Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PATOFISOLOGI ELPILEPSI

OLEH:

Netty lasma lumbantobing : 220205522


Winda bella tambunan : 220205583
Aida florahyaya hasungian : 220205499
Kiki tamara pardede : 220205517
Henny : 220205511

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


DIREKTORAT SARJANA
UNIVERSITAS SARI MUTIARA
MEDAN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. atas segala rahmat-
Nya sehingga makalah yang berjudul "Patofisiologi Epilepsi"dapat tersusun sampai
selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bapak Dr. Kesaktian
Manurung, M.Biomed selaku dosen pengampu mata kuliah patofisiologi.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan


dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah
ini bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami kelompok 2 sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak


kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR : . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii
DAFTAR ISI : . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii
BAB I PENDAHULUAN :.................................. 1
A. Latar Belakang :.................................. 1
B. Rumusan Masalah :.................................. 3
C. Tujuan :.................................. 3

BAB II PEMBAHASAN :.................................. 4


A. Sejarah : . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . …. . . . . . . . . . . . 4
B. Pengertian :........... .......................6
C. Anatomi dan Fisiologi :.................................. 7
D. Patofisiologi : . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 11

BAB III PENUTUP : . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16

A. Kesimpulan : . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16
B. Saran : . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 17
DAFTAR PUSTAKA : . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Epilepsi adalah gangguan kronis pada otak yang terdapat di seluruh dunia
yang ditandai dengan kejang berulang. Di beberapa bagian dunia, orang-orang yang
menderita epilepsi dan keluarga mereka menerima stigma yang buruk sehingga
mengakibatkan terjadinya diskriminasi.

Berdasarkan data yang diperoleh dari World Health Organization (WHO)


tahun 2015, sekitar 50 juta orang di seluruh dunia mengalami epilepsi, dan
menjadikannya salah satu penyakit neurologis yang paling umum secara global.
Secara keseluruhan insiden epilepsi pada negara maju berkisar antara 40-70 kasus
per 100.000 orang per tahun.Beberapa penelitian di negara-negara berpenghasilan
rendah dan menengah menunjukkan bahwa proporsi yang jauh lebih tinggi, antara 7
dan 14 per 1000 orang.
Di Indonesia kasus epilepsi berjumlah paling sedikit 700.000-1.400.000
kasus dengan pertambahan 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan sekitar
40%-50% dari prevalensi tersebut terjadi pada anak-anak. Sebagian besar pasien
tidak mempunyai riwayatkejang demam sebelumnya dan tidak ada riwayatepilepsi
pada keluargaPenelusuran riwayat epilepsi pada keluarga sebaiknya dilakukan
minimal pada tiga generasi, karena kemampuan seseorang mengingat. Penelitian di
Afrika 2 menyatakan kejang demam merupakan faktor risiko epilepsi pada anak di
kemudian hari,sedangkan penelitian yang dilakukan oleh I Gusti Ngurah Made
Suwarbamenemukan 10,1% kasus epilepsi dengan riwayat kejang
demam.5Berdasarkan panduan UKK Neurologi IDAI, kejang demam kompleks dan
kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu tahun
menjadi faktor resiko terjadinya epilepsi di kemudian hari.

