Anda di halaman 1dari 35

Clinical Science Session

INFERTILITAS

Oleh

M Firas Riselo Putra 2240312158

Preseptor :
dr. Havis Yuad, Sp. OG (K)-FER

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

2023
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Infertilitas merupakan kondisi yang umum ditemukan dan dapat

disebabkan oleh faktor perempuan, laki-laki, maupun keduanya. Infertilitas dapat

juga tidak diketahui penyebabnya yang dikenal dengan istilah infertilitas

idiopatik. Masalah infertilitas dapat memberikan dampak besar bagi pasangan

suami-istri yang mengalaminya, selain menyebabkan masalah medis, infertilitas

juga dapat menyebabkan masalah ekonomi maupun psikologis.

Angka infertilitas pasangan suami istri di Indonesia yang mengalami

kesulitan mendapatkan anak adalah sekitar 10%. Kondisi ini makin lama makin

banyak ditemukan di Indonesia. Diperkirakan perempuan Indonesia yang

mengalami kesulitan untuk hamil adalah 15% di usia 30-34 tahun, 30 % di usia

35-39 tahun dan 64 % ketika mereka mencapai usia 40-44 tahun.1

Banyak faktor yang terkait dengan kesulitan untuk hamil tersebut, faktor

tersebut 40% terkait dengan faktor istri, 40% terkait dengan faktor suami, 10%

terkait dengan faktor gabungan suami istri, dan sisanya terkait dengan faktor-

faktor lain yang sering kali sulit untuk ditemukan penyebabnya atau disebut

dengan istilah infertilitas idiopatik.1

Pemeriksaan dan pengobatan masalah infertilitas merupakan hal yang

sangat kompleks. Dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai disiplin ilmu.

Dalam hal ini, selain ahli ginekologi dilibatkan pula ahli endokrinologi

reproduksi, andrologi biologi, radiologi, psikologi, dan lain-lain. Oleh karena

1
sifatnya yang multi kompleks, maka pada pelaksanaan pemeriksaan dan

pengobatan infertilitas ini membutuhkan tahapan waktu yang relatif lama dan

bermacam cara pengobatan tergantung penyebabnya. Penanganan infertilitas

harus dilakukan dengan cepat dan tepat, sebab keterlambatan penanganan dapat

semakin memperburuk prognosis infertilitas pasangan suami istri.2

1.2 Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan memahami

tentang infertilitasdari segi epidemiologi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan

tatalaksana.

1.3 Metode Penulisan

Metode penulisan makalah ini berupa tinjauan kepustakaan yang merujuk

kepada berbagai literatur.

BAB 2

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Infertilitas

Infertilitas merupakan kegagalan suatu pasangan untuk mendapatkan

kehamilan sekurang-kurangnya dalam 12 bulan berhubungan seksual secara

teratur tanpa kontrasepsi, melakukan hubungan suami-istri minimal 2x seminggu

secara rutin.

Infertilitas idiopatik mengacu pada pasangan infertil yang telah menjalani

pemeriksaan standar meliputi tes ovulasi, patensi tuba, dan analisis semen dengan

hasil normal.3

2.2. Klasifikasi Infertilitas

Jenis infertilitas ada dua, yaitu

1. Infertilitas primer

Infertilitas primer yaitu jika istri belum pernah hamil sekurang-kurangnya

dalam 12 bulan berhubungan seksual secara teratur tanpa kontrasepsi.

2. Infertilitas sekunder

Infertilitas sekunder yaitu jika istri pernah hamil, akan tetapi kemudian

tidak terjadi kehamilan lagi sekurang-kurangnya dalam 12 bulan

berhubungan seksual secara teratur tanpa kontrasepsi.4

2.3. Epidemiologi Infertilitas

Angka infertilitas pasangan suami istri di Indonesia yang mengalami

kesulitan mendapatkan anak adalah sekitar 10%. Kondisi ini makin lama makin

banyak ditemukan di Indonesia. Diperkirakan perempuan Indonesia yang

3
mengalami kesulitan untuk hamil adalah 15% di usia 30-34 tahun, 30 % di usia

35-39 tahun dan 64 % ketika mereka mencapai usia 40-44 tahun.1

2.4. Faktor Resiko Infertilitas

a. Usia : semakin meningkat usia, angka kejadian infertilitas semakin

meningkat.

b. Frekuensi sanggama kurang dari 2-3 kali dalam seminggu

c. Alkohol : alkohol dapat berdampak pada fungsi sel Leydig dengan

mengurangi sintesis testosterone dan menyebabkan kerusakan pada

membrane basalis. Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat

menyebabkan gangguan pada fungsi hipotalamus dan hipofisis.

d. Rokok dapat menyebabkan kerusakan oosit (menyebabkan kerusakan

oksidatif terhadap mitokondria), sperma (menyebabkan tingginya

kerusakan morfologi), dan embrio (menyebabkan keguguran).

e. Berat badan : semakin tinggi berat badan (BMI) semakin besar kejadian

infertilitas karena dapat menyebabkan penurunan fungsi organ reproduksi

dan mempengaruhi siklus hormonal.

f. Stress dapat meningkatkan kejadian infertilitas dengan mempengaruhi

siklus hormonal.5

2.5. Etiologi Infertilitas

2.5.1 Faktor Perempuan

Faktor yang dapat menjadi penyebab infertilitas pada perempuan adalah

gangguan ovulasi, gangguan tuba, dan gangguan uterus.

