Anda di halaman 1dari 11

Inkontinensia Alvi ec Ruptur Perineum Terinfeksi pada

Postpartum
Tri Angela Anggrayani 102013404
Kelompok D2
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510
taa795@yahoo.com
Abstrak
Ruptur perineum adalah robekan yang terjadi pada perineum, sering terjadi pada ibu yang
melahirkan secara spontan, dikarenakan anak yang dilahirkan terlalu besar, kepala bayi keluar
terlalu cepat, dan lain-lain. Ruptur ini dibagi menjadi beberapa derajat sesuai dengan luasnya
sobekan yang terjadi, dan dapat ditangani dengan dilakukan penjahitan dengan ,menggunakan
cara dan teknik tertentu. Robekan ini dapat menyebabkan komplikasi-komplikasi seperti;
inkontinensia feses (alvi), nyeri pada bawah pelvis, infeksi, maupun fistula. Untuk mencegah
terjadinya ruptur perineum dapat dilakukan episiotomi pada ibu lahir pervaginam, maupun
dilakukan seksio sesaria. Dapat juga dilakukan pencegahan pada infeksi dengan cara
membersihkan organ genital dengan air hangat. Dan diberikan antibiotik sebagai profilaksis
terhadap infeksi. Pada ruptur perineum dapat sembuh secara total tanpa adanya gejala sisa jika
dilakukan penanganan dan pencegahan dengan baik.
Kata kunci: Pengertian ruptur perineum, Derajat dan penanganan ruptur perineum
Abstract
Rupture of the perineum is a tear that occurs in the perineum, often occurs in women who
give birth spontaneously, because the children that born is too big, the baby's head out too
quickly, and others. Rupture is divided into several degrees in accordance with the extent of
the tear occurs, and can be dealt with by the sewing done, by using specific methods and
techniques. A tear can cause complications such as; fecal incontinence (alvi incontinence),
pain in the lower pelvis, infection, and fistula. To prevent rupture of the perineum are do an
episiotomy in vaginal birth mother, nor do cesarean section. Prevention of infection by keep
the genital area clean, wash with warm water. And given antibiotics as prophylaxis against
infection. At rupture perineum can be completely healed without sequelae if done with good
management and prevention.
Keywords: Understanding rupture perineum, Degrees and handling ruptured perineum

Pendahuluan
Robekan pada jalan lahir merupakan salah satu penyebab utama pendarahan pasca
persalinan. Pada perdarahan pasca persalinan yang tidak mendapat penanganan yang baik bisa
menyebabkan kematian. Robekan pada jalan lahir bisa bervariasi bergantung dari penyebab
terjadinya trauma pada daerah jalan lahir, bisa pada daerah perineum, vagina dan serviks.
Trauma juga bisa terjadi akibat tindakan selama persalinan seperti tindakan episiotomi.1
Ruptur perineum terjadi karena adanya ruptur secara spontan maupun tindakan
episiotomi yang dilakukan untuk menolong persalinan. Apabila episiotomi tidak dilakukan
atas indikasi yang tepat, maka akan menyebabkan peningkatan angka kejadian dan derajat
kerusakan pada daerah perineum. Dan akan menyebabkan banyak komplikasi lainnya.1,2
Anamnesis
Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas (mencakup nama, alamat, pekerjaan,
status perkawinan), keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu,
riwayat obat-obatan, riwayat menstruasi, riwayat pernikahan, riwayat penyakit dalam
keluarga, kondisi lingkungan sosial, riwayat menyusui anak, riwayat alat kontrasepsi.
Meninjau ulang data catatan intrapartum dan antepartum; jumlah jam atau hari postpartum,
catatan pengawasan dan perkembangan sebelumnya, catatan tanda-tanda vital postpartum,
hasil laboratorium, dan pengobatan. Menanyakan masalah aktivitas sehari-hari, berkemih,
defekasi, nafsu makan. Dan cara membersihkan organ genital.3,4
Didapati pasien seorang ibu 32 tahun, ibu rumahtangga. Keluhan utama yang didapat
adalah sulit menahan BAB sejak 1 hari yang lalu. Diketahui pasien 3 hari yang lalu pasca
melahirkan anak kedua secara spontan di bidan, dengan BBL 3800g. Riwayat penyakit
sekarang ada sobekan pada perineum bekas melahirkan dan telah dilakukan penjahitan oleh
bidan yang bertugas saat itu. Terasa nyeri, bengkak, suhu badan naik, lokhea merah kehitaman
tidak berbau. Pasien sedang memberikan ASI eksklusif, produksi ASI lancar. Tidak sedang
menggunakan alat kontrasepsi.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang akan dilakukan adalah inspeksi dari keadaan umum dan
kesadaran, dan melihat pada mata konjungtiva dan sklera, tanda-tanda vital. Kemudian
dilakukan pemeriksaan ginekologi yang dimulai dari pemeriksaan inspeksi bagian perut,
vulva, dan vagina. Kemudian memeriksa bagian dalam vagina (vagina touch) dan anus
2

