Anda di halaman 1dari 44

PAPER

SPINAL CORD INJURY

Disusun oleh:

Asuvini Selvam 150100199

Devi Narayani Manoharan 150100208

Febrina Setiawan 120100229

M. Ariadi S. Dalimunthe 140100144

Dokter pembimbing:

dr. Heru Rahmadhony, Sp.OT(K) Spine

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER DEPARTEMEN


ORTHOPEDI DAN TRAUMATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RUMAH SAKIT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat pada
waktunya. Kami mengucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing kami dr.
Heru Rahmadhony, Sp.OT(K) Spine yang telah memberikan tugas kepada kami
sebagai upaya untuk menjadikan kami manusia yang berilmu dan berpengetahuan.

Keberhasilan kami dalam menyelesaikan makalah ini tentunya tidak lepas


dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Untuk itu,
kami mengharapkan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini
sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Medan, Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2

2.1 Anatomi Medulla Spinalis dan Dermatom ..................................... 2

2.2 Definisi ........................................................................................... 5

2.3 Epidemiologi .................................................................................. 6

2.4 Klasifikasi ...................................................................................... 6

2.5 Etiologi ........................................................................................... 11

2.6 Patofisiologi ................................................................................... 11

2.7 Gejala Klinis................................................................................... 14

2.8 Diagnosis ........................................................................................ 19

2.9 Tata Laksana .................................................................................. 26

2.10 Komplikasi ................................................................................... 29

2.11 Prognosis ...................................................................................... 32

BAB III KESIMPULAN ............................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 34

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Cedera medulla spinalis dapat didefinisikan sebagai semua bentuk cedera


yang mengenai medulla spinalis baik yang menimbulkan kelainan fungsi
utamanya (motorik, sensorik, otonom dan reflek) secara lengkap atau sebagian.
Cedera medulla spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas
neurologis akibat trauma. Pusat data nasional cedera medulla spinalis (National
Spinal Cord Injury Statistical Center/ NSCISC 2004) memperkirakan setiap tahun
di Amerika serikat ada 11.000 kasus cedera medulla spinalis. Umumnya terjadi
pada remaja dan dewasa muda (usia 16-30 tahun), dan biasanya lebih banyak
terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita. Penyebab tersering adalah kecelakaan
lalu lintas (50,4 %), jatuh (23,8 %), dan cedera yang berhubungan dengan
olahraga (9 %). Sisanya akibat kekerasan terutama luka tembak dan kecelakaan
kerja.

Dahulu, penatalaksanaan cedera medulla spinalis akut hanya terapi


konservatif. Menurut National Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS-1, 2,
dan 3), penemuan terapi farmakologi dengan metilprednison menurunkan defisit
neurologis. Baru-baru ini operasi dekompresi, stabilisasi dan fiksasi tulang
belakang secara potensial mampu memperbaiki kerusakan akibat cedera medulla
spinalis. Hal tersebut menunjukkan kelak pendekatan secara farmakologi dan
operasi akan mampu menurunkan kerusakan akibat cedera tersebut.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Medulla Spinalis dan Dermatom

Medulla Spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat yang


terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1. Medulla spinalis terletak di
kanalis vertebralis, dan dibungkus oleh tiga meninges yaitu duramater, arakhnoid
dan piamater. Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra, ligamen, meningen
spinal dan juga cairan LCS (liquor cerebrospinal). LCS mengelilingi medulla
spinalis di dalam ruang subarakhnoid. Bagian superior dimulai dari bagian
foramen magnum pada tengkorak, tempat bergabungnya dengan medulla
oblongata. Medulla spinalis berakhir di inferior di region lumbal. Di bawah
medulla spinalis menipis menjadi konus medullaris dari ujungnya yang
merupakan lanjutan piamater, yaitu fillum terminale yang berjalan ke bawah dan
melekat dibagian belakang os. coccygea. Akar saraf lumbal dan sakral terkumpul
yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap pasangan saraf keluar melalui foramen
intervertebral. Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen dan juga
oleh meningen spinal dan LCS (liquor cerebrospinal).1,2
Gambar 2.1 Anatomi Medulla Spinalis 3

Di sepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang saraf spinal melalui


radiks anterior atau radiks motorik dan radiks posterior atau radiks sensorik.
Masing-masing radiks melekat pada medulla spinalis melalui filla radikularia

3
yang membentang di sepanjang segmen-segmen medulla spinalis yang sesuai.
Masing-masing radiks saraf memiliki sebuah ganglion radiks posterior, yaitu sel-
sel yang membentuk serabut saraf pusat dan tepi. 31 pasang saraf spinal di
antaranya yaitu: 1,2

a. 8 pasang saraf servikal

b. 12 pasang saraf torakal

c. 5 pasang saraf lumbal

d. 5 pasang saraf sakral

e. 1 pasang saraf koksigeal

Gambar 2.2 Pasang Saraf Spinal.3


Struktur medulla spinalis terdiri dari substansi abu abu (substansia grisea)
yang dikelilingi substansia putih (substansia alba). Pada potongan melintang,
substansia grisea terlihat seperti huruf H dengan kolumna atau kornu anterior atau
posterior substansia grisea yang dihubungkan dengan commisura grisea yang
tipis. Didalamnya terdapat canalis centralis yang kecil. Keluar dari medulla
spinalis merupakan akar ventral dan dorsal dari saraf spinal. Substansi grisea
mengandung badan sel dan dendrit dan neuron efferen, akson tak bermyelin, saraf
sensoris dan motoris dan akson terminal dari neuron. Bagian posterior sebagai
input atau afferen, anterior sebagai output atau efferent, comissura grisea untuk
refleks silang dan substansi alba merupakan kumpulan serat saraf bermyelin.

Gambar 2.3 Anatomi Medulla Spinalis

Fungsi medulla spinalis:1,4,5

a. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikornu motorik atau kornu
ventralis.

5
b. Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks tungkai, Refleks
merupakan respon bawah sadar terhadap adanya suatu stimulus internal
ataupun eksternal untuk mempertahankan keadaan seimbang dari tubuh.
Refleks yang melibatkan otot rangka disebut dengan refleks somatis dan
refleks yang melibatkan otot polos, otot jantung atau kelenjar disebut
refleks otonom atau viseral.

c. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum.

d. Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.

Berkaitan dengan masukan sensorik, setiap daerah spesifik di tubuh yang


dipersarafi oleh saraf spinal tertentu yang disebut area dermatom. Saraf spinal
juga membawa serat-serat yang bercabang untuk mempersarafi organ-organ
dalam, dan kadang-kadang nyeri yang berasal dari salah satu organ tersebut
dialihkan ke dermatom yang dipersarafi oleh saraf spinal yang sama.5

Gambar 2.4 Standard Neurological Clasification of Spinal Cord Injury7


2.2 Definisi

Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla spinalis


akibat trauma atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan pada sistem
motorik, sistem sensorik dan vegetatif. Kelainan motorik yang timbul berupa
kelumpuhan atau gangguan gerak dan fungsi otot-otot, gangguan sensorik berupa
hilangnya sensasi pada area tertentu sesuai dengan area yang dipersarafi oleh level
vertebra yang terkena, serta gangguan sistem vegetatif berupa gangguan pada
fungsi urinaria, pencernaan dan juga adanya gangguan fungsi seksual.1,5,6

2.3 Epidemiologi

Berdasarkan data dari National Spinal Cord Injury Statistical Centre dari
University of Alabama yang dipublikasikan pada Februari 2013, insiden cedera
medulla spinalis diperkirakan sekitar 40 kasus per satu juta populasi di Amerika
Serikat atau 12.000 kasus per tahun. Cedera medulla spinalis seringkali diderita
oleh dewasa muda, dengan hampir setengah dari seluruh kasus terjadi pada usia
16-30 tahun. Sejak tahun 2010, disabilitas neurologis yang diderita adalah
tetraplegia inkomplit sebesar 40,6%, paraplegia inkomplit 18,7%, paraplegia
komplit 18 % dan tetraplegia komplit 11,6 %.7

7
2.4 Klasifikasi

Gambar 2.5 Klasifikasi Trauma Spinal

American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan


Internasional Medical Society Of Paraplegia (IMSOP) telah mengembangkan dan
mempublikasikan standar internasional untuk klasifikasi fungsional dan
neurologis cedera medulla spinalis. Klasifikasi ini berdasarkan pada Frankel pada
tahun 1969. Klasifikasi ASIA/ IMSOP dipakai di banyak negara karena sistem
tersebut dipandang akurat dan komperhensif.