4
a. Masalah vagina

Masalah vagina yang dapat menyebabkan terjadinya infertilitas adalah

dispareunia (rasa tidak nyaman atau nyeri saat melakukan sanggama,

disebabkan oleh infeksi, vaginismus dan lain-lain), vaginismus (nyeri yang

dirasakan saat penis akan melakukan penetrasi ke dalam liang vagina,

disebabkan oleh liang vagina yang kecil, kontraksi otot pubokoksigeus yang

terlalu sensitif, serta faktor psikis), dan vaginitis.

b. Masalah serviks

Gangguan pada serviks dapat disebabkan oleh abnormal pada produksi

mukus atau kelainan interaksi mukus dengan sperma. Serviks uterus

memainkan peranan yang penting dalam pengangkutan sperma setelah

berhubungan seksual. Produksi dan karakteristik mukus di serviks berubah

berdasarkan pada konsentrasi estrogen selama fase akhir pematangan folikel.

c. Masalah uterus

Masalah uterus yang dapat meningkatkan risiko infertilitas adalah

servisitis, kelainan anatomis kavum uteri, endometriosis, dan kelainan

miometrium, seperti adenomiosis.

d. Masalah tuba

Tuba Fallopii memiliki peran yang besar di dalam proses fertilisasi,

karena tuba berperan di dalam proses transpor sperma, kapasitas sperma

dalam proses fertilisasi, dan transport embrio. Adanya kerusakan atau

kelainan tuba akan berpengaruh terhadap angka fertilitas.

Gejala seperti nyeri kronis pada pelvis atau dismenore dapat

menunjukkan adanya obstruksi tuba. Perlekatan dapat mencegah pergerakan

5
tuba yang normal, pengambilan ovum, dan pengangkutan telur yang telah

difertilisasi kedalam uterus. Berbagai macam etiologi yang berperan terhadap

gangguan tuba, termasuk infeksi pelvis, endometriosis, dan riwayat operasi

pelvis.

Riwayat penyakit radang pelvis (PID) kemungkinan besar dapat

menyebabkan kerusakan pada tuba fallopi atau adanya perlekatan pelvis. Di

Amerika Serikat, penyebab penyakit tuba yang paling sering adalah infeksi

yang disebabkan oleh Clamidia trachomatis dan Neisseria gonorrhoeae.

e. Masalah ovarium

Ovarium memiliki fungsi sebagai penghasil oosit dan penghasil

hormon. Masalah utama yang terkait dengan fertilitas ada gangguan fungsi

ovulasi.Gangguan ovulasi didefinisikan sebagai perubahan frekuensi dan

durasi siklus menstruasi. Siklus menstruasi yang normal berlangsung selama

21-35 hari, dengan rata-rata selama 28 hari. Sebagian besar perempuan

dengan siklus haid normal akan menunjukkan siklus haid yang berovulasi.

Untuk mendapatkan rerata siklus haid diperoleh informasi dalam 3 – 4 bulan

terakhir. Kegagalan berovulasi adalah masalah infertilitas yang paling sering

terjadi.

Sindrom ovarium polikistik merupakan masalah gangguan ovulasi

utama yang seringkali dijumpai pada kasus infertilitas. Saat ini untuk

menegakkan diagnosis sindrom ovarium polikistik jika ditemukan dari tiga

gejala di bawah ini:

 Terdapat siklus haid oligoovulasi atau anovulasi.

 Terdapat gambaran ovarium polikistik pada pemeriksaan USG.

6
 Terdapat gambaran hiperandrogenisme baik klinis maupun biokimiawi.

Selain itu, gangguan ovulasi juga dapat disebabkan oleh penyakit

seperti penyakit tiroid yaitu hipotiroidisme, obesitas, dan pertumbuhan kista

ovarium non-neoplastik ataupun kista ovarium neoplastik.6

2.5.2 Faktor Laki-Laki

Faktor yang dapat menjadi penyebab infertilitas pada laki-laki adalah:

a. Kelainan organ genitalia pria

b. Faal dan morfologi sel spermatozoa.6

2.6. Diagnosis Infertilitas

2.6.1 Anamnesis dan Pemeriksaan fisik

Pada awal pertemuan, penting sekali untuk memperoleh data apakah

pasangan suami istri atau salah satunya memiliki kebiasaan merokok atau minum

minuman beralkohol. Perlu juga diketahui apakah salah satu pasangan menjalani

terapi khusus seperti antihipertensi, kortikosteroid dan sitostatika.1

Selain itu juga harus ditanya mengenai lama menikah, usia menikah,

pekerjaaan, frekuensi dan waktu melakukan hubungan seksual, riwayat hubungan

kelamin, riwayat penyakit infeksi alat reproduksi dan riwayat penyakit sistemik.1

Pihak perempuan harus ditanyai mengenai saat dia mengalami pubertas

dan menarke. Riwayat haid harus meliputi lama siklus, durasi dan jumlah

perdarahan, serta dismenorea atau gejala prahaid yang menyertai. Riwayat

amenore atau menometroragia mungkin menunjukkan anovulasi atau kelainan

uterus. Pasien harus ditanyai mengenai dismenore yang mungkin berhubungan

7
dengan endometriosis dan menorrhagia yang berhubungan dengan fibroid uterus.

Riwayat penyakit radang panggul, perforasi appendiks atau pembedahan abdomen

lainnya, atau pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim dapat menyebabkan

penyakit pada tuba. Riwayat galaktorea mungkin jadi petunjuk

hiperprolaktinemia, sedangkan riwayat hirsutisme yang muncul saat pubertas atau

hirsutisme yang cepat memburuk mungkin mengisyaratkan adanya penyakit

ovarium polikistik.7

Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan pada pasien dengan masalah

infertilitas adalah pengukuran tinggi badan, penilaian berat badan, dan

pengukuran lingkar pinggang. Perempuan dengan indeks massa tubuh (IMT) lebih

dari 25 kg/m2 termasuk dalam kelompok kriteria berat badan lebih. Hal ini

memiliki kaitan yang erat dengan sindrom metabolik. IMT yang kurang dari 19

kg/m2 sering dikaitkan dengan penampilan pasien terlalu kurus dan perlu

dipikirkan adanya penyakit kronis seperti TBC, kanker atau masalah kesehatan

jiwa.7

Pemeriksaan fisik yang menyeluruh diperlukan untuk membantu

menentukan faktor-faktor penting yang mungkin menyebabkan infertilitas. Akne,

kulit berminyak, dan hirsutisme mungkin disebabkan oleh kelebihan androgen.

