Pembimbing :
dr. Mukhdiar Kasim Sp.S
Disusun oleh :
M. Alkadri Anugrah
03014126
disusun oleh :
M. Alkadri Anugrah
030.14.126
Terlah diterima dan disetujui oleh pembimbing:
dr. Mukhdiar Kasim, Sp.S
Pada tanggal :
5 November 2019
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas nikmat dan karuniaNya, penulis
mampu menyelesaikan penyusunan referat yang berjudulu Epilepsi dan Status
Eileptikus pada kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Kulit Rumah Sakit Umum
Daerah Cilegon
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian referat ini, terutama
kepada :
1. Dr Mukhdiar K Sp.S selaku pembimbing yang telah memberikan kesempatan
dan bimbingannya sehingga referat ini dapat terselesaikan
2. Rekan-rekan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Neurologi RSUD
Cilegon Penulis berharap laporan kasus ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan bagi rekan – rekan kepaniteraan klinik dalam memahami lebih lanjut
mengenai Epilepsi dan status epileptikus
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang membangun guna
menyempurnakan makalah ini sangat penulis harapkan. Demikian yang penulis dapat
disampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Terima
Kasih.
Penulis
3
DAFTAR ISI
KESIMPULAN ........................................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 27
4
BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai dengan episode kejang yang dapat
disertai hilangnya kesadaran penderita. Meskipun biasanya disertai hilangnya
kesadaran, ada beberapa jenis kejang tanpa hilangnya kesadaran. Penyakit ini
disebabkan oleh ketidakstabilan muatan listrik pada otak yang selanjutnya
mengganggu koordinasi otot dan bermanifestasi pada kekakuan otot atau pun
hentakan repetitif pada otot. Dokter di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
harus mampu menegakkan diagnosis epilepsi berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cermat. Autoanamnesis dan alloanamnesis terhadap pasien,
orang tua atau orang yang merawat dan saksi mata yang mengetahui. kejadian
diperlukan untuk menggambarkan gejala dan tanda sebelum, selama dan sesudah
bangkitan dan untuk menentukan apakah bangkitan yang terjadi adalah suatu
bangkitan epileptik atau bukan. Apabila diagnosis epilepsi sudah ditegakkan, secara
klinis maka dokter di tingkat layanan primer harus segera merujuk pasien ke fasilitas
kesehatan tingkat lanjut yang memiliki dokter spesialis neurologi untuk mendapatkan
penanganan lanjutan guna menentukan terapi terbaik bagi pasien. Terapi Obat Anti
Epilepsi (AOE) dapat diberikan oleh dokter di layanan primer berdasarkan hasil
konsultasi (rujukan balik) dari spesialis neurologi kecuali pada daerah yang tidak ada
dokter spesialis neurologi dokter FKTP boleh memberi pertolongan sebelum merujuk.
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan kondisi bebas bangkitan dengan
efek samping seminimal mungkin sehingga penyandang epilepsi dapat hidup secara
normal dan mencapai kualitas hidup yang optimal. Terapi penyandang epilepsi. dibagi
menjadi terapi farmakologis dan non farmakologis (edukasi dan konseling).
Keberhasilan terapi penyandang epilepsi sangat tergantung pada kepatuhan pasien
dalam menjalani terapi yang diberikan. Oleh karena itu, dokter di layanan primer
berperan penting dalam memantau perkembangan terapi serta memberikan edukasi
kepada penyandang epilepsi atau keluarganya tentang penyakit yang dideritanya.
