SUPERVISOR:
PENYUSUN:
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan
hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat saya selesaikan tepat pada waktunya.
Pada makalah ini, saya menyajikan kasus mengenai Rhinitis Alergika . Adapun tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik Departemen Ilmu
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher , Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik
Medan.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan pula terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Prof. Dr. dr . Tengku Siti Hajar Haryuna ,Sp. T.H.T.K.L (K), atas kesediaan
beliau sebagai supervisor saya dalam penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan dalam
penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga laporan kasus ini bermanfaat. Akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
i
LEMBAR PENGESAHAN
Nilai :
Penguji
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan tulisan ini adalah untuk lebih mengerti dan memahami
mengenai Rhinitis Alergika. Tulisan ini juga dibuat untuk memenuhi persyaratan dalam
1
mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departement Ilmu Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala dan Leher
1.2.Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan pembaca
khususnya yang terlibat dalam bidang medis agar dapat lebih mengetahui dan memahami
mengenai Rhinitis Alergika.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Gambar 2.1 Anatomi Hidung Dalam
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi
mempunyai 4 buah dinding medial, lateral, inferior dan superior.5
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah 1)lamina perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis
os maksila dan 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian
tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa
hidung.5
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, yang lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid.5
4
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada
meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.5
5
posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri
Fasialis.5
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina, etmoid, labialis superior, dan palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach
(Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung) terutama pada anak.5
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup sehingga
merupakan predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.5
• Cukup mudah untuk larut-air, sehingga dapat larut kedalam lapisan mukus yang
melapisi mukosa olfaktorius.
Pengikatan suatu molekul odoriferous ke tepat perlekatannya disilia akan
menyebabkan pembukaan saluran-saluran Na+ dan K+. Terjadi perpindahan ion-ion yang
menimbulkan depolarisasi potensial reseptor yang menyebabkan terbentuknya potensial aksi
di serat aferen. Serat-serat aferen berjalan melalui lubang-lubang halus di lempeng tulang
datar yang memisahkan mukosa olfaktorius dari jaringan otak diatasnya. Serat-serat tersebut
segera bersinaps di bulbus olfaktorius, suatu struktur saraf kompleks yang mengandung
beberapa lapisan sel yang berbeda-beda. Serat yang keluar dari bulbus olfaktorius berjalan
melalui dua rute:6
6
• Rute subkortikal yang terutama menuju ke daerah-daerah di sistem limbik,
khususnya sisi medial bawah lobus temporalis (yang dianggap sebagai korteks
olfaktorius primer)
Fungsi Hidung5
• Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik
lokal.
• Fungsi penciuman karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk
menampung stimulus penghidung\fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara,
membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi
tulang.
• Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas.
• Refleks nasal.
7
Dikutip dari: Atlas of Human Anatomi7
Gambar 2.2 Anatomi Sinus Paranasal
2.2. Rinitis Alergi
2.2.1. Definisi Rinitis Alergi
Rinitis Alergi (RA) adalah suatu penyakit respon inflamasi yang diperantarai oleh IgE
pada membran mukosa hidung setelah terpajan oleh alergen inhalan. Gejalanya meliputi
rinore (anterior atau posterior), hidung tersumbat, hidung gatal, dan bersin.8
8
Tabel 2.1 Klasifikasi Rinitis Alergi9
Klasifikasi Gejala
Intermittent Gejala berlangsung kurang dari 4
hari/minggu atau kurang dari 4
minggu
Persistent Gejala berlangsung lebih dari 4
hari/minggu dan lebih dari 4
minggu
Mild Tidak ditemukan gangguan tidur,
aktivitas harian, olahraga,
bersantai, aktivitas sekolah dan
bekerja
Moderate – Severe Ditemukan adanya gangguan
tidur, gangguan terhadap aktivitas
harian, olahraga, bersantai,
aktivitas sekolah dan bekerja
9
global, prevalensi penyakit alergi,asma, dan rhinoconjunctivitis lebih tinggi daripada negara
berkembang, sepertiKorea, Jepang, Hongkong dan Singapura.Prevalensi terendah dari gejala
asmadilaporkan pada Negara yang kurang berkembang, seperti Indonesia, beberapadaerah di
Negara Malaysia, dan sebagian besar daerah Negara China.4
Gejala dari rinitis alergi berkembang sebelum usia 20 tahun pada 80% kasus. Pada
anak yang memiliki riwayat rinitis alergi pada kedua orang tuanya, akan mendapatkan rinitis
alergi pada usia yang lebih muda dibanding dengan anak yang memiliki riwayat rinitis alergi
pada salah satu orang tuanya. Rinitis alergi berkembang pada 1 dari 5 orang anak pada usia 2-
3 tahun dan kurang lebih 40% pada usia 6 tahun. Sekitar 30% berkembang pada usia remaja.
