Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

POLYCYSTIC OVARIUM SYNDROME (PCOS)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) menjadi salah satu masalah
endokrinologi pada wanita masa reproduksi, berhubungan dengan kelainan
hormonal dan dapat mempengaruhi kesehatan wanita secara umum. Pada
kenyataannya, baik gejala klinik, pemeriksaan biokimiawi maupun pemeriksaan
penunjangnya dapat memberikan hasil yang bervariasi.1-4

Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) merupakan kelainan kompleks


endokrin dan metabolik yang ditandai adanya anovulasi kronik dan atau
hiperandrogenisme yang diakibatkan oleh kelainan dari fungsi ovarium dan bukan
oleh sebab lain.2,3

Pertama kali diperkenalkan Stein dan Leventhal (1935) dalam bentuk


penyakit ovarium polikistik (polycyctic ovary disease/Stein-Leventhal Syndrome),
dimana gambaran berupa polikistik ovarium bilateral dan terdapat gejala
ketidakteraturan menstruasi sampai amenorea, riwayat infertil, hirsutisme,
retardasi pertumbuhan payudara dan kegemukan. Sindroma ini dicirikan dengan

1
sekresi gonadotropin yang tidak sesuai, hiperandrogenemia, peningkatan konversi
perifer dari androgen menjadi estrogen, anovulasi kronik dan ovarium yang
skerokistik dengan demikian sindroma ini merupakan 1 dari penyebab paling
umum dari infertilitas.2

Alasan yang paling sering menjadi penyebab pasien dengan sindrom ini
datang ke dokter ialah adanya gangguan pada siklus menstruasi dan infertilitas,
masalah obesitas dan pertumbuhan rambut yang berlebihan serta kelainan lainnya
seperti hipertensi, kadar lemak darah dan gula darah yang meningkat.2,3,4

Saat ini sudah terbukti bahwa sindrom ovarium polikistik tidak hanya
menyebabkan kelainan pada bidang ginekologi saja tetapi juga berkaitan dengan
kelainan metabolisme lain, yaitu adanya resistensi insulin yang berimplikasi pada
kesehatan jangka panjang pasien. Wanita dengan kelainan ini mempunyai risiko
lebih besar untuk mendapat penyakit diabetes melitus, penyakit jantung koroner
dan karsinoma endometrium.1-4

Oleh karena SOPK sering menunjukkan beragam manifestasi klinis maka


pemahaman gejala klinis sangat penting sehingga diagnosis dapat ditegakkan
seakurat mungkin, dengan demikian penatalaksanaan yang diberikan dapat
serasional mungkin dan bermanfaat baik secara medika mentosa ataupun operatif.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui tentang sindroma
polikistik ovarium meliputi definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gejala
klinis, pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis, dan terapi.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi dan Fisiologi Ovarium

Gambar 1. Anatomi Genitalia Interna Wanita

Sebuah ovarium terletak di kedua sisi uterus, di bawah dan di belakang


tubafalopii. Dua ligamentum infundibulo pelvikum mengikat ovarium pada
tempatnya, pada bagian mesovarium ligamentum latum uterus, memisahkan
ovarium dari sisi dinding pelvis lateral kira-kira setinggi spina illiaka anterior
superior, dan ligamentum ovarii propium, yang mengikat ovarium ke uterus. Pada
palpasi, ovarium dapat digerakkan. Secara embriologi ovarium memiliki asal yang

3
sama (homolog) dengan testis pada pria. Bentuk ovarium ialah oval dengan
ukuran diameter 2-4 cm, yang terhubung dengan uterus melalui lipatan
peritoneum dari ligamentum latum dan ligamentum infundibulo pelvikum ke sisi
lateral dinding pelvis.

Saat ovulasi, ukuran ovarium dapat berubah menjadi dua kali lipat untuk
sementara. Ovarium yang berbentuk oval ini memiliki konsistensi yang padat dan
sedikit kenyal. Sebelum menarche, permukaan ovarium licin. Setelah maturasi
seksual (menarche), luka parut akibat ovulasi dan ruptur folikel yang berulang
membuat permukaan ovarium menjadi lebih kasar. Ovarium terdiri dari dua
bagian:

1. Korteks Ovarii
 Mengandung folikel primordial
 Berbagai fase pertumbuhan folikel menuju folikel degraf
 Terdapat korpus luteum dan albicantes
2. Medula Ovarii
 Terdapat pembuluh darah dan limfe
 Terdapat serat saraf

Ovarium terdiri dari 2 (dua) lapisan utama, yaitu : korteks bagian luar, dan
medulla di bagian pusat. Bagian hilum adalah awal hubungan ovarium ke
mesovarium yang mengandung saraf, pembuluh darah dan sel hilus. Oosit
terdapat di dalam folikel yang terletak di bagian dalam korteks, menempel pada
lapisan stromal. Bagian terluar korteks disebut tunica albuginea, bagian
permukaannya adalah lapisan tunggal kuboidial epitelium disebut juga sebagai
epitelium permukaan ovarium atau mesotelium ovarium. Dimana tipe epithelial
ovarian carcinoma terjadi paling banyak, yaitu sekitar 90 % dari seluruh kanker
ovarium pada wanita. Lapisan stromal tersusun dari jaringan penghubung dan sel
interstitial yang berasal dari sel mesenkim dan mempunyai kemampuan untuk
merespon LH atau hCG dengan produksi androgen. Ovarium memiliki potensi

4
untuk aktif dalam proses steroidogenesis atau untuk membentuk tumor. Sel-sel ini
mirip dengan sel leydig penghasil testosteron di testis.

Dua fungsi ovarium ialah menyelenggarakan ovulasi dan memproduksi


hormone steroid gonad. Saat lahir, ovarium wanita normal mengandung sangat
banyak folikel primordial. Di antara interval selama masa suburnya umumnya
setiap bulan, satu atau lebih folikel matur dan mengalami ovulasi. Ovarium juga
merupakan tempat utama produksi hormon seks steroid (estrogen, progesterone,
dan androgen) dalam jumlah banyak yang dibutuhkan untuk pertumbuhan,
perkembangan dan fungsi wanita normal. Oleh karena
itu ovarium tidak dapat hanya dipandang sebagai organ endokrin yang statis pada
ukuran serta fungsinya, namun dapat berkembang dan tergantung pada kekuatan
perangsangan hormon gonadotropin. Gonad wanita adalah jaringan heterogen
yang dapat berubah siklusnya.

II. Polycystic Ovarium Syndrome (PCOS)

A. Definisi
Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) merupakan serangkaian gejala yang
dihubungkan dengan hiperandrogenisme dan anovulasi kronik yang berhubungan
dengan kelainan endokrin dan metabolik pada wanita tanpa adanya penyakit
primer pada kelenjar hipofise atau adrenal yang mendasari.1,2,3

SOPK merupakan suatu sindroma yang memiliki kaitan erat dengan proses
inflamasi kronik, ditandai dengan adanya peningkatan C-reaktif protein (CRP),
TNF-α dan reseptor TNF tipe 2 serta interleukin 6 (IL-6). Pada umumnya
penderita SOPK memiliki timbunan lemak viseral yang banyak dan hal ini
berhubungan dengan mekanisme terjadinya resistensi insulin. Penumpukan lemak
viseral memberikan efek parakrin dan endokrin berupa peningkatan sekresi
beberapa marker inflamasi.5

Anovulasi kronik terjadi akibat kelainan sekresi gonadotropin sebagai


akibat dari kelainan sentral dimana terjadi peningkatan frekuensi dan amplitude

5
pulsasi GnRH dengan akibat terjadi peningkatan kadar LH serum dan peningkatan
rasio LH/ FSH serta androgen.2,3

Hiperandrogenisme secara klinis dapat ditandai dengan hirsutisme,


timbulnya jerawat (akne), alopesia akibat androgen dan naiknya konsentrasi
serum androgen khususnya testosteron dan androstenedion. Sedangkan kelainan
metabolik berhubungan dengan timbulnya keadaan hiperandrogenisme dan
anovulasi kronik.3

