Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

EPILEPSI

DI SUSUN OLEH:

ANGGI HAPSARI PUTRI

001STYC18

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JENJANG S1
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya dan shalawat serta salam tak lupa pula kita
hanturkan kepada junjungan alam Nabi besar Muhammad SAW, sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunan tugas laporan pendahuluan dengan judul
“Epilepsi”.
Laporan pendahuluan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana konsep
penyakit Epilepsi dan konsep asuhan keperawatan Epilepsi agar dapat mengetahui
dan melakukan pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi pada
pasien dengan epilepsi.
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pembimbing akadenik
dan pembimbing lahan yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dalam
proses pembuatan laporan pendahuluan ini, serta kepada pihak RSUD Kota
Mataram. Laporan pendahuluan ini penulis susun berdasarkan dari berbagai
sumber yang ada.
Penulis menyadari bahwa laporan pendahuluan ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun sehingga laporan pendahuluan ini bisa lebih baik lagi.
Harapan penulis, semoga laporan pendahuluan ini dapat memberi manfaat dan
menambah pengetahuan bagi kita semua.

Mataram, Desember 2021

Penyusun
Anggi Hapsari Putri

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Masalah 2

BAB II PEMBAHASAN 3

2.1 Konsep Dasar Penyakit Epilepsi 3

2.1.1 Definisi 3

2.1.2. Etiologi 4

2.1.3. Klasifikasi 5

2.1.4. Manifestasi Klinis 10

2.1.5. Patofisiologi 12

2.1.6. Pathway/WOC 13

2.1.7. PemeriksaanPenunjang 15

2.1.8. Komplikasi 16

2.1.9. Penatalaksanaan 18

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Epilepsi 19

2.2.1 Pengkajian 19

2.2.2 Diagnosa Keperawatan 25

2.2.3 Intervensi Keperawatan 26

2.2.4 Implementasi Keperawatan 35

2.2.5 Evaluasi Keperawatan35

BAB III PENUTUP 37

iii
3.1 Kesimpulan 37

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan di
dunia. Data World Health Organization (WHO) menunjukkan epilepsy
menyerang 70 juta dari penduduk dunia (Brodie et al., 2012). Epilepsi dapat
terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa batasan ras dan sosial ekonomi.
Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang yang
mencapai 114 per 100.000 penduduk per tahun. Angka tersebut tergolong
tinggi dibandingkan dengan negara yang maju dimana angka kejadian
epilepsy berkisar antara 24-53 per 100.000 penduduk per tahun (Benerjee dan
Sander, 2008). Angka prevalensi penderita epilepsi aktif berkisar antara 4-10
per 1000 penderita epilepsi (Beghi dan Sander, 2008). Bila jumlah penduduk
Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah penderita epilepsi baru
250.000 per tahun. Dari berbagai studi diperkirakan prevalensi epilepsi
berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1000 penduduk.
Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada
dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia
lanjut (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI, 2011).
Epilepsi merupakan suatu gangguan neurologik klinis yang sering
dijumpai. Definisi epilepsi menurut kelompok studi epilepsi PERDOSSI 2011
adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan berulang akibat lepas
muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron otak secara
paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi, bukan disebabkan oleh
penyakit otak akut. Perlu diketahui bahwa epilepsi bukanlah merupakan suatu
penyakit, melainkan suatu kumpulan gejala. Gejala yang paling umum adalah
adanya kejang, karena itu epilepsi juga sering dikenal sebagai penyakit
kejang. (Hudack, 2013)

1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa Definisi Epilepsi ?
1.2.2 Apa Saja Etiologi Epilepsi ?
1.2.3 Apa Saja Klasifikasi Epilepsi ?
1.2.4 Apa Saja Manifestasi Klinis Epilepsi ?
1.2.5 Bagaimana Patofisiologi Epilepsi?
1.2.6 Bagaimana Pathway/WOC Epilepsi ?
1.2.7 Apa Saja PemeriksaanPenunjang Epilepsi?
1.2.8 Apa Saja Komplikasi Epilepsi ?
1.2.9 Bagaimana Penatalaksanaan Epilepsi?
1.3 Tujuan Masalah
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Praktik
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk Mengetahui Definisi Epilepsi
2. Untuk Mengetahui Etiologi Epilepsi
3. Untuk Mengetahui Klasifikasi Epilepsi
4. Untuk Mengetahui Manifestasi Klinis Epilepsi
5. Untuk Mengetahui Patofisiologi Epilepsi
6. Untuk Mengetahui Pathway/WOC Epilepsi
7. Untuk Mengetahui PemeriksaanPenunjang Epilepsi
8. Untuk Mengetahui Komplikasi Epilepsi
9. Untuk Mengetahui Penatalaksanaan Epilepsi
10. Untuk Mengetahui Konsep Asuhan Keperawatan Epilepsi

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Penyakit Epilepsi


2.1.1. Definisi
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik
kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan
dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2012).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya
gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang
yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang
bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2014).
Epilepsi merupakan akibat dari gangguan otak kronis dengan
serangan kejang spontan yang berulang (Satyanegara dalam Nurarif,
2016). Epilepsi adalah gejala kompleks dari gangguan fungsi otak
berat yang dicirikan dengan kejang berulang. Sehingga epilepsi bukan
merupakan suatu penyakit tetapi merupakan suatu gejala (Smeltzer
dalam Nurarif, 2016).
Menurut mansjoer (2007), epilepsi merupakan gangguan
kronik otak dengan di timbulnya gejala-gejala yang datang dalam
serangan-serangan berulang yang disebabkan oleh lepasnya muatan
listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan
berbagai etiologi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa epilepsi merupakan suatu
gejala, bukan merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh
gangguan otak kronis karena adanya pelepasan muatan listrik
abnormal dari sel saraf otak yang dicirikan dengan kejang berulang.
(Nurarif, 2016)

