Anda di halaman 1dari 41

Laporan Kasus

EPILEPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Program Internsip Dokter
Indonesia Wahana RSUD Teungku Peukan Aceh Barat Daya

Oleh:

dr. Shella Jobiwarma Chaniago

Dokter Pendamping:

dr. Yuliana

PESERTA INTERNSIP DOKTER INDONESIA


WAHANA RSU TEUNGKU PEUKAN
ACEH BARAT DAYA
PERIODE 1/2022

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah
menciptakan Manusia dengan akal, budi, serta berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Epilepsi”. Shalawat
beriring salam penulis sampaikan kepada nabi besar Muhammad SAW. Atas
semangat perjuangan dan panutan bagi umatnya.
Adapun laporan kasus ini diajukan sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Internsip Dokter Indonesia Wahana RSUD Teungku Peukan Aceh
Barat Daya.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada dr. Yuliana yang telah meluangkan waktunya untuk memberi
arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran
dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman akan penulis terima dengan
tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan bekal di masa
mendatang.

Blangpidie, September 2022

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai,


terdapat pada semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari
wanita. Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun
pada gabungan usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi
pada usia lanjut.1
Prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5% - 2%. Di Indonesia penelitian
epidemiologi tentang epilepsi belum pernah di lakukan, namun bila dipakai angka
prevalensi yang dikemukakan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk
Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan 1,1 sampai 4,4 juta penderita
penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi.2
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani yang berarti “serangan” atau penyakit
yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi dan
penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi
juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam
kehidupan sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka
cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi.1
Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan
mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan
psikososial yang merugikan baik penderita maupun keluarganya.2,3

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan
tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.3
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala
akibat cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan
tersebut dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau
yang lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan
gejala klinis yang kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak.
Epilepsi ditandai dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari
gejala klinis, rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah
suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang
(lebih dari satu episode).3
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat
mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan
adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan
sedikitnya satu riwayat kejang epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan
epileptik didefinisikan sebagai tanda dan atau gejala yang timbul sepintas
(transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di
otak.4
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi
dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan
listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik
dan laboratorik.
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi >30 menit atau kejang
berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.4

4
2.2 EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi. Sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsy lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsy di negara
maju ditemukan sekitar 50/100.000. sementara di Negara berkembang mencapai
100/100.000.5
Di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia
dibawah 2 tahun dan usia lanjut di atas 65 tahun. Umumnya paling tinggi pada
umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 th, dan meningkat lagi
setelahnya terkait dengan kemungkinan terjadinya penyakit cerebrovascular. Pada
75% pasien, epilepsy terjadi sebelum umur 18 tahun.6

2.3 ETIOLOGI
Etiologi Epilepsi kemungkinan disebabkan oleh:
A. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang
mempengaruhi otak
B. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak
akibat trauma otak pada saat lahir atau cedera lain
C. Pada bayi  penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia
waktu lahir, trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik,
malformasi congenital pada otak, atau infeksi
D. Pada anak-anak dan remaja  mayoritas adalah epilepsy idiopatik,
pada umur 5-6 tahun  disebabkan karena febril
E. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi  idiopatik, karena
birth trauma, cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 th), penyakit
serebro vaskuler (> 50 th)

5
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
 Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ±50% dari
penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetic,
awitan biasanya pada usia >3tahun. Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan alat-alat diagnostic yang canggih kelompok ini semakin
sedikit.
 Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf
pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
gangguan metabolic, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum,
lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik serta kelainan
neurodegenerative.
 Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut
dan epilepsy mioklonik.7

2.4 KLASIFIKASI
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan
klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan: faktor-
faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau
idiopatik), usia dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan
klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi berdasarkan: gambaran klinis dan
elektroensefalogram.3
Klasifikasi ILAE (1981) untuk tipe bangkitan epilepsi adalah :3
1. Bangkitan parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala sensorik
c. Dengan gejala otonomik
d. Dengan gejala psikik
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
 Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran

6
 Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
 Dengan gangguan kesadaran saja
 Dengan automatisme
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik, tonik
atau klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,
dan berkembang menjadi bangkitan umum

2. Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)


a. Bangkitan lena (absence)
Lena (absence), sering disebut petitmal. Serangan terjadi secara
tiba-tiba, tanpa di dahului aura. Kesadaran hilangselama beberapa
detik, di tandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat,
pandangan kosong, atau mata berkedip dengan cepat. Hampir
selalu pada anak-anak, mungkin menghilang waktu remaja atau
diganti dengan serangan tonik-klonik.
b. Bangkitan mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang
singkat dan tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis atau
asinkronis. Muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok
otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya
berlangsung sejenak. Biasanya tidak ada kehilangan kesadaran
selama serangan. Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan
ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang
berulang dan terjadinya cepat.
c. Bangkitan tonik
Tonik, serangan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba
meningkat dari otot ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap
yang khas. Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau

7
pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang
menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan
bawah dengan bentuk dekortikasi. Biasanya kesadaran hilang
hanya beberapa menit terjadi pada anak 1-7 tahun.

d. Bangkitan atonik/astatik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh.
Keadaan ini bisa di menifestasikan oleh kepala yang terangguk-
angguk, lutut lemas, atau kehilangan total dari tonus otot dan Px
bisa jatuh serta mendapatkan luka-luka. Biasanya penderita akan
kehilangan kekuatan otot dan terjatuh secara tiba-tiba. Bangkitan
ini jarang terjadi.

e. Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di
sebebkan aleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng
singkat. Keadaan ini diikuti sentakan bilateral yang lamanya 1
menit sampai beberapa menit yang sering asimetris dan bisa
predominasi pada satu anggota tubh. Serangan ini bisa bervariasi
lamanya, seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat ke satu
saat lain.
f. Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis serang
klasik epilepsi serangan ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan
atau pendengaran selama beberapa saat yang diikuti oleh
kehilangan kesadaran secara cepat. Secara tiba-tiba penderita akan
jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak
kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan
kejang tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki).
Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau
bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan,

8
penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya
terasa lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya.

2.5 PATOFISIOLOGI
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih
dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen,
disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel
opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal
inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh
konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan
keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron.9

Gambar : Silbernagl S. Color Atlas Pathopysiology. New York : Thieme.2000

9
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks
serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam
merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps
dan inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection),
yang memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan
dan menyebarkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-
sel piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada
hippocampus, yang bias dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk
terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial
luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan
aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut
respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor
rekuren dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial
aksi secara tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak
apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara
bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik
tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari
20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat.
Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi
yang sangat bervariasi.9
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :
1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan
seseorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang
lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi
hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.

10
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini
dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab
atas timbulnya epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan
epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya
bangkitan epilepsi pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita
dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat membangkitkan reactive
seizure dimana SED tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal
dasar.9
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium
dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium.
Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ),
dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori
dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila
natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium.
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang
tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin )
kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat )
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila
konsentrasi GABA (gamma aminobutyric acid ) tidak normal.  Pada otak manusia
yang menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah.  Hambatan oleh
GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post
synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA.  Suatu hipotesis mengatakan
bahwa aktifitas epileptic disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh
GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak.

11
Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka
semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bias
menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan. Sinkronisasi
dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau seluruh
neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini
menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis
ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA )
sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu
fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai macam
penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron
inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi,
tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan
rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga
mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan
terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh
karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron,
maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan
kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi
yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu
tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di
lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi
dapatan. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah
terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan
sebagainya. Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia
atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat
neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat
trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat
mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga
menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya
grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal epilepsy. Walaupun
demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme
yang sama.

12
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai
kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial
membrane neuron bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron,
yakni membrane sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke
intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel
terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl,
sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan
konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan
badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi
membran neuron berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni
neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik
dan neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel
neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-
neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate,aspartat dan asetilkolin
sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric
acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan
terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan
fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan istirahat,
membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane neuron dan
seluruh sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh
ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan
letupan depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur
dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara
sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsy. Suatu sifat khas serangan
epilepsy ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses
inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang
epileptic. Selain itu juga system-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang

13
menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepasmuatan memegang
peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsy terhenti
ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi
otak.
Patofisiologi Epilepsi Umum
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara
lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum,
onset dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan
pasien “bengong” dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik
kemudian kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa
hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus,
hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian
menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara
thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras
thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan
aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada
korteks terjadi pada saat tidur non-REM.
Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik.
Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion
(pada tabel berikut). Contoh: Generalized epilepsy with febrile seizure plus,
benign familial neonatal convulsions.
Tabel 3. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi4-6
Kanal Gen Sindroma
Voltage-gated
Kanal Natrium SCN1A, SCN1B Generalized epilepsies with febrile
SCN2A, GABRG2 seizures plus
Kanal Kalium KCNQ2, KCNQ3 Benign familial neonatal
convulsions
Kanal Kalsium CACNA1A, Episodic ataxia tipe 2
CACNB4 Childhood absence epilepsy
ACNA1H
Kanal Klorida CLCN2 Juvenile myoclonic epilepsy

14
Juvenile absence epilepsy
Epilepsy with grand mal seizure on
awakening
Ligand-gated
Reseptor asetilkolin CHRNB2, CHRNA4 Autosomal dominant frontal lobe
epilepsy
Reseptor GABA GABRA1, GABRD Juvenile myoclonic epilepsy

Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion
natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga
terjadi aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika
terjadi mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with
febrile seizures plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan
kalium efluks tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi
yang berlangsung berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron.
Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana
terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan
menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron.

Patofisiologi Anatomi Seluler


Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera
kepala, stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan
saraf yang tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang
mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada
cedera maupun stroke ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam
mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah pada gangguan
pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa
menimbulkan bangkitan listrik di otak.
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi
(focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan
jaringan otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental.

15
Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh
ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan
inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari
presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor
NMDA atau AMPA di post-sinaptik. Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari
reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai patologi terjadinya kejang dan
epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip
kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan
adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain
kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya
dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi
lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari
resepot nikotinik subunit alfa. Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium,
kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi
neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan
listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron.
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka
bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal
ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi
dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang
dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai
sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di
hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses
belajar.

2.6 GEJALA
 Kejang parsial simplek 
Serangan dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala
berupa “déjàvu” : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama
sebelumnya.
 Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak
dapat di jelaskan.

16
 Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum
pada bagian tubuh tertentu.
 Gerakan yang tidak dapat di kontrol pada bagian tubuh tertentu
 Halusinasi  

 Kejang parsial (psikomotor) kompleks


Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya
bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan
kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu serangan.
Gejalanya meliputi :
 gerakan seperti mencucur atau mengunyah
 melakukan gerakan yang sama berulang – ulang atau memainkan
pakaiannya
 Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan
berkeliling dalam keadaan seperti sedang bingung
 Gerakan menendang atau meninju yang berulang – ulang
 Berbicara tidak jelas seperti menggumam

 Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).


Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua
tahap: tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada
serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik
saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura.
Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat
berupa : merasa sakit perut , baal, kunang – kunang , telinga berdengung.
Pada tahap tonik pasien dapat : kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa
alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase
klonik : terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol,
mengompol atau buang air besar tidak dapat di kontrol, pasien tampak
sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur
setelah serangan semacam ini.

17
2.7 DIAGNOSIS
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan
melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan
radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang
berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.8
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah
serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang
sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan
informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekuensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

18
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
 
Anamnesa / Alloanamnesa Epilepsi umum :
Major :
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan
sekunder. Epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan
tonik-klonik. Manifestasi klinik: kedua golongan epilepsi grand mal tersebut
sama, perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau
preiktal sebelum serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik
selalu didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus
epileptogen pada permukaan otak.Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat
sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap
sesuatu, sakit kepala dan sebagainya. Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang
kesadaran sehingga aktivitas penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami
kejang tonik. otot-otot berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi
dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga
terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian
disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan
membanting-banting tubuh si sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 --
3 menit. Selain kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat,
midriasis pupil, refleks cahaya negatif, mulut berbuih dan sianosis. Kejang
berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan stupor sampai
koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian penderita bangun, termenungdan kalau tak
diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai
setahun sekali.
Minor :
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum
yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi..
Bangkitan mioklonus. Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya
anggukan kepala, fleksi lengan yang terjadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi
demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran
atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik.(9)