Alasan yang paling sering menjadi penyebab pasien dengan sindroma ini
datang ke dokter ialah adanya gangguan pada siklus menstruasi, infertilitas, dan
masalah obesitas serta kelainan lainnya seperti hirsutisme dan akne.5,6

B. Epidemiologi
Kejadian SOPK dengan gejala klinis beragam dan memberikan gambaran
angka yang bervariasi. Adam dkk melaporkan bahwa pada penderita ovarium
kistik yang di diagnosa secara sonografi didapati 30% menderita amenorrhea, 75
% dengan oligomenorrhea dan 90% didapati adanya peningkatan kosentrasi kadar
luteinizing horman (LH) dan androgen.2

Prevalensi SOPK masih terbatas, di USA prevalensinya berkisar 4-6%,


kepustakaan lain melaporkan prevalensinya berkisar 5-10%. Prevalensi SOPK
didapatkan dengan gejala klinis yang berbeda-beda. Dari 1079 kasus wanita
dengan SOPK (tinjauan literatur), Goldzieher mendapatkan 47% wanita dengan
gangguan menstruasi berupa amenorea dan sebanyak 16 % wanita siklus
menstruasinya teratur. Conway dkk mendapatkan 20-25% wanita dengan
gambaran ovarium polikistik (USG) mempunyai siklus menstruasi yang teratur.2

Prevalensi PCOS bervariasi tergantung pada kriteria yang digunakan untuk


mendiagnosa. Ketika kriteria National Institutes of Health (NIH) digunakan,
khususnya adanya oligomenore atau amenore dan hiperandrogenisme, kejadian ini
dilaporkan 7% menjadi 8,7% pada wanita usia reproduksi. Namun, prevalensi
lebih tinggi ketika salah satu kriteria Rotterdam atau The Androgen Excess
Society (AES) diterapkan. WHO tahun 2010 menunjukan 3 – 5 % penduduk dunia

6
menderita PCOS. Diderita pada wanita (5–10% dari wanita usia reproduksi yang
berumur 12 – 45tahun) dan diduga menjadi salah satu penyebab utama infertilitas
wanita.

Sekitar 18% wanita dari studi prevalensi berbasis komunitas memenuhi


kriteria diagnostik untuk PCOS, berdasarkan kriteria Rotterdam. Batas atas
penelitian ini prevalensi diperhitungkan menggunakan perkiraan dari ovarium
polikisik untuk wanita tanpa dokumentasi kista ovarium dengan USG. Namun,
batas atas dari prevalensi yang tidak diperhitungkan untuk memperkirakan
ovarium polikistik pada wanita didiagnosis dengan menggunakan kriteria AES.
Selain itu, perkiraan prevalensi bervariasi sesuai dengan berat badan wanita,
dengan PCOS mempengaruhi sekitar 28% dari wanita yang mengalami obesitas.
Akhirnya, perbedaan yang signifikan dalam prevalensi PCOS di kelompok etnis
yang berbeda belum dilaporkan.

C. Etiologi
Penyebab yang mendasari terjadinya PCOS belum diketahui. Akan tetapi
dasar genetik dicurigai menjadi penyebabnya, dimana sindrom ini banyak
ditemukan pada keluarga yang sama. Secara spesifik, peningkatan prevalensi
tercatat pada individu yang terkena dan saudaranya (32-66 %) dan ibunya (24-52
%). Faktor lain penyebabnya adalah faktor endokrine (kenaikan LH/FSH ratio,
hiperandrogenisme) dan faktor metabolik (resistensi insulin).4

D. Patofisiologi1,2,4

Patofisiologi dari SOPK sangat komplek, temuan utama adalah


peningkatan dari kadar LH serum dan FSH rendah atau normal. Selain itu
dijumpai pula peningkatan kadar androgen. Kelainan metabolik berupa
hiperinsulinemia dan resistensi insulin ikut berperan dalam timbulnya SOPK.

a) Kelainan neuroendokrin

LH yang meningkat pada pasien SOPK akan meningkatkan jumlah dan


frekuensi respon dari Gonadotropin-releasing hormone (Gn-RH) dari hipotalamus.

7
GnRH merupakan stimulan utama untuk menghasilkan sekresi gonadotropin dan
menstimulasi sel-sel teka interna folikel untuk memproduksi androstenedion, yang
dikonversi di perifer, utamanya di dalam jaringan lemak, menjadi estron (E1), dan
testoteron dalam jumlah yang lebih sedikit meningkat, berlawanan dengan pasien-
pasien dengan hipertekosis. Kadar estradiol (E2) tetap normal atau sedikit
dibawah normal, yang menyebabkan peningkatan rasio E1/E2. Peningkatan kadar
E1, dan pada beberapa pasien akan meningkatkan sekresi dari inhibin-F suatu
peptide nonsterois yang dihasilkan oleh sel-sel granulosa, akan menghambat
sekresi FSH. Peningkatan rasio LH/FSH merupakan temuan yang khas pada
ovarium polikistik. Peningkatan estrogen yang bersirkulasi tampaknya akan
meningkatkan sekresi dari Luteinizing hormone releasing factor (LHRF) dan
mempertinggi sensitifitas sel-sel hipofisis yang memproduksi LH terhadap LHRF.
Produksi estrogen ovarium pada pasien polikistik ovarium secara nyata berkurang
dari jaringan ovarium, mungkin karena inaktivasi dari sistem aromatese FSH
dependent pada sel-sel granulosa. Sintesis estrogen intrafolikel, dan peningkatan
rasio LH/FSH akan menyebabkan rendahnya pertumbuhan folikel pada stadium
midantral, terjadi anovulasi, dan ovarium yang sklerokistik. Sejumlah kelainan
akan menyebabkan hiperestronemia dan perubahan sekresi gonadotropin secara
potensial berperan dalam inisiasi atau terjadinya polikistik ovarium yang terus-
menerus.

b) Hiperandrogenisme

Salah satu studi menunjukkan bahwa wanita dengan SOPK terjadi


peningkatan aktivitas 11b-hidroksisteroid dehidrogenase, yang merupakan enzim
yang memetabolisme kortisol menjadi kortison. Hal ini mengakibatkan
peningkatan kadar clearence kortisol dan menurunkan feedback negatif dari
sekresi adrenocorticotropic hormone (ACTH) dan secara sekunder meningkatkan
sekresi androgen adrenal. Pada studi ini wanita yang obes menunjukkan
peningkatan aktivitas 11b-hidroksisteroid dehidrogenase, tetapi tidak sesuai
dengan derajat yang terlihat pada wanita dengan SOPK. Ini kemungkinan adanya

8
pengaruh hiperinsulinemia yang dapat meningkatkan aktivitas enzim ini yang
mengarahkan terjadinya hiperandrogen adrenal.

Peningkatan androgen adrenal dapat menyebabkan hiperestronemia karena


akan memanjangkan fase folikuler dan memendekkan fase luteal dan
konsekuensinya terjadi peningkatan rasio LH/FSH. Peristiwa ini yang
menerangkan kerapnya infertilitas dan ketidakteraturan haid pada wanita dengan
hiperandrogen. Terapi deksametason dapat mengoreksi rasio LH/FSH yang
abnormal pada beberapa pasien dengan polikistik ovarium, yang dapat
menyebabkan terjadinya ovulasi lagi. Walaupun beberapa penelitian percaya
bahwa pada pasien-pasien polikistik ovarium, abnormalitas adrenal adalah
gangguan yang primer, penelitian lain telah menyimpulkan bahwa itu adalah
sekunder dari kelainan hormonal.

Pada pihak lain, hiperandrogen endogen akan menebalkan tunika


albuginea ovarium. Juga ternyata bahwa pemberian androgen eksogen yang
berlebihan dapat menebalkan kapsul ovarium. Selanjutnya keadaan tersebut akan
mengganggu pelepasan folikel dan pecahannya bintik ovulasi. Ini merupakan
bentuk lain dari androgen dalam mengganggu mekanisme ovulasi. Secara klinis
dengan menekan kadar androgen yang tinggi akan menyebabkan folikel ovarium
menjadi lebih peka terhadap gonadotropin endogen dan eksogen.

c) Obesitas, hiperinsulinemia dan resistensi insulin

Obesitas berhubungan dengan masalah kesehatan pada umumnya dan


kelainan ginekologi secara khusus, meliputi siklus menstrusasi yang ireguler,
amenorea, dan perdarahan uterus disfungsional.

