Anda di halaman 1dari 33

Case Report Session

STATUS EPILEPTIKUS

Oleh:

Vokal Furkano 1110312023

Preseptor

Prof. Dr. dr. Darwin Amir, Sp.S. (K)

dr. Restu Susanti, Sp. S, M. Biomed

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF


RSUP DR M DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Case

report session ini dengan judul Status Epileptikus. Shalawat dan salam

senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr.

dr. Darwin Amir, Sp.S. (K) dan dr. Restu Susanti, Sp. S, M. Biomed sebagai

preseptor yang telah memberiksan bimbingan dan arahan dalam penyusunan Case

report session ini.

Case report session ini dibuat untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik

Ilmu Penyakit Saraf dan menambah wawasan mengenai diagnosis dan tatalaksana

Status Epileptikus. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk kesempurnaan dari

Case report session ini.

Padang, September 2016

Penulis

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR..........................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................6
1.1 Latar Belakang....................................................................................6
1.2 Batasan Masalah.................................................................................7
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................7
1.4 Metode Penulisan...............................................................................7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................8


2.1 Definisi Epilepsi dan Status Epileptikus............................................8
2.2 Epidemiologi Epilepsi dan Status Epileptikus....................................9
2.3 Etiologi Epilepsi.................................................................................10
2.4 Klasifikasi Epilepsi.............................................................................11
2.5 Patofisiologi Klinis.............................................................................13
2.6 Manifestasi Klinis...............................................................................14
2.7 Diagnosis Klinis.................................................................................15
2.8 Tatalaksana Status Epileptikus...........................................................16

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22

BAB III PRESENTASI KASUS.........................................................................23

BAB IV DISKUSI................................................................................................33

DAFTAR TABEL

3
Tabel 2.1 Etiologi epilepsi menurut WHO tahun 2002.........................................13
Tabel 2.2 International classification epilepsi......................................................15
Tabel 2.3 OAE untuk status epileptikus konvulsi..................................................20

DAFTAR GAMBAR

4
Gambar 2.1 Algortime Penanganan Kasus Kejang Akut dan Status Konvulsif.............21

BAB 1

5
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epilepsi salah satu penyakit yang dapat menyerang semua umur. Epilepsi

dapat menyebabkan abnormalitas fungsi dan mortalitas. Epilepsi merupakan salah

satu penyakit neurologi yang paling sering ditemukan terutama pada masa

pediatri.1 Masa puncak terjadinya epilepsi adalah pada masa kanak kanak dan

setelah usia 60 tahun.2

Epilepsi berasal dari kata Yunani dan Latin, epilambanmein, yang berarti

serangan. Epilepsi sering dihubungkan dengan mitos, disebabkan oleh roh jahat.2

Epilepsi didefinisikan sebagai kekacauan intermiten pada sistem saraf otak

dimana terdapat pelepasan impuls yang berlebihan pada jaringan saraf otak.3

Kejang dapat berkembang menjadi status epileptikus karena kejang

merupakan tanda suatu penyakit yang serius.4 Status epileptikus merupakan kejang

persisten dan berulang dan merupakan keadaan neuroemergensi yang

menimbulkan mortalitas tinggi dan kecacatan jangka panjang.5

Status epileptikus masih memiliki etiologi yang tidak jelas pada 20%

kasus. Pada negara berkembang, status epileptikus sering dihubungkan dengan

infeksi pada susunan saraf pusat berbeda dari negara maju yang sering

dihubungkan dengan penyakit serebrovaskular.5

Sampai saat ini, konsensus penatalaksanaan status epileptikus yang baku

belum ada. Sampai saat ini penggunaan obat golongan benzodiazepin digunakan

sebagai penggunaan obat lini pertama dan fenitoin sebagai lini kedua. Sedangkan

pada kasus status epileptikus refrakter, pentobarbital merupakan pilihan efektif.

6
Evaluasi penyebab status epileptikus sangat penting karena salah satu yang

mempengaruhi prognosis.5

1.2 Batasan Masalah

Case report session ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi,

klasifikasi, patofisiologi, manifestasi, diagnosis, dan tatalaksana status epileptikus.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan Case report session ini bertujuan untuk menambah pengetahuan

penulis dan pembaca mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi,

patofisiologi, manifestasi, diagnosis, dan tatalaksana status epileptikus.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan Case report session ini menggunakan metode tinjauan

kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur, termasuk buku teks dan

makalah ilmiah.

BAB 2

7
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Epilepsi dan Status Epileptikus


Epilepsi merupakan salah satu penyakit yang umum ditemukan pada kasus

neurologi pediatri. Kata epilepsi berasal dari bahasa Yunani yang berarti

memegang. Epilepsi didefinisikan sebagai kekacauan intermiten pada sistem

saraf otak dimana terdapat pelepasan impuls yang berlebihan pada jaringan saraf

otak.3 Epilepsi merupakan gangguan yang bersifat kronis yang ditandai dengan

adanya bangkitan kejang berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten

yang disebabkan oleh berbagai penyebab. 6 Sedangkan menurut PERDOSSI,

membagi pengertian epilepsi menjadi dua, yaitu definisi konseptual yaitu kelainan

otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptik

yang terus menerus dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan

sosial, sedangkan definisi operasional yaitu suatu penyakit otak yang ditandai

dengan minimal terdapat dua bangkitan tanpa provokasi atau dua bangkitan

refleks dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.1
Epilepsi timbul secara spontan dan berkala. Seseorang dapat dikatakan

epilepsi apabila timbulnya kejang tanpa diprovokasi oleh apapun dan bersifat

rekuren atau lebih dari dua kejadian kejang.6


Kejang dapat berkembang menjadi status epileptikus karena kejang

merupakan tanda suatu penyakit yang serius.6 Menurut Epilepsy Foundation of

America status epileptikus merupakan kejang yang terjadi secara terus menerus

selama lebih dari tiga puluh menit atau kejang berulang yang terjadi lebih dari tiga

puluh menit dimana tidak terdapat pemulihan kesadaran diantara kejang.4, 5 Status