Hasil penatalaksanaan epilepsi hendaknya dipantau secara terencana dan
berkesinambungan serta dicatat pada rekam medis di lembar pemantauan. Kegawatan
merupakan suatu keadaan dimana seseorang berada dalam keadaan kritis dan apabila
tidak dilakukan suatu usaha atau tindakan akan menyebabkan kematian. Salah satu
kegawat daruratan di bidang neurologi adalah status epileptikus. Walaupun di
5
Indonesia belum merupakan problem kesehatan masyarakat yang besar. Status
epileptikus ditegakkan apabila kejang yang terjadi bersifat kontinyu, berulang dan
disertai gangguan kesadaran dengan durasi kejang yang berlangsung lebih dari 30
menit. Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius karena terjadi terus
menerus tanpa berhenti dimana terdapat kontraksi otot yang sangat kuat, kesulitan
bernapas dan muatan listrik di dalam otaknya menyebar luas sehingga apabila status
epileptikus tidak dapat ditangani segera, maka besar kemungkinan dapat terjadi
kerusakan jaringan otak yang permanen dan dapat menyebabkan kematian. Oleh
karena itu, gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi secepat mungkin. Rata-
rata 15% penderita meninggal, walaupun pengobatan dilakukan secara tepat. Lebih
kurang 60-80% penderita yang bebas dari kejang setelah lebih dari 1 jam akan
menderita cacat neurologis atau berlanjut menjadi penderita epilepsi.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai oleh adanya kecendrungan untuk
menimbulkan bangitan epilepsi , yang ditandai dengan episode kejang secara terus
menerus dengan konsekouensi neurobiologis, kognitif, psikologis dan sosial 1
2.2 Epidemiologi
2.4 Etiologi
7
Etiologi struktural
b. Trauma
Brain Injury (cidera otak) adalah salah satu faktor risiko terpenting untuk
epilepsi. Dalam peneltian berbasis populai besar dilakukan di Rochestar
(USA), trauma kepala diidentifikasikan sebagai penyebab epilepsi pada 6%
dari populasi. Epilepsi bergantung pada tingkat cedera. Pada kasus cedera otak
ringan (Mild Brain Injury) didefinisikan sebagai trauma langsung pada kepala
dan ditandai oleh perubahan fungsi otak, yaitu kehilangan kesadaran, amnesia,
8
defisit sementra neurologi fokal. Sementara Cedera otak berat/Severe Brain
Injury (SBI) menyajikan cedera struktural termasuk kontusio (memar otak)
atau perdarahan intrakranial 8. Epilepsi setelah cedera otak/brain injury dapat
merupakan konsekuensi dari beberapa proses kompleks, misalnya akibat
kerusakan otak lansung, deposisi besi (Fe) dari ekstravasasi pembuluh darah,
peningkatan eksitotoksitas akibat akumulasi glutamat. Cedera aksonal difus,
edemat atau iskemia. Bukti kerusakan kortikal, adanya deposit hemosidetin
dan jaringan parut gliotik pada MRI menjadi prediktor penting untuk epilepsi9.
Genetik
Konsep epilepsi genetik adalah hasil langsung dari mutasi genetik yang diketahui atau
diduga dimana kejang adalah gejala inti dari gangguan tersebut. Etiologi genetik
didasarkan pada riwayat keluarga dengan gangguan autosom dominan, misalnya pada
Sindrom Benign Familial Epilepsi Neonatal. Sebagian besar keluarga mengalami
10
mutasi salah satunya adalah kanal kalium, KCNQ1 atau KCNQ3 . Etiologi genetik
tidak dapat mengeksklusikan kontribusi lingkungan. Faktor lingkungan berkontribusi
terhadap gangguan kejang. Misalnya banyak orang dengan epilepsi lebih cendeurng
mengalami kekurangan tidur, stres, dan penyakit penyerta lain. Etiologi genetik
mengacu pada varian aptgen (mutasi) berpengaruh signifikan dalam menyebabkan
epilespi individu.
Infeksi
Etiologi paling umum epilepsi didunai adalah sebagai akibat dari infeksi. Sebagai
contoh infeksi yang biasa dapat menyebabkan kejang diantaranya neurocysticercosis,
TBC, HIV, malaria serebral, subakut panencephalitis sclerosing, toksoplasmosis
serebral, dan infeksi bawaan seperti virus Zika dan cytomegalovirus. Infeksi ini
terkadang memiliki korelasi structural. Dalam kasus ensefalitis virus, virus herpes
simpleks adalah agen penyebab paling umum yang sering dikaitkan dengan epilepsy.
