REFERAT
Disusun Oleh :
Brigita Sanina Manullang
Karen Kuniya
Tri Lamtiur Pakpahan
Perceptor :
dr. High Boy Karumulborg Hutasoit, Sp.KJ
Puji Syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga referat ini dapat penulis selesaikan. Penyusun juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada dr. High Boy Karumulborg Hutasoit, Sp.KJ
sebagai pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan refreat ini.
Penyusunan refreat ini disusun sebagai sarana diskusi dan pembelajaran mengenai
gangguan psikotik pada pasien dengan epilepsi, serta diajukan guna memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung.
Semoga refreat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sehingga membantu para
pembaca dalam menemukan serta menangani kasus perubahan perilaku psikiatrik
pada pasien epilepsi ke depannya.
Penulis menyadari dalam penyusunan refreat ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu, penulis terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak sehingga lebih baik pada penyusunan refreat berikutnya. Penulis mengucapkan
banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
refreat ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Manifestasi psikiatrik dapat diakibatkan langsung dari pelepasan iktal (misal aura
psikis), fenomena peri-iktal (misal kebingungan post-iktal), inter-iktal atau antara
kejang (misal psikosis interiktal), atau dengan keadaan di luar kejang (misal
gangguan mood).
Manifestasi klinis gangguan psikotik pada epilepsi berupa gejala psikotik terkait
gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik.
Keadaan ini disebut juga psychoses of epilepsy (POE) atau schizophrenia-like
psychosis of epilepsy (SLPE), gambaran psikotik yang sering pada kondisi ini
adalah paranoid dan schizophrenia-like seperti gejala delusi, paranoid dan
waham.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan refreat ini adalah :
1. Memahami resiko, mekanisme, diagnosis dan tatalaksana dari gangguan
psikotik pada pasien epilepsi.
2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran
khususnya di bagian ilmu kedokteran jiwa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epilepsi
Kejang epilepsi adalah suatu peristiwa perilaku tiba-tiba dan tidak disengaja yang
berhubungan dengan pelepasan listrik yang berlebihan pada otak. Kejang itu
sendiri dikenal sebagai iktal. Periode interiktal mengacu pada periode antara
kelainan post-iktal dan iktal berikutnya dan periode peri-iktal mengacu pada
periode tepat sebelum. Kejang epilepsi dapat didasari oleh genetik atau trauma,
stroke, infeksi atau neoplasma. Epilepsi memiliki kecenderungan berulang dan
berkepanjangan.
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala berikut:
1. Minimal terdapat dua bangkitan tanpa provokasi atau dua bangkitan
refleks dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari
24 jam,
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan refleks dengan
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam sepuluh tahun ke
depan,
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.
Tanda dan gejala klinis epilepsi berdasarkan klasifikasi di atas adalah sebagai
berikut:
1. Bangkitan parsial
Bangkitan parsial memiliki onset pada satu bagian otak yang
menyebabkan gejala, misalnya gerakan pada tangan atau wajah,
perubahan sensorik atau gejala fokal pada perubahan memori pada
bangkitan lobus temporalis. Bangkitan ini dibagi menjadi dua yaitu:
a. Bangkitan parsial sederhana : tanpa perubahan kesadaran atau
memori. Dapat beruka bangkitan motorik berupa gerakan, sensasi
yang abnormal, gangguan pengelihatan atau penciuman dan
gangguan persepsi. Aktivitas bangkitan bisa meluas ke sistem saraf
otonom menyebabkan flushing, kesemutan atau mual. Semua
bangkitan parsial sederhana harus memiliki kesadaran yang penuh
dan bisa diingat sempurma oleh pasien.
b. Bangkitan parsial kompleks : bisa didapatkan aura yang muncul
sebelum bangkitan, biasanya berupa perasaan yang familiar (déjà
vu) mual, rasa panas atau kesemutan atau gangguan persepsi
sensorik. Sekitar setengah pasien tidak mengingat adanya aura.
Ketika terjadi bangkitan parsial kompleks pasien bisa melakukan
aktivitas otomatis misalnya mengambil baju, berjalan tanpa arah
atau mengatakan kalimat yang tidak berarti berulang-ulang.