Skala kerusakan menurut ASIA/ IMSOP adala sebagai berikut:

• Grade (A) Fraktur komplit. Tidak ada fungsi motorik maupun sensorik di
seluruh segmen dermatom dari titik lesi hingga S4-S5.

• Grade (B) Fraktur inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi (termasuk


segmen S4-S5) terganggu, namun fungsi sensorik masih berjalan dengan
baik.
• Grade (C) Fraktur inkomplit. Fungsi motorik di bawah lesi masih
berfungsi dan mayoritas memiliki kekuatan otot dengan nilai kurang dari
3.

• Grade (D) Fraktur Inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi masih berfungsi
dan mayoritas memiliki kekuatan otot dengan nilai lebih dari 3.

• Grade (E) Normal. Fungsi motorik dan sensorik normal.

Skala kerusakan berdasarkan American Spinal Injury Association (ASIA) /


International Medical Society of Paraplegia (IMSOP)

Grade Tipe Gangguan spinalis


ASIA/IMSOP

A Komplit Tidak ada fungsi


sensorik dan motorik
sampai S4-5

B Inkomplit Fungsi sensorik masih


baik tapi fungsi motorik
terganggu sampai
segmen sakral S4-5

C Inkomplit Fungsi motorik


terganggu dibawah level,
tapi otot-otot motorik
utama masih punya
kekuatan < 3

D Inkomplit Fungsi motorik


terganggu dibawah level,
otot-otot motorik
utamanya punya

9
kekuatan > 3

E Normal Fungsi sensorik dan


motorik normal

Sedangkan lesi pada medulla spinalis menurut ASIA resived 2000, terbagi atas:5

a. Paraplegi: Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan


sensorik karena kerusakan pada segmen thoraco-lumbo-sacral.

b. Quadriplegi: Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan


sensorik karena kerusakan pada segmen servikal.

Cedera umum medulla spinalis dapat dibagi menjadi komplit dan tidak
komplit berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.
Terdapat 5 sindrom utama cedera medulla spinalis inkomplit menurut American
Spinal Cord Injury Association yaitu :

(1) Central Cord Syndrome

(2) Brown Sequard Syndrome

(3) Anterior Cord Syndrome

(4) Posterior Cord Syndrome

(5) Cauda Equina Syndrome

Nama Sindroma Pola dari lesi saraf Kerusakan

Central cord syndrome Cedera pada posisi Menyebar ke daerah sacral.


sentral dan sebagian Kelemahan otot
daerah lateral. ekstremitas atas lebih berat
dari ekstremitas bawah.
Sering terjadi pada
trauma daerah servikal

Brown- Sequard Cedera pada sisi Kehilangan proprioseptif


Syndrome anterior dan posterior dan kehilangan fungsi
dari medulla spinalis. motorik secara ipsilateral
Cedera akan
menghasilkan
gangguan medulla
spinalis unilateral

Anterior cord syndrome Kerusakan pada Kehilangan funsgsi


anterior dari daerah motorik dan sensorik
putih dan abu- abu secara komplit.
medulla spinalis

Posterior cord syndrome Kerusakan pada Kerusakan proprioseptif


posterior dari daerah diskriminasi dan getaran.
putih dan abu- abu Fungsi motorik juga
medulla spinalis terganggu

Cauda equine syndrome Kerusakan pada saraf Kerusakan sensori dan


lumbal atau sacral lumpuh flaccid pada
sampai ujung medulla ekstremitas bawah dan
spinalis kontrol berkemih dan
defekasi.

Selain itu, Spinal Cord Injury juga dibagi menjadi 3 fase yaitu:

1) Fase akut/spinal shock (2-3 minggu), cirinya:

a. Gangguan motorik

11
Bila terjadi pada daerah servikal maka kelumpuhan terjadi pada ke
empat ekstremitas yang disebut tetraplegi, sedangkan pada lesi di
bawah daerah servikal akan terjadi kelumpuhan pada anggota gerak
bawah yang disebut paraplegi.

b. Gangguan sensorik

Sensasi yang terganggu sesuai dengan dermatom di bawah lesi, hal


yang terganggu berupa sensasi raba, sensasi nyeri, sensasi temperatur
ataupun sensasi dalam.

c. Gangguan fungsi autonom (bladder, bowel, dan seksual)

Bisa terjadi gangguan pengosongan kandung kemih dan saluran


pencernaan, fungsi seksual, fungsi kelenjar keringat dan juga tonus
pembuluh darah di bawah lesi. Pada fase ini urin akan terkumpul di
dalam kandung kemih sampai penuh sekali dan baru dapat keluar
apabila sudah penuh.

d. Gangguan respirasi (tergantung letak lesi)

Dapat terjadi gangguan respirasi jika terletak lesi yang terkena level
C4 yaitu cabang dari C4 adalah keluarnya n. phrenicus yang
mempersarafi tractus respiratorius, jika terkena maka diafragma
pasien tidak akan bekerja secara maksimal sehingga dapat terkena
gangguan pernafasan.

e. Hipotensi orthostatik

Tidak adanya tonus otot di daerah abdomen dan extremitas inferior


menyebabkan darah terkumpul di daerah tersebut, akibatnya terjadi
penurunan tekanan darah. Problem ini timbul pada saat pasien bangkit
dari posisi terlentang ke posisi tegak atau perubahan posisi tubuh yang
terlalu cepat. Hal ini terjadi pada pasien yang bed rest lama dan
endurance-nya menurun.
2) Fase sub akut/recovery (3 minggu-3 bulan)

Dibagi dalam kriteria:

a. Kriteria 1

Komplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik,


motorik, vegetatif, flaccidity dan arefleksia.

b. Kriteria 2

Komplit lesi UMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik,


motorik, vegetatif, spastik, dan hiperrefleksia.

c. Kriteria 3

Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi


sensorik/motorik/vegetatif, lalu ada hiporefleksia dan hipotonus.

d. Kriteria 4

Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi


sensorik/motorik, vegetatif, lalu ada hiperrefleksia, dan spastis.

3) Fase kronik (di atas 3 bulan)

Cirinya apabila setelah fase recovery kondisi pasien menjadi complete/


incomplete maka akan timbul gambaran klinis lain, yaitu:

Setelah fase recovery kondisi pasien complete/incomplete vital sign pasien


menurun dan autonomic disrefleksia, yaitu suatu kondisi yang berlebihan
pada sistem autonom. Fenomena ini tampak pada cedera medulla spinalis
di atas Th6. Hal ini disebabkan aksi relatif dari sistem saraf otonom
sebagai respon dari beberapa stimulus, seperti kandung kemih, feses yang
mengeras (konstipasi), iritasi kandung kemih, manipulasi rektal, stimulus
suhu atau nyeri dan distensi viseral. Tandanya yaitu hipertensi mendadak,
berkeringat, kedinginan, muka memerah, dingin dan pucat di bawah level

13
lesi, hidung buntu, sakit kepala, pandangan kabur, nadi cepat lalu menjadi
lambat.

