Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

EPILEPSI

Untuk Memenuhi tugas Keperawatan Medikal Bedah 3A


Dosen Pengampu: Sholihatul Maghfirah, S.Kep.,Ns.,M.Kep

Disusun Kelompok 3 :

Adelia Putri Y 20631994/13


Nova Wiliandari 20631951/25
M.Fajrun Nashihin 20632005
Rendra Budi. A 20632004/05

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah yang Maha kuasa dengan atas rahmat-Nya
makalah ini dapat terselesaikan sebagaimana adanya. Tak lupa sholawat serta
salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita
ke zaman yang terus berkembang ini. Tak lupa juga saya mengucapkan banyak
terima kasih kepada Sholihatul Maghfirah, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku dosen
pembimbing mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 3A (KMB 3A) yang
tanpanya mungkin makalah ini tak dapat terwujud sebagaimana adanya. Dan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang sudah
terlibat untuk membantu terwujudnya makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat kedepannya dan dapat berkenan bagi pembaca. Kami menyadari
bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu
kami sangat mengharapkan saran oleh para pembaca agar makalah ini menjadi
lebih baik kedepannya.

Ponorogo, 06 April 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul.....................................................................................................i
Kata Pengantar....................................................................................................ii
Daftar Isi..............................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................1
B. Rumusan masalah.............................................................................1
C. Tujuan..............................................................................................2
D. Manfaat............................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN
A. Pengertian.........................................................................................3
B. Etiologi.............................................................................................3
C. Klasifikasi........................................................................................4
D. WOC................................................................................................6
E. Manifestasi klinik.............................................................................7
F. Pemeriksaan Penunjang....................................................................7

BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………..17
B. Saran……………………………………………..…………………..17
Daftar Pustaka.............................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan di


dunia. Data World Health Organization (WHO) menunjukkan epilepsi
menyerang 70 juta dari penduduk dunia (Brodie et al., 2012). Epilepsi dapat
terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa batasan ras dan sosial ekonomi.
Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang yang
mencapai 114 per 100.000 penduduk per tahun. Angka tersebut tergolong
tinggi dibandingkan dengan negara yang maju dimana angka kejadian
epilepsi berkisar antara 24-53 per 100.000 penduduk per tahun (Benerjee dan
Sander, 2008). Angka prevalensi penderita epilepsi aktif berkisar antara 4-10
per 1000 penderita epilepsi (Beghi dan Sander, 2008).
Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan
jumlah penderita epilepsi baru 250.000 per tahun. Dari berbagai studi
diperkirakan prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi
epilepsi 8,2 per 1000 penduduk. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak
cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian
meningkat lagi pada kelompok usia lanjut (Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia (PERDOSSI, 2011). Epilepsi merupakan suatu gangguan
neurologik klinis yang sering dijumpai. Definisi epilepsi menurut kelompok
studi epilepsi PERDOSSI 2011 adalah suatu keadaan yang ditandai oleh
bangkitan berulang akibat lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di
neuron-neuron otak secara paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai
etiologi, bukan disebabkan oleh penyakit otak akut. Perlu diketahui bahwa
epilepsi bukanlah merupakan suatu penyakit, melainkan suatu kumpulan
gejala. Gejala yang paling umum adalah adanya kejang, karena itu epilepsi
juga sering dikenal sebagai penyakit kejang. Data epilepsi yang dihimpun dari
108 negara mencakup 85,4% dari populasi dunia terdapat 43.704.000 orang
menderita epilepsi.

1
B. TUJUAN
Tujuan pembuatan makalah ini untuk mengetahui tentang penyakit epilepsi
secara lebih mendalam.
C. MANFAAT
1. Dapat dijadikan pertimbangan untuk menjadi bahan bacaan bagi pembaca
2. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Epilepsi adalah kejang yang menyerang seseorang yang tampak sehat
atau sebagai suatu ekserbasi dalam kondisi sakit kronis sebagai oleh
disfungsi otak sesaat dimanifestasikan sebagai fenomena motorik, sensorik,
otonomik, atau psikis yang abnormal. Epilepsi merupakan akibat dari
gangguan otak kronis dengan serangan kejang spontan yang berulang
(Satyanegara dalam Nurarif, 2015).