Pembesaran tiroid, galaktorea, ukuran dan mobility alat reproduktif dan infeksi

menular seksual harus diperiksa dengan cermat.1

2.6.2 Pemeriksaan Infertilitas pada Wanita

a) Pemeriksaan ovulasi

 Frekuensi dan keteraturan menstuasi

 Pemeriksaan kadar progesteron serum

8
Tes yang paling tepat untuk mendeteksi ovulasi adalah konsentrasi serum

progesteron. Ini dilakukan sekitar tujuh hari sebelum tanggal prediksi

periode menstruasi. Konsentrasi progesteron di atas 20-25 nmol / L

menegaskan ovulasi terjadi dalam siklus itu. Jika didapat nilai yang lebih

rendah beisa diinterpretasikan sebagai anovulasi atau waktu yang tidak

pantas dari tes darah.

 Perempuan dengan siklus haid yang tidak teratur disarankan untuk

melakukan pemeriksaan darah untuk mengukur kadar hormon

gonadotropin (FSH dan LH).

 Pemeriksaan kadar hormon prolaktin dapat dilakukan untuk melihat

apakah ada gangguan ovulasi, galaktorea, atau tumor hipofisis.8

b) Pemeriksaan Chlamydia trachomatis

Sebelum dilakukan pemeriksaan uterus, pemeriksaan untuk Chlamydia

trachomatis sebaiknya dilakukan dengan teknik yang sensitive. Jika tes

Chlamydia trachomatis positif, perempuan dan pasangan seksualnya

sebaiknya dirujuk untuk mendapatkan pengobatan.8

c) Penilaian kelainan uterus dan tuba

Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menilai adanya

kelainan pada uterus, yaitu:4

1) Histerosalphingografi

Prinsip pemeriksaan ini adalah dengan menyuntikan media kontras yang

akan melimpah ke dalam kavum peritonei jika tuba paten, dan penilaian

dilakukan secara radiografik. Media penyuntikan kontras adalah kateter

pediatrik Foley nomor 8 dengan bantuan klem dimasukkan ke dalam

9
kavum uteri dan dipertahankan pada tempatnya dengan mengisi balon

dengan 2 ml air. Setelah spekulum vagina dilepaskan, media kontras

disuntikkan ke dalam kavum uteri secukupnya dengan pengawasan

fluoroskopi. Untuk mendapatkan gambaran segmen bawah uterus dan

kanalis servikalis, balon dikempeskan sebentar sambil menyuntikkan

media kontras. Hasil pemeriksaan ini dapat memberikan keterangan

tentang seluk beluk kavum uteri, patensi tuba, dan juga peritoneum.4

Gambar 2.1 Histerosalpingografi

10
Gambar 2.2 Hasil Histerosalpingografi normal

2) Histeroskopi

Pemeriksaan ini dilakukan dengan meneropong kavum uteri yang

sebelumnya telah digelembungkan dengan media dekstran 32%, glukosa 5%,

garam fisiologik, atau gas CO2. Dalam infertilitas, pemeriksaan histeroskopi

dilakukan apabila jika:

 Kelainan pada pemeriksaan HSG

 Riwayat abortus habitualis

 Dugaan adanya mioma atu polip submukosa

 Perdarahan abnormal dari uterus

 Sebelum dilakukan bedah plastik tuba, untuk menempatkan kateter

 splint pada bagian proksimal tuba.4

Gambar 2.3 Histeroskopi

Pemeriksaan ini tidak dianjurkan apabila diduga terdapat infeksi akut rongga

panggul, kehamilan, atau perdarahan banyak dari uterus. Melalui histereskopi

11
ini dapat dilanjutkan dengan pembedahan ringan, seperti melepaskan

perlekatan, mengangkat polip dan mioma submukosa.4

d) Penilaian lendir serviks pasca senggama

Waktu ovulasi dapat diprediksi menggunakan pemeriksaan lendir serviks

secara gross dan mikroskopik. Ada dua parameter yang digunakan yaitu Tes

Fern dan Tes Spinnbarkeit:

1) Tes Fern

Pelaksanaan Tes Fern dilakukan dengan cara mengoles sampel lendir

pada kaca gelas lalu dikeringkan dengan cara melewatkan di atas lampu

spiritus. Kemudian diamati dengan mikroskop perbesaran 10x10 dan

ditentukan nilai ferningnya berdasarkan pedoman penilaian ferning lendir

serviks menurut WHO. Tampak gambaran daun pakis (fern-like pattern),

bentuk daun pakis akan lebih jelas apabila diambil sampel lendir pada

waktu yang mendekati ovulasi.9

Gambar 2.4 Lendir serviks yang memberi reaksi Fern positif membentuk

gambaran daun pakis (foto sebelah kiri) dan lendir serviks yang reaksi Fern

negatif (foto sebelah kanan).

2) Tes Spinnbarkeit

12
Tes Spinnbarkeit mengevaluasi elastisitas lendir serviks yang meningkat

seiring dengan peningkatan kadar estrogen.Satu tetes sampel lendir yang

diambil pada waktu mendekati ovulasi diletakkan di antara dua kaca gelas

(atau di antara dua jari). Apabila kedua kaca gelas ini dijauhkan, lendir

serviks membenang, bila direntang bisa mencapai 8 -12 sentimeter dan tidak

terpisah.10

Gambar 2.5 Interpretasi dari Tes Spinnbarkeit.

Pemberian obat untuk meningkaktkan induksi ovulasi bagi gangguan fertilitas

seperti chlomiphene, dapat mempengaruhi karakteristik lendir serviks.