8
epileptikus merupakan keadaan emergensi medis berupa kejang persisten atau

berulang yang dikaitkan dengan mortalitas tinggi dan kecacatan jangka panjang.5

2.2 Epidemiologi Epilepsi dan Status Epileptikus


Prevalensi dan tingkat keparahan dari epilepsi masih belum dapat

diperkirakan. Penelitian epidemiologi yang telah dilakukan di Hauser didapatkan

terdapat 44 kasus baru per 100.000 populasi tiap tahun di Amerika Serikat. 3

Diperkirakan bahwa kurang dari 1% masyarakat di Amerika Serikat mengalami

epilepsi di bawah usia 20 tahun, dimana dua per tiga dari penderita epilepsi

dimulai pada masa satu tahun pertama kehidupan. Kejadian epilepsi semakin

meningkat sedikit setelah usia 60 tahun.1, 3


Kejadian status epileptikus di Amerika Serikat terjadi 41 kasus baru per

100.000 populasi setiap tahun, sekitar 27 per 100.000 terjadi pada dewasa muda

dan 86 per 100.000 terjadi pada lanjut usia. Penelitian di Jerman ditemukan

kejadian 17,1 per 100.000 populasi tiap tahun. 5 Sekitar 10% - 12% pasien status

epileptikus terjadi pertama kali pada bayi dan anak. 4 Angka kematian status

epileptikus meningkat seiring peningkatan usia. Kematian pada anak terjadi

sekitar 3%, dewasa mencapai 26%, dan orang tua mencapai 38%. Sedangkan

menurut penelitian yang dilakukan oleh Richmond mortalitas mencapai 22%

dalam tiga puluh hari.5

2.3 Etiologi Epilepsi


Menurut WHO tahun 2002, etiologi epilepsi dapat ditimbulkan oleh

kelainan sistem.
Tabel 2.1 Etiologi epilepsi menurut WHO tahun 20026
Metabolik Hipoglikemia
Hipokalsemia
Ketidakseimbangan elektrolit
Hipomagnesimia
Hiperbilirubinemia
Uremia

9
Fenilketonuria
Porphyria
Infeksi
1. Intrakranial Meningitis
Ensefalitis
AIDS
Serebral malaria
Rabies
Cysticercosis
Encephalopathy
2. Ekstrakranial Febrile convulsion
Pertusis
Imunisasi pertusis
Tetanus
Trauma Trauma lahir
Trauma kepala
Trauma dingin (Cold Injury) pada bayi
baru lahir
Hipotermi
Anoxia Asfiksia sewaktu lahir
Bahan toksik Alkohol
Karbon monoksida
Obat-obatan ( penisilin, strychinine)
Plumbum
Organofosfat
Space-occupying lesion (SOL) Hemorrhage
Abses
Tumor
Tuberculoma
Cysticercosis
Toxoplasmosis
Gangguan peredaran darah Strok
Kelainan vascular
Krisis sel sabit
Oedema serebral Enselopati hipertensif
Eklampsia
Kelainan kongenital Hidrosefalus
Mikrosefali
Tuberous Sclerosis
Neurofibromatosis
Sturge-Webers syndrome
Penyakit degeneratif Niemann-Pick disease
Demensia
Selain itu, penyebab epilepsi dapat dibedakan menjadi 3, 7
a. Epilepsi primer; penyebab timbulnya epilepsi tidak diketahui, hingga saat

ini diduga akibat gangguan keseimbangan kimiawi di sel sel saraf otak

10
b. Epilepsi sekunder; penyebab timbulnya epilepsi diketahui, seperti kelainan

kromosom, kelainan metabolisme, infeksi susunan saraf pusat, trauma

kepala, dan tumor intrakranial.


Status epileptikus merupakan manifestasi akut dari faktor penyebabnya.

Pada daerah maju, faktor penyebab status epileptikus seperti gangguan

serebrovaskuler sedangkan di negara berkembang faktor penyebabnya adalah

infeksi susunan saraf pusat.5 Berdasarkan prevelansi penyebab kejadian status

epileptikus dapat ditimbulkan oleh (1) infeksi dengan demam (52%) seperti

kejang demam, ensefalitis, meningitis (2) kelainan susunan saraf pusat kronik

(39%) seperti ensefalopati hipoksik iskemik dan serebral palsi (3) penghentian

obat anti kejang (21%) (4) dan lain lain (<10%).4


2.4 Klasifikasi Epilepsi
Klasifikasi epilepsi pertama kali dimunculkan oleh Gastaut pada tahun

1970. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan bentuk klinis kejang dan tampilan

