Anda di halaman 1dari 6

Infertilitas

Oleh
Natalia Hadinata (10.2010.129)

Infertilitas (ketidaksuburan) merupakan kondisi ketidakmampuan pasangan untuk


mendapatkan kehamilan setelah melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa
menggunakan kontrasepsi selama 1 tahun atau lebih. Untuk menjadi hamil, wanita perlu
memiliki siklus ovulasi yang teratur, ovumnya harus normal dan tidak boleh ada hambatan
dalam jalur lintasan sperma atau implantasi ovum yang sudah dibuahi. Infertilitas dapat
terjadi pada pria, wanita, maupun keduanya. Infertilitas dapat terjadi karena kelainan bentuk
maupun posisi organ reproduksi, kelainan hormonal, ataupun karena infeksi penyakit.1
Infertilitas pada wanita dapat terjadi karena masalah ovulasi, masalah hormon, maupun
kelainan pada alat reproduksinya. Ovulasi normal berlangsung di bawah kendali hormon,
gangguan tertentu dalam sistem endokrin dapat memengaruhi fertilitas. Dengan menelusuri
kembali peristiwa-peristiwa yang menyebabkan ovulasi, area-area yang terkait dengan sistem
endokrin menjadi jelas. Pertama, hipotalamus perlu melepaskan faktor pelepas gonadotropin
(GnRH) yang bekerja pada kelenjar hipofisis, menyebabkan pelepasan FSH dan LH. FSH
menstimulasi sebuah folikel mejadi matang dan menyebabkan produksi hormon estrogen
sedangkan LH menstimulasi pelepasan ovum dan produksi progesteron. Produksi estrogen
dan progesteron juga dipengaruhi kadar prolaktin yang bersirkulasi dari kelenjar hipofisis.
Dengan demikian, masalah ovulasi dapat disebabkan oleh disfugnsi hipotalamus, kelenjar
hipofisis, atau kelenjar tiroid. Penyakit sistemik, yang meliputi diabetes melitus, penakit
seliak dan gagal ginjal, yang memengaruhi fungsi endokrin dapat juga mengganggu siklus
normal.1
Walaupun fungsi hormon dapat berada dalam keadaan normal, gangguan pada ovarium
dapat memengaruhi ovulasi. Misalnya, kista atau tumor ovarium, penyakit ovarium polikistik
atau kerusakan ovarium akibat endometriosis atau riwayat pembedahan dapat mengganggu
siklus ovarium sehingga memengaruhi fertilitas. Lebih jauh lagi, dapat terjadi masalah pada
produksi dan pelepasan ovum. Misalnya, ovum yang dihasilkan dapat dilepas sebelum ovum
tersebut benar-benar matur, atau ovum tersebut terus menerus mengalami defek (misalnya,
memiliki abnormalitas kromosom). Masalah lain ialah bahwa ovum dapat mencapai
maturitas, tetapi tidak dilepaskan sehingga tidak mengalami fertilisaasi. Pada akhirnya,
fungsi ovulasi dapat dipengaruhi oleh wanita yag berat badannya kurang (mereka yang
menderita anoreksia nervosa seringkali mengalami amenore), berat badannya berlebih
(obesitas) terbukti menyebabkan kesulitan menstruasi, atau olahraga berlebihan (latihan berat