(rectal touch). Dilakukan juga pemeriksaan obstetrik pada serviks dilihat dengan
menggunakan spekulum yang dilumasi dengan air hangat, dilakukan juga pap smear untuk
mengkultur cairan sekret vagina jika dicurigai adanya infeksi bakteri. Dilakukan juga palpasi
serviks dengan jari dengan perhatian khusus ditujukan kepada konsistensi, panjang, dan
semua anomali di vagina dan perineum, termasuk sistokel, rektokel, dan relaksasi atau
robekan perineum.2
Didapati hasil keadaan umum tampak sakit sedang, kompos mentis, tekanan darah
120/80mmHg, HR 88x/menit, RR 18x/menit, suhu 37,5 0C. abdomen lemas, ekstremitas
hangat. Status obstetriknya fundus uteri jarak simfisis pubis, kontraksi baik, nyeri tekan
negatif. Inspeksi genitalia tampak luka perineum terbuka dengan dasar jaringan putih
mengkilat, kulit perineum tampak hiperemi dan terdapat pus, palpasi terdapat nyeri pada
tekanan ringan. Inspekulum tidak terdapat robekan pada vagina dan tidak ada hematom.
Degan vaginal touch bimanual, portio terbuka dengan tepi tidak rata, uterus teraba membesar
jarak pusat ampula ke simfisis pubis. Pada rectal touch, ampula tidak kolaps, mukosa licin
dan tidak teraba adanya defek, tidak ada tonus sfingter ani. Pemeriksaan pill rolling terdapat
defek pada sfingter ani eksterna dan interna.
Pemeriksaan Penunjang
Sebagai

pendukung

keakuratan,

diperlukan

pemeriksaan

penunjang

berupa;

pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan golongan darah, kultur pada pus, manometri atau
ultrasonografi endoanal.5 Hasil pemeriksaan yang didapatkan dari laboratorium Hb 12,8g/dL,
leukosit 21500/uL, Ht 37%, trombosit 180000/uL. Golongan darah O dan rhesus +.
Diagnosis Kerja
Diagnosis kerja adalah suatu kesimpulan berupa hipotesis tentang kemungkinan
penyakit yang ada pada pasien. Berdasarkan gejala-gejala yang terjadi dan anamnesis maupun
pemeriksaan fisik dan penunjang yang telah dilakukan didapatkan diagnosisnya adalah
inkontinensia alvi ec ruptur perineum derajat 3b terinfeksi pada P2, postpartum spontan 3 hari
yang lalu.
Anatomi Perineum
Perineum merupakan ruang berbentuk jajaran genjang yang terletak di bawah dasar
panggul, berada diantara vulva dan anus. Batas-batasnya adalah: superior berbatasan dengan
3

