Anda di halaman 1dari 33

BAB IV

PERDARAHAN UTERUS ABNORMAL


(ABNORMAL UTERI BLEEDING)
A. Definisi
Perdarahan uterus abnormal (PUA) adalah perubahan pada frekuensi, durasi
dan jumlah atau volume perdarahan menstruasi. Terdapat dua jenis, yaitu PUA yang
berhubungan dengan siklus ovulasi, yang biasanya merupakan gangguan organik,
dan perdarahan yang tidak berhubungan dengan siklus ovulasi (Beckmann, et al.,
2014). Pada wanita tidak hamil di usia reproduktif, perdarahan memiliki patologi
yang sangat luas. Ada banyak sekali terminologi yang digunakan baik untuk
mendeskripsikan gejala maupun mengenai gangguannya sendiri. Gangguan haid
atau disebut juga dengan perdarahan uterus abnormal merupakan keluhan yang
sering menyebabkan seorang perempuan datang berobat ke dokter atau tempat
pertolongan pertama (Badziad et al, 2011).
Manifestasi klinis PUA dapat berupa perdarahan banyak, sedikit, siklus haid
yang memanjang atau tidak beraturan. Terminologi menoragia saat ini diganti
dengan perdarahan haid banyak atau heavy menstrual bleeding (HMB) sedangkan
perdarahan uterus abnormal yang disebabkan faktor koagulopati, gangguan
hemostatis lokal endometrium dan gangguan ovulasi merupakan kelainan yang
sebelumnya termasuk dalam perdarahan uterus disfungsional (PUD) (Badziad et al.,
2011).
Tabel 2.1 Batasan Perdarahan Uterus Abnormal (Badziad et al, 2011)
Batasan

Pola Abormalitas Perdarahan

Oligomenorea

Perdarahan uterus yang terjadi dengan interval > 35


hari dan disebabkan oleh fase folikuler yang
memanjang.

Polimenorea

Perdarahan uterus yang terjadi dengan interval < 21


hari dan disebabkan oleh defek fase luteal.

Menoragia

Perdarahan uterus yang terjadi dengan interval


normal (21-35 hari) tetapi jumlah darah haid > 80

ml atau > 7 hari.


Menometroragia

Perdarahan uterus yang tidak teratur, interval nonsiklik dan dengan darah yang berlebihdan (> 80 ml)
dan atau dengan durasi yang panjang (> 7 hari).

Metroragia atau
perdarahan antara haid

Perdarahan uterus yang tidak teratur di antara siklus


ovulatoir dengan penyebab antara lain penyakit
serviks, AKDR, endometritis, polip, mioma
submukosa,
hiperplasia
endometrium,
dan
keganasan.

Bercak intermenstrual

Bercak perdarahan yang terjadi sesaat sebelum


ovulasi yang umumnya disebabkan oleh penurunan
kadar estrogen.

Perdarahan pasca
menopause

Perdarahan uterus yang terjadi pada wanita


menopause yang sekurang-kurangnya sudah tidak
mendapatkan haid selama 12 bulan.

Perdarahan uterus
abnormal akut

Perdarahan uterus yang ditandai dengan hilangnya


darah yang sangat banyak dan menyebabkan
gangguan hemostasisis (hipotensi, takikardia atau
renjatan).

Perdarahan uterus
disfungsi

Perdarahan uterus yang bersifat ovulatoir atau


anovulatoir yang tidak berkaitan dengan kehamilan,
pengobatan, penyebab iatrogenik, patologi traktus
genitalis yang nyata dan atau gangguan kondisi
sistemik.

A Etiologi
Perdarahan uterus abnormal dapat disebabkan oleh faktor hormonal, berbagai
komplikasi kehamilan, penyakit sistemik, kelainan endometrium (polip), masalahmasalah serviks atau uterus (leiomioma) atau kanker. Faktor-faktor etiologik
(Callahan et al, 2009):
1. Komplikasi kehamilan
a. Perdarahan implantasi
Pendarahan implantasi merupakan tanda awal kehamilan yang terjadi pada
sekitar 1/3 dari semua wanita yang hamil, jadi memang tidak semua wanita

hamil mengalaminya. Telur yang telah dibuahi berjalan menuruni tuba


fallopi ke dalam rahim, di mana akan menempel sebagai implan ke dalam
lapisan rahim. Ketika hal itu terjadi, jaringan yang terbentuk di sekitar telur
yang dikenal sebagai trofoblas, dapat merusak beberapa pembuluh darah ibu
di dalam rahim, menghasilkan sejumlah kecil pendarahan pada leher rahim
dan turun ke vagina (Achadiat, 2003).
b. Abortus
Abortus/aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup
di luar kandungan dengan berat badan janin <500 gram dan usia kandungan
< 20 minggu (Achadiat, 2003).
c. Kehamilan ektopik
Kehamilan ektopik meruapakan suatu kondisi dimana sel telur yang telah
dibuahi mengalami implantasi pada tempat selain tempat seharusnya, yaitu
uterus (Achadiat, 2003).
d. Kehamilan mola, penyakit trofoblastik
Kehamilan anggur (mola hidatidosa) adalah kehamilan abnormal berupa
tumor jinak yang terjadi sebagai akibat dari kegagalan pembentukan bakal
janin sehingga terbentuklah jaringan permukaan membran (vili) yang mirip
gerombolan anggur. Gejala hamil anggur mirip seperti perempuan yang
hamil normal, yaitu terlambat haid, mual-muntah, dan sebagainya.
Pemeriksaan tes kehamilan juga memberikan hasil yang positif. Namun yang
membedakan adalah, pada hamil anggur tidak terdapat tanda-tanda gerakan
janin, rahim tampak lebih besar dari usia kehamilan sebenarnya, dan
keluarnya gelembung cairan yang mirip buah anggur bersamaan dengan
perdarahan melalui vagina (Achadiat, 2003).
e. Komplikasi plasenta
Plasenta previa, perdarahan terjadi pada implantasi plasenta yang menutupi
sebagian atau seluruh ostium uteri internum. Solutio plasenta, terlepasnya
plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada uterus sebelum janin
dilahirkan (Achadiat, 2003).
f. Vasa previa

