lesi
ini terjadi jika cedera mengenai C1 hingga L1. Dan pada LMN lesi akan timbul
gangguan berupa flaccid, hyporefleksia, yang disertai hipotonus dan biasanya lesi
ini terjadi jika cedera mengenai L3 sampai kauda ekuina, di samping itu juga
masih ada gangguan lain seperti gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi
seksual, dan gangguan fungsi pernapasan. 1,5,6,8
21
Dapat dirumuskan gejala-gejala yang terjadi pada cedera medulla spinalis
yaitu : 1,5,6,8
e. Gangguan mobilisasi yaitu Miring kanan dan kiri, Transfer dari tidur ke
duduk, Duduk, Transfer dari bed ke kursi roda, dan dari kursi roda ke bed.
f. Penurunan Vital sign yaitu penurunan ekspansi thorax, kapasitas paru dan
hipotensi.
Pemeriksaan Fisik
Evaluasi dan terapi awal harus segera dilakukan saat terjadi truma. Deteksi
awal cedera medulla spinalis akan mencegah timbulnya gejala sisa (sequele) pada
fungsi neurologik. Pasien yang diduga mengalami cedera medulla spinalis harus
dilakukan imobilisasi dengan menggunakan collar servikal (collar brace) dan
papan (backboards).10
A. B.
Setiap pasien tidak sadar harus dipikirkan adannya fraktur vertebra yang
tidak stabil hingga dibuktikan sebaliknya dengan x-rays (foto rontgen). Resusitasi
terhadap hipotensi dan hipoventilasi harus segera dilakukan. Jika pasien sadar,
riwayat kejadian harus ditanyakan, termasuk mekanisme terjadinya cedera, dan
adanya nyeri dan gejala neurologik lain yang timbul. Adanya keluhan berupa
parestesi harus di perhatikan. Sakit kepala hebat, terutaama sakit kepala daerah
oksipital, biasanya disertai fraktur odontoid atau hangman's fracture (fraktur
bilateral dari pedikel C2). Palpasi pada pasien dengan menggerakan vertebra
23
minimal didapatkan nyeri tekan atau deformitas. Untuk mengetahui adanya
paralisis, pasien diminta untuk menggerakkan tangannya sendiri dan diberikan
tahanan. Refleks tendon dalam harus dievaluasi pada lengan dan kaki, berkurang
atau hilangnya reflek tersebut dapat membantu pemeriksa mengetahui letak lesi.
25
Reflex bulbocavernosus adalah suatu reflex yang ditandai dengan
kontraksi dari otot bulbospongiosus (otot spingter ani) ketika dorsum penis ditarik
atau glans penis dikompresi. Juga disebut refleks penis.19
Bulbo Cavernosus Refleks atau BCR adalah salah satu cara untuk
mengetahui apakah seseorang menderita shock spinal. Refleks ini merupakan
refleks polysynaptic yang berguna selain untuk mengetahui adanya syok spinal
juga memperoleh informasi tentang adanya cedera sumsum tulang belakang /
Spinal Cord Injury (SCI).
Jika refleks telah kembali tapi masih ada kurangnya fungsi sensorik dan
motorik maka ini hanya menunjukkan Spinal Cord Injury komplit. Dalam hal ini
tidak mungkin bahwa fungsi neurologis penting yang pernah akan kembali. Jika
syok spinal tidak terlibat, belum ada atau tidak adanya refleks ini maka bisa
mengindikasikan cedera akar saraf sakral. Hal ini juga dapat diuji secara
electrophysiologik melalui ransangan listrik pada penis dan rekaman dari
kontraksi anus. Tes ini biasanya dilakukan untuk mengkonfirmasi jika ada motor
atau fungsi sensorik dari akar sakral dan di medullaris konus.21
27
• Refleks mencakup S-1, S-2, dan S-3 akar saraf dan lengkung refleks
sumsum tulang belakang yang dimediasi;
• Setelah trauma tulang belakang, ada atau tidak adanya refleks ini
membawa makna prognostik yang signifikan
• Periode syok spinal biasanya sembuh dalam waktu 48 jam dan kembalinya
BCR menandai berakhirnya shock spinal itu sendiri.
