Anda di halaman 1dari 30

RHINITIS ALERGIKA

SUPERVISOR:

Prof. Dr. dr . Tengku Siti Hajar Haryuna ,Sp. T.H.T.K.L (K)

PENYUSUN:

Muhammad Ariadi Syahputra Dalimunthe 140100144

KEPANITERAN KLINIK RSUP. HAJI ADAM MALIK


DEPARTEMEN ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER(THT-KL)
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan
hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat saya selesaikan tepat pada waktunya.
Pada makalah ini, saya menyajikan kasus mengenai Rhinitis Alergika . Adapun tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik Departemen Ilmu
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher , Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik
Medan.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan pula terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Prof. Dr. dr . Tengku Siti Hajar Haryuna ,Sp. T.H.T.K.L (K), atas kesediaan
beliau sebagai supervisor saya dalam penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan dalam
penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga laporan kasus ini bermanfaat. Akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, mei 2020

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan pada tanggal :

Nilai :

Penguji

Prof Dr.dr.Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.T.H.T-K.L. ( K )

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii

BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................... 1


1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Tujuan Penulisan .................................................................................. 2
1.3. Manfaat Penulisan ............................................................................... 2

TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 3


2.1. Anatomi Hidung ................................................................................... 3
2.1.1. Anatomi Hidung Luar ................................................................ 3
2.1.2. Anatomi Hidung Dalam .............................................................. 3
2.1.3. Batas Rongga Hidung ................................................................. 5
2.1.4 Persarafan Hidung ....................................................................... 5
2.1.5. Vaskularisasi hidung................................................................... 5
2.1.6 Fisiologi Hidung .......................................................................... 6
2.17 Anatomi Sinus Paranasal .............................................................. 7
2.2. Rhinitis Alergi ...................................................................................... 8
2.2.1. Definisi Rinitis Alergi ................................................................ 8
2.2.2. Klasifikasi Rinitis Alergi ............................................................ 8
2.2.3 Epidemiologi Rinitis Alergi ......................................................... 9
2.2.4. Faktor Resiko Rinitis Alergi ....................................................... 10
2.2.5 Patofisiologi Rinitis Alergi .......................................................... 10
2.2.6. Manifestasi Klinis Rinitis Alergi ................................................ 12
2.2.7 Penegakan Diagnosis ................................................................... 13
2.2.8. Diagnosis Banding Rinitis Alergi ............................................... 16
2.2.9. Penatalaksanaan Rinitis Alergi ................................................... 17
2.2.10. Komplikasi ............................................................................... 22
2.2.11. Prognosis .................................................................................. 23

BAB 3 KESIMPULAN ............................................................................................ 24

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 25

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Rinitis alergi merupakan suatu reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat paparan
alergen terhadap individu yang telah tersensitisasi dan ditandai dengan gejala berupa bersin
(5-10 kali berturut-turut), rinore, hidung tersumbat serta dapat dijumpai mata berair, rasa
gatal (pada mata, hidung, telinga, tenggorokan, palatum), post nasal drip, tekanan pada sinus,
dan rasa lelah. Berdasarkan bangkitannya, rinitis alergi dapat terjadi secara seasonal
(musiman) ataupun secara parennial (menahun). Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma
(ARIA) telah mengklasifikasikan rinitis alergi berdasarkan lamanya serangan
(intermittent/persistent) dan derajat keparahan penyakit (mild/moderate/severe).1
Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan dan telah
menjadi masalah global yang menyerang 10-20 % populasi dunia. Oleh sebab itu, rinitis
alergi telah menjadi masalah kesehatan yang serius dikarenakan prevalensinya yang terus
meningkat dan memberikan dampak terhadap kehidupan sosial, aktivitas sekolah, dan
produktivitas kerja penderita.2
The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) telah
melakukan pemetaan terhadap prevalensi rinitis alergi di beberapa negara belahan dunia,
antara lain: USA (12-30%), Amerika Latin (5,5-45,1%), Afrika (7,2- 54,1%), Eropa (23-
30%), Turki (2,9-37,7%), kawasan Timur Tengah (7,4-45,2%), China / Hong kong / Taiwan
(1,6-43%), Australia (12,41,3%), Asia Tenggara (5,5-44,2%), dan Jepang / Korea (9,1-
35,7%).3
Selanjutnya penelitian Wong et al lebih spesifik di kawasan Asia Pasifik
menunjukkan prevalensi berdasarkan usia 6-7 tahun dan 13-14 tahun. Pada anak usia 6-7
tahun, di Jepang 10,6%, Korea (Seoul) 9%, Thailand (Bangkok) 13,4%, Singapura 8,7%, dan
Indonesia 3,6%. Sementara untuk anak usia 13-14 tahun, di Jepang 17,6%, Korea (Seoul)
11,9%, Thailand (Bangkok) 23,9%, Singapura 16,5%, dan Indonesia 4,8%. Dari hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa negara dengan prevalensi tertinggi di Asia Pasifik
adalah Hong Kong dan Thailand (Bangkok).4