elektroensefalografi dan sudah diadopsi di seluruh benua sebagai International

Classification.
Tabel 2.2 International classification epilepsi3
Kejang umum (bilateral, 1. Tonik, klonik, atau tonik-klonik (grand
simetris, dan tanpa onset mal)
lokal 2. Absens (petit mal)
a. Dengan hanya penurunan kesadaran
b. Kompleks dengan brief tonic,
klonik, gerakan autonom
3. Lennox-Gastaut syndrome
4. Juvenile myoclonic epilepsy
5. Infantile spasms (West syndrome)
6. Kejang atonik (astatik, akinetik)
Kejang fokal atau parsial 1. Simpel (tanpa kehilangan kesadaran
(kejang dimulai lokal) atau perubahan fungsi luhur)
2. Kompleks (dengan perubahan
kesadaran)
a. Dimulai dari kejang parsial simpel
dan berlanjut ke perubahan
kesadaran
b. Perubahan kesadaran saat onset
Sindrom epilepsi khusus 1. Kejang mioklonik dan mioklonus

11
2. Reflex epilepsy
3. Afasia akuisita dengan gangguan
konvulsif
4. Febrile and other seizures pada anak
anak
5. Hysterical seizures
2.4.1 Kejang umum
Gangguan yang terjadi pada kedua belah hemisfer yang terjadi secara

serentak.6, 8
a. Kejang grand mal
Merupakan jenis kejang tonik-klonik dimana timbul fase tonik dan diikuti

dengan fase klonik.3 Pada kejang ini ditandai dengan fase ictal yaitu kontraksi

secara tonik otot respirasi dan laring. Ini dapat ditandai dengan sianosis. Setelah

itu diikuti dengan fase postictal yang ditandai dengan otot pasien akan menjadi

flaksid, tidak respon, sekresi air liur meningkat, dan bingung.6


Tampilan EEG kejang grand mal dapat ditemukan gelombang tegangan

volt rendah umum yang meningkat progresif diikuti dengan gelombang

beramplitudo tinggi dengan polyspike discharge saat fase tonik, dan gelombang

amplitudo tinggi yang diantara gelombang terdapat slow-wave (spike and wave

pattern).6
b. Kejang absens (petit mal)
Kejang yang ditandai dengan kehilangan kesadaran yang singkat tanpa

gangguan postural. Umumnya terjadi pada masa anak anak dan awal remaja.

Biasanya diikuti dengan kelopak mata berkedip kedip atau pergerakkan tangan

klonik yang lemah.6


Tampilan EEG menunjukkan terdapat spike and wave pattern pada 3Hz.6
c. Kejang atonik
Kejang yang ditandai dengan kelemahan otot secara tiba tiba. Dapat

disertai perubahan kesadaran, tetapi pasien dapat dengan segera pulih kesadaran.
Tampilan EEG menunjukkan gambaran spike and wave pattern yang

umum diikuti dengan slow wave.6


2.4.2 Kejang fokal atau parsial

12
Kejang yang melibatkan hanya sebahagian otak. Dikatakan kejang parsial

simpel apabila tidak terjadi perubahan kesadaran saat kejang dan dikatakan kejang

parsial kompleks apabila pasien terjadi perubahan kesadaran saat kejang.6, 8


2.5 Patofisiologi Klinis

Setiap neuron memiliki potensial membran. Adanya potensial membran

diakibatkan oleh perbedaan ion ion di antara intraselular dan ekstraselular.

Perbedaan jumlah ion inilah yang akan menimbulkan polarisasi pada membran.

Masuknya ion ke dalam intraselular melalui sinaps akan menimbulkan suatu

eksitasi, dimana eksitasi ini akan menyebabkan depolarisasi membran, sedangkan

inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi lebih dominan

daripada inhibisi maka akson akan terangsang dan timbul potensial aksi.2, 7

Ada mekanisme patologi yang menyebabkan epilepsi, yaitu

a. Mekanisme iktogenesis

Eksitasi yang timbul secara terus menerus dengan intensitas yang

tinggi disebut dengan hipereksitasi. Hal ini diakibatkan oleh

permeabilitas terhadap Ca2+ meningkat, sehingga timbul

depolarisasi yang berkepanjangan.2

b. Mekanisme epileptogensis

Peningkatan K+ di ektrasel dan penurunan kadar Ca2+ di ekstrasel

mengakibatkan perubahan konsentrasi ion. Timbulnya epilepsi

didasarkan oleh penurunan inhibisi GABAergik dan peningkatan

eksitasi glutamatergik.2

2.6 Manifestasi Klinis

13
Perubahan fisiologis sistemik sering dihubungkan dengan status

epileptikus. Perubahan yang ditemukan berupa peningkatan hasil kebutuhan

metabolik akibat kejang berulang dan perubahan autonom termasuk takikardi,

hipotensi, aritmia, hipertermia, dan dilatasi pupil. Perubahan sistemik termasuk

hipoksia, hipoglikemia, asidosis metabolik, hiperkapnia, dan gangguan elektrolit

memerlukan intervensi medis. Setelah tiga puluh menit timbul aktivitas kejang

terus menerus dapat mengakibatkan kehilangan autoregulasi serebral dan

kerusakan neuron.9

Status epileptikus tonik-klonik mempunyai dua fase sebagai berikut1, 2

a. Fase 1: Kompensasi

Selama fase ini, mekanisme fisiologis masih dapat memenuhi kebutuhan

metabolik, kebutuhan otak untuk pemenuhan oksigen masih terpenuhi atau

kerusakan metabolisme. Tetapi sudah terjadi peningkatan metabolisme serebral.