dasar panggul yang terdiri dari m. levator ani dan m.coccygeus, lateral dengan tulang dan
ligamentum yang membentuk pintu bawah pinggul (dari depan kebelakang angulus
subpubicus, ramus ischiopubicus, tuber ischiadicum, lig. Sacrotuberosum, os. Coccygis),
inferior berbatasan dengan kulit dan fascia. Daerah ini dibagi menjadi dua buah segitiga yaitu
trigonum urogenitale di sebelah depan dan trigonum anal di sebelah belakang. Keduanya
dipisahkan oleh sekat melintang yang dibentuk oleh m. transverses perinci dan basis
diaphragma urogenitale.6
Etiologi
Banyak wanita mengalami robekan perineum pada saat melahirkan anak pertama,
robekan bisa dikarenakan (1) penyebab maternal; partus presipitatus yang tidak dikendalikan
dan tidak ditolong, pasien tidak mampu berhenti mengejan, partus diselesaikan secara tergesagesa dengan dorongan fundus yang berlebihan, edema dan kerapuhan pada perineum,
viskositas vulva yang melemahkan jaringan perineum, arcus pubis sempit dengan pintu bawah
panggul yang sempit pula sehingga menekan kepala bayi ke arah posterior, peluasan
episiotomi; dan (2) faktor janin; bayi yang besar, posisi kepala yang abnormal (presentasi
muka dan occipitoposterior), kelahiran bokong, ekstraksi forceps yang sukar, distosia bahu,
anomali kongenital (hidrocephalus), riwayat robekan sfingter anal.5,6
Ada 3 mekanisme terjadinya kerusakan otot rektum sewaktu melahirkan; (1) cedera
mekanis langsung, kerusakan otot sfingter ani ekternum atau internus secara langsung dapat
terjadi, begitu pula dengan laserasi perineum derajat tiga atau empat yang jelas terlihat, atau
cedera tersembunyi yang baru teridentifikasi melalui scanning ultrasound pada anus. (2)
cedera neurologis, neuropati N. pudendus dapat disebabkan oleh pelahiran dibantu forseps
atau kompresi saraf persisten oleh kepala janin. (3) kombinasi trauma mekanis dan
neurologis, trauma pada neurologis lebih sering terjadi pada truma mekanis.5
Klasifikasi penyebab inkontinensia alvi; (1) sfingter dan dasar panggul yang normal,
bisa disebabkan oleh: impaksi feses, penyebab diare (infeksi, penyakit usus inflamatorik),
fistula feses/ kolostomi. (2) sfingter atau dasar panggul yang tidak normal, ada dua macam
inkontinensianya minor dan mayor. Pada inkontinensia minor: defisiensi sfingter interna yang
biasanya disebabkan oleh riwayat pembedahan, prolaps rektum, hemoroid derajat tiga,
idiopatik, denervasi minor sfingter eksternal dan dasar panggul. Pada inkontinensia mayor:
anomali kongenital anorektum ada karena trauma (iatrogenik, obstetrik, fraktur panggul,
penusukan), denervasi (obstetrik, prolaps rektum, neuropati perifer, lesi kauda ekuina, infeksi
4

sifilis, spina bifida), lesi neuron atas (serebral: stroke, metastasis dan tumor, trauma, demensia
dan gangguan degeneratif lainnya), spinal (sklerosis multipel, metastasis dan tumor lainnya,
penyakit degeneratif), karsinoma rektum (infeksi anorektal, intoksikasi obat pada usia lanjut).5
Skala penilaian pengendalian feses5
Skala
0
1
2
3
4

Penilaian
Tidak pernah
Jarang (<1x/bulan)
Sesekali (1x/minggu hingga 2x/bulan)
Biasanya (1x/hari hingga 2x/minggu)
Selalu (>1x/hari)