Penelitian menemukan bahwa pada wanita remaja yang gemuk


meningkatkan serum androgen dan kadar LH dan rasio E1 dan E2 yang terbalik.
Namun hal ini bersifat reversibel dengan menurunnya berat badan.

Hiperinsulinemia merupakan penyebab utama dari SOPK, meskipun


peningkatan produksi androgen sendiri dapat menyebabkan terjadinya SOPK.

9
Wanita dengan predisposisi resistensi insulin mengkombinasikan hubungan antara
obesitas yang menyebabkan resistensi insulin. Hiperinsulinemia dapat
meningkatkan androgen melalui setidaknya 3 mekanisme: (1) Stimulasi dari
hiperandrogenisme ovarium melalui peningkatan LH atau stimulasi aktivitas 17-
hidroksilase/17,20-lyase, (2) stimulasi hiperandrogenisme adrenal melalui
augmentasi aktivitas 11-hidroksisteroid dehidrogenase, atau (3) supresi kadar
SHBG. Jaringan adiposa mengandung aromatase yang merupakan enzim yang
mengkonversi androgen menjadi estrogen. Meningkatnya keadaan androgen dan
estrogen mengarah kepada terjadinya atresia folikuler, anovulasi, dan
meningkatnya sekresi LH, yang secara lebih lanjut meningkatkan produksi
androgen ovarium.

Kadar androgen meningkat pada wanita gemuk. Baik tingkat produksi


androgen maupun tingkat clearance-nya meningkat. Penurunan Sexhormone
binding globulin (SHBG) berhubungan dengan obesitas yang meningkatkan kadar
clearance androgen. Tingkat kelebihan berat badan berkorelasi dengan derajat
aromatisasi ekstraglanduler dari androgen menjadi estrogen. Meningkatnya kadar
androgen, tingginya rasio E2:E1, dan rendahnya kadar SHBG membuat keadaan
biokimiawi kepada keadaan SOPK. Lebih dari 50% pasien SOPK merupakan
pasien gemuk. Pada banyak wanita SOPK, pengurangan dari berat badan dapat
menurunkan kadar androgen, menghilangkan hirsutism, dan bahkan
mengembalikan ovulasi. Obesitas, ketika dikaitkan dengan SOPK, mempunyai
berhubungan dengan hiperinsulinemia, resistensi insulin, dan tes toleransi glukosa
yang abnormal. Resistesi insulin dan hiperinsulinemia ditentukan terjadi pada
wanita SOP, baik yang gemuk maupun tidak gemuk. Insulin menstimulasi sekresi
androgen dari stroma ovarium, hal ini disebabkan karena insulin merupakan
famili insulin lainnya dari insulin growth factor 1 (IGF-1). IGF-1 dapat
meningkatkan produksi sel teka ovarium menghasilkan androgen. Disebabkan
karena reseptor untuk insulin dan IGF-1 serupa, sehingga pada percobaan secara
in vitro insulin dapat meningkatkan produksi androgen pada sel teka dan stroma.
Hiperinsulinemia juga secara potensial menyebabkan peningkatan kadar androgen

10
yang bersirkulasi (dan dengan konversi di perifer, estron) pada pasien-pasien
SOPK. Hasil dari hiperandogenisme ini pada gilirannya akan meningkatkan
resistensi insulin.

Ketidaknormalan lipoprotein secara umum terdapat pada SOPK meliputi


meningkatnya kolesterol, trigliserida, dan low density lipoprotein (LDL), dan
rendahnya kadar high density lipoprotein dan apoporetin. Berdasarkan salah satu
penelitian, ciri yang paling penting dari peningkatan lipid ialah menurunnya kadar
HDL.

Penemuan lain yang muncul pada wanita dengan SOPK meliputi


gangguan fibronolisis yang ditunjukkan oleh meningkatnya kadar inhibitor
aktivator plasminogen, meningkatnya insidensi hipertensi terjadi pada 40%
perimenopaus, prevalensi yang besar dari aterosklerosis dan penyakit
kardiovaskuler, dan resiko infark myokard.

E. Gambaran Klinis1-4
a) Gangguan menstruasi dan infertilitas

Penderita SOPK sering datang dengan keluhan gangguan menstruasi dapat


berupa oligomenorea, amenorea dan infertilitas. Hal ini disebabkan oleh adanya
anovulasi kronik dan hiperandrogenemia.

b) Hirsutisme

Keadaan dengan pertumbuhan rambut yang berlebihan pada kulit ditempat yang
biasa, seperti kepala dan ekstremitas. Keadaan ini terjadi akibat pembentukkan
androgen yang berlebihan akibat kerusakan enzim 3 betahidroksisteroid
dehidrogenase.

c) Obesitas

Wanita dengan berat badan berlebihan, 4-5 kali lebih sering terjadi
gangguan fungsi ovarium. Wanita yang gemuk menunjukkan aktivitas kelenjar
suprarenal yang berlebihan, peningkatan produksi testosteron, androstenedion

11
serta peningkatan rasio estron/estradion 2,5. Selain itu dikemukakan pula
penurunan kadar SHBG serum. Androgen merupakan hormon yang diperlukan
oleh tubuh untuk menghasilkan estrogen. Enzim yang diperlukan untuk mengubah
androgen menjadi estrogen adalah aromatase. Jaringan yang dimiliki kemampuan
untuk mengaromatisasi androgen menjadi estrogen adalah sel-sel granulosa dan
jaringan lemak. Perubahan androstenedion menjadi E1 terjadi terutama di jaringan
lemak, dan tingkat perubahan ini berhubungan dengan jumlah jaringan lemak.
Pengurangan berat badan pada wanita gemuk berhubungan dengan pengurangan
kadar androgen dan estrogen terutama estron serum. Hiperestronemia dan
hiperinsulinemia adalah 2 hal yang berhubungan dengan kegemukan yang
berperan dalam patogenesis ovarium polikistik.

d) Akne, seborrhoe, pembesaran klitoris, pengecilan payudara.

Keadaan ini terjadi akibat pembentukkan androgen yang berlebihan.

F. Gambaran Histopatologi
Gambaran Makroskopis

Kedua ovarium, kadang-kadang pada kasus yang jarang satu ovarium,


membesar 2 sampai 5 kali ukuran normal dan lebih besar dari uterus. Bentuknya
oval atau “egg-shaped” ; dimana pada penelitian baru-baru ini, volume ovarium
pada pasien ovarium polikistik 3 kali lebih besar dari volume ovarium kelompok
kontrol. Kadang-kadang, ovarium dapat ditemukan dalam ukuran normal. Kista
korteks superfisial biasanya dapat dilihat dibawah permukaan ovarium yang putih.
Pemeriksaan bagian permukaan ovarium ini menunjukkan suatu penebalan pada
tunai, berwarna putih seperti mutiara, korteks superfisial, dan beberapa kista,
dengan diameter kurang dari 1 cm. Biasanya ada suatu zona sentral stroma dengan
beberapa atau kadang tidak ada sama sekali stigmata ovulasi (misalnya korpora
lutea atau albikans).1,2