1.1.Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan tulisan ini adalah untuk lebih mengerti dan memahami
mengenai Rhinitis Alergika. Tulisan ini juga dibuat untuk memenuhi persyaratan dalam

1
mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departement Ilmu Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala dan Leher

1.2.Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan pembaca
khususnya yang terlibat dalam bidang medis agar dapat lebih mengetahui dan memahami
mengenai Rhinitis Alergika.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung


2.1.1. Anatomi Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: pangkal
hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela dan
lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan
yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1)lubang hidung
(os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal; sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian
bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago
nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior
kartilago septum.5

2.1.2. Anatomi Hidung Dalam


Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang di
pisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.5

3
Gambar 2.1 Anatomi Hidung Dalam
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi
mempunyai 4 buah dinding medial, lateral, inferior dan superior.5
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah 1)lamina perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis
os maksila dan 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian
tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa
hidung.5
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, yang lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid.5

4
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada
meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.5

2.1.3 Batas Rongga Hidung


Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis
merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang
(kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-sarabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior,
atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.5

2.1.4 Persarafan Hidung (Cavum Nasi)


Nervus olfaktorius atau saraf penciuman, merupakan juluran sentral dari sel-sel saraf
reseptor olfaktorius didalam membran mukosa bagian atas rongga hidung (diatas konka
nasalis superior). Berkas-berkas serabut saraf ini berjalan melalui lubang didalam lamina
cribrosa os etmoidalis dan berakhir pada bulbus olfaktorius didalam fossa cranii anterior.
Dari ujung posterior bulbus olfaktorius keluar sebuah pita putih yang disebut traktus
olfaktorius yang berjalan kebelakang menuju ke area olfaktorius cortex cerebri.1
Saraf-saraf sensasi umum berasal dari divisi oftalmika dan maxillaris nervus trigeminus.
Persarafan bagian anterior cavum nasi berasal dari nervus etmoidalis anterior. Persarafan
bagian posterior cavum nasi berasal dari ramus nasalis, ramus nasopalatinus, dan ramus
palatinus ganglion pterygopalatinum.1

2.1.5 Vaskularisasi Hidung


Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis interna, dibagian
bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris interna diantaranya
adalah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung

5
posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri
Fasialis.5
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina, etmoid, labialis superior, dan palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach
(Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung) terutama pada anak.5
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup sehingga
merupakan predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.5

2.1.6 Fisiologi Hidung


Mukosa Olfaktorius mengandung tiga jenis sel: reseptor olfaktorius, sel penunjang
dan sel basal. Sel-sel penunjang mengeluarkan mukus yang melapisi saluran hidung. Sel-sel
basal adalah prekursor untuk sel-sel reseptor olfaktorius yang baru, yang diganti setiap dua
bulan. Sel-sel olfaktorius sendiri merupakan ujung-ujung neuron aferen khusus dan satu-
satunya neuron yang mengalami pembelahan sel. Akson-akson sel reseptor secara kolektif
membentuk saraf olfaktorius. Bagian reseptor dari sel olfaktorius terdiri dari sebuah kepala
yang menggembung dan berisi beberapa silia panjang yang meluas ke permukaan mukosa.
Silia ini mengandung tempat pengikatan untuk melekatnya molekul-molekul odoriferous
(pembentuk bau).6
Agar dapat berikatan dengan sel-sel olfaktorius dan dapat membentuk bau maka suatu
bahan harus:6
• Cukup mudah menjadi gas (mudah menguap), sehingga sebagian melekulnya dapat
masuk ke hidung dalam udara yang dihirup

• Cukup mudah untuk larut-air, sehingga dapat larut kedalam lapisan mukus yang
melapisi mukosa olfaktorius.
Pengikatan suatu molekul odoriferous ke tepat perlekatannya disilia akan
menyebabkan pembukaan saluran-saluran Na+ dan K+. Terjadi perpindahan ion-ion yang
menimbulkan depolarisasi potensial reseptor yang menyebabkan terbentuknya potensial aksi
di serat aferen. Serat-serat aferen berjalan melalui lubang-lubang halus di lempeng tulang
datar yang memisahkan mukosa olfaktorius dari jaringan otak diatasnya. Serat-serat tersebut
segera bersinaps di bulbus olfaktorius, suatu struktur saraf kompleks yang mengandung
beberapa lapisan sel yang berbeda-beda. Serat yang keluar dari bulbus olfaktorius berjalan
melalui dua rute:6

6
• Rute subkortikal yang terutama menuju ke daerah-daerah di sistem limbik,
khususnya sisi medial bawah lobus temporalis (yang dianggap sebagai korteks
olfaktorius primer)

• Rute talamus kortikal dimana rute ini mencakup keterlibatan hipotalamus,


memungkinkan koordinasi erat antara reaksi penciuman dan perilaku, dan rute ini
juga penting untuk persepsi sadar dan diskriminasi halus penciuman.