2.5 Etiologi

Cedera medulla spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:

a. Cedera medulla spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal


seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau
kekerasan, merusak medulla spinalis. Sebagai lesi traumatik pada medulla
spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai
dengan American Board of Physical Medicine and Rehabilitation
Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medulla
spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum
vertebra. 1,5,6,8

b. Cedera medulla spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan


seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada
medulla spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medulla spinalis yang
bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera
medulla spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik,
penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler,
kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.
1,5,6,8

2.6 Patofisiologi

Patofisiologi yang mendasari cedera medulla spinalis penting untuk


dipahami, sehingga dapat segera dilakukan intervensi farmakologi yang tepat
dengan tujuan untuk mengurangi atau mencegah efek dari cedera sekunder.9
Pada skema (Gambar), menggambarkan kombinasi dari berbagai macam
tipe cedera medulla spinalis. Banyak sel di medulla spinalis mati seketika secara
progresif setelah terjadinya cedera. Kista biasanya terbentuk setelah cedera
memar. Setelah mengalami luka tusuk, sel dari sistem saraf perifer seringkali
menyebabkan daerah yang terkena tusuk membentuk jaringan parut yang
bergabung bersama astrosit, sel progenitor, dan mikroglia.

A. B

Gambar 2.6 Skema Medulla Spinalis Potongan Sagital, A. Medulla Spinalis


Intak (Sebelum Trauma), B. Medulla Spinalis Setelah Cedera.13

Akson ascending dan descending banyak yang terganggu dan gagal


memperbaiki diri. Beberapa akson membentuk sirkuit baru, akson dapat
menembus kedalam trabekula dan dibentuk oleh sel ependim. Segmen akson
bermyelin yang terputus difagosit oleh makrofag. Sebagian remyelinasi muncul
spontan, yang terbanyak dari sel schwann.13

Pada umumnya, cedera medulla spinalis disertai kompresi dan angulasi


vertebra yang parah, misalnya terjadinya hipotensi yang parah akibat infark dari
medulla atau distraksi aksial dari unsur kolumna vertebralis akan mengakibatkan

15
tarikan (stretch) pada medulla. Biasanya cedera medulla spinalis disertai
subluksasi dengan atau tanpa rotasi dari vertebra yang menekan medulla diantara
tulang yang dislokasi. Kompresi aksial tulang belakang jarang menyebabkan
kerusakan atau pendesakan pada vertebra, dan tulang lain atau fragmen diskus
intervertebralis dapat menekan ke dalam kanalis spinalis dan menjepit medulla
dan arteri spinalis. Cedera seringkali terjadi pada orang tua dengan arthritis
degeneratif dan stenosis vertebra servikalis, termasuk hiperekstensi leher disertai
ligantum flavum yang terletak di kanalis vertebra posterior dari medulla. Medulla
spinalis terjepit diantara spurs (osteofit) anterior dari tulang yang mengalami
artritis dan posterior dari ligamentum flavum, sehingga menyebabkan cedera yang
dikenal dengan sebutan sindroma medulla sentral.10

Patofisiologi terjadinya cedera medulla spinalis meliputi mekanisme


cedera primer dan sekunder.9 Terdapat empat mekanisme cedera primer pada
medulla spinalis, pertama adalah dampak cedera disertai kompresi persisten, pada
umumnya terjadi akibat fragmen tulang yang menyebabkan kompresi pada spinal,
fraktur dislokasi, dan ruptur diskus akut. Kedua, Dampak cedera disertai kompresi
sementara, dapat terjadi misalnya pada seseorang dengan penyakit degeneratif
tulang cervikal yang mengalami cedera hiperekstensi. Ketiga adalah distraksi,
terjadi jika kolumna spinalis teregang berlebihan pada bidang aksial akibat
distraksi yang dihasilkan dari gerakan fleksi, ekstensi, rotasi atau adanya dislokasi
yang menyebabkan pergeseran atau peregangan dari medulla spinalis dan atau
asupan darahnya. Biasanya mekanisme seperti ini tanpa disertai kelainan
radiologis dan pada umumnya terjadi pada anak-anak dimana vertebranya masih
terdiri dari tulang rawan, ototnya masih belum berkembang sempurna, dan
ligamennya masih lemah. Pada orang dewasa, cedera medulla spinalis tanpa
disertai kelainan radiologis umumnya terjadi pada seseorang dengan penyakit
degeneratif tulang belakang. Keempat yaitu laserasi atau transeksi, dapat terjadi
akibat luka tembak, dislokasi fragmen tulang tajam, atau distraksi yang parah.
Laserasi dapat terjadi mulai dari cedera yang ringan sampai transeksi lengkap.9
Cedera primer yang terjadi cenderung merusak pusat substansia grisea dan
sebagian mengenai substansia alba. Hal tersebut terjadi karena, konsistensi
substansia grisea lebih lunak dan banyak vaskularisasi. Pada cedera primer, tahap
awal akan terjadi perdarahan pada medulla spinalis dilanjutkan dengan
terganggunya aliran darah medulla spinalis menyebabkan hipoksi dan iskemia
sehingga terjadi infark lokal. Hal ini menyebabkan substansia grisea rusak.9

Kerusakan terutama pada gray matter (substansia grisea) karena


kebutuhan metaboliknya yang tinggi. Saraf yang mengalami trauma secara fisik
terganggu dan ketebalan myelinnya berkurang. Perdarahan mikro
(mikrohemorrages) atau edema di sekitar saraf yang mengalami cedera, dapat
menyebabkan saraf tersebut semakin terganggu. Hal tersebut yang mendasari
pemikiran bahwa substansia grisea mengalami kerusakan yang ireversibel selama
satu jam pertama, sedangkan substansia alba mengalami kerusakan selama 72 jam
setelah cedera.9

Segera setelah terjadi cedera medulla spinalis, fungsi disertai perubahan


patologis akan hilang secara sementara. Pada permulaan terjadinya cedera
memicu timbulnya kaskade yang terdiri dari akumulasi produksi asam amino,
neurotransmiter, eikosanoid vasoaktif, radikal bebas oksigen, dan produk dari
peroksidasi lipid. Program jalur kematian sel juga teraktivasi. Terjadi kehilangan
darah dari barier medulla akibat edema dan peningkatan tekanan jaringan.2
Selama berlangsungnya perdarahan pada medulla, maka suplai darah menjadi
terbatas, sehingga menyebabkan iskemia yang mengakibatkan kerusakan medulla
lebih lanjut sehingga timbul cedera sekunder.9,10 Cedera sekunder meliputi syok
neurogenik, gangguan vaskular seperti perdarahan dan reperfusi-iskemia,
eksitotoksisitas, cedera primer yang dimediasi kalsium dan gangguan cairan
elektrolit, trauma imunologik, apoptosis, gangguan fungsi mitokondria, dan proses
lainnya. 9

17
2.7 Gejala Klinis

Pada trauma medulla spinalis komplit, daerah di bawah lesi akan


kehilangan fungsi saraf sadarnya. Terdapat fase awal dari syok spinalis yaitu,
hilangnya reflek pada segment dibawah lesi, termasuk bulbokavernosus,
kremasterika, kontraksi perianal (tonus spinchter ani) dan reflek tendon dalam.
Fenomena ini terjadi sementara karena perubahan aliran darah dan kadar ion pada
lesi. Pada trauma medulla spinalis inkomplit, masih terdapat beberapa fungsi di
bawah lesi, sehingga prognosisnya lebih baik. Fungsi medulla spinalis dapat
kembali seperti semula segera setelah syok spinal teratasi, atau fungsi kembali
membaik secara bertahap dalam beberapa bulan atau tahun setelah trauma.10

Cedera medulla spinalis akibat luka tembus, penekanan maupun iskemik


dapat menyebabkan berbagai bentuk karakteristik cedera berdasarkan anatomi
dari terjadinya cedera. Defisit neurologis yang timbul (fungsi yang hilang atau
tersisa) dapat digambarkan dari pola kerusakan medulla dan radiks dorsalis
demikian juga sebaliknya, antara lain:10,14,15

