Anda di halaman 1dari 34

GANGGUAN PSIKOTIK AKIBAT EPILEPSI

REFERAT

Disusun Oleh :
Brigita Sanina Manullang
Karen Kuniya
Tri Lamtiur Pakpahan

Perceptor :
dr. High Boy Karumulborg Hutasoit, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga referat ini dapat penulis selesaikan. Penyusun juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada dr. High Boy Karumulborg Hutasoit, Sp.KJ
sebagai pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan refreat ini.

Penyusunan refreat ini disusun sebagai sarana diskusi dan pembelajaran mengenai
gangguan psikotik pada pasien dengan epilepsi, serta diajukan guna memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung.
Semoga refreat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sehingga membantu para
pembaca dalam menemukan serta menangani kasus perubahan perilaku psikiatrik
pada pasien epilepsi ke depannya.

Penulis menyadari dalam penyusunan refreat ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu, penulis terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak sehingga lebih baik pada penyusunan refreat berikutnya. Penulis mengucapkan
banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
refreat ini.

Bandar Lampung, Juli 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan epilepsi yang terus menerus, dengan dampak pada
neurobiologi, kognitif, psikologi dan sosial. Definisi ini mengisyaratkan
terjadinya minimal 1 kali bangkitan epileptik. Bangkitan epileptik adalah
terjadinya tanda atau gejala yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang
abnormal dan berlebihan di otak.

Klinisi telah mengenal hubungan antara epilepsi berdampak pada kelainan


psikiatri sejak dulu. Pada jaman modern ini, hubungan antara keduanya semakin
sedikit dikenali dan jarang dicari. Meskipun begitu, perkembangan mengenai
pengobatan anti-epileptik dan terapi psikiatri serta teknik neuro-imaging yang
dapat mengetahui hubungan antara kejang oleh epilepsi serta psikopatologiknya
telah meningkat.

Data epidemiologi mendukung peningkatan resiko komorbiditas antara pasien


epilepsi dibandingkan dengan pasien non-epilepsi. Hubungan yang paling terlihat
adalah antara epilepsi dengan depresi yang terjadi pada lebih dari seperempat
pasien. Epilepsi dapat juga dikaitkan dengan gangguan kecemasan, gangguan
gejala somatik, perubahan kepribadian, hiposeksualitas dan mungkin yang paling
dramatis, dapat beberapa bentuk psikosis.

Manifestasi psikiatrik dapat diakibatkan langsung dari pelepasan iktal (misal aura
psikis), fenomena peri-iktal (misal kebingungan post-iktal), inter-iktal atau antara
kejang (misal psikosis interiktal), atau dengan keadaan di luar kejang (misal
gangguan mood).

Prevalensi gangguan psikotik pada epilepsi sebesar 5-10% pada penderita


epilepsi dan 30-50% memiliki komorbid gangguan psikiatri. Lebih sering terjadi
pada wanita dan rerata usia 39,1 tahun. Adanya riwayat keluarga, epilepsi usia
dini dan tipe bangkitar yang dialami adalah prediktor terjadinya gangguan
psikotik pada epilepsi.

Komorbiditas psikiatrik memiliki dampak serius pada kualitas hidup dan


kesejahteraan pasien dengan keadaan epilepsi. Psikiater dan ahli saraf perlu
memaksimalkan obat stabilisasi mood dan efek psikotropika lainnya serta obat
anti-epilepsi, perlu juga dipertimbangkan ambang kejang yang dapat menurunkan
efek beberapa obat psikotropika dan memonitor interaksi potensial antara obat
antiepilepsi dan psikotropika. Sebelum merawat pasien dengan anti-epilepsi,
psikiater dan ahli saraf juga harus mampu membedakan kejang epilepsi dan
kejang non-epilepsi.

Manifestasi klinis gangguan psikotik pada epilepsi berupa gejala psikotik terkait
gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik.
Keadaan ini disebut juga psychoses of epilepsy (POE) atau schizophrenia-like
psychosis of epilepsy (SLPE), gambaran psikotik yang sering pada kondisi ini
adalah paranoid dan schizophrenia-like seperti gejala delusi, paranoid dan
waham.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan refreat ini adalah :
1. Memahami resiko, mekanisme, diagnosis dan tatalaksana dari gangguan
psikotik pada pasien epilepsi.
2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran
khususnya di bagian ilmu kedokteran jiwa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epilepsi
Kejang epilepsi adalah suatu peristiwa perilaku tiba-tiba dan tidak disengaja yang
berhubungan dengan pelepasan listrik yang berlebihan pada otak. Kejang itu
sendiri dikenal sebagai iktal. Periode interiktal mengacu pada periode antara
kelainan post-iktal dan iktal berikutnya dan periode peri-iktal mengacu pada
periode tepat sebelum. Kejang epilepsi dapat didasari oleh genetik atau trauma,
stroke, infeksi atau neoplasma. Epilepsi memiliki kecenderungan berulang dan
berkepanjangan.

Pada epilepsi, pelepasan listrik abnormal dapat disebabkan oleh hipereksitasi


neuron dengan depolarisasi post-sinaps berkelanjutan. Mekanisme yang
diusulkan untuk depolarisasi berkelanjutan ini termasuk adanya perubahan
konduksi ion, penurunan γ-aminobutyric acid (GABA) menghambat rangsangan
kortikal, dan peningkatan eksitasi kortikal yang dimediasi glutamat.

Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala berikut:
1. Minimal terdapat dua bangkitan tanpa provokasi atau dua bangkitan
refleks dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari
24 jam,
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan refleks dengan
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam sepuluh tahun ke
depan,
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.

Bangkitan epilepsi adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh


faktor pencetus spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif
dan somatomotor.

Penyebab utama kejang dapat dikelompokkan menjadi:


1. Gangguan metabolik : hipoglikemia, hipomagnesia, gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, dll.
2. Gangguan neurobiologis : tumor, trauma serebrovaskular, degeneratif dan
stroke, penyakit demyelinisasi, sindrome Struger-Weber, sklerosis
tuberkulosa.
3. Racun : timah, striknin.
4. Trauma kepala
5. Infeksi : ensefalitis viral, AIDS, sitomegalovirus, toksoplasmosis,
meningitis, dll,
6. Putus zat : alkohol, benzodiazepin, barbiturat.
7. Defisiensi vitamin : piridoksin
8. Suhu tubuh : demam.