B. ETIOLOGI
1. Idiopatik
Epilepsi idiopatik seringkali menunjukkan predisposisi genetik.
Penyebabnya tidak diketahui meliputi ±50% dari penderita epilepsi anak,
biasanya pada usia lebih dari 3 tahun.
2. Simtomatik
1) Kelainan Kongenital Kelainan kongenital dapat terjadi karena
kromosom abnormal, radiasi, obat-obat teratogenik, infeksi
intrapartum oleh toksoplasma, cytomegalovirus, rubela dan
treponema. Biasanya terjadi pada kelompok usia 0-6 bulan.
2) Infeksi Risiko akibat serangan epilepsi bervariasi sesuai dengan tipe
infeksi yang terjadi pada sistem saraf pusat, seperti meningitis,
ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Epilepsi dapat
terjadi karena adanya infeksi virus, bakteri, parasit dan abses otak
yang frekuensinya sampai 32%. Sering terjadi pada kelompok anak-
anak sampai remaja.
3) Trauma kepala merupakan penyebab terjadinya epilepsi yang paling
banyak.Trauma kepala dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
Kejang-kejang dapat timbul pada saat terjadi cedera kepala atau baru
terjadi 2-3 tahun kemudian.

3
4) Gangguan vaskular
Penderita epilepsi oleh karena gangguan vaskular lebih sering
diderita oleh lansia. Penyebabnya karena adanya serangan stroke
yang mengganggu pembuluh darah di otak atau peredaran darah di
otak yang dapat menimbulkan kejang (Br. Sihaloho, 2019).
C. KLASIFIKASI

Pembagian kejang menurut ILAE 2017, secara garis besar dibagi menjadi
3 kelompok utama:
I. Klasifikasi tipe kejang (dipergunakan bila tidak terdapat EEG, Digital
Imaging dan video)
1) Onset Fokal
2) Onset General
3) Unknown Onset
II. Berdasarkan tipe epilepsi (dipergunakan pada fasilitas dengan akses
pemeriksaan penunjang diagnostik epilepsi)
1) Onset Fokal
2) Onset General

4
3) Combine focal and general onset
4) Unknown Onset
III. Berdasarkan sindrom epilepsi (ditegakkan saat ditemukan secara
bersamaan jenis kejang dengan gambaran EEG atau imaging tertentu,
bahkan sering diikuti dengan gambaran usia, variasi diurnal, trigger
tertentu, dan terkadang prognosis)

5
D. WOC

Idiopatik,herediter,trauma Ketidakseimbangan aliran


Sistem saraf Epilepsi
kelahiran,infeksi listrik pada sel saraf
perinatal,meningitis,dll

Perinatal Akimetis Mylonik Penyakit kronik Psikomotor Grandmal

Hilang notus Keadaan lemah Kontraksi tidak Lidah jatuh kebelakang


Gg. Respiratori Gg. Neurologis
otot dan tidak sadar sadar yang
mendadak

Hilang Spasme otot


Hambatan kesadaran pernapasan
mobilitas fisik Aktivitas kejang

Obstruksi
trakheobronkial
Perubahan proses Perubahan status Hipoksia Ketidakmampuan Jatuh
keluarga kesehatan keluarga mengambil
tindakan yang tepat
Risiko Ketidakefektifa
Isolasi sosial cidera n bersihan jalan
Pengobatan,keperawatan,ke napas
terbatasan Keefektifan koping
keluaraga