Vasa previa adalah komplikasi obstetrik dimana pembuluh darah janin


melintasi atau berada di dekat ostium uteri internum (cervical os) . Pembuluh
darah tersebut berada didalam selaput ketuban (tidak terlindung dengan
talipusat atau jaringan plasenta) sehingga akan pecah bila selaput ketuban
pecah (Achadiat, 2003).
g. Hasil konsepsi yang tertahan
Hasil konsepsi yang tertahan di dalam rahim bisa menyebabkan perdarahan
uterus abnormal (Achadiat, 2003).
h. Subinvolusi uterus setelah kehamilan
Proses involusi uterus tidak berjalan semestinya, sehingga proses
pengecilannya terlambat. Penyebab subinvolusi uterus adalah terjadi infeksi
pada endometrium, terdapat sisa plasenta dan selaputnya terdapat bekuan
darah (Achadiat, 2003).
1

Infeksi dan inflamasi (Achadiat, 2003)


a. Vulvitis
b. Vaginitis
c. Servisitis
d. Endometritis
e. Salphingo-oophoritis

Hiperplasia dan neoplasia (Achadiat, 2003)


a. Vagina: karsinoma, penyakit trofoblastik metastatic, sarcoma botryoides
b. Serviks: polip, papiloma, karsinoma
c. Endometrium: hyperplasia, polip, karsinoma, sarcoma, penyakit trofoblastik
d. Miometrium: leiomoima, leiomiosarkoma, miosis stroma endolimfatik
(hemangioperisitoma)
e. Ovarium: tumor-tumor sel teka granulosit yang menghasilkan estrogen;
tumor-tumor lain atau kista dapat merangsang hormon stroma ovarium
f. Tuba falopii: karsinoma

Trauma (Achadiat, 2003)


a. Perdarahan post operatif
b. Laserasi obstetrik

c. Benda asing dalam vagina


d. Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR)
1

Endometriosis
Endometriosis merupakan kelainan dimana pertumbuhan abnormal jaringan
yang secara histologi menyerupai endometrium, dan terdapat di tempat lain
selain lapisan endometrium.Meskipun endometriosis dapat terjadi sangat jarang
pada wanita pasca-menopause, endometriosis dapat ditemukan hampir
sepenuhnya pada wanita usia reproduksi.Lesi biasanya ditemukan pada
permukaan peritoneal organ reproduksi dan struktur yang berdekatan dari pelvis,
tetapi endometriosis dapat muncul di mana pun di dalam tubuh (Mansjoer,
2001).

2. Adenomiosis
Adenomiosis adalah invasi jaringan endometrium ke dalam myometrium
(Mansjoer, 2001).
3. Kelainan hematologik atau sistemik (Achadiat, 2003)
a. Trombositopenia
b. Penyakit Von Willebrand
c. Terapi antikoagulan
d. Koagulasi intravascular diseminata
e. Hipertensi
f. Hipotiroid (lebih banyak terjadi pada hipotiroid daripada hipertiroid)
g. Leukemia
h. Penyakit hepar
1

Sebab-sebab fungsional
Perdarahan dari uterus yang tidak ada hubungannya dengan sebab organik,
dinamakan perdarahan disfungsional. Perdarahan disfungsional dapat terjadi
pada setiap umur antara menarche dan menopause. Tetapi , kelainan ini lebih
sering dijumpai sewaktu masa permulaan dan masa akhir fungsi ovarium. Dua
pertiga dari wanita-wanita yang dirawat di rumah sakit untuk perdarahan
disfungsional berumur diatas 40 tahun, dan 3% dibawah 20 tahun (Simanjuntak,
2005).

A Faktor Risiko
Faktor resiko dari perdarahan uterus disfungsional meliputi umur 35 tahun
atau lebih, obesitas, sindrom polikistik ovarium, endometriosis, penggunaan
estrogen dan progesteron jangka panjang dan hipertensi. Stres, diet, tidur yang tidak
teratur, bekerja berlebihan, latihan yang bertenaga, penyalahgunaan alkohol dan
obat-obatan dapat menyebabkan gangguan keseimbangan hormon dan akan
menyebabkan perdarahan uterus disfungsional. Ketidakseimbangan hormon yang
mengganggu ovulasi dapat menyebabkan perdarahan uterus abnormal. Beberapa hal
yang dapat mengganggu keseimbangan hormon yang rumit yang mempengaruhi
ovulasi dan pendarahan (Achadiat, 2003).
1. Perimenopause
Perubahan hormonal yang terjadi selama tahun-tahun menjelang menopause
(berhentinya menstruasi) dapat menyebabkan kelainan perdarahan.
2. Stres
Stres hormon seperti kortisol yang diketahui mengganggu ovulasi.
3. Polycystic ovary syndrome (PCOS)
PCOS adalah suatu kondisi di mana ovarium menjadi penuh dengan kista kecil
dan memperbesar. Masalah terjadi ketika kelenjar pituitary memproduksi terlalu
banyak hormon yang disebut luteinizing hormone (LH). Ketidakseimbangan
hormon yang menciptakan hasil meluap-luap lapisan rahim yang membuat
perdarahan tidak teratur.
4. Penyebab hormonal lainnya
Masalah yang berasal dari kelenjar tiroid, kelenjar pituitari, atau kelenjar adrenal
dapat mengganggu ovulasi.
5. Masalah fisik di dalam rahim dapat menyebabkan perdarahan abnormal.
6. Gangguan pembekuan darah
Masalah dengan pembekuan darah dapat memicu perdarahan uterus abnormal.
Sebuah gangguan koagulasi Von Willebrand disebut penyakit adalah salah satu
pelakunya, mempengaruhi sekitar 1% dari populasi.
7. Gangguan nutrisi

Wanita dengan lemak tubuh sangat rendah karena gangguan makan, diet ketat,
atau olahraga berlebihan sering dapat berhenti ovulasi dan menstruasi.
A Klasifikasi
Menurut FIGO (The International Federation of Gynecology and Obstetrics),
perdarahan uterus abnormal dikategorikan menjadi PALM COEIN yakni polip,
adenomiosis, leiomyoma, keganasan dan hiperplasia, koagulopati, gangguan
ovulasi, endometrium, iatrogenik, dan tidak terklasifikasi.
1. Polip (PUA-P)
Polip endometrium diketahui melalui proses pencitraan namun tidak dibedakan
menurut ukuran maupun jumlah polip yang didapat. Dalam perkembangannya
dimungkinkan untuk membuat subklasifikasi polip berdasarkan dimensi,
lokasi, jumlah,morfologi dan histologinya (Schorge, 2008).
2. Adenomiosis (PUA-A)
Walaupun kaitan patofisiologi adenomiosis dengan PUA belum
sepenuhnya dipahami namun pengalaman klinis menunjukan adanya hubungan
erat antara kondisi ini dengan PUA. Secara klinis diagnosis adenomiosis banyak
mengandalkan aspek pencitraan terutama USG trasvaginal (Schorge, 2008).
Beberapa poin penting karakteristik adenomiosis secara USG antara lain
eksogenitas miometrium yang heterogen dan difus dengan batas endomiometrial
yang tidak jelas, adanya lakuna anekoik di miometrium, tekstur gema
miometrium fokal yang abnormal dengan batas yang tidak jelas, dan pembesaran
yang globuler dan atau asimetris dari uterus.
3. Leiomioma (PUA-L)
Dalam sistem ini mioma uteri diklasifikasikan secara primer, sekunder dan
tersier.