• Syok spinal tidak terjadi untuk lesi yang terjadi di bawah spinal cord, dan
karenanya, fraktur daerah lumbal bagian bawah seharusnya tidak
menyebabkan spinal syok (dan dalam situasi ini, tidak adanya refleks
bulbocaveronsus menunjukkan bahwa adanya cauda equina syndrome
Absennya fungsi motorik dan fungsi sensorik bagian distal atau sensasi
perirectal, bersama dengan pemulihan refleks bulbokavernosus, menunjukkan SCI
yang komplit, dan dalam kasus seperti itu jarang terjadi pemulihan fungsi
neurologis yang signifikan. Oleh karena itu, jika tidak ada pemulihan fungsi
motorik atau sensorik dibawah fraktur site, pasien dicurigai memiliki cedera saraf
tulang belakang yg komplit dan kita tidak lagi mengharapkan pemulihan fungsi
motorik.
Di sisi lain, adanya fungsi motorik sensorik dibawah level dari trauma,
kita anggap sebagai SCI yang incomplete dimana pemulihannya ditentukan oleh
bagian dari spinal cord yang paling terkena.
Pemeriksaan Penunjang
29
Tanda penting untuk diagnosis antara lain: 10
5. Gambaran radiologis
Cedera pada tulang dan saraf spinalis sering terjadi bersamaan sehingga
terapi keduanya juga harus bersamaan untuk memperoleh hasil yang terbaik.
Transeksi anatomikal dari medulla spinalis hampir tidak pernah terjadi pada
cedera medulla spinalis pada manusia. Oleh karena itu, penting sekali untuk
melindungi jaringan spinal yang masih bertahan. Pertama, didapatkan riwayat
cedera. Kedua, dilakukan perawatan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
(cedera sekunder) dan mendeteksi fungsi neurologik yang memburuk sehingga
dapat dilakukan tindakan koreksi. Ketiga, pasien dirawat hingga kondisi optimal
supaya memungkinkan dilakukan perbaikan dan penyembuhan sistem saraf.
Keempat, evaluasi dan rehabilitasi pasien harus dilakukan secara aktif untuk
memaksimalkan fungsi yang masih bertahan meskipun jaringan saraf tidak
berfungsi. Prinsip tersebut harus disertai dengan meminimalisir biaya secara
ekonomi, sosial dan dan emosional dari cedera medulla spinalis.10
Bila ada rasa nyeri bisa diberikan: Analgetika golongan NSAIDs (anti
inflamasi). Uji klinis menunjukan analgetik ini berguna sebagai pengobatan untuk
nyeri, namun penggunaan jangka panjang harus dihindari karena sering terjadi
efek samping yang merugikan pada fungsi ginjal dan gastrointestinal.
Alat Ortotik
Alat ortotik eksternal yang rigid (kaku), dapat menstabilisasi spinal dengan
cara mengurangi range of motion (ROM) dan meminimalkan beban pada spinal.
Pada umumnya penggunaan servikal collars (colar brace) tidak adekuat untuk
C1, C2 atau servikotorak yang instabil. Cervicothoracic orthoses brace diatas
torak dan leher, meningkatkan stabilisasi daerah servikotorak. Minerva braces
31
meningkatkan stabilisasi servikal pada daerah diatas torak hingga dagu dan
oksiput. Pemasangan alat yang disebut halo-vest paling banyak memberikan
stabilisasi servikal eksternal. Empat buah pin di pasangkan pada skul (tengkorak
kepala) untuk mengunci halo ring. Stabilisasi lumbal juga dapat digunakan
sebagai torakolumbal ortose.14
A. B. C.
A. B.
Gambar 2.13 Fiksasi, A. Gardner Wells Tongs, B. Servikal Halter Skin
Traction.18
Operasi
Intervensi operasi dalam hal ini memiliki dua tujuan, yang pertama adalah
untuk dekompresi medulla spinalis atau radiks dorsalis pada pasien dengan defisit
neurologis inkomplit. Kedua, untuk stabilisasi cedera yang terlalu tidak stabil
untuk yang hanya dilakukan eksternal mobilisasi. Fiksasi terbuka (open fixation)
dibutuhkan untuk pasien trauma spinal dengan defisit neurologis komplit tanpa
sedikitpun tanda pemulihan, atau pada pasien yang mengalami cedera tulang atau
ligament spinal tanpa defisit neurologis. Operasi stabilisasi dapat disertai
mobilisasi dini, perawatan, dan terapi fisik.14 Indikasi lain operasi yaitu adanya
benda asing atau tulang di kanalis spinalis disertai dengan defisit neurologis yang
progresif sehingga menyebabkan terjadinya epidural spinal atau subdural
hematoma. Penatalaksanaan vertebra yang tidak stabil meliputi, spinal fusion
menggunakan metal plates, rods, dan screws dikombinasi dengan bone fusion.10
Perawatan Berkelanjutan
33
produksi urin tidak adekuat setelah pemasangan kateter, pasien dengan hipotensi
sedang akan merespon terhadap pemberian konstriktor seperti efedrin, akan tetapi
hal tersebut hanya boleh diberikan setelah dipastikan tidak ada perdarahan pada
rongga dada atau abdomen.10
2.10 Komplikasi
g. Perubahan Tonus Otot: Akibat yang paling terlihat pada SCI adalah
paralisis dari otot-otot yang dipersarafi oleh segmen yang terkena.