Klasifikasi robekan perineum; (1) Robekan derajat I, meliputi mukosa vagina,


fourchette dan kulit perineum tepat di bawahnya. Cara memperbaikinya diusahakan
sesederhana mungkin, akrena robekan ini kecil dan mudah diperbaiki. Tujuannya adalah
merapatkan kembali jaringan yang terpotong dan menghasilkan hemostasis. Beberapa jahitan
terputus lewat mukosa vagina, fourchette dan kulit perineum sudah memadai. Jika
perdarahannya banyak dapat digunakan jahitan angka-8. Jahitan terputus yang disimpul secara
longgar paling baik bagi kulit karena jahitan ini kurang menimbulkan tegangan dan lebih
menyenangkan bagi pasiennya. (2) Robekan derajat II, mengenai garis tengah dan melebar
sampai corpus perineum. Seringkali m. perineus transversus ikut terobek dan robekan dapat
turun tapi tidak mencapai sfingter recti. Biasanya robekan meluas keatas di sepanjang mukosa
vagina dan jaringan submukosa. Keadaan ini menimbulkan luka laserasi yang berbentuk
segitiga ganda dengan dasar pada fourchette, salah satu apex pada vagina dan apex lainnya di
dekat rektum. Cara memperbaikinya dilakukan lapis demi lapis; jahitan terpututs, menerus
ataupun jahitan simpul digunakan untuk merapatkan tepi mukosa vagina dan submukosanya.
Otot-otot yang dalam pada corpus perineum dijahit menjadi satu dengan jahitan terputus.
Jahitan subcutis bersambung atau jahitan terputus, yang disimpul secara longgar menyatukan
kedua tepi kulit. (3) Robekan derajat III, mengenai kulit, mukosa, corpus perineum, m.
transverses perineus dan termasuk sfingter rekti. Terdapat 3 tingkat pada robekan ini yaitu;
derajat IIIa: robekan < 50 % ketebalan sfingter rekti eksterna, tingkat IIIb: robekan > 50%
ketebalan sfingter rekti eksterna, tingkat IIIc: robekan hingga sfingter rekti interna. Cara
memperbaikinya dengan cara menjahit selapis demi lapis dimulai dari dinding anterior rektum
diperbaiki dengan jahitan memakai kromik catgut halus 000 atau 0000 yang menyatu dengan
jarum. Mulai pada apex, jahitan terputus dilakukan pada submukosa sehingga tunika serosa,
5

muskularis dan submukosa rektum tertutup rapat. Garis pernaikan dijahit ulang dengan
merapatkan fascia perirectal dan fascia septum rectovaginalis, digunakan jahitan menerus atau
jahitan terputus. Pinggir robekan sfingter ani (yang telah mengerut) diidentifikasi, dijepit
dengan forceps Allis dan dirapatkan dengan jahitan terputus atau jahitan berbentuk angka-8
sebanyak 2 buah. Mukosa vagina kemudian diperbaiki seperti pada episiotomi garis tengah,
dengan jahitan menerus atau terputus. Muskulus perineus dijahit menjadi satu dengan jahitan
terputus. Kedua tepi kulit dijahit menjadi satu dengan jahitan subkutis menerus atau jahitan
terputus yang disimpul secara longgar. Perawatan lanjut setelah dijahit adalah melakukan
asepsis perineum secara umum, dilakukan diet rendah residu, mengusahakan buang air besar
yang lunak dengan pencahar ringan, pada hari kelima atau keenam diberikan suppositoria atau
enema dengan hati-hati. (4) Robekan derajat IV, robekan lebih dalam dan mengenai mukosa
rektal hingga lumen rektum terekspos. Robekan pada derajat IV ini dapat mengenai uretra
hingga menyebabkan perdarahan yang terus menerus. Cara memperbaikinya tepi mukosa
rektum yang robek harus saling dirapatkan dengan jahitan muskularis yang jaraknya setiap
sekitar 0,5cm. lapisan otot ini kemudian ditutupi oleh satu lapis fasia. Akhirnya ujung-ujung
sfingter anys yang terputus diisolasi, dirapatkan, dan disatukan dengan tiga sampai empat
jahitan interrupted. Perbaikan selanjutnya sama dengan pada derajat III.2,6
Demam yang terjadi setelah melahirkan disebut febris puerpuralis. Pada ibu yang
mengalami febris puerpuralis sering disebabkan oleh infeksi puerpurium (infeksi yang terjadi
segera setelah persalinan) karena adanya luka pada area pelepasan plasenta, laserasi pada
saluran genital, dan episiotomi pada perineum. Penyebab infeksi adalah bakteri endogen dan
eksogen. Faktor predisposisi infeksi meliputi nutrisi yang buruk, defisiensi zat besi, persalinan
lama, ruptur membran, episiotomi, atau seksio sesaria.4,7
Episiotomi adalah insisi dari perineum untuk memudahkan persalinan dan mencegah
rupture perineum totalis. Tujuan dilakukan episiotomi adalah agar tidak terjadi robekan
perineum yang tidak teratur dan robekan pada muskular sfingter ani yang tidak bisa dijahit
dan dirawat dengan baik, karena jika terjadi akan mengakibatkan inkontinensia alvi. Dahulu
episiotomi dianjurkan untuk mengurangi ruptur yang berlebihan pada perineum agar
memudahkan dalam penjahitan, mencegah penyulit atau tahanan pada kepala dan infeksi,
namun hal itu tidak didukung dengan bukti ilmiah yang cukup. Episiotomi tidak boleh
dilakukan karena, jumlah darah yang hilang meningkat dan resiko terjadinya hematom;
kejadian robekan perineum derajat tiga atau empat lebih banyak terjadi; meningkatnya nyeri
pasca persalinan di daerah perineum; meningkatnya resiko infeksi; pada multigravida dengan
6