3
2.1.2. Etiologi
Masalah dasarnya diperkirakan dari gangguan listrik disritmia
pada sel saraf pada salah satu bagian otak, yang menyebabkan sel ini
mengeluarkan muatan listrik abnormal, berulang dan tidak terkontrol.
Berikut adalah beberapa hal yang dapat menjadi faktor penyebab
terjadinya epilepsi :
1. Idiopatik
Sebagian besar epilepsi pada anak adalah epilepsi pada anak
adalah epilepsi idiopatik.
2. Faktor Herediter
Ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai
bangkitan kejang seperti sklerosis tuberosa, neurofibriomatosis,
angiomatosis ensepalotrigeminal, fenilketonuria,
hipoparatiroidisme, hipoglikemia.
3. Faktor Genetic
Pada kejang demam dan breath holding spells
4. Kelainan kongenital otak
Atropi, forensepali, agenesis korfus kalosum.
5. Gangguan metabolic
Hipoglikemia, hipokalsimia, hiponatremia, hipernatremia.
6. Infeksi: radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan
selaputnya, toksoplasmosis.
7. Trauma: Kontusio serebri, hematoma subaraknoid, hematoma
subdural.
8. Neoplasma/tumor otak dan selaputnya.
9. Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen.
10. Keracunan: timbal (Pb), kamper (kapur barus).
11. Lain-lain: penyakit darah, gangguan keseimbangan hormon,
degenerasi serebral. (Nurarif, 2016)

4
2.1.3. Klasifikasi
Epilepsi diklasifikasikan menjadi dua pokok umum yaitu klasifikasi
epilepsi dengan sindrom epilepsi dan klasifikasi berdasarkan tipe
kejang :
1. Klasifikasi epilepsi dan sindrom epilepsy
a. Epilepsi idiopatik: bila tidak diketahui penyebabnya, epilepsi
pada anak dengan paroksimal oksipital
b. Simtomatik: bila ada penyebabnya, letak fokus pada pada
semua lobus otak
2. Klasifikasi tipe kejang epilepsi
a. Epilepsi kejang parsial (lokal, fokal)
1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan
kesadaran tetap normal
a) Dengan gejala motorik:
1. Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas
pada satu bagian tubuh saja
2. Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari
satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah
lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
3. Versif: epilepsi disertai gerakan memutar kepala,
mata, tuibuh.
4. Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau
tungkai kaku dalam sikap tertentu
5. Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus
bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan
bunyi-bunyi tertentu
b) Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial
(epilepsi disertai halusinasi sederhana yang mengenai
kelima panca indera dan bangkitan yang disertai
vertigo).

5
1. Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau
seperti ditusuk-tusuk jarum.
2. Visual: terlihat cahaya
3. Auditoris: terdengar sesuatu
4. Olfaktoris: terhidu sesuatu
5. Gustatoris: terkecap sesuatu
6. Disertai vertigo
c) Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom
(sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera,
piloereksi, dilatasi pupil).
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
1. Disfagia: gangguan bicara, misalnya mengulang
suatu suku kata, kata atau bagian kalimat.
2. Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya
merasa seperti sudah mengalami, mendengar,
melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak
mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa
seperti melihatnya lagi.
3. Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri
berubah.
4. Afektif : merasa sangat senang, susah, marah,
takut.
5. Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat
tampak lebih kecil atau lebih besar.
6. Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar
ada yang bicara, musik, melihat suatu fenomena
tertentu, dll.
2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan
kesadaran.

6
a) Serangan parsial sederhana diikuti gangguan
kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian
baru menurun.
1. Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-
gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti
dengan menurunnya kesadaran.
2. Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan,
perilaku yang timbul dengan sendirinya,
misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut
muka berubah seringkali seperti ketakutan,
menata sesuatu, memegang kancing baju,
berjalan, mengembara tak menentu, dll.
b) Dengan penurunan kesadaran sejak serangan;
kesadaran menurun sejak permulaan kesadaran.
1. Hanya dengan penurunan kesadaran
2. Dengan automatisme
3) Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan
umum (tonik-klonik, tonik, klonik).
a) Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi
bangkitan umum.
b) Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi
bangkitan umum.
c) Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan
parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan
umum.
b. Epilepsi kejang umum
1) Lena Atau Kejang absant (Petit mal)
a) Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan
terhenti, muka tampak membengong, bola mata

7
dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak
bicara. Biasanya epilepsi ini berlangsung selama ¼ –
½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.
1. Hanya penurunan kesadaran
2. Dengan komponen klonik ringan. Gerakan
klonis ringan, biasanya dijumpai pada kelopak
mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya
bilateral.
3. Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini
dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh
mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
4. Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini,
dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau
punggung mendadak mengejang, kepala, badan
menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat
mengetul atau mengedang.
5. Dengan automatisme
6. Dengan komponen autonom.
b) Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
1. Gangguan tonus yang lebih jelas.
2. Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak
mendadak.
2) Grand Mal
a) Kejang mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak,
sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau
semua otot, seringkali atau berulang-ulang.
Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
b) Kejang klonik

8
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak,
repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di
lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali
pada anak.
c) Kejang tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-
otot hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian
tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai.
Epilepsi ini juga terjadi pada anak.
d) Kejang tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita
yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan
dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang
mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh
pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku
berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang
kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya
berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam
beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah
ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa
karena hembusan napas. Mungkin pula pasien
kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang
berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula
bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau
langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-
pegal, lelah, nyeri kepala.
e) Kejang atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak
melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat

9
tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini
terutama sekali dijumpai pada anak.
c. Epilepsi kejang tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa
gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti
berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak
berhenti sederhana. (Kariasa, 2015)
2.1.4. Manifestasi Klinis
Menurut manifestasi klinisnya, kejang dibagi menjadi kejang
parsial, yang berasal dari salah satu bagian hemisfer serebri, dan
kejang umum, dimana kedua hemisfer otak terlibat secara bersamaan
Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang pada epilepsi dibagi
menjadi (Nurarif, 2016) :
1. Kejang umum (generalized seizure) ; jika aktivasi terjadi pada
kedua hemisfer otak secara bersama-sama. Pasien tidak sadar dan
tidak mengetahui keadaan sekelilingnya saat mengalami kejang.
Kejang biasanya tidak didahului adanya awitan/peringatan (Price
dan Wilson, 2006). Kejang umum dibagi atas:
a. Tonic-clonic convulsion (grand mal)
Merupakan kejang epilepsi yang klasik. Biasanya akan
diawali dengan hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien
akan kehilangan posisi berdirinya, tiba-tiba jatuh, kejang,
napas terengah-engah, keluar airliur, bisa terjadi sianosis,
mengompol/inkontinensia urin, lidah tergigit terjadi beberapa
menit. Keseluruhan kejang bisa berlangsung selama 3-5 menit
dan diikuti oleh periode tidak sadar yang mungkin
berlangsung selama beberapa menit hingga 30 menit. Setelah
sadar, pasien mungkin tampak kebingungan, agak stupor, atau
bengong. Tahap ini disebut sebagai periode pascaiktus.

10
Umumnya pasien tidak dapat mengingat kejadian kejangnya
(Price dan Wilson, 2006).
b. Abscence attacks/lena (petit mal)
Jenis kejang yang jarang terjadi, umumnya hanya terjadi pada
masa anak-anak atau awal remaja (Nurarif, 2016). Kejang ini
biasanya berlangsung dalam waktu yang singkat, jarang
berlangsung lebih dari beberapa detik. Sebagai contoh,
mungkin pasientiba-tiba menghentikan pembicaraan, menatap
kosong, atau berkedip-kedip dengan cepat. Pasien mungkin
mengalami kejang satu atau dua kali kejang sebulan atau
beberapa kali dalam sehari (Price dan Wilson, 2006).
c. Myoclonic seizure
Biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien
mengalami sentakan yang tiba-tiba.
d. Atonic seizure
Jenis kejang ini jarang terjadi. Biasanya pasien tiba-tiba
kehilangan ktekuatan otot disertai lenyapnya postur tubuh
(drop attacks).
2. Kejang parsial/focal jika dimulai dari daerah tertentu dari otak dan
biasanya berkaitan dengan kelainan struktural otak (Price dan
Wilson, 2006). Kejang parsial terbagi menjadi :
a. Simple partial seizure
Pasien tidak kehilangan kesadaran, terjadi sentakan-sentakan
pada bagian tertentu dari tubuh. Biasanya berlangsung kurang
dari 1 menit.
b. Complex partial seizure
Pasien melakukan gerakan-gerakan yang tidak terkendali dan
tidak bertujuan : gerakan mengunyah, meringis, mengecap-
ngecapkan bibir, dan gejala lain yang tidak terkendali dan
tidak bertujuan. Biasanya berlangsung selam 1-3 menit,

11
pasien sadar namun tidak dapat mengingat tindakan saat
kejang berlangsung. Fokus kejang jenis ini umumnya terletak
di lobus temporalis medial atau frontalis inferior. (Nurarif,
2016)
2.1.5. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya serangan epilepsi ialah :
1. Adanya focus yang bersifat hipersensitif (focus epilesi) dan
timbulnya keadaan depolarisasi parsial di jaringan otak
2. Meningkatnya permeabilitas membran.
3. Meningkatnya senstitif terhadap asetilkolin, L-glutamate dan
GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap
penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps.
Fokus epilepsy dapat menjalar ke tempat lain dengan lepasnya
muatan listrik sehingga terjadi ekstasi, perubahan medan listrik dan
penurunan ambang rangasang yang kemudian menimbulkan letupan
listrik masal. Bila focus tidak menjalar kesekitarnya atau hanya
menjalar sampai jarak tertentu atau tidak melibatkan seluruh otak,
maka akan terjadi bangkitan epilepsy lokal (parsial).
Menurut para penyelidik bahwa sebagian besar bangkitan
epilepsi berasal dari sekumpulan sel neuron yang abnormal di otak,
yang melepas muatan secara berlebihan dan hypersinkron. Kelompok
sel neuron yang abnormal ini, yang disebut juga sebagai fokus
epileptik mendasari semua jenis epilepsi, baik yang umum maupun
yang lokal (parsial). Lepas muatan listrik ini kemudian dapat
menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-anatomis dan melibatkan
daerah disekitarnya atau daerah yang lebih jauh letaknya di otak.
Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat
mencetuskan bangkitan epilepsi klinik, walaupun ia melepas muatan
listrik berlebihan. Sel neuron diserebellum di bagian bawah batang
otak dan di medulla spinalis, walaupun mereka dapat melepaskan