1. Lesi Komplit yaitu terjadinya cedera medulla yang luas akibat anatomi dan
fungsi transeksi medulla disertai kehilangan fungsi motorik dan sensorik
dibawah lesi. Mekanisme khasnya adalah trauma vertebra subluksasi yang
parah mereduksi diameter kanalis spinalis dan menghancurkan medulla.
Konsekuensinya bisa terjadi paraplegia atau quadriplegia (tergantung dari
level lesinya), rusaknya fungsi otonomik termasuk fungsi bowel, bladder
dan sensorik.
2. Lesi Inkomplit
a. Sindroma medulla anterior. Gangguan ini akibat kerusakan pada
separuh bagian ventral medulla (traktus spinotalamikus dan traktus
kortikospinal) dengan kolumna dorsalis yang masih intak dan sensasi
raba (propioseptif), tekan dan posisi masih terjaga, meskipun terjadi
paralisis motorik dan kehilangan persepsi nyeri (nosiseptif dan
termosepsi) bilateral. Hal tersebut disebabkan mekanisme herniasi
diskus akut atau iskemia dari oklusi arteri spinal.
b. Brown Squard's syndrome. Lesi terjadi pada medulla spinalis secara
ekstensif pada salah satu sisi sehingga menyebabkan kelemahan
(paralisis) dan kehilangan kontrol motorik, perasaan propioseptif
ipsilateral serta persepsi nyeri (nosiseptif dan termosepsi) kontralateral
di bawah lesi. Lesi ini biasanya terjadi akibat luka tusuk atau tembak.
c. Sindrom medulla sentral. Sindroma ini terjadi akibat dari cedera pada
sentral medulla spinalis (substansia grisea) servikal seringkali disertai
cedera yang konkusif. Cedera tersebut mengakibatkan kelemahan pada
ekstremitas atas lebih buruk dibandingkan ekstremitas bawah disertai
parestesi. Namun, sensasi perianal serta motorik dan sensorik
ekstrimitas inferior masih terjaga karena distal kaki dan serabut saraf
sensorik dan motorik sakral sebagian besar terletak di perifer medulla
servikal. Lesi ini terjadi akibat mekanisme kompresi sementara dari
medulla servikal akibat ligamentum flavum yang tertekuk selama
trauma hiperekstensi leher. Sindroma ini muncul pada pasien stenosis
servikal.
Sindroma konus medullaris. Cedera pada regio torakolumbar dapat
menyebabkan sel saraf pada ujung medulla spinalis rusak, menjalar ke
serabut kortikospinal, dan radiks dorsaliss lumbosakral disertai
disfungsi upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN).
Sindrom kauda ekuina. Sindrom ini disebabkan akibat dislokasi tulang
atau ekstrusi diskus pada regio lumbal dan sakral, dengan radiks
dorsalis kompresi lumbosakral dibawah konus medullaris. Pada
umumnya terdapat disfungsi bowel dan bladder, parestesi, dan
paralisis.

19
Gambar 2.7 Pola Cedera Medulla Spinalis.14

Jika medulla spinalis mengalami cedera, maka saraf-saraf yang berada


pada daerah yang mengalami cedera dan yang di bawahnya akan mengalami
gangguan fungsi, yang menyebabkan hilangnya kontrol otot dan juga hilangnya
sensasi. Hilangnya kontrol otot atau sensasi dapat bersifat sementara atau
menetap, sebagian atau menyeluruh, tergantung dari beratnya cedera yang terjadi.
Cedera yang menyebabkan putusnya medulla spinalis atau merusak jalur jalannya
saraf di medulla spinalis menyebabkan hilangnya fungsi yang menetap, tetapi
trauma tumpul yang mengguncang medulla spinalis dapat menyebabkan
hilangnya fungsi sementara, yaitu bisa sampai beberapa hari, beberapa minggu,
atau beberapa bulan. Hilangnya kontrol otot sebagian menyebabkan timbulnya
kelemahan pada otot. Sedangkan kontrol otot yang hilang seluruhnya
menyebabkan kelumpuhan. Ketika otot mengalami kelumpuhan, maka otot
tersebut seringkali kehilangan tonus ototnya sehingga menjadi lemas (flaccid).
Beberapa minggu kemudian, kelumpuhan dapat berkembang menjadi spasme otot
yang involunter (tidak disadari) dan lama (paralysis spastik). 1,5,6,8

Kerusakan hebat dari medulla spinalis di pertengahan punggung bisa


menyebabkan kelumpuhan pada tungkai, tetapi lengan masih tetap berfungsi
secara normal. Gerakan refleks tertentu yang tidak dikendalikan oleh otak akan
tetap utuh atau bahkan meningkat. Contohnya, refleks lutut tetap ada atau bahkan
meningkat. Meningkatnya refleks ini dapat menyebabkan spasme pada
tungkai. Refleks yang tetap dipertahankan menyebabkan otot yang terkena
menjadi memendek, sehingga dapat terjadi kelumpuhan jenis spastik. Otot yang
spastik teraba kencang dan keras dan sering mengalami kedutan. 1,5,6,8

Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot
flaksid, refleks hilang, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan
hipestesia. Juga dibawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor,
keringat dan piloereksi serta fungsi seksual. Kulit menjadi kering dan pucat serta
ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan tulang. Spingter vesika
urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi (disebabkan oleh hilangnya inhibisi
dari pusat sistem saraf pusat yang lebih tinggi. 1,5,6,8

Apabila medulla spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba, maka tiga
fungsi yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh
refleks pada bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang baik
refleks tendon, refleks autonomic disebut spinal shock. Kondisi spinal shock ini
terjadi 2-3 minggu setelah cedera medulla spinalis. Fase selanjutnya setelah spinal
shock adalah keadaan dimana aktifitas refleks yang meningkat dan tidak
terkontrol. Pada lesi yang menyebabkan cedera medulla spinalis tidak komplit,
spinal shock dapat juga terjadi dalam keadaan yang lebih ringan atau bahkan tidak
melalui shock sama sekali. Selain itu gangguan yang timbul pada cedera medulla
spinalis sesuai dengan letak lesinya, dimana pada UMN lesi akan timbul
gangguan berupa spastisitas, hyperefleksia, dan disertai hypertonus, biasanya lesi
ini terjadi jika cedera mengenai C1 hingga L1. Dan pada LMN lesi akan timbul
gangguan berupa flaccid, hyporefleksia, yang disertai hipotonus dan biasanya lesi
ini terjadi jika cedera mengenai L3 sampai kauda ekuina, di samping itu juga
masih ada gangguan lain seperti gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi
seksual, dan gangguan fungsi pernapasan. 1,5,6,8

21
Dapat dirumuskan gejala-gejala yang terjadi pada cedera medulla spinalis
yaitu : 1,5,6,8

a. Gangguan sensasi menyangkut adanya anastesia, hiperestesia, parastesia.

b. Gangguan motorik menyangkut adanya kelemahan dari fungsi otot-otot


dan reflek tendon myotome.

c. Gangguan fungsi vegetatif dan otonom menyangkut adanya flaccid dan


sapstic blader dan bowel.

d. Gangguan fungsi ADL yaitu makan, toileting, berpakaian, kebersihan diri.

e. Gangguan mobilisasi yaitu Miring kanan dan kiri, Transfer dari tidur ke
duduk, Duduk, Transfer dari bed ke kursi roda, dan dari kursi roda ke bed.

f. Penurunan Vital sign yaitu penurunan ekspansi thorax, kapasitas paru dan
hipotensi.

g. Skin problem menyangkut adanya dekubitus.