1
Banyak pasien dengan epilepsi memiliki Gambaran Elektroensefalografi
(EEG) yang normal, seperti pada epilepsi mioklonik juvenil hanya sekitar 50%
memiliki EEG abnormal. Namun EEG tetap menjadi modalitas pemeriksaan yang
paling berguna pada dugaan suatu bangkitan untuk membantu menunjang diagnosis,
penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi, menentukan prognosis, serta
perlu atau tidaknya pemberian obat anti epilepsi(OAE)
Banyak pasien dengan epilepsi memiliki Gambaran Elektroensefalografi
(EEG) yang normal, seperti pada epilepsi mioklonik juvenil hanya sekitar 50%
memiliki EEG abnormal. Namun EEG tetap menjadi modalitas pemeriksaan yang
paling berguna pada dugaan suatu bangkitan untuk membantu menunjang diagnosis,
penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi, menentukan prognosis, serta
perlu atau tidaknya pemberian obat anti epilepsi(OAE).
Tujuan dari pengobatan epilepsi adalah bebasnya kejang tanpa menimbulkan
efek samping seperti mual, muntah, keluhan pencernaan, penambahan berat
badan.8,9 Dari beberapa obat anti epilepsi yang ada, asam valproat adalah obat yang
paling sering diberikan.10 Namun dari beberapa penelitian sebelumnya ditemukan
bahwa obat anti epilepsi golongan Asam valproat dengan penggunaanminimal6
bulandapat mempengaruhi pertumbuhan pada anak seperti penambahan berat badan.
Seperti penelitian yang dilakukaan di rumah sakit Al-Azhar University selama
periode dari Juni 2011 hingga Juni 2012 ditemukan adanya peningkatan yang
signifikan dari berat badan dan penurunan tinggi badan dengan penggunaan 6 bulan
dan 1 tahun.9Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Hongliang di Cina
menyatakan efek samping asam valproat adalah peningkatan berat badan yang
cukup besar.
Pemberian OAE disarankan bersifat monoterapi atau pemberian obatdengan
dosis yang rendah dan kemudian bila perlu dinaikkan dosisnya sesuai dengan
keadaan klinisnya dan jenis epilepsi yang sedang dihadapi. Jika obat pertama tidak
berhasil maka perlu dicoba dengan obat lain secara monoterapi. Apabila usaha
kedua ini gagal maka harus lakukan evaluasi ulang.13 Atas dasar hasil evaluasi

2
tersebut maka diperlukan pembaharuan terapiyang dapat berupa perubahan dosis,
perubahan jenis, penambahan OAE lebih dari satu jenis (politerapi) atau
penghentian obat. Untuk politerapi, harus dipertimbangkan dengan baik agar dapat
diperoleh efektivitas yang lebih tinggi tanpa disertai efek samping.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah pada


makalah ini Bagaimanakah karakteristik epilepsi dan patofisiologi epilepsy

C. Tujuan

Untuk mengetahui gambaran karakteristik epilepsy dan patofisiologi epilepsi

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah

Rekam medis tertua menunjukkan bahwa epilepsi telah mempengaruhi


manusia semenjak awal mula sejarah tertulis. Sepanjang sejarah kuno, gangguan
tersebut diduga sebagai kondisi kerohanian. Deskripsi mengenai kejang epilepsi
yang tertua di dunia tercantum pada naskah dalam Akkadia (suatu bahasa yang
dipakai di Mesopotamia kuno) yang ditulis sekitar 2000 SM. Orang yang
dideskripsikan dalam naskah tersebut didiagnosis berada dalam pengaruh dewa
Bulan, dan oleh karena itu diselenggarakanlah upacara eksorsis (pengusiran roh
jahat). Dalam Hukum Hammurabi (sekitar 1790 SM), kejang epilepsi disebut
sebagai alasan sah seorang budak belian boleh dikembalikan dengan ganti
rugi,[1] lalu Papirus Edwin Smith (sekitar 1700 SM) mendeskripsikan kasus-
kasus penderita konvulsi epilepsi.
Catatan terperinci tertua yang diketahui mengenai gangguan itu sendiri
tercantum dalam Sakikku, suatu naskah medis kuneiformis Babylonia yang
berasal dari zaman 1067 – 1046 SM. Naskah tersebut menyebut tanda-tanda dan
gejala-gejala, penanganan rinci dan kemungkinan hasil yang diperoleh, dan
mendeskripsikan banyak ciri dari berbagai jenis kejang. Karena orang Babylonia
tidak mempunyai pemahaman biomedis mengenai sifat penyakit ini, mereka pun
mempersalahkan roh-roh jahat sebagai penyebab terjadinya kejang dan berupaya
menangani kondisi tersebut dengan cara-cara kerohanian. Sekitar 900
SM, Punarvasu Atreya mendeskripsikan epilepsi sebagai kondisi hilang
kesadaran definisi tersebut dipakai dalam naskah Ayurveda Charaka
Samhita (sekitar 400 SM).