Pernggolongan

primer

dimaksudkan

untuk

menunjukan

ada

atau tidaknya mioma uteri. Penggolongan sekunder adalah untuk membedakan


mioma submukosa (SM) dengan mioma jenis lain (O-others). Penggolongan
tersier adalah untuk menentukan derajat gangguan yang ditimbulkan mioma
terhadap endometrium (Schorge, 2008).
4. Malignancy-keganasan dan kondisi prakeganasan/hiperplasia (PUA-M)

Kemungkinan kondisi ini sebagai penyebab PUA perlu dipertimbangkan


bila terdapat pasien reproduktif dengan faktor risiko (obesitas, anovulasi kronik).
Setelah kelainan anatomik diidentifikasi ataupun disingkirkan, langkah
berikutnya adalah mencari kemungkinan etiologi yang bersifat non struktural
(Schorge, 2008).
Perlu dipahami bahwa bila didapatkan kelainan yang bersifat anatomik,
tidak serta merta hal tersebut menrupakan penyebab PUA mengingat PUA dapat
saja diakibatkan oleh lebih dari satu faktor etiologi.
5. Koagulopati (PUA-C)
Di luar dugaan, sekitae 13 % PUA ternyata disebabkan oleh koagulopati
terutama

penyakit

von

Willebrand.

Untuk

mempermudah

penapisan

kemungkinan koagulopati sebagai penyebab PUA, dapat digunakan panduan


sebagai berikut:
a. Pendarahan berlebih saat mentruasi
b. Salah satu dari gejala berikut:

Pendarahan pascasalin

Pendarahan yang terkait pembedahan

Perdarahan terkait dengan pengobatan gigi

Dua atau lebih gejala berikut:


-

Memar 1-2 kali per bulan

Epistaksis 1-2 kali per bulan

Sering mengalami perdaragan gusi

Riwayat keluarga dengan kelainan perdarahan

Kelainan Ovulasi (PUA-O)


Yang dimaksud dalam kelainan ovulasi disini adalah anovulasi, dimana terjadi
ketiadaan produksi siklik dari progesteron sehingga terjadi pengaruh estrogen
yang tidak terimbangi. Beberapa kemungkinan penyebab dalam kategori ini
antara lain sindrom ovarium polikistik, hipotiroidisme, hiperprolaktinemia,
obesitas, anoreksia, atau latihan olahraga yang berlebihan.

6. Kelainan endometrium (PUA-E)

Bila PUA terjadi pada wanita dengan siklus yang reguler tanpa adanya
kelainan struktural yang jelas, maka perlu dipertimbangkan kelianan hemostasis
lokal pada endometrium sebagai penyebabnya. Dalam hal ini terjadi
ketidakseimbangan antara zat vasokonstriktor (endotelin-1 dan prostaglandin
F2a) dengan vasodilator (prostaglandin E2 dan prostasiklin).
Selain itu belum ada tes yang spesifik untuk mengetahui kelainankelainan endometrium tersebut, maka disebutkan kategori ini merupakan
eksklusi apabila faktor-faktor lain telah diselidiki.
7. Iatrogenik (PUA-I)
Sesuai dengan arti istilah ini, maka PUA yang ditimbulkan merupakan akibat
dari intervensi medis yang diberikan. Komponen terpenting dari golongan ini
adalah penggunaan hormon seks steroid eksogen. Gelaja yang sering dikeluhkan
pasien biasanya berupa perdarahan sela (breakthrough bleeding).
8. Tidak terklasifikasi (Non Classified) (PUA-N)
Beberapa kelainan yang jarang ditemukan seperti malformasi arteriovenosa dan
hipertrofi miometriom yang diduga menjadi penyebab PUA digolongkan ke
dalam kategori ini.
A Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
Pada pasien yang mengalami PUA, anamnesis perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding (Telner, 2007).

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas
keadaan hemodinamik, selanjutnya dilakukan pemeriksaan untuk (Telner, 2007):
a. Menilai:
-

Indeks massa tubuh (IMT > 27 termasuk obesitas)

Tanda-tanda hiperandrogen

Pembesaran kelenjar tiroid atau manifestasi hipotiroid atau hipertiroid

Galaktorea (kelainan hiperprolaktinemia)

Gangguan lapang pandang (karena adenoma hipofisis)

Faktor risiko keganasan endometrium (obesitas, nulligravida, hipertensi,


diabetes mellitus, riwayat keluarga)

Menyingkirkan:
-

Kehamilan, kehamilan ektopik, abortus, penyakit trofoblas

Servisitis, endometritis

Polip dan mioma uteri

Keganasan serviks dan uterus

Hiperplasia endometrium

Gangguan pembekuan darah (Telner, 2007).

Pemeriksaan Ginekologi
Pemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan termasuk pemeriksaan pap
smear dan harus disingkirkan kemungkinan adanya mioma uteri, polip,
hiperplasia endometrium atau keganasan.

3. Penilaian Ovulasi
Siklus haid yang berovulasi berkisar 22-35 hari. Jenis perdarahan PUA-O
bersifat ireguler dan sering diselingi amenorea. Konfirmasi ovulasi dapat
dilakukan dengan pemeriksaan progesteron serum fase luteal madya atau USG
transvaginal bila diperlukan.
4. Penilaian Endometrium
Pengambilan sampel endometrium tidak harus dilakukan pada semua
pasien PUA. Pengambilan sampel endometrium hanya dilakukan pada:
a. Perempuan umur > 45 tahun
b. Terdapat faktor risiko genetik
c. USG transvaginal menggambarkan penebalan endometrium kompleks yang
merupakan faktor risiko hiperplasia atipik atau kanker endometrium
d. Terdapat faktor risiko diabetes mellitus, hipertensi, obesitas, nulipara
e. Perempuan dengan riwayat keluarga nonpolyposis colorectal cancer
memiliki risiko kanker endometrium sebesar 60% dengan rerata umur saat
diagnosis antara 48-50 tahun
Pengambilan sampel endometrium perlu dilakukan pada perdarahan
uterus abnormal yang menetap (tidak respons terhadap pengobatan). Beberapa
teknik pengambilan sampel endometrium seperti D & K dan biopsi
endometrium dapat dilakukan.
1

Penilaian Kavum Uteri


Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya polip endometrium atau mioma
uteri submukosum. USG transvaginal merupakan alat penapis yang tepat dan
harus dilakukan pada pemeriksaan awal PUA. Bila dicurigai terdapat polip
endometrium atau mioma uteri submukosum disarankan untuk melakukan SIS
atau histeroskopi. Keuntungan dalam penggunaan histeroskopi adalah diagnosis
dan terapi dapat dilakukan bersamaan.