perineum kaku sangat sulit dilakukan. Saat ini episiotomi boleh dilakukan bila ada indikasi
tertentu yaitu; untuk mempercepat proses kelahiran bayi karena gawat janin dan janin akan
segera dilahirkan dengan tindakan; penyulit kelahiran pervaginam (bayi sungsang, distosia
bahu, ekstraksi vakum, atau forceps), jaringan parut pada perineum atau vagina yang
memperlambat kemajuan persalinan. Dan dilakukan pada saat puncak his dan saat pasien
meneran, perineum menipis, lingkar kepada pada perineum sekitar 5cm.8
Epidemiologi
Sekitar 45.000 wanita/tahun di Skotlandia mengalami rupture perineum setelah
persalinan. Lebih dari 85% wanita di UK yang mengalami trauma perinea sewaktu menjalani
persalinan pervaginam. Namun angka prevalensi ini tergantung dari variasi tempat obstetrik,
termasuk angka tindakan episiotomi. Di Belanda, angka episiotomi 8%, sementara di Inggris
angka episiotomi mencapai 14%, 50% di Amerika Serikat dan 99% di Negara-negara Eropa
Timur.1
Patofisiologi
Robekan perineum terjadi pada semua persalinan, dan biasanya robekan terjadi di
garis tengah dan dapat meluas apabila kepala janin lahir terlalu cepat. Perineum yang dilalui
bayi biasanya mengalami peregangan, lebam, dan trauma. Rasa sakit pada perineum semakin
parah jika perineum robek atau disayat pisau bedah. Seperti semua luka baru, area episiotomi
atau luka sayatanya membutuhkan waktu untuk sembuh, yaitu 7 hingga 10 hari. Infeksi dapat
terjadi, tetapi sangat kecil kemungkinannya jika luka perineum dirawat dengan baik.4
Patofisiologi terjadinya infeksi puepurium dimulai pada bekas implantasi plasenta
yang mengalami infeksi. Infeksi ini dapat melalui dua jalan; (1) masuk ke dalam
menimbulkan miometritis dan flebitis (pada pembuluh darahnya), dari pembuluh darah
menyebar sehingga dapat menimbulkan emboli bakteria dan menyebabkan infeksi meluas ke
liver, ginjal, dan paru. Dapat menimbulkan infeksi di sekitar pelvis sehingga terjadi selulitis
dan pembentukan abses. Infeksi peritonitis sekitarnya dalam bentuk palveoperitonitis yang
bersifat lokal. (2) menyebar perkontinuitatum, dari bekas infeksi plasenta akan menyebabkan
infeksi perkontinuitatum sehingga menimbulkan endometritris yang menyebar kesekitarnya,
infeksi tuba menimbulkan salfingitis yang selanjutnya menjadi piosalfing, dapat
menyebabkan infeksi pada ovarium.7
Gejala Klinik
7