Tingginya kejadian epilepsy setelah Ensefalitis yang disebabkan oleh virus herpes
simpleks diakibatkan karena sifat HSV yaitu nekrotik dan terdapat keterlibatan mesial
temporal dan basifrontal yang sangat epileptogenic. Pada sebuah penelitian
didapatkan perubahan langsung dalam jaringan saraf CA3 hipocampal yang
memainkan peran penting dalam memfasilitasi pengembangan kejang akut dan
epilepsy berikutnya 11
9
Metabolik
Konsep metabolisme epilepsi adalah hasil langsung dari yang diketahui atau diduga
gangguan metabolisme dimana kejang adalah inti gejala yang muncul. Penyebab dari
metabolisme merupakan manidestasi dari perubahan biokimia dalam tubuh seperti
porfiria, uremia, aminoacidopathes. Dalam beberapa kasus epilepsi metabolik
memiliki dasar gebetik. Gangguan metabolism tampaknya menjadi penyebab
epilepsy yang mungkin terutama pada pasien usia lanjut disebabkan oleh non-ketotic
hyperglycemia (NKH) Etiologi ini sangat umum di Thailand, dimana diidentifikasi
pada 34 dari 75 pasien dengan Epilepsi ,. Patogenesis pada epilepsi NKH belum
cukup diklarifikasi. Penyebab metabolic lain yang dilaporkan termasuk hipokalsemia,
ensefalopati hepatic, toksemia graviditatis, dan gagal ginjal.
Sistem Imun
Konsep epilepsy imun adalah hasil langsung dari gangguan imun yang menyebabkan
gejala utama kejang. Etiologi oleh karena imun dapat dikonseptualisasikan sebagai
dimana ada bukti autoimun yang dimediasi inflamasi pada system saraf pusat.
Diagnose ensefalitida autoimun dengan cepat meningkat, contohnya dalam test
antibody ditemukan anti-NMDA (N-methyl-D-aspartate) yang merupakan reseptor
ensefalitis . munculnya entitas ini agar dapat diberikan perawatan implikasi dengan
imunoterapi yang ditargetkan 12
2.5 Klasifikasi
Klasifikasi epilepsy yang digunakan secara luas adalah klasifikasi oleh International
League Against Epilepsy (ILAE) 1981 yang terdiri dari 3 kategori utama yaitu kejang
parsial, kejang umum dan kejang yang tak terklasifikasi. Serangan epilepsi tidak
selalu disertai dengan kejang dan sebaliknya, kejang belum tentu dapat dikatakan
epilepsi. Berikut gambaran klinis berdasarkan tipe kejangnya 13,14,15
10
sekunder sensorik khusus
b. Kejang parsial
kompleks dengan onset
parsial sederhana diikuti
gangguan kesadaran
c. kejang parsial sederhana
menjadi kejang umum,
kejang parsial kompleks
menjadi kejang umum
2. Kejang umum a. Kejang absans
b. Kejang mioklonik
c. Kejang klonik
d. Kejang tonik-klonik
e. Kejang atonik
3. Kejang yang tidak
terklasfikasi
11
2) Kejang parsial kompleks Sekitar 80% dari kejang ini berasal dari temporal lobe,
bagian otak yang berdekatan dengan telinga. Gangguan pada bagian tersebut dapat
mengakibatkan penurunan kesadaran atau dapat terjadi perubahan tingkah laku
misalnya automatisme. Pasien kemungkinan mengalami kehilangan kesadaran secara
singkat dan tatapan kosong. Kejang ini seringkali diawali dengan aura. Episode
serangan biasanya tidak lebih dari 2 menit. Sakit kepala yang berdenyut kemungkinan
terjadi pada kejang tipe ini.
b. Kejang umum
Kejang umum dapat terjadi karena gangguan sel saraf yang terjadi pada daerah otak
yang lebih luas daripada yang terjadi pada kejang parsial. Oleh karena itu, kejang ini
memiliki efek yang lebih serius pada pasien.