19
Bangkitan akinetik. Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh
karena menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh
atau mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis
bangkitan ini(petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang
penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut.
Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau
sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-
laki. Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan
kerusakan otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma,
infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala
kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang
disertai teriakan atau tangisan,miosis atau midriasis pupil, sianosis dan
berkeringat.
Bangkitan motorik. Fokus epileptogen terletak di korteks motorik.
Bangkitan kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai
dengan hilang kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot
yang misalnya dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah
dan akhirnya seluruh lengan.Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche
Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi).9
Bangkitan sensorik Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus
epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus
terletak di gyrus postcentralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu
bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu
anggota badan. Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron
sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang.
Epilepsi lobus temporalis. Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun.
Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini
sangat kompleks karena fokus epileptogennya terletak di lobus temporalis dan
bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan
asosiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi
yang kompleks ini bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis ini
dulu disebut epilepsi psikomotor.

20
Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya
berupa automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: Kesadaran hilang
sejenak, dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran
antara sadar dan mimpi (twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi
yang terdiri dari halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik
sampai beberapa jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul :
Halusinasi dengan automatisme pengecap, halusinasi dengan automatisme
membaca, halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan
aneh.

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis


Pada orang dewasa
Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Pada kulit
dicari adanya tanda neurofibromatosis berupa bercak-bercak coklat, bercak-bercak
putih, dan adenoma seboseum pada muka pada sklerosi tuberose. Hemangioma
pada muka dapat menjadi tanda adanya penyakit Sturge-Weber. Pada
toksoplasmosis, fundus okuli mungkin menunjukkan tanda-tanda korio renitis.
Mencari kelainan bawaan, asimetri pada kepala, muka, tubuh,ekstrimitas.

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium,
magnesium, natrium, bilirubin, ureum dalamdarah. Yang memudahkan
timbulnya kejang ialah keadaan hipoglikemia, hypokalemia, hipomagnesia,
hiponatremia, hypernatremia, hiperbilirubinemia, dan uremia. Penting pula
diperiksa pH darah karena alkalosis mungkin disertai kejang. Pemeriksaan cairan
otak dapat mengungkapkan adanya radang pada otak atau selaputnya,
toksoplasmosis susunan saraf sentral, leukemia yang menyerang otak, metastasis
tumor ganas, adanya perdarahan otak atau perdarahan subaraknoid.10,11

21
a. Pemeriksaan radiologis
Arteriografi dan pneumoensefalografi dilakukan bila perlu.
Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
informatif yang dapat memastikan diagnosis epilepsy. Gelombang yang
ditemukan pada EEG berupa gelombang runcing, gelombang paku,
runcing lambat, paku lambat. Pemeriksaan tambahan lain adalah
pemeriksaan foto polos kepala
b. Pemeriksaan psikologis atau psikiatris
Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik
turunnya kesadaran.
c. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan
adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya
kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di
kedua hemisfer otak.

22
2. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
3. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk,
dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi
tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme
infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal
gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd),
epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam
/ lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).

Gambar Pembentukan EEG

23
Gambar: profil EEG pada pasien Epilepsi

2.8 PENATALAKSANAAN

Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup


penderita yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara
lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek
samping ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan
angka kesakitan dan kematian.10
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka
mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium,
penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi
eksitatorik glutamat. Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik
GABAergik. Beberapa obat antie- pilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara
lain karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium), klonazepam (Klonopin),
felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam
(Keppra), oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital (Luminal), fenitoin (Dilantin),
pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat (Topamax), asam valproat
(Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter, 1996). Protokol penanggulangan