Pada anak-anak rinitis alergi lebih dominan terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan.
Tetapi pada orang dewasa prevalensinya lebih sering terjadi pada perempuan.Beberapa faktor
resiko lainnya yang berpengaruh adalah :
• Riwayat atopi dari keluarga. Ada peranan genetik yang turut menentukan kondisi
ini. Beberapa penelitian menemukan adanya bentuk polimorfisme pada beberapa
kromosom (1,2,3,5,6,7,9,11,12,13,14,16,17,19,dll) dan juga dijumpai adanya
perbedaan distribusi allel yang berkaitan alergi (IL-4 dan gen IL-4R) pada beberapa
ras.10
• Serum IgE > 100 IU/ml pada anak sebelum usia 6 tahun.
• Hasil positif pada uji cukit kulit / Skin Prick Test (SPT).11
• Terpapar alergen. Alergen inhalan merupakan faktor utama. Alergen inhalan yang
paling sering terlibat adalah debu, tungau rumah (Dermatophagoides pteronyssinus &
Euroglypus maynei), polen, jamur, bulu binatang, polusi (NO, Sulfur dioksida, CO,
ozon) . Makanan jarang menyebabkan terjadinya rinitis alergi.9
10
Gambar 2.3. Mekanisme Rinitis Alergi12
Reaksi alergi tipe I diawali dengan adanya sensitisasi. Pada fase ini, setiap alergen
/antigen yang masuk ke mukosa akan diangkut oleh antigen presenting cell (APC) melalui
MHC Class II ke sel CD+4 T limfosit (T cell). T cell akan berdiferensiasi menjadi sel Th1
dan Th2. Selanjutnya sel Th2 akan melepaskan berbagai sitokin seperti IL-4 dan IL-13.
Sitokin tersebut akan berikatan dengan reseptor di permukaan sel B dan mengaktifkan sel B
untuk memproduksi IgE spesifik antigen yang akan berikatan pada permukaan sel mast dan
basofil pada reseptor Fc.13
Jika suatu saat alergen yang sama terpapar kembali pada mukosa hidung yang telah
tersensitisasi, maka alergen tersebut akan berikatan dengan kompleks IgE dan akan
menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast dan basofil yang akan mengeluarkan mediator
– mediator neuroaktif dan vasoaktif seperti histamin, leukotrien, prostaglandin, heparin,
kinin, dan protease.13 Mediator seperti histamin akan langsung mempengaruhi pembuluh
darah (meningkatkan permeabilitas vaskular dan kebocoran plasma) dan ujung saraf sensoris,
sedangkan leukotrien menyebabkan vasodilatasi. Aktivasi dari saraf sensoris akan
menimbulkan rasa gatal dan berbagai refleks sentral. Hal tersebut meliputi refleks bersin dan
refleks parasimpatis yang menstimulasi sekresi banyak mukus di hidung dan kejadian
vasodilatasi. Hiperresponsif saraf sensoris merupakan gejala yang paling menonjol pada
rinitis alergi.14
11
Pada reaksi fase lambat, mediator inflamasi yang paling berperan adalah eosinofil.
