Anda di halaman 1dari 34

ASUHAN KEPERAWATAN EPILEPSI

Disusun Oleh :
KELOMPOK 1
1. Shiffa Arrizqi G2A016051 7. Tiara Widya H. G2A016057
2. Dhia Ramadhani G2A016052 8. Nihayatuzzulfa G2A016058
3. Shinta Mayang S. G2A016053 9. Siti Muharromah G2A016059
4. Lia Anis Syafaah G2A016054 10. Dinda Setya G2A016060
5. Muflikhatul Ulya G2A016055 11. Deni Purnasari G2A016061
6. Quratta A’yun G2A016056 12. Benny Kaesha G2A016062

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2017
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “Asuhan Keperawatan
Epilepsi”.Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkonstribusi dalam pembuatan makalah ini.Terlepas dari semua itu, Kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan
kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.Akhir kata kami berharap semoga makalah Asuhan Keperawatan
Epilepsi ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Penyusun

Kelompok 1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................... ii

Daftar Isi................................................................................................................ iii

Bab I (Pendahuluan).............................................................................................. 1

A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan............................................................................................ 2
C. Metode Penulisan........................................................................................... 2
D. Sistematika Penulisan..................................................................................... 3

Bab II (Pembahasan)............................................................................................. 4

A. Pengertian..................................................................................................... 4
B. Etiologi........................................................................................................... 4
C. Patofisiologi.................................................................................................... 5
D. Manifestasi Klinik.......................................................................................... 6
E. Komplikasi..................................................................................................... 6
F. Penatalaksanaan.............................................................................................. 6
G. Pengkajian Fokus........................................................................................... 9
H. Pathways......................................................................................................... 21
I. Diagnosa Keperawatan................................................................................... 22
J. Fokus Intervensi Dan Rasional.......................................................................22

Bab III (Penutup)................................................................................................... 29

A. Kesimpulan..................................................................................................... 29
B. Saran............................................................................................................... 29

Daftar Pustaka

ii
BAB I
Pendahuluan

A. Latar belakang masalah


Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang
berarti serangan. Definisi epilepsi menurut kelompok studi epilepsi
PERDOSSI2011 adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan
berulang akibat lepasmuatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-
neuron otak secara paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi,
bukan disebabkan olehpenyakit otak akut (PERDOSSI, 2011). Epilepsi
merupakan salah satu penyakit syaraf kronik kejang berulangmuncul tanpa
provokasi. (Purba, 2008).
Epilepsi dapatterjadi pada siapasaja di seluruh dunia tanpa batasan
ras dan sosial ekonomi. Tingkat insidensi epilepsimenunjukkan laki-laki
lebih sering terjangkit daripada wanita penelitian, yangberkisar antara 41,9
setiap 100.000 populasi laki-laki dan 20,7 setiap 100.000populasi wanita.
Tingkat insidensi pada laki-laki lebihtinggi merupakan kontribusi faktor
resiko dari trauma kepala.
Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara
berkembang yangmencapai 114 per 100.000 penduduk per tahun. Angka
tersebut tergolongtinggi dibandingkan dengan negara yang maju dimana
angka kejadian epilepsiberkisar antara 24-53 per 100.000 penduduk per
tahun.
Penyakit tersebut sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 2000
sebelum Masehi. Orang pertama yang berhasil mengenalepilepsi
sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi merupakan
penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak adalah
Hipokrates.
Insidensi epilepsi di negara-negara maju ditemukan 24-53
setiap100.000 populasi, sementara insidensi epilepsi di negara-negara
berkembang49.3-190 setiap 100.000 populasi.Penyebabnya adalah
kelainan bangkitan listrikjaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian

1
maupun seluruh bagianotak. Keadaan ini bisa di indikasikan sebagai
disfungsi otak.(WHO, 2009).
Penyakit epilepsi sudah mencakup di dunia. Rata-rata penderita
epilepsi terjadi pada usia dini. Oleh karena itu sebagai mahasiswa kita
dapat berperan untuk memberi edukasi kepada masyarakat Indonesia
tentang bahaya epilepsi.

B. Rumusan masalah
Bagaimanakah konsep teori dan asuhan keperawatan yang tepat pada
pasien epilepsi?
C. Tujuan penulisan
1. Tujuan umum
Mahasiswa keperawatan mampu mendefinisikan asuhan keperawatan
pada pasien dengan epilepsy.
2. Tujuan khusus
a. Mahasiswa dapat menjelaskan definisi dari epilepsi.
b. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi dari epilepsi.
c. Mahasiswa dapat mendeskripsikan patofisiologi dari epilepsi.
d. Mahasiswa dapat menjelaskan manifestasi klinis dari epilepsi.
e. Mahasiswa dapat menjelaskan komplikasi dari epilepsi.
f. Mahasiswa dapat menjelaskan penatalaksanaan dari epilepsi.
g. Mahasiswa dapat mendeskripsikan pengkajian fokus dari epilepsi.
h. Mahasiswa dapat menjelaskan Pathways dari epilepsi.
i. Mahasiswa dapat menyebutkan diagnosa keperawatan dari epilepsi.
j. Mahasiswa dapat mendeskripsikan intervensi dan rasional dari
epilepsi.