12
muatan listrik berlebihan, namun posisi mereka menyebabkan tidak
mampu mencetuskan bangkitan epilepsi. Sampai saat ini belum
terungkap dengan pasti mekanisme apa yang mencetuskan sel-sel
neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan berlebihan
(mekanisme terjadinya epilepsi).
Mekanisme yang pasti dari aktivitas kejang pada otak tidak
semuanya dapat dipahami. Beberapa pemicu menyebabkan letupan
abnormal mendadak stimulasi listrik, menganggu konduksi syaraf
normal otak. Pada otak yang tidak rentan terhadap kejang, terdapat
keseimbangan antar sinaptik eksitatori dan inhibitori yang
mempengaruhi neuron postsinaptik. Pada otak yang rentan terhadap
kejang, keseimbangan ini mengalami gangguan, menyebabkan pola
ketidakseimbangan konduksi listrik yang disebut perpindahan
depolarisasi paroksismal. Perpindahan ini dapat terlihat baik ketika
terdapat pengaruh eksitatori yang berlebihan atau pengaruh inhibitori
yang tidak mencukupi (Hudak dan Gallo, 1996).
Ketidakseimbangan asetilkolin dan GABA. Asetilkolin dalam
jumlah yang berlebihan menimbulkan bangkitan kejang, sedangkan
GABA menurunkan eksitabilitas dan menekan timbulnya kejang.
(Muttaqin, 2011)
2.1.6. Pathway/WOC

Factor predisposisi
- Pasca trauma kelahiran, asfiksia neonates, pasca cedera kepala
- Riwayat bayi dari ibu yang menggunakan obat anti konvuslan
- Riwayat ibu yang mempunyai resiko tinggi
- Adanya riwayat penyakit infeksi pada masa kanak-kanak
- Keracunan, gangguan metabolism dan nutrisi gizi
- Riwayat gangguan sirklasi serebral
- Riwayat demam tinggi
- Riwayat keturunan, riwayat tumor otak, abses dan keturunan
epilepsi

Gangguan pada system listrik dari sel-sel saraf pusat


pada suatu bagian otak
13
Sel-sel memberikan muatan listrik yang abnormal,
berlebihan secara berulang dan tidak terkontrol

Priode pelepasan impuls yang tidak


diinginkan

Aktivitas kejang umum lama akut, tanpa


pernbaikan kesadaran penuh di antara serangan

Status epileptikus Kebutuhan metabolik


besar

Pola Nafas Tidak Airway


Efektif Gangguan pernafasan

Briting & Circulasion Perfusi Perifer Tidak


Gangguan pertukaran o2
Efektif
dan Co2 dalam darah

Kejang parsial Gangguan perilaku, alam


Penurunan
perasaan,sensasi dan
kesadaran
persepsi
Peka rangsangan
Tidak tahu
keadaannya Gangguan Identitas
Kejang berulang Diri

Defisit Pengetahuan
Risiko Cedera

Sumber : Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persyarafan, Arif


Muttaqin (2011).

14
2.1.7. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektroensefalogram (EEG)
Digunakan untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan.
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti
ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan
untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa
adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang
menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau
segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan
timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang.
Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal
setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif
terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.
2. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain:
a. CT Scan
Digunakan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal,
serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral.
Merupakan test gambaran otak pertama yang dianjurkan untuk
banyak anak dan dewasa dengan kejang awal. Teknik
gambaran ini cukup sensitive untuk berbagai tujuan.
Teknik penggambaran yang lebih sensitive dibandingkan
dengan x-ray, mengikuti makna yang tinggi terhadap struktur
tulang dan jaringan-jaringan yang lunak.clear images dari orga-
organ seperti otak, otot, struktur join, vena, dan arteri.
b. MRI (magnetic resonance imaging) kepala.
Digunakan untuk melihat ada tidaknya neuropati fokal. MRI
lebih disukai karena dapat mendeteksi lesi kecil (misalnya lesi
kecilmalformasi pembuluh, atau jaringan parut) di lobus
temporalis. Gambaran dari MRI dapat digunakan untuk

15
persiapan pembedahan. Kedua pemeriksaan tersebut tidak
dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama
kalinya.
c. Kimia darah : hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol
darah.
Pungsi Lumbar. Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan
serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal tulang
belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan
ini dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi.
d. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit,
kalsium, fosfor, magnsium, atau gula darah tidak rutin
dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan
laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam,
bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin. (Kariasa, 2015)
2.1.8. Komplikasi
1. Dampak pada anak-anak
a. Long-Term General Effects. Secara umum untuk efek jangka
lama dari kejang sangat bergantung pada penyebabnya. Anak-
anak yang mengalami epoilepsi akan berdampak terhadap
kondisi yang spesifik (contohnya injuri kepala dan gangguan
syaraf) mempunyai mortalitas lebih tinggi dari pada populsi
normal.
b. Effect on Memory and Learning. Secara umum anak-anak yang
mengalami kejang akan lebih berdampak pada perluasan
gangguan otak dan akan terjadi keburukan. Anak dengan
kejang yag tidak terkontrol merupakan faktor resiko terjadinya
kemunduran intelektual.
c. Social and Behavioral Consequences. Gangguan pengetahuan
dan bahasa, dan emosi serta gangguan tingkahlaku, terjadi pada