Kerusakan dapat mengenai traktus descending motorik, AHC, dan saraf
spinalis, atau kombinasi dari semuanya. Saat mengenai traktus descending,
akan terjadi flaccid dan hilangnya refleks. Kemudian kondisi tersebut akan
diikuti dengan gejala autonom seperti berkeringat dan inkontinensia dari
bladder dan bowel. Dalam beberapa minggu akan terjadi peningkatan
tonus otot saat istirahat, dan timbulnya refleks. 1,5,6,8
35
intercostalis. Paralysis pada m. obliques eksternalis juga menghambat
kemampuan penderita untuk batuk dan mengeluarkan sekret. 1,5,6,8
i. Kontrol Bladder dan Bowel: Pusat urinaris pada spinal adalah pada konus
medullaris. Kontrol refleks yang utama berasal dari segmen sekral. Selama
fase spinal syok, bladder urinary menjadi flaccid. Semua tonus otot dan
refleks pada bledder hilang. Lesi di atas conus medullaris akan
menimbulkan refleks neurogenic bladder berupa adanya spastisitas,
kesulitan menahan BAK, hipertrophy otot detrusor, dan refluks urethral.
Lesi pada conus medullaris menyebabkan tidak adanya refleks bladder,
akbiat dari flaccid dan menurunnya tonus otot perineal dan sphincter
utethra. Gangguan pada bowel sama seperti pada bladder ditambah dengan
adanya lesi pada cauda equina. 1,5,6,8
2.11 Prognosis
Pemeriksaan neurologik dan umur pasien merupakan faktor utama yang
mempengaruhi lamanya masa penyembuhan. Pada trauma akut, mortalitas cedera
medulla spinalis sebesar 20%. Dalam jangka lama, pasien dengan kehilangan
fungsi motorik dan sensorik komplit dalam 72 jam, fungsinya tidak mungkin
kembali, namun hingga 90% pasien dengan lesi inkomplit dapat mulai berjalan 1
tahun setelah cedera. Lesi terbatas pada pasien muda lebih mudah mengalami
penyembuhan. Sindroma medulla anterior prognosisnya tidak sebaik sindroma
medulla inkomplit, sindroma medulla sentral, dan Brown Squard’s sindrome.
Penyebab utama kematian sindroma medulla spinalis meliputi penyakit
respiratorik dan kardiak. Rehabilitasi juga termasuk dukungan emosional dan
edukasi pasien tentang aktifitas harian dan latihan bekerja.10
37
DAFTAR PUSTAKA
2. Snell RS. Neuroanatomi klinik : pendahuluan dan susunan saraf pusat. Edisi
ke-5. Jakarta : EGC; 2007.h.1-16.
11. Liverman, Catharyn, T., Altevogt, Bruce, M., Joy, Janet, E., and Johnson,
Richard, T. Editors. 2005. Spinal Cord Injury: Progress, Promise, and
Priorities. Washington, D.C.:The National Academies Press. [serial online].
http://www.nap.edu/openbook.php?record_id=11253&page=R1.
12. Feneis, Heinz; Dauber, Wolfgang;. (2000). Pocket Atlas of Anatomy Based on
the International Nomenclature Fourth Edition, fully rivised. Ney York:
Thieme.
13. Thuret, Sandrine; Moon, Lawrence D.F; Gage, Fred H. (2006). Therapeutic
Intervention After Spinal Cord Injury. Nature Publishing Group , 7, 628-640.
14. Schwartz, S. I., Shires, G. T., Spencer, F. C., Daly, J. M., Fischer, J. E., &
Galloway, A. C. (2010). Principles of Surgery Companion Handbook. USA:
McGraw-Hill.
15. Kaye, Andrew H. (2006). Nerve injuries, peripheral nerve entrapments and
spinal cord compression. In J. J. Tjandra, G. J. Clunie, A. H. Kaye, & J. A.
Smith, Text Book of Surgery Third Edition (Vol. 51). Massachusetts:
Blackwell Publishing.
39
18. Anonim. Primary Surgery Vol.2 – Trauma : The spine : Skeletal traction.
[Serial Online]. http://www.primary-surgery.org/ps/vol2/html/sect0232.html.
(23 September 2011)