Anda di halaman 1dari 8

MIASTENIA GRAVIS: KLASIFIKASI SUBGRUP DAN STRATEGI

PENANGANANNYA
Miastenia gravis merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan kelemahan otot dan
kelelahan, dimediasi oleh sel B, dan dihubungkan dengan antibodi yang menyerang reseptor
asetilkolin, Muscle-Specific Kinase (MUSK), lipoprotein-related protein 4 (LRP4), atau bisa
juga keberadaan agrin pada membran postsinaptik pada neuromuscular junction. Pasien
dengan miastenia gravis seharusnya dikelompokkan dalam beberapa subgrup untuk
menentukan terapi mana yang paling sesuai beserta prognosisnya. Pemilihan subgrup
didasarkan pada serum antibodi dan gambaran klinis yang mencakup early-onset, late-onset,
thymoma, MUSK, LRP4, ketidakadaan antibodi, dan gambaran okular dari miastenia gravis.
Miastenia gravis yang berhubungan dengan agrin berpotensi untuk muncul sebagai suatu hal
yang baru. Prognosis penyakit ini tergolong baik apabila pasien menjalani terapi
simptomatik, imunosupresif, dan suportif. Pyridostigmine merupakan terapi simptomatik
yang direkomendasikan. Pada pasien yang kurang berespon terhadap terapi simptomatik,
maka kortikosteroid, azathioprine, dan thymectomy merupakan terapi imunosupresif lini
pertama. Beberapa terapi imunomodulator sebenarnya sudah mulai bermunculan, namun
masih terhambat oleh kurangnya studi terhadap keefektivitasan terapi-terapi tersebut.
Pengobatan jangka panjang merupakan hal yang penting dan harus dikhususkan bagi jenisjenis miastenia gravis yang spesifik.
Pendahuluan
Disfungsi neuromuscular junction menyebabkan berbagai gangguan yang ditandai dengan
kelemahan beberapa otot skeletal meskipun tidak menimpa seluruh otot skeletal di tubuh.
Apabila terjadi sejak lahir, maka gangguan genetik ini disebut congenital myasthenic
syndromes. Beberapa toksin, seperti toksin botulinum dan curare, juga dapat menyebabkan
disfungsi neuromaskular seperti yang terjadi pada penyakit miastenia gravis akibat autoimun,
neonatal myasthenia gravis, sindrom miastenik Lambert-Eaton, dan neuromiotonia.
Miastenia gravis merupakan suatu bentuk penyakit akibat kumpulan gangguan pada
neuromuscular junction yang disebabkan oleh antibodi patogenik yang menyerang komponen
lempeng otot postsinaps (Gambar 1). Kelemahan otot pada miastenia gravis ini sangat khas.
Beberapa otot akan mengalami kelemahan dan tidak simetris dalam menjalankan fungsinya.
Kelemahan yang terus menurus yang diikuti dengan aktivitas otot yang berkelanjutan akan

memperlihatkan tanda diagnostik untuk menegakkan diagnosis pasti miastenia gravis, namun
gambaran klinis ini sangat bervariasi. Pasien dengan miastenia gravis harus dikelompokkan
dalam beberapa subgrup, yang nantinya akan mencakup kriteria penegakan diagnosis, terapi,
dan prognosis. Panduan dan konsensus miastenia gravis sudah merekomendasikan adanya
pembagian subgrup ini, namun definisi pasti dari setiap subgrup masih terus diperdebatkan
dan subgrup-subgrup baru terus bermunculan sebagai hasil dari penelitian yang terus
meningkat terkait miastenia gravis.

Gambar 1
Keberadaan autoantibodi yang merusak reseptor asetilkolin (AChR), muscle-specific kinase
(MUSK), dan lipoprotein related protein 4 (LRP4) merupakan suatu penanda sensitif dan
spesifik bagi diagnosis dan faktor patogenik. Autoantibodi tersebut dapat menjadi suatu
instrumen untuk mengelompokkan pasien ke dalam subgrup-subgrup miastenia gravis. Oleh
karena itu, pemeriksaan autoantibodi merupakan prasyarat untuk menentukan diagnosis dan
terapi secara pasti.
Dengan terapi imunosupresif, simptomatik, dan suportif yang modern, prognosis miastenia
gravis cukup baik. Mayoritas pasien dengan gejala ringan hingga sedang akan mengalami