D. Metode penulisan
Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah metode pustaka yaitu
metode yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari

2
pustaka yang berhubungan dengan alat, baik berupa buku maupun
informasi di internet.

E. Sistematika penulisan
Makalah disusun dengan urutan sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan, menjelaskan latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II Konsep Dasar, menjelaskan definisI Epilepsi, etiologi/predisposisi,
patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, penatalaksanaan, pengkajian
fokus, pathway keperawatan, serta intervensi dan rasional.
Bab III Penutup, kesimpulan dan saran.

3
BAB II
Konsep Dasar

A. Pengertian
Epilepsi adalah gejala kompleks dari banyak gangguan berat dari
fungsi otak dengan karakteristik kejang berulang (Muttaqin, 2008).
Epilepsi merupakan penyakit serebral kronik dengan karakteristik
kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan
bersifat reversibel (Tarwoto, 2007)
Epilepsi adalah kejang yang menyerang seseorang yang tampak
sehat atau sebagai suatu ekserbasi dalam kondisi sakit kronis sabagai
akibat oleh disfungsi otak sesaat di manifestasikan sebagai fenomena
motorik, sensorik, otonomik, atau psikis yang abnormal.Epilepsi
merupakan akibat dari gangguan otak kronis dengan serangan kejang
spontan yang berulang (Satyanegara, 2010).
Anatomi dan Fisiologi dalam persarafan yaitu ada Neuron, Sel
Penyokong, dan Mielin. Neuron memiliki bagian yaitu badan sel, dendrit,
dan akson. Fungsi Neuron yaitu menghantarkan inpuls saraf ke seluruh
tubuh. Selain itu ada juga sel penyokong yang memiliki bagian mikroglia,
ependima, astrosit, dan oligodendrosit. Yang ketiga yaitu ada Mielin
memiliki fungsi menghalangi aliran ion Na dan K melintasi membran
neural.
Jadi, epilepsi adalah gangguan kronik otak sebagai akibat oleh
disfungsi otak sesaat yang dikarakteristikkan oleh kejang yamg disebabkan
lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak yang bersifat reversible
dan berulang.

B. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui
(idiopatik), sering terjadi pada: trauma lahir, asphyxia neonatorum, Cedera
Kepala, infeksi sistem syaraf, keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol,
demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia),

4
Tumor Otak, Kelainan pembuluh darah.Faktor etiologi berpengaruh
terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama, ialah epilepsi idopatik,
remote simtomatik epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut, dan epilepsi
pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau
antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah
epilepsi idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi
dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik
dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-
awitan, definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan
mempunyai nilai prediksi sebagai berikut:Apabila pada saat lahir telah
terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12 bulan pertama seluruh
kasus akan mengalami bangkitan ulang, Apabila defisit neurologik terjadi
pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah 75%
pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu,
bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan
mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama
untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk
terjadinya bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus
menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai
berkembang, yakni pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula
diakibatkan adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam
tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa
kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit,
persalinan kurang bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak
janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi
''embrio'' epilepsi. Bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau
adanya gangguan pada otak seperti infeksi/radang otak dan selaput otak,
cedera karena benturan fisik/trauma serta adanya tumor otak atau kelainan
pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.

5
 Bayi (0- 2 th): Hipoksia dan iskemia paranatal, Cedera lahir
intrakranial, Infeksi akut, Gangguan metabolik (hipoglikemia,
hipokalsemia, hipomagnesmia, defisiensi piridoksin), Malformasi
kongenital, Gangguan genetic.
 Anak (2- 12 th) : Idiopatik, Infeksi akut, Trauma, Kejang demam,
Remaja (12- 18 th), Idiopatik, Trauma, Gejala putus obat dan
alcohol, Malformasi anteriovena, Dewasa Muda (18- 35 th),
Trauma, Alkoholisme, Tumor otak.
 Dewasa lanjut (> 35) : Tumor otak, Penyakit serebrovaskular

(Tarwoto, 2007)

C. Patofisiologi
Adanya predisposisi yang memungkinkan ganguan pada sistem
listrik dari sel sel saraf pusat pada suatu bagian otak akan menjadikan sel
sel tersebut memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara
berulang, dan tidak terkontrol (distritmia) .
Aktifitas serangan epilepsi dapat terjadi setelah suatu ganguan pada
otak dan sebagian ditentukan oleh derajat dan lokasi dari lesi. Lesi pada
mesensefalon, talamus, dan korteks cerebri kemungkinan besar, bersifat
epileptogenik sedangkan lesi pada cerebelum dan batang otak.Biasanya
tidak menimbulkan serangan epilepsi.
Pada tingkat membran sel, neuron epileptik ditndai oleh fenomena
biokimia tertentu. Beberapa di antaranya adalah :
1. Ketidakstabilan membran sel saraf sehingga sel lebih mudah di
aktifkan.
2. Neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun sehingga mudah
terangsang dan dapat terangsang secara berlebihan.
3. Terjadi polarisasi yang abnormal (polarisasi berlebihan,
hiperpolarisasi, atau terhentinya repolarisasi).