Klasifikasi dan terminologi kejang oleh International League Against Epilepsy


(ILAE) tahun 2010 adalah berdasarkan etiologi dan onset.
1. Kejang parsial/fokal/ lokal : dapat disertai atau tanpa disertai penurunan
kesadaran. Kejang ini dibagi lagi menjadi tiga yaitu:
a. Simple partial : tanpa penurunan kesadaran
b. Complex partial : dengan penurunan kesadaran
c. Kejang parsial yang berkembang menjadi
2. Kejang umum/generalisata (konvulsi atau non-konvulsi)
a. Absence (tipikal dan atipikal)
b. Myoclonus
c. Clonic
d. Tonic
e. Tonic-clonic
f. Atonic / akinetic
3. Kejang yang tidak terinci

Tanda dan gejala klinis epilepsi berdasarkan klasifikasi di atas adalah sebagai
berikut:
1. Bangkitan parsial
Bangkitan parsial memiliki onset pada satu bagian otak yang
menyebabkan gejala, misalnya gerakan pada tangan atau wajah,
perubahan sensorik atau gejala fokal pada perubahan memori pada
bangkitan lobus temporalis. Bangkitan ini dibagi menjadi dua yaitu:
a. Bangkitan parsial sederhana : tanpa perubahan kesadaran atau
memori. Dapat beruka bangkitan motorik berupa gerakan, sensasi
yang abnormal, gangguan pengelihatan atau penciuman dan
gangguan persepsi. Aktivitas bangkitan bisa meluas ke sistem saraf
otonom menyebabkan flushing, kesemutan atau mual. Semua
bangkitan parsial sederhana harus memiliki kesadaran yang penuh
dan bisa diingat sempurma oleh pasien.
b. Bangkitan parsial kompleks : bisa didapatkan aura yang muncul
sebelum bangkitan, biasanya berupa perasaan yang familiar (déjà
vu) mual, rasa panas atau kesemutan atau gangguan persepsi
sensorik. Sekitar setengah pasien tidak mengingat adanya aura.
Ketika terjadi bangkitan parsial kompleks pasien bisa melakukan
aktivitas otomatis misalnya mengambil baju, berjalan tanpa arah
atau mengatakan kalimat yang tidak berarti berulang-ulang.
Aktivitas yang tidak bertujuan ini disebut automatisme. Sekitar 75%
pasien dengan bangkitan parsial kompleks memiliki automatisme.
2. Bangkitan umum
Bangkitan umum dimulai dari kedua sisi otak. Bangkitan umum dipercaya
berasal dari struktur otak yang lebih dalam kemudian ke permukaan
kortikal di mana bangkitan muncul secara stimultan. Bangkitan umum ini
diklasifikasikan sebagai:
a. Bangkitan absans : biasanya onsetnya saat anak-anak, namun bisa
persisten sampai dewasa. Bangkitan muncul diawali dengan
melamun kadang disertai kelopak mata berkedip-kedip atau kepala
mengangguk-angguk.
b. Bangkitan tonik-klonik : bangkitan ini dimulai dengan hilangnya
kesadaran mendadak dan aktivitas tonik (kaku) diikuti dengan
aktivitas klonik (hentakan ritmis) dari ekstremitas. Mata pasien
melirik ke atas. Setelah bangkitan, pasien mengantuk dan bingung
bisa selama beberapa jam.
c. Bangkitan klonik
d. Bangkitan tonik : berupa kekakuan pada otot sebagai manifestasi
primer. Pada bangkitan ini kesadaran bisa intak maupun hilang.
Tida ada fase klonik (mengentak)
e. Bangkitan umum sekunder : bangkitan yang dimulai fokal lalu
menyebar ke seluruh otak yang menyebabkan tonik klonik.
f. Bangkitan atonik : bangkitan yang biasanya terjadi pada anak atau
dewasa dengan jejas pada otak. Pasien dengan bangkitan atonik
tiba-tiba kemas dan jatuh ke lantai.
g. Bangkitan mioklonik : bangkitan dengan hentakan serial yang tidak
serial yang tidak seritmis hentakan pada bangkitan tonik klonik.
3. Bangkitan campuran
Pasien bisa memiliki lebih dari satu jenis bangkitan. Bangkitan parsial
sederhana komples (ketika pasien menjadi bingung), lalu menjadi
bangkitan umum tonik klonik (ketika aktivitas elektrik meluas ke seluruh
otak).
4. Bangkitan yang tidak terklasifikasi : kategori ini meliputi semua
bangkitan yang tidak bisa diklasifikasikan karena keterbatasan data.
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan secara auto ataupun allo-anamnesis dari
keluarga atau saksi mata mengenai hal-hal terkait dibawah ini:
a. Gejala dan tanda sebelum, salam, dan pasca bangkitan:
 Sebelum bangkitan/ gajala prodomalondisi fisik dan psikis yang
mengindikasikan akan terjadinya bangkitan, misalnya
perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi,
mengantuk, menjadi sensitif, dan lain-lain.
 Selama bangkitan/ iktal:
 Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal
bangkitan?
 Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata,
gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi, aumatisasi,
gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai,
bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat,
berkeringat, dan lain-lain. (Akan lebih baik bila keluarga
dapat diminta menirukan gerakan bangkitan atau merekam
video saat bangkitan)
 Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
 Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya
 Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat
tidur, saat terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain-
lain
 Pasca bangkitan/ post- iktal:
 Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah,
Todd’s paresis.
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress
psikologis, alkohol.
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval
terpanjang antara bangkitan, kesadaran antara bangkitan
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya
 Jenis obat antiepilepsi
 Dosis OAE
 Jadwal minum OAE
 Kepatuhan minum OAE
 Kombinasi terapi OAE
e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis
psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab
maupun komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh
kembang
h. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam
i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
dll.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan fisik umum : ditujukan untuk mencari tanda-tanda
gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, misalnya:
 Trauma kepala
 Tanda-tanda infeksi
 Kelainan congenital
 Kecanduan alkohol atau NAPZA
 Tanda-tanda keganasan
b. Pemeriksaan Neurologis : ditujukan untuk mencari tanda-tanda
defisit neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan
epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan,
mungkin akan tampak tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi
petunjuk lokalisasi pascabangkitan, seperti:
 Paresis Todd
 Gangguan kesadaran pascaiktal
 Afasia pascaiktal
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
b. Magnetic resonance imaging (MRI).
c. Pemeriksaan Laboratorium : berupa hemoglobin, leukosit dan
hitung jenis, hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit
(natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah sewaktu,
fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.

Tatalaksana pada epilepsi adalah sebagai berikut:


Prinsip Pemberian OAE
1. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
2. Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
3. Penyandang atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan dan efek sampingnya
4. Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah dihindari

Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan


jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi. Pemberian obat dimulai dari dosis
rendah dan ditingkatkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek
samping.