Gejala klinik inkontinensia alvi; keluarnya flatus dalam keadaan yang secara sosial
tidak pantas, keluarnya feses cair atau padat secara tidak terkendali, perlunya memakai
tampon/ popok karena ada gejala anal, terdapat urgensi feses.5
Gejala klinis infeksi puepurium tampak pada hari ke-2 dari 10 hari postpartum disertai
suhu melebihi 380C, tatikardi, sakit kepala, kadang terdapat uterus yang lembek,
mengeluarkan lokia kotor, berbau dan mungkin masih bercampur darah. Pada bekas luka
operasi ruptur perineum mungkin akan terjadi pembentukan nanah sehingga menimbulkan
kalor, dolor, fungsiolaesa. Untuk itu, ibu harus diisolasi. Infeksi genital dapat dicegah dengan
menjaga kebersihan di daerah vulva, vagina, dan perineum. Pembalut harus diganti dengan
teratur dan sering. Hal ini untuk menghindari gesekan antara anus dan vulva ketika
mengangkat pembalut karena dapat memindahkan organisme dari anus sehingga
mengontaminasi vulva dan perineum. Ketika melepaskan pembalut harus dari arah depan ke
belakang.4,7
Penatalaksanaan
Harus dilakukan perbaikan segera pada sfingter ani yang rusak. Semua perempuan
yang melahirkan per vaginam harus menjalani pemeriksaan perineum, vagina, dan rektum
secara sistematik untuk menilai derajat keparahan sebelum dijahit. Perbaikan perineum
memerlukan pencahayaan serta lapang pandang yang baik, alat bedah dan benang yang
resorpable, steril dan memadai, serta analgesia yang adekuat. Metode penutupan luka yang
bisa dilakukan adalah aproksimal dari ujung ke ujung tepi robekan atau tumpang tindih
robekan satu sama lain. Teknik menjahit yang agak longgar memberikan aliran darah yang
masih baik sehingga kesembuhan akan semakin terjamin.5
Bila wanita yang pernah mengalami robekan perineum derajat tiga atau empat
disarankan untuk melakukan pemeriksaan manometri atau ultrasonografi endoanal. Jika
didapati kelainan pada pemeriksaannya maka dianjurkan untuk tidak melakukan persalinan
pervaginam untuk kehamilan yang selanjutnya.5
Untuk meningkatkan rasa nyaman pada perineum yang robek bisa dilakukan berbagai
tindakan seperti; kompres es selama 24-48 jam, anestesi topikal (benzokain/ dibukain),
berendam dalam air dingin 2-3x/hari, mandi air hangat dapat dilakukan setelah 24-28 jam,
kompres dengan witch hazel atau tuck, diberikan analgesia (ibuprofen, asetaminofen, vicodin,
kodein), latihan kegel (latihan otot panggul bawah. Untuk mempercepat penyembuhannya
8

bisa dilakukan rujukan ke ahli homeopati untuk di rekomendasikan obat-obatan tertentu,


dilakukan akupuntus supaya memberikan rasa nyaman setelah melahirkan, diberikan berbagai
macam herbal (Chamomile, Calendula, tanaman St. John, pohon Slippery, Yarrow,
Goldenseal).9
Jika terdapat nanah yang keluar dari luka, maka harus dilakukan drainase nanah dan
memasang drain, dan bisa dilakukan penjahitan pada lukanya kembali. Pemberian kompres es
cenderung mengurangi pembengkakan dan mengatasi rasa tidak nyaman. Semprotan aerosol
yang mengandung anestetik lokal kadang-kadang juga membantu mengatasi nyeri.2,7
Medika mentosa yang bisa diberikan pada infeksi adalah pemberian obat antibiotik
secara parentral atau IV. Antibiotik yang umum diberikan Gentamisin atau Klindamisin,
Golongan Beta laktam (cefalosporin, cefoxicin, cefototan), Penisillin (piperacillin, ticarcillin,
mezlocillin, ampicillin, amoxicillin, ticarcillin), Beta Laktase Inhibitor (vlavulanic acid,
sulbactam, tazobactum), Derivat Metronidazole (flagyl, fortagyl). Pemberian antibiotik dosis
tunggal atau kombinasi sehingga mempercepat kesembuhan dan menghalangi terjadinya
sepsis. Antibiotik spektrum luas diberikan terlebih dahulu sebelum hasil kultur sensitivitas
bakterinya keluar.7
Komplikasi
Komplikasi jangka pendek dari robekan perineum ini adalah infeksi dan hematoma,
sedangkan komplikasi jangka panjangnya dapat terjadi inkontinensia feses dan nyeri
perineum persisten. Komplikasi lanjut suatu luka yang terinfeksi adalah fistula rectovaginalis.
Fistula ini terjadi akibat robekan rektum yang tidak diketahui atau akibat jahitan yang
menembus dinding rektum dan dibiarkan saja. Pada infeksi lanjut bisa terjadinya sepsis yang
berujung pada kematian.7,10
Prognosis
Mayoritas pasien dengan episiotomi atau robekan akan sembuh dengan sangat baik,
dengan menghilangnya nyeri 6 minggu setelah persalinan dan bekas luka yang minimal.
Namun dapat terjadi inkontinensia feses dalam jangka pendek maupun jangka panjang pada
10% pasien dengan ruptur perineum derajat 3 atau 4, walaupun sudah dilakukan penanganan
dengan baik. Jika tidak ada komplikasi, tidak dibutuhkan perawatan dan monitoring dalam
jangka waktu lama.10