6
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah lingkungan kimia dari neurin.
Pada waktu serangan, keseimbangan elektrolit pada tingkat neuronal
mengalami perubahan. Ketidakseimbangan ini akan menyebabkan
membran neuron mengalami depolarisasi.
(Bruner& Sudarth,2003)

D. Manifestasi klinik
1. Gejala kejang yang spesifik akan tergantung pada macam kejangnya.
jenis kejang dapat bervariasi antara pasien, namun cenderung serupa.
2. Kejang kompleks parsial dapat termasuk gambaran somatosensorik
atau motorfokal.
3. Kejang kompleks parsial dikaitkan dengan perubahan kesadaran.
4. Ketiadaan kejang dapat tampak relative ringan , dengan periode
perubahan kesadaran hanya sangat singkat (detik).
5. Kejang tonik klonik umum merupakan episode konvulsif utama dan
selalu dikaitkan dengan kehilangan kesadaran.
(Elin , 2009)

E. Komplikasi
1. Kerusakan otakakibat hipoksia dan retardasi mental.
Retardasi Metal sebenarnya bukan suatu penyakit walaupun
retardasi mental merupakan hasil dari proses patologi didalam otak
yang memberikan gambaran keterbatasan terhadap intelektualitas
dan fungsi adaptif. Contohnya lemah pikiran, tolol, bodoh, dll.
2. Timbul depresi dan keadaan cemas.
Depresi dan kecemasan biasanya terjadi secara bersamaan. Hampir
setiap orang pernah mengalami kondisi ini dalam kehidupan
sehari-hari. Jika pasien mengalami depresi dan rasa cemas yang
berlebihan bisa membuat pasien kambuh dari penyakit epilepsi .

(Elizabeth, 2001 : 174)

7
F. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup
penderita yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut
antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan
tanpa efek samping ataupun dengan efek samping seminimal mungkin
serta menurunkan angka kesakitan dan kematian (Arif, 2001).
1. Non farmakologi
a. Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya stress, OR,
konsumsi kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat
makan, dll.
2. Farmakologi
Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk
epilepsi yakni :
a. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis
epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan
dalam setahun. Selain itu pasien dan keluarganya harus terlebih
dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek
samping dari pengobatan tersebut.
b. Terapi dimulai dengan monoterapi.
c. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan secara
bertahap sampai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek
samping obat.
d. Apabila dengan penggunaan OAE dosis maksimum tidak dapat
mengontrol bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila
sudah mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya
diturunkan secara perlahan.
e. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti
bangkitan tidak terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan
kedua.
Menggunakan obat-obat antiepilepsi yaitu :

8
Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+ :
Inaktivasi kanal Na, menurunkan kemampuan syaraf untuk
menghantarkan muatan listrik.Contoh : fenitoin, karbamazepin,
lamotrigin, okskarbazepin, valproat.
1. Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitori GABAergik :
a. Agonis reseptor GABA, meningkatkan transmisi inhibitori
dengan mengaktifkan kerja reseptor GABA, contoh :
benzodiazepine, barbiturate.
b. Menghambat GABA transaminase, konsentrasi GABA
meningkat, contoh : vigabatrin. Menghambat GABA
transporter, memperlama aksi GABA, contoh : Tiagabin.
c. Meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan serebrospinal
pasien mungkin dengan menstimulasi pelepasan GABA dari
non-vesikular pool contoh : gabapentin.

Pemilihan OAE berdasarkan jenis bangkitan

Jenis OAE lini OAE lini kedua OAE yang OAE yang
Bangkitan pertama dipertimbangkan dihindari
Bangkitan Sodium valproat Clobazam Clonazepam
umum Lamotrigine Levetiracetam Phenobarbital
tonik- Topiramate OXcarbazepine Phenytoin
klonik Carbamazepine Acetazolamide
Bangkitan Sodium valproat Clobazam Carbamazepine
lena Lamotrigine Topiramate Gabapentin
Oxcarbazepine
Bangkitan Sodium valproat Clobazam Carbamazepine
mioklonik Topiramate Topiramate Gabapentin
Levetiracetam Oxcarbazepine
Lamotrigine
Piracetam
Bangkitan Sodium valproat Clobazam Phenobarbital Carbamazepine
tonik Lamotrigine Levetiracetam Phenytoin Oxcarbazepine