24
terhadap status epilepsi dimulai dari terapi benzodiazepin yang kemudian
menyusul fenobarbital atau fenitoin. Fenitoin bekerja menginhibisi
hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok loncatan listrik.
Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai efek
samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap
gangguan kognitif ringan dan sedang. Melihat banyaknya efek samping dari obat
antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat
bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan
otak.
Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron
sebagai aktivator terhadapreseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-5-
methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor
NMDA dan AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang
bisa menstimulasi kematian dari sel.
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan
antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam
penelitian lanjut. Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat
antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai
mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor
NMDA dan AMPA yakni glutamat dan GABA). Pada hewan percobaan
ditemukan bahwa potensi levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan ikatan obat
tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi. Dari data
penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat digunakan pada penderita
epilepsi dengan berbagai penyakit saraf sentral lainnya seperti pasien epilepsi
dengan gangguan kognitif, karena ternyata levetirasetam tidak berinteraksi dengan
obat CNS lainnya. Salah satu andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai
antikonvulsan adalah dengan ditemukannya ikatan levetirasetam dengan protein
SVA2. Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa vesikel protein SVA2 di
sinaptik adalah satu-satunya protein yang mempunyai ikatan dengan levetirasetam
mendasar pada karakter serta pendistribusian molekul protein sebagai
antikonvulsan. Keadaan ini terbukti pada hewan percobaan bahwa pemberian

25
levetirasetam yang analog dengan protein SVA2 di vesikel berpotensi sebagai
antikonvulsan.

Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk


epilepsi yakni:13,14
1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah
dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien
dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan
pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap sampai
dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.
4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis
terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.
5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan
tidak terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua.

Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya :


1. Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga
pada reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin.
2. Fenitoin :  Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan
klorida dan neurotransmitter yang voltage dependen
3. Fenobarbital : Meningkatkan aktivitas reseptor GABA , menurunkan
eksitabilitas glutamate, menurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium.
4. Valproat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang
konduktan kalsium (T) dan kalium.
5. Levetiracetam : Tidak diketahui
6. Gabapetin :  Modulasi kalsium channel tipe N
7. Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent
8. Okskarbazepin :  Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium,
modulasi aktivitas channel

26
9. Topiramat :  Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-Mediated
chloride, modulasi efek reseptor GABA.
10. Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi
glutamate.

Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat


dihentikan tanpa kekambuhan. Penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap
setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang.
Ada 2 syarat yang penting diperhatikan ketika hendak menghentikan OAE
yakni:

1. Syarat umum yang meliputi :


- Penghentian OAE telah didiskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga
dimana penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.
- Gambaran EEG normal
- Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan
dalam jangka waktu 3-6bulan.
- Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1
OAE
yang bukan utama.
2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE
- Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.
- Epilepsi simtomatik
- Gambaran EEG abnormal
- Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.
- Penggunaan OAE lebih dari 1
- Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
- Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
- Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinannya bila penderita telah bebas
bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul
kembali maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian
evaluasi

27
BAB III
STATUS PASIEN

3.1 Identitas Penderita

Nama : Tn. A
Umur : 30 tahun
Alamat : Susoh
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Suku : Aceh
Pekerjaan : Tukang pangkas
Tanggal Pemeriksaan : 16 September 2022

3.2 Anamnesa
Keluhan Utama : Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan kejang berulang, hal ini sudah dirasakan
sejak 5 tahun yang lalu. Pasien mengalami kejang berulang dan dapat terjadi
sekitar 1-4 kali dalam sebulan. Durasi kejang dirasakan kurang lebih 3
hingga 5 menit. Kejang pertama dirasakan dengan adanya kaku otot mula-
mula pada tangan lalu berlangsung ke seluruh tubuh dan pasien tidak
mengingat apa yang dirasakan selama kejang berlangsung. Saat kejang,
mata memandang keatas, lidah tidak tergigit tapi keluar lendir berbusa dari
mulut pasien. Kejang yang terjadi tidak berhubungan dengan demam.
Biasanya setelah kejang pasien tersadar merasa pusing dan sakit kepala lalu
tertidur karena lemas. Riwayat mual dan muntah disangkal pasien. Pasien
berobat rutin ke poli saraf untuk mengatasi kejang ini. Pasien mengaku
sebelumnya pernah mengalami trauma di kepala karena kecelakaan lalu
lintas pada tahun 2011.