5. Penilaian Miometrium
Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya mioma uteri atau adenomiosis.
Miometrium

dinilai

abdominal),

SIS,

menggunakan
histeroskopi

USG

atau

(transvaginal,

MRI.

transrektal

Pemeriksaan

dan

adenomiosis

menggunakan MRI lebih unggul dibandingkan USG transvaginal.


6. Pemeriksaan Penunjang

A Langkah Diagnostik Perdarahan Uterus Abnormal


1. Perdarahan uterus abnormal didefinisikan sebagai setiap perubahan yang terjadi
dalam frekuensi, jumlah dan lama perdarahan menstruasi. Perdarahan uterus
abnormal meliputi PUD dan perdarahan lain yang disebabkan oleh kelainan
organik.
2. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh untuk menyingkirkan
diagnosis diferensial perdarahan uterus abnormal.
3. Pada wanita usia reproduksi, kehamilan merupakan kelainan pertama yang harus
disingkirkan. Perdarahan yang terjadi dalam kehamilan dapat disebabkan oleh
abortus, kehamilan ektopik atau penyakit trofoblas gestasional.

4. Penyebab iatrogenik yang dapat menyebabkan perdarahan uterus abnormal


antara lain penggunaan obat-obatan golongan antikoagulan, sitostatika,
hormonal, anti psikotik, dan suplemen.
5. Setelah kehamilan dan penyebab iatrogenik disingkirkan langkah selanjutnya
adalah melakukan evaluasi terhadap kelainan sistemik meliputi fungsi tiroid,
fungsi hemostasis, dan fungsi hepar. Pemeriksaan hormon tiroid dan fungsi
hemostasis perlu dilakukan bila pada anamnesis dan pemeriksaan fisik
didapatkan gejala dan tanda yang mendukung (rekomendasi C). Bila terdapat
galaktorea maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap hormon prolaktin untuk
menyingkirkan kejadian hiperprolaktinemia.
6. Bila tidak terdapat kelainan sistemik, maka langkah selanjutnya adalah
melakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan pada saluran reproduksi.
Perlu ditanyakan adanya riwayat hasil pemeriksaan pap smear yang abnormal
atau riwayat operasi ginekologi sebelumnya. Kelainan pada saluran reproduksi
yang harus dipikirkan adalah servisitis, endometritis, polip, mioma uteri,
adenomiosis, keganasan serviks dan uterus serta hiperplasia endometrium.
7. Bila tidak terdapat kelainan sistemik dan saluran reproduksi maka gangguan
haid yang terjadi digolongkan dalam perdarahan uterus disfungsional (PUD).
8. Bila terdapat kelainan pada saluran reproduksi dilakukan pemeriksaan dan
penanganan lebih lanjut sesuai dengan fasilitas.
9. Pada kelainan displasia serviks perlu dilakukan pemeriksaan kolposkopi untuk
menentukan tata laksana lebih lanjut.
10. Bila dijumpai polip endoserviks dapat dilakukan polipektomi.
11. Bila dijumpai massa di uterus dan adneksa perlu dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut dengan USG transvaginal atau saline infusion sonography (SIS).
Ultrasonografi transvaginal merupakan lini pertama untuk mendeteksi kelainan
pada kavum uteri (rekomendasi A). Sedangkan tindakan SIS diperlukan bila
penilaian dengan USG transvaginal belum jelas (rekomendasi A).
12. Bila dijumpai massa di saluran reproduksi maka dilanjutkan dengan tata laksana
operatif.

13. Diagnosis infeksi ditegakkan bila pada pemeriksaan bimanual uterus teraba kaku
dan nyeri. Pada kondisi ini dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan Chlamydia
dan Neisseria. Pengobatan yang direkomendasikan adalah doksisiklin 2 x 100
mg selama 10 hari.

A Patomekanisme Perdarahan Uterus Abnormal


Perdarahan uterus abnormal termasuk di dalamnya adalah perdarahan
menstruasi abnormal, dan perdarahan akibat penyebab lain seperti kehamilan,
penyakit sistemik, atau kanker. Diagnosis dan manajemen dari perdarahan uterus
abnormal saat ini menjadi sesuatu yang sulit dalam bidang ginekologi. Pasien
mungkin tidak bisa melokalisir sumber perdarahan berasal dari vagina, uretra, atau
rektum (Chou B, dkk; 2002, Ronald; 2008).
Perdarahan abnormal uterus dibagi dua, yaitu organik dan fungsional. Sebab
yang dikarenakan organik adalah, perdarahan dari uterus, tuba, dan ovarium yang
disebabkan oleh kelainan oleh (Malcolm et all, 2011; Simanjutak P, 2005):
1. Serviks uteri, seperti polip servisik uteri, erosio porsio uteri, ulkus pada porsio
uteri, karsinoma servik uteri
2. Korpus uteri, seperti polip endometrium, abortus iminens, abortus insipiens,
abortus

inkomplit,

mola

hidatidosa,

koriokarsinoma,

subinvolusiouteri,

karsinoma korporis uteri, sarkoma uteri, mioma uteri


3. Tuba falopi, seperti kehamilan ektopik terganggu, radang tuba, tumor tuba
4. Ovarium, seperti radang ovarium, tumor ovarium
Perdarahan dari uterus yang tidak mempunyai hubungan dengan penyebab
organik, dikategorikan sebagai perdarahan disfungsional. Perdarahan disfungsional
dapat terjadi pada setiap umur antara menarche dan menopause (Norwitz et al.,
2001; Silberstein T, 2003; Pfeifer et al., 2008). Perdarahan uterus disfungsional
dapat terjadi pada siklus ovulasi maupun pada siklus anovulasi. Pada siklus ovulasi,
perdarahan teratur dan banyak terutama pada tiga hari pertama siklus haid.
Penyebab perdarahan adalah terganggunya mekanisme hemostasis lokal di
endometrium (Simanjutak P, 2005). Namun, pada siklus anovulasi, perdarahan tidak
teratur dan siklus haid memanjang disebabkan oleh gangguan pada hypothalamushipofisis-ovarium.
Perubahan pada sekresi katekolamin dan metabolisme umpan balik hormon
steroid atau perubahan dari aliran darah yang melewati plexus portal hipotalamik
ptuitari dapat mengganggu proses sinyal menuju ovulasi. Kebanyakan amenorea
akibat gangguan hipotalamik ptuitari hanya melibatkan gangguan fungsional dan