e) Uji Pasca Senggama

Infertilitas karena faktor serviks disebabkan oleh abnormalitas dalam

produksi lendir serviks atau abnormalitas dalam interaksi antara spermatozoa

dan lendir serviks. Evaluasi infertilitas rutin termasuk uji pasca senggama

dilakukan untuk menilai interaksi antara sperma dan lendir serviks.11

13
Uji pasca senggama dilakukan 2 atau 3 hari sebelum perkiraan masa

subur. Pasangan diminta untuk melakukan senggama 2 sampai 12 jam

sebelum uji dijalankan. Pasangan (wanita) kemudiannya datang ke dokter, di

mana sejumlah kecil lendir serviks diperoleh. Lendir serviks tadi dioles pada

kaca gelas, dilakukan Tes Spinnbarkheit (elastisitas) dan Tes Fern, dan

diperiksa dengan mikroskop untuk mencari jumlah motilitas sperma per

lapangan pandang.11

Spekulum digunakan untuk membuka serviks. Satu jarum suntik sekali

pakai (dispo 1 cc) digunakan untuk mengumpul lendir endoserviks. Lendir

tersebut kemudiannya dioles pada gelas kaca dan diperiksa di mikroskop

dengan daya rendah (x 100) dan lensa daya tinggi (x 400). Lendir dianggap

dalam kondisi baik jika banyak (> 0,3 ml), sangat ductile (> 10 cm) dan

sebagian besar dapat dilihat dengan mata telanjang.11

Hasil uji pasca senggama diklasifikasikan sebagai normal atau

abnormal tergantung pada apakah spermatozoa yang maju kedepan ada atau

tidak ada per lapang pandang (daya tinggi). Jika jumlah lendir tidak adekuat,

tes diulang. Hasil yang awalnya abnormal diabaikan jika setelahnya

didapatkan hasil normal.11

2.6.3 Pemeriksaan Infertilitas pada Pria

1) Anamnesis

Hal yang perlu diperhatikan pada pria adalah:

 Riwayat penyakit yang bisa berpengaruh buruk terhadap fertilitas, seperti

diabetes mellitus, kelainan neurologis yang dapat mengakibatkan

14
gangguan ereksi dan ejakulasi, tuberkulosis, parotitis bersamaan dengan

orkitis dapat menyebabkan kerusakan testis, kecanduan alkohol.

 Riwayat suhu tinggi > 38°C dapat menekan spermatogenesis sampai

masa 6 bulan.

 Riwayat pembedahan seperti hernia, hidrokelektomi, vasektomi, dan

prostatektomi dapat mempengaruhi fertilitas pria, abik akibat kerusakan

sistem saraf, kerusakan atau obstruksi saluran reproduksi, maupun

gangguan imunologi (antibodi antisperma).

 Infeksi traktus urinarius dengan gejala disuria, ”urethraldischarge”,

pyuria, hematuria, frekuensi berkemih meningkat.

 Penyakit menular seksual (PMS) seperti sifilis, GO, klamidia perlu

ditanyakan.

 Beberapa patologi yang dapat menyebabkan kerusakan testis seperti

MUMPS / parotitis dengan orkitis pada masa pubertas, cedera testis, torsi

testsis, varikokel, undescencus testiculorum.

 Fungsi seksual dan ejakulasi.

 Faktor lingkungan dan kejadian tertentu diduga mempengaruhi

spermatogenesis normal, misal lingkungan yang sangat panas, polusi

logam berat (cadmium, Hg, polusi pestisida, herbisida).

2) Pemeriksaan fisik

a. Payudara: jika terlihat membesar atau ginekomastia, mungkin ada

peningkatan kadar hormon estrogen pada pria.

b. Penis: perlu diperhatikan letak uretra yang dapat terkait dengan

abnormalitas seperti hipospadia.

15
c. Skrotum: harus diraba untuk menilai kemungkinan skrotum terisi banyak

cairan, terdapat hernia skrotalis atau terdapat varikokel. Jumlah testis,

volume testis dan turunnya testis ke dalam skrotum juga perlu

diperhatikan.

3) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan dasar yang wajib dikerjakan pada pasangan suami istri dengan

masalah infertilitas adalah pemeriksaan analisis sperma. Sebelum dilakukan

analisis sperma, dilakukan tahap pra analisis yang dapat mempengaruhi hasil

analisis sperma, yaitu sebagai berikut:

 Sediaan diambil setelah abstinensia sedikitnya 48 jam dan tidak lebih

dari 7 hari

 Oleh karena variasi yang besar dalam produksi semen dapat terjadi pada

seseorang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan dua sediaan. Waktu antara

kedua pemeriksaan tersebut tidak boleh kurang dari 7 hari atau kurang

dari 3 bulan

 Sebaiknya sediaan dikeluarkan dalam kamar yang tenang dekat

laboratorium. Jika tidak, maka sediaan harus diantar ke laboratorium

dalam waktu satu jam setelah dikeluarkan dan jika motilitas sperma

sangat rendah (< 25% bergerak maju terus), sediaan kedua harus

diperiksa secepatnya.

 Sediaan sebaiknya diperoleh dengan cara masturbasi dan ditampung

dalam botol kaca atau plastik bermulut lebar.

 Gunakan kondom dengan bahan plastik khusus (Mylex) atau penyimpan

cairan khusus (HDC corporation, Mountian view, calif). Kondom biasa

16
sebaiknya tidak digunakan untuk menampung semen karena mengandung

spermatisid.

 Coitus interuptus tidak dapat dipakai untuk mendapatkan siapan karena

ada kemungkinan bagian pertama ejakulat yang mengandung sperma

paling banyak akan hilang. Selain itu juga akan terjadi kontaminasi

seluler dan bakteri pada siapan serta dapat terjadi pula pengaruh kurang

baik terhadap motilitas sperma sebagai akibat PH cairan vagina yang

asam.

 Siapan yang tidak lengkap sebaiknya tidak diperiksa, terutama jika

bagian pertama ejakulat hilang.

 Siapan harus dilindungi terhadap suhu yang ekstrim selama

pengangkutan ke laboratorium (suhu antara 20-400 C)

 Botol harus diberi label dengan nama penderita, tanggal pengumpulan,

dan lamanya abstinensia

Analisis sperma meliputi pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis:

a. Pemeriksaan Makroskopis

1) Warna

Warna normal adalah putih/agak keruh. Kadang-kadang ditemukan juga

warna kekuningan atau merah. Warna kekuningan mungkin disebabkan

karena radang saluran kencing atau abstinensia terlalu lama. Warna

merah biasanya oleh karena tercemar sel eritrosit ( hemospermi).1

2) Volume

Cairan semen yang ditampung diukur dan diukur dengan gelas ukur, dan

dikatakan normospermi bila volumeya normal, yaitu 2-6 ml, dengan

17
harga rata-rata 2-3,5 ml. Aspermi bila tidak keluar sperma pada waktu

ejakulasi. Hiperspermi bila volume lebih dari 6 ml. Hipospermi bila

volume kurang dari 1 ml, hal ini dapat disebabkan oleh:

 Tercecer pada waktu memasukkan semen ke dalam botol

 Keadaan patologis, antara lain penyumbatan kedua duktus

ejakulatorius dan kelainan kongenital misalnya agenesis vesikula

seminalis. Hiperspermi biasanya diikuti oleh konsentrasi sperma

yang rendah dan hiperseprmi dapat disebabkan oleh abstinensia yang

lama dan produksi kelenjar asesoris yang berlebihan.1

3) Bau

Spermatozoa mempunyai bau khas yang mungkin disebabkan oleh proses

oksidasi dari spermia yang diproduksi oleh prostat. Semen dapat berbau

busuk atau amis bila terjadi infeksi.1

4) PH

Cara untuk mengetahui keasaman semen digunakan kertas PH atau lakmus,

biasanya sifatnya sedikit alkalis. Semen yang terlalu lama akan berubah

PHnya. Pada infeksi akut kelenjar prostat, Phnya berubah menjadi di atas 8

atau menjadi 7,2 misalnya pada infeksi kronis organ-organ tadi.1

5) Viskositas

Viskositas semen diukur setelah mengalami likuefaksi betul (15-20 menit

setelah ejakulasi). Pengukuran dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:

 Dengan pipet pastur: Semen diisap ke dalam pipet tersebut, pada waktu

pipet diangkat maka akan tertinggal semen berbentuk benang pada ujung

pipet. Panjang benang diukur, normal panjangnya 3-5 cm.

18
 Menggunakan pipet yang sudah mengalami standarisasi (Elliaon). Pipet

dalam posisi tegak, lalu diukur waktu yang diperlukan setetes semen

untuk lepas dari ujung pipet tadi. Angka normal adalah 1-2 detik.1

6) Likuefaksi

Semen normal pada suhu ruangan akan mengalami likuefaksi dalam waktu 60

menit. Pada beberapa kasus, likuefaksi lengkap tidak terjadi dalam 60 menit.

Hal ini tidak memiliki makna secara klinis. Bila ditemukan akan sangat

mengganggu dalam analisis semen, sehingga perlu dibantu dengan

pencampuran enzimatis.1

b. Pemeriksaan mikroskopis

Pemeriksaan mikroskopis meliputi:

1) Jumlah spermatozoa per ml

Konsentrasi sperma ialah jumlah spermatozoa per ml sperma. Jumlah

spermatozoa total ialah jumlah seluruh spermatozoa dalam ejakulat.

Berikut ini adalah klasifikasinya:

 Normal: jumlah spermatozoa di atas 60 juta/ml

 Subfertil: 20-60 juta /ml

 Steril: 20 juta atau kurang/ml

 Namun, WHO menganggap jumlah sperma 20 juta/ml atau lebih

masih dianggap normal.1

2) Jumlah spermatozoa motil per ml/persentase spermatozoa motil

Motilitas sperma dipengaruhi oleh adanya perubahan PH, infeksi,

morfologi, pematangan, dan gangguan hormonal. Namun, secara garis

besar WHO dan beberapa ahli berpendapat motilitas dianggap normal

19
bila 50% atau lebih bergerak maju atau 25% atau lebih bergerak maju

dengan cepat dalam waktu 60 menit setelah ditampung.1

Motilitas sperma juga dapat dilihat dari gerakan maju spermatozoa

dengan ketentuan sebagai berikut:

 Grade 0 (none) bila tidak ada spermatozoa yang bergerak

 Grade 1 (poor) bila terlihat gerakan maju spermatozoa yang lemah

 Grade 2 (good) bila terlihat gerak maju yang cukup baik dari

spermatozoa, termasuk yang bergerak zig zag dan berputar-putar

 Grade 3 (excellent) bila ada gerakan maju dari spermatozoa yang

seperti roket.1

3) Kecepatan

Semen yang tidak diencerkan diteteskan ke dalam titik hitung,

tentukan waktu yang dibutuhkan satu spermatozoa untuk menempuh

jarak 1/20 mm, pada keadaan normal dibutuhkan 1-1,4 detik, ini disebut

normokinetik.1

4) Morfologi

Morfologi spermatozoa yang normal ditentukan oleh bentuk

kepala, leher, tanpa adanya sitoplasmik “droplets” dan bentuk ekor.

Semen yang normal mengandung setidaknya 48%-50% spermatozoa

normal.1

5) Komponen seluler lain dari semen (leukosit dan eritrosit)

Leukosit sangat sering dijumpai dalam spesimen semen, sebagian

besar adalah neutrofil. Jumlah leukosit yang tinggi ( lebih dari 10 6/ml)

20
pria, menandakan leukospermia. Leukospermia bisa disebabkan oleh

infeksi pada sistem duktus ekskretorius pria, terutama di kelenjar

asesorius, yang harus diselidiki dengan anamnesis, pemeriksaan klinis,

dan analisis bakteriologis semen dan cairan prostat setelah tindakan

masase prostat dan USG. Pada cairan prostat yang didapat dengan

masase prostat, jumlah leukosit tak sampai melebihi 15 per LP dengan

pembesaran tinggi (LBP). Jumlah sel 15-40/LBP disebut zona perbatasan

dan bila jumlahnya lebih dari 40 maka kemungkinan besar terdapat

inflamasi prostat.1

Jenis sel bulat lain yang kadang ditemukan adalah sel-sel imatur

dari segi spermatogenesis dan sel epitel dari uretra dan vesica urinaria,

sedangkan untuk eritrosit dalam keadaan normal tidak ditemukan pada

pemeriksaan semen.