16
sejumlah anak dengan beberapa sindrom epilepsy parsial.
Anak-anak tersebut biasanya berpenapilan denagn sikap yang
burk dibandingkan dengan anak-anak lainnya.
2. Dampak pada dewasa
a. Effect on Mental Functioning in Adults. Dampak dari epilepsy
dewasa adalah pada fungsi mental yang tidak benar.
b. Psychological Health. Kira-kira 25-75% orang dewasa dengan
epilepsy menunjukan tanda-tanda depresi. Orang dengan
epilepsi mempunyai resiko tinggi untuk bunuh diri, setelah 6
bulan didiagnosa. Resiko bunuh diri terbesar diantara orang-
orang yang terkena epilepsy dan mengarah pada kondisi
psikiatrik seperti depresi, gangguan ansietas, skizoprenia, dan
penggunaan alcohol kronik.
c. Overall Health. Beberapa pasien dengan epilepsi
menggambarkan dirinya dengan wajar atau buruk, orang
dengan epilepsy juga melaporkan ambang nyeri yang lebih
besar, depresi dan ansietas, serta gangguan tidur.faktanya
kesehatan mereka dapat disamakan dengan orang dengan
penyakit kronik, meiputi arthritis, masalah jantung, diabetes,
dan kanker.
3. Dampak pada kesehatan seksual dan reproduksi
a. Effects on Sexual Function. Pasien dengan epilepsi akan
mengalami gangguan sexual, meliputi impotensi pada laki-laki.
Penyebab-penybab dari masalah-masalah tersebut
kemungkinan emosi, indusi medikasi, atau menghasilkan
perubahan pada tingkat hormone.
b. Epilepsy pada childhood dapat mengakibatkan gangguan pada
pengaturan hormone puberitas.

17
c. Kejang yang persisten pada adult dapat dihubungkan dengan
hormonal-hormonal lain dan perubahan neurologi yang
berkontribusi terhada disfungsi seksualitas.
Emosi negatif yang mengarah pada epilepsy dapat mengurangi
perjalanan seksual. (Kariasa, 2015)
2.1.9. Penatalaksanaan
Penatalaksaan epilepsy direncanakan sesuai dengan program
jangka panjang dan dibuat untuk memenuhi kebutuhan khusus masing-
masing klien.
Tujuan dari pengobatan adalah untuk menghentikan kejang
sesegera mungkin, untuk menjamin oksigenasi serebral yang adekuat,
dan untuk mempertahankan klien dalam status bebas kejang.
1. Pengobatan Farmakologis :
a. Pengobatan biasanya dimulai dengan dosis tunggal.
b. Pengobatan anti konvulsan utama termasuk karbamazepin,
primidon, fenitoin, fenobarbital, etosuksimidin, dan valproate.
c. Lakukan pemeriksaan fisik secara periodic dan pemeriksaan
laboratorium untuk klien yang mendapatkan obat yang
diketahui mempunyai efek samping toksik.
d. Cegah terjadinya hiperplasi gingival dengan hygiene oral yang
menyeluruh, perawatan gigi teratur, dan masase gusi teratur
untuk klien yang mendapatkan fenitoin (Dilantin).
2. Pembedahan
a. Diindikasikan bila epilepsy diakibatkan oleh tumor intrakranial,
abses, kista, atau anomaly vaskuler.
b. Pengangkatan secara pembedahan pada focus epileptogenik
dilakukan untuk kejang yang berasal dari area otak yang
terkelilingi dengan baik yang dapat dieksisi tanpa
menghasilkan kelainan neurologis yang signifikan. (Kariasa,
2015)

18
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Epilepsi
2.2.1 Pengkajian
1. Biodata
Terdiri dari Nama, Tempat tanggal lahir, Umur, Jenis kelamin,
Tanggal Mrs, Tanggal dikaji, No. Cm, No. Reg., penanggung
jawab.
2. Keadaan Umum
Pada kasus epilepsia terjadi pelepasan aliran listrik yang
berlebihan disel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan
hilangnya kesadaran, sehingga pada pengkajian gawat darurat
kondisi umum klien tergolong sakit berat.
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Faktor riwayat penyakit saat ini sangat penting diketahui
karena untuk mengetahui pola dari kejang klien.
Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti
kapan mulai serangan, stimulus yang menyebabkan respons
kejang, dan seberapa auh aat kejang dengan respons fisik dan
psikologis dari klien.
Tanyakan faktor-faktor yang memungkinkan predisposisi dari
serangan epilepsi, apakah sebelumnya klien pernah
mengalami trauma kepala dan infeksi serta kemana saja klien
sudah meminta pertolongan setelah mengalami keluhan.
Penting juga ditanyakan tentang pemakaian obat sebelunya
seperti pemakaian obat-obatan antikonvulsan, antipiretik dll.,
dan riwayat kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga.
b. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang pernah diderita sebelumnya (apakah
mengalami keadaan yang sama seperti sekarang seperti
mengalami kejang berulang).

19
c. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang menderita kejang.
4. Penggolongan sesuai Triage
Epilepsi merupakan manifestasi lepasnya muatan listrik yang
berlebihan di sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan
hilangnya kesadaran, gerakan involunter, fenomena sensorik
abnormal, kenaikan aktivitas otonom, sehingga dapat
menyebabkan kematian apabila terlambat mendapatkan
pertolongan. Oleh karena itu epilepsi termasuk ke dalam P1
(urgent).
5. Pengkajian kesadaran
Setelah melakukan pengkajian kesan umum, kaji status mental
pasien dengan berbicara padanya. Kenalkan diri, dan tanya nama
pasien. Perhatikan respon pasien. Bila terjadi penurunan
kesadaran, lakukan pengkajian selanjutnya.
Pengkajian kesadaran dengan metode AVPU meliputi :
a. Alert (sadar lingkungan)
Pada kasus ini klien tidak berespon terhadap lingkungan
sekelilingnya karena kondsi klien tidak sadar.
b. Respon velbal (menjawab pertanyaan)
Pada kasus ini klien tidak berespon terhadap pertanyaan
perawat atau tim medis lainnya saat melakukan pengkajian.
c. Tidak berespon (U)
Pada kasus ini klien tidak berespon terhadap stimulus verbal
dan nyeri ketika dicubit dan ditepuk wajahnya, karena klien
tidak sadar.
6. Primery survey
a. Airway ( jalan nafas ) : Adanya sumbatan jalan nafas sehingga
menyebabkan klien sulit bernafas.
Tindakan yang dilakukan :