remisi penuh atau perubahan yang signifikan setelah menjalani terapi terstandar. Namun,
remisi penuh ini jarang terjadi pada pasien dengan kondisi miastenia gravis yang buruk.
Fungsi kehidupan sehari-hari pada pasien miastenia gravis hampir tidak terpengaruh serta
tidak ada penurunan angka harapan hidup. Terapi jangka panjang adalah suatu hal yang
penting untuk hampir semua pasien dengan miastenia gravis. Pada 10-15% pasien dengan
miastenia gravis, monitoring penyakit sepenuhnya hanya dilakukan bila diprediksi akan
terdapat efek samping yang berbahaya dari penggunaan terapi imunosupresif.
Protokol-protokol terapi yang tersedia saat ini tidak seratus persen berdasar pada penelitian
atau panduan-panduan, karena penelitian mengenai miastenia gravis dianggap masih sangat
jarang dan masih belum banyak membahas mengenai respon terapi dari beberapa subgrup
miastenia gravis. Penyakit ini adalah penyakit yang masih jarang, dan mayoritas pasien
memberikan respon yang baik terhadap terapi-terapi yang telah ada. Kedua hal tersebut
merupakan tantangan untuk suatu penelitian yang baru. Penulis akan menggabungkan
informasi dari berbagai studi, laporan konsensus, dan pendapat para pakar menyangkut halhal teoretis dan eksperimental mengenai subgrup miastenia gravis, dengan tujuan untuk
menilai keefektivitasan terapi, termasuk di dalamnya adalah intervensi yang menyangkut
proses patofisiologi.
Autoantibodi pada Miastenia Gravis
Antibodi AChR (Acetylcholin Receptor) merupakan penanda spesifik dari miastenia gravis,
dan keberadaan senyawa ini bersama dengan munculnya kelemahan otot adalah tanda pasti
untuk mendiagnosis seseorang menderita miastenia gravis. Pemeriksaan diagnostik lanjutan
hanya digunakan untuk menentukan subgrup penyakit dan derajat keparahan penyakit.
Penting tidaknya pemeriksaan AChR berulang masih menjadi perdebatan, namun perubahanperubahan konsentrasi antibodi dipercaya dapat memprediksi keparahan penyakit pada pasien
yang mendapat obat imunosupresan sehingga dapat membantu untuk penentuan terapi
selanjutnya. Hingga saat ini belum ada penelitian yang mengkonfirmasi adanya korelasi
antara konsentrasi antibodi AChR dan keparahan penyakit. Antibodi AChR bersifat patogenik
karena melakukan hubungan silang (crosslinks) dengan AChRs yang pada akhirnya dapat
menurunkan jumlah AChR. Mekanismenya melalui ikatan dan aktivasi komplemen, dan
dengan menginduksi perubahan morfologis AChR atau memblok ikatan asetilkolin dengan
AChR yang merupakan reseptornya sendiri. Radioimmuno merupakan tes standar untuk
menghitung jumlah antibodi AChR. Cell-based assays sebenarnya memiliki sensitivitas lebih