Fungsi Hidung5
• Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik
lokal.

• Fungsi penciuman karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk
menampung stimulus penghidung\fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara,
membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi
tulang.

• Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas.

• Refleks nasal.

2.1.7. Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga
hidung. Sinus paranasal terdiri dari empat pasang, mulai dari yang terbesar yaitu sinus
maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.3
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus
frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal
berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-
superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara
15-18 tahun.3

7
Dikutip dari: Atlas of Human Anatomi7
Gambar 2.2 Anatomi Sinus Paranasal
2.2. Rinitis Alergi
2.2.1. Definisi Rinitis Alergi

Rinitis Alergi (RA) adalah suatu penyakit respon inflamasi yang diperantarai oleh IgE
pada membran mukosa hidung setelah terpajan oleh alergen inhalan. Gejalanya meliputi
rinore (anterior atau posterior), hidung tersumbat, hidung gatal, dan bersin.8

2.2.2. Klasifikasi Rinitis Alergi


Rinitis alergi dahulu diklasifikasikan berdasarkan waktu serangannya, dibagi menjadi
seasonal (musiman) dan parennial (menahun). Rinitis alergi parennial sering disebabkan
oleh alergen yang berasal dari dalam rumah seperti debu, tungau, jamur, dan insekta.
Sedangkan rinitis alergi seasonal berkaitan dengan variasi alergen di luar lingkungan rumah
seperti polen (serbuk sari) ataupun jamur. Namun klasifikasi ini masih belum memuaskan,
sehingga ARIA – WHO melakukan revisi dan mengklasifikasikannya berdasarkan lamanya
serangan dan derajat keparahan.9

8
Tabel 2.1 Klasifikasi Rinitis Alergi9
Klasifikasi Gejala
Intermittent Gejala berlangsung kurang dari 4
hari/minggu atau kurang dari 4
minggu
Persistent Gejala berlangsung lebih dari 4
hari/minggu dan lebih dari 4
minggu
Mild Tidak ditemukan gangguan tidur,
aktivitas harian, olahraga,
bersantai, aktivitas sekolah dan
bekerja
Moderate – Severe Ditemukan adanya gangguan
tidur, gangguan terhadap aktivitas
harian, olahraga, bersantai,
aktivitas sekolah dan bekerja

Berdasarkan tabel di atas, maka rinitis alergi diklasifikasikan menjadi:9


• Rinitis alergi dengan gejala intermittent – mild

• Rinitis alergi dengan gejala intermittent – moderate-severe

• Rinitis alergi dengan gejala persistent – mild

• Rinitis alergi dengan gejala persistent – moderate-severe

2.2.3. Epidemiologi Rinitis Alergi


Rinitis alergi tersebar di seluruh negara maju maupun negaraberkembang.Dengan
prevalensi 10-15% dari seluruh populasi dunia menurutAllergic Rhinitis and its Impact on
Asthma (ARIA).Menurut American Academyof Allergy Asthma & Immunology (AAAAI)
berdasarkan data World HealthOrganization (WHO)rinitis alergi menyerang 10% - 30%
populasi di dunia.Sedangkan di asia pasifik sendiri dilaporkan oleh Wong et al.bahwa
padakelompok dewasa muda, gejala rhinoconjunctivitis menduduki peringkat menengah
menurut skala global.Namun, negara dengan prevalensi tertinggiadalah Hongkong dan
Thailang (Bangkok).Pada kelompok anak-anak berumur 6-7 tahun, Asia-Pasifik menduduki
peringkat ketiga tertinggi untuk kejadianrhinoconjunctivitis berulang.Berdasarkan pola

9
global, prevalensi penyakit alergi,asma, dan rhinoconjunctivitis lebih tinggi daripada negara
berkembang, sepertiKorea, Jepang, Hongkong dan Singapura.Prevalensi terendah dari gejala
asmadilaporkan pada Negara yang kurang berkembang, seperti Indonesia, beberapadaerah di
Negara Malaysia, dan sebagian besar daerah Negara China.4