Cedera medulla spinalis juga mempengaruhi fungsi organ vital yaitu


diantaranya disfungsi respirasi terbesar yaitu cedera setinggi C1-C4. Cedera pada
C1-C2 akan mempengaruhi ventilasi spontan tidak efektif. Lesi setinggi C5-8
akan mempengaruhi m. intercostalis, parasternalis, scalenus, otot-otot abdominal,
otot-otot abdominal. Selain itu mempengaruhi intaknya diafragma, trafezius dan
sebagian m. pectoralis mayor. Lesi setinggi thoracal mempengaruhi otot-otot
intercostalis dan abdominal, dampak umumnya yaitu efektifitas kinerja otot
pernafasan menurun. 1,5,6,8
2.8 Diagnosis

Pemeriksaan Fisik

Evaluasi dan terapi awal harus segera dilakukan saat terjadi truma. Deteksi
awal cedera medulla spinalis akan mencegah timbulnya gejala sisa (sequele) pada
fungsi neurologik. Pasien yang diduga mengalami cedera medulla spinalis harus
dilakukan imobilisasi dengan menggunakan collar servikal (collar brace) dan
papan (backboards).10

A. B.

Gambar 2.8 A. Collar servikal, B. Backboards.

Di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit/ puskesmas) dilakukan


penanganan terhadap hipoventilasi, hipoksia, dan hiperkanea (yang biasanya
ditemukan pada cedera medulla servikal tinggi). Selain itu juga dapat terjadi
hipotensi yang disertai bradikardi, akibat hilangnya inervasi simpatik pada jantung
saat terjadi cedera medulla servikal yang disebut syok neurogenik. Hilangnya
inervasi simpatik juga dapat menyebabkan ileus paralitik disertai sekuestrasi
cairan abdomen, distensi kandung kemih, dan hipotermi.10

Setiap pasien tidak sadar harus dipikirkan adannya fraktur vertebra yang
tidak stabil hingga dibuktikan sebaliknya dengan x-rays (foto rontgen). Resusitasi
terhadap hipotensi dan hipoventilasi harus segera dilakukan. Jika pasien sadar,
riwayat kejadian harus ditanyakan, termasuk mekanisme terjadinya cedera, dan
adanya nyeri dan gejala neurologik lain yang timbul. Adanya keluhan berupa
parestesi harus di perhatikan. Sakit kepala hebat, terutaama sakit kepala daerah
oksipital, biasanya disertai fraktur odontoid atau hangman's fracture (fraktur
bilateral dari pedikel C2). Palpasi pada pasien dengan menggerakan vertebra

23
minimal didapatkan nyeri tekan atau deformitas. Untuk mengetahui adanya
paralisis, pasien diminta untuk menggerakkan tangannya sendiri dan diberikan
tahanan. Refleks tendon dalam harus dievaluasi pada lengan dan kaki, berkurang
atau hilangnya reflek tersebut dapat membantu pemeriksa mengetahui letak lesi.

Gambar 2.9 Tingkat Sensorik dan Motorik Dari Medulla Spinalis.10

Hilangnya reflex abdomen (kontraksi akibat stimulasi kulit abdomen


bagian bawah), menunjukkan adanya lesi di region T9-11. Hilangnya reflek
kremasterika (kontraksi otot skrotal sebagai respon dari rangsangan yang
diberikan di paha medial) menunjukkan adany lesi di medulla T12-L1. Adanya
reflek bulbokavernosus (kontraksi sphincter ani dengan melakukan kompresi pada
penis atau klitoris atau dengan menurunkan tekanan trigonum bladder dengan
balon kateter foley ketika kateter secara gentle ditarik keluar) menunjukkan
bahwa jalur sensorik dan motorik sacral masih berfungsi. Hilangnya reflek
bulbokavernosus terjadi pada syok spinal atau cedera radiks dorsalis. Pemeriksaan
sensoris pada ekstrimitas, dada, leher, dan wajah harus dilakukan untuk
mengetahui tingkat sensasi sensorik yang berkurang atau hilang. Sensasi pada
sebagian region sakral hampir selalu disebabkan cedera inkomplit.10

Jika pasien perlu dipindahkan, maka harus menggunakan tekhnik


fireman’s carry atau log-roll, yaitu dibutuhkan minimal tiga orang pada masing-
masing sisi dengan orang keempat yang memimpin gerakan sekaligus
mempertahankan posisi kepala dengan traksi aksial secara gentle (4-7 kg)
menggunakan satu tangan pada dagu (chin) dan tangan lainnya pada oksiput.10

Gambar 2.10 Metode Log-Roll Untuk Memindahkan Korban Dengan


Cedera Medulla Spinalis.16

Pemeriksaan Reflex Bulbo Cavernous

25
Reflex bulbocavernosus adalah suatu reflex yang ditandai dengan
kontraksi dari otot bulbospongiosus (otot spingter ani) ketika dorsum penis ditarik
atau glans penis dikompresi. Juga disebut refleks penis.19

Bulbo Cavernosus Refleks atau BCR adalah salah satu cara untuk
mengetahui apakah seseorang menderita shock spinal. Refleks ini merupakan
refleks polysynaptic yang berguna selain untuk mengetahui adanya syok spinal
juga memperoleh informasi tentang adanya cedera sumsum tulang belakang /
Spinal Cord Injury (SCI).

Tes ini melibatkan pemantauan kontraksi sfingter anal sebagai respon


terhadap gerakan meremas pada glans penis/klitoris atau tertariknya kateter
Foley19. Refleks ini dimediasi oleh saraf tulang belakang S2-S4.

Tidak adanya refleks tanpa trauma sumsum tulang belakang sakral


menunjukkan syok spinal. Biasanya ini adalah salah satu refleks pertama yang
kembali setelah syok spinal. Tidak adanya fungsi motorik dan fungsi sensorik
setelah refleks telah kembali menunjukkan adanya cedera spinal yang lengkap.
Tidak adanya refleks ini dalam kasus di mana syok tulang belakang tidak
dicurigai dapat menunjukkan lesi atau cedera medullaris konus atau cauda euina
syndrome. Bulbokavernosus adalah istilah awal untuk m.bulbospongiosus,
sehingga refleks ini seharusnya disebut "Bulbospongiosus refleks".20

Tidak adanya sacral sparing setelah BCR kembali mengindikasikan


bahwa cedera komplit dari Conus Medullaris Sindrom. Di sisi lain tidak adanya
BCR pada keadaan dimana diduga tidak terjadi shok spinal, mengindikasikan
adanya lesi pada cedera pada conus medullaris atau cauda equina.
Gambar 2.11 Ilustrasi Reflex Bulbo Cavernosus

Jika refleks telah kembali tapi masih ada kurangnya fungsi sensorik dan
motorik maka ini hanya menunjukkan Spinal Cord Injury komplit. Dalam hal ini
tidak mungkin bahwa fungsi neurologis penting yang pernah akan kembali. Jika
syok spinal tidak terlibat, belum ada atau tidak adanya refleks ini maka bisa
mengindikasikan cedera akar saraf sakral. Hal ini juga dapat diuji secara
electrophysiologik melalui ransangan listrik pada penis dan rekaman dari
kontraksi anus. Tes ini biasanya dilakukan untuk mengkonfirmasi jika ada motor
atau fungsi sensorik dari akar sakral dan di medullaris konus.21

Syok spinal biasanya berlangsung 48 jam dan pengakhiran shock spinal


sinyal itu datang belakang bulbokavernosus refleks. Tetapi harus diingat bahwa
shock spinal tidak diamati pada cedera yang terjadi di bawah lesi injurynya.
Karena ini tidak menyebabkan shock spinal sehingga tidak adanya refleks
bulbokavernosus menunjukkan adanya cedera cauda equina atau cedera conus
medullaris.21

Berikut ini adalah kegunaan memeriksa refleks bulbocavernosus:

• Bulbocaverosus refleks menunjuk pada kontraksi sfingter anal sebagai


respon terhadap meremas pada glans penis atau menarik pada Foley
kateter

27
• Refleks mencakup S-1, S-2, dan S-3 akar saraf dan lengkung refleks
sumsum tulang belakang yang dimediasi;

• Setelah trauma tulang belakang, ada atau tidak adanya refleks ini
membawa makna prognostik yang signifikan

• Periode syok spinal biasanya sembuh dalam waktu 48 jam dan kembalinya
BCR menandai berakhirnya shock spinal itu sendiri.