Penyesuaian dosis diperlukan ketika timbulnya efek samping atau terjadi


bangkitan yang tidak dapat dibedakan karena dosis yang kurang tepat atau adanya
faktor presipitasi seperti penggunaan etanol berlebih. Jika efek samping ringan,
maka penyesuaian ringan dosis mungkin bermanfaat. Bila masalahnya adalah
timbulnya bangkitan, maka diperlukan titrasi OAE ke dosis yang lebih besar, atau
sampai ke dosis maksimal yang dapat ditoleransi.

Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. OAE kedua harus memiliki
mekansisme kerja yang berbeda dengan OAE pertama. Caranya, bila OAE telah
mencapai kadar terapi maka OAE pertama diturunkan bertahap. Bila terjadi
bangkitan saat penurunan OAE pertama, maka kedua OAE tetap diberikan. Bila
respon yang terjadi buruk, kedua OAE harus digantikan dengan OAE yang lain.
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respons dengan OAE
kedua, tetapi respons tetap suboptimal walaupun penggunaan kedua OAE
pertama sudah maksimal (Swisher dan Radtke, 2016).

Pada dewasa, penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah


3-5 tahun bebas bangkitan. OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60%
pasien. Dalam hal penghentian OAE, maka ada hal penting yang perlu
diperhatikan, yaitu syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan
kambuhan bangkitan setelah OAE dihentikan (Swisher dan Radtke, 2016).
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:
 Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG normal
 Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau keluarganya.
 Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan dalam
jangkat waktu 3-6 bulan
 Bila dilakukan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE
yang bukan utama.

2.2 Gangguan Psikotik


Gangguan psikotik merupakan gangguan jiwa yang ditandai dengan
ketidakmampuan individu untuk membedakan dunia nyata dengan dunia
khayalan seperti halusinasi, waham, atau perilaku kacau atau aneh selama 1 hari
namun tidak lebih dari 1 bulan. Biasanya didahului oleh stress dari kehidupan
eksternalnya. Kondisi psikotik yang ditandai dengan adanya onset tiba-tiba dari
gejala psikotik, yang bertahan selama 1 hari atau lebih namun kurang dari 1
bulan.

Gangguan psikotik akut biasanya muncul pada remaja atau dewasa muda, dan
onsetnya dapat terjadi pada seluruh usia, dengan rata-rata onset di pertengahan
usia 30 tahun. Gangguan psikotik akut terjadi dua kali lipat lebih sering pada
wanita dibandingkan pria. Beberapa penelitian mengatakan bahwa kelainan ini
banyak terlihat pada pasien dengan sosioekonomi yang rendah dan pada pasien
yang telah memiliki pengalaman buruk mengenai bencana atau perubahan kultur
yang besar (imirgran). Orang yang telah melalui tekanan psikologikal yang kuat
memiliki risiko terkena psikotik akut lebih besar dibandingkan yang lain.

Penyebabnya belum diketahui secara pasti, tapi sebagian besar dijumpai pada
pasien dengan gangguan kepribadian mungkin memiliki kerentanan biologis atau
psikologis terhadap perkembangan gejala psikotik. Satu atau lebih faktor stres
berat, seperti peristiwa traumatis, konflik keluarga, masalah pekerjaan,
kecelakan, sakit parah, kematian orang yang dicintai, dan status imigrasi tidak
pasti, dapat memicu psikots raktif singkat. Menurut penelitian, 2/3 pasien
psikotik akut mendapatkan tekanan yang berat dalam hidupnya kurang lebih 4
minggu sebelum muncul gejala psikotik akut. Di India, ditemukan 69% pasien
mendapatkan tekanan berat dalam hidupnya 2 minggu sebelum munculnya gejala
psikotik. Pada penelitian di India, kasus psikotik akut biasanya muncul dari
kehidupan sehari-hari, seperti beban pekerjaan yang tinggi, hilangnya pekerjaan,
ataupun bagi suami yang ditinggalkan oleh istrinya

Menurut penelitian, gangguan mental apapun yang pernah terjadi didalam


keluarga meningkatkan faktor risiko untuk seseorang untuk menderita psikotik
akut (29,3%) dibandingkan dengan seseorang tanpa riwayat keluarga yang
menderita gangguan mental (3,6%). Pada sebuah penelitian oleh Das et al,
dikatakan bahwa seseorang dengan riwayat keluarga yang memiliki gangguan
mental dapat menderita psikotik akut dengan stresor/tekanan yang lebih kecil
dengan onset 2 minggu sebelum munculnya gejala dibandingkan dengan
seseorang tanpa riwayat keluarga dengan gangguan mental. Beberapa pasien
dengan gangguan psikosis akut ditemukan memiliki keluarga dengan riwayat
skizofrenia atau gangguan perasaan/mood, namun temuan ini belum dapat di
simpulkan.

Hipotesis dopamin pada gangguan psikosis serupa dengan penderita skizofrenia


adalah yang paling berkembang dari berbagai hipotesis, dan merupakan dasar
dari banyak terapi obat yang rasional. Hipotesis ini menyatakan bahwa
skizofrenia disebabkan oleh terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik.

Beberapa bukti yang terkait hal tersebut yaitu:


1. Kebanyakan obat-obat antipsikosis menyekat reseptor D2 pascasinaps di
dalam sistem saraf pusat, terutama di sistem mesolimbik frontal;
2. Obat-obat yang meningkatkan aktifitas dopaminergik, seperti levodopa
(suatu precusor), amphetamine (perilis dopamine), atau apomorphine (suatu
agonis reseptor dopamin langsung),baik yang dapat mengakibatkan
skizofrenia atau psikosis pada beberapa pasien;
3. Densitas reseptor dopamin telah terbukti, postmortem, meningkat di otak
pasien skizofrenia yang belum pernah dirawat dengan obat-obat
antipsikosis;
4. Positron emission tomography (PET) menunjukkan peningkatan densitas
reseptor dopamin pada pasien skizofrenia yang dirawat atau yang tidak
dirawat, saat dibandingkan dengan hasil pemeriksaan PET pada orang yang
tidak menderita skizofrenia; dan
5. Perawatan yang berhasil pada pasien skizofrenia telah terbukti mengubah
jumlah homovanilic acid (HVA), suatu metabolit dopamin, di cairan
serebrospinal, plasma, dan urin.

Namun teori dasar tidak menyebutkan hiperaktivitas dopaminergik apakah karena


terlalu banyaknya pelepasan dopaminergik, terlalu banyaknya reseptor
dopaminergik atau kombinasi mekanisme tersebut. Neuron dopaminergik di
dalam jalur mesokortikal dan mesolimbik berjalan dari badan selnya di otak
tengah ke neuron dopaminoseptif di sistem limbik dan korteks serebral.