2.2.4. Faktor resiko Rinitis Alergi

Gejala dari rinitis alergi berkembang sebelum usia 20 tahun pada 80% kasus. Pada
anak yang memiliki riwayat rinitis alergi pada kedua orang tuanya, akan mendapatkan rinitis
alergi pada usia yang lebih muda dibanding dengan anak yang memiliki riwayat rinitis alergi
pada salah satu orang tuanya. Rinitis alergi berkembang pada 1 dari 5 orang anak pada usia 2-
3 tahun dan kurang lebih 40% pada usia 6 tahun. Sekitar 30% berkembang pada usia remaja.
Pada anak-anak rinitis alergi lebih dominan terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan.
Tetapi pada orang dewasa prevalensinya lebih sering terjadi pada perempuan.Beberapa faktor
resiko lainnya yang berpengaruh adalah :

• Riwayat atopi dari keluarga. Ada peranan genetik yang turut menentukan kondisi
ini. Beberapa penelitian menemukan adanya bentuk polimorfisme pada beberapa
kromosom (1,2,3,5,6,7,9,11,12,13,14,16,17,19,dll) dan juga dijumpai adanya
perbedaan distribusi allel yang berkaitan alergi (IL-4 dan gen IL-4R) pada beberapa
ras.10

• Serum IgE > 100 IU/ml pada anak sebelum usia 6 tahun.

• Hasil positif pada uji cukit kulit / Skin Prick Test (SPT).11

• Terpapar alergen. Alergen inhalan merupakan faktor utama. Alergen inhalan yang
paling sering terlibat adalah debu, tungau rumah (Dermatophagoides pteronyssinus &
Euroglypus maynei), polen, jamur, bulu binatang, polusi (NO, Sulfur dioksida, CO,
ozon) . Makanan jarang menyebabkan terjadinya rinitis alergi.9

2.2.5. Patofisiologi Rinitis Alergi


Rinitis alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I yang dimediasi oleh IgE.
Reaksi terdiri atas 2 fase yaitu: 1) reaksi fase cepat, yang terjadi segera setelah paparan
dengan alergen, 2) reaksi fase lambat, yang terjadi setelah 4-8 jam setelah paparan alergen.5

10
Gambar 2.3. Mekanisme Rinitis Alergi12

Reaksi alergi tipe I diawali dengan adanya sensitisasi. Pada fase ini, setiap alergen
/antigen yang masuk ke mukosa akan diangkut oleh antigen presenting cell (APC) melalui
MHC Class II ke sel CD+4 T limfosit (T cell). T cell akan berdiferensiasi menjadi sel Th1
dan Th2. Selanjutnya sel Th2 akan melepaskan berbagai sitokin seperti IL-4 dan IL-13.
Sitokin tersebut akan berikatan dengan reseptor di permukaan sel B dan mengaktifkan sel B
untuk memproduksi IgE spesifik antigen yang akan berikatan pada permukaan sel mast dan
basofil pada reseptor Fc.13
Jika suatu saat alergen yang sama terpapar kembali pada mukosa hidung yang telah
tersensitisasi, maka alergen tersebut akan berikatan dengan kompleks IgE dan akan
menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast dan basofil yang akan mengeluarkan mediator
– mediator neuroaktif dan vasoaktif seperti histamin, leukotrien, prostaglandin, heparin,
kinin, dan protease.13 Mediator seperti histamin akan langsung mempengaruhi pembuluh
darah (meningkatkan permeabilitas vaskular dan kebocoran plasma) dan ujung saraf sensoris,
sedangkan leukotrien menyebabkan vasodilatasi. Aktivasi dari saraf sensoris akan
menimbulkan rasa gatal dan berbagai refleks sentral. Hal tersebut meliputi refleks bersin dan
refleks parasimpatis yang menstimulasi sekresi banyak mukus di hidung dan kejadian
vasodilatasi. Hiperresponsif saraf sensoris merupakan gejala yang paling menonjol pada
rinitis alergi.14

11
Pada reaksi fase lambat, mediator inflamasi yang paling berperan adalah eosinofil.
Aktivasi dari eosinofil ini akan mengeluarkan beberapa produk granul yang toksik seperti
major basic protein (MBP), eosinophil cationic protein (ECP), dan eosinophil peroxidase
(EPO) yang dapat merusak sel – sel epitel dari rongga hidung.13