20
1) Semua pakaian ketat dibuka
2) Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi
lambung
3) Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin
kebutuhan oksigen
4) Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan
diberikan oksigen.
5) Observasi TTV setiap 5 menit
Evaluasi :
1) Inefektifan jalan nafas tidak terjadi
2) Jalan nafas bersih dari sumbatan
3) RR dalam batas normal
4) Suara nafas vesikuler
b. Breathing (pola nafas)
Pada fase iktal, pernapasan klien menurun/cepat, peningkatan
sekresi mukus, dan kulit tampak pucat bahkan sianosis. Pada
fase post iktal, klien mengalami apneu, Na meningkat,
kebutuhan O2 dan energi meningkat untuk kontraksi otot
skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan
terjadinya asidosis.
Tindakan yang dilakukan :
1) Mengatasi kejang secepat mungkin
Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih
dalam keadaan kejang, ditunggu selama 15 menit, bila
masih terdapat kejang diulangi suntikan kedua dengan
dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15 menit
suntikan ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan
dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan
kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat

21
diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 % secara
intravena.
2) Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin
kebutuhan oksigen
Evaluasi :
1) RR dalam batas normal
2) Tidak terjadi asfiksia
3) Tidak terjadi hipoxia
c. Circulation
Pada fase iktal terjadi peningkatan nadi dan penurunan tekanan
darah, sehingga terjadi gangguan pertukatan O2 dan CO2
dalam darah yang menyebabkan akral dingin, sianosis, dan
klien biasanya dalam keadaan tidak sadar.
Tindakan yang dilakukan :
1) Semua pakaian ketat dibuka
2) Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi
lambung
3) Usahakan agarjalan napas bebas untuk menjamin 
kebutuhan oksigen
4) Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan
diberikan oksigen
5) Observasi TTV setiap 5 menit
Evaluasi :
1) Tidak terjadi gangguan peredaran darah
2) Tidak terjadi hipoxia
3) Tidak terjadi kejang
4) RR dalam batas normal
d. Secondary survey
1) Riwayat pasien

22
a) S (sign and symptom) : Terjadi kejang yang berulang,
klien tidak sadar dengan lingkungan.
b) A (allergies) : kaji apakah pasien ada riwayat alergi.
c) M (Medication) : kaji riwayat pengobatanya pasien.
d) P (Pentinant past medical histori) : kaji riwayat
penyakit dahulu pasien.
e) L (Last oral intake solid liquid) : kaji kejadian
sebelumnya.
f) E (Event leading to injuri ilmes)
2) TTV
a) Tekanan darah : tekanan darah pada pasien gigitan
binatang cenderung mengalami penurunan dibawah
100/80 mmHg
b) Irama dengan kekuatan nadi meningkat
c) Irama, kedalaman dan penggunaan otot bantu
pernapasan : klien dengan epilepsi mengalami
pernapasan yang tidak teratur, akral dingin, terjadi
sianosis, apneu.
d) Suhu tubuh klien menurun < 36 ºC, N : 110-120
kali/menit.
Tindakan : rujuk ke fasilitas kesehatan sesuai triage
Evaluasi : evaluasi keadaan umum pasien, pantau keadaan
pasien setiap 15 menit atau sesuai indikasi.
3) Pemeriksaan fisik
Pada pengkaian fisik secara umum sering didapatkan pada
awal pascakejang klien mengalami konfusi dan sulit untuk
bangun. Pada kondisi yang lebih berat sering dijumpai
adanya penuruna kesadaran.
Pengkajian untuk peristiwa kejang perlu dikaji tentang:
Bagaimana kejang sering terjadi pada klien, tipe

23
pergerakan atau aktifitas, berapa lama kejang berlangsung,
diskripsi aura yang menimbulkan peristiwa, status poskial,
lamanya waktu klien untuk kembali kejang, adanya
inkontinen selama kejang. Dan berikut beberapa
pemeriksaan fisik yan dilakukan :
a) Kepala dan leher
Sakit kepala, leher terasa kaku
b) Thoraks
Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot
bantu napas
c) Ekstermitas
Keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam
beraktivitas, perubahan tonus otot, gerakan
involunter/kontraksi otot, akral dingin, sianosis.
d) Eliminasi
Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus
sfingter. Pada post iktal terjadi inkontinensia
(urine/fekal) akibat otot relaksasi
e) Sistem pencernaan
Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang
berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan
jaringan lunak
4) Pemeriksaan 6B
a) B1 (Breathing)
Saat kejang: terjadi peningkatan frekuensi pernafasan,
setelah kejang: frekuensi nafas dalam batas normal.
b) B2 (Blood)
Pengkajian pad asitem kardiovaskuler terutama
dilakukan pada klien epilepsi tahap lanjut apabila klien
sudah mengalami syok.