dapat diperbaiki dengan mengubah penyebab-penyebabnya dengan menstimulasi


sekresi gonadotropin atau dengan memberikan Exogen Human Menopausal
Gonadotrophin (Breckmann, et al., 2014). Adanya siklus anovulasi menyebabkan
efek estrogen tidak terlawan (unopposed estrogen) terhadap endometrium
(Silberstein T, 2003). Adanya siklus anovulasi menyebabkan efek estrogen tidak
terlawan (unopposed estrogen) terhadap endometrium (Silberstein T, 2003).
1. Perdarahan uterus abnormal pada siklus ovulasi
Perdarahan terjadi pada pertengahan menstruasi maupun bersamaan dengan
waktu menstruasi. Perdarahan ini terjadi karena rendahnya kadar hormon
estrogen, sementara hormon progesteron tetap terbentuk. Ovulasi abnormal
(DUB ovulatori ) terjadi pada 15 20 % pasien DUB dan mereka memiliki
endometrium sekretori yang menunjukkan adanya ovulasi intermitten apabila
tidak reguler. Pasien ovulatori dengan perdarahan abnormal lebih sering
memiliki patologi organik yang mendasari, dengan demikian bukan pasien DUB
murni menurut definisi tersebut (Silberstein P, 2003).
2. Perdarahan uterus abnormal di luar siklus ovulasi
Perdarahan yang sering terjadi pada masa pre-menopause dan masa reproduksi.
Hal ini karena tidak terjadi ovulasi, sehingga kadar hormon estrogen berlebihan
sedangkan hormon progesteron rendah. Akibatnya dinding rahim (endometrium)
mengalami penebalan berlebihan (hiperplasi) tanpa diikuti penyokong yaitu
pembuluh darah dan kelenjar yang memadai. Kondisi inilah sebagai penyebab
terjadinya perdarahan rahim karena dinding rahim yang rapuh (Silberstein P,
2003).

A Penanganan Perdarahan Uterus Abnormal Berdasar Penyebab (HIFERIPOGI, 2011)


1. Polip (PUA-P)
a. Reseksi secara histeroskopi (Rekomendasi C);
b. Dilatasi dan kuretase;
c. Kuret hisap;
d. Hasil dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi.
1

Adenomiosis (PUA-A)
a. Diagnosis adenomiosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG atau MRI;
b. Tanyakan pada pasien apakah menginginkan kehamilan;
c. Bila pasien menginginkan kehamilan dapat diberikan analog GnRH + addback therapy atau LNG IUS selama 6 bulan (Rekomendasi C);
d. Adenomiomektomi dengan teknik Osada merupakan alternatif pada pasien
yang ingin hamil (terutama pada adenomiosis > 6 cm);
e. Bila pasien tidak ingin hamil, reseksi atau ablasi endometrium dapat
dilakukan (Rekomendasi C). Histerektomi dilakukan pada kasus dengan
gagal pengobatan.

Leiomioma uteri (PUA-L)


a. Diagnosis mioma uteri ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG;
b. Tanyakan pada pasien apakah menginginkan kehamilan;
c. Histeroskopi reseksi mioma uteri submukosum dilakukan terutama bila
pasien menginginkan kehamilan (Rekomendasi B).
1) Pilihan pertama untuk mioma uteri submukosum berukuran < 4 cm,
2) Pilihan kedua untuk mioma uteri submukosum derajat 0 atau 1
(Rekomendasi B),
3) Pilihan ketiga untuk mioma uteri submukosum derajat 2 (Rekomendasi
C).
a

Bila terdapat mioma uteri intra mural atau subserosum dapat dilakukan
penanganan sesuai PUA-E / O) (Rekomendasi C). Pembedahan dilakukan
bila respon pengobatan tidak cocok;

d. Bila pasien tidak menginginkan kehamilan dapat dilakukan pengobatan


untuk mengurangi perdarahan dan memperbaiki anemia (Rekomendasi B);
e. Bila respon pengobatan tidak cocok dapat dilakukan pembedahan.
Embolisasi arteri uterina merupakan alternatif tindakan pembedahan
(Rekomendasi A).

Malignancy and hyperplasia (PUA-M)


a. Diagnosis hiperplasia endometrium atipik ditegakkan berdasarkan penilaian
histopatologi;
b. Tanyakan apakah pasien menginginkan kehamilan;
c. Jika pasien menginginkan kehamilan dapat dilakukan D & K dilanjutkan
pemberian progestin, analog GnRH atau LNG-IUS selama 6 bulan
(Rekomendasi C);
d. Bila pasien tidak menginginkan kehamilan tindakan histerektomi merupakan
pilihan (Rekomendasi C);
e. Biopsi endometrium diperlukan untuk pemeriksaan histologi pada akhir
bulan ke-6 pengobatan;
f. Jika keadaan hyperplasia atipik menetap, lakukan histerektomi.

Coagulopathy (PUA-C)
a. Terminologi koagulopati digunakan untuk kelainan hemostasis sistemik yang
terkait dengan PUA;
b. Penanganan multidisiplin diperlukan pada kasus ini;
c. Pengobatan dengan asam traneksamat, progestin, kombinasi pil estrogenprogestin dan LNG-IUS pada kasus ini memberikan hasil yang sama bila
dibandingkan dengan kelompok tanpa kelainan koagulasi;
d. Jika terdapat kontraindikasi terhadap asam traneksamat atau PKK dapat
diberikan LNG-IUS atau dilakukan pembedahan bergantung pada umur
pasien (Rekomendasi B);
e. Terapi spesifik seperti desmopressin dapat digunakan pada penyakit von
Willebrand (Rekomendasi C).

