Anda di halaman 1dari 33

ASUHAN KEPERAWATAN

EPILEPSI

Dosen pengampu:

Ns. Astuti Ardi Putri, M. Kep

DISUSUN OLEH

Novia Safitri (2001011008)

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

UNIVERSITAS DHARMAS INDONESIA

DHARMASRAYA

2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha


Esa, karena telah melimpahkan rahmatnya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya. Terimakasih juga kepada guru
pembimbing kami ibu Ns. Astuti Ardi Putri, M.Kep dan kami ucapkan
terimakasih kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan memberikan
ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para


pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Dharmasraya 25 November 2022

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai dengan episode kejang


dapat disertai hilangnya kesadaran (Kristanto, 2017). Epilepsi merupakan salah
satu penyebab terbanyak morbiditas dibidang saraf pada anak yang dapat
menyebabkan berbagai permasalahan antara lain gangguan tumbuh kembang,
kesulitan belajar, serta dapat menentukan potensi dan kualitas hidup anak pada
masa yang akan datang. Epilepsi dapat terjadi pada wanita maupun pria, tanpa
memandang umur dan ras (Lestari dan Mudapati, 2014). International League
Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 2005 menyatakan epilepsi didefinisikan
secara konseptual merupakan kelainan otak dengan ditandai kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan epileptik secara terus menerus dengan konsekuensi
neurobiologis, kognitif, dan sosial dari kondisi ini (Fisher et al., 2014). Data dari
World Health Organization (WHO), diperkirakan sekitar 50 juta orang di dunia
yang menderita epilepsi, sehingga epilepsi menjadi penyakit neurologi yang
paling umum secara global. Hampir 80% orang yang menderita epilepsi tinggal di
negara dengan pendapatan rendah dan menengah (WHO, 2019). Di Indonesia
terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan
sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40-50% terjadi pada
anak-anak (Suwarba, 2011).

Pengobatan epilepsi adalah pengobatan yang dilakukan dalam jangka


waktu yang panjang, sehingga diperlukan kerja sama yang baik antara dokter,
pasien, dan keluarga pasien untuk menjamin kepatuhan berobat. Pemberian obat
antiepilepsi (OAE) harus mempertimbangkan risiko dan manfaat (Wijaya, Saing
& Destariani, 2020). Prinsip pengobatan epilepsi adalah dimulai dengan
monoterapi lini pertama, menggunakan OAE sesuai jenis bangkitan. Pemberian
OAE dimulai dari dosis rendah dan dilanjutkan dengan dinaikkan bertahap sampai
dosis efektif tercapai. Jika bangkitan tidak dapat dihetikan dengan OAE lini

3
pertama dosis maksimal, monoterapi lini kedua dimulai (Wijaya, Saing &
Destariani, 2020). Pemberian obat epilepsi menggunakan injeksi dapat
menimbulkan persepsi nyeri dan rasa tidak nyaman pada pasien anak-anak.
Fenioin merupakan salah satu obat yang paling efektif terhadap kejang parsial dan
umum tonik klonik. Pemberian fenitoin bisa menyebabkan terjadinya Purpule
Glove Syndorme (PGS) dengan karakteristik perubahan warna kebiruan disertai
nyeri dan edema di bagian distal dari lokasi masuknya fenitoin intavena
(Masamah & Supriyanto, 2008).

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi Epilepsi

1. Pengertian

Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi


otak yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan
akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks
serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan
kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori.

Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karakteristik


kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan
bersivat reversibel

Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya


gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang
disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat
reversibel dengan berbagai etiologi.

Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam


etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksimal dan berkala akibat
lepas muatan listrik neron-neron otak secara berlebihan dengan berbagai
manifestasi klinik dan laboratorik.