Ansietas Kurang pengetahuan


penatalaksanaa kejang
Gg. Perkembangan HDR

1
E. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis epilepsi disebabkan oleh lesi di korteks serebri yang


mendasarinya. Lesi di otak pada umumnya telah ada beberapa bulan – tahun
sebelum gejala epilepsi pertama muncul seperti hipoksia perinatal/asfiksia
atau perdarahan intraserebral. Menurut Yuliana dalam Nurarif, 2015
manifestasi klinis epilepsy sebagai berikut:
1. Gejala kejang yang spesifik akan tergantung pada macam kejangnya.
Jenis kejang dapat bervariasi antara pasien, namun cenderung serupa
2. Kejang komplek parsial dapat termasuk gambaran somatosensori atau
motor fokal.
3. Kejang komplek parsial dikaitkan dengan perubahan kesadaran.
4. Ketiadaan kejang dapat tampak relative ringan, dengan periode
perubahan kesadaran hanya sangat singkat (detik).
5. Kejang tonik klonik umum merupakan episode konvulsif utama dan
selalu dikaitkan dengan kehilangan kesadaran.
Gejala lain pada kejang fokal:
1. Motor Onset : Beberapa jenis gerakan terjadi pada kejang tersebut.
Misal gerakan sedutan, sentakan, atau kaku pada bagian tubuh.
2. Non-motor Onset: Jenis kejang ini memiliki gejala lain sebelum
muncul, seperti perubahan sensasi, emosi, pemikiran, atau
pengalaman (Epilepsi Foundation, 2017).
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Elektroensefalografi (EEG)
Walaupun EEG secara rutin dilakukan pada kejang tanpa provokasi
pertama dan pada (dugaan) epilepsi, pemeriksaan ini bukanlah baku emas
untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Kelainan pada EEG dapat
ditemukan pada 2-4% anak yang tidak pernah kejang; sebaliknya, EEG
interiktal pertama dapat normal pada 55% anak dengan kejang pertama
tanpa provokasi. Gambaran EEG saja tanpa memandang informasi klinis
tidak dapat menyingkirkan maupun menegakkan diagnosis epilepsi.
Pada EEG diperhatikan frekuensi dan amplitudo gelombang irama dasar,
ada tidaknya asimetri, serta ada tidaknya aktivitas epileptiform yang

1
dapat berupa gelombang paku, gelombang tajam, paku-ombak, tajam-
ombak, paku multipel, burst-suppression, dan hipsaritmia. Diperhatikan
juga lokalisasi aktivitas abnormal, bila ada. Peran EEG pada epilepsi
adalah sebagai berikut:
a. Membantu menentukan tipe kejang
b. Menunjukkan lokalisasi fokus kejang bila ada
c. Membantu menentukan sindrom epilepsi
d. Pemantauan keberhasilan terapi
e. Membantu menentukan apakah terapi obat antiepilepsi dapat
dihentikan.
Secara tersendiri, sensitivitas EEG untuk mendiagnosis epilepsi hanya
25-56%, sedangkan spesifisitasnya 78-98%. Jika digunakan bersama
dengan temuan klinis pada anamnesis dan pemeriksaan neurologis, maka
sensitivitasnya menjadi 98,3% (IK95% 96,3 sampai 99,2) dan
spesifisitasnya 86% (IK95% 78,8 sampai 91,2) (MENKES RI, 2017)
2. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan
radiologis bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data
EEG. Dua pemeriksaan yang sering digunakan Computer Tomography
Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila
dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif dan secara
anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hippocampus kiri dan kanan (Br. Sihaloho, 2019).
G. PENATALAKSANAAN
a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan
oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin,
mencegah kejang berulang, dan mencari faktor penyebab. Serangan
kejang umumnya berlangsung singkat dan berhenti sendiri. Pengelolaan
pertama untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam per rektal
dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat
badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang

2
setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika
setelah dua kali pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti,
maka penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit (Setiaji, 2014).
b. Pengobatan Epilepsi: monoterapi dan politerapi
Berdasarkan jurnal Khairani dkk, prinsip pengobatan monoterapi
merupakan pilihan pertama untuk kasus epilepsi yang baru didiagnosis.
Politerapi OAE dapat menjadi pertimbangan jika pemberian 2 macam
monoterapi yang berbeda dinilai belum efektif dalam menangani
bangkitan. Beberapa pasien akan mencapai tahapan bebas kejang dengan
kombinasi tiga OAE. Namun, kombinasi empat atau lebih OAE tidak
menjamin keberhasilan pengobatan. Berikut adalah penjelasan stategi
pengobatan monoterapi dan politerapi:
1. Monoterapi
Monoterapi direkomendasikan untuk pasien dengan epilepsi yang
baru didiagnosis, karena 60% pasien yang baru didiagnosis dengan
epilepsi akan bebas bangkitan dengan pemberian OAE tunggal dengan
dosis sedang. Hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan OAE adalah
keamanan tolerabilitas dari pasien. Obat yang dipilih harus
mempertimbangkan beberapa aspek di antaranya usia, jenis kelamin,
berat badan, mekanisme obat, efek samping, jenis bangkitan, sindrom
epilepsi, riwayat gangguan jiwa, penyakit lain yang diderita, obat lain
yang sedang dikonsumsi dan gaya hidup pasien. Hal ini dilakukan
dengan harapan pasien dapat bebas bangkitan tanpa toksisitas dan efek
samping jangka panjang.
Kelebihan monoterapi antara lain efektif sebagai pengobatan awal,
tidak terjadi interaksi obat, toksisitas minimum, analisis keberhasilan
lebih mudah. Kekurangan monoterapi adalah gagal mengendalikan
bangkitan pada sebagian kecil pasien dan terdapatnya variasi respons dari
setiap individu. Berikut tabel pemilihan jenis obat

3
2. Politerapi
Politerapi OAE adalah penggabungan dua atau lebih OAE untuk
meningkatkan efikasi (bebas bangkitan) dan tolerabilitas pengobatan.
Syarat pemberian politerapi yang rasional pada pasien epilepsi
meliputi kombinasi OAE yang keduanya harus mempunyai profil
obat sebagai berikut:
1) Mempunyai mekanisme kerja obat yang berbeda satu sama lain.
Cara memilih kombinasi OAE salah satunya berdasarkan dari
mekanisme kerja obat, karena OAE yang memiliki mekanisme
kerja obat sama kemungkinkan memiliki efek samping yang sama
pula. Kombinasi dua obat OAE disarankan memiliki mekanisme
kerja
obat yang berbeda, sebagai contoh OAE yang bekerja
sebagai sodium channel blocker dikombinasikan dengan
OAE yang bekerja pada GABA-mimetic. Kombinasi
ini telah terbukti lebih efektif dibandingkan pemberian
kombinasi dua agen GABA-mimetic. Tabel mekanisme aksi obat
anti epilepsi adalah sebagai berikut:

4
2) Tidak memiliki interaksi farmakokinetik yang kompleks
Interaksi farmakokinetik adalah timbulnya perubahan dalam
proses penyerapan, metabolisme, pengikatan protein dan
ekskresi suatu obat yang disebabkan oleh adanya interaksi
dengan obat lain.
3) Tidak memiliki efek samping yang sama
Obat anti epilepsi dengan mekanisme kerja obat yang sama
dapat menyebabkan peningkatan efek samping saat digunakan
dalam kombinasi. Sebagai contoh efek samping neurotoksik
yang berlebihan telah dilaporkan pada pasien yang diberikan
carbamazepine atau oxcarbazepine dalam kombinasi dengan
lamotrigine. Kedua obat ini sama-sama bekerja dengan
memblokir kanal sodium channel blocker.
4) Dapat dikombinasikan dalam dosis kecil untuk memberikan
efek obat yang maksimal
Interaksi farmakodinamik terjadi ketika kombinasi obat-
obatan menimbulkan toksisitas adiktif berlebih atau
memberikan manfaat adiktif berlebih tanpa adanya perubahan
konsentrasi obat pada serum. Interaksi farmakodinamik yang
baik adalah interaksi yang menghasilkan manfaat adiktif atau
manfaat sinergis tanpa adanya peningkatan toksisitas yang
proporsional. Kombinasi asam valproat dan lamotrigine
merupakan salah satu contoh kombinasi manfaat sinergis.