Gambaran mikroskopis

12
Korteks superfisial mengalami fibrosis dan hiposeluler, menyerupai suatu
kapsul, dan mengandung pembuluh darah berdinding tebal yang menonjol.
Penjualan dari stroma fibrotik yang meluas dari korteks superfisial ke korteks
yang lebih dalam atau bahkan kemedula. Kista ini merupakan folikel kistik yang
atretik yang mempunyai batas sebelah dalam dari beberapa lapisan sel-sel
granulosa nonluteinisasi yang mungkin mengalami eksfoliasi fokal. Suatu lapisan
yang lebih luar dari sel-sel teka interna kadang-kadang disebut sebagai
“hipertekosis folikuler” tetapi folikel-folikel kistik pada wanita dengan ovarium
polikistik berbeda dari yang ditemui pada wanita normal, dimana pada wanita
normal hanya ditemui peningkatan jumlah. Folikel-folikel matur yang mencapai
stadium midantral dan folikel-folikel atretik menunjukkan luteinisasi teka interna
mungkin jumlahnya 2 kali dari ovarium norma. Jumlah dan gambar-gambaran
folikel primordial adalah normal. Seperti telah dinyatakan, stigmata dari ovulasi
sebelumnya tidak ada, tetapi korpora lutea telah didiskripsikan sebanyak 30% dari
kasus-kasus khusus ovarium polikistik. Korteks yang lebih dalam dan stroma
medula mungkin mempunyai sampai 5 kali lipat pertambahan volume. Stroma
mungkin mengandung sel-sel stroma terluteinisasi dan fokal dari otot-otot polos.
Sarang-sarang dari sel-sel hilus ovarium (leydig) mungkin lebih banyak pada
pasien-pasien dengan ovarium polikistik daripada pada kelompok kontrol dengan
usia yang sama.1,2

G. Manifestasi Klinis
Kriteria diagnostik yang dipakai untuk PCOS termasuk kejadian
hiperandrogen, oligoovulasi atau anovulation, dan atau polikistik ovari. Ada juga
gejala dari segi dernatologis seperti hirsutisme, acne, androgeni alopersia
(kerontokan rambut). Yang lebih penting di asia dan remaja jarang terjadi
hirsutisme. Rata-rata 60% mengalami gejala unovulasi (amenore, infertil,
menorargi, oligomenore) dan 50- 60% gejala obesitas ada namun hanya 30% yang
mengalami kejadian ini. Salah satu indikasi hiperandrogen kemungkin pada pada
PCOS yaitu pubertas perokok.

13
Gejala dan keluhan PCOS disebabkan oleh adanya perubahan hormonal.
Satu hormon merupakan pemicu bagi hormon lainnya. Hal ini akan menimbulkan
lingkaran setan dari suatu gangguan keseimbangan hormonal dalam sistem
endokrin.

Gangguan tersebut antara lain adalah :

a. Hormon ovarium. Bila kadar hormon pemicu ovulasi tidak normal maka
ovarium tidak akan melepaskan sel telur setiap bulan. Pada beberapa
penderita, dalam ovarium terbentuk kista-kista kecil yang menghasilkan
androgen.
b. Kadar androgen yang tinggi. Kadar androgen yang tinggi pada wanita
menyebabkan timbulnya jerawat dan pola pertumbuhan rambut seperti
pria serta terhentinya ovulasi.
c. Kadar insulin dan gula darah yang meningkat. Sekitar 50% tubuh
penderita PCOS bermasalah dalam penggunaan insulin yaitu mengalami
resistensi insulin. Bila tubuh tidak dapat menggunakan insulin dengan
baik maka kadar gula darah akan meningkat. Bila keadaan ini tidak
segera diatasi, maka dapat terjadi diabetes kelak dikemudian hari.

Gejala PCOS cenderung terjadi secara bertahap. Awal perubahan hormon


yang menyebabkan PCOS terjadi pada masa remaja setelah menarche. Gejala
akan menjadi jelas setelah berat badan meningkat pesat. Gejala yang diperlihatkan
oleh penderita PCOS kadang-kadang tidak jelas.

Gejala PCOS awal:

1) Jarang atau tidak pernah mendapat haid. Setiap tahun rata-rata hanya
terjadikurang dari 9 siklus haid (siklus haid lebih dari 35 hari). Beberapa
penderita PCOS dapat mengalami haid setiap bulan namun tidak selalu
mengalami ovulasi.
2) Perdarahan haid tidak teratur atau berlebihan. Sekitar 30% penderita
PCOS memperlihatkan gejala ini.

14
3) Rambut kepala rontok dan rambut tubuh tumbuh secara berlebihan.
Kerontokan rambut dan pertumbuhan rambut berlebihan dimuka, dada,
perut (hirsuitisme) disebabkan oleh kadar androgen yang tinggi.
4) Pertumbuhan jerawat. Pertumbuhan jerawat disebabkan pula oleh kadar
androgen yang tinggi.
5) Depresi. Perubahan hormon dapat menyebabkan gangguan emosi.

Gejala PCOS lanjut

a. Berat badan meningkat atau obesitas terutama pada tubuh bagian atas
(sekitar abdomen dan pinggang). Gejala ini disebabkan oleh kenaikan
kadar hormon androgen.
b. Kerontokan rambut dengan pola pria atau penipisan rambut kepala
(alopesia). Gejala ini disebabkan oleh kenaikan kadar hormon androgen.
c. Abortus berulang. Penyebab hal ini tidak diketahui dengan jelas. Abortus
mungkin berkaitan dengan tingginya kadar insulin, ovulasi yang
terhambat atau masalah kualitas sel telur atau masalah implantasi pada
dinding uterus.
d. Sulit mendapatkan kehamilan (infertil) oleh karena tidak terjadi ovulasi.
e. Hiperinsulinemia dan resistensi insulin yang menyebabkan obesitas
tubuh bagian atas, perubahan kulit di bagian lengan, leher atau pelipatan
paha dan daerah genital.
f. Masalah gangguan pernafasan saat tidur (mendengkur). Keadaan ini
berhubungan dengan obesitas dan resistensi insulin.
g. Nyeri panggul kronis (nyeri perut bagian bawah dan panggul)
h. Tekanan darah tinggi seringkali ditemukan pada penderita PCOS.

H. Diagnosis
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

Untuk menegakkan diagnosa PCOS diperlukan sejumlah pemeriksaan


antaralain anamnesa yang cermat, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium serta pemeriksaan ultrasonografi.

15
Anamnesa:

a. Riwayat medis mengenai keluhan yang dirasakan penderita.


b. Pertanyaan mengenai perubahan berat badan, perubahan kulit, rambut dan
siklus haid.
c. Pertanyaan mengenai masalah kesuburan.
d. Pertanyaan mengenai riwayat keluarga yang menderita PCOS atau
diabetes.

16
Pemeriksaan fisik:

a. Pemeriksaan kesehatan secara umum termasuk tekanan darah, berat dan


tinggi badan (menentukan BMI-Body Mass Index).
b. Pemeriksaan tiroid, kulit, rambut, payudara.
c. Pemeriksaan bimanual untuk melihat kemungkinan adanya pembesaran
ovarium.

Pemeriksaan laboratorium :

a. β-hCG untuk menyingkirkan kemungkinan kehamilan.


b. Testosteron dan androgen. Kadar tinggi dari Androgen akan menghambat
terjadinya ovulasi dan menyebabkan jerawat, pertumbuhan rambut secara
berlebihan dan kerontokan rambut kepala.
c. Prolaktin yang mempengaruhi siklus haid dan fertilitas
d. Kolesterol dan trigliserida
e. Pemeriksaan untuk fungsi ginjal dan hepar dan pemeriksaan gula darah
f. Pemeriksaan TSH (Thyroid Stimulating Hormon) untuk menentukan
aktivitas tiroid
g. Pemeriksaan hormon adrenal, DHEA-S (Dehiydroepiandrosteron Sulfat)
atau 17-hydroxyprogesteron. Gangguan kelenjar adrenal dapat
menimbulkan gejala seperti PCOS.
h. Pemeriksaan OGTT- oral glucosa tolerance test dan kadar insulin untuk
menentukan adanya resistensi insulin.

Pemeriksaan ultrasonografi :

Pemeriksaan ulttrasonografi pelvis dapat menemukan adanya pembesaran


satuatau kedua ovarium. Namun yang perlu diingat bahwa pada PCOS tidak selalu
terjadi pembesaran ovarium sehingga diagnosa PCOS dapat diduga tanpa harus
melakukan pemeriksaan ultrasonografi terlebih dulu.

17
Diagnosis dapat ditegakkan dengan :

1. Data-data subjektif dan objektif :

Infertilitas, gangguan haid, perubahan suara kelaki-lakian, jerawat,


hirsutisme, hipertropi klitoris, hipertropi otot, obesitas (+/-), gambaran USG dan
gangguan hormonal.