Aktivasi dari eosinofil ini akan mengeluarkan beberapa produk granul yang toksik seperti
major basic protein (MBP), eosinophil cationic protein (ECP), dan eosinophil peroxidase
(EPO) yang dapat merusak sel – sel epitel dari rongga hidung.13
b) Watery Rhinorrhea
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi).15 Iritasi saraf sensorik pada mukosa hidung menyebabkan eksitasi saraf
parasimpatis, dan menyebabkan refleks bersin. Hal ini memicupelepasan asetilkolin oleh
saraf parasimpatis. Histamin bertindak langsungpada pembuluh darah mukosa hidung dan
menyebabkan kebocoranplasma.16
12
d) Gejala lain17
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring.
1. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada
tengahpunggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas
menirukanpemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang
dapat
muncul kebiruan.
2. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam
dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi
membrantimpaniatau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii.
3. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan
limfoid.
4. Tandalaringeal termasuk suara serak dan edema pita suara
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman,
mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga
mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.18
13
alergiselain yang menyerang hidung, seperti asma, eczema, urtikaria, atau sensitivitas obat.
Keadaan lingkungan kerja dan dan tempat tinggal juga perlu ditanya untuk mengaitkan
dengan awitan gejala. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2
atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal,
ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka
dinyatakan positif.20
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan THT dapat dilakukan dengan menggunakan rinoskopi, sekaligus juga
menyingkirkan kelainan seperti infeksi, polip hidung, atau tumor. Pada rinoskopi anterior
tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai aanya sekret encer yang
banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi
dapat dilakukan bila fasilitas tersedia.
Gejala spesifik lain pada anak pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan
dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder
akibat obstruksi hidung . Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis
melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang
sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Mulut sering terbuka dengan
lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-
geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone
appearance) serta dinding faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic
tongue).1
Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat
gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit
yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media. 19
14
Gambar 2.4 Gejala spesifik pada pemeriksaan fisik rinitis alergi
3. Pemeriksaan Penunjang
1. In vitro
Pada hitung darah lengkap, eosinofilia perifer bisa ditemukan tetapi temuan ini tidak
konsisten, dapat normal ataupun meningkat. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah
banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya
infeksi bakteri.15
Pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan
ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu
keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah
15
Radioallergosorbent test (RAST) merupakan suatu uji in vitro dan mengukur
konsentrasi antibodi IgE spesifik pada serum pasien, atau ELISA (Enzyme Linked
Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan ini dapat dilakukan tetapi hasilnya kurang
spesifik bila dibandingkan dengan uji alergi pada kulit. 15
Uji provokasi hidung merupakan metode untuk merangsang mukosa hidung dengan
cara meletakkan sedikit alergen pada ujung tusuk gigi dan meminta pasien untuk
menghirup. Hal ini juga digunakan untuk mengobservasi apakah gejala alergi
muncul.21
Nasal smear menunjukkan jumlah eosinofil yang tinggi pada rinitis alergi.
Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan saat rinitis alergi aktif secara klinis atau setelah
uji provokasi hidung.16
Uji alergi pada kulit membantu identifikasi alergen spesifik. 16
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan
untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta
dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. 15
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT) namun gold standart diagnosis
ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara
tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 2 minggu. Karena itu pada Challenge Test, makanan
yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati
reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan
sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan. 15
16
Tabel 2.2 Perbandingan Rinitis Alergi dan Rinitis Vasomotor
Sedangkan rinitis virus penyebabnya beberapa jenis virus dan yang paling penting
adalah Rhinovirus. Penyakit ini sangat menular dan gejala apat timbul sebagai akibat tidak
adanya kekebalan atau menurunnya daya tahan tubuh.