2.2.6. Manifestasi klinis Rinitis Alergi


a) Bersin
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya
bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak
dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (selfcleaningprocess).Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih
dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai
bersin patologis.15Bersin terjadi disebabkan oleh iritasi histamin pada saraf sensorik
(trigeminus) di mukosa hidung yang ditransmisikan ke pusat bersin dimedullaoblongata.
Efek iritan dari histamin pada saraf sensorik dibangkitkan oleh alergi dan menyebabkan
bersin.16

b) Watery Rhinorrhea
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi).15 Iritasi saraf sensorik pada mukosa hidung menyebabkan eksitasi saraf
parasimpatis, dan menyebabkan refleks bersin. Hal ini memicupelepasan asetilkolin oleh
saraf parasimpatis. Histamin bertindak langsungpada pembuluh darah mukosa hidung dan
menyebabkan kebocoranplasma.16

c) Pembengkakan Mukosa Hidung


Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Pembengkakan
mukosa hidung disebabkan oleh edema pada mukosa hidung akibat kebocoran plasma dan
kongesti pembuluh darah mukosa. Aksi langsung oleh mediator inflamasi seperti histamin,
PAF, prostaglandin D2, kinin, dan secara spesifik, eosinofil, memegang peranan penting
pada pembengkakan mukosa hidung yang diobservasi pada fase akhir. Fase awal rinitis
alergi disebabkan oleh reaksi antigen-antibodi tipe1 IgE. Lalu, sel inflamasi yang
menginfiltrasi menyebabkan fase akhir. Iritasi antigen yang berlangsung terus menerus
menyebabkan lesi kronik. 16

12
d) Gejala lain17
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring.
1. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada
tengahpunggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas
menirukanpemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang
dapat
muncul kebiruan.
2. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam
dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi
membrantimpaniatau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii.
3. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan
limfoid.
4. Tandalaringeal termasuk suara serak dan edema pita suara
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman,
mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga
mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.18

2.2.7. Penegakan Diagnosis


Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi
yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Bersin ini terutama merupakan gejala
pada Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) dan kadang-kadang pada Reaksi Alergi Fase Lama
(RAFL) sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang
encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan oleh pasien.15,19 Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta
onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter
sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan
dan pekerjaan.
Riwayat atopi dalam keluarga merupakan faktor predisposisi rinitis alergi yang
terpenting. Riwayat penyakit alergi dalam keluarga. Pasien juga perlu ditanya gangguan

13
alergiselain yang menyerang hidung, seperti asma, eczema, urtikaria, atau sensitivitas obat.
Keadaan lingkungan kerja dan dan tempat tinggal juga perlu ditanya untuk mengaitkan
dengan awitan gejala. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2
atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal,
ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka
dinyatakan positif.20

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan THT dapat dilakukan dengan menggunakan rinoskopi, sekaligus juga
menyingkirkan kelainan seperti infeksi, polip hidung, atau tumor. Pada rinoskopi anterior
tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai aanya sekret encer yang
banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi
dapat dilakukan bila fasilitas tersedia.
Gejala spesifik lain pada anak pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan
dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder
akibat obstruksi hidung . Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis
melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang
sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Mulut sering terbuka dengan
lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-
geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone
appearance) serta dinding faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic
tongue).1
Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat
gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit
yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media. 19

14
Gambar 2.4 Gejala spesifik pada pemeriksaan fisik rinitis alergi

3. Pemeriksaan Penunjang
1. In vitro
 Pada hitung darah lengkap, eosinofilia perifer bisa ditemukan tetapi temuan ini tidak
konsisten, dapat normal ataupun meningkat. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah
banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya
infeksi bakteri.15
 Pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan
ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu
keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah

15
Radioallergosorbent test (RAST) merupakan suatu uji in vitro dan mengukur
konsentrasi antibodi IgE spesifik pada serum pasien, atau ELISA (Enzyme Linked
Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan ini dapat dilakukan tetapi hasilnya kurang
spesifik bila dibandingkan dengan uji alergi pada kulit. 15
 Uji provokasi hidung merupakan metode untuk merangsang mukosa hidung dengan
cara meletakkan sedikit alergen pada ujung tusuk gigi dan meminta pasien untuk
menghirup. Hal ini juga digunakan untuk mengobservasi apakah gejala alergi
muncul.21
 Nasal smear menunjukkan jumlah eosinofil yang tinggi pada rinitis alergi.
Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan saat rinitis alergi aktif secara klinis atau setelah
uji provokasi hidung.16
 Uji alergi pada kulit membantu identifikasi alergen spesifik. 16

b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan
untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta
dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. 15
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT) namun gold standart diagnosis
ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara
tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 2 minggu. Karena itu pada Challenge Test, makanan
yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati
reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan
sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan. 15

2.2.8. Diagnosa Banding Rinitis Alergi22


Diagnosa Banding dari Rinitis Alergi
1. Rinitis Vasomotor
2. Rinitis Virus
Berikut adalah perbandingan Rinitis Alergi dengan Rinitis Vasomotor :

16
Tabel 2.2 Perbandingan Rinitis Alergi dan Rinitis Vasomotor

Sedangkan rinitis virus penyebabnya beberapa jenis virus dan yang paling penting
adalah Rhinovirus. Penyakit ini sangat menular dan gejala apat timbul sebagai akibat tidak
adanya kekebalan atau menurunnya daya tahan tubuh.