Perubahan fisiologis utama terkait dengan meningkatnya aliran darah dan

metabolisme otak, aktivitas otonom, dan perubahan kardiovaskuler.

b. Fase 2: Dekompensasi

Selama fase ini, mekanisme fisiologis tidak mampu sepenuhnya

mencukupi kebutuhan metabolik, sehingga sudah menyebabkan hipoksia otak,

dan perubahan metabolik sistemik. Sedangkan tuntutan metabolik serebral sangat

meningkat. Perubahan autonom tetap berlangsung dan fungsi kardiorespirasi

dapat gagal mempertahankan homeostasis.

2.7 Diagnosis Klinis

14
Diagnosis didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang berupa EEG dan radiologis.4, 10

2.7.1 Anamnesis

- Deskripsi kejang (bentuk, fokal atau umum, lama, frekuensi, kesadaran

saat kejang, dengan/tanpa demam, interval, kesadaran pasca kejang, dan

kelumpuhan pasca kejang)

- Penyebab timbulnya kejang (demam, trauma kepala, sesak napas, diare,

muntah, riwayat ada/tidak epilepsi, dan keteraturan minum obat)

- Riwayat kejang/epilepsi dalam keluarga

2.7.2 Pemeriksaan fisik

- Penilaian kesadaran, pemeriksaan fisik umum yang menunjang, ke arah

etiologi kejang seperti ada tidaknya demam, hemodinamik, tanda tanda

dehidrasi maupun hipoksia.

- Pemeriksaan neurologi meliputi kelainan yang ditemukan di kepala, ubun

ubun besar, tanda rangsang meningeal, nervus kranialis, motorik, refleks

fisiologis, dan patologis.

2.7.3 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan jika ditemukan indikasi untuk

memastikan diagnosa kerja seperti :

- Darah perifer lengkap, cairan serebrospinal, gula darah, elektrolit darah,

dan analisa gas darah

- Elektroensefalografi (EEG)

15
- Computed tomography (CT-Scan) atau Magnetic resonance imaging

(MRI) kepala

2.8 Tatalaksana Status Epileptikus

Tatalaksana status epileptikus dibagi menjadi penatalaksanaan umum dan

khusus. Prinsip utama tatalaksana adalah mempertahankan fungsi vital,

mengidentifikasi faktor penyebab, dan menghentikan aktivitas kejang akut.4, 5

Langkah awal yang harus dilakukan adalah memastikan bahwa pasien

sedang mengalami status epileptikus. Tindakan selanjutnya adalah memastikan

bahwa jalan nafas tidak terganggu, tekanan darah dan nadi perlu diobservasi.

Pemeriksaan neurologis perlu dilakukan untuk mencari tanda lesi fokal

intrakranial.5

Tindakan selanjutnya adalah mendapatkan akses intravena untuk

mendapatkan sampel darah untuk memeriksa serum elektrolit, ureum, glukosa,

dan hitung darah lengkap dan infus cairan isotonik. Selain itu pemberian

oksigenasi perlu diberikan untuk memastikan oksigenasi sudah adekuat.5

Jika tindakan awal sudah dilakukan, direkomendasikan untuk dilakukan

pemeriksaan CT-Scan jika tidak ditemukan kelainan negatif dapat

dipertimbangkan dilakukan pungsi lumbal untuk menyingkirkan etiologi infeksi.5

Sampai saat ini belum ada konsensus baku untuk penatalaksanaan status

epileptikus berkaitan dengan pemilihan obat dan dosis. Tetapi ada algoritme

penatalaksanaan kejang akut yang dapat dilakukan.4, 5

Menurut PERDOSSI, penatalaksanaan untuk status epileptikus (tabel 2.3):

Tabel 2.3 OAE untuk status epileptikus konvulsi1


Stadium premonitor Diazepam 10-20 mg per rektal, dapat diulangi tiap

16
( sebelum ke rumah 15 menit kemudian bila kejang masih berlanjut, atau
sakit) midazolam `0 mg diberikan intrabuccal (belum
tersedia di Indonesia)
Bila bangkitan masih berlanjut, terapi sebagai
berikut:
Status epileptikus dini Lorazepam (intravena) 0,1 mg/kgBB (dapat
diverikan 4 mg bolus, diulang satu kali 10-20 menit.
Berikan OAE yang biasa digunakan bila pasien
sudah pernah mendapat terapi OAE.
Bila bangkitan masih berlanjut terapi sebagai berikut
di bawah ini:
Status epileptikus Fenitoin i.v dosis 15-18 mg/kgBB dengan kecepatan
menetap pemberian 50 mg/menit dan/atau bolus fenobarbital
10-15 mg/kgBB i.v dengan kecepatan pemberian 100
mg/menit
Status epileptikus Anastesi umum dengan salah satu obat di bawah ini:
refrakter - Propofol1-2 mg/kgBB bolus, dilanjutkan 2-10
mg/kg/jam ditritasi naik sampai SE terkontrol
- Midazolam 0,1-0,2 mg/kg bolus, dilanjutkan
0,05-0,5 mg/kg/jam ditritasi naik sampai SE
terkontrol
- Tiopental sodium 3-5 mg/kg bolus, dilanjut 3-5
mg/kg/jam ditritasi naik sampai terkontrol
Setelah penggunaan 2-3 hari kecepatan harus
diturunkan karena saturasi pada lemak. Anestesi
dilanjutkan 12-24 jam setelah bangkitan klinis atau
ektografis terakhir, kemudian dosis diturunkan
perlahan.