4
Bangsa Yunani kuno mempunyai pandangan kontradiktif tentang penyakit
ini. Mereka menganggap epilepsi sebagai suatu bentuk kerasukan spiritual,
tetapi juga mengaitkan kondisi ini dengan kejeniusan dan keilahian. Salah satu
julukan yang diberikan pada penyakit ini adalah penyakit keramat. Epilepsi
muncul dalam mitologi Yunani: dikaitkan dengan dewi
Bulan Selene dan Artemis, yang menyerang orang yang mengganggu mereka.
Bangsa Yunani menduga tokoh-tokoh penting seperti Julius
Caesar dan Hercules menderita penyakit ini. Perkecualian yang patut dicatat
terhadap pandangan spiritual dan ilahi ini adalah dari kelompok Hippocrates.
Dalam abad kelima SM, Hippocrates menolak pemikiran bahwa penyakit ini
disebabkan oleh roh. Dalam karya monumentalnya On the Sacred Disease, dia
mengusulkan bahwa epilepsi bukan berasal dari ilahi melainkan masalah otak
yang dapat dirawat secara medis. Dia menuduh orang-orang yang
menghubungkan penyebab keramat terhadap penyakit ini mempercayai tahyul
mengajukan bahwa keturunan merupakan sebab penting, menjelaskan hasil yang
lebih buruk jika penyakit ini muncul pada usia muda, dan membuat catatan
tentang karakteristik fisik serta rasa malu secara sosial yang terkait dengan
penyakit ini. Daripada menyebutnya sebagai penyakit keramat, dia
menggunakan istilah penyakit hebat, mengawali bangkitnya istilah
moderngrand mal, yang digunakan untuk epilepsi tergeneralisasi. Walaupun
karyanya merinci asal-usul fisik penyakit ini, pandangannya tidak diterima pada
masa itu. Roh jahat tetap disalahkan hingga setidaknya pada abad ke-17.
Pada banyak kebudayaan, penderita epilepsi telah distigmatisasi, dijauhkan,
bahkan dipenjarakan; dalam Salpêtrière, tanah kelahiran neurologi (ilmu saraf)
modern, Jean-Martin Charcot menemukan penderita epilepsi ditempatkan
bersama penderita sakit jiwa, yang menderita sifilis kronis, dan gila secara
criminal. Pada masa Roma kuno, epilepsi dikenal sebagai Morbus
Comitialis ('penyakit aula pertemuan') dan dianggap sebagai kutukan para dewa.
Di Italia bagian Utara, epilepsi secara tradisional pernah dikenal sebagai

5
penyakit Santo Valentine. Pada pertengahan 1800-an obat anti-kejang efektif
yang pertama, bromida, diperkenalkan. Perawatan modern
pertama, fenobarbital, dikembangkan pada 1912, dengan fenitoin mulai
digunakan pada 1938.