2. Temuan penunjang :

Ultrasonografi: pemeriksaan USG transabdominal untuk pemeriksaan


ovarium polikistik mempunyai spesifitas yang tinggi, tetapi kurang sensitif
terutama pada wanita gemuk. Tetapi kelemahan ini dapat diatasi dengan cara USG
transvaginal.

Beberapa kriteria diagnositik ovarium polikistik dengan USG :

Tabel 2.1 : Perbandingan SOPK dari pemeriksaan USG

18
3. Pemeriksaan hormonal :

Pemeriksaan hormonal yang digunakan untuk mendiagnosis adanya


penyakit ovarium polikistik adalah kadar : progesterone, LH, testosteron,
androstenedion, nisbah LH/FSH, nisbah testosteron/SHBG, nisbah gula darah
puasa/insulin puasa.

Tabel 2.2 Pemeriksaan penunjang pada SOPK beserta tujuan pemeriksaannya

19
Tabel 2.3: Perbandingan akurasi diagnostik uji hormonal

4. Resistensi insulin

Ada beberapa cara pengukuran untuk menentukan adanya resistensi


insulin, antara lain :

a) Uji Toleransi Glukosa Oral


b) Uji toleransi insulin
c) Infus glukosa secara berkesinambungan
d) Tehnik klem euglikemik, ini merupakan baku emas untuk mengukur
sensitivitas jaringan terhadpa insulin.
e) Nisbah gula darah puasa / insulin puasa.

20
Tabel 2.4 : keuntungan dan kerugian uji RTI

Menurut kesepakatan National Institute of Health – National Institute of


Child Health and Human Development NIH-NICHD untuk mendiagnosa SOPK
ditetapkan

Kriteria mayor :7,8

o Anovulasi
o Hiperandrogenemia
o Tanda klinis hiperandrogenisme
o Penyebab lainnya dapat disingkirkan

Kriteria minor :

o Resistensi insulin
o Hirsutisme dan obesitas yang menetap
o Meningkatnya perbandingan rasio LH-FSH

21
o Anovulasi intermiten yang berhubungan dengan
hiperandrogenemia
o Bukti secara ultrasonografi terdapat ovarium polikistik

Terdapat dua kriteria mayor untuk mendiagnosis SOPK: anovulasi dan


adanya hiperandrogenisme yang ditetapkan secara klinis dan laboratorium.
Adannya dua kelainan ini cukup untuk mendiagnosis SOPK tanpa adanya
penyakit primer pada kelenjar hipofise atau adrenal yang mendasari seperti
neoplasma adrenal atau ovarium, sindrom Cushing, hypogonadotropic atau
gangguan hypergonadotropic, hyperprolactinemia, dan penyakit tiroid.
Dibutuhkan 1 kriteria mayor yaitu anovulasi dan 2 kriteria minor yaitu rasio
LH/FSH > 2,5 dan terbukti adanya ovarium polikistik secara USG. USG dan atau
laparoskopi merupakan alat utama untuk diagnosis. Dengan USG, hampir 95 %
diagnosis dapat dibuat. Terlihat gambaran seperti roda pedati, atau folikel-folikel
kecil berdiameter 7-10 mm. Baik dengan USG, maupun dengan laparoskopi, ke
dua, atau salah satu ovarium pasti membesar.8

Wanita SOPK menunjukkan kadar FSH, PRL, dan E normal, sedangkan


LH sedikit meninggi (nisbah LH/FSH>3). LH yang tinggi ini akan meningkatkan
sintesis T di ovarium, dan membuat stroma ovarium menebal (hipertikosis). Kadar
T yang tinggi membuat folikel atresi. LH menghambat enzim aromatase. Bila di
temukan hirsutismus, perlu diperiksa testosteron, dan umumnya kadar T tinggi.
Untuk mengetahui, apakah hirsutismus tersebut berasal dari ovarium, atau
kelenjar suprarenal, perlu di periksa DHEAS. Kadar T yang tinggi selalu berasal
dari ovarium (> 1,5 ng/ml), sedangkan kadar DHEAS yang tinggi selalu berasal
dari suprarenal (> 5-7ng/ml). Indikasi pemeriksaan T maupun DHEAS dapat di
lihat dari ringan beratnya pertumbuhan rambut. Bila pertumbuhan rambut yang
terlihat hanya sedikit saja (ringan), maka kemungkinan besar penyebab tingginya
androgen serum adalah akibat gangguan pada ovarium, berupa anovulasi kronik,
sedangkan bila terlihat pertumbuhan rambut yang mencolok, maka peningkatan
androgen kemugkinan besar berasal dari kelenjar suprarenal, berupa hiperplasia,
atau tumor.8

22
I. Diagnosis Banding
Sindrom Cushing

 Korteks adrenal  hormone glukokortikoid, mineralokortikoid, dan


steroid seks ( androgen dan precursor estrogen)

 ↑ Glukokortikoid + intorelansi glukosa  ↑ gluconeogenesis

 Over produksi precursor steroid seks  hiperandrogenisme (hirustisme,


acne, oligomenore, amenore, alopecia)

 Terdapat gejala tambahan : moon face, buffalo hump, hipertensi,


abdominak striae (kortisol berlebihan)

Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH)

 Diturunkan secara autosomal resesif dengan klinis hiperandrogenisme


pada saat pubertas
 Gangguan steroidogenesis adrenal
 Defisiensi 21-hydroxylase
 Tejadi penimbunan 17-hidroprogesteron serum (17-OHP) yang merupakan
pembakal androgen sehingg androstenedion & testosteron ↑
 Wanita dengan CAH dapat mengalami virilisasi & maskulinisasi pada usia
3-7 tahun
 39 % wanita CAH  gangguan mesntruasi, dengan hirsutisme tanpa
oligomenore

Androgen–producing Ovarian Neoplasms

 Berasal dari ovarium atau adrenal, misalnya pada tumor sel,


Postmenopause > premenopause
 Hirsutism berat, acne, suara berat, “male body habitus”, virilisasi dengan
klitoromegali
 Stadium awal mirip SOPK

23
 Menstruasi ireguler sampai amenorea
 Total abdominal hysterectomy (TAH) dan bilateral salpingo-oophorectomy
(BSO)

J. Penatalaksanaan
Sindroma ovarium polikistik adalah sekelompok masalah gangguan
kesehatan akibat gangguan keseimbangan hormonal. Seringkali SOPK
menyebabkan gangguan pada pola haid dan menimbulkan kesulitan untuk
mendapatkan kehamilan.9,13

Olahraga secara teratur, konsumsi makanan sehat, serta menghentikan


kebiasaan merokok dan mengendalikan berat badan merupakan kunci utama
pengobatan SOPK. Alternatif pengobatan lainnya adalah dengan menggunakan
obat untuk menyeimbangkan hormon.9,13

Tidak terdapat pengobatan definitif untuk SOPK, namun pengendalian


penyakit dapat menurunkan resiko infertilitas, abortus, diabetes, penyakit jantung
dan karsinoma uterus.9,13

1) Penatalaksanaan Awal
 Pengendalian dan penurunan berat badan

Dapat menurunkan resiko terjadinya diabetes, hipertensi dan


hiperkolesterolemia.9 Penurunan berat badan yang tidak terlalu drastis dapat
mengatasi kadar androgen dan kadar insulin serta infertiliti. Penurunan berat
badan sebesar 5 – 7% dalam waktu 6 bulan sudah dapat menurunkan kadar
androgen sedemikian rupa sehingga ovulasi dan fertilitas menjadi pulih pada 75%
kasus SOPK.10,13

o Penurunan berat badan. Memperoleh berat badan yang ideal akan


memperbaiki kesehatan penderita dan dapat mengatasi masalah
kesehatan jangka panjang. Meningkatkan aktivitas dan makan
makanan sehat merupakan kunci pengendalian berat badan.