Ovulatory dysfunction (PUA-O)


a. Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab PUA dengan manifestasi
klinik perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah darah yang bervariasi.
b. Pemeriksaan hormon tiroid dan prolaktin perlu dilakukan terutama pada
keadaan oligomenorea. Bila dijumpai hiperprolaktinemia yang disebabkan
oleh hipotiroid maka kondisi ini harus diterapi.
c. Pada perempuan umur > 45 tahun atau dengan risiko tinggi keganasan
endometrium

perlu

dilakukan

pemeriksaan

USG

transvaginal

dan

pengambilan sampel endometrium.


d. Bila tidak dijumpai faktor risiko untuk keganasan endometrium lakukan
penilaian apakah pasien menginginkan kehamilan atau tidak.
e. Bila menginginkan kehamilan dapat langsung mengikuti prosedur tata
laksana infertilitas.
f. Bila pasien tidak menginginkan kehamilan dapat diberikan terapi hormonal
dengan menilai ada atau tidaknya kontraindikasi terhadap PKK.
g. Bila tidak dijumpai kontraindikasi, dapat diberikan PKK selama 3 bulan
(rekomendasi A).
h. Bila dijumpai kontraindikasi pemberian PKK dapat diberikan preparat
progestin selama 14 hari, kemudian stop 14 hari. Hal ini diulang sampai 3
bulan siklus (rekomendasi A).
i. Setelah 3 bulan dilakukan evaluasi untuk menilai hasil pengobatan.

j. Bila keluhan berkurang pengobatan hormonal dapat dilanjutkan atau distop


sesuai keinginan pasien.
k. Bila keluhan tidak berkurang, lakukan pemberian PKK atau progestin dosis
tinggi (naikkan dosis setiap 2 hari sampai perdarahan berhenti atau dosis
maksimal). Perhatian terhadap kemungkinan munculnya efek samping
seperti sindrom pra haid. Lakukan pemeriksaan ulang dengan USG TV atau
SIS untuk menyingkirkan kemungkinan adanya polip endometrium atau
mioma uteri (rekomendasi A). Pertimbangkan tindakan kuretase untuk
menyingkirkan keganasan endometrium. Bila pengobatan medikamentosa
gagal, dapat dilakukan ablasi endometrium, reseksi mioma dengan
histeroskopi atau histerektomi. Tindakan ablasi endometrium pada
perdarahan uterus yang banyak dapat ditawarkan setelah memberikan
informed consent yang jelas pada pasien. Pada uterus dengan ukuran < 10
minggu.

Endometrial (PUA-E)
a. Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus haid
yang teratur.

b. Pemeriksaan fungsi tiroid dilakukan bila didapatkan gejala dan tanda


hipotiroid atau hipertiroid pada anamnesis dan pemeriksaan fisik
(rekomendasi C). Pemeriksaan USG transvaginal atau SIS terutama dapat
dilakukan untuk menilai kavum uteri (rekomendasi A).
c. Jika pasien memerlukan kontrasepsi lanjutkan ke G, jika tidak lanjutkan ke
4.
d. Asam traneksamat 3 x 1 g dan asam mefenamat 3 x 500 mg merupakan
pilihan lini pertama dalam tata laksana menoragia (rekomendasi A).
e. Lakukan observasi selama 3 siklus menstruasi.
f. Jika respons pengobatan tidak adekuat, lanjutkan ke 7.
g. Nilai apakah terdapat kontra indikasi pemberian PKK.
h. PKK mampu mengurangi jumlah perdarahan dengan menekan pertumbuhan
endometrium. Dapat dimulai pada hari apa saja, selanjutnya pada hari
pertama siklus menstruasi (rekomendasi A).
i. Jika pasien memiliki kontra indikasi terhadap PKK maka dapat diberikan
preparat progestin siklik selama 14 hari diikuti dengan 14 hari tanpa obat.
(rekomendasi A) Kemudian diulang selama 3 siklus. Dapat ditawarkan
penggunaan LNG-IUS.
j. Jika setelah 3 bulan, respons pengobatan tidak adekuat dapat dilakukan
penilaian USG transvaginal atau SIS untuk menilai kavum uteri.
k. Jika dengan USG TV atau SIS didapatkan polip atau mioma submukosum
segera pertimbangkan untuk melakukan reseksi dengan histeroskopi
(rekomendasi B).
l. Jika hasil USG TV atau SIS didapatkan ketebalan endometrium > 10 mm,
lakukan pengambilan sampel endometrium untuk menyingkirkan hiperplasia
(rekomendasi B).
m. Jika terdapat adenomiosis dapat dilakukan pemeriksaan MRI, terapi dengan
progestin, LNG IUS, GnRHa atau histerektomi.
n. Jika hasil pemeriksaan USG TV dan SIS menunjukkan hasil normal atau
terdapat kelainan tetapi tidak dapat dilakukan terapi konservatif maka
dilakukan evaluasi terhadap fungsi reproduksinya.

o. Jika pasien sudah tidak menginginkan fungsi reproduksi dapat dilakukan


ablasi

endometrium

atau

histerektomi.

Jika

pasien

masih

ingin

mempertahankan fungsi reproduksi anjurkan pasien untuk mencatat siklus


haidnya dengan baik dan memantau kadar Hb.

Iatrogenik (PUA-I)
a. Perdarahan karena efek samping PKK
1) Penanganan efek samping PUA-E disesuaikan dengan algoritma PUA-E.
2) Perdarahan sela (breakthrough bleeding) dapat terjadi dalam 3 bulan
pertama atau setelah 3 bulan penggunaan PKK.
3) Jika perdarahan sela terjadi dalam 3 bulan pertama maka penggunaan
PKK dilanjutkan dengan mencatat siklus haid.

4) Jika pasien tidak ingin melanjutkan PKK atau perdarahan menetap > 3
bulan lanjutkan ke 5.
5) Lakukan pemeriksaan Chlamydia dan Neisseria (endometritis), bila
positif berikan doksisiklin 2 x 100 mg selama 10 hari. Yakinkan pasien
minum PKK secara teratur. Pertimbangkan untuk menaikkan dosis
estrogen. Jika usia pasien lebih dari 35 tahun dilakukan biopsi
endometrium.
6) Jika perdarahan abnormal menetap lakukan TVS, SIS atau histeroskopi
untuk menyingkirkan kelainan saluran reproduksi.
7) Jika perdarahan sela terjadi setelah 3 bulan pertama penggunaan PKK,
lanjutkan ke 5.
8) Jika efek samping berupa amenorea lanjutkan ke 9.
9) Singkirkan kehamilan.
10) Jika tidak hamil, naikkan dosis estrogen atau lanjutkan pil yang sama.