17
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap obat yag diresepkan. 23
2. Terapi Farmakologi
a.Topikal
1. Kortikosteroid Semprot atau tetes: fluticasone, mometasone,
ciclesonide,triamcinolone,flunisolide, beclametason, dan
betamethasone.Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan
hidung akibatrespon fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering
dipakai adalah kortikosteroid tropikal.
Keuntungan: terapi anti inflamasi paling poten, sangat mengurangi gejala
padahidung, memiliki efek pada gejala konjungtiva, memperbaiki
HRQL,bioavailibilitas rendah. Kerugian: membutuhkan beberapa hari
untukmengurangi gejala dan memiliki efek samping epistaxis
18
5. Dekongestan: Ephedrine, pseudoephedrine, xylometazoline
Keuntungan: agen vasokonstriktif yang poten hanya padahidung
tersumbat,onsetcepat(10 menit). Kerugian: sering digunakan pasien secara
berlebihan, efeksamping iritasi hidung dan gejalarhinorrheamemburuk
(reboundphenomenon)
b. Sistemik
1. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara
inhibitorkomppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparatfarmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama
pengobatanrinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa
kombinasi dengandekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2
golongan yaitugolongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non
sedatif). 15
Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus
sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai
efek kolinergik. Generasi pertama – tidak dianjurkan karena efek samping
sedasi dan retardasi psikomotor. Preparat simpatomimetik golongan agonis
adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi
dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya
boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa.15
Generasi kedua: levocetirizine dan cetirizine, desloratadinedan
loratadine, fexofenadine, acrivastine, rupatadine, carebastine danebastine.
Keuntungan: efektif mengurangi gejala seperti hidung gatal,bersin,dan
rhionrrhea, mengurangi gejala konjungtiva, onset cepat(1 jam), daninteraksi
obat sedikit. Kerugian: efek pada hidung tersumbat kurang baik.15
19
3. Antileukotrien
Antagonis respetor rleukotrien: montelukast dan zafirlukast. Inhibitor sintesis
leukotrien: zileuton. Hanya montelukast yang boleh digunakan sebagai terapi
rinitis alergi. Keuntungan: efektif untuk hidung tersumbat, rhinorrhea, dan
gejala konjungtiva, efektif untuk gejala bronkial pada beberap apasien,
umumnya ditoleransi dengan baik. Efek samping: sakit kepala, gejala pada
sistem pencernaan,ruam, dan sindrom Churg-Strauss.23
4. Dekongestan: Pseudoephedrine.
Keuntungan: mengurangi gejala hidung tersumbat. Efek samping: hipertensi,
insomnia, agitasi, dan takikardi.23
3. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 %
atau troklor asetat.15
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergiinhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama, serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan
penurunan igE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan
sublingual.15
20
Gambar 2.5. Guideline Diagnosis dan Pengobatan Rinitis Alergi 24
21
Gambar 2.6. Algoritma penatalaksanaan rinitis alergi berdasarkan ARIA-WHO25
2.2.10. Komplikasi
1.Sinusitis berulang
Gajala klinis saat rinitis alergimengalami eksaserbasi dapatmenyebabkan
obstruksipada sinusparanasal dan menyebabkan sinusitisberulang.Sinusitis paranasal
merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus paranasal. Terjadi akibat edema ostia sinus
oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi
penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan
pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier
epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel
eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah. 23
2. Polip hidung
Iritasi yang terjadi padamukosa hidung secara berulang pada rhinitisalergi
dapatmemicu pertumbuhan polip pada hidung. Polip hidung yang memiliki tanda
patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa
22
banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan
metaplasia skuamosa.15
4. Masalah orthodontic
Gejala hidung tersumbat pada rinitis alergi meyebabkanpasienbernapas melalui mulut.