B. Pengertian Epilepsi
Kata epilepsi berasal dari kata Yunani, Epi yang berarti atas dan Lepsia dari
kata Lambanmein yang berarti serangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
epilepsi pada mulanya memiliki arti serangan dari atas. Banyak orang
menganggap bahwa epilepsi adalah penyakit kutukan dari surga. Ribuan tahun
lalu, masyarakat Babilonia dan Romawi Kuno meyakini bahwa kejang terjadi
karena adanya roh jahat yang merasuki tubuh seseorang dan akan menular jika
menyentuhnya. Namun kemudian Hippocrates membantah keyakinan itu
dengan menulis buku mengenai epilepsi, bahwa epilepsi bukanlah penyakit
karena gangguan roh jahat atau kekuatan nabi melainkan karena adanya
gangguan pada otak.
Epilepsi adalah salah satu kelainan neurologi kronik yang bisa terjadi pada
segala usia terutama pada usia anak. Epilepsi merupakan manifestasi gangguan
fungsi otak dengan gejala yang khas yaitu kejang berulang akibat lepasnya
muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksismal. Epilepsi ditandai
dengan sedikitnya 2 kali atau lebih kejang tanpa provokasi dengan interval
waktu lebih dari 24 jam.
Deteksi yang terlambat dan tatalaksana yang tidak tepat akan menunjukkan
prognosis yang buruk dan dapat berakhir pada epilepsi intraktabel. Keadaan ini
tidak hanya berdampak pada segi medis tetapi juga berdampak pada
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial.4 Epilepsi intraktabel merupakan
keadaan dimana pasien telah mengonsumsi 2 atau lebih obat anti epilepsi
(OAE) secara teratur dan adekuat selama 2 tahun tetapi tidak menunjukkan
penurunan frekuensi dan durasi kejang.

6
Kejang merupakan ciri yang harus ada pada epilepsi, tetapi tidak semua
kejang dapat di diagnosis sebagai epilepsi.4 Kejang epilepsi harus dibedakan
dengan sindrom epilepsi. Kejang epilepsi yaitu timbulnya kejang akibat
berbagai penyebab yang ditandai dengan serangan tunggal atau tersendiri.4
Sedangkan sindroma epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis
epilepsi yang ditandai dengan kejang berulang, meliputi berbagai etiologi,
umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas.

C. Anatomi dan Fisiologi


Otak merupakan salah satu organ vital pada tubuh yang berfungsi mengatur
segala aktivitas manusia. Otak memiliki struktur yang relatif kecil dengan berat
1400 gram dan merupakan 2% dari berat badan. Terbagi menjadi 3 subdivisi
yaitu cerebrum, truncus encephali (batang otak), dam cerebellum.
Cerebrum merupakan bagian terbesar otak yang terdiri dari 2 hemisfer, yaitu
hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh fissura longitudinalis. Cerebrum
tersusun dari korteks.12 Satu rigi lipatan korteks disebut gyrus cerebri,
sedangkan parit yang memisahkan gyrus cerebri disebut sulcus cerebri.
Berdasarkan gyrus cerebri dan sulcus cerebri yang konstan maka cerebrum
dibagi menjadi 4 lobus besar, yaitu lobus frontalis, lobus temporalis, lobus
parientalis, dan lobus occipitalis.
Lobus frontalis berperan sebagai pusat intelektual yang lebih tinggi, seperti
kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di hemisfer kiri),
pusat penghidu, dan emosi. Bagian ini mengandung pusat pengontrolan gerakan
volunteer di gyrus presentralis (area motor primer) dan terdapat area asosiasi
motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca yang mengatur
ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan sadar, perilaku sosial, motivasi
dan inisiatif.
Lobus temporalis terletak disebelah ventral sulcus lateralis dan pada
permukaan lateralnya terdapat 3 gyrus yang membentang miring, yaitu gyrus