Sebagai patokan nilai normal hasil pengamatan sperma di atas, WHO telah

mendapatkan nilai normal hasil pemeriksaan. Di bawah ini terdaftar kriteria

semen normal yang umum dipakai menurut WHO.1

Tabel 2.1 Kriteria Semen Normal

Kriteria Jumlah

Volume 2 ml atau lebih

PH 7,2-7,8

Jumlah sperma/ml 20 juta sperma/ml atau lebih

Jumlah sperma 40 juta sperma/ejakulat atau lebih

total/ejakulat

Motilitas 50% atau lebih bergerak maju atau 25% lebih

21
bergerak maju dengan cepat dalam waktu 60

menit setelah ditampung

Morfologi 50% atau lebih bermorfologi normal

Viabilitas 50% atau lebih hidup, yaitu tidak terwarna

dengan pewarnaan supravital

Sel leukosit Kurang dari 1 juta/ml

Seng (total) 2,4 mikromol atau lebih setiap ejakulat

Asam sitrat (total) 52 mikromol (10 mg) atau lebih setiap

ejakulat

Fruktosa (total) 13 mikromol atau lebih setiap ejakulat

Uji MAR Perlekatan pada kurang dari 10% sperma

Uji butir imun Perlekatan butir imun pada kurang dari 10%

sperma

Klasifikasi analisis semen :

Di Indonesia, penggolongan tingkat fertilitas pria menganut kriteria Farris

berdasarkan jumlah spermatozoa motil per ejakulat adalah sebagai berikut:

a. Golongan sangat fertil: lebih dari 185x106 spermatozoa per ejakulat

b. Golongan relatif fertil: 80x106-185x106 spermatozoa motil per ejakulat

c. Golongan subfertil: 1-80x106 spermatozoa motil per ejakulat.1

Tabel 2.2 Nomenklatur Variabel Semen

22
Nomenklatur Jumlah Spermatozo Morfologi

spermatozo a motil (%) spermatozo

a a normal

Normozoospermia =20 juta =50 =50

Oligozoospermia < 20 juta =50 =50

Ekstrim Oligozoospermia < 5 juta = 50 = 50

Astenozoozpermia = 20 juta < 50 = 50

Teratozoospermia = 20 juta = 50 < 50

Oligoastenozoospermia < 20 juta < 50 = 50

Oligoastenoteratozoospermi < 20 juta < 50 = 50

Oligoteratozoospermia = 20 juta = 50 < 50

Astenoteratozoospermia = 20 juta < 50 < 50

Polizoospermia >250 juta = 50 = 50

Azoospermia - -

Nekrozoospermia Tak viabel

Aspermia Tak ada

spermatozoa

2.7. Sistem Rujukan

Dalam melakukan tatalaksana terhadap pasangan suami-istri dengan

masalah infertilitas, diperlukan sistem rujukan yang baik untuk menghindari

keterlibatan dalam menegakkan diagnosis atau tatalaksana yang terkait dengan

keterbatasan yang dimiliki oleh pusat layanan kesehatan primer.5

23
Terdapat indikator tertentu yang digunakan sebagai batasan untuk

melakukan rujukan dari pusat layanan kesehatan primer ke pusat layanan

kesehatan di atasnya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-

masing pusat layanan kesehatan.5

Dengan mengetahui indikator ini, pasutri dengan kriteria tertentu akan

langsung dirujuk ke pusat layanan kesehatan yang lebih tinggi tanpa dilakukan

tatalaksana sebelumnya di pusat layanan kesehatan primer.

Tabel 2.3 Indikator rujukan ke pusat layanan infertilitas sekunder dan tersier

Terkait dengan pelayanan kesehatan primer seperti puskesmas atau klinik

dokter swasta, maka pemeriksaan infertilitas adasar yang bisa dilakukan pada

pusat pelayanan kesehatan primer dapat dilihat pada tabel :

Tabel 2.4 Pemeriksaan infertilitas dasar di pusat pelayanan kesehatan primer

24
Pemeriksaan pelengkap yang dapat dilakukan pada pusat layanan

kesehatan primer dengan menggunakan fasilitas kesehatan sekunder atau tersier

adalah pemeriksaan pelengkap untuk menilai kondisi potensi kedua tuba Fallopii

yang dikenal sebagai histerosalphingografi (HSG). Pemeriksaan HSG merupakan

pemeriksaan radiologis dengan menggunakan sinar-X dan zat kontras yang pada

umumnya dilakukan oleh dokter spesialis radiologi.5

2.8 Tatalaksana Infertilitas

2.8.1 Terapi pada wanita

Induksi ovulasi adalah pemberian berbagai jenis obat untuk mempengaruhi

keadaan hormonal sehingga dapat menyebabkan keadaan hiperstimulasi ovarium

yang terkontrol untuk memacu kesinambungan perkembangan folikel dari

sekumpulan folikel primordial sehingga bisa mencapai ovulasi.8

Macam obat induksi ovulasi adalah:

a. Obat yang dapat meningkatkan FSH endogen.

Macamnya yaitu CC (Clomiphen citrate) dan Aromatase inhibitor, sebagai

berikut:

25
 CC merupakan turunan dari triphenylethylene golongan nonsteroid

dengan efek agonis dan antagonis estrogen.CC diberikan secara oral

dimulai pada hari ke-3 siklus haid selama 5 hari. Dosis dimulai dengan

pemberian awal 50 mg per hari selama 5 hari dan dapat ditingkatkan 50

mg setiap siklus sampai tercapai ovulasi. Dosis maksimal 150–200 mg,

Monitoring setelah pemberian adalah suhu basal badan dan kadar LH

urin. Kadar lonjakan LH biasanya terjadi setelah 5–12 hari setelah

pemberian terapi terakhir. Dengan pemeriksaan USG transvaginal secara

serial dapat diukur jumlah dan besar folikel, sehingga dapat diperkirakan

apakah terjadi ovulasi.8

 Aromatase adalah anggota keluarga besar kompleks enzym yang

mengandung hemoprotein cytochrom P450. Ia mempercepat proses akhir

pembentukan estrogen (E), yaitu proses hidroksilasi androstenedion (A)

menjadi estron dan testosteron (T) menjadi estradiol. Salah satu obat dari

aromatase inhibitor yang sering digunakan adalah letrozole. Dosis

pemberian adalah 2,5 mg perhari mulai hari ke-3 siklus haid selama 5

hari.8

b. Hormon GnRH yang menyebabkan perangsangan sentral untuk sekresi FSH

dan LH dari pituitari.

c. Hormon FSH dan LH eksogen yang merangsang ovarium secara langsung

Indikasi lain pemberian obat induksi ovulasi adalah infertilitas yang tak

terjelaskan (unexplained infertility). Hal ini merupakan terapi empirik, dan bila

tidak berhasil dilanjutkan dengan inseminasi atau invitro fertilisation (IVF).8

26
Pada keadaan dengan gangguan tuba, tindakan bedah mikro atau

laparoskopi pada kasus infertilitas tuba derajat ringan dapat dipertimbangkan

sebagai pilihan penanganan. Pada keadaan dengan gangguan endometriosis, terapi

medisinalis endometriosis terbukti dapat mengurangi rasa nyeri namun belum ada

data yang menyebutkan bahwa pengobatan dapat meningkatkan fertilitas.