9
Topiramate
Bangkitan Sodium valproat Clobazam Phenobarbital Carbamazepine
atonik Lamotrigine Levetiracetam Acetazolamide Oxcarbazepine
Topiramate Phenytoin
Bangkitan Carbamazepine Clobazam Clonazepam
fokal dg Oxcarbazepine Gabapentin Phenobarbital
atau tanpa Sodium valproat Levetiracetam Acetazolamide
bangkitan Topiramate Phenytoin
umum Lamotrigine Tiagabine

(Arif, 2001)

G. Pengkajian fokus
1. Biografi : Nama, umur, alamat, suku, bangsa, pendidikan, dan
penanggung jawab.
2. Keluhan Utama : Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya
ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami
penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-
kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan
sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau
anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara.
3. Riwayat Penyakit :
a. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura,dan tidak sadarkan
diri.Dapatkan riwayat kejang. Pasien mungkin tidak dapat
memberikan informasi tentang perilakunya selama atau setelah
kejang kecuali ada saksi yang memberitahu pasien. Bila mungkin
bicaralah dengan orang yang menyaksikan. Tanya pasien hal-hal
berikut :
1) Berkaitan dengan kejang :

10
 Pernahkah anda mengalami kejang ? Jika Ya, apa yang
terjadi selama kejang dan berapa lama berakhir ?
 Apakah anda mengalami aura (sensasi atau tingkah laku
yang tidak biasa) sebelum kejang ?
 Apa yang terjadi setelah kejang ?
 Seberapa seringkah Anda mengalami kejang ?
 Adakah sesuatu yang khusus yang menyebabkan kejang ?
 Kapan kejang terakhir yang Anda alami ?
 Apakah setelah kejang berakhir , anda menyadari kalau baru
saja mengalami kejang ?
 Apa yang anda rasakan setelah kejang ?
2) Berkaitan dengan obat-obatan :
 Obat apakah yang Anda gunakan untuk mengontrol aktifitas
kejang ?
 Kapan obat terakhir digunakan untuk mengontrol aktivitas
kejang ?
 Apakah Anda juga menggunakan obat-obat yang lain ?
b. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit dahulu atau adanya factor-faktor penyebab :
1) Idiopatik : tidak ada penyebab yang dapat diidentifikasi.
2) Adanya riwayat :
 Trauma lahir, Asphyxia neonatorum.
 Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf.
 Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hiponatremia).
 Tumor Otak, hematoma.
 Kelainan pembuluh darah.
 Demam tinggi.
 Stroke.
 Gangguan tidur.

11
 Penggunaan obat.
 Hiperventilasi.
 Stress emosional.
c. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit
epilepsi merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya
keliru, sebab terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang epilepsi
diakibatkan oleh faktor keturunan.
d. Riwayat psikososial
1) Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit
yang diderita.
2) Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi
sosial yang berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau
“ayan” yang lebih umum di masyarakat).
3) a. Pemeriksaan fisik
1) B1 (Breathing).
Inspeksi apakah klien batuk,produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan penngkatan frekuensi
pernapasan yang sering didapatkan pada klien epilepsy disertai
dengan gangguan system pernapasan.
2) B2 (Blood).
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan pada
klien epilepsy tahap lanjut apabila klien sudah mengalami syok.
3) B3 (Brain).
1) Tingkat kesadaran.
Tingkat kesedaran klien dan respons terhadap lingkungan
adalah indicator paling sensitive untuk menilai disfungsi
system persarafan. Beberapa system dogunakan untuk
membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
kesadaran.
2) Pemeriksaan fungsi serebral.

12
a) Status mental: observasi penampilan dan tingkah laku klien,
nloai gaya bicara dan observasi ekspresi wajah, aktivitas
motorik pada klien eplepsi tahap lanjut biasanya mengalami
perubahan status mental seperti adanya gangguan prilaku,
alam perasaan dan persepsi.
b) Pemeriksaan saraf cranial.
(1) Saraf I. (Olfaktorius)
Komponen saraf : sensorik
Fungsi : penciuman/ sensasi terhadap bau-bauan.
Pemeriksaan klinis :
- dengan menutup mata mengidentifikasi bau yang
sudah dikenal misalnya kopi tembakau atau aroma
yang lain
- dilakukan disemua lubang hidung bergantian
dengan menutup salah satu lubang saat pemeriksaan
Biasanya pada klien eplepsi tidak ada kelainan dan
fungsi penciuman.
(2) Saraf II. (Optikus)
Komponen saraf : sensorik
Fungsi : Ketajaman penglihatan
Pemeriksaan klinis :
- Dengan kartu optotype snelen
- Dipasang dengan jarak 6 meter dari pasien
- Ditentukan dengan kemampuan membaca dengan
jelas deretan huruf yang ada, atau
- Disuruh menghitung jari-jari dengan jarak 6 meter
Tes ketajaman penglihatan dalam kondisi normal.
(3)Saraf III (Okulomotorius), IV (Troklearis), dan
VI(Abdusen).
Komponen saraf : motorik