28
Riwayat Penyakit Dahulu : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga : disangkal
Riwayat Penggunaan Obat : Pasien tidak pernah mengkonsumsi obat
sebelumnya, walaupun obat kejang.
3.3 Status Internus
1. Keadaan Umum : Pasien tampak sehat
2. Kesadaran : E4 M6 V5
3. Tekanan Darah : 110/70
4. Nadi : 84 kali/ menit
5. Pernafasan : 121kali/menit
6. Suhu : 36,60C
7. Keadaan Gizi : Baik

3.4 Pemeriksaan Fisik


a. Kulit
1. Warna : Sawo matang
2. Turgor : Cepat kembali
3. Sianosis : tidak ada
4. Ikterus : tidak ada
5. Oedema : tidak ada
6. Anemia : tidak ada
b. Kepala
1. Rambut : Hitam, sukar dicabut
2. Wajah : Simetris, edema (-), deformitas(-)
3. Mata : Conjunctiva pucat (-/-), ikterik (-/-)
a. Pupil bulat isokor 3 mm/3 mm
b. Refleks cahaya langsung (+/+), dan
c. Refleks cahaya tidak langsung (+/+)
4. Telinga : Serumen (-/-)
5. Hidung : Sekret (-/-)
6. Mulut : Bibir pucat (-), Mukosa Basah (+), sianosis
(-)

29
Lidah : Tremor (-), Hiperemis (-)
Tonsil : Hiperemis (-/-), T1 – T1
Faring : Hiperemis (-)
c. Leher
1. Inspeksi : Simetris
2. Palpasi : TVJ (N) R-2 cm H2O.
3. Pembesaran KGB : Tidak ada

d. Thorax
Inspeksi
1. Statis : Simetris, bentuk normochest
2. Dinamis : Pernafasan thorakoabdominal,
Retraksi suprasternal (-),
Retraksi intercostals (-),
 Paru
Inspeksi : Simetris, statis, dinamis.
Kanan Kiri
Palpasi Fremitus N Fremitus N
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler Normal Vesikuler Normal
Ronchi (-) wheezing (-) Ronchi (-) wheezing (-)

 Jantung
1. Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
2. Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V 2 cm ke arah lateral
LMCS
3. Perkusi Atas : ICS III line midclavicula sinistra
Kiri : ICS V, 3 cm ke arah lateral linea
midclavicula sinistra

Kanan : ICS III, 2 cm kearah lateral linea


parasternal dekstra

30
4. Auskultasi : BJ I > BJ II kesan normal, regular, bising (-).

e. Abdomen
1. Inspeksi : Simetris, distensi (-), tumor(-), vena collateral(-)
2. Palpasi : Nyeri tekan (-), defans muscular (-)
a. Hepar : Tidak teraba
b. Lien : Tidak teraba
c. Ginjal : Ballotement (-)
3. Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
4. Auskultasi : Peristaltik normal
f. Genitalia : Tidak diperiksa
g. Anus : Tidak diperiksa
h. Tulang Belakang : Simetris
Nyeri tekan (-)
i. Kelenjar Limfe : Pembesaran KGB (-)
j. Ekstremitas : Akral hangat
Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianosis - - - -
Oedema - - - -
Fraktur - - - -

3.5 Status Neurologis


A. G C S : E4 M6 V5
Pupil : Isokor (3 mm/3 mm)
Reflek Cahaya Langsung : +/+
Reflek Cahaya Tidak Langsung : +/+
Tanda Rangsang Meningeal
- Kaku kuduk : (-)
- Laseque : (-)
- Kernig : (-)
- Babinski : -/-

31
- Brudzinski I : (-)
- Brudzinski II : (-)

B. Nervus Cranialis
Nervus III (otonom) :
Kanan Kiri
1. Ukuran pupil 3 mm 3 mm
2. Bentuk pupil bulat bulat
3. Reflek cahaya langsung + +
4. Reflek cahaya tidak + +
langsung - -
5. Nistagmus - -
6. Strabismus - -
7. Exophtalmus - -
8. Melihat kembar
Nervus III, IV, VI (gerakan okuler)
Pergerakan bola mata : Kanan Kiri
1. Lateral Dalam batas normal Dalam batas normal
2. Atas Dalam batas normal Dalam batas normal
3. Bawah Dalam batas normal Dalam batas normal
4. Medial Dalam batas normal Dalam batas normal
5. Diplopia Dalam batas normal Dalam batas normal
Kelompok Motorik
Nervus V (fungsi motorik)
1. Membuka mulut Dalam batas normal
2. Menggigit dan mengunyah Dalam batas normal