12
mental. Kejang tipe ini kurang efektif dikendalikan dengan antiepilepsi dibandingkan
tipe kejang absence tipikal
3. Kejang atonik
Serangan tipe atonik ini jarang terjadi. Pasien dapat tiba-tiba mengalami kehilangan
kekuatan otot yang mengakibatkan pasien terjatuh, namun dapat segera pulih kembali.
Terkadang terjadi pada salah satu bagian tubuh, misalnya mengendurnya rahang dan
kepala yang terkulai.
4. Kejang mioklonik
Kejang tipe ini ditandai oleh kontraksi otot-otot tubuh secara cepat, bilateral, dan
terkadang hanya terjadi pada bagian otot-otot tertentu. Biasa terjadi pada pagi hari
setelah bangun tidur, pasien mengalami hentakan yang terjadi secara tiba-tiba.
13
C. Kejang yang tak terklasifikasikan
Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung oleh data yang
cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan kejang yang sering terjadi pada
neonatus. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya perbedaan fungsi dan hubungan
saraf pada sistem saraf pusat di bayi dan dewasa
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat
serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
1. Anamnesis
14
trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler,
meningitis, gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu. Penjelasan dari
pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah
serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang
sangat penting dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis (auto dan
aloanamnesis), meliputi :
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g Usia saat terjadinya serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering
dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan
diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada 21 EEG, kelainan
fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak.
15
Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal
bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal Pemeriksaan EEG bertujuan
untuk membantu menentukan prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya
pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE).
b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis
bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua
pemeriksaan yang sering digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan)
dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan
maka MRI lebih sensitif 22 dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hippocampus kiri dan kanan. MRI dapat
menunjukkan ke lesi struktural dari korteks dan substansia alba. Dengan akses
yang lebih mudah ke MRI dan ketersediaan modalitasi pencitraan resolusi
yagn lebih tinggi, etiologi EPC secara radiografi seperti displasia kortikal
fokal, lebih sering dilaporkan. Positron emission tomography (PET) scanning
and single-photon-emission computed tomography (SPECT) muncul sebagai
alat penelitian yang berguna dalam evaluasi efek metabolik, terutama ketika
Computed tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
menemukan kondisi yang normal. Penelitian PET scan juga cenderung
meningkatkan pemahaman tentang fitur biokimia dan metabolik yagn terkait
dengan fisiologi abnormal dan akibatnya mereka dapat memberikan infomrasi
yang signifikan.
16
2.7 Tatalaksana 17, 18
Perawatan harus fokus pada kondisi yang mendasarinya, obat antiepilepsi
(AED) biasanya dicoba untuk mencegah penyebaran kejang.
Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari
serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan
sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus 23 menerus maka
kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya
17
kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang
harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan
berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah
atau dikontrol dengan obatobatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas kejang.
Sampai pada tahun 1993, hanya fenobaribital, pirimidon, fenitoin, carbamazepin dan
valproat yang tersedia. Fenitoin terbatas pada status epileptikus yang sulit, mengingat
ketersediaan dalam formulasi intravena. Fenitoin dianggap neurotoksis dan
berhubungan dengan atrofi serebral dan polineuropati dengan perawatan kronik.
Fenobarbital dan pirimidon terkadang digunakan pada pasien dengan masalah
kepatuhan obat, dikarenakan keduanya memiliki waktu paruh yang panjang, namun
efek samping keduanya adalah menyebabkan defisiensi vitamin D dan osteoporosis,
sehingga harus dijadikan pilihan terakhir dalam terapi epilepsi. Tujuan terpenting
dalam pengobatan adalah mempertahankan kadar obat dalam therapeutic range tanpa
menimbulkan gejala toksik, setelah pemberian dosis tunggal OAE, kadar plasma akan
tercapai dalam waktu tertentu tergantung pada proses absorbsi. Obat antiepilepsi dosis
konvensional dengan persediaan enzim yang cukup akan mengikuti kaidah first order
enzyme kinetics yaitu kecepatan biotransformasi bertambah secara linier dengan
konsentrasi obat. Kadar enzim yang telah jenuh akan menyebabkan kecepatan
biotransformasi akan tetap sama pada konsentrasi obat yang berbeda (zero order).