13
Fungsi (Okulomotorius): Mengangkat kelopak mata,
kontriksi pupil, sebagian besar gerakan ekstra okuler.
Fungsi (Troklearis) : gerakan mata ke bawah dan ke
dalam
Fungsi (Abdusen) : deviasi mata ke lateral
Pemeriksaan klinis (Diperiksa bersama-sama) :
- Rotasi okular
- Reflek pupil
- Kaji adanya ptosis
- Reflek cahaya
Dengan alasan yang tidak diketahui, klien epilepsy
mengeluh mengalam fotofobia,(sensitifyang berlebihan
terhadap cahaya).
(4) Saraf V (Trigeminus/ Trigeminal).
Komponen saraf :
- Motorik melalui SC VII
- Sensorik dibawa oleh SC V
Fungsi: otot masseter dan temporalis
- Menutup rahang
- Mengunyah

Pemeriksaan klinis :

Anjurkan pasien mengunyah raba otot master dan


temporal kaji kekuatan ototnya

Fungsi:

Biasanya tidak didapatkan paralysis otot wajah dan


reflex kornea biasanya tidak ada kelainan.

Pemeriksaan klinis :

14
- Anjurkan pasien menutup mata, sentuhkan kapas
pada dahi, pipi dan dagu, bandingkan kedua sisi
yang berlawanan
- Sensasi nyeri dengan tusukan benda tajam dan
tumpul secara bergantian
- Dengan tabung kecil masing-masing berisi air panas
atau dingin
(5)Saraf VII (Fasialis).
Komponen saraf :
- Motorik
- Sensorik
Fungsi Motorik :
- Gerakan otot wajah
- Ekspresi wajah
- Sekresi air mata dan ludah

Pemeriksaan Klinis :

- anjurkan pasien bersiul, tersenyum, mengangkat


alis, mengerutkan dahi, (dikaji saat menutup dan
membuka mata)
- observasi kesimetrisan kedua sisi

Fungsi Sensorik : pengecapan 2/3 anterior lidah (manis,


asam, asin)

Pemeriksaan klinis : kemampuan merasakan perbedaan


rasa gula dan garam dengan amata tertutup

Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah


simetris.

(6) Saraf VIII (Vestibulokoklearis/ Acustikus).


Komponen saraf :
- Cabang vestibulo

15
- Cabang koklearis

Fungsi :

- Keseimbangan
- Pendengaran
Pemeriksaan klinis :

Keseimbangan
- Test romberg
Pasien berdiri tegak rapatkan kedua kaki dengan
mata tertutup
Bila pasien terhuyung dan jatuh (ROMBERG (+))
- Berdiri 1 (satu) tumit
- Berjalan pada garis lurus

Pendengaran

- Rinne (garpu penala 256 Hz)


Garpu penala digetarkan, tangkai GP letakkan pada
pros Mastoidius tepat pada saat tidak ada getaran
pasien memberi tanda segera pindahkan kedekat
liang telinga kira-kira 2 cm.
N = masih terdengar (+)
Ab = tak terdengar (-) tuli konduktif
- Weber (Garpu Penala 512 Hz)
GP digetarkan tangkai ditempel pada garis tengah
kepala (vertek/glabela)
Pasien di minta sebutkan sisi yang mendengar lebih
keras ;
 Bila salah satu lebih keras dsb lateralisasi ke
salah satu sisi

16
 Bila sisi kiri lebih jelas ada kemungkinan;
telinga kiri tuli konduktif/ telinga kanan tuli
perseptif
 Bila sama ada kemungkinan; ke 2 telinga
normal, tuli konduktif, tuli perseptif
- Schwabach (GP 512 Hz)
(Syarat pemeriksa harus normal pendengaran)
 GP digetarkan tempelkan pada PM pasien
segera setelah tidak mendengar suara dan
pindahkan ke PM pemeriksa bila masih
terdengar. “Schwabach pasien memendek/
lebih pendek dari pemeriksa.
 Dibalik urutannya dari pemeriksa dulu bila
pasien tidak bisa mendengar. “tuli perseptif”
gangguan kokhlea.
Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
(7)Saraf IX (Glosofaringeus) dan X (Vagus).
Komponen saraf Glosofaringeus :
- Motorik
- Sensorik

Fungsi Motorik :

- Faring : menelan
- Parotis : salivasi

Fungsi Sensorik :

- Faring, lidah posterior; termasuk rasa pahit

Pemeriksaan klinis :

- Sama seperti pemeriksaan saraf X

17
- Membedakan rasa gula dan garam

Komponen saraf Vagus :

- Motorik
- Sensorik

Fungsi Motorik :

- faring, laring; reflek muntah, menelan, fonasi

Fungsi Sensorik :