Klasifikasi dari gangguan psikotik adalah sebagai berikut:


1. Skizofrenia
Berlangsung paling sedikit enam bulan, penurunan fungsi yang cukup
bermakna yaitu dalam bidang pekerjaan, hubungan interpersonal, dan
fungsi kehidupan pribadi.
2. Gangguan skizotipal
Pola defisit dalam hubungan sosial dan interpersonal merasa tidak nyaman
dan kurang mampu hubungan akrab, disertai distorsi kognitif atau persepsi
dan perilaku yang eksentrik, bersifat perfasif
3. Gangguan waham menetap
Kelompok ini meliputi gangguan dengan waham yang berlangsung lama
(paling sedikitnya 3 bulan). Sebagai satu satunya gejala klinis yang khas
atau yang khas yang paling mencolok dan tidak dapat digolongkan sebagai
gangguan mental organik, skizofrenia atau gangguan afektif.
4. Gangguan Psikotik Akut dan Sementara
Memiliki onset akut (dalam masa 2 minggu) kesembuhan yang sempurna
biasanya terjadi dalam 2-3 bulan sering dalam beberapa minggu atau
bahkan beberapa hari dan hanya sebagian kecil dari pasien dengan
gangguan ini berkembang menjadi keadaan yang menetap
5. Gangguan Waham Induksi
Dua orang atau lebih mengalami waham atau sistem waham yang sama,
dan saling mendukung dalam keyakinan waham itu
6. Gangguan Psikotik Non Organik Lainnya
Gangguan psikotik yang tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia atau
gangguan afektif yang bertipe psikotik, dan gangguan yang psikotik yang
tidak memenuhi gejala untuk gangguan waham menetap.
7. Gangguan Psikotik Terbagi
Gangguan yang jarang dan lebih dikenal dengan folie a deux. Gejala
psikotik pasien berkembang selama hubungan jangka panjang dengan orang
lain yang memiliki sinrom psikotik yang mirip sebelum onset gejala pada
pasien dengan gangguan psikotik terbagi.

Gejala-gejala psikotik yang timbul pada pasien sebagai berikut:


a. Mendengar suara-suara yang tidak ada sumbernya
b. Keyakinan atau ketakutan yang aneh atau tidak masuk akal
c. Kebingungan atau disorientasi
d. Perubahan perilaku seperti menyendiri, mengancam diri sendiri, orang lain
atau lingkungan, bicara dan tertawa serta marah-marah atau memukul tanpa
alasan.

Gejala gangguan psikotik singkat selalu termasuk sekurang-kurangnya satu gejala


psikosis utama, biasanya dengan onset yang tiba-tiba, tetapi tidak selalu
memasukkan keseluruhan apda gejala yang ditemukan pada skizofrenia. Individu
dengan gangguan psikotik akut biasanya mengalami emosional yang tidak
terkontrol atau kebingungan yang berlebihan. Pasien dapat mengalami perubahan
yang cepat antar satu afek ke afek lain.

Kriteria Diagnosis menurut DSM-V:


1. Adanya satu (atau lebih) gejala berikut. Setidaknya salah satu dari gejala
tersebut merupakan (1), (2), atau (3):
a. Waham/delusi
b. Halusinasi
c. Bicara kacau (contoh: sering menyimpang atau inkoherensi)
d. Perilaku terdisorganisasi jelas atau katatonik
Catatan : jangan memasukan gejala jika merupakan pola respons
yang diterima secara kultural.
2. Durasi suatu episode dari gangguan setidaknya 1 hari tetapi kurang dari 1
bulan, dengan remisi sempurna ke fungsi premorbid sebelumnya.
3. Gangguan tidak dapat dijelaskan sebagai gangguan depresif mayor atau
bipolar dengan gejala psikotik atau gangguan psikotik lain seperti
skizofrenia atau katatonia, dan tidak disebabkan oleh efek psikologis
akibat suatu zat (contoh: penyalahgunaan obat, obat) atau kondisi medis
lainnya.

Sebutkan jika:
 Dengan stressor: jika gejala muncul akibat suatu respon dari kejadian
tertentu yang, sendiri atau bersamaan, terbukti menjadi stressor pada
hampir setiap orang di lingkungan yang sama dengan keadaan serupa
pada suatu budaya.
 Tanpa stressor: jika gejala tidak terjadi sebagai akibat suatu respon dari
kejadian tertentu yang, sendiri atau bersamaan, terbukti menjadi stressor
pada hampir setiap orang di lingkungan yang sama dengan keadaan
serupa pada suatu budaya.
 Dengan onset post partum: jika onset terjadi selama kehamilan atau
hingga 4 minggu post partum

Sebutkan jika:
 Dengan katatonia (mengarah ke kriteria katatonia yang berhubungan
dengan gangguan mental lainnya)
 Koding: Gunakan kode tambahan 293.89 (F06.1) katatonia berhubungan
dengan gangguan psikotik akut untuk menyatakan adanya komorbid
berupa katatonia.
Tingkat keparahan diukur secara kuantitatif dari gejala primer psikosis, termasuk
waham, halusinasi. Bicara kacau, perilaku psikomotor abnormal, dan gejala
negatif. Masing-masing gejala tersebut diukur tingkat keparahannya (paling berat
pada 7 hari terakhir) dalam skala 5 poin mulai dari 0 (tidak ada) hingga 4 (ada
gejala primer dan berat).

Langkah awal dalam terapi adalah perpisahan orang yang terkena dari sumber
waham, pasangan yang dominan. Pasien mungkin membutuhkan bantuan yang
bermakna untuk mengkompensasi kehilangan orang tersebut. Pasien dengan
gangguan psikotik terbagi harus diamati untuk timbulnya kembali gejala waham.
Obat anti psikotik dapat digunakan jika gelaja waham tidak menghilang dalam 1
atau 2 minggu. Psikoterapi dengan anggota keluarga pasien yang tidak memiliki
waham harus dilakukan, dan psikoterapi dengan pasien dengan gangguan
psikotik terbagi dan pasangannya dominannya mungkin diindikasikan kemudian
didalam perjalanan penyakit. Untuk mencegah rekurensi sindrom, klinisi harus
menggunakan terapi keluarga dan dukungan sosial untuk memodifikasi dinamika
keluarga dan untuk mencegah perkembangan kembali sindrom.