• Syok spinal tidak terjadi untuk lesi yang terjadi di bawah spinal cord, dan
karenanya, fraktur daerah lumbal bagian bawah seharusnya tidak
menyebabkan spinal syok (dan dalam situasi ini, tidak adanya refleks
bulbocaveronsus menunjukkan bahwa adanya cauda equina syndrome

• Hilangnya refleks persisten bulbokavernosus mungkin akibat dari conus


medullary syndrome, misalnya berasal dari suatu Burst fracture V lumbal

Kegunaan Reflex Bulbocavernosus untuk Prognostik:

Absennya fungsi motorik dan fungsi sensorik bagian distal atau sensasi
perirectal, bersama dengan pemulihan refleks bulbokavernosus, menunjukkan SCI
yang komplit, dan dalam kasus seperti itu jarang terjadi pemulihan fungsi
neurologis yang signifikan. Oleh karena itu, jika tidak ada pemulihan fungsi
motorik atau sensorik dibawah fraktur site, pasien dicurigai memiliki cedera saraf
tulang belakang yg komplit dan kita tidak lagi mengharapkan pemulihan fungsi
motorik.

Di sisi lain, adanya fungsi motorik sensorik dibawah level dari trauma,
kita anggap sebagai SCI yang incomplete dimana pemulihannya ditentukan oleh
bagian dari spinal cord yang paling terkena.

Pemeriksaan Sacral Sparing

Sacral sparing diuji dengan sentuhan ringan dan sensasi pin di


persimpangan mukokutan anal (S4/5 dermatom), di kedua sisi, serta pengujian
kontraksi anal dan sensasi anal yang mendalam sebagai bagian dari pemeriksaan
dubur. Jika ada salah satu yang hadir, baik utuh atau gangguan, individual
memiliki hasil sakral sparing (+) dan karena cedera sumsum tulang belakang yang
inkomplit.

Pemeriksaan Penunjang

Foto rontgen merupakan pemeriksaan penunjang yang penting pada


trauma vertebra.10 Foto anteroposterior dan lateral dapat digunakan untuk
penilaian cepat tentang kondisi tulang spinal.14 Foto lateral paling dapat
memberikan informasi dan harus dilakukan pemeriksaan terhadap alignment
(kelurusan) dari aspek anterior dan posterior yang berbatasan dengan vertebra
torakalis serta pemeriksaan angulasi spinal di setiap level. Jaringan lunak
paravertebra atau prevertebral yang bengkak biasanya merupakan indikasi
perdarahan pada daerah yang fraktur atau ligamen yang rusak. Foto
anterioposterior regio thoraks dan level lainnya dapat menunjukkan vertebra
torakalis yang bergeser ke lateral atau menunjukkan luasnya pedikel yang rusak.10
Visualisasi adekuat dari spinal servikal bawah dan torak atas seringkali tidak
mungkin karena adanya korset bahu. Foto polos komplit pada spinal servikal
meliputi gambaran mulut terbuka yang menunjukkan adanya proses odontoid dan
masa lateral C1 pada pasien yang diduga mengalami trauma servikal.10,14
Gambaran oblik dari servikal atau lumbal akan menunjukkan adanya fraktur atau
dislokasi.

Computed tomography (CT scan) potongan sagital dan koronal dapat


menggambarkan anatomi tulang dan fraktur terutama C7-T1 yang tidak tampak
pada foto polos,10,14 MRI memberikan gambaran yang sempurna dari vertebra,
diskus, dan medulla spinalis serta merupakan prosedur diagnostik pilihan pada
pasien dengan cedera medulla spinalis.10,14 Kanalis yang mengalami subluksasi,
herdiasi diskus akut atau rusaknya ligamen jelas tampak pada MRI. Selain itu,
MRI juga dapat mendeteksi EDH atau kerusakan medulla spinalis itu sendiri,
termasuk kontusio atau daerah yang mengalami iskemi. 14

29
Tanda penting untuk diagnosis antara lain: 10

1. Nyeri leher atau punggung pasca trauma

2. Mati rasa atau kesemutan (parestesi) anggota badan atau ekstrimitas

3. Kelemahan atau paralisis

4. Kehilangan fungsi pencernaan dan kandung kencing

5. Gambaran radiologis

2.9 Tata Laksana

Cedera pada tulang dan saraf spinalis sering terjadi bersamaan sehingga
terapi keduanya juga harus bersamaan untuk memperoleh hasil yang terbaik.
Transeksi anatomikal dari medulla spinalis hampir tidak pernah terjadi pada
cedera medulla spinalis pada manusia. Oleh karena itu, penting sekali untuk
melindungi jaringan spinal yang masih bertahan. Pertama, didapatkan riwayat
cedera. Kedua, dilakukan perawatan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
(cedera sekunder) dan mendeteksi fungsi neurologik yang memburuk sehingga
dapat dilakukan tindakan koreksi. Ketiga, pasien dirawat hingga kondisi optimal
supaya memungkinkan dilakukan perbaikan dan penyembuhan sistem saraf.
Keempat, evaluasi dan rehabilitasi pasien harus dilakukan secara aktif untuk
memaksimalkan fungsi yang masih bertahan meskipun jaringan saraf tidak
berfungsi. Prinsip tersebut harus disertai dengan meminimalisir biaya secara
ekonomi, sosial dan dan emosional dari cedera medulla spinalis.10

Steroid Dosis Spinal

Menurut National Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS-2) dan


NASCIS-3, pasien dewasa dengan akut, nonpenetrating cedera medulla spinalis
dapat diterapi dengan metilprednisolon segera saat diketahui mengalami cedera
medulla spinalis. Pasien diberikan metilprednisolon 30 mg/kgBB secara IV dalam
8 jam, dan terutama dalam 3 jam setelah cedera, dilanjutkan dengan infus
metilprednisolon 5,4 mg/kgBB tiap 45 menit setelah pemberian pertama. Jika
pasien mendapatkan bolus metilprednisolon antara 3-8 jam setelah cedera, maka
seharusnya pasien tersebut menerima infus metilprednisolon selama 48 jam
sedangkan jika pemberian metilprednisolon dalam 3 jam setelah cedera, maka
pemberian infus prednisolon diberikan selama 24 jam.10,14 Penelitian
menunjukkan akan terjadi pemulihan motorik dan sensorik dalam 6 minggu, 6
bulan dan 1 tahun pada pasien yang menerima metilprednisolon. Akan tetapi,
penggunaan kortikosteroid belum jelas kesepakatannya. Steroid dosis spinal juga
kontra indikasi untuk pasien dengan luka tembak atau cedera radiks dorsalis
(kauda ekuina), atau hamil, kurang dari 14 tahun, atau dalam pengobatan steroid
jangka panjang, serta hipotermi (salah satu gejala yang timbul pada cedera
medulla spinalis).14

Bila terjadi spastisitas otot, berikan: Diazepam 3x5/ 10 Mg/Hari, Baklopen


3x5 Mg hingga 3x 20 Mg sehari. Spasmolitik otot atau relaksan secara tradisional
digunakan untuk mengobati gangguan muskuloskeletal yang menyakitkan. Efek
samping sedasi dan pusing yang umum terjadi.6,8,22

Bila ada rasa nyeri bisa diberikan: Analgetika golongan NSAIDs (anti
inflamasi). Uji klinis menunjukan analgetik ini berguna sebagai pengobatan untuk
nyeri, namun penggunaan jangka panjang harus dihindari karena sering terjadi
efek samping yang merugikan pada fungsi ginjal dan gastrointestinal.

Antidepresan trisiklik: digunakan dalam pengobatan nyeri kronik untuk


mengurangi insomnia, dan juga mengurangi sakit kepala.