7
temporalis superior, gyrus temporalis medius, dan gyrus temporalis inferior.
Pada sisi dalam dari sulcus lateralis terdapat beberapa lipatan pendek miring
disebut gyrus temporalis transversi dari Heschl yang merupakan cortex auditoris
primer (pusat pendengaran). Facies inferior lobus temporalis terletak pada fossa
cranii media. Pada daerah ini didapatkan gyrus temporalis inferior, gyrus
occipitotemporalis dan gyrus parahippocampalis. Bagian rostral gyrus
parahippocampalis, uncus dan stria olfactoria lateralis membentuk lobus
pyriformis yang merupakan cortex olfactorius primer (pusat penghidu). Lobus
ini berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, pendengaran, dan penghidu.
Pada lobus temporalis terdapat hippocampus yang berfungsi sebagai pusat
memori. Berdasar beberapa penelitian hippocampus berkaitan erat dengan
kejadian epilepsi. Hippocampal Sclerosis merupakan keadaan patologis yang
paling sering dikaitkan dengan kejadian Mesial Temporal Lobe Epilepsy
(MTLE).
Lobus parietalis terdapat tiga bagian, yaitu gyrus postcentralis, lobulus
parietalis superior, dan lobulus parietalis inferior. Sisi posterior dari sulcus
sentralis dan gyrus postcentralis merupakan area somesthetica primer, yang
merupakan daerah pusat rasa taktil dari reseptor superficial dan profunda
seluruh tubuh. Pada lobulus parietalis inferior teradapt region untuk proses
pemahaman dan interpretasi signal sensorikLobus occipitalis merupakan lobus
kecil yang bersandar pada tentorium cerebelli. Pada lobus occipitalis terdapat
cortex visual primer (pusat penglihatan). Korteks visual dari setiap hemisfer
menerima impuls visual dari retina sisi temporal ipsilateral dan retina sisi nasal
kontralateral dimana menangkap persepsi separuh lapangan pandang
kontralateral.

8
Batang otak terdiri dari medulla oblongata, pons, dan mesensefalon (otak
tengah). Medulla oblongata merupakan pusat refleks organ vital tubuh berfungsi
mengatur sistem respirasi, sistem kardiovaskular, sistem digestivus, serta fungsi
refleks lainnya. Pons berperan sebagai penghubung jaras kortikoserebralis yang
menyatukan hemisfer serebri dan cerebellum. Pada pons terdapat nukelus dari
beberapa saraf kranial serta neuron yang menghantarkan sinyal dari korteks
serebri ke serebellum. Sehingga kerusakan/lesi pada pons dapat menimbulkan
disfungsi serebellum, gangguan sensorik dan motorik serta gangguuan pada
saraf kranial tertentu. Mesenfalon merupakan bagian pendek dari batang otak
yang berisi apendikus sylvius, beberapa traktus serabut saraf asenden dan
desenden dan pusat stimulus refleks pendengaran (menggerakkan kepala kearah
datangnya suara). Terdapat pula neuron untuk pengendalian dan koordinasi
gerakan penglihatan.
Serebellum terletak di fossa cranii posterior. Secara anatomi tersusun dari 1
vermis serebelli dan 2 hemisfer serebelli. Serebellum bekerja dengan
memperhalus gerakan otot serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk
mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh. Sebab itu, sebellum disebut
sebagai pusat koordinasi dan keseimbangan tubuh manusia. Otak manusia

9
tersusun dari kurang lebih 100 milyar sel saraf otak. Antar sel saraf
berkomunikasi melalui mekanisme perantara listrik dan kimiawi. Otak terdiri
dari 2 jenis sel yaitu neuron dan sel glia, dimana neuron berfungsi
menghantarkan sinyal listrik, sedangkan sel glia berfungsi menunjang dan
melindungi neuron. Otak menerima 17% dari cardiac output dan menggunakan
20% total oksigen tubuh untuk metabolisme aerobik otak.
Sel saraf berfungsi untuk menerima, menginterpretasi, dan mentransmisikan
sinyal listrik. Listrik dalam digunakan untuk mengontrol saraf, otot, dan organ.
Dendrit merupakan bagian neuron yang berfungsi menerima informasi dari
rangsangan atau dari sel lain. Pada dendrit terdapat multisensor yang kemudian
akan mengubah segala rangsangan menjadi sinyal listrik. Setelah dikelola, akson
akan menghantarkan sinyal listrik dari badan sel ke sel lain atau ke organ
melalui terminal akson.
Di seluruh membran neuron terdapat beda potensial (tegangan) yang
disebabkan adanya ion negatif yang lebih didalam membran daripada di luar
membran. Keadaan ini neuron dikatakan terpolarisasi. Bagian dalam sel
biasanya mempunyai tegangan 60-90 mV lebih negatif di banding bagian luar
sel. Beda potensial ini disebut potensial istirahat neuron. Ketika ada rangsangan,
terjadi perubahan potensial sesaat yang besar pada potensial istirahat di titik
rangsangan, potensi ini di sebut potensial aksi. Potensial aksi merupakan metode
utama transmisi sinyal dalam tubuh. Stimulasi dapat berupa rangsang listrik,
fisik dan kimia seperti panas, dingin, cahaya, suara, dan bau. Jika ada impuls,
ion-ion Na+ akan masuk dari luar sel kedalam sel. Hal ini menyebabkan dalam
sel menjadi lebih positif dibanding luar sel, dan potensial membrane meningkat,
hal ini disebut depolarisasi.