2.2.9. Penatalaksanaan Rinitis Alergi


Tujuan utama penatalaksanaan rinitis alergi adalah mengurangi gejala dan
memperbaiki HRQL. Pemilihan terapi dilakukan berdasarkan keparahan gejala, tipe penyakit,
dan gaya hidup.2
1. Terapi Nonfarmakologi
a.Edukasi
Pasien harus diberi pengetahuan tentang rinitis alergi, perjalanan penyakit, dan
tujuan penatalaksanaan. Penatalaksanaan medis bertujuan untuk mengurangi gejala
atau mengganggu kerja sistem imun untuk mengurangi hipersensitivitas, atau
keduanya. Selain itu, pasien juga harus diberikan informasi mengenai keuntungan dan
efek samping yang mungkin terjadi untuk mencegah ekspektasi yang salah dan

17
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap obat yag diresepkan. 23

b.Menghindari alergen secara komplit


Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.15Menurut studi placebo-controlledoleh
penggunaan nasal filter,yang dapat mencegah akses serbuk sari ke dalam
hidung,mengurangi gejala rinitis pada subjek yang alergi terhadap serbuk sari. 23

2. Terapi Farmakologi
a.Topikal
1. Kortikosteroid Semprot atau tetes: fluticasone, mometasone,
ciclesonide,triamcinolone,flunisolide, beclametason, dan
betamethasone.Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan
hidung akibatrespon fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering
dipakai adalah kortikosteroid tropikal.
Keuntungan: terapi anti inflamasi paling poten, sangat mengurangi gejala
padahidung, memiliki efek pada gejala konjungtiva, memperbaiki
HRQL,bioavailibilitas rendah. Kerugian: membutuhkan beberapa hari
untukmengurangi gejala dan memiliki efek samping epistaxis

2. Antihistamin : Azelastine, Olopatadine


Keuntungan: efektif dan aman untuk mengatasi gatal pada hidung, bersin, dan
rhinorrhea, onset cepat (15 menit). Kerugian: pengabaianterhadap gejala
sistemik lain.

3. Chromone : Sodium cromoglicate, nedocromil sodium


Keuntungan: aman untuk gejala rinitis alergi. Kerugian: penggunaan
beberapakali sehari, efek pada gejalalemah

4. Antikolonergik: Ipratropium bromide


Keuntungan: efek baik hanya pada gejalarhinorrheakarena aktifitas
inhibisireseptor kolinergik permukaan sel efektor bermanfaat. Kerugian:
penggunaan 3kali sehari. Efek samping: hidung kering, epistaxis, retensi urin,
dan glaukoma.

18
5. Dekongestan: Ephedrine, pseudoephedrine, xylometazoline
Keuntungan: agen vasokonstriktif yang poten hanya padahidung
tersumbat,onsetcepat(10 menit). Kerugian: sering digunakan pasien secara
berlebihan, efeksamping iritasi hidung dan gejalarhinorrheamemburuk
(reboundphenomenon)

b. Sistemik
1. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara
inhibitorkomppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparatfarmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama
pengobatanrinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa
kombinasi dengandekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2
golongan yaitugolongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non
sedatif). 15
Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus
sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai
efek kolinergik. Generasi pertama – tidak dianjurkan karena efek samping
sedasi dan retardasi psikomotor. Preparat simpatomimetik golongan agonis
adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi
dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya
boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa.15
Generasi kedua: levocetirizine dan cetirizine, desloratadinedan
loratadine, fexofenadine, acrivastine, rupatadine, carebastine danebastine.
Keuntungan: efektif mengurangi gejala seperti hidung gatal,bersin,dan
rhionrrhea, mengurangi gejala konjungtiva, onset cepat(1 jam), daninteraksi
obat sedikit. Kerugian: efek pada hidung tersumbat kurang baik.15

2. Kortikosteroid: Hydrocortisone, prednisolone


Keuntungan: terapi anti inflamasi sistemik, mengurangi seluruh gejala.
Kerugian: hanya boleh digunakan jangka pendek.23

19
3. Antileukotrien
Antagonis respetor rleukotrien: montelukast dan zafirlukast. Inhibitor sintesis
leukotrien: zileuton. Hanya montelukast yang boleh digunakan sebagai terapi
rinitis alergi. Keuntungan: efektif untuk hidung tersumbat, rhinorrhea, dan
gejala konjungtiva, efektif untuk gejala bronkial pada beberap apasien,
umumnya ditoleransi dengan baik. Efek samping: sakit kepala, gejala pada
sistem pencernaan,ruam, dan sindrom Churg-Strauss.23