yang dilakukan atlet profesional) terbukti menunda masa menarke pada remaja putri, dan
menyebabkan amenore sekunder pada wanita dewasa.1
Penyebab utama infertilitas wanita akibat kelainan oosit adalah kegagalan ovulasi
secara teratur, atau pada beberapa kasus tidak terjadi ovulasi sama sekali. Penyebab anovulasi
pada hipotalamus yang paling sering adalah kelainan berat badan dan komposisi tubuh,
latihan fisik yang berat, stres, dan perjalanan jauh. Berbagai gangguan pada hipofisis dan
endokrin yang berhubungan dengan anovulasi adalah hiperprolaktinemia dan hipotiroidisme.
Dua penyebab disfungsi ovarium yang paling sering adalah sindrom polikistik dan kegagalan
ovarium prematur. Kelainan oosit yang lebih kompleks dibandingkan anovulasi sederhana
menyebabkan penurunan fertilitas.1,3
Masalah dalam saluran reproduksi wanita dapat menghambat pergerakan ovum ke
uterus, mencegah maskunya sperma atau menghambat implantasi ovum yang telah dibuahi.
Sumbatan di tuba fallopii adalah salah satu dari banyak penyebab umum subfertilitas.
Sumbatan tersebut dapat terjadi akibat infeksi atau pembedahan tuba, atau adhesi yang
disebabkan oleh endometriosis atau inflamasi. Walaupun escherichi colli, diantara bakteri
lain terbukti menyebabkan penyakit radang panggul (pelvic inflamatory disease, PID),
organisme yang paling sering menyebabkan PID ialah neisseria gonorrhoeae, mycoplasma
hominis, dan chlamydia trachomatis, yang 5075%-nya ditransmisi melalui hubungan
seksual. Penyebab PID yang lain meliputi prosedur medis, seperti aspirasi vakum, dilatasi
dan kuretase, atau akibat peritonitis. PID juga sering dialami wanita yang menggunakan alat
kontrasepsi intrauteri, terutama wanita nulipara muda. Lokasi penyumbatan tuba yang paling
sering adalah ujung tuba yang berfimbria di bagian distal.1
Endometriosis merupakan kelainan yang sering ditemukan, ditandai dengan adanya
jaringan yang menyerupai endometrium di luar lokasi normalnya pada dinding uterus.
Kelenjar dan stroma pada endometrium biasanya responsif terhadap hormon gonad dan
perubahan biokimia yang diinduksi oleh steroid menyebabkan endometrium ektopik ini
sangat mirip dengan kelenjar dan stroma yang terlihat pada endometrium dalam rongga
uterus. Peningkatan produksi prostaglandin oleh lesi endometriotik pada periode
perimenstruasi dan mestruasi dapat menimbulkan inflamasi, fibrosis, dan adhesi yang
merupakan tanda-tanda kelainan ini. Lesi endometriosis dapat ditemukan hampir di setiap
tempat di pelvis namun paling sering ditemukan pada permukaan peritoneum, ovarium, tuba
fallopii, usus besar, dan apendiks. Wanita dengan endometriosis dapat mengalami gejala nyeri
pelvis, massa adneksa (endometrioma), infertilitas, atau kombinasi gejala-gejala tersebut.1,3
Leiomioma uterus, juga dikenal sebagai fibroid atau mioma uterus, merupakan tumor
jinak otot polos uterus. Tumor ini merupakan tumor pelvis yang paling sering pada wanita,
dan mungkin berlokasi pada setiap tempat di dalam dinding uterus atau dapat bergantung
pada tangkai yang mengandung pasokan darah ke tumor tersebut (leiomioma bertangkai).
Leiomioma bertangkai dapat menggantung dari bagian luar uterus atau dapat menonjol ke
dalam rongga endometrium. Leiiomioma yang mengubah bentuk rongga uterus atau
menyumbat tuba fallopii sangat mungkin menyebabkan penurunan kesuburan.1,3