Kenaikan dosis sedikit saja akan menyebabkan peningkatan kadar plasma yang
berlebihan dan menimbulkan gejala toksik
Fenitoin
Fenitoin berguna untuk kejang tonik-klonik, kejang parsial Absorbsi per oral
berlangsung lambat dan tidak lengkap dengan 10% dari dosis oral akan diekskresikan
bersama tinja dalam bentuk utuh, kadar puncak akan tercapai dalam 3-12 jam.
Pemberian dalam bentuk injeksi intramuskular akan menyebabkan pengendapan di
tempat suntikan kira–kira 5 hari dan absorbsinya berlangsung lambat. Obat ini kurang
baik untuk pengobatan jangka panjang pada anak karena banyak efek samping dan
adanya variasi yang besar dalam absorbsi dan metabolisme yang mudah terganggu
oleh antikonvulsan lain. Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah nistagmus,
ataxia, letargis, bradikardi, hipotensi. Efek idiosinkrasi fenitoin adalah hyperplasia
ginggiva,
18
jerawat, defisiensi asam folat, kemerahan
Fenobarbital
Fenobarbital (asam 5,5 fenil etil barbiturat) merupakan obat yang efektif untuk kejang
parsial sederhana kompleks dan kejang tonik-klonik umum (grand mal). Efikasi,
toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat yang
penting untuk tipe-tipe epilepsi ini. Efek sedasi serta kecenderungan menimbulkan
gangguan perilaku pada anak telah mengurangi penggunaannya sebagai obat utama
Aksi utama. fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan
natrium dan kalium. Fenobarbital menurunkan kadar kalsium dan mempunyai efek
langsung terhadap reseptor GABA, aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan
durasi pembukaan reseptor GABA dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida
(Solehiomran dkk., 2010). Dosis awal penggunaan fenobarbital 4-6 mg/kg/hari dalam
2 dosis dan akan mencapai kadar terapeutik dalam 2-3 minggu. Fenobarbital juga
dapat menyebabkan peningkatan profil lipid dan sindrom Stevens-Johnson
Karbamazepin
Karbamazepin merupakan golongan antidepresan trisiklik. Karbamazepin digunakan
sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonik-klonik. Karbamazepin
menghambat kanal natrium yang mengakibatkan masuknya ion natrium kedalam
membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi
terus-menerus pada neuron (Radeef dkk., 2013). Dosis pada anak dengan umur
kurang dari 6 tahun 10-30 mg/kg/hari dibagi dalam 2-3 dosis sehari, pemberian
dimulai dengan dosis 5-10 mg/kg/hari dinaikkan setiap 5-7 hari sampai mencapai
target 15-20 mg/kg/hari .
19
Namun, dewasa ini ditemukan bahwa asam valproat merupakan yang paling bersifat
teratogenik, sehingga dilarang penggunannya terhadap perempuan karena dapat
menyebabkan malformasi kongenital. Pada tahun 2015 Badan regulasi obat Inggris
menyaranka agar valproat tidak digunakan pada anak-anak perempuan dan
perempuan muda. Untuk itu digunakan jenis obat baru yang dikatakan memiliki efek
samping minimal dan memberikan efektivtas yang lebih baik.
20
setiap kejang yang berlangsung selama lebi dari 5 menit atau lebih harus
dipertimbangkan sebagai status epileptikus 18.
Nilai mortalitas akibat status epileptikus bervarias dari 3-5% dalam berbagai
penelitian . pada pasien usia lanjut, status refrakter epileptikus dapat menyebabkan
kematian pada lebih dari 76% kasus. Diperkirakan bahwa 150.000 kasus status
epileptikus terjadi setiap tahun di AS, dengan 55.000 kematian terkait. Sangat penting
untuk dokter dapat mengidentifikasi dan mengobati SE dengan cepat dan efisien. SE
yang berkepanjangan dapat menyebabkan disritmia jantung, gangguan metabolisme,
disfungsi otonom, edema paru neurogenik, hipertermia, dan aspirasi paru. Kerusakan
neurologis juga dapat terjadi pada SE yang berkepanjangan 19.