Alat Ortotik

Alat ortotik eksternal yang rigid (kaku), dapat menstabilisasi spinal dengan
cara mengurangi range of motion (ROM) dan meminimalkan beban pada spinal.
Pada umumnya penggunaan servikal collars (colar brace) tidak adekuat untuk
C1, C2 atau servikotorak yang instabil. Cervicothoracic orthoses brace diatas
torak dan leher, meningkatkan stabilisasi daerah servikotorak. Minerva braces

31
meningkatkan stabilisasi servikal pada daerah diatas torak hingga dagu dan
oksiput. Pemasangan alat yang disebut halo-vest paling banyak memberikan
stabilisasi servikal eksternal. Empat buah pin di pasangkan pada skul (tengkorak
kepala) untuk mengunci halo ring. Stabilisasi lumbal juga dapat digunakan
sebagai torakolumbal ortose.14

A. B. C.

Gambar 2.12 Alat Ortose Rigid, A. Cervicothoracic Orthoses Brace, B.


Minerva Brace, C. Halo Ring.17

Fiksasi skeletal dengan Gardner-Wells tongs atau halo traction dapat


dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau halter traction dapat digunakan
sementara. Thoraciter tractions anhald lumbar fractures dilakukan dengan
mempertahankan pasien pada posisi netral, log rol diperlukan untuk
penatalaksanaan dalam merawat kulit dan pulmonary.10

A. B.
Gambar 2.13 Fiksasi, A. Gardner Wells Tongs, B. Servikal Halter Skin
Traction.18

Operasi

Intervensi operasi dalam hal ini memiliki dua tujuan, yang pertama adalah
untuk dekompresi medulla spinalis atau radiks dorsalis pada pasien dengan defisit
neurologis inkomplit. Kedua, untuk stabilisasi cedera yang terlalu tidak stabil
untuk yang hanya dilakukan eksternal mobilisasi. Fiksasi terbuka (open fixation)
dibutuhkan untuk pasien trauma spinal dengan defisit neurologis komplit tanpa
sedikitpun tanda pemulihan, atau pada pasien yang mengalami cedera tulang atau
ligament spinal tanpa defisit neurologis. Operasi stabilisasi dapat disertai
mobilisasi dini, perawatan, dan terapi fisik.14 Indikasi lain operasi yaitu adanya
benda asing atau tulang di kanalis spinalis disertai dengan defisit neurologis yang
progresif sehingga menyebabkan terjadinya epidural spinal atau subdural
hematoma. Penatalaksanaan vertebra yang tidak stabil meliputi, spinal fusion
menggunakan metal plates, rods, dan screws dikombinasi dengan bone fusion.10

Perawatan Berkelanjutan

Sangat penting untuk melakukan pencegahan dan perawatan dari


thrombosis vena dalam, hiperfleksi autonomik dan pembentukan ulkus
dekubitus.14 Banyak pasien dengan cedera medulla servikal atau torak tinggi
membutuhkan bantuan ventilasi sampai dinding dada cukup kuat untuk bernafas.
Pasien dengan cedera medulla spinalis biasanya bernafas dengan menggunakan
diafragma. Jika terjadi ileus paralitik disertai distensi abdomen atau pasien tampak
lemah maka ventilasi akan memburuk. Pasien akan mengalami hipoksik, sehingga
perlu diberikan intubasi atau ventilasi mekanik.10 Pasien dengan cedera medulla
servikal tinggi (diatas C4) seringkali membutuhkan bantuan ventilasi permanen.14

Akibat hilangnya jalur simpatik medulla spinalis, tekanan darah menjadi


rendah dan menyebabkan cedera sekunder. Tekanan darah arteri rata-rata 85-90
mmHg harus dipertahankan selama 7 hari pertama setelah terjadinya cedera
medulla spinalis untuk meningkatkan perfusi pada medulla yang cedera. Jika

33
produksi urin tidak adekuat setelah pemasangan kateter, pasien dengan hipotensi
sedang akan merespon terhadap pemberian konstriktor seperti efedrin, akan tetapi
hal tersebut hanya boleh diberikan setelah dipastikan tidak ada perdarahan pada
rongga dada atau abdomen.10

2.10 Komplikasi

Penyebab utama kematian setelah cedera medulla spinalis secara potensial


dapat dicegah. Cara terbaik mencegah terjadinya gagal ginjal disertai infeksi
saluran kencing berulang adalah dengan melakukan kateterisasi bladder
intermiten secara hati-hati. Ulkus dekubitus mudah terbentuk pada tulang yang
menonjol pada area yang teranestesi, hal tersebut dapat dicegah dengan dengan
cara turning of patients dan memutar tempat tidur. Pasien dengan defisit motorik
disertai cedera medulla spinalis memiliki resiko tinggi thrombosis vena dalam.
Pasien sebaiknya mendapatkan low-molecular-weight heparin, pneumatic
compression stockings atau keduanya sebagai profilaksis.

Berikut ini adalah komplikasi yang sering terjadi:

a. Ulkus dekubitus: Merupakan komplikasi paling utama pada cedera


medulla spinalis. Terjadi karena tekanan yang pada umumnya terjadi pada
daerah pinggul (ischial tuberositas dan trochanter pada femur). Pada
cedera medulla spinalis tidak hanya terjadi perubahan dari tonus otot dan
sensasi saja, tapi juga peredaran darah ke kulit dan jaringan subkutan
berkurang. 1,5,6,8

b. Osteoporosis dan fraktur: Kebanyakkan pasien dengan cedera medulla


spinalis akan mengalami komplikasi osteoporosis. Pada orang normal,
tulang akan tetap sehat dan kokoh karena aktifitas tulang dan otot yang
menumpu. Ketika aktifitas otot berkurang atau hilang dan tungkai tidak
melakukan aktifitas menumpu berat badan, maka mulai terjadi penurunan
kalsium, phospor sehingga kepadatan tulang berkurang. 1,5,6,8
c. Pneumonia, atelektasis, aspirasi: Pasien dengan cedera medulla spinalis di
bawah Th4, akan beresiko tinggi untuk berkembangnya restriksi fungsi
paru. Terjadi pada 10 tahun dalam cedera medulla spinalis dan dapat
progresif sesuai keadaan. 1,5,6,8

d. Deep Vein Trombosis (DVT): Merupakan komplikasi terberat dalam


cedera medulla spinalis, yaitu terdapat perubahan dari kontrol neurologi
yang normal daripada pembuluh darah.

e. Cardiovasculer disease: Komplikasi dari sistem kardiorespirasi merupakan


resiko jangkapanjang pada cedera medulla spinalis.

f. Neuropatic pain: Merupakan masalah yang penting dalam cedera medulla


spinalis. Berbagai macam nyeri hadir dalam cedera medulla spinalis.
Kerusakan pada daerah tulang belakang dan jaringan lunak di sekitarnya
dapat berakibat rasa nyeri pada daerah cedera. Biasanya pasien akan
merasakan terdapat phantom limb pain atau nyeri yang menjalar pada level
lesi ke inervasinya. 1,5,6,8

g. Perubahan Tonus Otot: Akibat yang paling terlihat pada SCI adalah
paralisis dari otot-otot yang dipersarafi oleh segmen yang terkena.
Kerusakan dapat mengenai traktus descending motorik, AHC, dan saraf
spinalis, atau kombinasi dari semuanya. Saat mengenai traktus descending,
akan terjadi flaccid dan hilangnya refleks. Kemudian kondisi tersebut akan
diikuti dengan gejala autonom seperti berkeringat dan inkontinensia dari
bladder dan bowel. Dalam beberapa minggu akan terjadi peningkatan
tonus otot saat istirahat, dan timbulnya refleks. 1,5,6,8

h. Komplikasi Sistem respirasi: Bila lesi berada di atas level C4 akan


menimbulkan paralisis otot inspirasi sehingga biasanya penderita
membutuhkan alat bantu pernafasan, hal tersebut disebabkan gangguan
pada n. intercostalis. Komplikasi pulmonal yang terjadi pada lesi disegmen
C5 – Th 12, timbul karena adanya gangguan pada otot ekspirasi yang
mendapat persarafan dari level tersebut, seperti m. adbominalis dan m.