tinggi dibandingkan radioimmuno, namun hingga saat ini pemeriksaan tersebut belum
terstandar dan belum tersedia secara komersil. Tes yang melibatkan ligand seperti ELISA dan
tes fluoresensi sebenarnya juga dapat digunakan karena menggunakan prinsip yang sama
dengan tes radioimmuno, namun tes ini dinilai tidak terlalu sensitif.
Tes yang terstandar untuk antibodi MUSK adalah radioimuno atau ELISA. Cell-based assays
yang digunakan untuk penelitian dapat meningkatkan sensitivitas. Antibodi MUSK terbukti
patogenik ketika diuji ke hewan coba, hingga mengganggu ikatan antibodi IgG4 terhadap
komplemen. Penting tidaknya pemeriksaan ulang antibodi MUSK terhadap pasien masih
belum dapat ditentukan karena belum ada penelitian yang akurat mengenai hal tersebut.
Antibodi LRP4 berikatan dengan protein membran pada penelitian in vivo, memblok
interaksi agrin-LRP4 dan juga menginhibisi agregasi AChR pada membran. Intervensi
terhadap interaksi LRP4-MUSK dapat menjadi salah satu patofisiologi yang penting. Mencit
yang disuntikkan antibodi LRP4 terbukti mengalami miastenia gravis. Oleh karena itu,
antibodi LRP4 juga dianggap patogenik karena mengganggu kerja AChR.
Antibodi agrin juga terdeteksi pada pasien miastenia gravis. Agrin merupakan senyawa yang
memainkan peran penting terhadap fungsi AChR, namun apakah keberadaan antibodi agrin
juga berperan terhadap kelemahan otot masih belum jelas. Autoantibodi cortactin juga
dilaporkan terdapat pada pasien dengan miastenia gravis.
Reseptor antibodi titin dan ryanodine ditemukan pada miastenia gravis yang berhubungan
dengan AChR. Titin mengatur flektibilitas struktur sel, sementara reseptor ryanodine
merupakan saluran kalsium retikulum sarkoplasma yang menginduksi kontraksi sel-sel otot.
Reseptor antibodi titin dan ryonadine belum tentu menginduksi terjadinya kelemahan otot,
namun dapat menjadi penanda penyakit. Kedua antibodi ini ditemukan dalam jumlah besar
pada miastenia gravis dengan thymoma, dan dalam jumlah sedang pada late-onset miastenia
gravis, serta dalam jumlah sangat sedikit pada early-onset miastenia gravis dan miastenia
gravis okular. Kedua jenis antibodi ini tidak dapat terdeteksi dengan cara standar seperti
untuk mendeteksi antibodi MUSK, LRP4, dan miastenia gravis yang tidak melibatkan
antibodi (antibody-negative myasthenia gravis). Reseptor antibodi titin dan ryanodine bisa
juga digunakan untuk mendeteksi thymoma pada pasien di bawah usia 50 tahun. Kedua
antibodi ini dipercaya dapat digunakan sebagai penanda miastenia gravis yang berat yang

membutuhkan terapi imunosupresi jangka panjang dan tidak berespon pada thymektomi. Tes
ELISA dapat digunakan untuk menemukan reseptor antibodi titin namun tidak dapat
digunakan untuk mendeteksi reseptor antibodi ryanodine.
Epidemiologi
Prevalensi miastenia gravis di seluruh dunia diperkirakan sebanyak 40-180/1 juta orang dan
insidensi pertahun berkisar sebanyak 4-12/1 juta orang. Beberapa data terbaru terkait
prevalensi dan insidensi menunjukkan grafik yang meningkat dibanding tahun-tahun
sebelumnya, terutama pada late-onset miastenia gravis, yang bisa saja disebabkan karena
meningkatnya penemuan kasus serta sudah banyaknya pemeriksaan autoantibodi yang
dilakukan. Peningkatan jumlah lansia dan menurunnya mortalitas akibat miastenia gravis
juga berimbas pada angka prevalensi dan insidensi. Miastenia gravis yang melibatkan AChR
memiliki dua pola insidensi yang berbeda, dengan puncaknya pada usia 30 tahun serta
insidensi yang terus meningkat pada penderita di atas usia 50 tahun. Insidensi pada dewasa
muda lebih tinggi pada wanita, suatu hal yang umum terjadi pada penyakit-penyakit
autoimun, meskipun late-onset miastenia gravis lebih banyak terjadi pada laki-laki. Belum
ada bukti yang menunjukkan bahwa kejadian miastenia gravis ini meningkat akibat faktor
eksternal seperti adanya infeksi dan diet.
Secara umum, insidensi dan prevalensi miastenia gravis menunjukkan sedikit variasi
geografis, namun, hal ini tidak berlaku bagi semua subgrup miastenia. Juvenile miastenia
gravis, salah satu subtipe dari early-onset miastenia gravis, ditemukan dalam jumlah besar
pada penduduk Asia Timur, dimana 50% penderitanya berumur kurang dari 15 tahun serta
hanya mengeluh terdapat gangguan pada okular saja. Insidensi miastenia gravis pada anakanak (<15 tahun) pada populasi campuran di Kanada sebesar 1-2/1 juta penduduk per tahun,
dan tertinggi menyerang etnis Asia, terutama pada subgrup okular. Antibodi LRP4 ditemukan
pada 19% persen yang tidak memiliki antibodi AChR, dan antibodi MUSK ditemukan pada
sepertiga pasien yang tidak memiliki antibodi AChR. Data epidemiologis menunjukkan
bahwa jumlah miastenia gravis yang melibatkan LRP4 separuh dari miastenia gravis yang
mengandung MUSK. Insidensi miastenia gravis yang melibatkan MUSK sebesar 0-3/1 juta
pasien pertahun, dengan prevalensi sebesar 2-9/1 juta pasien, dan banyak ditemukan pada
Eropa Selatan dibandingkan Eropa Utara. Predisposisi genetik dan faktor eksternal yang
dihubungkan dengan infeksi atau diet merupakan suatu faktor yang dapat dipertimbangkan
untuk menjelaskan terjadinya variasi geografis dari subtipe-subtipe miastenia gravis.