4. Dekongestan: Pseudoephedrine.
Keuntungan: mengurangi gejala hidung tersumbat. Efek samping: hipertensi,
insomnia, agitasi, dan takikardi.23

3. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 %
atau troklor asetat.15

4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergiinhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama, serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan
penurunan igE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan
sublingual.15

20
Gambar 2.5. Guideline Diagnosis dan Pengobatan Rinitis Alergi 24

21
Gambar 2.6. Algoritma penatalaksanaan rinitis alergi berdasarkan ARIA-WHO25

2.2.10. Komplikasi
1.Sinusitis berulang
Gajala klinis saat rinitis alergimengalami eksaserbasi dapatmenyebabkan
obstruksipada sinusparanasal dan menyebabkan sinusitisberulang.Sinusitis paranasal
merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus paranasal. Terjadi akibat edema ostia sinus
oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi
penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan
pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier
epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel
eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah. 23

2. Polip hidung
Iritasi yang terjadi padamukosa hidung secara berulang pada rhinitisalergi
dapatmemicu pertumbuhan polip pada hidung. Polip hidung yang memiliki tanda
patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa

22
banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan
metaplasia skuamosa.15

3. Otitis media serosa akut


Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. Kondisi ini dapat terjadi
karena adanya penyumbatan berulangpada tubaEustachius. 15

4. Masalah orthodontic
Gejala hidung tersumbat pada rinitis alergi meyebabkanpasienbernapas melalui mulut.
Kondisiini, terutama pada anak-anak dapatmenyebabkan masalah orthodontic.23

5. Asma bronkial
Pasien dengan rinitis alergi menunjukkan kelainan pada salurannapas bagian bawah
termasuk perubahan secara fisiologi, histologi, dan biokimia. Survei epidemiologi
menunjukkan bahwarinitis alergimerupakan faktor independen untuk terjadinya asma
bronkial.23

2.2.11. Prognosis
Pada umumnya prognosis dari rinitis alergi baik dan dapat diobati. Namun, pada
kasus yang lebih parah dapat memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak)
semakin dewasa akan semakin kurang sensitif terhadap alergen. Dan jika suatu zat menjadi
penyebab alergi bagi seseorang individu, maka zat tersebut dapat terus mempengaruhi orang
tersebut dalam jangka panjang. 26
Pada anak-anak, gejalapada hidung mengganggu kegiatan merekadi sekolah dan
menyebabkan merekamalu karena diejek teman-temansekolahnya. Prestasi di sekolah dapat
menurun karena berkurangnyaperhatian saat jam pelajaran, kelelahan, efek samping
pengobatan, dan sering tidak masuk sekolah. Penelitian pada remaja yang dilakukan di Brazil
menunjukkanbahwa gejala fisik (paling sering pada hidung) lebih sering dikeluhkandaripada
gejala emosional. Faktor-faktor ketidaknyamanan lain yang jugasering disebutkan antara lain
kelelahan, haus, rasa cemas, penggunaanobat, dan perasaan malu saat gejala muncul. 27
Pada 9 dari11 penelitian yang dilakukan oleh para ahli pada tahun 1991-2009,
didapatkan data bahwa rhinitisalergi berkolerasi dengan gangguan ansietas. Berdasarakan
data pada10 dari 12 penelitian yang dilakukan para ahlipada tahun 1993-2008, penderita
rinitis alergi kelompok usia remajamemiliki kecenderungan lebih besar untuk
mengalamidepresi.28