3.2 Patofisiologi
Studi klinis dan eksperimental telah menunjukkan bahwa SE berevolusi melalui fase
inisiasi ke fase pemeliharaan. Pada fase inisiasi, rangsangan pemicu membangkitkan
kejang yang cenderung mereda segera setelah rangsangan dikeluarkan. Pada fase
pemeliharaan selanjutnya kejang diskrit bergabung bersama menjadi sebuah
kontinum, dengan memicu rangsangan tidak lagi diperlukan untuk mempertahankan
urutan kejang. Intensitas dan durasi stimulasi memiliki pengaruh langsung pada
transisi dari fase inisiasi ke fase pemeliharaan. Berbagai molekul pensinyalan seperti
antagonis GABA-A (γ-aminobutyric acid), agonis glutamat, agonis kolinergik
(muskarinik), tachykinin, antagonis galanin, dan antagonis opiat k telah ditemukan
terlibat dalam fase inisiasi. Berbeda dengan ini, lebih sedikit yang diketahui tentang
fase pemeliharaan. Faktanya, hanya sejumlah kecil molekul yang ditemukan yang
menghalangi fase pemeliharaan (mis. Antagonis NMDA (N-metil-D aspartat),
antagonis zat P, galanin, dan dinorfin). Aktivasi reseptor NMDA menghasilkan
peningkatan kadar kalsium intraseluler, yang mungkin bertanggung jawab atas cedera
sel saraf yang terlihat pada pasien dengan SE 20.
21
menggunakan fitur elektroklinik, SE dapat diklasifikasikan secara luas sebagai
SE konvulsif dan SE nonkonvulsif
a. Status epileptikus konvulsif
SE konvulsive (CSE) dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi
(a)tonik-klonik SE, (b) tonik SE, (c) klonik SE dan (d) SE mioklonik. SE
umum tonik-klonik adalah bentuk paling umum dari SE. Myoclonic SE
muncul sebagai myoclonus masif bilateral, bersama dengan pelepasan
polyspike pada EEG, dan biasanya membawa prognosis yang baik. Tetapi
status mioklonik yang mengikuti penghinaan hipoksik-iskemik berat,
ensefalitis virus, dan penyakit prion dikaitkan dengan prognosis yang buruk.
Ulasan ini berkaitan terutama dengan SE tonik-klonik umum, yang merupakan
bentuk SE paling umum diamati dalam praktek klinis.
22
3.3. Derajat Status Epileptikus 22
SE dapat secara luas dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama ditandai dengan kejang
tonik-klonik umum yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas otonom, yang
mengakibatkan hipertensi, hiperglikemia, berkeringat, mengeluarkan air liur, dan
hiperpireksia. Selama fase ini, aliran darah otak meningkat karena meningkatnya
permintaan metabolisme otak. Setelah sekitar 30 menit aktivitas kejang, pasien
memasuki fase kedua, yang ditandai dengan kegagalan autoregulasi otak, penurunan
aliran darah otak, peningkatan tekanan intrakranial, dan hipotensi sistemik. Selama
fase ini, disosiasi elektromekanis dapat terjadi di mana, meskipun aktivitas kejang
serebral listrik berlanjut, manifestasi klinisnya mungkin terbatas pada kedutan ringan.
23
3.4 Tatalaksana 23
3.5 Prognosis 24
SE memiliki prognosis yang beragam . Dalam studi berbasis rumah sakit besar,
kematian bervariasi 3-50%. Faktor-faktor yang terkait dengan mortalitas tinggi
termasuk kejang refrakter, etiologi simptomatik akut (mis., Hipoksia atau infeksi
sistem saraf pusat), gangguan kesadaran, durasi SE yang lebih lama, dan usia yang
lebih tua (> 70 tahun). Dekompensasi kardiovaskular selama SE, komplikasi medis,
dan overtreatment dengan AED juga dapat mempengaruhi mortalitas yang berlebihan.