10
D. Patofisiologi
Epilepsi adalah pelepasan muatan listrik yang berlebihan dan tidak teratur di
otak. Aktivitas listrik normal jika terdapat keseimbangan antara faktor yang
menyebabkan inhibisi dan eksitasi dari aktivitas listrik. Epilepsi timbul karena
adanya ketidakseimbangan faktor inhibisi dan eksitasi aktivitas listrik otak.
Terdapat beberapa teori patofisiologi epilepsi, adalah sebagai berikut:

1. Ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak

Eksitasi berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat saat


kejang. Sinyal yang dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat merekrut
sistem neuronal yang berhubungan melalui sinap, sehingga terjadi pelepasan
yang berlebihan. Sistem inhibisi juga diaktifkan saat kejang, tetapi tidak
dapat untu mengontrol eksitasi yang berlebihan, sehingga tejadi kejang.
Excitatory Postsynaptic Potentials (EPSPs) dihasilkan oleh ikatan
molekul pada reseptor yang menyebabkan terbukanya saluran ion Na atau
ion Ca dan tertutupnya saluran ion K yang mengakibatkan terjadinya
depolarisasi. Berlawanan dengan Inhibitory Postsynatic Potentials (IPSs)

11
disebabkan karena meningkatnya permeabilitas membran terhadap Cl dan K,
yang akhirnya menyebabkan hiperpolarisasi membran.
Eksitasi terjadi melalui beberapa neurotransmitter dan
neuromedulator, akan tetapi reseptor glutamate yang paling penting dan
paling banyak diteliti untuk eksitasi epilepsi. Sedangkan inhibitor utama
neurotransmitter pada susunan saraf pusat adalah Gamma Amino Butiric
Acid (GABA). Semua struktur otak depann menggunakan aksi inhibitor dan
memegang peranan fisiopatogenesis pada kondisi neurologis tertentu,
termasuk epilepsi, kegagalan fungsi GABA dapat mengakibatkan serangan
kejang

2. Mekanisme sinkronisasi
Epilepsi dapat diakibatkan oleh gangguan sinkronisasi sel-sel saraf
berupa hipersinkronisasi. Hipersinkronisasi terjadi akibat keterlibatan
sejumlah besar neuron yang berdekatan dan menghasilkan cetusan elektrik
yang abnormal. Potensial aksi yang terjadi pada satu sel neuron akan
disebarkan ke neuron-neuron lain yang berdekatan dan pada akhirnya akan
terjadi bangkitan elektrik yang berlebihan dan bersifat berulang.

3. Mekanisme epileptogenesis
Trauma otak dapat mengakitbatkan epilepsi. Iskemia, trauma,
neurotoksin dan trauma lain secara selektif dapat mengenai subpopulasi sel
tertentu. Bila sel ini mati, akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan
tunas untuk berhubungan dengan neuron diferensiasi parsial. Sirkuit yang
sembuh cenderung untuk mudah terangsang.