24
o Olahraga. Penderita diharap untuk menjadikan olah raga teratur
sebagai bagian penting dalam kehidupannya. Berjalan kaki merupakan
aktivitas yang paling baik dan sederhana yang dapat dengan mudah
dikerjakan.
o Makanan sehat dan gizi seimbang yang terdiri dari kombinasi buah
dan sayuran, produk makanan kecil berkalori rendah yang dapat
memuaskan nafsu makan dan menngatasi kebiasaan makan kecil.
o Pertahankan berat badan yang sehat.
o Hentikan kebiasaan merokok
2) Terapi Medikamentosa

Pengobatan tergantung tujuan pasien. Beberapa pasien membutuhkan


terapi kontrasepsi hormonal, dimana yang lainnya membutuhkan induksi ovulasi.
Kebanyakan pasien dengan SOPK mencari pengobatan untuk hirsutisme dan
infertilitasnya. Hirsutisme dapat diobati dengan obat antiandrogen yang
menurunkan kadar androgen tubuh. Infertilitas pada SOPK sering berespon
terhadap klomifen sitrat.9,12

a) Kontrasepsi Oral

Kontrasepsi oral kombinasi menurunkan produksi adrenal dan androgen,


dan mengurangi pertumbuhan rambut dalam 2/3 pasien hirsutisme. Terapi dengan
kontrasepsi oral memiliki beberapa manfaat, antara lain :

o Komponen progestin menekan LH, mengakibatkan penurunan


produksi androgen ovarium
o Estrogen meningkatkan produksi hepatik SHBG, menghasilkan
penurunan testosteron bebas.
o Mengurangi kadar androgen sirkulasi.
o Estrogen mengurangi konversi testosteron menjadi
dehidrotestosteron pada kulit dengan menghambat 5α-reduktase. 9

25
Pasien dengan SOPK terjadi anovulasi yang kronis dimana
endometriumnya distimulasi hanya dengan estrogen. Hal ini menjadi
endometrium hiperplasia dan dapat terjadi endometrium carcinoma pada pasien
SOPK dengan anovulasi yang kronis. Banyak dari kasus seperti ini dapat
dikembalikan dengan menggunakan progesteron dosis tinggi, seperti megestrol
asetat 40-60 mg/hari untuk 3-4 bulan.12

Ketika kontrasepsi oral digunakan untuk mengobati hirsutisme,


keseimbangan harus dipertahankan antara penurunan kadar testosteron bebas dan
androgenisitas intrinsik dari progestin. Tiga progestin senyawa yang terdapat
dalam kontrasepsi oral (norgestrel, norethindrone, dan norethindrone asetat)
diyakini merupakan androgen dominan. Kontrasepsi oral yang berisi progestin
baru (desogestrel, gestodene, norgestimate, dan drospirenone) memiliki aktivitas
androgenik yang minimal. Terdapat bukti yang terbatas bahwa terdapat perbedaan
dalam hasil uji klinis yang ditentukan oleh perbedaan-perbedaan ini secara in vitro
dari potensi androgenik. 9

b) Medroksiprogesteron Asetat

Penggunaan medroksiprogesteron asetat secara oral atau intramuskuler


telah berhasil digunakan untuk pengobatan hirsutisme. Secara langsung
mempengaruhi axis hipofise-hypothalamus oleh menurunnya produksi GnRH dan
pelepasan gonadotropin, sehingga mengurangi produksi testosteron dan estrogen
oleh ovarium.

Meskipun penurunan SHBG, kadar androgen total dan bebas berkurang


secara signifikan. Dosis oral yang direkomendasikan adalah 20-40 mg per hari
dalam dosis terbagi atau 150 mg diberikan intramuscular setiap 6 minggu sampai
3 bulan dalam bentuk depot. Pertumbuhan rambut berkurang sebanyak 95%
pasien. Efek samping dari pengobatan termasuk amenorea, hilangnya kepadatan
mineral tulang, depresi, retensi cairan, sakit kepala, disfungsi hepatik, dan
penambahan berat badan. 9

c) Agonis Gonadotropin releasing Hormone (Gn-RH)

26
Penggunaan GnRH agonis memungkinkan diferensiasi androgen adrenal
yang dihasilkan oleh ovarium. Ini ditujukan untuk menekan kadar steroid ovarium
pada pasien SOPK. Pengobatan dengan leuprolid asetat yang diberikan
intramuskular setiap 28 hari mengurangi hirsutisme dan diameter rambut pada
hirsutisme idiopatik atau pada hirsutisme sekunder pada SOPK. Tingkat androgen
ovarium secara signifikan dan selektif ditekan. GnRH agonis dapat diberikan
dengan dosis tunggal, 3 mg pada hari ke 8 siklus haid, atau dengan dosis ganda
setiap hari 0,25 mg mulai hari ke 7 siklus haid. Penambahan kontrasepsi oral atau
terapi penggantian estrogen untuk pengobatan agonis GnRH dapat mencegah
keropos tulang dan efek samping lainnya dari menopause, seperti hot flushes dan
atrofi genital. Supresi hirsutisme tidak menambah potensi dengan terapi
penambahan estrogen untuk pengobatan agonis GnRH. 9

d) Ketokonazol

Ketokonazol, agen antijamur yang disetujui oleh US Food and Drug


Administration, menghambat kunci sitokrom steroidogenik. Diberikan pada dosis
rendah (200 mg / hari), dapat secara signifikan mengurangi tingkat
androstenedion, testosteron, dan testosteron bebas. 9

e) Flutamide

Flutamid merupakan antiandrogen nonsteroid yang dilaporkan tidak


mempunyai aktivitas progestasional, estrogenik, kortikoid, atau antigonadotropin.
Pada banyak studi, kadar perifer T dan T bebas tidak berubah, meskipun beberapa
dilaporkan modulasi produksi androgen. Flutamid mempunyai efikasi yang serupa
dengan spironolakton dan cyproteron. Obat ini telah digunakan untuk mengobati
kanker prostat pada laki-laki. Obat ini digunakan secara umum dalam dosis 125-
250 mg dua kali sehari. Efek samping yang umum ialah kulit kering dan
meningkatkan nafsu makan.

f) Cyproterone Acetate

27
Cyproterone asetat adalah progestin sintetis poten yang memiliki sifat
antiandrogen kuat. Mekanisme utama cyproterone asetat ialah menginhibisi secara
kompetitif testosteron dan DHT pada tingkat reseptor androgen. Agen ini juga
menginduksi enzim hepatik dan dapat meningkatkan laju metabolisme plasma
clearance androgen. Formulasi Eropa dengan cyproterone ethinyl estradiol plasma
acetate mengurangi kadar testosteron dan androstenedion secara signifikan,
menekan gonadotropin, dan meningkatkan tingkat SHBG. Cyproterone asetat juga
menunjukkan aktivitas glukokortikoid ringan dan dapat mengurangi tingkat
DHEAS. Diberikan dalam rejimen berurutan terbalik (cyproterone asetat 100 mg /
hari pada hari ke-5 - 15, dan ethinyl estradiol 30-50 mg / hari pada siklus hari ke-5
- 26), jadwal siklus ini membuat perdarahan menstruasi yang teratur, membuat
kontrasepsi yang sangat baik, dan efektif dalam pengobatan hirsutisme dan
bahkan jerawat yang parah.