- reflek muntah, viscera leher, torak dan abdomen

Pemeriksaan klinis :

- tekan lidah dengan tonguespatel/ stimulasi faring


posterior untuk timbulkan reflek menelan
- adanya suara serak
- minta pasien untuk mengatakan “AH”. Observasi
peninggian uvula simetris dan platum mole
Kemampuan menelan baik.
(8)Saraf XI (Asesorius).
Komponen saraf : motorik
Fungsi : gerakan otot sternokleidomastoid dan trepezius;
pergerakan kepala dan bahu
Pemeriksaan klinis :
- Penderita mengangkat bahu yang di beri tahanan
- Menoleh ke samping dengan melawan tahanan
Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.
(9)Saraf XII (Hipoglosus).
Komponen saraf : motorik
Fungsi : gerakan lidah
Pemeriksaan klinis :

18
Minta pasien menjulurkan lidah ;
- Kelumpuhan unilateral; deviasi lidah kesalah satu
sisi
- Kelumpuhan bilateral; tidak mampu menjulurkan
lidah
Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.

c) System motorik.
Kekutan otot menurun, control keseimbangan dan
koordinasi pada eplepsi tahap lanjut mengalami perubahan.
d) Pemeriksaan refleks.
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon,
ligamentum, dan periosteum, derajat reflex pada respons
normal.
e) System sensorik.
Basanya didapatkan perasaan raba normal, perasaan suhu
normal, tidak ada perasaan abnormal dipermukaan tubuh,
perasaan propriosetif normal, dan perasaan diskriminatif
normal. Pada rangsang cahaya merupakan tanda khas dari
epilepsy. Pascakejang sering dkeluhkan adanya nyeri
kepala yang bersifat akut.
4) B4 (Bladder).
Pemeriksaan pada system kemih didapatkan berkurangnya volume
output urin, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal

5) B5 (Bowel).
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien pada epilepsy
menurun karena anoreksia dan adanya kejang.

19
6) B6 (Bone).
Pada fase akut setelah kejang biasanya ddapatkan adanya
penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum
sehingga mengganggu aktivitas perawatan diri.
4. Pemeriksaan penunjang.
1) CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI).
Untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler
abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik yang
didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT
scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan
otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal
atau perinatal dengan defisit neurologik yang jelas.
2) Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang,
waktu serangan.
3) Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol
darah.
 Mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah.
 Menilai fungsi hati dan ginjal.
 Menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat
menunjukkan adanya infeksi).
 Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi
otak.

H. Pathways

Idiopatik, herediter, trauma


kelahiran, infeksi perinatal,
meningitis, dll 20
System saraf Ketidakseimbangan aliran
listrik pada sel saraf

Hambatan Hilang tonus


Petitmal Epilepsi
mobilitas fisik otot

Mylonik Akimetis Penyakit kronik Psikomotor Garndmal

Kontraksi tidak Keadaan lemah Pengobatan, Gangguan Spasme otot


sadar yang dan tidak sadar keperawatan, neurologis pernafasan
mendadak keterbatasan

Gangguan Obstruksi
Aktivitas kejang Ansietas perkembangan trakheobronkial

HDR Ketidakefektifan
Jatuh Risiko cidera
bersihan jalan
napas
Ketidakmampuan
Ketidakmampuan
keluarga mengambil
koping keluarga
tindakan yang tepat

Perubahan status Defisiensi


kesehatan pengetahuan

(Nurarif, 2015)

I. Diagnosa Keperawatan
1. Hambatan mobilitas fisik b.d penurunan kendali dan masa otot.

21
2. Resiko cedera b.d resiko tigkat kesadaran, gelisah, gerakan involunter
dan kejang.
3. Ketidakmampuan koping keluarga b.d stress akibat epilepsi.
4. Defisiensi pengetahuan b.d kurangnya informasi penatalaksanaan
kejang.
5. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi trakeobronkial.

J. Fokus intervensi dan rasional


1. Diagnosa 1
 Hambatan mobilitas fisik b.d penurunan kendali dan masa otot.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan klien diharapkan dapat
melakukan aktivitas secara minimum.
Kriteria Hasil :
 Klien tidak terlihat lemas.
 Klien dapat mempertahankan posisi yang optimal.
 Klien dapat meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh
yang terkena.

Intervensi Rasional
Mandiri : Mandiri :
Kaji kemampuan klien dalam Mengidentifikasi kelemahan/
melakukan aktivitas. kekuatan dan dapat memberikan
informasi bagi pemulihan.
Ubah posisi minimal setiap 2 jam Menurunkan resiko terjadinya
(telentang, miring). trauma/iskemik jaringan.
Ajarkan klien latihan rentang gerak Meminimalkan atrofi otot,
aktif dan pasif pada semua meningkatkan sirkulasi, membantu
ekstremitas. mencegah kontraktur.
Anjurkan pasien untuk membantu Dapat berespons dengan baik jika
pergerakan dan latihan dengan daerah yang sakit tidak menjadi lebih
menggunakan ekstremitas yang tidak terganggu.
sakit.
Kolaborasi : Kolaborasi :

22
konsultasikan dengan ahli fisioterapi Program khusus dapat dikembangkan
secara aktif, latihan resistif, dan untuk menemukan kebutuhan yang
ambulasi pasien. berarti/ menjaga kekurangan tersebut
dalam keseimbangan, koordinasi dan
kekuatan.