4. Mekanisme peralihan interiktal-iktal

12
Mekanisme yang memproduksi sinyal, sinkronisitas dan penyebaran
aktivitas sel saraf termasuk kedala teori transisi interiktal0-iktal. Dari
berbagai penelitian, mekanisme transisi ini tidak berdiri sendiri melainkan
hasil dari beberapa interaksi mekanisme yang berbeda. Terdapat dua teori
mengenai transisi interiktal-iktal, yaitu mekanisme nonsinaptik dan sinaptik.
Pada nonsinaptik adanya aktivitas iktal-interikta yang berulang
menyebabkan peningkatan kalium ekstrasel sehingga eksitabilitas neuron
meningkat. Aktivitas pompa Na-K sangat berperan dalam mengatur
eksitabilitas neuronal. Hipoksia atau iskemia dapat menyebabkan kegagalan
pompa Na-K sehingga meningkatkan transisi interiktal-iktal. Teori sinaptik
ini menyebutkan bahwa penurunan efektivitas mekanisme inhibisi sinaps
ataupun peningkatan aktivitas eksitasi sinaps dapat mencetuskan epilepsi.

5. Mekanisme neurokimiawi
Mekanisme epilepsi sangat dipengaruhi oleh keadaan neurokimia
pada sel-sel saraf, misalnya sifat neurotransmitter yang dilepaskan, ataupun
adanya faktor tertentu yang menyebabkan gangguan keseimbangan
neurokimia seperti pemakaian obat-obatan. Selain GABA dan glutamate
yang merupakan neurotransmitter penting dalam epilepsi, terdapat beberapa
produk kimiawi lain yang juga ikut berperan seperti misalnya golongan
opioid yang dapat menyebabkan inhibisi interneuron, ataupun katekolamin
yang dapat menurunkan ambang kejang. Selain itu gangguan elektrolit
akibat kegagalan pengaturan pompa ionic juga ikut mencetuskan serangan
epilepsi. Beberapa zat kimia terbukti dapat memicu terjadinya epilepsi, yaitu
alumina hydroxide gel yang menyebabkan degenerasi neuron, kematian
neuron dan penurunanaktivitasGABAergik, pilokapin yang menyebabkan
pembengkakan pada dendrit, soma dan astrosit, dan pada tahap akhir
menyebabkan kematian sel. Asam kainat terbukti dapat menginduksi kejang
dengan cara memacu reseptor excitatory amino acid (EAA).

13
Mekanisme yang mendasari epilepsi adalah onset kejang, propagasi,
dan terminasi yang belum diketahui secara pasti dan mungkin berbeda
tergantung pada jenis epilepsi. Terdapat dua keadaan pada saat epilepsy
rangsangan saraf yang berlebihan dan hubungan sinaptik yang berulang-
ulang antara neuron- neuron yang memungkinkan hipersinkronisasi.
Walaupun terdapat perbedaan pada mekanisme yang mendasari kejang fokal
dan umum, secara sederhana bangkitan kejang terjadi karena adanya
gangguan keseimbangan antara inhibisi dan eksitasi pada satu regio atau
menyebar diseluruh otak. Ketidakseimbangan ini karena kombinasi
peningkatan eksitasi dan penurunan inhibisi. Tiap sel hidup, termasuk
neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik yang disebabkan oleh
adanya potensial membran sel.
Potensial membran neuron bergantung pada permeabilitas selektif
membran neuron, yakni membran sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang
ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl,
sehingga di dalam sel terdapat konsentrasi tinggi ion K dan konsentrasi
rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat di ruang
ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan
potensial membran. Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan
dendrit-dendrit dan badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan
mengubah polarisasi membran neuron berikutnya.
Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang
memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter
inhibisi yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil
dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-
neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamat, aspartat dan asetilkolin
sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino
butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas
muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya

14
terjadi dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron.Dalam
keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan
berada dalam keadaanpolarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan
depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui
oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler.
Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan
lepas muatan listrikberlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan
listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar
suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa
beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi.Sistem-
sistem inhibisi pra dan paska sinaptik yang menjaminagar neuron-neuron
tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang
dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-
neuron akibat habisnya zat -zat yang penting untuk fungsi otak.