17
Gambar 2.1 Algortime Penanganan Kasus Kejang Akut dan Status
Konvulsif5
Benzodiazepin

a. Diazepam

Merupakan obat pilihan pertama. Dengan dosis 5 10 mg/kgBB intravena

dapat menghentikan kejang pada sekitar 75% kasus. Pemberian dapat diberikan

secara intramuskular atau rektal, terdistribusi cepat ke seluruh tubuh dalam waktu

15 20 menit dan waktu paruh 24 jam. Efek samping yang timbul berupa depresi

pernapasan, hipotensi, dan sedatif.5

b. Lorazepam

Lorazepam mampu berikatan lebih kuat pada reseptor GABAergic

dibanding diazepam dengan efek antikonvulsan lorazepam berlangsung 6 12

jam dengan dosis 4 8 mg. Lorazepam kurang larut dalam lemak dibandingkan

dengan diazepam sehingga terdistribusi ke seluruh tubuh butuh waktu dua hingga

18
tiga jam. Lorazepam mampu menghentikan kejang pada 75% - 80% kasus. Efek

samping yang timbul hampir sama dengan diazepam.5

c. Midazolam

Midazolam diberikan jika sudah terjadi status epileptikus refrakter. Kejang

reftakter berarti kejang yang sudah berlangsung lebih dari 60 menit dengan

pengobatan yang adekuat dan tidak berespon terhadap pemberian diazepam,

fenitoin, dan fenobarbital.4, 5

Midazolam mampu melewati sawar darah otak dengan cepat dan durasi

yang singkat.

1. Agen antikonvulsan

a. Fenitoin

Fenitoin efektif pemberiannya pada kasus epilepsi kronik khususnya

kejang umum sekunder dan kejang parsial. Selain itu fenitoin juga efektif untuk

kasus status epileptikus. Efek sedatif yang ditimbulkan minim, selain itu efek

samping yang ditimbulkan berupa aritmia dan hipotensi. Fenitoin tidak dicampur

dengan dekstrosa 5% karena terjadi pembentukan kristal.6

b. Fosfenitoin

Fosfenitoin merupakan pro-drug dari fenitoin yang larut dalam air.

Fosfenitoin akan dikonversi menjadi fenitoin jika sudah memasuki intravena.

Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi fenitoin adalah 8 15 menit,

dimetabolisme di hati, dan memiliki waktu paruh 14 jam. 1,5 mg fosfenitoin

ekuivalen dengan 1 mg fenitoin, maka dosis, konsentrasi, dan kecepatan infus

intravena digambarkan sebagai phenytoin equivalent (PE). Dosis awal pemberian

19
adalah 15 20 mg PE per kgBB dengan kecepatan 150 mg PE per menit,

kecepatan pemberian infus tiga kali lebih cepat dari fenitoin intravena.5

2. Barbiturat

Golongan ini dapat diberikan jika pemberian benzodiapin atau fenitoin

gagal menghentikan kejang.

a. Fenobarbital

Pemberian dengan loading dose 15 20 mg/kgBB. Efek yang ditimbulkan

adalah efek sedatif sehingga risiko aspirasi sangat besar. Efek lain berupa

hipotensi sistemik. Defisit neurologis permanen dapat terjadi jika diinjeksikan

berdekatan dengan saraf tepi.6

b. Pentobarbital

Pentobarbital hanya diberikan untuk status epileptikus refrakter.

Efektivitas pentobarbital sangat baik dibanding obat lain, 92% untuk

pentobarbital, 80% untuk midazolam, dan 73% untuk propofol. Sedangkan

kejadian hipotensi lebih tinggi terjadi pada pentobarbital yaitu 77% dibanding

midazolam dan propofol yaitu 42% dan 30% berturut turut.6

3. Anestesi umum

a. Propofol

Propofol sangat larut dalam lemak sehingga terdistribusi dalam tubuh

kurang dari satu menit. Efek anestesi timbul dengan pemberian intravena dosis 1

2 mg/kgBB, sangat efektif dan non toksik. Propofol dapat menyebabkan depresi

nafas dan depresi serebral sehingga membutuhkan intubasi dan ventilasi.

20
Pemberian jangka panjang dapat menimbulkan asidosis, aritmia jantung, dan

rabdomiolisis.6

Pasien yang ditatalaksana dengan pemberian obat antikonvulsan secara

infus kontinu, maka harus dipertahankan selama 12 24 jam setelah kejang

berhenti. Apabila timbul kejang selama masa tappering off, maka pengobatan

dengan infus kontinu harus diperpanjang dengan memperhatikan ada/tidaknya

kejang secara klinis maupun EEG. Jika kejang tidak timbul lagi, maka tappering

off dapat dilanjutkan.5

DAFTAR PUSTAKA

1. Gunadharma S, Endang K, Machlusil H, Terapi. Dalam: Kusumastuti K,


Suryani G, Endang K. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Edisi ke-5. 2014.
Jakarta: PERDOSSI. Hal. 23-46.
2. Hasmi, M Tingkat Pengetahuan dan Sikap Guru SD Terhadap Penyakit
Epilepsi di SD Negeri 064969, SD Percobaan Negeri, dan SD Shafiyyatul
Amaliyyah Kota Medan Tahun 2013. Repository USU. 2014. Hal. 1-19