23
BAB 3
KESIMPULAN

Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal dan hidung tersumbatsetelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai
oleh IgE. Alergen dapat berupa alergen inhalan misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan
epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur, alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna,
berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-
kacangan, alergen injektan yang masuk melalui suntikan atau tusukan misalnya penisilin dan
sengatan lebah dan alergen kontaktan yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dijumpai keluhan dan gejala berupa bersin,
keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai keluar air mata (lakrimasi). Pada anamnesis perlu ditanyakan riwayat
keluarga, riwayat tempat tinggal dan lingkungan pekerjaan. Pada pemeriksaan fisik, pada
rinoskopi anterior dijumpai mukosa edema basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya
sekret encer dan banyak.
Penatalaksaaan rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen,
medikamentosa, operatif, imunoterapi dan edukasi pada pasien. Dan komplikasi yang sering
adalah sinusitis berulang, polip hidung, otitis media, gangguan fungsi tuba dan asma bronkial.
Serta untuk prognosis umumnya baik pada pasien.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, R.S., 2006. Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Brożek JL, Bousquet J, Baena-Cagnani CE, Bonini S, Canonica GW, Casale TB.
Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) Guidelines 2010 Revision. J
Allergy Clin Immunol. 2010 Sept;126(3):466-76.
3. Mangunkusumo, E & Soetjipto, D., 2007. Sinusitis. Dalam: Soepardi, E.A.; Iskandar,
N.; Bashiruddin, J.; Restuti,R.D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, Edisi 6.
Jakarta: Balai penerbit FK UI. Hal, 150-154.
4. Wong GW, Ting FL, Ko FW. Changing Prevalence of Allergic Disease in The Asia-
Pacific Region. Allergy Asthma and Immunology Research. 2015 Sept;5(5):251-7.
5. Soetjipto, D & Wardani, R.S., 2007. Hidung. Dalam: Soepardi, E.A.; Iskandar,
Nurbaiti.; Bashiruddin, Jenny.; Restuti,R.D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL,
Edisi 6. Jakarta: Balai penerbit FK UI. Hal, 119-122.
6. Sherwood, L., 1996. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
7. Netter, F.H., 2011. Atlas of Human Anatomy, Edisi 5. Philadephia: Saunders Elsevier.
8. Seidman MD, Gurgel RK, Lin SY, Schwartz SR, Baroody FM, Bonner JR, et al.
Clinical Practice Guideline: Allergic Rhinitis. J Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. 2015;152(IS):S1-S43.
9. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens W, Togias A. ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) 2008 Update In Collaboration with the World
Health Organizatio, GA2LEN, and AllerGen. Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma; 2008.
10. Wang DY. Risk Factors of Allergic Rhinitis. J Therapeutics and Clinical Risk
Management. 2005;1(2):115-23.
11. Wallace DV, Dykewicz MS. The Diagnosis and Management of Rhinitis: An Updated
Parameter. J Allergy Clin Immunol. 2008 August;122(2):S1-S84.
12. Okubo K, Kurono Y, Fujieda S, Ogino S, Uchio E, Odajima H, et al. Japanese
Guideline for Allergic Rhinitis 2014. Allergology International. 2014;63(3):357-75.
13. Sin B, Togias A. Pathophysiology of Allergic and Nonallergic Rhinitis. Proceedings
of American Thoracic Society. 2011;8:106-14.
14. Wheatley LM, Togias A. Allergic Rhinitis. N Eng J Med. 2015 Jan;372(5):456-63.

25
15. Iskandar, N., Soepardi, E., &Bashiruddin, J., etal (ed). 2012. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-7. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
16. Okubo, K. etal., 2011, JapaneseGuidelineforAllergicRhinitis,
AllergologyInternational, 60 (2): 171-189.
17. Bousquet,Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001
18. Lumbanraja, P.L.H., 2007, Distribusi Alergen pada Penderita Rinitis Alergi di
Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H.Adam Malik Medan, USU Repository.
19. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N, 2008. Alergi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI,.\
20. Rusmono N, 1993. Epidemiologi dan Insidensi Penyakit Alergi di Bidang Telinga,
Hidung dan Tenggorakan, Dalam: Kumpulan Makalah Kursus Penyegaran Alergi
Imunologi di Bidang THT, PIT PERHATI, Bukit Tinggi, pp.1-5.
21. Dhingra PL, 2010. Anatomy of Ear, in Disease of Ear, Nose, and Throat.5rd ed.
Elsevier. New Delhi. p : 3-22.
22. Fadhila, H., Aryani, A.,, 2011. Rinitis Alergi. FK USU. Medan. p : 1-18.
23. Greiner, N.A., Hellings, P.W., Ratiroti, G., and Scadding, G.K. 2011. Allergic
Rhinitis. Lancet 2011;378:2112-22. Available
from:http://search.proquest.com/docview/913119285/fulltextPDF?accountid=50257
[Accessed 24 February 2019]
24. Guideline Penyakit THT di Indonesia. Dalam: Soetjipto D, Wardhani RS, penyunting.
Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia (PERHATI-KL). 2007;59
25. Min YG,. The pathophysiology, diagnosis and treatment of allergic rhinitis. Allergy
Asthma Immunol Res. 2010;2:65-76
26. National Library of Medicine Allergic Rhinitis. Diunduh dari :
http://www.nih.gov/medlineplus/ency/article/000813.htm [Diakses 24 February 2019]
27. da Silva, C.H.M, da Silva, T.E., Morates, N.M.O., Fernandes, K.P., and Pinto, R.M.C.
2009. Quality of Life in Children and Adolescents with Allergic Rhinitis. Braz. J.
Otholaryngol. 2009;75(5):642-9. Available from:
www.scielo.br./pdf/bjorl/v75n5/v75n5a05.pdf. [Accessed 24February 2019]
28. Sansone, R.A. and Sansone, L.A. 2011. Allergic Rhinitis: Relationships with Anxiety
and Mood Syndromes. Innov Clin Neurosci. 2011;8(7):12–17.

26

Anda mungkin juga menyukai