Apabila jalur lintasan sperma terhambat karena beberapa alasan, maka fertilisasi pasti
tidak akan terjadi. Salah satu penyebab obstruksi ialah lendir serviks yang bermusuhan
dengan sperma bahkan selama fase subur, yang mencegah sperma mencapi uterus. Tubuh
wanita juga dapat memproduksi antibodi yang terdapat dilendir serviks dan menyerang
speprma, dan anomali struktural lainnya dapat mencegah implantasi. Misalnya, uterus
mungkin abnormal secara kongenital atau dapat berisi fibroid yang berukuran sangat besar
atau letaknya menyebabkan hambatan.1
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan baik pada pria maupun wanita adalah tinggi
badan, berat badan, dan pengukuran lingkar pinggang. Penentuan indeks masa tubuh juga
perlu dilakukan karena perempuan dengan indeks masa tubuh lebih dari 25 kg/m2 termasuk
kedalam kelompok kriteria berat badan lebih. Hal ini memiliki kaitan erat dengan sindrom
metabolik. Sedangkan pada indeks masa tubuh kurang dari 19 kg/m 2 perlu dipikirkan adanya
penyakit kronis.1
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan melakukan pengkajian riwayat yang lengkap dan
cermat, beberapa penyebab dapat diidentifikasi atau disingkirkan. Misalnya jika wanita
memang memiliki suatu gangguan, seperti diabetes, atau jika berat badannya sangat jauh di
bawah normal, maka kondisi-kondisi tersebut perlu dipertimbangkan sebagai penyebab
infertilitas.1
Jika tidak ada penyebab yang jelas, pemeriksaan khusus dapat dilakukan. Untuk
memastikan kadar estrogen, progestron, FSH, dan LH yang bersirkulasi, suatu rangkaian
pemeriksaan darah dapat dilakukan sepanjang siklus menstruasi. Ovulasi dapat dikonfirmasi
dengan melakukan suatu tes predinkator yang mengukur jumlah LH di dalam urine. Tes ini
dapat dilakukan sendiri oleh wanita tersebut, yang juga dapat memeriksa lendir serviksnya
untuk mendeteksi perubahan yang diantisipasi sepanjang siklus menstruasi. Pada akhirnya,
USG dapat dilakukan untuk memvisualisasikan folikel yang sedang matang dan pelepasan
sebuah ovum.1
Untuk kelainan alat reprodiksi, pemeriksaan dimulai dengan pengkajian riwayat yang
menyeluruh, yang mengungkapkan riwayat PID (pelvic inflamatory disease) di masa lalu,
atau mengungkapkan adanya kelainan struktur uterus yang telah diketahui. Kemudian dapat
dilakukan pemerikssaan fisik umum. Pemeriksaan khusus meliputi laparoskopi,
histeriosalpingografi, dan tes pascakoitus.1

Laparaskopi dilakukan dibawah pengaruh anastesia, memungkinkan tuba fallopii


diperiksa untuk melihat kepatenan dan bukti adanya PID atau endometriosis.
Abnormalitas ovarium juga dapat dipastikan melalui pemeriksaan ini
Histerosalpingografi dilakukan dengan menginjeksi zat pewarna melalui serviks dan
kemudian dilakukan rediografi untuk memastikasn kepatenan tuba dan bentuk rongga
uterus.
Pada tes pascakoitus, lendir serviks diperiksa sekitar 6 jam setelah senggama,
idealnya sekitar waktu ovulasi. Kegagalan penetrasi lendir oleh spema merupakan