2. Epidemiologi

Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh


dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang diantaranya adalah epilepsi
primer, dan 80% tinggal di negara berkembang. Laporan WHO (2001)
memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi

5
aktif diantara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per
100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih
tinggi di negara-negara berkembang. Hasil penelitian Shackleton dkk
(1999) menunjukkan bahwa angka insidensi kematian di kalangan
penyandang epilepsi adalah 6,8 per 1000 orang. Sementara hasil penelitian
Silanpaa dkk (1998) adalah sebesar 6,23 per 1000 penyandang.

3. Etiologi

Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :

o Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu,


seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin,
mengalami infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera.

o Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang
mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.

o Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak

o Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama


pada anak-anak.

o Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah


otak

o Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak

o Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (fku), sclerosis tuberose dan


neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.

o Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan


karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal
diturunkan pada anak.

1. Epilepsi Primer (Idiopatik)

Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak


ditemukan kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan

6
atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area
jaringan otak yang abnormal. Penyebab pada kejang epilepsi sebagian
besar belum diketahui (Idiopatik). Sering terjadi pada:

1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum

2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf

3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol

4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,


hiponatremia)

5. Tumor Otak

6. Kelainan pembuluh darah

(Tarwoto, 2007)

2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)

Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan


pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak
lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu
lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera
selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi
(misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6),
faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan
sirkulasi, dan neoplasma.

Penyebab step / childhood epilepsi / epilepsi anak-anak:

 fever / panas (these are called febrile seizures)

 genetic causes

 head injury / luka di kepala.

 infections of the brain and its coverings

7
 lack of oxygen to the brain/ kekurangan oksigen, terutama saat proses
kelahiran.

 hydrocephalus/pembesaran ukuran kepala (excess water in the brain


cavities)

 disorders of brain development / gangguan perkembangan otak.

4. Patofisiologi

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan


dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat
suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi
muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks
serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di
serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.

Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa


fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :

 Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami


pengaktifan.
 Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
 Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin
atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
 Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik.

8
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera
setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan
energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik
secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian
juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan
serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi selama aktivitas kejang.

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi.


Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat
neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara
konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan
asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka
terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus
tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.

1. Klasifikasi

1. Sawan Parsial

i.      Sawan parsial sederhana

ii.     Sawan parsial kompleks 

2. Sawan Umum

-         Sawan lena

-         Sawan mioklonik

-         Sawan klonik

-         Sawan Tonik

-         Sawan tonik-klonik

-         Sawan atonik

3.Sawan tak tergolongkan

9
5. Manifestasi Klinis

Sawan Parsial (lokal, fokal)

-         Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran


tetap normal

1. Dengan gejala motorik

 Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu


bagian tubuh saja

 Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian


tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga
epilepsi Jackson.

 Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata,


tuibuh.

 Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku


dalam sikap tertentu

 Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang


terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu

1. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan


disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca
indera dan bangkitan yang disertai vertigo.

 Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti


ditusuk-tusuk jarum.

 Visual : terlihat cahaya

 Auditoris : terdengar sesuatu

 Olfaktoris : terhidu sesuatu

 Gustatoris : terkecap sesuatu

10
 Disertai vertigo

1. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi


epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi
pupil).

2. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)

-  Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku


kata, kata atau bagian kalimat.

- Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa


seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau
sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa
di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.

-  Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.

- Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.

-  Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih


kecil atau lebih besar.

- Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang


bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.

- Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)

1. Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran :


kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.

 Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala


seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya
kesadaran.

 Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku


yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan
mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali
seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing
baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.

11
 Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran
menurun sejak permulaan kesadaran.

 Hanya dengan penurunan kesadaran

 Dengan automatisme

1. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum


(tonik-klonik, tonik, klonik)

2. Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi


bangkitan umum.

3. Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi


bangkitan umum.

4. Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial


kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.

1. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif)

1. Sawan lena (absence)

Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan


terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat memutar
ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini
berlangsung selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada
anak.

1. Hanya penurunan kesadaran

2. Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan,


biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut,
atau otot-otot lainnya bilateral.

3. Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-


otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas
sehingga tampak mengulai.

12
4. Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-
otot ekstremitas, leher atau punggung mendadak
mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke
belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.

5. Dengan automatisme

6. Dengan komponen autonom.

7. Lena tak khas (atipical absence)

Dapat disertai:

1. Gangguan tonus yang lebih jelas.

2. Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

2. Sawan Mioklonik

Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak,


sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot,
seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai
pada semua umur.

3. Sawan Klonik

Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak,


repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai
atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.

4. Sawan Tonik

Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot


hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas,
flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada
anak.

5. Sawan Tonik-Klonik

Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita


yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali

13
dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan.
Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku.
Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang
kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti
sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya.
Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut
menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien
kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti
pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan
kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar
dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.

6. Sawan atonik

Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak


melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik
atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai
pada anak.

7. Sawan Tak Tergolongkan

Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi


berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan
seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak
berhenti sederhana.

6. Pemeriksaan Diagnostik

1. Pungsi Lumbar

Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan


yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan
meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama
pada bayi.

-         Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)

-         Mengalami complex partial seizure

14
-         Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit
dalam 48 jam sebelumnya)

-         Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)

-         Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan.


Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah
normal.

-         Kejang pertama setelah usia 3 tahun

Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan


jika tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang
menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan
kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya,
gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu
pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.

2. EEG (electroencephalogram)

EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti


ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk
dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya
defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan
bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya
atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang
tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh
gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam,
gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya
kejang demam atau risiko epilepsi.

3. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit,


kalsium, fosfor, magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan
pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus

15
ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai
pemeriksaan rutin.

a. Neuroimaging

Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara


lain adalah CT-scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak
dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama
kalinya.

b. CT Scan

Untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal,


serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral

c. Magnetik resonance imaging (MRI)

d. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol


darah.

7. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi      : membran mukosa, konjungtiva, ekimosis, epitaksis,


perdarahan pada gusi, purpura, memar, pembengkakan.

Palpasi        : pembesaran hepar dan limpha, nyeri tekan pada abdomen.

Perkusi        : perkusi pada bagian thorak dan abdomen.

Auskultasi : bunyi jantung, suara napas, bising usus.

8. Pencegahan

Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus


ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi
dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang
kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang
dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan
tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman,
tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala.

16
Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar
belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau
hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena
lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering
terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.

Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang


pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan
penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi
gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.

Hal yang tak boleh dilakukan selama anak mendapat serangan :

¨      Meletakkan benda di mulutnya. Jika anak mungkin menggigit


lidahnya selama serangan mendadak, menyisipkan  benda di mulutnya
kemungkinan tak banyak membantu. Anda malah mungkin tergigit,
atau parahnya, tangan Anda malah mematahkan gigi si anak.

¨      Mencoba membaringkan anak. Orang, bahkan anak-anak, secara ajaib


memiliki kekuatan otot yang luar biasa selama mendapat serangan
mendadak. Mencoba membaringkan si anak ke lantai bukan hal
mudah dan tidak baik juga.

¨      Berupaya menyadarkan si anak dengan bantuan pernapasan mulut ke


mulut selama dia mendapat serangan mendadak, kecuali serangan itu
berakhir. Jika serangan berakhir, segera berikan alat bantu pernapasan
dari mulut ke mulut  jika si anak tak bernapas.

9. Pengobatan

Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita


akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan
jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan
menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta
beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi,
mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.

17
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi.
Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan
ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih
dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap.
Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak
memberikan efek sama sekali.

Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap


kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada
kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental.
Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini
bisa berlangsung seumur hidupnya.

10. Penatalaksanaan

 Farmakoterapi

-         Anti konvulsion untuk mengontrol kejang

 Pembedahan

Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau


adanya anomali vaskuler

Jenis obat yang sering digunakan :

 Phenobarbital (luminal).

Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.

 Primidone (mysolin)

Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan


phenyletylmalonamid.

 Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).

18
Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai
ialah DPH. Berhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus
temporalis.

Tak berhasiat terhadap petit mal.

Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi


gingiva dan gangguan darah.

 Carbamazine (tegretol).

Mempunyai khasiat psikotropik yangmungkin disebabkan


pengontrolan bangkitan epilepsi itusendiri atau mungkin juga
carbamazine memang mempunyaiefek psikotropik.

Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang


sering disertai gangguan tingkahlaku.

Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo,


disartri, ataxia, depresi sumsum tulang dan gangguan fungsi hati.

 Diazepam.

Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung


(status konvulsi.).

Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya


lambat. Sebaiknya diberikan i.v. atau intra rektal.

 Nitrazepam (Inogadon).

Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.

 Ethosuximide (zarontine).

Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal

 Na-valproat (dopakene)

Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai.

Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak.

19
Efek samping mual, muntah, anorexia

 Acetazolamide (diamox).

Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan


epilepsi.

Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak


menurun, influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam
keadaan hiperpolarisasi.

 ACTH

Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme


infantil.

Status epileptikus

Adalah serangan kejang kontinu dan berlangsung lebih dari 30


menit atau serangkaian serangan epilepsi yang menyebabkan anak yang
tidak sadar kembali. Terapi awal diarahkan untuk menunjang dan
mempertahankan fungsi-fungsi vital, meliputi mempertahankan fungsi-
fungsi vital, meliputi mempertahankan jalan napas yang adekuat,
pemberian oksigen, dan terapi hidrasi, serta dilanjutkan dengan pemberian
diazepam (Valium) atau fenobarbitol per IV. Diazepam per rektum
merupakan preparat yang sederhana, efektif, dan aman, untuk
penatalaksanaan epilepsi sebelum masuk rumah sakit. Lorazepam (Ativan)
dapat menggantikan diazepam IV sebagai obat pilihan. Preparat ini
memiliki masa kerja yang lebih panjang dan lebih sedikit menyebabkan
gawat napas pada anak-anak di atas usia 2 tahun. Merupakan keadaan
kedaruratan medis yang memerlukan intervensi segera untuk mencegah
cedera permanen pada otak, gagal napas, dan kematian.

Penatalaksanaan gawat darurat

Kejang tonik-klonik

Selama kejang :

20
Waktu episode kejang

-         lakukan pendekatan dengan tenang

-         jika anak berada dalam posisi berdiri atau duduk, baringkan anak

-         letakkan bantal atau lipatan selimut di bawah kepala anak. Jika tidak
tersedia kepala anak bisa disangga oleh kedua tangannya sendiri.

-         Jangan :

1. Menahan gerakan anak atau menggunakan paksaan

2. Memasukkan apapun ke dalam mulut anak

3. Memberikan makanan atau minuman

-         Longgarkan pakaian yang ketat

-         Lepaskan kacamata

-         Singkirkan benda-benda keras atau berbahaya

-         Biarkan serangan kejang berakhir tanpa gangguan

-         Jika anak muntah miringkan tubuh anak sebagai satu kesatuan ke
salah satu sisi

Setelah kejang :

-         Hitung lamanya periode postiktal (pasca kejang)

-         Periksa pernapasan anak. Periksa posisi kepala dan lidah.

-         Reposisikan jika kepala anak hiperekstensi. Jika anak tidak


bernapas, lakukan pernapasan buatan dan hubungi pelayanan medis
darurat.