21
3. Victor M, editor (penyunting). Epilepsy and disorders of Consciousness.
Dalam : Ropper AH, Robert HB. Adams victors principles of neurology.
edisi 8th. United State : McGraw-Hill Companies. 2005, hal.271-301.
4. Pudjiadi Ah, editor (penyunting). Tatalaksana Kejang Akut dan Status
Epilepsi. Dalam : Pudjiadi AH, Badriul H, Setyo H, Nikmah SI, Ellen PG,
dan Eva DH. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta : IDAI. 2009, hal.310-4
5. Pudjiadi Ah, editor (penyunting). Tatalaksana Kejang Akut dan Status
Epilepsi. Dalam : Pudjiadi AH, Badriul H, Setyo H, Nikmah SI, Ellen PG,
dan Eva DH. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta : IDAI. 2009, hal.310-4
6. Rilianto, Beny. 2015. Evaluasi Manajemen Status Epileptikus. CDK.
42(10): 750-5
7. Rambe AS. 2010. Elektroensefalografi (EEG): Patofisiologi Timbulnya
Gelombang dan Beberapa Jenis Gelombang Normal pada EEG. Repository
USU.41(2): 15-30
8. Harsono. 2001. Epilepsi, Edisi 1, Gajah Mada University Press, Yogyakarta
9. Sirven J.I, dan Ozuna J. 2005. Diagnosing epilepsy in older adults and
geriatricts. 60(10):30-5
10. Chen JWY, Wasterlain CG. Status epilepticus: Pathophysiology and
managemenet in adults. Lancet Neurqology;6: 246-56
11. Setiaji A. Pengaruh Penyuluhan tentang Penyakit Epilepsi Anak Terhadap
Pengetahuan Masyarakat Umum. Universitas Diponegoro. 2014: 1-30

BAB 3

PRESENTASI KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. BR
Jenis kelamin : Laki - laki
Umur : 15 tahun
Suku bangsa : Mandailing

22
Alamat : Mandiliang
Pekerjaan : Pelajar

ANAMNESIS
Seorang pasien, Tn. BR, laki - laki, usia 15 tahun dirawat di bangsal
Neurologi RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 22 Agustus 2016 dengan:

Keluhan Utama : Kejang

Riwayat Penyakit Sekarang :


Kejang berulang sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, kejang
terjadi tiba tiba saat pasien sedang beristirahat.
Kejang diawali dengan kaku pada tangan dan kaki kiri selama lebih
kurang 10 detik diikuti dengan seluruh tubuh selama lebih kurang 30 detik.
Saat kejang mata lirik ke kiri, mulut berbuih, lidah tidak menggigit, dan
pasien mengompol saat kejang. Kejang berulang hingga lebih kurang 10
kali. Saat kejang, sesudah kejang, dan di antara kejang pasien tidak sadar.
Pasien muntah 3 kali, berisi apa yang dimakan sebelumnya
Tampak anggota gerak kiri kurang aktif dibanding kanan.
Nyeri kepala tidak ada saat onset
Pandangan kabur tidak ada
Riwayat trauma kepala sebelumnya tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat lemah anggota gerak kanan 2 bulan yang lalu, disertai kejang
berulang, saat itu pasien di SC Scan didapatkan infark di temporal kanan.
Pasien dirawat 1 minggu, pulang dengan keadaan sadar, jalan menyeret
kaki kanan, dan pasien tidak pernah kontrol.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Adik pasien pernah mengalami kejang demam
Tidak ada anggota keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus,
asma, dan kelainan jantung lainnya.
Riwayat Sosial, Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan:
Pasien seorang pelajar, aktivitas ringan - sedang

23
Pasien tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol
Lahir normal, berat badan lahir 3000 gr, langsung menangis

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan umum
Keadaan umum : buruk
Kesadaran : sopor (E1M2V2)
Kooperatif : tidak kooperatif
Nadi/ irama : 60 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Suhu : 37,0 oC
Keadaan gizi : baik
Turgor kulit : baik
Kulit dan kuku : pucat (-), sianosis (-)
Kelenjar getah bening
Leher : tidak teraba pembesaran KGB
Aksila : tidak teraba pembesaran KGB
Inguinal : tidak teraba pembesaran KGB

Torak
Paru
Inspeksi : normochest simetris kiri dan kanan
Palpasi : sulit dinilai
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari lateral LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : ireguler, bising (-) gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : perut tidak tampak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) N
Korpus vertebrae
Inspeksi : deformitas (-)
Palpasi : gibus (-)

Status neurologikus
1. Tanda rangsangan selaput otak
Kaku kuduk : (-)
Brudzinsky I : (-)

24
Brudzinsky II : (-)
Tanda Kernig : (-)
2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial
Pupil anisokor, diameter 5mm/3mm , reflek cahaya +/+
Muntah proyektil tidak ada

3. Pemeriksaan nervus kranialis


N. I (Olfaktorius) (sulit dinilai)
Penciuman Kanan Kiri
Subjektif
Objektif (dengan bahan)

N. II (Optikus) (sulit dinilai)


Penglihatan Kanan Kiri
Tajam penglihatan
Lapangan pandang
Melihat warna
Funduskopi