Perdarahan karena efek samping kontrasepsi progestin


1) Jika terdapat amenorea atau perdarahan bercak, lanjutkan ke 2.

2) Konseling bahwa kelainan ini merupakan hal biasa.


3) Jika efek samping berupa PUA-O, lanjutkan ke 4.
4) Jika usia pasien > 35 tahun dan memiliki risiko tinggi keganasan
endometrium, lanjutkan ke 5, jika tidak lanjutkan ke 6.
5) Biopsi endometrium.
6) Jika dalam 4-6 bulan pertama pemakaian kontrasepsi, lanjutkan ke 7.
Jika tidak lanjutkan ke 9.
7) Berikan 3 alternatif sebagai berikut:
a) Lanjutkan kontrasepsi progestin dengan dosis yang sama;
b) Ganti kontrasepsi dengan PKK (jika tidak ada kontra indikasi);
c) Suntik DMPA setiap 2 bulan (khusus akseptor DMPA).
1

Bila perdarahan tetap berlangsung setelah 6 bulan, lanjutkan ke 9.

8) Berikan estrogen jangka pendek (EEK 4 x 1.25 mg / hari selama 7 hari)


yang dapat diulang jika perdarahan abnormal terjadi kembali.
Pertimbangkan pemilihan metoda kontrasepsi lain.

Perdarahan karena efek samping penggunaan AKDR

1) Jika pada pemeriksaan pelvik dijumpai rasa nyeri, lanjutkan ke 2.


2) Berikan doksisiklin 2x100 mg sehari selama 10 hari karena perdarahan
pada pengguna AKDR dapat disebabkan oleh endometritis. Jika tidak ada
perbaikan, pertimbangkan untuk mengangkat AKDR.
3) Jika tidak dijumpai rasa nyeri dan AKDR digunakan dalam 4-6 bulan
pertama, lanjutkan ke 4. Jika tidak, lanjutkan ke 5.
4) Lanjutkan penggunaan AKDR, jika perlu dapat ditambahkan AINS. Jika
setelah 6 bulan perdarahan tetap terjadi dan pasien ingin diobati,
lanjutkan ke 5.
5) Berikan PKK untuk 1 siklus.
6) Jika perdarahan abnormal menetap lakukan pengangkatan AKDR. Bila
usia pasien > 35 tahun lakukan biopsi endometrium.

A Pemilihan Obat-obatan pada Perdarahan Uterus Abnormal (HIFERI-POGI,


2011)
1. Non Hormonal
a. Asam traneksamat
Obat ini bersifat inhibitor kompetitif pada aktivasi plasminogen.
Plasminogen akan diubah menjadi plasmin yang berfungsi untuk memecah

fibrin menjadi fibrin degradation products (FDPs). Oleh karena itu obat ini
berfungsi sebagai agen anti fibrinolitik. Obat ini akan menghambat faktorfaktor yang memicu terjadinya pembekuan darah, namun tidak akan
menimbulkan kejadian trombosis. Efek samping: gangguan pencernaan,
diare dan sakit kepala. Dosisnya untuk perdarahan mens yang berat adalah
1g (2x500mg) dari awal perdarahan hingga 4 hari.
b. Obat anti inflamasi non steroid (AINS)
Kadar prostaglandin pada endometrium penderita gangguan haid akan
meningkat. AINS ditujukan untuk menghambat siklooksigenase, dan akan
menurunkan sintesa prostaglandin pada endometrium. AINS dapat
mengurangi jumlah darah haid hingga 20-50 persen. Pemberian AINS dapat
dimulai sejak perdarahan hari pertama atau sebelumnya hingga hingga
perdarahan yang banyak berhenti. Efek samping : gangguan pencernaan,
diare, perburukan asma pada penderita yang sensitif, ulkus peptikum hingga
kemungkinan terjadinya perdarahan dan peritonitis.
1

Hormonal
a. Estrogen
Sediaan ini digunakan pada kejadian perdarahan akut yang banyak. Sediaan
yang digunakan adalah EEK, dengan dosis 2.5 mg per oral 4x1 dalam waktu
48 jam. Pemberian EEK dosis tinggi tersebut dapat disertai dengan
pemberian obat anti-emetik seperti promethazine 25 mg per oral atau intra
muskular setiap 4-6 jam sesuai dengan kebutuhan.
b. PKK (Pil Kontrasepsi Kombinasi)
Perdarahan haid berkurang pada penggunaan pil kontrasepsi kombinasi
akibat endometrium yang atrofi. Dosis yang dianjurkan pada saat perdarahan
akut adalah 4 x 1 tablet selama 4 hari, dilanjutkan dengan 3 x 1 tablet selama
3 hari, dilanjutkan dengan 2 x 1 tablet selama 2 hari, dan selanjutnya 1 x 1
tablet selama 3 minggu. Selanjutnya bebas pil selama 7 hari, kemudian
dilanjutkan dengan pemberian pil kontrasepsi kombinasi paling tidak selama
3 bulan. Apabila pengobatannya ditujukan untuk menghentikan haid, maka
obat tersebut dapat diberikan secara kontinyu, namun dianjurkan setiap 3-4

bulan dapat dibuat perdarahan lucut. Efek samping dapat berupa perubahan
mood, sakit kepala, mual, retensi cairan, payudara tegang, deep vein
thrombosis, stroke dan serangan jantung.
c. Progestin
Obat ini akan bekerja menghambat penambahan reseptor estrogen
serta akan mengaktifkan enzim 17-hidroksi steroid dehidrogenase pada selsel endometrium, sehingga estradiol akan dikonversi menjadi estron yang
efek biologisnya lebih rendah dibandingkan dengan estradiol. Meski
demikian penggunaan progestin yang lama dapat memicu efek anti mitotik
yang mengakibatkan terjadinya atrofi endometrium. Progestin dapat
diberikan secara siklik maupun kontinyu. Pemberian siklik diberikan selama
14 hari kemudian stop selama 14 hari, begitu berulang-ulang tanpa
memperhatikan pola perdarahannya.
Apabila perdarahan terjadi pada saat sedang mengkonsumsi
progestin, maka dosis progestin dapat dinaikkan. Selanjutnya hitung hari
pertama perdarahan tadi sebagai hari pertama, dan selanjutnya progestin
diminum sampai hari ke 14. Pemberian progestin secara siklik dapat
menggantikan pemberian pil kontrasepsi kombinasi apabila terdapat kontraindikasi (misalkan : hipersensitivitas, kelainan pembekuan darah, riwayat
stroke, riwayat penyakit jantung koroner atau infark miokard, kecurigaan
keganasan payudara ataupun genital, riwayat penyakit kuning akibat
kolestasis, kanker hati).
Sediaan progestin yang dapat diberikan antara lain MPA 1 x 10 mg,
noretisteron asetat dengan dosis 2-3 x 5 mg, didrogesteron 2 x 5 mg atau
nomegestrol asetat 1 x 5 mg selama 10 hari per siklus. Apabila pasien
mengalami perdarahan pada saat kunjungan, dosis progestin dapat dinaikkan
setiap 2 hari hingga perdarahan berhenti. Pemberian dilanjutkan untuk 14
hari dan kemudian berhenti selama 14 hari, demikian selanjutnya bergantiganti. Pemberian progestin secara kontinyu dapat dilakukan apabila
tujuannya untuk membuat amenorea. Terdapat beberapa pilihan, yaitu:
-