-         Periksa sekitar mulut anak untuk menemukan gejala luka


bakar/kimia atau kecurigaan zat yang mengindikasikan keracunan

-         Pertahankan posisi tubuh anak berbaring miring

-         Tetap dampingi anak sampai pulih sepenuhnya

21
-         Jangan memberi makanan atau minuman sampai anak benar-benar
sadar dan refleks menelan pulih

-         Hubungi pelayanan kedaruratan medis jika diperlukan

-         Kaji faktor-faktor pemicu awitan kejang (kolaborasi)

11. Prognosis

Perjalanan dan prognosis penyakit untuk anak-anak yang


mengalami kejang bergantung pada etiologi, tipe kejang, usia pada awitan,
dan riwayat keluarga serta riwayat penyakit. Pasien epilepsi yang berobat
teratur, sepertiga akan bebas serangan 2 tahun, dan bila lebih dari 5 tahun
sesudah serangan terakhir, obat dihentikan, pasien tidak mengalami sawan
lagi, dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien tidak
akan mengalami remisi. Meskipun minum obat dengan teratur. Sesudah
remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat
pada sawan tonik klonik dan sawan parsial kompleks. Demikian pula usia
muda lebih mudah relaps sesudah remisi.

Faktor resiko yang berhubungan dengan kekambuhan epilepsi


antara lain usia 16 tahun atau lebih, minum lebih dari satu macam obat
antiepilepsi, mengalami kejang setelah pengobatan dimulai, memiliki
riwayat kejang tonik-klonik generalisata primer atau sekunder atau hasil
EEG menunjukkan kejang mioklonik dan memiliki EEG yang abnormal.
Resiko kekambuhan kejang menurun bila terjadi pemanjangan periode
tanpa kejang.

Prognosis setelah dilakukan terapi status epileptikus lebih baik


daripada dilaporkan sebelumnya. Mayoritas anak kemungkinan tidak
mengalami gangguan intelektual. Kemungkinan besar anak yang
menderita gangguan kognitif atau meninggal dunia sudah memiliki
riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan, abnormalitas
neurologik, atau menderita penyakit serius yang berulang.

22
B. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien.


Pasien ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan
kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji:
Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang?
Apakah pasien mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah
pengalaman kerja? Mekanisme koping apa yang digunakan?

1. Identitas

Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku


bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal
pengkajian dan diagnosa medis.

2. Keluhan utama

Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita leukimia untuk


masuk RS. keluhan utama pada penderita leukemia yaitu perasaan lemah,
nafsu makan turun, demam, perasaan tidak enak badan, nyeri  pada
ektremitas.

3. Riwayat penyakit sekarang

Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan


hebatnya keluhan, mulai timbul. Biasanya ditandai dengan anak mulai
rewel, kelihatan pucat, demam, anemia, terjadi pendarahan ( ptekia,
ekimosis, pitaksis, pendarah gusi dan memar tanpa sebab), kelemahan
tedapat pembesaran hati, limpa, dan kelenjar  limpe, kelemahan. nyeri
tulang atau sendi dengan atau tanpa pembengkakan.

4. Riwayat penyakit dahulu

Adanya  riwayat  penyakit  sebelumnya  yang  berhubungan 


dengan  keadaan  penyakit  sekarang  perlu  ditanyakan.

23
5. Riwayat kehamilan dan kelahiran.

Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post
natal. Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang
pernah diderita oleh ibu. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir
dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi sistem
kekebalan terhadap penyakit pada anak. Trauma persalinan juga
mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk anak.
Riwayat post natal diperlukan untuk mengetahui keadaan anak setelah

6. Riwayat penyakit keluarga

Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya


dengan penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan
keluarga perlu diketahui, apakah ada yang menderita gangguan
hematologi, adanya faktor hereditas misalnya kembar monozigot.

Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan


membantu dalam mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.

1. Selama serangan :

-         Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.

-         Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.

-         Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.

-         Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang


klonik, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.

-         Apakah pasien menggigit lidah.

-         Apakah mulut berbuih.

-         Apakah ada inkontinen urin.

-         Apakah bibir atau muka berubah warna.

-         Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.

24
-         Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya
berubah pada satu sisi atau keduanya.