24
c) B3 (Brain)
Pada pasien epilepsy tidak terjadi penurunan
kesadaran.
d) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sitem kemih biasanya didapatkan
berkurangnya volume output urine, hal ini
berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan
curah jantung keginjal.
e) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan
peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan
nutrisi pada klien epilepsi menurun karena anoreksia
dan adanya kejang.
f) B6 (Bone)
Pada fase akut setelah kejang sering didapatkan
adanya penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik
secara umum sehingga mengganggu aktifitas
perawatan diri. (Johnson, 2016)
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
DX 1 : Pola napas tidak efektif berhubungan dengan gangguan
neurologis
DX 2 : Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan
aliran arteri dan/atau vena
DX 3 : Risiko Cedera berhubungan dengan perubahann kesadaran ,
kerusakan kognitif,selama kejang atau kerusakan perlindungan
DX 4 : Gangguan identitas diri berhubungan dengan stigma berkenaan
dengan kondisi, persepsi tidak terkontrol ditandai dengan
pengungkapan tentang perubahan gaya hidup, takut penolakan;
perasaan negative tentang tubuh

25
DX 5 : Defisit pengetahuan keluarga tentang proses perjalanan
penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi
2.2.3 Intervensi Keperawatan

Hari DX Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi


/Tgl/ (SIKI)
Jam
1 Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan
keperawatan diharapkan Nafas :
pola nafas klien efektif
Observasi :
dengan kriteria hasil :
Mempertahankan pola 1. Monitor pola napas
pernapasan efektif dengan (frekuensi, kedalaman,

jalan napas paten. usaha napas)


2. Monitor bunyi napas
tambahan (mis.
Gurgling, mengi,
weezing, ronkhi kering)
3. Monitor sputum
(jumlah, warna, aroma)

Terapeutik :

1. Pertahankan kepatenan
jalan napas dengan
head-tilt dan chin-lift
(jaw-thrust jika curiga
trauma cervical)
2. Posisikan semi-Fowler
atau Fowler
3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterapi

26
dada, jika perlu
5. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
6. Lakukan
hiperoksigenasi
sebelum
7. Penghisapan
endotrakeal
8. Keluarkan sumbatan
benda padat dengan
forsepMcGill
9. Berikan oksigen, jika
perlu

Edukasi :

1. Anjurkan asupan cairan


2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi.
2. Ajarkan teknik batuk
efektif

Kolaborasi :

Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik,
jika perlu.
2 Setelah dilakukan tindakan Perawatan Sirkulasi
keperawatan diharapkan
Observasi :
perfusi jaringan lebih

27
efektif dengan kriteria 1. Periksa sirkulasi
hasil : akral tidak dingin, perifer(mis. Nadi
tidak terjadi sianosis pada perifer, edema,
jaringan perifer pengisian kalpiler,
warna, suhu, angkle
brachial index)
2. Identifikasi faktor
resiko gangguan
sirkulasi (mis.
Diabetes, perokok,
orang tua, hipertensi
dan kadar kolesterol
tinggi)
3. Monitor panas,
kemerahan, nyeri, atau
bengkak pada
ekstremitas

Terapeutik :

1. Hindari pemasangan
infus atau pengambilan
darah di area
keterbatasan perfusi
2. Hindari pengukuran
tekanan darah pada
ekstremitas pada
keterbatasan perfusi
3. Hindari penekanan dan
pemasangan torniquet
pada area yang cidera

28
4. Lakukan pencegahan
infeksi
5. Lakukan perawatan
kaki dan kuku
6. Lakukan hidrasi

Edukasi :

1. Anjurkan berhenti
merokok
2. Anjurkan berolahraga
rutin
3. Anjurkan mengecek air
mandi untuk
menghindari kulit
terbakar
4. Anjurkan
menggunakan obat
penurun tekanan darah,
antikoagulan, dan
penurun kolesterol, jika
perlu
5. Anjurkan minum obat
pengontrol tekakan
darah secara teratur
6. Anjurkan menghindari
penggunaan obat
penyekat beta
7. Ajurkan melahkukan
perawatan kulit yang
tepat(mis.

29
Melembabkan kulit
kering pada kaki)
8. Anjurkan program
rehabilitasi vaskuler
9. Anjurkan program diet
untuk memperbaiki
sirkulasi( mis. Rendah
lemak jenuh, minyak
ikan, omega3)
10. Informasikan tanda dan
gejala darurat yang
harus dilaporkan( mis.
Rasa sakit yang tidak
hilang saat istirahat,
luka tidak sembuh,
hilangnya rasa)
3 Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Cedera
diharapkan kejang
Obeservasi :
berkurang dan kesadaran
meningkat dengan kriteria 1. Identifikasi lingkungan
hasil : Mengurangi resiko yang mengakibatkan

injuri pada pasien cedera


2. Identifikasi obat yang
berotensi menyebabkan
cedera
3. Indentifikasi
kesesuaian alas kaki
atau stoking elastis
pada ekstremitas bawah

30
Terapeutik :

1. Sediakan pencahayaan
yang memadai
2. Gunakan lampu tidur
selama tidur
3. Gunakan alas lantai
bila berisiko
mengalami cedera
serius
4. Sediakan pispot atau
urinal untuk eliminasi
diatas tempat tidur
5. Pastikan barang-barang
pribadi mudah
dijangkau
6. Pertahankan posisi
tempat tidur di posisi
terendah saat
digunakan
7. Pastikan roda tempat
tidur atau kursi roda
dalm kondisi terkunci
8. Gunakan pengaman
tempat tidur sesuai
dengan kebijkan
fasilitas pelayanan
kesehatan
9. Diskusikan mengenai
latihan dan terapi fisik

31
yang diperlukan
10. Diskusikan mengenai
alat bantu mobilisasi
11. Diskusikan bersama
anggota keluarga yang
dapat mendampingi
pasien
12. Tingkatkan frekuensi
observasi dan
pengawasan pasien

Edukasi :