Efek samping cyproterone asetat ialah kelelahan, meningkatnya berat


badan, penurunan libido, perdarahan tak teratur, mual, dan sakit kepala. Gejala ini
terjadi lebih jarang ketika ethinyl estradiol ditambahkan. 9

g) Spironolactone

Spironolacton merupakan diuretik hemat kalium yang menginhibisi


pertumbuhan rambut dengan menghambat aktivitas 5α-reduktase dan mengikat
secara kompetitif terhadap reseptor intraseluler dari DHT. Dosis pemberian
spironolakton adalah 2x50 mg/hari. Dosis yang lebih besar mengganggu aktivitas
sitokrom P-450, yang mengurangi jumlah total androgen sintesis dan sekresi. Efek
sampingspironolakton ialah menstruasi yang ireguler, mual dan lemah dengan
dosis yang lebih tinggi. Disebabkan spironolakton merupakan diuretik hemat
kalium, wanita dengan hiperkalemia harus diobservasi dengan hati-hati atau
sebaiknya diberikan alternatif obat lainnya.11

h) Insulin Sensitizers

Karena hiperinsulinemia memainkan peran dalam SOPK terkait anovulasi,


pengobatan dengan insulin sensitizers dapat menggeser keseimbangan endokrin

28
terhadap ovulasi dan kehamilan, baik penggunaan sendiri atau dalam kombinasi
dengan modalitas pengobatan lain.9

Metformin direkomendasikan didalam International Guidelines sebagai


terapi utama untuk diabetes mellitus tipe 2 karena mempunyai profil yang baik
dalam pengontrolan metabolism glukosa. Akan tetapi sampai saat ini belum
ditemukan regimen dosis yang tetap sehingga dianjurkan untuk disesuaikan secara
individu dengan dasar efektifitas dan toleransi dan tidak melebihi dosis maksimal
yang direkomendasikan yaitu 2250 mg untuk dewasa dan 2000 mg untuk anak-
anak dalam sehari. Untuk meminimalisir efek samping, terapi metformin dimulai
pada dosis yang rendah yang diminum saat makan, dan dosis ini ditingkatkan
secara progresif. Pasien-pasien diberi metformin 500 mg sekali/hari diminum saat
makan besar, biasanya makan malam selama 1 minggu kemudian ditingkatkan
menjadi 2kali/sehari, bersama sarapan dan makan malam, selama 1 minggu
kemudian dosis dinaikkan 500 mg saat sarapan dan 1000 mg saat makan malam
selama 1 minggu dan akhirnya dosis ditingkatkan menjadi 1000 mg 2kali/hari saat
sarapan dan makan malam. Tidak terdapat penelitian mengenai kisaran dosis
metformin pada sindrom ovarium polikistik, tapi penelitian kisaran dosis pada
pasien diabetes menggunakan kadar hemoglobin glikase sebagai pengukur
outcome, menunjukkan bahwa dosis 2000 mg per hari sudah optimal.9

Dosis dan jangka waktu yang optimal untuk pemberian metformin pada
penderita SOPK dengan insulin resisten sampai sekarang belum ditemukan suatu
konsensus. Beberapa peneliti memberi pengobatan 4 sampai 8 minggu dengan
dosis 500 mg tiga kali sehari sebagai pengobatan awal sebelum diberikan
clomiphene citrate, tetapi banyak pasien yang merasa tidak nyaman dan sering
menemukan efek samping dengan pemberian 4 sampai 8 minggu tersebut,
sehingga banyak yang tidak melanjutkan pengobatan. Untuk mempersingkat
waktu dan meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan, banyak peneliti mencoba
pemberian metformin yang lebih singkat. Hwu dkk memberikan metformin
dengan dosis 500 mg tiga kali sehari untuk 12 hari sebelum dimulai pengobatan
dengan clomiphene citrate. Pada penelitian tersebut ovulasi ditemukan pada

29
42.5% dibandingkan hanya 12.5% pada kelompok kontrol. Khorram dkk
memberikan metformin 500 mg tiga kali sehari dimulai dari hari pertama
withdrawal bleeding (setelah pemberian medroxy-progesterone acetate 10 mg
perhari selama 10 hari) dan pemberian clomiphene citrate pada hari ke lima
sampai hari ke sembilan. Pada penelitian tersebut ditemukan 44% dan 31%
dibandingkan hanya 6.7% dan 0% pada kelompok kontrol yang ovulasi dan
keberhasilan untuk hamil.

i) Clomiphene citrate

Clomiphene citrate merupakan estrogen lemah sintetis yang meniru


aktivitas antagonis estrogen bila diberikan pada dosis farmakologi khas untuk
induksi ovulasi. Fungsi hipofise-hipotalamus-ovarium axis diperlukan untuk kerja
klomifen sitrat yang tepat. Lebih khusus lagi, clomiphene sitrat diperkirakan dapat
mengikat dan memblokir reseptor estrogen di hipotalamus untuk periode yang
lama, sehingga mengurangi umpan balik estrogen normal hipotalamus-ovarium.
Blokade ini meningkatkan jumlah GnRH di beberapa wanita yang anovulatoir.
Peningkatan kadar GnRH menyebabkan peningkatan sekresi hipofise
gonadotropin, yang memperbaiki perkembangan folikel ovarium. Clomiphene
citrate juga dapat mempengaruhi ovulasi melalui tindakan langsung pada hipofisis
atau ovarium. Sayangnya, efek antiestrogen clomiphene sitrat pada tingkat
endometrium atau serviks memiliki efek yang merugikan pada kesuburan pada
sebagian kecil individu.9

Obat ini adalah suatu antagonis estrogen yang bekerja dengan mengadakan
penghambatan bersaing dengan estrogen terhadap hipotalamus sehingga efek
umpan balik estrogen ditiadakan. Dengan demikian hipotalamus akan melepaskan
LH-FSH-RH yang selanjutnya akan rnenyebabkan hipofisis anterior
meningkatkan sekresi FSH dan LH. Dengan demikian akan terjadi pertumbuhan
dan pematangan folikel serta ovulasi.

Dosis diberikan 50 mg satu kali pemberian perhari dengan dosis maksimal


perhari dapat ditingkatkan menjadi 200 mg. Penggunaan clomiphene sitrat untuk

30
induksi ovulasi memiliki hasil yang sangat baik. Bahkan, pada beberapa populasi,
80% hingga 85% wanita akan berovulasi dan 40% akan hamil.9

3) Terapi Pembedahan

Terapi pembedahan kadang-kadang dilakukan pada kasus infertilitas akibat


SOPK yang tidak segera mengalami ovulasi setelah pemberian terapi
medikamentosa. Melalui pembedahan, fungsi ovarium di pulihkan dengan
mengangkat sejumlah kista kecil.10

Alternatif tindakan :

 “Wedge Resection”, mengangkat sebagian ovarium. Tindakan ini


dilakukan untuk membantu agar siklus haid menjadi teratur dan ovulasi
berlangsung secara normal. Tindakan ini sudah jarang dikerjakan oleh
karena memiliki potensi merusak ovarium dan menimbulkan jaringan
parut.10
 “Laparoscopic ovarian drilling” , merupakan tindakan pembedahan untuk
memicu terjadinya ovulasi pada penderita SOPK yang tidak segera
mengalami ovulasi setelah menurunkan berat badan dan memperoleh obat-
obat pemicu ovulasi. Pada tindakan ini dilakukan eletrokauter atau laser
untuk merusak sebagian ovarium. Beberapa hasil penelitian
memperlihatkan bahwa dengan tindakan ini dilaporkan angka ovulasi
sebesar 80% dan angka kehamilan sebesar 50%.11 Wanita yang lebih muda
dan dengan BMI dalam batas normal akan lebih memperoleh manfaat
melalui tindakan ini.10

K. Komplikasi / Dampak Klinis


a) Infertilitas

Infertilitas pada sindrom ovarium polikistik berkaitan dengan dua hal.


Pertama karena adanya oligoovulasi/anovulasi. Keadaan ini berkaitan dengan
hiperinsulinemia di mana terdapat resistensi insulin karena sel-sel jaringan perifer
khususnya otot dan jaringan lemak tidak dapat menggunakan insulin sehingga

31
banyak dijumpai pada sirkulasi darah. Makin tinggi kadar insulin seorang wanita,
makin jarang wanita tersebut mengalami menstruasi. Penyebab yang kedua adalah
adanya kadar LH yang tinggi sehingga merangsang sintesa androgen. Testosteron
menekan sekresi SHBG oleh hati sehingga kadar testosteron dan estradiol bebas
meningkat. Kenaikan kadar estradiol memberi umpan balik positif terhadap LH
sehingga kadar LH makin meningkat lagi sedangkan kadar FSH tetap rendah. Hal
ini menyebabkan pertumbuhan folikel terhambat, tidak pernah menjadi matang
apalagi terjadi ovulasi.

b) Hipertensi dan penyakit jantung koroner

Diketahui bahwa obesitas sering diderita oleh pasien sindrom ovarium


polikistik. Lemak tubuh yang berlebihan ini memberi konsekuensi terjadinya
resistensi insulin. Obesitas dan resistensi insulin mengarah pada perubahan
respons sel-sel lemak terhadap insulin, di mana terjadi gangguan supresi
pengeluaran lemak bebas dari jaringan lemak.