2. Diagnosa 2
 Resiko cidera b.d resiko tigkat kesadaran, gelisah, gerakan
involunter dan kejang.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan klien diharapkan bebas
dari cidera yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran.
Kriteria Hasil :
 Klien tidak mengalami cidera apabila terjadi kejang berulang.

Intervensi Rasional
Kaji tingkat pengetahuan klien dan Data dasar untuk intervensi
keluarga cara penanganan saat selanjutnya.
kejang.
Ajarkan klien dan keluarga tentang Orang tua dengan anak yang pernah
metode mengontrol demam. mengalami kejang demam harus
diinstruksikan tentang metode untuk
mengontrol demam (kompres dingin,
obat antipiretik).
Anjurkan untuk kontrol pascacedera Cedera kepala merupakan salah satu
kepala. penyebab utama yang dapat dicegah.
Melalui program yang memberi
keamanan yang tinggi dan tindakan
pencegahan yang aman, yaitu tidak
hanya dapat hidup aman, tetapi juga
mengembangkan pencegahan
epilepsi akibat cedera kepala.
Anjurkan keluarga agar Melindungi klien bila kejang terjadi.
mempersiapkan lingkungan yang

23
aman seperti batasan ranjang, papan
pengaman, dan alat suksion selalu
berada dekat klien.
Anjurkan untuk menghindari Klien sering mengalami peka
rangsang cahaya yang berlebihan. rangsang terhadap cahaya yang
sangat silau.
Beberapa klien perlu menghindari
stimulasi fotik (cahaya menyilaukan
yang kelap-kelip, menonton televisi).
Dengan menggunakan kacamata
hitam atau menutup salah satu mata
dapat membantu mengontrol masalah
ini.
Anjurkan mempertahankan tirah Mengurangi resiko jatuh/terluka jika
baring total selama fase akut. vertigo, sinkope dan ataksia terjadi.
Kolaborasi pemberian terapi fenitoin Terapi medikasi untuk menurunkan
(dilantin). respons kejang berulang.

3. Diagnosa 3
 Ketidakmampuan koping keluarga b.d stress akibat epilepsi.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan ketakutan
klien akan menghilang atau berkurang.
Kriteria Hasil :
 Mengenal perasaannya.
 Dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang
memengaruhinya.
 Menyatakan ketakutan berkurang/ hilang.

Intervensi Rasional
Mandiri: Mandiri :
Gali bersama-sama pasien berbagai Alkohol, berbagai obat dan stimulasi
stimulus yang dapat menjadi lain (kurang tidur, lampu yg terlalu
pencetus kejang. terang, menonton tv terlalu

24
lama)dapat meningkatkan aktivitas
otak, yang yang selanjutnya
mengingatkan risiko terjadinya
kejang.
Biarkan tingkah laku “automatic” Mungkin tingkah laku ini
posiktal tanpa menghalanginya memanjang (yg berasal dari motorik
selama perlindungan terhadap atau psikologik) yang tampak tidak
lingkungan tetap diberikan. sesuai/tidak relevan terhadap waktu
atau tempat. Mencegah pasien
agresif.
Tekankan pentingnya orang terdekat Ansietas dari pemberi asuhan adalah
untuk tetap dalam keadaan tenang menjalar bila sampai pada pasien
selama kejang. dapat meningkatkan persepsi
negative terhadap keadaan
lingkungan / diri sendiri.
Kolaborasi: Kolaborasi:
Rujuk pasien/ orang terdekat pada Memberikan kesempatan untuk
kelompok penyongkong, seperti mendapatkan informasi, dukungan
yayasan epilepsy dan sebagainya. dan ide-ide untuk mengatasi masalah
dari orang lain yang mempunyai
pengalaman yang sama.
Diskusikan rujukan kepada Kejang mempunyai pengaruh yang
psikoterapi dengan pasien atau orang besar pada harga diri seseorang dan
terdekat. pasien/orang terdekat dapat merasa
berdosa atas keterbatasan
penerimaan terhadap dirinya dan
stigma masyarakat. Konseling dapat
membantu mengatasi perasaan
terhadap kesdaran diri sendiri.

4. Diagnosa 4

25
 Defisiensi pengetahuan b.d kurangnya informasi
penatalaksanaan kejang.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan dapat
mengetahui tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan.
Kriteria Hasil :
 Menyatakan pemahaman proses penyakit, termasuk gejala
klinis.
 Melakukan perilaku yang perlu atau perubahan pola hidup
untuk mencegah komplikasi.