Nervus VII (fungsi motorik) Kanan Kiri


1. Mengerutkan dahi Dalam batas normal Dalam batas
2. Menutup mata Dalam batas normal normal
3. Menggembungkan pipi asimetris Dalam batas
4. Memperlihatkan gigi Dalam batas normal normal

32
5. Sudut bibir Asimetris Dalam batas
normal
Dalam batas normal
Dalam batas
normal
Nervus IX & X (fungsi motorik) Kanan Kiri
1. Bicara Dalam batas normal Dalam batas normal
2. Menelan Dalam batas normal Dalam batas normal

Nervus XI (fungsi motorik)


1. Mengangkat bahu Dalam batas normal Dalam batas normal
2. Memutar kepala Dalam batas normal Dalam batas normal
Nervus XII (fungsi motorik)
1. Artikulasi lingualis Dalam batas normal
2. Menjulurkan lidah Dalam batas normal
Kelompok Sensoris
 Nervus I (fungsi penciuman) Dalam batas normal
 Nervus V (fungsi sensasi Dalam batas normal
wajah) Dalam batas normal
 Nervus VII (fungsi Dalam batas normal
pengecapan)
 Nervus VIII (fungsi
pendengaran)

C. Badan
Motorik
1. Gerakan respirasi : Abdomino Thorakalis
2. Bentuk columna vertebralis : Simetris
3. Gerakan columna vertebralis : Kesan simetris

33
Sensibilitas
1. Rasa suhu : Dalam batas normal
2. Rasa nyeri : Dalam batas normal
3. Rasa raba : Dalam batas normal

D. Anggota Gerak Atas


Motorik
1. Pergerakan : Dalam batas normal
2. Kekuatan : 5555/5555
3. Tonus : Dalam batas normal /dalam batas
normal
4. Trofi : Dalam batas normal /dalam batas
normal
Refleks
1. Biceps : +/+
2. Triceps : +/+
E. Anggota Gerak Bawah
 Motorik
1. Pergerakan : dalam batas normal
2. Kekuatan :5555/5555
3. Tonus : Dalam batas normal /dalam batas
normal
4. Trofi : Dalam batas normal /dalam batas
normal
 Refleks
1. Patella : +/+
2. Achilles : +/+
3. Babinski : -/-
4. Chaddok : -/-
5. Gordon : -/-
6. Oppenheim : -/-

34
 Klonus
1. Paha : -/-
2. Kaki : -/-
3. Tanda Laseque : -/-
4. Tanda Kernig : -/-
 Sensibilitas kanan kiri
Rasa suhu dbn dbn
Rasa nyeri dbn dbn
Rasa raba dbn dbn

F. Gerakan Abnormal : Tidak ditemukan


G. Fungsi Vegetatif
1. Miksi : dalam batas normal
2. Defekasi : konstipasi (-)
H. Koordinasi Keseimbangan
1. Cara Berjalan : dalam batas normal

3.6 Pemeriksaan Penunjang


A. CT Scan kepala
Tidak dilakukan
B. Foto Thorax
Tidak dilakukan

3.7 Diagnosa
Epilepsi

3.8 Terapi
- Depakote ER 500mg 1x1
- Betaserc 8mg 3x1
- Sohobion tab 1x1

35
3.9 Prognosa
Qou ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

36
BAB IV
PEMBAHASAN

Telah dilakukan pemeriksaan pada seorang pria berusia 30 tahun dengan


diagnosa Epilepsi. Penegakan diagnosa ini didapatkan dari hasil anamesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa didapatkan bahwa
pasien mengalami kejang sejak 5 tahun yang lalu. Kejang dimulai dengan rasa
kaku diseluruh tubuh disertai dengan sakit kepala.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan semuanya masih dalam batas
normal begitu pula dengan pemeriksaan neurologisnya. Tidak terdapat adanya
parese nervus kranialis dan deficit neurologis pada pasien ini. Pergerakan motorik
pada ekstremitas superior dan inferior adalah 5555/5555 dengan GCS 15.
Berdasarkan dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, maka pada penderita ini
didapatkan adanya riwayat kejang tanpa disertai adanya kelainan pada keadaan
umum ataupun status neurologisnya.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for epilepsy (IBE) epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang
ditandai dengan adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang
epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi
sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat
kejang epileptik sebelumnya.
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan
tidak terkontrol yang disebakan oleh kejang involunter saraf otak.
Penyebab epilepsi dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
1. Idiopatik
Penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari penderita epilepsi anak
dan umumnya mempunyai predisposisi genetik. Awitan biasanya pada usia > 3
tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan alat-alat diagnostik yang
canggih, kelompok ini semakin sedikit.
2. Simptomatik
Disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya post
trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolik,