2. Sesudah serangan

-         Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit,


gangguan bicara

-         Apakah ada perubahan dalam gerakan.

-         Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi
sebelum, selama dan sesudah serangan.

-         Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau


frekuensi denyut jantung.

-         Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.

3. Riwayat sebelum serangan

-         Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi.

-         Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung


berdebar.

-         Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori,


auditorik, olfaktorik maupun visual.

4. Riwayat Penyakit

-         Sejak kapan serangan terjadi.

-         Pada usia berapa serangan pertama.

-         Frekuensi serangan.

-         Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti


demam, kurang tidur, keadaan emosional.

-         Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang


disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.

-         Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak

25
-         Apakah makan obat-obat tertentu

-         Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik

a. Aktivitas

Gejala : kelelahan, malaise, kelemahan.

Tanda : kelemahan otot, somnolen.

b. Sirkulasi

Gejala : palpitasi.

Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.

c. Eliminasi

Gejala : diare, nyeri, feses hitam, darah pada urin, penurunan haluaran
urine.

d. Makanan / cairan

Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.

Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, hipertropi gusi


(infiltrasi gusi mengindikasikan leukemia monositik akut).

e. Integritas ego

Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.

Tanda : depresi, ansietas, marah.

f. Neurosensori

Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi,


pusing, kesemutan.

Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.

g. Nyeri / kenyamanan

26
Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.

Tanda : gelisah, distraksi.

h. Pernafasan

Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal.

Tanda : dispnea, takipnea, batuk.

i. Keamanan

Gejala : riwayat infeksi saat ini / dahulu, jatuh, gangguan penglihatan,


perdarahan spontan, tak terkontrol dengan trauma minimal.

Tanda : demam, infeksi, purpura, pembesaran nodus limfe, limpa atau


hati.

3. Diagnosa Keperawatan

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot


pernapasan
2. Perfusi jaringan serebral tidak efektif
3. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan
kesadaran, kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan
mekanisme perlindungan diri.
4. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan :
klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa
sakit yang dialami,menangis wajah meringis
5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang pemajanan, atau
kesalahan interpretasi informasi.
6. Termoregulasi tidak efektif
7. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas
8. Defisit perawatan diri
9. Gangguan persepsi sensori auditori

4. Intervensi

27
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot
pernapasan

Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama …


pasien tidak mengalami gangguan pola napas dengan kriteria hasil :

-         RR dalam batas normal sesuai umur


-         Nadi dalam batas normal sesuai umur

Intervensi Rasional

1. Tanggalkan pakaian pada 1. Memfasilitasi usaha


daerah leher/dada, abdomen bernapas/ekspansi dada

2. Masukkan spatel lidah/jalan 2. Dapat mencegah tergigitnya


napas buatan lidah, dan memfasilitasi saat
melakukan penghisapan lendir,
atau memberi sokongan
pernapasan jika diperlukan

3. Lakukan penghisapan sesuai 3. Menurunkan risiko aspirasi atau


sesuai indikasi asfiksia

Kolaborasi Kolaborasi

1. Berikan tambahan O2 1. Dapat menurunkan hipoksia serebral

2. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan :


klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit
yang dialami,menangis wajah meringis

Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawtan selama … nyeri klien


berkurang dengan  kriteria hasil:

a) Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili


penurunan rasa nyeri  yang dialami.
b) Klien tidak menangis lagi.
c) Wajah klien tampak ceria

28
Intervensi Rasional

1. Kaji PQRST dengan 11.


menggunakan media gambar

2. Berikan posisi yang nyaman


sesuai kebutuhan

3. Berikan lingkungan yang


nyaman bagi  klien

4. Libatkan keluarga untuk


mendampingi klien

5. Kolaborasi untuk pemberian


obat analgesic

6. Pengkajian yang benar akan


membantu dalam  menentukan
tindakan keperawtan
selanjutnya

7. Posisi yang nyaman dapat


memberikan efek malsimal
untuk relaksasi otot

8. Kehadiran keluarga
memberikan efek psikologis
pada anak untuk mengurangi
nyeri

9. Rangsang yang berlebihan dari


lingkungan dapat memperberat
rasa nyeri

10. Obat analgesic dapat


meminimalkan rasa nyeri

29
3. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan
kesadaran, kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan
mekanisme perlindungan diri.