Intervensi Rasional
Mandiri: Mandiri:
Berikan informasi tentang interaksi Pengetahuan mengenai pengguanan
obat yang potensial dan pentingnya obat anti konvulsan menurunkan
untuk memberitahu pemberi resiko obat yang diresepkan yang
perawatan yang lain dari pemberian dapat berinteraksi yg
obat tersebut. selanjutnyamengubah ambang kejang
atau memiliki efek terapeutik
Berikan petunjuk yang jelas pada Dapat menurunkan iritasi lambung,
pasien untuk minum obat bersamaan mual atau muntah
dengan waktu makan jika mungkin.
Bicarakan kembali kemungkinan Gangguan kadar hormone yang
efek dari perubahan hormonal. terjadi selama menstruasi dan
kehamilan dapat meningkatkan
resiko kejang.
Kolaborasi: Kolaborasi:
Rujuk pasien/ orang terdekat pada Memberikan kesempatan untuk
kelompok penyongkong, seperti mendapatkan informasi, dukungan
yayasan epilepsy dan sebagainya. dan ide-ide untuk mengatasi masalah
dari orang lain yang mempunyai
pengalaman yang sama.

5. Diagnosa 5

26
 Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi
trakeobronkial.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan klien diharapkan dapat
mempertahankan pola pernafasan efektif
Kriteria Hasil :
 Sesak nafas (-)
 Frekuensi nafas 20 x/m

Intervensi Rasional
Anjurkan klien untuk mengosongkan Menurunkan resiko aspirasi atau
mulut dari benda / zat tertentu / gigi masuknya sesuatu benda asing ke
palsu atau alat yang lain jika fase faring.
aura terjadi dan untuk menghindari
rahang mengatup jika kejang terjadi
tanpa ditandai gejala awal.
Letakkan pasien dalam posisi miring, Meningkatkan aliran (drainase)
permukaan datar, miringkan kepala sekret, mencegah lidah jatuh dan
selama serangan kejang. menyumbat jalan nafas.

Tanggalkan pakaian pada daerah Untuk memfasilitasi usaha bernafas /


leher / dada dan abdomen. ekspansi dada.
Masukkan spatel lidah / jalan nafas Jika memasukkannya di awal untuk
buatan atau gulungan benda lunak membuka rahang, alat ini untuk
sesuai dengan indikasi. mencegah tergigitnya lidah dan
memfasilitasi saat melakukan
penghisapan lendir atau memberi
sokongan terhadap pernafasan jika
diperlukan.
Lakukan penghisapan sesuai Menurunkan resiko aspirasi atau
indikasi. asfiksia.
Kolaborasi dalam pemberian Dapat menurunkan hipoksia serebral
tambahan oksigen. sebagai akibat dari sirkulasi yang
menurun atau oksigen sekunder

27
terhadap spasme vaskuler selama
serangan kejang.

28
BAB III
Penutup

A. Kesimpulan
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi
otak yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang.Kejang merupakan
akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks
serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan
kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori.Ada
2 jenis epilepsy yaitu epilepsi parsial dan kejang umum.
Selain itu juga epilepsi dikarenakan gangguan saraf pusat yang
dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat
spontan (unprovoked) dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai
modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal
dari sekelompok besar sel-sel otak bersifat singkron dan berirama.
Bangkitnya epilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam otak lebih
dominan daripada proses inhibisi.

B. Saran
1. Bagi Mahasiswa
Meningkatkan kualitas belajar dan memperbanyak literatur dalam
pembuatan makalah agar dapat membuat makalah yang baik dan
benar.
2. Bagi Pendidikan
Bagi dosen pembimbing agar dapat memberikan bimbingan yang lebih
baik dalam pembuatan makalah selanjutnya.
3. Bagi Kesehatan
Memberikan pengetahuan kepada mahasiswa kesehatan khususnya
untuk mahasiswa keperawatan agar mengetahui bagaimana Asuhan
keperawatan pada pasien epilepsi.

29
Daftar Pustaka

Harsono, Endang K, Suryani G. 2011. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Jakarta :


PERDOSSI. h 40-50.

Purba JS. 2008. Epilepsi : Permasalahan di Reseptor atau Neurotrasmitter.


Medicinus.

World Health Organization. 2009. Epilepsy.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Satyanegara.2010. Ilmu Bedah Saraf edisi IV.Tangerang : Gramedia Pustaka


Umum.

Yuliana Elin, Andradjati Retnosari, dkk. 2009. ISO Farmakoterapi. Jakarta : ISFI.

Nurarif, Amin Huda. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis dan Nanda NIC-NOC.Jogjakarta : MediAction Publishing.

Batticaca B Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
2

Anda mungkin juga menyukai