Dua kelas utama obat yang perlu dipertimbangkan di dalam pengobatan


gangguan psikotik adalah obat antipsikotik dan benzodiazepin. Ketika obat anti
psikotik dipilih, obat anti psikotik berpotensi tinggi, seperti haloperidol, atau
agonis serotonin dopamine seperti ziprasidone dapat digunakan. Khususnya pada
pasien yang berada pada resiko tinggi untuk mengalami efek samping
ekstrapiramidal (missal: laki-laki dewasa muda), suatu obat
antikolinergik/antagonis serotonin dopamine arus diberikan bersama-sama
dengan antipsikotik sebagai profilaksis terhadap gejala gangguan pergerakan
akibat medikasi. Selain itu, benzodiazepin dapat digunakan dalam terapi singkat
psikosis. Meskipun benzodiazepine terbatas atau tidak digunakan dalam terapi
jangka panjang dari gangguan psikotik, obat ini efektif untuk penggunaan jangka
pendek dan memiliki efek samping lebih sedikit dibandingkan obat anti psikotik.
Pada kasus yang jarang, benzodiazepine dikaitkan dengan dengan peningkatan
agitasi dan lebih jarang lagi, disertai dengan kejang, yang biasanya terjadi hanya
dengan penggunaan dosis tinggi terus menerus. Penggunaan obat lain dalam
terapi gangguan psikotik akut, meskipun dilaporkan dalam penelitian kasus, tidak
didukung oleh penelitian dengan skala yang besar. Medikasi hipnotik sering kali
berguna selama satu sampai dua minggu pertama setelah resolus episode psikotik.
Klinisi harus menghindari penggunaan jangka panjang dari obat apapun dalam
penatalaksanaan penyakit ini. Apabila dosis maintanence dari obat diperlukan,
seorang klinisi harus mempertimbangkan kembali diagnosis

2.3 Gangguan Psikotik pada Epilepsi


Psikosis merupakan komplikasi berat dari epilepsi meskipun jarang ditemukan.
Keadaan ini disebut dengan psychoses of epilepsy (POE). Gambaran psikosis
yang sering ditemukan pada pasien epilepsi adalah gambaran paranoid dan
schizophrenia-like. Pada forced normalization yaitu penderita mengalami gejala
psikotik pada saat kejang terkontrol dan justru gejala psikotik menghilang bila
terjadi kejang.

Untuk menegakkan diagnosis gangguan psikotik akibat kondisi medis umum,


klinisi pertama-tama baru menyingkirkan sindrom yang mungkin menampakkan
gejala psikotik yang disebabkan oleh hendaya kognitif (contoh delirium dan
demensia tipe Alzheimer). Gangguan dalam kategori ini biasanya tidak disertai
dengan perubahan sensorium.

Hampir semua penyakit serebral atau sistemik yang memengaruhi fungsi otak
dapat menimbulkan gejala psikotik. Gangguan degeneratif seperti penyakit
Alzheimer atau penyakit Huntington, dapat muncul awal dengan psikosis awitan
baru disertai bukti minimal adanya hendaya kognitif pada tahap paling awal.

Untuk menegakkan diagnosis sindrom psikotik sekunder, klinisi pertama-tama


harus memastikan bahwa pasien tidak dalam keadaan delirium, yang dibuktikan
oleh tingkat kesadaran yang stabil. Pengkajian status mental secara teliti
dilakukan untuk menyingkirkan hendaya kognitif yang signifikan, seperti yang
dijumpai pada demensia atau gangguan amnestik. Langkah berikutnya adalah
mencari penyakit serebral atau sistemik yang mungkin berhubungan secara
kausal dengan psikosis. Simtomatologi psikotik sendiri tidak membantu dalam
membedakan kausa sekunder dengan primer (idiopatik).
Pemeriksaan fisik dan neurologis yang sistematik harus dilakukan. Meski
demikian, pemeriksa harus senantiasa mengingat bahwa tanda neurologis yang
halus dan tidak terlokalisasi serta berbagai bentuk diskinesia dapat timbul pada
skizofrenia. Evaluasi pencitraan neurologis dengan MRI disarankan untuk semua
psikosis awitan baru, tanpa memperhatikan usia pasien. Deteksi adanya
abnormalitas sistemik atau serebral seperti tumor otak dapat mengarah ke
penentuan adanya psikosis sekunder, namun menegakkan diagnosis sindrom
psikotik sekunder memerlukan pertimbangan klinis yang matang.

Perhatian terhadap psikosis post-ictal telah membuka peluang penting dalam


usaha mempelajari timbulnya gejala psikosis pada penderita epilepsi. Psikosis
adalah gangguan psikiatrik spesifik yang paling jelas kaitannya dengan epilepsi.
Lifelong prevalence dari seluruh gangguan psikotik pada pasien epilepsi 7-12%.
Pada pengamatan 100 an

Faktor resiko yang diduga dapat memicu keadaan perubahan perilaku pada pasien
epilepsi adalah sebagai beirkut:
1. Kondisi epilepsi yang berat,
2. Kejang berlanjut menahun, biasanya dalam waktu kira-kira 14 tahun akan
muncul psikosis,
3. Jenis kelamin perempuan lebih sering,
4. Epilepsi awitan muda,
5. Tipe kejang parsial kompleks, automatisme,
6. Frekuensi kejang,
7. Kejang umum sekunder,
8. Lokasi fokus epilepsi (mesial temporal),
9. Abnormalitas neurologik,
10. Masalah penggunaan obat-obat anti-kejang,
11. Lobektomi temporal,
12. Disgenesis kortikal,
13. Gangliogliomas, hamartomas.

Terdapat kondisi yang disebut dengan Forced Normalization yaitu pendertita


mengalami gejala pasikotik pada saat kejang terkontrol dan justru gejala psikotik
hilang bila terjadi kejang. Selain psikosis juga sering dijumpai depresi, ansietas,
agitasi, gangguan koversi, ADHD/ GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan
Hiperaktivitas) pada anak-anak dan gangguan perilaku pada anak.

Hubungan antara epilepsi dan psikosis kemungkinan disebabkan oleh efek


neurotoksik dari epilepsi. Berbagai mekanisme yang mungkin ditimbulkan dari
efek ini antara lain adalah, pertama adanya proses ‘kindling’ dimana bangkitan
kejang akut menyebabkan adanya perubahan fungsi otak mungkin melalui
mekanisme perubahan pada reseptor dan perubahan pada aliran darah cerebral,
kedua yaitu proses ‘forced normalisation’ dimana terdapat hubungan
berkebalikan antara kontrol kejang dan gejala psikotik, dan ketiga yaitu
kemungkinan adanya aktivitas subictal yang terjadi di sistem limbik yang tidak
terdeteksi pada EEG tapi menyebabkan perubahan pada otak dan akhirnya
menimbulkan gejela psikotik.