1. Jelaskan alasan
intervensi pencegahan
jatuh ke pasien dan
keluarga
2. Anjurkan berganti
posisi secara perlahan
4 Setelah dilakukan tindakan Orientasi Realita
keperawat diharapkan
Observasi :
klien menerima
keadaannya dengan 1. Monitor perubahan

kriteria hasil : orientasi

Mengidentifikasi perasaan 2. Monitor perubahan

dan metode untuk koping kognitif dan perilaku

dengan persepsi negative Terapeutik :


pada diri sendiri
1. Perkenalkan nama saat
memulai interaksi
2. Orientasikan orang,

32
tempat dan waktu
3. Hadirkan realita (mis.
Beri penjelasan
alternative, hindari
perdebatan)
4. Sediakan lingkungan
dan rutinitas secara
konsisten
5. Atur stimulus sensorik
dan lingkungan (mia.
Kunjungan,
pemandangan, suara
pencahayaan, bau dan
sentuhan)
6. Gunakan symbol dalam
mengorientasikan
lingkungan (mis.
Tanda, gambar, warna)
7. Libatkan dalam terapi
kelompok orientasi
8. Berikan waktu istirahat
dan tidur yang cukup,
sesuai kebutuhan
9. Fasilitasi akses
informasi (mis.
Televisi, surat kabar,
radio), jika perlu

Edukasi :

1. Anjurkan perawatan

33
diri secara mandiri
2. Anjurkan penggunaan
alat bantu (mis.
Kacamata, alat bantu
dengar, gigi palsu)
3. Ajarkan keluarga
dalam perawatan
orientasi realita
5 Setelah dilakukan tindakan Edukasi Kesehatan
keperawatan diharapkan
Obsevasi :
keluarga mengerti keadaan
klien dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi kesiapan

Pengetahuan keluarga dan kemampuan

meningkat, keluarga menerima informasi

mengerti dengan proses 2. Indentifikasi faktor-

penyakit epilepsi, keluarga faktor yang dapat

klien tidak bertanya lagi meningkatkan dan

tentang penyakit, menurunkan motivasi

perawatan dan kondisi perilaku hidup bersih

klien. dan sehat

Terapeutik :

1. Sediakan materi dan


media pendidikan
kesehatan
2. Jadwalkan pendidikan
kesehatan sesuai
kesepakatan
3. Berikan kesempatan
untuk bertanya

34
Edukasi :

1. Jelaskan faktor risiko


yang dapat
mempengaruhi
kesehatan
2. Ajarkan perilaku hidup
bersih dan sehat
3. Ajarkan strategi yang
dapat digunakan untuk
meningkatkan perilaku
hidup bersih dan sehat

2.2.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi adalah tahap ke empat dari proses keperawatan . tahap
ini muncul jika perencanaan yang dibuat di aplikasikan pada klien.
Tindakan yang dilakukan mungkin sama mungkin juga berbeda
dengan urutan yang telah di buat pada perencanaan. Implementasi
keperawatan membutuhkan fleksibelitas dan kreatifits perawat.
Sebelum melakukan suatu tindakan, perawat harus mengetahui
tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan tindakan yang
sudah direncanakan, dilakukan dengan rencana yang tepat,aman,serta
sesuai dengan kondisi pasien (Nanda, 2015)
2.2.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap kelima dari proses keperawatan. pada tahap ini
perawat membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan
kriteria hasil yang sudah ditetapkan serta menilai apakah masakah
yang terjadi sudah diatasi seluruhnya,hanya sebagian,atau belum
teratasi semuanya. Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan yaitu
suatu proses yang digunakan untuk mengukur dan memonitor kondisi

35
klien untuk mengetahui kesesuain tindakan keperawatan,perbaikan
tindakan keperawatan,kebutuhan klien saat ini,perlunya dirujuk pada
tempat kesehatan lain dan perlu menyusun ulang prioritas diagnose
supaya kebutuhan klienbisa terpenuhui atau teratasi (Nanda, 2015)

36
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang
dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat
spontan (unprovoked) dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai
modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari
sekolompok besar sel-sel otak, bersifat singkron dan berirama. Bangkitnya
epilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam otak lebih dominan dari pada
proses inhibisi.
Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi.
Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya resiko lebih tinggi. Pengguna
narkotik mungkin mendapat seizure pertama karena menggunakan narkotik,
tapi selanjutnya mungkin akan terus mendapat seizure walaupun sudah lepas
dari narkotik. Umumnya epilepsi mungkin disebabkan oleh kerusakan otak
dalam process kelahiran, luka kepala, strok, tumor otak, alkohol. Kadang
epilepsi mungkin juga karena genetik, tapi epilepsi bukan penyakit keturunan.
Tapi penyebab pastinya tetap belum diketahui.
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-
gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan
lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel
dengan berbagai etiologi. (Harsono, 2012)

37
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif, A.H, & Kusuma, H.K. 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jilid I. Yogyakarta : Media Action
Publishing.
Muttaqin, Arif. (2011). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Gloria, dkk. 2016. Nursing Intervention Classification (NIC) . 6th edition. Elsevier
Inc
Johnson M, dkk. 2016. Nursing Outcome Classification (NOC) . 6th edition. Elsevier
Inc.
NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan. Definisi & Klasifikasi . 2015-2017. Edisi
10. Jakarta : EGC.
Kariasa, Made, 2015, Asuhan Keperawatan Klien Epilepsi, FIK-UI, Jakarta.
Harsono (ED), 2012, Kapita Selekta Neurologi , Second Ed, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta.
Hudack. M. C. R and Gallo B. M, 2013, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik
(Terjemahan), Edisi VI, EGC, Jakarta Indonesia.

38

Anda mungkin juga menyukai