N. III (Okulomotorius)
Kanan Kiri
Bola mata Bulat Bulat
Ptosis Sulit dinilai Sulit dinilai
Gerakan bulbus Sulit dinilai Sulit dinilai
Strabismus Sulit dinilai Sulit dinilai
Nistagmus (-) (-)
Ekso/endotalmus (-) (-)
Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Refleks cahaya (+) menurun (+)
Refleks akomodasi Sulit dinilai Sulit dinilai
Sulit dinilai Sulit dinilai
Refleks konvergensi

N. IV (Trochlearis) (sulit dinilai)


Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah
Sikap bulbus
Diplopia

25
N. V (Abdusen) (sulit dinilai)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral
Sikap bulbus
Diplopia

N. VI (Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik
Membuka mulut Sulit dinilai Sulit dinilai
Menggerakkan rahang Sulit dinilai Sulit dinilai
Menggigit Sulit dinilai Sulit dinilai
Sulit dinilai Sulit dinilai
Mengunyah
Sensorik
Divisi oftalmika
- Refleks kornea Sulit dinilai Sulit dinilai
- Sensibilitas Sulit dinilai Sulit dinilai
Divisi maksila
- Refleks masetter Sulit dinilai Sulit dinilai
- Sensibilitas Sulit dinilai Sulit dinilai
Divisi mandibula
- Sensibilitas Sulit dinilai Sulit dinilai

N. VII (Fasialis)
Kanan Kiri
Raut wajah Plika
nasolabialis
kiri lebih
datar
Sekresi air mata (+) (+)
Fissura palpebra
Menggerakkan dahi Sulit dinilai Sulit dinilai
Menutup mata Sulit dinilai Sulit dinilai
Mencibir/ bersiul Sulit dinilai Sulit dinilai
Memperlihatkan gigi Sulit dinilai Sulit dinilai
Sensasi lidah 2/3 depan Sulit dinilai Sulit dinilai
Hiperakusis Sulit dinilai Sulit dinilai

N. VIII (Vestibularis)
Kanan Kiri
Suara berbisik Tidak diperiksa Tidak diperiksa

26
Detik arloji Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Rinne tes Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Weber tes Tidak diperiksa
Schwabach tes Tidak diperiksa
- Memanjang
- Memendek
Nistagmus Tidak diperiksa Tidak diperiksa
- Pendular
- Vertikal
- Siklikal
Pengaruh posisi kepala Tidak diperiksa Tidak diperiksa

N. IX (Glossopharyngeus)
Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Refleks muntah (Gag Rx) (+) (+)

N. X (Vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Simetris Simetris
Uvula Simetris Simetris
Menelan Sulit dinilai Sulit dinilai
Suara Sulit dinilai Sulit dinilai
Nadi Iregular iregular

N. XI (Asesorius)
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan Sulit dinilai Sulit dinilai
Menoleh ke kiri Sulit dinilai Sulit dinilai
Mengangkat bahu ke Sulit dinilai Sulit dinilai
kanan
Mengangkat bahu ke kiri Sulit dinilai Sulit dinilai

N. XII (Hipoglosus)
Kanan Kiri
Kedudukan lidah dalam Sulit dinilai Sulit dinilai
Kedudukan lidah dijulurkan Sulit dinilai Sulit dinilai
Tremor (-)
Fasikulasi (-)
Atropi (-)

4. Pemeriksaan koordinasi

27
Cara berjalan Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Romberg tes Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Ataksia Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Reboundphenomen Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Test tumit lutut Tidak diperiksa Tidak diperiksa

5. Pemeriksaan fungsi motorik

a. Badan Respirasi Teratur


Duduk
b. Berdiri dan Gerakan spontan Tidak dapat dilakukan
berjalan Tremor Tidak dapat dilakukan
Atetosis Tidak dapat dilakukan
Mioklonik Tidak dapat dilakukan
Khorea Tidak dapat dilakukan
c. Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Kekuatan 555 555 555 555
Tropi Eutrofi Eutropi Euttrofi Eutropi
Tonus Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus
6. Pemeriksaan sensibilitas
Sensibiltas taktil Tidak dapat dilakukan
Sensibilitas nyeri Tidak dapat dilakukan
Sensiblitas termis Tidak dapat dilakukan
Sensibilitas kortikal Tidak dapat dilakukan
Stereognosis Tidak dapat dilakukan
Pengenalan 2 titik Tidak dapat dilakukan
Pengenalan rabaan Tidak dapat dilakukan
7. Sistem refleks
a. Fisiologis Kanan Kiri Kanan Kiri
Kornea (+) (+) Biseps ++ +++
Berbangkis Triseps ++ +++
Laring KPR ++ +++
Masetter APR ++ +++
Dinding perut Bulbokvernosus
Atas Cremaster
Tengah Sfingter
Bawah

28
b.Patologis Kanan Kiri Kanan Kiri
Lengan Babinski (-) (+)
Hoffmann- (-) (-) Chaddocks (-) (-)
Tromner
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Klonus paha (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)
Tungkai (-) (-)
8. Fungsi otonom
- Miksi : baik
- Defekasi : baik
- Sekresi keringat : baik
9. Fungsi luhur : Baik
Kesadaran Tanda Dementia
Reaksi bicara Sulit dinilai Reflek glabella -
Fungsi intelek Sulit dinilai Reflek Snout -
Reaksi emosi Sulit dinilai Reflek menghisap -
Reflek memegang -
Reflek -
palmomental
Pemeriksaan laboratorium