Aktivitas yang tidak bertujuan ini disebut automatisme. Sekitar 75%
pasien dengan bangkitan parsial kompleks memiliki automatisme.
2. Bangkitan umum
Bangkitan umum dimulai dari kedua sisi otak. Bangkitan umum dipercaya
berasal dari struktur otak yang lebih dalam kemudian ke permukaan
kortikal di mana bangkitan muncul secara stimultan. Bangkitan umum ini
diklasifikasikan sebagai:
a. Bangkitan absans : biasanya onsetnya saat anak-anak, namun bisa
persisten sampai dewasa. Bangkitan muncul diawali dengan
melamun kadang disertai kelopak mata berkedip-kedip atau kepala
mengangguk-angguk.
b. Bangkitan tonik-klonik : bangkitan ini dimulai dengan hilangnya
kesadaran mendadak dan aktivitas tonik (kaku) diikuti dengan
aktivitas klonik (hentakan ritmis) dari ekstremitas. Mata pasien
melirik ke atas. Setelah bangkitan, pasien mengantuk dan bingung
bisa selama beberapa jam.
c. Bangkitan klonik
d. Bangkitan tonik : berupa kekakuan pada otot sebagai manifestasi
primer. Pada bangkitan ini kesadaran bisa intak maupun hilang.
Tida ada fase klonik (mengentak)
e. Bangkitan umum sekunder : bangkitan yang dimulai fokal lalu
menyebar ke seluruh otak yang menyebabkan tonik klonik.
f. Bangkitan atonik : bangkitan yang biasanya terjadi pada anak atau
dewasa dengan jejas pada otak. Pasien dengan bangkitan atonik
tiba-tiba kemas dan jatuh ke lantai.
g. Bangkitan mioklonik : bangkitan dengan hentakan serial yang tidak
serial yang tidak seritmis hentakan pada bangkitan tonik klonik.
3. Bangkitan campuran
Pasien bisa memiliki lebih dari satu jenis bangkitan. Bangkitan parsial
sederhana komples (ketika pasien menjadi bingung), lalu menjadi
bangkitan umum tonik klonik (ketika aktivitas elektrik meluas ke seluruh
otak).
4. Bangkitan yang tidak terklasifikasi : kategori ini meliputi semua
bangkitan yang tidak bisa diklasifikasikan karena keterbatasan data.
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan secara auto ataupun allo-anamnesis dari
keluarga atau saksi mata mengenai hal-hal terkait dibawah ini:
a. Gejala dan tanda sebelum, salam, dan pasca bangkitan:
Sebelum bangkitan/ gajala prodomalondisi fisik dan psikis yang
mengindikasikan akan terjadinya bangkitan, misalnya
perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi,
mengantuk, menjadi sensitif, dan lain-lain.
Selama bangkitan/ iktal:
Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal
bangkitan?
Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata,
gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi, aumatisasi,
gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai,
bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat,
berkeringat, dan lain-lain. (Akan lebih baik bila keluarga
dapat diminta menirukan gerakan bangkitan atau merekam
video saat bangkitan)
Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya
Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat
tidur, saat terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain-
lain
Pasca bangkitan/ post- iktal:
Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah,
Todd’s paresis.
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress
psikologis, alkohol.
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval
terpanjang antara bangkitan, kesadaran antara bangkitan
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya
Jenis obat antiepilepsi
Dosis OAE
Jadwal minum OAE
Kepatuhan minum OAE
Kombinasi terapi OAE
e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis
psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab
maupun komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh
kembang
h. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam
i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
dll.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan fisik umum : ditujukan untuk mencari tanda-tanda
gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, misalnya:
Trauma kepala
Tanda-tanda infeksi
Kelainan congenital
Kecanduan alkohol atau NAPZA
Tanda-tanda keganasan
b. Pemeriksaan Neurologis : ditujukan untuk mencari tanda-tanda
defisit neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan
epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan,
mungkin akan tampak tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi
petunjuk lokalisasi pascabangkitan, seperti:
Paresis Todd
Gangguan kesadaran pascaiktal
Afasia pascaiktal
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
b. Magnetic resonance imaging (MRI).
c. Pemeriksaan Laboratorium : berupa hemoglobin, leukosit dan
hitung jenis, hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit
(natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah sewaktu,
fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.
Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. OAE kedua harus memiliki
mekansisme kerja yang berbeda dengan OAE pertama. Caranya, bila OAE telah
mencapai kadar terapi maka OAE pertama diturunkan bertahap. Bila terjadi
bangkitan saat penurunan OAE pertama, maka kedua OAE tetap diberikan. Bila
respon yang terjadi buruk, kedua OAE harus digantikan dengan OAE yang lain.
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respons dengan OAE
kedua, tetapi respons tetap suboptimal walaupun penggunaan kedua OAE
pertama sudah maksimal (Swisher dan Radtke, 2016).
Gangguan psikotik akut biasanya muncul pada remaja atau dewasa muda, dan
onsetnya dapat terjadi pada seluruh usia, dengan rata-rata onset di pertengahan
usia 30 tahun. Gangguan psikotik akut terjadi dua kali lipat lebih sering pada
wanita dibandingkan pria. Beberapa penelitian mengatakan bahwa kelainan ini
banyak terlihat pada pasien dengan sosioekonomi yang rendah dan pada pasien
yang telah memiliki pengalaman buruk mengenai bencana atau perubahan kultur
yang besar (imirgran). Orang yang telah melalui tekanan psikologikal yang kuat
memiliki risiko terkena psikotik akut lebih besar dibandingkan yang lain.
Penyebabnya belum diketahui secara pasti, tapi sebagian besar dijumpai pada
pasien dengan gangguan kepribadian mungkin memiliki kerentanan biologis atau
psikologis terhadap perkembangan gejala psikotik. Satu atau lebih faktor stres
berat, seperti peristiwa traumatis, konflik keluarga, masalah pekerjaan,
kecelakan, sakit parah, kematian orang yang dicintai, dan status imigrasi tidak
pasti, dapat memicu psikots raktif singkat. Menurut penelitian, 2/3 pasien
psikotik akut mendapatkan tekanan yang berat dalam hidupnya kurang lebih 4
minggu sebelum muncul gejala psikotik akut. Di India, ditemukan 69% pasien
mendapatkan tekanan berat dalam hidupnya 2 minggu sebelum munculnya gejala
psikotik. Pada penelitian di India, kasus psikotik akut biasanya muncul dari
kehidupan sehari-hari, seperti beban pekerjaan yang tinggi, hilangnya pekerjaan,
ataupun bagi suami yang ditinggalkan oleh istrinya
Sebutkan jika:
Dengan stressor: jika gejala muncul akibat suatu respon dari kejadian
tertentu yang, sendiri atau bersamaan, terbukti menjadi stressor pada
hampir setiap orang di lingkungan yang sama dengan keadaan serupa
pada suatu budaya.
Tanpa stressor: jika gejala tidak terjadi sebagai akibat suatu respon dari
kejadian tertentu yang, sendiri atau bersamaan, terbukti menjadi stressor
pada hampir setiap orang di lingkungan yang sama dengan keadaan
serupa pada suatu budaya.
Dengan onset post partum: jika onset terjadi selama kehamilan atau
hingga 4 minggu post partum
Sebutkan jika:
Dengan katatonia (mengarah ke kriteria katatonia yang berhubungan
dengan gangguan mental lainnya)
Koding: Gunakan kode tambahan 293.89 (F06.1) katatonia berhubungan
dengan gangguan psikotik akut untuk menyatakan adanya komorbid
berupa katatonia.
Tingkat keparahan diukur secara kuantitatif dari gejala primer psikosis, termasuk
waham, halusinasi. Bicara kacau, perilaku psikomotor abnormal, dan gejala
negatif. Masing-masing gejala tersebut diukur tingkat keparahannya (paling berat
pada 7 hari terakhir) dalam skala 5 poin mulai dari 0 (tidak ada) hingga 4 (ada
gejala primer dan berat).
Langkah awal dalam terapi adalah perpisahan orang yang terkena dari sumber
waham, pasangan yang dominan. Pasien mungkin membutuhkan bantuan yang
bermakna untuk mengkompensasi kehilangan orang tersebut. Pasien dengan
gangguan psikotik terbagi harus diamati untuk timbulnya kembali gejala waham.