Beberapa penelitian acak melaporkan bahwa penggunaan progestin dan agonis

GnRH tidak dapat meningkatkan fertilitas pasien endometriosis derajat ringan

sampai sedang.8

Tabel 2.5 Pilihan terapi sesuai dengan diagnosa utama infertilitas

Kelompok diagnostik Pilihan terapi

Gangguan ovulasi Klomifen sitrat (6 siklus)

Gonadotropin (3 siklus)

Metformin-klomifen (3 siklus)

Laparoscopic ovarian diathermy

In vitro fertilization (3 siklus)

Gangguan tuba Tubal surgery

In vitro fertilization (3 siklus)

Endometriosis Laparoscopic ablations for stages I &

II

Operasi untuk stadium III & IV

Klomifen sitrat dan IUI (6 siklus)

Gonadotropin dan IUI (3 siklus)

Faktor Suami In vitro fertilization (3 siklus)

IUI (6 siklus)

27
Unexplained infertility In vitro fertilizationandICSI (3 siklus)

Klomifen sitrat dan IUI (6 siklus)

Gonadotropin dan IUI (3 siklus)

In vitro fertilization (3 siklus)

2.8.2 Terapi pada pria

Terapi infertilitas pada pria dapat didasarkan berdasarkan analisis semen

rutin dan berdasarkan etiologi kausatif.

1) Kelainan volume semen

a) Hipospermia

Volume semen disebut hiposperma jika kurang dari 1,5 ml, yang

disebabkan antara lain karena Stres, Retrograde ejaculation, dan

frekuensi senggama.Untuk stres maka pengobatan diarahkan untuk

menghilangkan stres ; retrograde ejaculation dapat diberi terapi obat atau

terapi khusus berupa pencucian sperma dari urine. Untuk endokrinopati

dapat diberikan testosteron, sedangkan bila koitus terlalu sering, dapat

dikurangi frekuensinya. Jika tidak jelas penyebabnya dapat dilakukan

AIH.1

b) Hiperspermia

Hiperspermia adalah jika volume semen lebih dari 6 ml. Penyebabnya

dapat berupa abstinensia seksualis yang terlalu lama dan hipersekresi

vesika seminalis. Hiperspermia dengan spermiogram normal tidak

memerlukan pengobatan spesifik, cukup dengan menganjurkan

peningkatan frekuensi senggama, tetapi jika disertai dengan spermiogram

28
abnormal dapat dilakukan terapi dengan split ejaculate atau withdrawal

coitus atau dengan treated sperm invitro.1

2) Kelainan jumlah spermatozoa

a) Polizoospermia

Pada polizoospermia, jumlah spermatozoa lebih dari 250 juta/ml. Terapi

dapat dengan anjuran meningkatkan frekuensi koitus atau AIH dengan

treated spermatozoa dengan jalan pengenceran, swim up, sperm washing

atau filtrasi.1

b) Oligozoospermia

Sampai saat ini masih disepakati bahwa jumlah spermatozoa kurang dari

20 juta/ml disebut oligozoospermia dan jika kurang dari 5 juta/ml disebut

olgozoospermia berat. Terapi medikamentosa yaitu :

 Klomifen sitrat dengan dosis 1 x 50 mg selama 90 hari atau 1 x 50

mg 3 x 25 hari dengan interval antara terapi 5 hari.

 Tamoxifen, dapat diberikan dengan dosis 2 x 1 tablet selama 60 hari.

 Kombinasi HMG dan hCG; HMG (Pergonal®) diberikan dengan

dosis 150 IU 3 x/minggu dan hCG (Profasi®) dengan dosis 2000 IU

2 x/minggu selama 12-16 minggu.

 Kombinasi FSH (Metrodin®) dan hCG; dosisFSH 75IU 3 x/minggu

dan dosis hCG 2000 IU 2 x/minggu selama 12-16 minggu. Selain

medikamentosa, terapi dapat dilakukan dengan AIH(IBS) dengan

atau tanpa treated sperm.1

3) Abnormalitas kualitas spermatozoa

29
Kualitas spermatozoa abnormal jika motilitas baik dan cukup, tetapi

morfologi normal kurang dari 50%. Terapi gangguan kualitas ini dapat

berupa medikamentosa, yaitu :

 ATP

 Androgen dosis rendah

 Phosph6lipid esensial

 Antibiotika

 Vitamin E + Vit B

 Pentoksifilin

Atau dilakukan AIH (IBS) dengan atau tanpa sperm treated yang dapat

berupa sperm washing dan sperm swim up. Jika masih belum memberikan

hasil yang diharapkan dapat dilanjutkan dengan terapi hormonal berupa

kombinasi FSH dengan dosis 75 IU 3 x/minggu ditambah hCG 2000 IU 2 x/

minggu selama 12-16 minggu. Pengobatan ini dapat diteruskan sampai 4

tahun.1

2.8.3 Teknologi Khusus dalam Penanganan Infertilitas

1) Inseminasi Buatan

Inseminasi buatan adalah peletakan sperma ke vagina wanita. Sperma

tersebut diletakkan di follicle ovarian (intrafollicular insemination), uterus

(intrauterine insemination-IUI), cervix (intracervical insemination-ICI), atau

tube fallopian (intratubal) wanita dengan menggunakan cara buatan dan

bukan dengan kopulasi alami.1

30
Dilihat dari asal sperma yang digunakan, inseminasi buatan dapat

dibagi dua, yaitu:

a. Inseminasi buatan dengan sperma sendiri (sperma suami) atau AIH

(artificial insemination husband)

b. Inseminasi buatan dengan donor sperma (bukan sperma suami) atau

AID (artificial insemination donor)