Patogenesis Psikosis Epileptik


Pada kejadian skizofrenia dan psikosis tanpa adanya kondisi umum lain, dopamin
dianggap memiliki peran dalam patogenesisnya. Gejala skizofrenia tanpa adanya
riwayat kejang dihubungkan dengan berkurangnya aktivitas dopamin di
dorsolateral dan ventrolateral korteks prefrontal dan overaktivitas dopamin pada
struktur mesolimbik. Kedua mekanisme tersebut kemudian menjelaskan adanya
defisit kognitif dan halusinasi pada skizofrenia.

Pada epilepsi di lobus mesial temporal, didapatkan adanya penurunan kapasitas


pengikatan dopamin (dopamine binding capacity) via reseptor D2/D3 di striatum,
yang selanjutnya menyebabkan adanya penurunan inhibisi hubungan
thalamokortikal dan peningkatan hiperksitabilitas kortikal. Selain itu, pada
epilepsi temporal, terdapat pula penurunan aktivitas dopamin di korteks
prefrontal. Seluruh kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan disregulasi dari
untaian dopamin (dopamine circuitry) di mesiotemporal, dan dianggap memiliki
peran dalam epilepsi dan skizofrenia.
Secara umum perubahan perilaku yang berkait dengan epilepsi diklasifikasikan
menurut hubungannya dengan masa terjadinya kejang, sebagai berikut:
1. Ictal
a. Ictal psychic symptoms
b. Nonconvulsive status
2. Peri-ictal
a. Peri ictal / Prodromal symptoms
 Irritability
 Depression
 Headache
b. Post ictal delirium (terjadi penurunan kesadaran setelah kejang
disertai EEG yang kacau)
c. Peri-ictal psychotic symptomps
 Concomitant with increased seizure frequency
 Concomitant with decreased seizure frequency
 Postictal psychoses
3. Interictal (di antara kejang)
a. The schizophreniform psychosis
b. Personality disorder
c. The Gastard-Geschwind syndrome
4. Variably related to ictus
a. Mood disorder (depression and mania)
b. Dissociative states
c. Agression
d. Hyposexuality
e. Suicide

Perbedaan antara sindrom ictal dan inter-ictal tidak selalu jelas. Pada beberapa
pasien terjadi keadaan psikotik post-ictal dalam waktu yang cukup lama dengan
kesadaran baik. Forced normalization diduga terkait dengan kejang yang
kemungkinan inter-ictal.

Pada gangguan kepribadian inter-ictal dapat dijumpai gambaran sebagai berikut:


1. Hyperreligiosity : filosofis dan preokupasi mistik,
2. Terdapat gangguan fungsi seksual (hiper atau hiposeksual),
3. Hipergrafia (kecenderungan menulis berlebihan dan kompulsif),
4. Iritabel,
5. Viscocity (kelengkapan pikiran, bradyphrenia).

Agresivitas bukan merupakan komponen spesifik untuk epilepsi. Lebih sering


pada yang mempunyai faktor resiko seperti penyakit neurologi, sosioekonomi
rendah yang mungkin terkait status gizi dan problem ketidakharmonisan
keluarga.

Psikosis juga sering ditemukan terutama gambaran paranoid dan schizophrenia-


like (berbeda dengan skizofrenia, tanpa deteriorasi dan afektif tetap hangat).
Kondisi psikotik lebih banyak ditemukan pada epilepsi lobus temporalis pada
lokus di sisi kiri dan bilateral. Psikosis pada fase inter-ical biasanya memiliki
awitan akut, tetapi pada beberapa kasus juga bisa terjadi perlahan-lahan selama
frekuensi kejang berkurang. Biasanya dicetuskan oleh obat antikonvulsan
terutama benzodiazepin, barbiturat, ethosuximide, lamotrigine, vigabatrin.
Diagnosis banding dengan kondisi psikosis fungsional ditetapkan dengan bukti
EEG.

Gejala-gejala psikotik periiktal sering kali memburuk dengan peningkatan


aktivitas kejang. Kadang-kadang dapat terjadi ‘alternative psychosis’ yaitu bila
pasien mengalami kejang mereka bebas dari gejala psikotik, tetapi bila mereka
bebas kejang dan EEG-nya ‘forced’ atau ‘paradoxical normalization’ mereka
menunjukkan gejala psikotik.

Gejala yang dapat ditemukan pada epilepsi yang berhubungan dengan perubahan
perilaku yaitu:
1. Gejala praiktal,
Gejala praiktal biasanya terdiri dari sekelompok gejala yang terjadi
sebelum kejang dengan durasi bervariasi dari beberapa menit hingga
beberapa hari. Kejadian praiktal (aura) pada epilepsi parsial komples
mencakup sensasi otonom (seperti perut kembung, pipi memerah dan
perubahan napas), sensasi kognitif (seperti déjà vu, jamais vu, pikiran
yang dibuat-buat, keadaan seperti bermimpi), keadaan afektif (seperti
takut, panik, depresi dan elasi) dan yang klasik, otomatisme (seperti
menampar pipi, menggosok-gosok, mengunyah). Keadaan afektif
dirasakan rasa takut, panik, depresi.

2. Gejala Iktal,
Gejala ini terjadi sangat cepat (bisa kurang dari 30 detik). Ictal fear atau
ictal panic adalah gejala psikiatrik iktal yang paling sering dilaporkan, dan
mungkin merupakan manifestasi dari kejang fokal di lobus mesial
temporal kanan. Gejala iktal lainnya yang kerap ditemukan adalah ictal
depression dan ictal psychoses. Kedua gejala iktal tersebut kemungkinan
merupakan manifestasi dari epilepsi di lobus temporal. Pada iktal juga
bisa didapatkan adanya halusinasi iktal yang biasanya merupakan
halusinasi visual (jarang auditorik). Namun dibandingkan dengan kejadian
halusinasi pada kasus psikotik, pasien dengan halusinasi iktal biasanya
menyadari bahwa apa yang dilihatnya bersifat tidak nyata.
Perilaku singkat, kacau dan tak terinhibisi menandai kejadian iktal. Gejala
kognitif meliputi amnesia akan waktu selama serangan dan periode
delirium yang menyembuh setelah serangan. Pada pasien epilepsi parsial
kompleks, fokus serangan dapat ditemukan pada elektroensefalogram
(EEG) pada 25-50% pasien. Penggunaan elektroda sfenoidal atau
temporal anterior dan EEG pada keadaan kurang tidur dapat
meningkatkan kemungkinan menemukan abnormalitas EEG. EEG normal
multipel sering diperoleh pada pasien epilepsi parsial kompleks; oleh
karena itu, EEG normal tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan
diagnosis epilepsi parsial kompleks. Penggunaan rekaman EEG jangka
panjang (biasanya 24-72 jam) dapat membantu klinisi mendeteksi fokus
kejang pada sejumlah pasien. Sebagian besar studi menunjukkan bahwa
penggunaan lead nasofaring tidak terlalu meningkatkan sensitivitas EEG
namun justru menambah ketidaknyamanan prosedur bagi pasien.