Obat anti psikotik dapat digunakan jika gelaja waham tidak menghilang dalam 1
atau 2 minggu. Psikoterapi dengan anggota keluarga pasien yang tidak memiliki
waham harus dilakukan, dan psikoterapi dengan pasien dengan gangguan
psikotik terbagi dan pasangannya dominannya mungkin diindikasikan kemudian
didalam perjalanan penyakit. Untuk mencegah rekurensi sindrom, klinisi harus
menggunakan terapi keluarga dan dukungan sosial untuk memodifikasi dinamika
keluarga dan untuk mencegah perkembangan kembali sindrom.
Hampir semua penyakit serebral atau sistemik yang memengaruhi fungsi otak
dapat menimbulkan gejala psikotik. Gangguan degeneratif seperti penyakit
Alzheimer atau penyakit Huntington, dapat muncul awal dengan psikosis awitan
baru disertai bukti minimal adanya hendaya kognitif pada tahap paling awal.
Faktor resiko yang diduga dapat memicu keadaan perubahan perilaku pada pasien
epilepsi adalah sebagai beirkut:
1. Kondisi epilepsi yang berat,
2. Kejang berlanjut menahun, biasanya dalam waktu kira-kira 14 tahun akan
muncul psikosis,
3. Jenis kelamin perempuan lebih sering,
4. Epilepsi awitan muda,
5. Tipe kejang parsial kompleks, automatisme,
6. Frekuensi kejang,
7. Kejang umum sekunder,
8. Lokasi fokus epilepsi (mesial temporal),
9. Abnormalitas neurologik,
10. Masalah penggunaan obat-obat anti-kejang,
11. Lobektomi temporal,
12. Disgenesis kortikal,
13. Gangliogliomas, hamartomas.
Perbedaan antara sindrom ictal dan inter-ictal tidak selalu jelas. Pada beberapa
pasien terjadi keadaan psikotik post-ictal dalam waktu yang cukup lama dengan
kesadaran baik. Forced normalization diduga terkait dengan kejang yang
kemungkinan inter-ictal.
Gejala yang dapat ditemukan pada epilepsi yang berhubungan dengan perubahan
perilaku yaitu:
1. Gejala praiktal,
Gejala praiktal biasanya terdiri dari sekelompok gejala yang terjadi
sebelum kejang dengan durasi bervariasi dari beberapa menit hingga
beberapa hari. Kejadian praiktal (aura) pada epilepsi parsial komples
mencakup sensasi otonom (seperti perut kembung, pipi memerah dan
perubahan napas), sensasi kognitif (seperti déjà vu, jamais vu, pikiran
yang dibuat-buat, keadaan seperti bermimpi), keadaan afektif (seperti
takut, panik, depresi dan elasi) dan yang klasik, otomatisme (seperti
menampar pipi, menggosok-gosok, mengunyah). Keadaan afektif
dirasakan rasa takut, panik, depresi.
2. Gejala Iktal,
Gejala ini terjadi sangat cepat (bisa kurang dari 30 detik). Ictal fear atau
ictal panic adalah gejala psikiatrik iktal yang paling sering dilaporkan, dan
mungkin merupakan manifestasi dari kejang fokal di lobus mesial
temporal kanan. Gejala iktal lainnya yang kerap ditemukan adalah ictal
depression dan ictal psychoses. Kedua gejala iktal tersebut kemungkinan
merupakan manifestasi dari epilepsi di lobus temporal. Pada iktal juga
bisa didapatkan adanya halusinasi iktal yang biasanya merupakan
halusinasi visual (jarang auditorik). Namun dibandingkan dengan kejadian
halusinasi pada kasus psikotik, pasien dengan halusinasi iktal biasanya
menyadari bahwa apa yang dilihatnya bersifat tidak nyata.