Pencegahan& Edukasi
Pencegahan untuk inkontinensia alvi; menghindari cedera obstetrik terhadap sfingter
ani merupakan faktor tunggal terbesar dalam mencegah inkontinensia alvi pada perempuan.
Seksio sesaria elektif merupakan tindakan preventif untuk mencegah kerusakan sfingter dan
dasar panggul. Lakukan episiotomi supaya tidak merobek bagian anus.5
Edukasi cara merawat perineumnya; mencuci tangannya sebelum dan setelah
perawatan perineum, dengan menggunakan botol semprot berisi air hangat, disemprotkan
untuk membuang lokia dan feses dari perineum setelah buang air. Tepuk-tepuk daerah
perineum sampai kering, dengan gerakan dari depan ke belakang, dengan menggunakan tisu
baru untuk setiap apusan. Pasang pembalut perineum yang baru dan belum terkena permukaan
luka. Puasa senggama atau penggunaan tampn atau alat lain yang ditempatkan di dalam
vagina hingga perineum nyaman kembali. Membersihkan luka (pencucian dengan air hangat
dua kali sehari selama 20 menit), menjaga kebersihan genital, dan memberikan profilaksis
antibiotik.7,9
Kesimpulan
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang didapat,
pasien mengalami inkontinensia alvi ec rupture perineum derajat 3b terinfeksi pada P2,
postpartum spontan 3 hari yang lalu. Sudah terjadi komplikasi berupa infeksi dan terlihat
adanya pengeluaran pus juga demam pada pasien, sebaiknya pasien segera di bawa ke rumah
sakit untuk dilakukan drainase pus dan penjahitan ulang untuk robekan perineumnya, juga
diberikan antibiotik spectrum luas. Diusahakan supaya pasien menjaga kebersihan dan tidak
mengejan terlalu keras ketika buang air besar, minum pencahar supaya fesesnya agak cair.
Prognosis pada pasien ini dubia et bonam jika dilakukan penanganan dengan baik dan cepat.
Daftar Pustaka
1. Andrews V, Sultan AH, Thakar R, Jones P. Occult anal sphincter injuries myth or
reality? Br J Obstet Gynaecol 2006 January;113:195200.
2. Leveno KJ, Cunningham FG, Gant NF, dkk. Obstetri williams panduan ringkas. Edisi
ke 21. Jakarta: EGC; 2009. h. 43
3. Mochtar I. Dokter juga manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2009. h.612
4. Bahiyatum. Buku ajar asuhan kebidanan nifas normal. Jakarta: EGC; 2009. h. 78, 1267
5. Hollingworth T. Diagnosis banding dalam obstetri & ginekologi A-Z. Jakarta: EGC;
2012. h. 102-5

10

6. Oxorn H, Forte WR. Ilmu kebidanan: patologi & fisiologi persalinan. Yogyakarta:
Yayasan Essentia Medica; 2010. h. 10, 451-5
7. Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. Pengantar kuliah obstetri. Jakarta:
EGC; 2007. h. 828-32
8. Damayanti IP, Maita L, Triana A, Afni R. Buku ajar: asuhan kebidanan komprehensif
pada ibu bersalin dan bayi baru lahir. Edisi ke-1. Yogyakarta: Deepublish; 2014.
h.170-1
9. Sinclair C. Buku saku kebidanan. Jakarta: EGC; 2010. h. 305-8
10. Cornet A, Porta O, Pineiro L, et al. Management of obstetric perineal tears in
obstetrics and gynaecology international vol 2012. Jakarta: Hindawi Publishing
Corporation; 2012. p.1-7

11

Anda mungkin juga menyukai