pemberian progestin oral : MPA 10-20 mg per hari

Pemberian DMPA setiap 12 minggu

Penggunaan LNG IUS


Efek samping: peningkatan berat badan, perdarahan bercak, rasa

begah, payudara tegang, sakit kepala, jerawat dan timbul perasaan depresi.
a

Androgen Danazol
Obat tersebut memiliki efek androgenik yang berfungsi untuk menekan
produksi estradiol dari ovarium, serta memiliki efek langsung terhadap
reseptor estrogen di endometrium dan di luar endometrium. Pemberian dosis
tinggi 200 mg atau lebih per hari dapat dipergunakan untuk mengobati
perdarahan menstrual hebat. Danazol dapat menurunkan hilangnya darah
menstruasi kurang lebih 50% bergantung dari dosisnya dan hasilnya terbukti
lebih efektif dibanding dengan AINS atau progestogen oral. Dengan dosis
lebih dari 400mg per hari dapat menyebabkan amenorea. Efek sampingnya
dialami oleh 75% pasien yakni: peningkatan berat badan, kulit berminyak,
jerawat, perubahan suara.

d. Agonis Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH)


Obat ini bekerja dengan cara mengurangi konsentrasi reseptor GnRH pada
hipofisis melalui mekanisme down regulation terhadap reseptor dan efek
pasca reseptor, yang akan mengakibatkan hambatan pada pelepasan hormon
gonadotropin. Pemberian obat ini biasanya ditujukan pada wanita dengan
kontraindikasi untuk operasi. Obat ini dapat membuat penderita menjadi
amenorea. Apabila pemberiannya melebihi 6 bulan, maka dapat diberikan
tambahan terapi estrogen dan progestin dosis rendah (add back therapy).
Efek samping biasanya muncul pada penggunaan jangka panjang, yakni:
keluhan-keluhan mirip wanita menopause (misalkan hot flushes, keringat
yang bertambah, kekeringan vagina), osteoporosis (terutama tulang-tulang
trabekular apabila penggunaan GnRH agonist lebih dari 6 bulan).

BAB V
KESIMPULAN
1. Perdarahan uterus abnormal (PUA) adalah perubahan pada frekuensi, durasi dan
jumlah atau volume perdarahan menstruasi.
2. Penyebabnya dapat diklasifikasikan menjadi Palm and Coein (Polip, Disfungsi
Miometrial, Leiomyoma, Adenomiosis, Keganasan dan Hiperplasia, Koagulopati,
Disfungsi ovulasi, Endometrial, Iatrogenik, Belum diklasifikasikan)
3. Faktor resiko dari perdarahan uterus abnormal meliputi umur 35 tahun atau lebih,
obesitas, sindrom polikistik ovarium, endometriosis, penggunaan estrogen dan
progesteron jangka panjang, hipertensi keadaan stres, diet, tidur yang tidak teratur,
bekerja berlebihan, latihan yang bertenaga, penyalahgunaan alkohol dan obatobatan.
4. Tatalaksana dapat beruapa pemberian : NSAID, Pil kontrasepsi oral, Terapi
progestin, intrauterin levonorgestrel, Gonadotropin-releasing hormone agonis,
Danazol, Estrogen konjugasi, asam traneksamat

DAFTAR PUSTAKA
Achadiat, C. M. 2003. Prosedur Tepat Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Badziad, A. Hestiantoro, A. Wiweko, B. Sumapradja, K. 2011. Panduan Tatalaksana
Perdarahan Uterus Abnormal. Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas
Indonesia dan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi. Indonesia: Aceh.
Beckmann, Charles R. B., Frank W. Ling, William N. P. Hebbert, Douglas W. Laube, et
al. 2014. Obstetrics and Gynecology. Edisi Ketujuh. Philadelpia: Lippincott
William and Wilkins.
Callahan, T. L. dan Caughey, A. B. 2009. Obstetric and Gynecology 5th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
Himpunan Endokrinologi - Reproduksi Dan Fertilitas, Perkumpulan Obstetri Dan
Ginekologi Indonesia (Hiferi-Pogi). 2011. Panduan Tata Laksana Perdarahan
Uterus Abnormal. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
Malcolm G. M., et al. 2011. The FIGO classification of causes of abnormal uterine
bleeding in the reproductive years. American Society for Reproductive Medicine
Elsevier.
Mansjoer, Arif. 2001. Perdarahan Uterus Disfungsional. Dalam: Arif Mansjoer ed.
Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Norwitz E. R., Schorge J. O. 2001. Obstetric and Gynecology at a Glance. Blackwell
Science. p 10.38.
Pfeifer S. M. N. M. S. 2008. Obstetrics and Gynecology. 6th edition. Lippincott
Williams & Wilkins. Chapter 19.20.
Schorge, O., John, et al. 2008. Williams Gynecology 23rd Edition. Section 1 Benign
General Gynecology, Chapter 8. Abnormal Uterine Bleeding. China: McGrawHill.
Silberstein Taaly. 2003. Complications of Menstruation; Abnormal Uterine Bleeding.
Dalam: DeCherney Alan H; Nathan Lauren, Current Obstetric & Gynecologic
Diagnosis and Treatment, 9th Edition, Los Angeles: Lange Medical
Books/McGraw-Hill. pp 623-630.
Simanjuntak Pandapotan. 2005. Gangguan Haid dan Siklusnya. Dalam: Wiknjosastro
G. H., Saifuddin A. B., Rachimhadhi T., editor. Ilmu Kandungan. Edisi 5. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: pp. 223-228.
Telner D. 2007. Approach to Diagnosis and Management Abnormal Uterine Bleeding.
Can Fam Physician.

Anda mungkin juga menyukai