Perilaku singkat, kacau dan tak terinhibisi menandai kejadian iktal. Gejala
kognitif meliputi amnesia akan waktu selama serangan dan periode
delirium yang menyembuh setelah serangan. Pada pasien epilepsi parsial
kompleks, fokus serangan dapat ditemukan pada elektroensefalogram
(EEG) pada 25-50% pasien. Penggunaan elektroda sfenoidal atau
temporal anterior dan EEG pada keadaan kurang tidur dapat
meningkatkan kemungkinan menemukan abnormalitas EEG. EEG normal
multipel sering diperoleh pada pasien epilepsi parsial kompleks; oleh
karena itu, EEG normal tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan
diagnosis epilepsi parsial kompleks. Penggunaan rekaman EEG jangka
panjang (biasanya 24-72 jam) dapat membantu klinisi mendeteksi fokus
kejang pada sejumlah pasien. Sebagian besar studi menunjukkan bahwa
penggunaan lead nasofaring tidak terlalu meningkatkan sensitivitas EEG
namun justru menambah ketidaknyamanan prosedur bagi pasien.
3. Gejala post-iktal
Sekumpulan gejala yang dapat dimulai segera setelah kejang atau lebih
khas dari 12 hingga 120 jam setelah kejang (interval lucid). Diantara
manifestasi peri-iktal lainnya, gejala post-iktal adalah gejala yang paling
dapat diidentifikasi. Psikosis post-iktal terbagi menjadi dua subtipe, yaitu
tipe nuklear, dengan gambaran klinis yang jelas dan adanya interval lucid,
dan tipe post-iktal atipikal, dengan gambaran klinis yang polimorfik dan
tanpa adanya interval lucid.
4. Gejala interiktal
a. Gangguan kepribadian,
Abnormalitas psikiatrik yang paling sering dilaporkan pada pasien
epileptik adalah gangguan kepribadian, dan gangguan tersebut
terutama cenderung terjadi pada pasien dengan epilepsi yang berasal
dari lobus temporal. Gambaran tersering adalah tampak sangat
religius, pengalaman emosi yang meninggi - suatu kualitas yang biasa
disebut viskositas kepribadian – dan perubahan perilaku seksual.
Sindrom dalam bentuk yang komplet relatif jarang, bahkan pada
mereka dengan kejang parsial kompleks yang berasal dari lobus
temporal. Banyak pasien tidak mengalami gangguan kepribadian:
yang lain menderita serangkaian gangguan yang sangat berbeda
dengan sindrom yang klasik.
b. Gejala psikotik,
Awitan gejala psikotik pada epilepsi bervariasi. Secara klasik, gejala
psikotik tampak pada pasien yang telah mengalami epilepsi dalam
jangka waktu lama dan awitan gejala psikotik didahului oleh
timbulnya perubahan kepribadian yang berhubungan dengan aktivitas
epileptik otak. Gejala psikosis yang paling khas adalah halusinasi dan
waham paranoid.
c. Kekerasan,
Kekerasan episodik menjadi masalah pada sebagian pasien epilepsi,
terutama epilepsi yang berasal dari lobus temporal dan frontal. Belum
diketahui dengan pasti apakah kekerasan merupakan manifestasi
gangguan itu sendiri atau memiliki sumber psikopatologis inteiktal.
Sebagian besar bukti menunjukkan kekerasan sangat jarang menjadi
fenomena iktal. Hanya pada kasus yang langka saja kekerasan pada
seorang pasien epilepsi dianggap disebabkan oleh serangan kejang itu
sendiri.
d. Gejala gangguan mood,
Gejala gangguan mood, seperti depresi dan mania, lebih jarang
terlihat pada epilepsi dibanding gejala skizofrenia. Kalaupun terjadi,
gejala gangguan mood cenderung bersifat episodik dan paling sering
muncul bila fokus epilepsi mengenai lobus temporal hemisfer serebri
non-dominan. Makna gejala gangguan mood dapat diperlihatkan oleh
meningkatnya insiden percobaan bunuh diri pada orang dengan
epilepsi.
Sampai saat ini, ICD-10, DSM V ataupun PPDGJ-3 belum mengklasifikasikan
psikosis akibat epilepsi secara tersendiri. Oleh karena itu, sampai saat ini, jika
menggunakan pengklasifikasian DSM, psikosis post-iktal dapat diperdebatkan
untuk diklasifikasikan sebagai psikotik akut, gangguan psikotik akibat kondisi
umum ataupun gangguan psikotik yang tidak dapat ditentukan.