Kriteria hasil :

 Dapat mengurangi risiko cidera pada pasien

Kriteria pengkajian fokus makna klinis

 Riwayat kejang

 Tingkatan kejangnya

Intervensi Rasional

1. Kaji karakteristik kejang Untuk mngetahui seberapa besar


tingkatan kejang yang dialami
pasien sehingga pemberian
intervensi berjalan lebih baik

1. Jauhkan pasien dari benda Benda tajam dapat melukai dan


benda tajam / membahayakan mencederai fisik pasien
bagi pasien

1. Segera letakkan sendok di Dengan meletakkan sendok


mulut pasien yaitu diantara diantara rahang atas dan rahang
rahang pasien bawah, maka resiko pasien
menggigit lidahnya tidak terjadi
dan jalan nafas pasien menjadi
lebih lancer

1. Kolaborasi dalam pemberian Obat anti kejang dapat mengurangi


obat anti kejang derajat kejang yang dialami pasien,
sehingga resiko untuk cidera pun
berkurang

30
4. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi

Tujuan :

1. pengetahuan keluarga meningkat

2. keluarga mengerti dengan proses penyakit epilepsi

3. keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan


kondisi klien.

Intervensi

Kriteria pengkajian focus Makna klinis

1. Kaji tingkat pendidikan 1. pendidikan merupakan salah


keluarga klien. satu faktor penentu tingkat
pengetahuan seseorang.
2. Kaji tingkat pengetahuan
2. untuk mengetahui seberapa
keluarga klien.
jauh informasi yang telah
3. Jelaskan pada keluarga mereka ketahui,sehingga
klien tentang penyakit pengetahuan yang nantinya
kejang demam melalui akan diberikan dapat sesuai
penkes. dengan kebutuhan keluarga

4. Beri kesempatan pada 3. untuk meningkatkan

keluarga untuk pengetahuan.

menanyakan hal yang 4. untuk mengetahui seberapa

belum dimengerti. jauh informasi yang sudah


dipahami.
5. Libatkan keluarga dalam
5. agar keluarga dapat
setiap tindakan pada
memberikan penanngan
klien.
yang tepat jika suatu-waktu
klien mengalami kejang
berikutnnya.

5. Evaluasi

31
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot
pernapasan.

 RR dalam batas normal sesuai umur.


 Nadi dalam batas normal sesuai umur

2. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan :


klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa
sakit yang dialami,menangis wajah meringis.

 Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili


penurunan rasa nyeri  yang dialami.
 Klien tidak menangis lagi
 Wajah klien tampak ceria

3. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan


kesadaran, kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan
mekanisme perlindungan diri.

 Dapat mengurangi risiko cidera pada pasien


 Kriteria pengkajian fokus makna klinis
1) Riwayat kejang
2) Tingkatan kejangnya

4. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya


informasi.

 Pengetahuan keluarga meningkat.


 Keluarga mengerti dengan proses penyakit epilepsi.
 Keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan
kondisi klien.

32
DAFTAR PUSTAKA

Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan,


Penerjemah Monica Ester, EGC, Jakarta

Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah


Kariasa I Made, EGC, Jakarta

NANDA, 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005 – 2006 Alih


bahasa  Budi Santosa. Prima Medika.

Wong, Donna L., et al. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik


Wong. Volume 2. Alih bahasa Agus Sunarta, dkk. EGC : Jakarta.

Sylvia, A. pierce.1999. Patofisologi Konsep Klinis. Proses penyakit. Jakarta :


EGC

www.pediatric.com

33

Anda mungkin juga menyukai