bukti bahwa sperma hostile (tidak dapat menembus lendir) atau kualitas sperma
buruk.
Ketidakseimbangan hormon dapat dikoreksi dengan menggunakan obat-obatan. Obat
yang paling sering digunakan adalah klomifen, human chorionic gonadotrophin, human
menopausal gonadotrophin dan bromokriptin. Klomifen, suatu senyawa sintesis, dikonsumsi
peroral dan menginduksi ovulasi dengan menstimulasi hipofisis (via hipotalamus) guna
melepaskan FSH. Klomifen dapat digunakan bersama human chorionic gonadotrophin yang
bekerja dengan cara sama seperti LH. human menopausal gonadotrophin adalah zat yang
diinjeksikan, digunakan jika klomifen telah digunakan dan menemui kegagalan.
Bromokriptin digunakan untuk mengoreksi hiperprolaktinemia, yang mungkin menekan
ovulasi. Obat-obaan ini dapat juga digunakan untuk menstimulasi ovulasi sebagai bagian dari
program konsepsi. Sedangkan Pembedahan dapat diindikasikan untuk mengoreksi beberapa
masalah saluran reproduksi, misalnya miotektomi (fibroid dalam rongga uterus atau kista
ovarium yang besar perlu diangkat melalui pembedahan). Pembedahan laser juga dapat
digunakan sebagai upaya untuk membebaskan blokade tuba fallopii, walaupun keberhasilan
teknik ini terbatas. Untuk mengurangi sifat permusuhan lendir serviks, terapi hormon dapat
digunakan.1
Penyebab infertilitas pada pria sama dengan wanita, yaitu masalah yang terjadi pada
sperma, hormon, dan kelainan alat reproduksinya. Dua masalah utama spermatogenesis ialah
bahwa sperma terlalu sedikit diproduksi atau motilitas sperma buruk. Produksi sperma yang
rendah (oligospermia) atau kegagalan memproduksi sperma (azoospermia) dapat disebabkan
oleh beberapa faktor yang berbeda. Supaya sperma dalam kondisi normal dapat dihasilkan,
jumlah testosteron perlu dipertahankan pada kadar yang adekuat, dan karena produksi
testosteron bergantung pada kadar FSH dan LH, setiap disfungsi kelenjar hipofisis dan
hipotalamus, yang mengontrol kadar hormon-hormon ini, pada akhirnya memengaruhi
spermatogenesis. (fungsi yang kurang signifikan ialah fungsi kelenjar tiroid dan kelenjar
adrenal, walaupun ganggguan pada testis juga memengaruhi fertilitas sampai derajat tertentu.
Produksi sperma dapat dipengaruhi oleh gangguan kongenital, seperti hidrokel atau testis
yang tidak turun (kriptorkidisme), atau oleh masalah-masalah yang didapat, seperti varikokel
atau gondongan. Juga, karena produksi sperma yang optimal membutuhkan suhu di bawah
temperatur tubuh, spermatogenesis diperkirakan kurang efisien pada pria dengan jenis
pekerjaan tertentu (pemadam kebakaran, pengemudi truk jarak jauh) atau pada pria yang
mengenakan celana dalam yang ketat. Ancaman lingkungan lain, seperti penggunaan alkohol
secara berlebihan, merokok, obat-obatan terlarang, radiasi, timah, dan antibiotik tertentu
(misalnya penisilin dan tetrasiklin) juga dapat memengaruhi spermatogenesis.1
Varikokel merupakan dilatasi pleksus vena pampiniformis yang mengalirkan darah ke
skrotum. Varikokel dapat menurunkan kualitas semen pada beberapa pria dan koreksi
terhadap varikokel dapat memperbaiki kualitas semen. Varikokel mungkin mempengaruhi
kualitas semen dengan membuat testis terpajan pada suhu yang lebih tinggi atau dengan
membuat testis terpajan zat gonadotoksik yang secara abnormal tinggi.1,3