Kebanyakan pasien dengan epilepsi memiliki prognosis yang baik bila kejang
dapat dikontrol dengan antikonvulsan. Sebagian besar pasien tidak mengalami
gangguan psikiatrik dan hanya terjadi bila mengalami kejang-kejang yang tidak
terkontrol dalam jangka panjang/ bertahun-tahun. Untuk yang mengalami
masalah perilaku, obat anti-konvulsan atau operasi mungkin daoat mengatasi
beberapa gejala seperti agresi, tetapi mungkin tidak dapat mencegah munculnya
gejala lain seperti psikosis dan suicidal.
Psikosis interiktal pada epilepsi sering kali membaik dengan pengendalian kejang
secara farmakologis atau bedah.
Obat antikonvulsan merupakan terapi pilihan utama. Obat lini pertama untuk
kejang umum adalah Asam Valproat dan Fenitoin. Obat lini pertama untuk
kejang parsial meliputi Karbamazepin, Okskarbazepin dan Fenitoin.
Etoksuksimid dan Asam Valproat adalah obat lini pertama untuk kejang absans.
Dalam pengobatan pasien epilepsi dengan gangguan psikiatrik: perlu
diperhatikan :
a. Mengatasi epilepsinya dengan obat anti-konvulsan, seperti Carbamazepin,
Asam Valproat, Gabapentin dan Lamotrigine.
b. Perhatikan obat-obat antipsikotik yang menurunkan ambang kejang. Ini
biasanya tidak jadi masalah tapi kadang-kadang bermakna secara klinis
pada pasien epilepsi yang tidak terkontrol.
c. Potensi terjadinya interaksi antara antikonvulsan dan antipsikotik.
Biasanya antikonvulsan meningkatkan metabolisme antipsikotik dengan
akibat penurunan efek terapinya. Sebaliknya, penghentian antikonvulsan
dapat mencetuskan peningkatan (rebound delevation) pada konsentrasi
antipsikotik. Awal pemberian antipsikotik mengakibatkan inhibisi
kompetitif dari metabolisme antikonvulsan yang berakibat elevasi kadar
antikonvulsan dan dapat menjadi toksik. Obat anti-konvulsan yang baru
memiliki potensi interaksi yang lebih kecil. Gabapentin, Lamotrigin,
Vigabatrin dan Tiagabin relatif bebas dari enzym yang menginduksi atau
menginhibisi.
Terapi lain dengan cara operasi mendapatkan bahwa lebih dari 80% penderita
epilepsi yang menjalani operasi temporolobektomi mengalami penurunan
frekuensi kejang dan 50%-nya bebas kejang selamanya. Pasien epilepsi dengan
psikosis mungkin akan terus menjadi psikosis, perubahan kepribadian, perilaku
suicidal bahkan lama setelah lobektomi. Pasien dengan gejala psikotik sebelum
operasi beresiko tinggi menjadi psikosis paska operasi dna hasil akhir yang
buruk.
Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, et al. 1995. Farmakologi dan Terapi, Edisi
IV,Jakarta, Gaya Baru.
Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. 1997. Sinopsis Psikiatri (Edisi Bahasa Indonesia),
EdisiVII, Jilid II, Jakarta, Binarupa Aksara.
Kaplan HI, Sadock BJ. 1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat (Edisi Bahasa
Indonesia), Edisi I, Jakarta, Widia Medika.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, halaman 1-15.
Lopes, G.M., Nobrega, B.A., Prette, G.D., & Scivotto, S. 2013. Use of Psycoactive
Substances by Adolescents: Current Panorama. Revista Brasileira de
Psiquiatria. 2013; 35:S51-S61.
Maramis, W. F. 2009. Ilmu Kedokteran Jiwa edisi 2. Surabaya: Pusat penerbitan dan
percetakan.
Muslim, R. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan dari PPDGJ III dan
DSM V. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika
Atmajaya, halaman 34-43.
Muslim R. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkasan dari
PPGDJ-III, Jakarta
Muslim R. 2014. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik, Edisi III,
Jakarta.
Saddock BJ, Saddock VA., 2007. Dalam : Kaplan & Saddock’s Synopsys of
Psychiatry Behavioral Science/Clinical Psychiatry. Edisi Kesepuluh.
Philadelphia: Lippincott