37
malformasi otak kongenital, asfiksia neonaturum, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik serta kelainan neuro degeneratif.
3. Kriptogenik
Dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini
adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi dalam otak lebih dominan
daripada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, diinhibisi,
pergerakan konsentrasi ion ekstra sekuker, viltage-gated ion channel opening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron yang sangat penting artinya dalam hal inisiasi
dan perambatan aktifitas serangan epileptik. Aktifitas neuron diatur oleh
konsentrasi ion dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan
keluar masuk ion-ion menerobos menbran neuron.6
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
menegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :
a. Asimetri irama dan votase gelombang pada daerah yang sana dikedua
hemisfer otak.
b. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya, misalnya gelombang delta.
Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada orang normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal
Pada pasien ini, telah dilakukan pemeriksaan EEG dan didapatkan hasil
berupa hasi abnormal dengan curiga adanya gelombang epileptiform.
Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup
penderita yang optimal. Dari beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara
lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek
samping ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan
angka kesakitan dan kematian.5,6

38
Dalam farmakologi terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan epilepsi,
yaitu6,7
1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah
dipastikan, terdapat minimal 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien
dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan
pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan secara bertahap
sampai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.
4. Apabila dengan penggunaan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis
terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.
5. Penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bagkitan tidak
terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua.

39
BAB V
KESIMPULAN

Epilepsi adalah gangguan pada otak yang menyebabkan terjadinya kejang


berulang. Kejang terjadi ketika aktivitas listrik dalam otak tiba-tiba terganggu.
Gangguan ini dapat menyebabkan perubahan gerakan tubuh, kesadaran, emosi dan
sensasi.
Tidak semua kejang disebabkan epilepsy. Kejang juga dapat disebabkan
oleh kondisi tertentu seperti meningitis, ensefalitis atau trauma kepala. Ada
banyak tipe kejang pada epilepsy. Kejang dapat digolongkan menjadi kejang
parsial dan kejang umum, tergantung pada banyaknya area otak yang terpengaruh.
Ada beberapa komplikasi pada epilepsy seperti status epileptikus dan
sudden unexpected death in epilepsy. Status epileptikus ini terjadi jika terdapat
kejang lebih dari 30 menit tanpa adanya pemulihan kesadaran. Biasanya status
epileptikus adalah kedaruratan medis pada kejang tonik klonik. Sedangkan
SUDEP sangat jarang terjadi.
Gejala epilepsy dapat dikontrol dengan menggunakan obat anti kejang.
Hamper delapan dari sepuluh orang dengan epilepsy gejala kejang yang mereka
alami dapat dikontrol dengan baik oleh obat anti kejang. Pada awal pengobatan
akan diberikan satu jenis obat untuk mengatasi kejang. Apabila kejang tidak dapat
dikontrol maka akan digunakan dua atau lebih kombinasi dari obat anti kejang.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Accessed on February 22th 2014 :


http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment-134.pdf
2. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In :
Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.2005.
p119-127.
3. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(Perdossi). Pedoman Tatalaksana Epilepsy. Jakarta: Penerbit Perdossi;2012.
4. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder,Pediatric
Neurology: Essentials for General Practice. 1st ed. 2007
5. Accessed on February 22th 2014:
http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion.pdf 
6. Accessed on February 22th 2014:
http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm
7. Accessed on February 22th 2014 :
http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahami-gejala-
epilepsi-pada-anak-2
8. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and Therap
y in Children and Adults. 2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd.2005
9. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses -Proses Penyakit.
Ed: 6. Jakarta: EGC
10. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
11. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 2005 15.
PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008
16.http://www.medscape.com/viewarticle/726809
12. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian
Rakyat; 2009.p.439.
13. Utama H. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam Farmakologi dan terapi. 5th ed.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005.
14. Lumbantobing SM. Epilepsy. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;2006.

41

Anda mungkin juga menyukai