3. Gejala post-iktal
Sekumpulan gejala yang dapat dimulai segera setelah kejang atau lebih
khas dari 12 hingga 120 jam setelah kejang (interval lucid). Diantara
manifestasi peri-iktal lainnya, gejala post-iktal adalah gejala yang paling
dapat diidentifikasi. Psikosis post-iktal terbagi menjadi dua subtipe, yaitu
tipe nuklear, dengan gambaran klinis yang jelas dan adanya interval lucid,
dan tipe post-iktal atipikal, dengan gambaran klinis yang polimorfik dan
tanpa adanya interval lucid.

4. Gejala interiktal
a. Gangguan kepribadian,
Abnormalitas psikiatrik yang paling sering dilaporkan pada pasien
epileptik adalah gangguan kepribadian, dan gangguan tersebut
terutama cenderung terjadi pada pasien dengan epilepsi yang berasal
dari lobus temporal. Gambaran tersering adalah tampak sangat
religius, pengalaman emosi yang meninggi - suatu kualitas yang biasa
disebut viskositas kepribadian – dan perubahan perilaku seksual.
Sindrom dalam bentuk yang komplet relatif jarang, bahkan pada
mereka dengan kejang parsial kompleks yang berasal dari lobus
temporal. Banyak pasien tidak mengalami gangguan kepribadian:
yang lain menderita serangkaian gangguan yang sangat berbeda
dengan sindrom yang klasik.
b. Gejala psikotik,
Awitan gejala psikotik pada epilepsi bervariasi. Secara klasik, gejala
psikotik tampak pada pasien yang telah mengalami epilepsi dalam
jangka waktu lama dan awitan gejala psikotik didahului oleh
timbulnya perubahan kepribadian yang berhubungan dengan aktivitas
epileptik otak. Gejala psikosis yang paling khas adalah halusinasi dan
waham paranoid.
c. Kekerasan,
Kekerasan episodik menjadi masalah pada sebagian pasien epilepsi,
terutama epilepsi yang berasal dari lobus temporal dan frontal. Belum
diketahui dengan pasti apakah kekerasan merupakan manifestasi
gangguan itu sendiri atau memiliki sumber psikopatologis inteiktal.
Sebagian besar bukti menunjukkan kekerasan sangat jarang menjadi
fenomena iktal. Hanya pada kasus yang langka saja kekerasan pada
seorang pasien epilepsi dianggap disebabkan oleh serangan kejang itu
sendiri.
d. Gejala gangguan mood,
Gejala gangguan mood, seperti depresi dan mania, lebih jarang
terlihat pada epilepsi dibanding gejala skizofrenia. Kalaupun terjadi,
gejala gangguan mood cenderung bersifat episodik dan paling sering
muncul bila fokus epilepsi mengenai lobus temporal hemisfer serebri
non-dominan. Makna gejala gangguan mood dapat diperlihatkan oleh
meningkatnya insiden percobaan bunuh diri pada orang dengan
epilepsi.
Sampai saat ini, ICD-10, DSM V ataupun PPDGJ-3 belum mengklasifikasikan
psikosis akibat epilepsi secara tersendiri. Oleh karena itu, sampai saat ini, jika
menggunakan pengklasifikasian DSM, psikosis post-iktal dapat diperdebatkan
untuk diklasifikasikan sebagai psikotik akut, gangguan psikotik akibat kondisi
umum ataupun gangguan psikotik yang tidak dapat ditentukan.

Pola psikosis alternatif sangat jarang dibandingkan dengan peningkatan


munculnya perilaku psikotik pada peningkatam aktivitas kejang. Kondisi
psikiatrik yang penting diperhatikan terdiri dari episode psikotik singkat
mengikuti kluster kejang tonik klonik (post-ictal psychosis). Kondisi ini mereda
secara spontan atau setelah mendapat terapi antipsikotik dosis rendah. Psikotik
interiktal sangat mirip dengan gangguan skizofrenia yang dengan mudah dapat
dikenal yaitu dengan adanya gejala waham dan halusinasi. Hal-hal penting yang
membedakan kondisi ini adalah perjalanannya yang kronik, terdapat remisi dan
kambuhan dalam perjalanannya, dan kondisi psikotik tidak berkait dengan
aktivitas iktal. Gejala psikosis muncul dalam kesadaran yang jernih.
Psikosis pada epilepsi perlu dibedakan dengan skizofrenia dan gambaran yang
dapat membedakannya adalah:
1. Tidak ada riwayat psikosis dalam keluarga,
2. Kepribadian premorbid normal,
3. Gambaran klinis mirip skizofrenia tetapi:
a. Kepribadian lebih konservatif,
b. Kontak psikis lebih baik,
c. Gambaran paranoid lebih dominan.

Kebanyakan pasien dengan epilepsi memiliki prognosis yang baik bila kejang
dapat dikontrol dengan antikonvulsan. Sebagian besar pasien tidak mengalami
gangguan psikiatrik dan hanya terjadi bila mengalami kejang-kejang yang tidak
terkontrol dalam jangka panjang/ bertahun-tahun. Untuk yang mengalami
masalah perilaku, obat anti-konvulsan atau operasi mungkin daoat mengatasi
beberapa gejala seperti agresi, tetapi mungkin tidak dapat mencegah munculnya
gejala lain seperti psikosis dan suicidal.

Psikosis interiktal pada epilepsi sering kali membaik dengan pengendalian kejang
secara farmakologis atau bedah.

Prinsip pengobatan gangguan psikotik sekunder serupa dengan untuk gangguan


neuropsikiatri sekunder lainnya, yaitu identifikasi segera agen etiologi serta
pengobatan kausa yang mendasari. Obat antipsikotik dapat memberikan
penyembuhan simtomatik.

Obat-obat anti-epilepsi lebih dikenal sebagai obat anti-konvulsan. Walaupun


memiliki efek anti-kejang juga diduga memiliki aktivitas sebagai psikomotorik.
Carbamazepin dan Valproate memiliki kemampuan antimanik dan mood
stabilizer.