15
BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Patofisiologi epilepsi berupa proses iktogenesis atau proses terjadinya
serangan epileptik. Proses ini berawal dari eksitabilitas satu atau
sekelompok neuron akibat perubahan pada membran sel neuron.
Perubahan pada kelompok neuron tersebut menyebabkan
hipereksitabilitas. Proses timbulnya eksitabilitas berbeda pada tiap fokus
epilepsi. Asal timbulnya eksitabilitas dapat berasal dari:

 Neuron individual, yaitu neuron epileptik memiliki konduktansi


Ca2+ yang lebih tinggi yang disebabkan oleh perubahan struktur
dan fungsi pada reseptor membran post sinaptik

 Lingkungan mikro neuronal, perubahan kadar kation dan anion


ekstraselular berupa peningkatan kadar K+ menyebabkan
depolarisasi neuron dan pengeluaran yang berlebihan
 Populasi sel epileptik, perubahan fisiologis neuronal secara
kolektif menyebabkan produksi eksitabilitas yang progresif.

Patofisiologi epilepsi erat kaitannya dengan peranan neurotransmiter


karena kebanyakan obat antiepilepsi bekerja mengikuti fungsi dari
neurotransmiter. Mekanisme peran neurotransmitter dalam epilepsi
meliputi:

 Kadar neurotransmitter γ-aminobutyric acidA (GABA) menurun


pada fokus epileptik dan pada epilepsi terjadi penurunan inhibisi
terhadap reseptor GABA dan peningkatan metabolisme GABA
post sinaptik
 Glutamat: sinaps glutamatergik berperan penting dalam fenomena
epilepsi. Aktivasi reseptor metabotropik dan ionotropik glutamat

16
post sinaptik bersifat pro konvulsi. Pada pasien dengan serangan
absans, kadar glutamat plasma ditemukan meningkat
 Katekolamin: didapatkan penurunan kadar dopamin pada fokus
epilepsi sementara pemberian antidopamin mengeksaserbasi
serangan epilepsi

B. Saran
Bagi pembaca hasil maklah ini diharapkan dapat menambah
wawasan pengetahuan terkait dengan Patofisiologi epilepsi.

17
Daftar Pustaka

Magiorkinis E, Kalliopi S, Diamantis A (January 2010). "Hallmarks in the


history of epilepsy: epilepsy in antiquity". Epilepsy & behavior :
Saraceno, B; Avanzini, G; Lee, P, ed. (2005). Atlas: Epilepsy Care in the
World (PDF). World Health Organization. ISBN 92-4-156303-6. Diakses
tanggal 20 December 2013.

Mervyn J. Eadie; Peter F. Bladin (2001). A Disease Once Sacred: A History of


the Medical Understanding of Epilepsy. John Libbey Eurotext. ISBN 978-0-
86196-607-3.

"Epilepsy: An historical overview". World Health Organization. Feb 2001.


Diakses tanggal 27 December 2013.

Jilek-Aall, L (1999). "Morbus sacer in Africa: some religious aspects of


epilepsy in traditional cultures". Epilepsia.

Martin Caravati (2004). Medical toxicology (edisi ke-3. ed.). Philadelphia [u.a.]:
Lippincott Williams & Wilkins. hlm. 789. ISBN 978-0-7817-2845-4.
Lukas, A., Harsono, H., & Astuti, A. (2016). Gangguan kognitif pada
epilepsi. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana, 1(2), 144-152.
Budiarto, G. (1991). Patogenesa Epilepsi.
Wangidjaja, Olivia, and Budi Riyanto Wreksoatmodjo. "Tinjauan atas Epilepsi
Pasca-Trauma Kapitis." Cermin Dunia Kedokteran 49.11 (2022): 610-615.
Wijaya, J. S., Saing, J. H., & Destariani, C. P. (2020). Politerapi Anti-Epilepsi
pada Penderita Epilepsi Anak. Cermin Dunia Kedokteran, 47(3), 191-194.

18

Anda mungkin juga menyukai