Sedikitnya sperma yang dihasilkan diakibatkan karena tidak cukupnya stimulasi


hormonal pada testis atau kegagalan gonad. Pria dengan hipogonadisme hipogonadotropik
mungkin memiliki defek pada kelenjar hipofisis atau hipotalamus.1,3
Tidak terjadinya kehamilan juga dapat disebabkan adanya gangguan transpor maupun
gangguan penghantaran sperma ke ovum. Sebelum mencapai ovum, sperma perlu ditranspor
dari testis ke penis. Masalah pada bagian dari proses ini dapat berupa hambatan di dalam vas
deferens atau obstruksi (atau bahkan tidak adanya) vesikula seminalis.1
Bagian kedua proses ini adalah penghantaran sperma ke vagina. Agar hal ini terjadi,
pria harus mampu mencapai dan mempertahankan ereksi, dan kemudian
mengejakulasikannya.1
Penyumbatan vas deferens atau epididimis dapat disebabkan oleh kelainan kongenital
atau adanya jaringan parut yang disebabkan oleh infeksi. Kerusakan pada leher kandung
kemih atau cedera pada nervus simpatis lumbal yang terlibat pada refleks ejakulasi dapat
menyebabkan ejakulasi retrogard. Pada keadaan ini, sperma mengalir ke kandung kemih saat
terjadi ejakulasi dan tidak keluar dari uretra penis.1,3
Ereksi terjadi jika pembuluh darah pada korpus kavernosum penis berdilatasi dan
menjadi bengkak oleh darah sehingga penis menjadi kaku. Pria tersebut kemudian perlu
ammpu mempertahankan kekakuan ini supaya tersedia waktu cukup untuk mencapai koitus.
Jika seorang pria tidak pernah mampu encapai koitus, pria tersebut dinyatakan menderita
impotensi primer. Jika masalah tersebut muncul walaupun koitus pernah dicapai di masa yang
lalu, kondisi ini disebut impotensi sekunder.1
Penyebab impotensi dapat bersifat fisiologis maupun psikologis. Penyebab fisik
meliputi masalah-masalah seperti penyakit neuromuskular atau gangguan endokrin tertentu,
yang dapat mencegah transmisi impuls dari medula spinalis ke penis. Secara psikologis,
impotensi dapat disebabkan oleh rasa takut gagal, akibat cara individu tersebut dibesarkan,
atau akibat pengalaman seksual yang tidak memuaskan sebelumnya. Impotensi sekunder juga
dapat disebabkan oleh konsumsi alkohol yang berlebihan atau dapat diinduksi oleh obat.1
Seperti pada wanita, pengkajian riwayat menyeluruh dan pemeriksaan fisik umum juga
harus dilakukan pada pria sebelum tes khusus dilaksanakan karena pengkajian tersebut dapat
mengungkapkan kondisi-kondisi yang ada (misalnya gangguan endokrin atau testis yang
tidak turun).1
Tes khusus pertama kali yang perlu dilakukan ialah analisis semen yang meliputi
volume semen, jumlah sperma total, dan kualitas sperma (motilisat dan persentase sperma
yang abnormal) dikaji dengan melakukan tes pascakoitus. Jika tidak ditemukan fruktosa
dalam semen, harus dilakukan tindakan biopsi testis. Jika tidak ditemukan fruktosa di dalam
semen, menunjukkan tidak adanya kelainan vesikula dan vasa seminalis yang bersifat
kongenital. Pemeriksaan lain meliputi tes darah, yang dapat mengungkap ketidakseimbangan
hormon.1,2

Tes fisik khusus yang dapat dilakukan, setelah riwayat dikaji dan pemeriksaan umum
dilakukan, meliputi vasografi dan pemeriksaan darah tertentu. Vasografi melibatkan
penggunaan zat pewarna opak dan radiografi, dan digunakan untuk meemriksa kenormalan
vas deferens. Pemeriksaan darah dapat dilakukan untuk menyingkirkan gangguan endokrin.1
Terapi hormon dapat diindikasikan jika jumlah serma rendah atau jika kualitas sperma
buruk. Misalnya, klomifen, human chorionic gonadotrophin, bromokriptin, atau testosteron
dapat diresepkan. Apabila terdapat suatu varikokel, maka varikokel tersebut dapat diligasi
melalui pembedahan. Walaupun varikokel merupakan penyebab infertilitas pada hanya
sebagian kecil prida, operasi biasanya bermanfaat. Pembedahan untuk memperbaiki testis
yang tidak turun perlu dilakukan pada masa kanak-kanak karena masalah ini tidak dapat
diperbaiki jika seorang pria telah dewasa. Apabila vas deferens tersumbat maka pembedahan
dapat berhasil menghilangkan obstruksi tersebut. Apabila masalah tersebut disebabkan oleh
faktor psikologis maka konseling psikoseksual dapat ditawarkan kepada pria, atau
pasangannya sekaligus.1

Daftar Pustaka

1. Henderson C, Jones K. Buku ajar konsep kebidanan. Jakarta: penerbit buku


kedokteran EGC. 2006.h. 85-90.
2. Syarifudin, Hamidah. Kebidanan komunitas. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC.
2009.h. 48
3. Heffner LJ, Schust DJ. At a glance sistem reproduksi. Jakarta. Penerbit erlangga.
2006.h. 76-7.

Anda mungkin juga menyukai