Obat antikonvulsan merupakan terapi pilihan utama. Obat lini pertama untuk
kejang umum adalah Asam Valproat dan Fenitoin. Obat lini pertama untuk
kejang parsial meliputi Karbamazepin, Okskarbazepin dan Fenitoin.
Etoksuksimid dan Asam Valproat adalah obat lini pertama untuk kejang absans.
Dalam pengobatan pasien epilepsi dengan gangguan psikiatrik: perlu
diperhatikan :
a. Mengatasi epilepsinya dengan obat anti-konvulsan, seperti Carbamazepin,
Asam Valproat, Gabapentin dan Lamotrigine.
b. Perhatikan obat-obat antipsikotik yang menurunkan ambang kejang. Ini
biasanya tidak jadi masalah tapi kadang-kadang bermakna secara klinis
pada pasien epilepsi yang tidak terkontrol.
c. Potensi terjadinya interaksi antara antikonvulsan dan antipsikotik.
Biasanya antikonvulsan meningkatkan metabolisme antipsikotik dengan
akibat penurunan efek terapinya. Sebaliknya, penghentian antikonvulsan
dapat mencetuskan peningkatan (rebound delevation) pada konsentrasi
antipsikotik. Awal pemberian antipsikotik mengakibatkan inhibisi
kompetitif dari metabolisme antikonvulsan yang berakibat elevasi kadar
antikonvulsan dan dapat menjadi toksik. Obat anti-konvulsan yang baru
memiliki potensi interaksi yang lebih kecil. Gabapentin, Lamotrigin,
Vigabatrin dan Tiagabin relatif bebas dari enzym yang menginduksi atau
menginhibisi.

Carbamazepin dan Asam valproat mungkin membantu dalam mengendalikan


gejala iritabilitas dan meledaknya agresi, karena merupakan golongan obat anti
psikotik tipikal. Pada pasien dewasa dimulai dengan dosis 100-200 mg atau
2x100 mg kemudian 3-7 hari di tingkatkan menjadi 2x200 mg. Asam valproat
sangat efektif untuk abses, dan epilepsi umum primer. Efek toksis sedian ini
adalah gangguan saluran pencernaan dan efek sedasi.

Penanganan gangguan psikotik pada epilepsi yaitu penanganan masalah psikiatri,


optimalisasi obat anti epilepsi untuk mencegah kejang berulang dan memulai
terapi farmakologis anti psikotik berdasarkan beratnya gejala, perilaku dan fungsi
sehari-hari. Kondisi psikotik yang muncul akan lebih baik bila ditangani dengan
obat anti psikotik sedini mungkin tanpa menunggu munculnya gejala yang lebih
berat. Penanganan pada kondisi akut dapat diberikan dopamine-blocker intra
muskular seperti haloperidol dan promethazine. Pada kondisi ini dapat diberikan
obat anti psikotik generasi pertama yaitu phenothiazines, butyrophenones (seperti
haloperidol), benzamides, thipins, dan obat anti psikotik generasi kedua yaitu
serotonin-dopamine antagonis (seperti risperidon), dibenzodiazepines, dan
dopamine system stabilizer. Obat anti psikotik pilihan yang dapat diberikan yaitu
risperidon, olanzapine, dan quetiapine, sedangkan haloperidol dan pimozide
adalah jenis anti psikotik tipikal dengan risiko rendah mencetuskan bangkitan dan
tidak ada laporan kasus bangkitan akibat penggunaan jenis obat ini. Clozapine,
loxapine, dan chlorpromazine adalah jenis obat anti psikotik yang dihindari
karena dapat mencetuskan bangkitan.

Psikoterapi, konseling keluarga dan terapi kelompok berguna untuk


membicarakan masalah psikososial yang berkaitan dengan epilepsi. Sebagai
tambahan, klinisi sebaiknya menyadari bahwa banyak obat anti-epileptik
menyebabkan hendaya kognitif derajat ringan sampai sedang, dan penyesuaian
dosis atau perubahan obat sebaiknya dipertimbangkan jika gejala hendaya
kognitif merupakan masalah bagi pasien.

Terapi lain dengan cara operasi mendapatkan bahwa lebih dari 80% penderita
epilepsi yang menjalani operasi temporolobektomi mengalami penurunan
frekuensi kejang dan 50%-nya bebas kejang selamanya. Pasien epilepsi dengan
psikosis mungkin akan terus menjadi psikosis, perubahan kepribadian, perilaku
suicidal bahkan lama setelah lobektomi. Pasien dengan gejala psikotik sebelum
operasi beresiko tinggi menjadi psikosis paska operasi dna hasil akhir yang
buruk.

Penggunaan kombinasi yang mengakibatkan interaksi antara anti-konvulsan


dengan antipsikotik penting diperhatikan. Beberapa obat-obat antipsikotik yang
berefek menurunkan ambang kejang adalah sebagai berikut:

Potensi Nama obat anti-psikotik


Tinggi Khlorpromazine
Clozapine
Moderate Golongan piperazine
Thiothixene
Rendah Flufenazine
Haloperidol
Loxapine
Malindone
Pimozide
Thioridazine
Risperidone
Olanzapine
DAFTAR PUSTAKA

Elvira dan Hadisukanto. 2013. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: FKUI

Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, et al. 1995. Farmakologi dan Terapi, Edisi
IV,Jakarta, Gaya Baru.

Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. 1997. Sinopsis Psikiatri (Edisi Bahasa Indonesia),
EdisiVII, Jilid II, Jakarta, Binarupa Aksara.

Kaplan HI, Sadock BJ. 1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat (Edisi Bahasa
Indonesia), Edisi I, Jakarta, Widia Medika.

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, halaman 1-15.

Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta:


Konsil Kedokteran Indonesia, halaman 47.

Lopes, G.M., Nobrega, B.A., Prette, G.D., & Scivotto, S. 2013. Use of Psycoactive
Substances by Adolescents: Current Panorama. Revista Brasileira de
Psiquiatria. 2013; 35:S51-S61.

Maramis, W. F. 2009. Ilmu Kedokteran Jiwa edisi 2. Surabaya: Pusat penerbitan dan
percetakan.

Muslim, R. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan dari PPDGJ III dan
DSM V. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika
Atmajaya, halaman 34-43.

Muslim R. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkasan dari
PPGDJ-III, Jakarta

Muslim R. 2014. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik, Edisi III,
Jakarta.

Saddock BJ, Saddock VA., 2007. Dalam : Kaplan & Saddock’s Synopsys of
Psychiatry Behavioral Science/Clinical Psychiatry. Edisi Kesepuluh.
Philadelphia: Lippincott

William& Wilkins.Sadock, Benjamin J.2010.Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri


Klinis Ed.2.Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

World Health Organization. 2004. Neuroscience of Psychoactive Subtance Use and


Dependence. Geneva: Who Library Cataloguing.

World Health Organization. The ICD-10 Classification of Mental and


Behavioural Disorders.

Anda mungkin juga menyukai