Dilihat dari tempat peletakkan sperma, inseminasi buatan yang paling

sering digunakan adalah:

a. ICI (Intracervical Insemination)

Intracervical insemination (ICI) merupakan jenis inseminasi buatan

yang paling sering digunakan terutama pada AID. Prosedur penggunaan

ICI relatif cepat dan tidak menyakitkan. Sperma yang berasal dari donor

langsung dimasukkan ke dalam serviks sehingga memungkinkan

sperma berjalan menuju uterus dan tuba falopii, dimana akan terjadi

pembuahan.1

b. IUI (Intrauterine Insemination)

Intrauterine insemination (IUI) merupakan jenis inseminasi buatan

yang paling sering digunakan pada AIH. Sperma suami langsung

dimasukan ke dalam tuba falopii, sehingga bila sperma tersebut bertemu

dengan ovum, kemungkinan akan terjadi fertilisasinya sangat tinggi.

Prosedur IUI sangat efektif digunakan oleh pasangan infertil yang tidak

mengenal jelas penyebab dari masalah infertil tersebut, misalnya pada

pria yang mengalami defisiensi sperma atau pada wanita yang

mempunyai masalah pada produksi mukus serviks.1

31
2) ART ( Assisted Reproductive Technologies)

ART merupakan teknologi reproduksi yang digunakan untuk

mendapatkan kehamilan di luar cara alamiah yang digunakan dalam

infertilitas. Macam-macam ART adalah sebagai berikut :

a. FIVET (Fertilisasi in vitro embrio transfer) / IVF (In Vitro Fertilization)

Proses fertilisasi ini dilakukan dengan cara mengambil ovum dari

ovarium dengan cara laparoscopy, kemudian sperma diinseminasikan

ke dalam media biak. Setelah terjadi pembuahan pada masa embrio

stadium 2-4 sel, lalu di transfer ke dalam rahim. Dalam hal ini peranan

tuba tidak diperlukan, indikasi FIVET adalah untuk pasien yang

mengalami kerusakan pada saluran telur.

b. GIFT (Gamet intra fallopian transfer)

Proses fertilisasi ini dilakukan dengan cara mengambil ovum dari

ovarium dengan cara laparoscopy, kemudian bersama spermayang telah

diolah (washed sperm) dimasukkan kedalam tuba pada saat itu juga.

Dalam kondisi ini salah satu tuba pasien harus dalam keadaan normal. Indikasi

GIFT ini adalah untuk pasien yang mengalami endometriosis dan

unexplained infertility.

c. ZIFT (Zygote intra fallopian transfer)

Proses fertilisasi dengan cara mengambil ovum dari ovarium dengan

cara laparoscopy, kemudian sperma diinseminasikan kedalam media

biak. Setelah terjadi fertilisasi pada fase zygote, hasilpembuahan ini

dimasukkan kedalam tuba dengan cara laparoscopy. Proses ini hampir

sama dengan FIVET, hanya perbedaannya jika pada FIVET hasil

32
pembuahannya pada masa embrio lalu di transferkan ke dalam rahim

tetapi pada ZIFT hasil pembuahan sebelum di transferkannya dalam

bentuk zygote dan di transferkan ke dalam tuba. Indikasi ZIFT ini

adalah untuk pasien yang mengalami oligozoospermia.1

2.9 Prognosis Infertilitas

Prognosis infertilitas tergantung kepada umur suami, umur istri, dan

lamanya dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan (frekuensi senggama dan

lamanya perkawinan). Fertilitas maksimal wanita dicapai pada usia 24 tahun,

kemudian menurun perlahan-lahan sampai usia 30 tahun, dan setelah itu menurun

dengan cepat. Sedangkan fertilitas maksmial pria dicapai pada umr 24-25 tahun.

Hampir pada setiap golongan umur pria kemungkinan terjadinya kehamilan dalam

waktu kurang dari 6 bulan berbanding lurus dengan meningkatnya frekuensi

senggama.11

Pengelolaan mutakhir terhadap pasangan infertil dapat membawa

kehamilan kepada lebih dari 50% pasangan, walaupun masih selalu ada 10-20%

pasangan yang idiopatik dan sulit untuk ditatalaksana. Separuhnya lagi terpaksa

harus hidup tanpa anak, atau memperoleh anak dengan jalan lain, umpamanya

dengan inseminasi buatan donor, atau mengangkat anak (adopsi).11

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Hestiantoro, Andon. 2009. Tatalaksana Pemeriksaan Dalam Infertilitas.


Jurnal Cermin Dunia Kedokteran 170/ vol.36. No 41.Juli-Agustus 2009.
2. Bansal, K. 2004. Practical Approach to Infertility Management. New
Delhi: Jaypee Brothers. Pp. 1-37
3. Kamath M, Bhattcharya S. 2012. Best Practice & Research Clinical
Obstetrics and Gynaecology.
4. Wiknjosastro, Hanifa; Saifuddin, A. Bari dan Trijatmo Rachimhadhi.
2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
5. Anwar, Mochamad. R, Ali Baziad. Prabowo, Prajitno. Ilmu Kandungan.
Ed.3. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2011.
6. Balen A, Jacobs H. Infertility in Practice. Leeds and UK: Elsevier Science;
2003.
7. Speroff L, Fritz MA. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility.
United Kingdom: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 425-431.
8. RCOG. Fertility: assessment and treatment for people with fertility
problems. 2004.
9. Mardiati SM. Perbandingan Kadar Garam Natrium dan Kalium pada Tes
Ferning Lendir Mulut. Jurnal Sains dan Matematika 2007; 15(1); ISSN
0854-0675: p.5-7.
10. U.S Congress Office of Technology Assessment. Infertility: Medical and
Social Choices. Washington D.C: U.S. Government Printing Office; 1998.
p.104.
11. Makar RS, Toth TL. The Evaluation of Infertility. Am J Clin Pathol 2002;
117 (Suppl1): S95-S103.

34

Anda mungkin juga menyukai