Kondisiini, terutama pada anak-anak dapatmenyebabkan masalah orthodontic.23
5. Asma bronkial
Pasien dengan rinitis alergi menunjukkan kelainan pada salurannapas bagian bawah
termasuk perubahan secara fisiologi, histologi, dan biokimia. Survei epidemiologi
menunjukkan bahwarinitis alergimerupakan faktor independen untuk terjadinya asma
bronkial.23
2.2.11. Prognosis
Pada umumnya prognosis dari rinitis alergi baik dan dapat diobati. Namun, pada
kasus yang lebih parah dapat memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak)
semakin dewasa akan semakin kurang sensitif terhadap alergen. Dan jika suatu zat menjadi
penyebab alergi bagi seseorang individu, maka zat tersebut dapat terus mempengaruhi orang
tersebut dalam jangka panjang. 26
Pada anak-anak, gejalapada hidung mengganggu kegiatan merekadi sekolah dan
menyebabkan merekamalu karena diejek teman-temansekolahnya. Prestasi di sekolah dapat
menurun karena berkurangnyaperhatian saat jam pelajaran, kelelahan, efek samping
pengobatan, dan sering tidak masuk sekolah. Penelitian pada remaja yang dilakukan di Brazil
menunjukkanbahwa gejala fisik (paling sering pada hidung) lebih sering dikeluhkandaripada
gejala emosional. Faktor-faktor ketidaknyamanan lain yang jugasering disebutkan antara lain
kelelahan, haus, rasa cemas, penggunaanobat, dan perasaan malu saat gejala muncul. 27
Pada 9 dari11 penelitian yang dilakukan oleh para ahli pada tahun 1991-2009,
didapatkan data bahwa rhinitisalergi berkolerasi dengan gangguan ansietas. Berdasarakan
data pada10 dari 12 penelitian yang dilakukan para ahlipada tahun 1993-2008, penderita
rinitis alergi kelompok usia remajamemiliki kecenderungan lebih besar untuk
mengalamidepresi.28
23
BAB 3
KESIMPULAN
Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal dan hidung tersumbatsetelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai
oleh IgE. Alergen dapat berupa alergen inhalan misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan
epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur, alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna,
berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-
kacangan, alergen injektan yang masuk melalui suntikan atau tusukan misalnya penisilin dan
sengatan lebah dan alergen kontaktan yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dijumpai keluhan dan gejala berupa bersin,
keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai keluar air mata (lakrimasi). Pada anamnesis perlu ditanyakan riwayat
keluarga, riwayat tempat tinggal dan lingkungan pekerjaan. Pada pemeriksaan fisik, pada
rinoskopi anterior dijumpai mukosa edema basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya
sekret encer dan banyak.
Penatalaksaaan rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen,
medikamentosa, operatif, imunoterapi dan edukasi pada pasien. Dan komplikasi yang sering
adalah sinusitis berulang, polip hidung, otitis media, gangguan fungsi tuba dan asma bronkial.
Serta untuk prognosis umumnya baik pada pasien.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Snell, R.S., 2006. Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Brożek JL, Bousquet J, Baena-Cagnani CE, Bonini S, Canonica GW, Casale TB.
Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) Guidelines 2010 Revision. J
Allergy Clin Immunol. 2010 Sept;126(3):466-76.
3. Mangunkusumo, E & Soetjipto, D., 2007. Sinusitis. Dalam: Soepardi, E.A.; Iskandar,
N.; Bashiruddin, J.; Restuti,R.D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, Edisi 6.
Jakarta: Balai penerbit FK UI. Hal, 150-154.
4. Wong GW, Ting FL, Ko FW. Changing Prevalence of Allergic Disease in The Asia-
Pacific Region. Allergy Asthma and Immunology Research. 2015 Sept;5(5):251-7.
5. Soetjipto, D & Wardani, R.S., 2007. Hidung. Dalam: Soepardi, E.A.; Iskandar,
Nurbaiti.; Bashiruddin, Jenny.; Restuti,R.D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL,
Edisi 6. Jakarta: Balai penerbit FK UI. Hal, 119-122.