Cara melakukan politerapi adalah sebagai berikut:


1) Politerapi dilakukan setelah dua macam obat monoterapi
gagal
2) Perlu diperhatikan mengenai aspek lain seperti diagnosis epilepsi
apakah sudah sesuai, tipe bangkitan, sindrom epilepsi, dan kepatuhan

5
pasien dalam mengkonsumsi OAE sebelum mengganti atau
mengkombinasi OAE
3) Dosis harus ditingkatkan mencapai dosis maksimum yang dapat
ditoleransi pasien jika obat pertama dapat mengurangi bangkitan.
Pasien yang belum bebas bangkitan meskipun OAE pilihan pertama
sudah mencapai dosis maksimal maka OAE pilihan kedua dapat
ditambahkan. Obat pilihan kedua harus memiliki mekanisme kerja
yang berbeda dan tidak boleh memiliki profil efek samping yang sama
dengan obat pilihan pertama. Obat dengan mekanisme kerja yang
sama sebaiknya tidak dikombinasikan.
4) Pasien dengan yang sudah mulai berespons dengan terapi
kombinasi tetapi belum mencapai bebas bangkitan maka pemberian
obat pilihan ketiga dapat diberikan dengan dosis kecil. Pemberian obat
pilihan keempat atau kelima tidak berkontribusi pada keberhasilan
penanganan.
5) Pemberian tiga macam obat sekaligus sebaiknya dihindari, sebagian
besar pasien mencapai bebas bangkitan dengan menggunakan
kombinasi dua OAE dan hampir tidak ada yang mencapai bebas
bangkitan dengan kombinasi empat OAE. Pasien yang mengkonsumsi
empat atau lebih OAE disarankan mengurangi menjadi dua atau tiga
OAE.
6) Pengobatan untuk setiap pasien disesuaikan berdasarkan tipe
bangkitan, sindrom epilepsi, usia, jenis kelamin, adanya penyakit
komorbid dan obat-obatan lainnya yang sedang dikonsumsi
7) Pasien yang gagal mencapai bebas bangkitan dengan monoterapi
atau kombinasi dari dua atau lebih OAE maka kemungkinan
mengalami drug resistant epilepsy. Pasien tersebut harus dievaluasi
lebih lanjut untuk dipertimbangkan strategi terapi alternatif seperti
operasi epileps

6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Epilepsi adalah kejang yang menyerang seseorang yang tampak sehat atau
sebagai suatu ekserbasi dalam kondisi sakit kronis sebagai oleh disfungsi otak
sesaat dimanifestasikan sebagai fenomena motorik, sensorik, otonomik, atau
psikis yang abnormal. Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang
sering ditemukan di dunia. Data World Health Organization (WHO)
menunjukkan epilepsi menyerang 70 juta dari penduduk dunia. Epilepsi dapat
terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa batasan ras dan sosial ekonomi.
Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang yang
mencapai 114 per 100.000 penduduk per tahun. Angka tersebut tergolong
tinggi dibandingkan dengan negara yang maju dimana angka kejadian
epilepsi berkisar antara 24-53 per 100.000 penduduk per tahun (Benerjee dan
Sander, 2008). Angka prevalensi penderita epilepsi aktif berkisar antara 4-10
per 1000 penderita epilepsi (Beghi dan Sander, 2008).

B. Saran
Penulis berharap agar masyarakat atau pasien dapat memahami penyakit
dan melakukan hidup sehat disekitar lingkungan.

7
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif. A. H. dan Kusuma. H. 2015. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan


diagnosa medis & NANDA NIC NOC. Yogyakarta:MediAction.

Br. Sihaloho, Betaria Indrianti. 2019. Gambaran Karakteristik Epilepsi Pada


Pasien Anak di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan Periode Tahun
2012-2017.Diakses pada https://repository.uhn.ac.id/handle/123456789/2242

Gunn R, Stapley HB. Epilepsy 2017. A Practical Guide to Epilepsy: ILAE. 2017.

Setiaji, Adrian. 2014. Pengaruh Penyuluhan Tentang Penyakit Epilepsi Anak


Terhadap Pengetahuan Masyarakat Umum. Karya Tulis Ilmiah.
FK:Universitas Diponegoro

Epilepsy Foundation. 2016. 2017 Revised Classification of Seizures. Diakses pada


https://www.epilepsy.com/article/2016/12/2017-revised-classification-
seizures

Anda mungkin juga menyukai