Peningkatan lemak bebas yang masuk ke dalam sirkulasi portal


meningkatkan produksi trigliserida, selain itu juga terdapat peningkatan aktivitas
enzim lipase yang bertugas mengubah partikel lipoprotein yang besar menjadi
lebih kecil. Akibatnya ditemukan penurunan konsentrasi kolesterol high density
lipoprotein (HDL) dan peningkatan kadar kolesterol low density lipoprotein
(LDL) yang bersifat aterogenik sehingga mempercepat proses aterosklerosis
pembuluh darah dengan akibat berkurangnya kelenturan yang berhubungan
dengan terjadinya hipertensi. Kombinasi trigliserida yang tinggi dan kolesterol
HDL yang rendah berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskuler, yang pada
pasien sindrom ovarium polikistik muncul di usia yang relatif lebih muda.

c) Diabetes melitus

Sindrom ovarium polikistik berkaitan erat dengan masalah insulin. Adanya


resistensi sel-sel tubuh terhadap insulin menyebabkan organ tubuh tidak dapat
menyimpan glukosa dalam bentuk glikogen sehingga kadarnya meningkat di
dalam darah.

32
d) Masalah kulit dan hirsutisme

Keadaan ini berkaitan dengan hiperandrogenisme. Kadar androgen yang


tinggi menyebabkan pengeluaran sebum yang berlebihan sehingga menyebabkan
masalah pada kulit dan rambut. Pasien mengeluhkan seringnya terjadi peradangan
pada kulit akibat penyumbatan pori serta pertumbuhan rambut pada tubuh yang
berlebihan. Kelainan yang biasanya timbul adalah dermatitis seboroik,
hidradenitis supuratif, akantosis nigrikans dan kebotakan. Akantosis nigrikans
selain berhubungan dengan keadaan hiperandrogen juga terkait dengan adanya
hiperinsulinemia.

e) Obesitas

Obesitas pada sindrom ovarium polikistik dideskripsikan sebagai obesitas


sentripetal, di mana distribusi lemak ada di bagian sentral tubuh terutama di
punggung dan paha. Wanita dengan sindrom ini sangat mudah bertambah berat
tubuhnya. Obesitas tipe ini berkaitan dengan peningkatan risiko menderita
hipertensi dan diabetes.

f) Kanker endometrium

Risiko lain yang dihadapi wanita dengan sindrom ini adalah meningkatnya
insiden kejadian kanker endometrium. Hal ini berhubungan dengan kadar estrogen
yang selalu tinggi sehingga endometrium selalu terpapar oleh estrogen ditambah
adanya defisiensi progesteron. Kanker ini biasanya berdiferensiasi baik, angka
kesembuhan lesi tingkat I mencapai angka >90%. Kadar estrogen yang tinggi
kemungkinan juga meningkatkan terjadinya kanker payudara.

L. Prognosis
SOPK meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular dan cerebrovaskular
dengan adanya hiperandrogenisme dan peningkatan apolipoprotein. Sebanyak 4%

33
pasien dengan SOPK memiliki resiko resistensi insulin sehingga meningkatkan
resiko diabetes mellitus tipe 2 dengan konsekuensi komplikasi kardiovaskular.
Penderita SOPK juga beresiko mengalami karsinoma endometrium.

BAB III

KESIMPULAN

 Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan kelainan kompleks


endokrin dan metabolik yang ditandai dengan adanya anovulasi kronik dan
atau hiperandrogenisme yang diakibatkan oleh kelainan dari fungsi
ovarium dan bukan oleh sebab lain.
 Prevalensi terjadinya SOPK sekitar 1% - 3 % dari semua wanita steril,
3%-7% dari wanita yang mempunyai pengalaman ovarium polikistik
 Etiologi SOPK tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan sangat
dipengaruhi oleh genetik.
 SOPK menyebabkan infertilitas dan bersifat hiperandrogenik, di mana
terjadi gangguan hubungan umpan balik antara pusat (hipotalamus-
hipofisis) dan ovarium sehingga kadar estrogen selalu tinggi yang
mengakibatkan tidak pernah terjadi kenaikan kadar FSH yang cukup
adekuat.
 Gambaran klinis berupa : Gangguan menstruasi dan infertilitas, hirsutisme,
obesitas, akne, seborrhoe, pembesaran klitoris , dan pengecilan payudara.
 Penatalaksanaan awal berupa pengendalian dan penurunan berat badan
 Terapi medikamentosa dengan pemberian kontrasepsi oral,
medroksiprogesteron asetat, agonis gonadotropin releasing hormone (gn-
rh), ketokonazol, flutamide, cyproterone acetate, spironolactone, insulin
sensitizers, dan clomiphene citrate
 Terapi pembedahan dengan “Wedge Resection” dan “Laparoscopic
ovarian drilling”

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Maharani, L., R. Wratsangka. 2002. Sindroma Ovarium Polikistik:


permasalahan dan penatalaksanaannya. Jakarta: Bagian Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta.
2. Budi R. Hadibroto. 2005. Sindroma Ovarium Polikistik. Medan:
Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan.
3. POGI. 2006. Sindroma Ovarium Polikistik. Dalam: Standar Pelayanan
Medik Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: POGI.
4. Schorge, J.O., Schaffer, J.I., Halvorson, L.M., Hoffman, B.L., Bradshaw,
K.D., Cunningham, F.G. 2008. Williams Gynecology. The Mcgraw-Hill
Companies: USA
5. Andon, H., dkk., 2013. Sindroma Ovarium Polikistik. Current Updates in
Polycystic Ovary Sindrome, Endometriosis, Adenomyosis. Andon, H.,
dkk. Sagung Seto, Jakarta. P 1-52
6. Stefano, P., Angela, F., Giovanni, B.L.S., 2014. Metformin and
gonadotropins for ovulation induction in patiens with polycystic ovary
syndrome: a systematic review with meta-analysis of randomized
controlled trials. Reproductive Bilogy and Endocrinology. (serial online),
[cited 2020 February 21]. Available from : URL :
http://www.rbej.com/content/12/1/3.
7. Hestiantoro, A. 2009. Sindroma ovarium polikistik, penyebab gangguan
haid. (diunduh tanggal 21 Februari 2020). Dari URL :
http://botefilia.com/index.php/archives/2009/04/10/sindroma-ovarium-
polikistik-penyebab-gangguan-haid/

35
8. Anonym. 2010. Ovarium polikistik Sindrom - Penyebab, Gejala dan
Metode Pengobatan. (Diunduh tanggal 20 Februari 2020). Dari URL :
http://id.hicow.com/polikistik-ovarium-sindrom/kehamilan/hormon-
772734.html
9. Maharani, L. Wratsangka R. 2002. Sindrom Ovarium Polikistik:
Permasalahan Dan Penatalaksanaannya. (diunduh tanggal 24 Februari
2020). Dari URL : http://www.univmed.org/wp-content/
uploads/2011/02/Dr._Laksmi.pdf
10. 2. Hadibroto, B.R. 2005. Sindroma Ovarium Polikistik. (diunduh tanggal
21 Februari 2020). Dari URL : http://repository.usu.ac.id/bitstream
/123456789/15588/1/mkn-des2005-%20%2811%29.pdf
11. 3. Duarsa, M.A. 2004. Pendekatan Medisinalis Dan Bedah Pada
Penanganan Sopk. (diunduh tanggal 22 Februari 2020). Dari URL :
http://digilib.unsri.ac.id/jurnal/health-sciences/pendekatan-medisinalis-
dan-bedah-pada-penanganan-sopk/mrdetail/914/
12. Melissa Conrad Stöppler. William C. Shiel Jr. 2010. Polycystic Ovarian
Syndrome. (diunduh tanggal 24 Februari 2020). Dari URL :
http://www.medicinenet.com/polycystic_ovary/article.htm
13. Murfida, L. 2001. terapi metformin pada sindrom ovarium polikistik.
(diunduh tanggal 24 Februari 2020 ). Dari URL :
http://digilib.unsri.ac.id/download/Terapi%20Metformin%20pada
%20SOPK.pdf

36

Anda mungkin juga menyukai