6. Sherwood, L., 1996. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
7. Netter, F.H., 2011. Atlas of Human Anatomy, Edisi 5. Philadephia: Saunders Elsevier.
8. Seidman MD, Gurgel RK, Lin SY, Schwartz SR, Baroody FM, Bonner JR, et al.
Clinical Practice Guideline: Allergic Rhinitis. J Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. 2015;152(IS):S1-S43.
9. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens W, Togias A. ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) 2008 Update In Collaboration with the World
Health Organizatio, GA2LEN, and AllerGen. Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma; 2008.
10. Wang DY. Risk Factors of Allergic Rhinitis. J Therapeutics and Clinical Risk
Management. 2005;1(2):115-23.
11. Wallace DV, Dykewicz MS. The Diagnosis and Management of Rhinitis: An Updated
Parameter. J Allergy Clin Immunol. 2008 August;122(2):S1-S84.
12. Okubo K, Kurono Y, Fujieda S, Ogino S, Uchio E, Odajima H, et al. Japanese
Guideline for Allergic Rhinitis 2014. Allergology International. 2014;63(3):357-75.
13. Sin B, Togias A. Pathophysiology of Allergic and Nonallergic Rhinitis. Proceedings
of American Thoracic Society. 2011;8:106-14.
14. Wheatley LM, Togias A. Allergic Rhinitis. N Eng J Med. 2015 Jan;372(5):456-63.
25
15. Iskandar, N., Soepardi, E., &Bashiruddin, J., etal (ed). 2012. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-7. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
16. Okubo, K. etal., 2011, JapaneseGuidelineforAllergicRhinitis,
AllergologyInternational, 60 (2): 171-189.
17. Bousquet,Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001
18. Lumbanraja, P.L.H., 2007, Distribusi Alergen pada Penderita Rinitis Alergi di
Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H.Adam Malik Medan, USU Repository.
19. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N, 2008. Alergi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI,.\
20. Rusmono N, 1993. Epidemiologi dan Insidensi Penyakit Alergi di Bidang Telinga,
Hidung dan Tenggorakan, Dalam: Kumpulan Makalah Kursus Penyegaran Alergi
Imunologi di Bidang THT, PIT PERHATI, Bukit Tinggi, pp.1-5.
21. Dhingra PL, 2010. Anatomy of Ear, in Disease of Ear, Nose, and Throat.5rd ed.
Elsevier. New Delhi. p : 3-22.
22. Fadhila, H., Aryani, A.,, 2011. Rinitis Alergi. FK USU. Medan. p : 1-18.
23. Greiner, N.A., Hellings, P.W., Ratiroti, G., and Scadding, G.K. 2011. Allergic
Rhinitis. Lancet 2011;378:2112-22. Available
from:http://search.proquest.com/docview/913119285/fulltextPDF?accountid=50257
[Accessed 24 February 2019]
24. Guideline Penyakit THT di Indonesia. Dalam: Soetjipto D, Wardhani RS, penyunting.
Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia (PERHATI-KL). 2007;59
25. Min YG,. The pathophysiology, diagnosis and treatment of allergic rhinitis. Allergy
Asthma Immunol Res. 2010;2:65-76
26. National Library of Medicine Allergic Rhinitis. Diunduh dari :
http://www.nih.gov/medlineplus/ency/article/000813.htm [Diakses 24 February 2019]
27. da Silva, C.H.M, da Silva, T.E., Morates, N.M.O., Fernandes, K.P., and Pinto, R.M.C.
2009. Quality of Life in Children and Adolescents with Allergic Rhinitis. Braz. J.
Otholaryngol. 2009;75(5):642-9. Available from:
www.scielo.br./pdf/bjorl/v75n5/v75n5a05.pdf. [Accessed 24February 2019]
28. Sansone, R.A. and Sansone, L.A. 2011. Allergic Rhinitis: Relationships with Anxiety
and Mood Syndromes. Innov Clin Neurosci. 2011;8(7):12–17.
26