35
intercostalis. Paralysis pada m. obliques eksternalis juga menghambat
kemampuan penderita untuk batuk dan mengeluarkan sekret. 1,5,6,8

i. Kontrol Bladder dan Bowel: Pusat urinaris pada spinal adalah pada konus
medullaris. Kontrol refleks yang utama berasal dari segmen sekral. Selama
fase spinal syok, bladder urinary menjadi flaccid. Semua tonus otot dan
refleks pada bledder hilang. Lesi di atas conus medullaris akan
menimbulkan refleks neurogenic bladder berupa adanya spastisitas,
kesulitan menahan BAK, hipertrophy otot detrusor, dan refluks urethral.
Lesi pada conus medullaris menyebabkan tidak adanya refleks bladder,
akbiat dari flaccid dan menurunnya tonus otot perineal dan sphincter
utethra. Gangguan pada bowel sama seperti pada bladder ditambah dengan
adanya lesi pada cauda equina. 1,5,6,8

j. Respon Seksual: Respon seksual berhubungan langsung dengan level dan


komplit atau inkomplitnya trauma. Terdapat dua macam respon,
reflekogenik atau respon untuk stimulasi eksternal yang terlihat pada
penderita dengan lesi UMN dan psikogenik, dimana timbul melalui
aktifitas kognisi seperti fantasi, yang berhubungan dengan lesi pada LMN.
Pria dengan level lesi yang tinggi dapat mencapai refleksif ereksi, tapi
bukan ejakulasi. Pada lesi yang lebih ke bawah ia dapat lebih cepat untuk
ejakulasi, tetapi kemampuan ereksinya sulit. Lesi pada kauda ekuina tidak
memungkinkan terjadinya ejakulasi ataupun ereksi. 1,5,6,8

k. Menstruasi biasanya terhambat 3 bulan, fertilasi dan kehamilan tidak


terhambat, tapi kehamilan harus segera diakhiri, terutama pada trisemester
terakhir. Persalinan akan terjadi tanpa sepengetahuan ibu hamil akibat dari
hilangnya sensasi, dan persalinan diawali dengan disrefleksia autonomik.
1,5,6,8

2.11 Prognosis
Pemeriksaan neurologik dan umur pasien merupakan faktor utama yang
mempengaruhi lamanya masa penyembuhan. Pada trauma akut, mortalitas cedera
medulla spinalis sebesar 20%. Dalam jangka lama, pasien dengan kehilangan
fungsi motorik dan sensorik komplit dalam 72 jam, fungsinya tidak mungkin
kembali, namun hingga 90% pasien dengan lesi inkomplit dapat mulai berjalan 1
tahun setelah cedera. Lesi terbatas pada pasien muda lebih mudah mengalami
penyembuhan. Sindroma medulla anterior prognosisnya tidak sebaik sindroma
medulla inkomplit, sindroma medulla sentral, dan Brown Squard’s sindrome.
Penyebab utama kematian sindroma medulla spinalis meliputi penyakit
respiratorik dan kardiak. Rehabilitasi juga termasuk dukungan emosional dan
edukasi pasien tentang aktifitas harian dan latihan bekerja.10

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Evans, Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian


Rakyat; 2003.h. 35-36.

2. Snell RS. Neuroanatomi klinik : pendahuluan dan susunan saraf pusat. Edisi
ke-5. Jakarta : EGC; 2007.h.1-16.

3. Blumenfeld H. Neuroanatomy through Clinical Cases. Inc: Sanauer


Assiciates; 2002.h.23-36, 277-283.

4. DeGroot J. Chusid JG. Corelative Neuroanatomy. Jakarta: EGC; 1997.h.30-


42.

5. ASIA. Spinal cord injury. Diunduh dari : http://sci.rutgers.edu.

6. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan


tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2007.h.19-23.

7. National spinal cord injury statistical centre. Spinal cord injury:


Facts and figures at a glance.
http://www.nscisc.uab.edu/PublicDocuments/fact_figures_docs/Facts%20213.
pdf.

8. Consortium Member Organizations and Steering Committee Representatives.


Early Acute Management in Adults with Spinal Cord Injury: A Clinical
Practice Guideline for Health-Care Professionals. The Journal Of Spinal Cord
Medicine. Vol. 31. 2006.

9. Dumont, Randall J; Okonkwo, David O; Verma, Subodh ; Hurlbert, C John ;


Boulos, Paul T; Dumont, Aaron S;. (2001). Acute Spinal Cord Injury, Part I:
Pathophysiologic Mechanisms. Clinical Neuropharmacology , 24 (5), 254-
264.
10. Manley , Geoffrey T; Rosenthal, Guy; Papanastasio, Alexande M; Pitts, Larry
H;. (2006). Spinal Cord Injury. In G. M. Doherty, Current Surgical Diagnosis
& Treatment (Vol. 37). California: McGraw-Hill.

11. Liverman, Catharyn, T., Altevogt, Bruce, M., Joy, Janet, E., and Johnson,
Richard, T. Editors. 2005. Spinal Cord Injury: Progress, Promise, and
Priorities. Washington, D.C.:The National Academies Press. [serial online].
http://www.nap.edu/openbook.php?record_id=11253&page=R1.

12. Feneis, Heinz; Dauber, Wolfgang;. (2000). Pocket Atlas of Anatomy Based on
the International Nomenclature Fourth Edition, fully rivised. Ney York:
Thieme.

13. Thuret, Sandrine; Moon, Lawrence D.F; Gage, Fred H. (2006). Therapeutic
Intervention After Spinal Cord Injury. Nature Publishing Group , 7, 628-640.

14. Schwartz, S. I., Shires, G. T., Spencer, F. C., Daly, J. M., Fischer, J. E., &
Galloway, A. C. (2010). Principles of Surgery Companion Handbook. USA:
McGraw-Hill.

15. Kaye, Andrew H. (2006). Nerve injuries, peripheral nerve entrapments and
spinal cord compression. In J. J. Tjandra, G. J. Clunie, A. H. Kaye, & J. A.
Smith, Text Book of Surgery Third Edition (Vol. 51). Massachusetts:
Blackwell Publishing.

16. Anonim. Management of Bone Injuries. [Serial Online]. http://www.free-


ed.net/sweethaven/MedTech/MedTech/default.asp?iNum=0411&uNum=2.
(23 September 2011).

17. Miller-Keane. 2003. Encyclopedia and Dictionary of Medicine, Nursing, and


Allied Health, Seventh Edition. by Saunders, an imprint of Elsevier, Inc. All
rights reserved. [Serial Online]. http://medical-dictionary.thefreedictionary
.com/Cervico-Thoraco-Lumbo-Sacral+Orthosis. (23 September 2011)

39
18. Anonim. Primary Surgery Vol.2 – Trauma : The spine : Skeletal traction.
[Serial Online]. http://www.primary-surgery.org/ps/vol2/html/sect0232.html.
(23 September 2011)

19. Bulbocavernosus Reflex - Wheeless' Textbook of Orthopaedics


Dikutip dari http//www.wheelessonline.com\ortho
20. Vodusek, David B.; Deletis, Vedran (2002). "Intraoperative
Neurophysiological monitoring of the Sacral Nervous System".
Neurophysiology in Neurosurgery, a Modern Intraoperative Approach
(Academic Press): 153–165.
21. Spector et all, Review Article: Cauda equina syndrome. JAAOS 16:2008

22. Sidharta P. Tatalaksana Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Jakarta: Dian


Rakyat; 2005.h.115-116.

Anda mungkin juga menyukai