Darah :
Rutin : Hb : 11,4 gr/dl
Leukosit : 9.840/mm3
Trombosit : 330.000/mm3
Hematokrit : 34%
Kimia Klinik : GDS 86 gr/l
Na / K 150 / 2,7
Ur / cr 26 / 0,4

Rencana pemeriksaan tambahan

CT Scan kepala dengan hasil infark di temporal kanan

29
EKG dengan hasil tanda LVH dengan VES bigemini

Diagnosis :
Diagnosis Klinis : status epileptikus
Diagnosis Topik : intrakranial (hemisfer serebri dekstra)
Diagnosis Etiologi : SOL ec susp. tumor intrakranial
Diagnosis Sekunder : Hipokalemia
Terapi :
- Umum : IVFD Asering 12jam/kolf
Elevasi kepala 30o
Oksigen 4l/menit
NGT
Kateter
- Khusus: Inj Fenitoin 3 x 75 mg
Inj Dexametason 4 x 5mg
Inj Ranitidin 2 x 50 mg
Inj Ibuprofen 3 x 100 mg
Asam folat 2 x 5 mg oral

30
Follow up
Senin, 22 Agustus 2016
S/ Penurunan kesadaran (+)
Demam (-) kejang (-)
O/
KU Kesadaran TD Nadi Nafas T
Berat sopor 120/70 64 20 37oC

SI : Rh -/- wh -/-
SN : GCS E1M2V2
TRM (-) TIK (+)
Pupil anisokor diameter 5 mm/ 3 mm
Motorik : lateralisasi ke kiri
Sensorik : rangsangan cahaya (+)
A/ status epileptikus (dalam perbaikan)
SOL ec susp. tumor intrakranial
P/ inj. Fenitoin 3 x 35mg
Asam folat 2 x 5 mg oral
Inj. Dexametason 4 x 5 mg
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
Inj. Ibuprofen 3 x 100 mg

BAB 3

DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien laki - laki berumur 15 tahun di Bangsal

Neurologi RSUP Dr. M. Djamil Padang tanggal 22 Agustus 2016 dengan

diagnosis klinis status epileptikus, diagnosis topik intrakranial hemisfer serebri

dekstra, diagnosis etiologi SOL ec susp tumor intrakranial, dan diagnosis sekunder

31
hipokalemia. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang.

Dari anamnesis didapatkan keluhan kejang berulang sejak satu minggu

sebelum masuk rumah sakit, frekuensi kejang lebih dari sepuluh kali, lama kejang

10 detik, kejang diawali dengan kaku pada tangan dan kaki kiri selama lebih

kurang 10 detik diikuti dengan kejang seluruh tubuh lebih kurang 30 detik, terjadi

tiba-tiba sewaktu pasien sedang istirahat. Pada saat kejang, mata melihat ke kiri,

mulut berbuih, serta mengompol saat kejang. Pasien tidak sadar selama kejang di

antara dan setelah kejang. Berdasarkan pengertian status epileptikus, pasien ini

dapat diarahkan ke status epileptikus karena kejang berulang kali dan berlangsung

selama lebih dari 30 menit.

Pasien pernah mengalami lemah anggota gerak kanan 2 bulan yang lalu

diikuti dengan kejangg berulang. Pasien pernah dirawat selama 1 minggu, pulang

dengan keadaan sadar, jalan dengan menyeret kaki kanan, dan kontrol tidak

teratur. Pasien pernah dilakukan CT Scan dengan hasil terdapat infark di temporal

kiri. Adik pasien pernah mengalami kejang demam.

Pada pemeriksaan fisik keadaan pasien sopor dengan GCS 5 (E1M2V2).

Selain itu ditemukan nadi iregular frekuensi 60 kali per menit. Pada kasus ini,

pasien mengalami bangkitan epilepsi yang disertai perubahan kesadaran. Tanda

tanda peningkatan intra kranial ditemukan pupil anisokor dengan diameter

5mm/3mm. Pada kasus ini dicurigai terdapat kelainan pada susunan saraf pusat

yang menjadi faktor pencetus timbulnya epilepsi. Salah satunya adalah space-

occupying lesion (SOL). Epilepsi ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang

32
dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis

dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya.

Dari hasil kimia darah ditemukan hipokalemia pada pasien. Selain itu,

pasien dilakukan pemeriksaan CT Scan dengan ditemukan lesi isodens berbatas

tidak tegas di daerah temporoparietal kanan. Tampak lesi mengobliterasi ventrikel

lateral. Terdapat midline shift ke sisi kanan sejauh 3 mm. Tampak infark infark di

temporal kanan. Dari hasil CT Scan didapatkan kelainan pada serebral dekstra

yaitu berupa SOL. SOL merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya bangkita

epilepsi. Pasien ini didiagnosis dengan status epileptikus.

Pasien ini dianjurkan untuk pemeriksaan laboratorium darah rutin dan

EEG. Pemeriksaan EEG dilakukan untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Terapi

umum yang diberikan pada pasien saat ini adalah Inj Fenitoin 3 x 75 mg, inj

Dexametason 4 x 5mg, inj Ranitidin 2 x 50 mg, inj Ibuprofen 3 x 100 mg, dan

Asam folat 2 x 5 mg oral

33

Anda mungkin juga menyukai