Gambaran Klinis
Kelemahan otot merupakan gejala dan tanda utama dari miastenia gravis. Kombinasi dari
lokasi otot yang mengalami kelemahan, variasi kelemahan, dan kelemahan akibat aktivitas
fisik umumnya memberi petunjuk yang kuat sebagai dasar diagnosis miastenia gravis dari
seluruh subgrup. Pada pasien yang lebih tua, kelemahan otot mata serta gangguan
serebrovaskular pada batang otat juga dapat terjadi. Pada penderita yang lebih muda,
gangguan kelelahan yang tidak terlalu spesifik dapat menjadi bagian dari diagnosis
diferensial.
Kelemahan pada miastenia gravis akan memberat di otot-otot ekstraokular, bulbar, anggota
gerak, dan aksial (Gambar 2). 60% pasien mengeluh mengalami ptosis atau diploplia atau
bahkan keduanya, dan 20% lainnya mengeluhkan bahwa kelemahan hanya terbatas pada otototot okular saja. Kelemahan pada otot mata eksternal menyebabkan kerja otot menjadi
asimetris (Gambar 3), sedangkan kelemahan pada otot anggota gerak, kerja otot masih
simetris (Gambar 2). Variasi gejala pada otot skeletal adalah suatu hal yang mengejutkan
karena kesemuanya menunjukkan adanya mekanisme autoimun. Variasi ini timbul dari
berbagai macam proses yang tidak begitu terlihat yang mengganggu mekanisme transmisi
neuromuskular, kontraksi depolarisasi sel otot, resistensi untuk melawan serangan
imunologis, dan proses regenerasi dari struktur-struktur otot.

Gambar 2

Gambar 3
KOMORBIDITAS
Pasien dengan miastenia gravis tahap awal dan miastenia okular memiliki kesempatan yang
lebih besar untuk mengalami gangguan pada organ-organ spesifik dan gangguan autoimun,
terutama tiroiditis. Pasien dengan miastenia gravis yang berkaitan dengan timoma memiliki
risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan autoimun. Timektomi hingga saat ini dipercaya
tidak meningkatkan risiko untuk menimbulkan infeksi, gangguan autoimun, atau kanker.
Kelemahan otot pada miastenia gravis dapat saja menjadi faktor risiko terjadinya infeksi pada
traktur respiratorius dan osteoporosis, peningkatan berat badan, serta berbagai komplikasi
lain. Miopati inflamasi autoimun secara luas dapat memicu timbulnya miastenia gravis.
Antibodi AChR dan miastenia gravis diketahui memiliki hubungan dengan sklerosis
amiotropik lateralis.
Beberapa studi telah meneliti tentang risiko kanker pada pasien dengan miastenia gravis.
Tantangan metodologis untuk meneliti hal ini adalah pada seleksi sampel, pengukuran
sensitivitas deteksi kanker, waktu follow-up, dan tipe dari kontrol grup yang dapat bermuara
pada berbagai macam kesimpulan. Timoma secara umum terlihat dapat memicu munculnya
beberapa jenis kanker. Miastenia gravis dan terapi imunoaktifnya, berdasarkan Danish
population-based study, dengan waktu follow-up serta monitoring yang panjang, diketahui
tidak memicu munculknya kanker, meskipun kejadian kanker kulit non-melanoma bisa saha
muncul.
Antibodi AChR, MUSK, dan LRP4 tidak bereaksi silang dengan otot jantung. Pada studi
populasi, tidak ditemukan adanya peningkatan mortalitas ataupun morbiditas yang
disebabkan karena kerusakan jantung. Namun, fungsi kardiofisiologi dapat terganggu dengan

kemunculan antibodi-antibodi ini. Banyak laporan kasus mengenai kardiomiositis berat dan
abnormalitas konduksi jantung di miastenia gravis yang berkaitan dengan timoma dan
miastenia gravis tahap lanjut, yang diduga disebabkan oleh terinduksinya otot jantung oleh
proses autoimun. Monitoring fungsi jantung direkomendasikan pada kondisi eksaserbasi
miastenia gravis berat, terutama pada pasien yang memiliki jenis antibodi yang berbagai
macam.

Anda mungkin juga menyukai