Koma dengan status elektrografi berulang dan disfungsi multiorgan membawa hasil
24
klinis yang buruk. Durasi kejang adalah satu-satunya prediktor utama kematian pada
analisis multivariat dalam satu penelitian, dengan durasi <10 jam menghasilkan
mortalitas yang lebih rendah (10%) dan durasi> 20 jam dalam mortalitas tinggi
(85%). Hasil di RSE buruk; mortalitas hampir 50%, dan hanya sebagian kecil pasien
(terutama mereka yang memiliki epilepsi yang sudah ada sebelumnya dan tidak ada
proses otak akut) kembali ke fungsi dasar premorbid mereka.
25
BAB III
KESIMPULAN
Status epilepticus (SE) adalah keadaan darurat medis yang terkait dengan morbiditas
dan mortalitas yang signifikan. SE didefinisikan sebagai kejang terus menerus yang
berlangsung lebih dari 30 menit, atau dua atau lebih kejang tanpa pemulihan penuh
kesadaran di antara mereka. Berdasarkan pemahaman patofisiologi baru-baru ini,
sekarang dianggap bahwa setiap kejang yang berlangsung lebih dari 5 menit mungkin
perlu diperlakukan sebagai SE. Mekanisme GABAergik memainkan peran penting
dalam mengakhiri kejang. Ketika kejang berlanjut, mekanisme yang dimediasi GABA
menjadi tidak efektif . Pengobatan awal SE dengan benzodiazepin, diikuti jika perlu
dengan pemberian fosfenytoin, adalah strategi yang paling banyak diikuti. Sekitar
sepertiga dari pasien dengan SE mungkin mengalami kejang yang persisten terhadap
obat lini . Mereka memerlukan penatalaksanaan agresif dengan obat lini kedua seperti
barbiturat, propofol, atau agen lain. Di negara berkembang di mana fasilitas ventilasi
bantu tidak tersedia, mungkin bermanfaat untuk menggunakan obat antiepilepsi
nonsedasi (seperti natrium valproat, levetiracetam, atau topiramat) pada tahap ini.
Penting untuk mengenali SE dan memulai pengobatan sedini mungkin untuk
menghindari keadaan refraktori. tidak lupa juga memperhatikan kondisi umum pasien
dan untuk memastikan bahwa pasien stabil secara hemodinamik
26
REFERENSI
27
from ILAE. Available at: http://www.ilae.org/
Visitors/Centre/Definition_Class.cfm.
14. Berg AT, Berkovic SF, Brodie MJ, et al. Revised terminology and concepts
for organization of seizures and epilepsies: report of the ILAE Commission on
Classification and Terminology, 2005- 2009. Epilepsia 2010;51:676e85.
15. Korff CM, Scheffer IE. Epilepsy classification: a cycle of evolution and
revolution. Curr Opin Neurol 2013;26:163e7.
16. Halasz P, Kalviainen R, Mazurkiewicz-Beldzinska M, et al. Adjunctive
lacosamide for partial-onset seizures: Efficacy and safety results from a
randomized controlled trial. Epilepsia. 2009;50:443–53.
17. Doty P, Hebert D, Mathy FX, et al. Development of lacosamide for the
treatment of partial-onset seizures. Ann N Y Acad Sci. 2013;1291:56–68
18. Vogl C, Mochida S, Wolff C, et al. The synaptic vesicle glycoprotein 2A
ligand levetiracetam inhibits presynaptic Ca2+ channels through an
intracellular pathway. Mol Pharmacol. 2012;82:199–208.
19. Logroscino G, Hesdorffer DC, Cascino GD, Annegers JF, Bagiella E, Hauser
WA. Long-term mortality after a first episode of status
epilepticus. Neurology. 2002;58:537–41
20. Lothman E. The biochemical basis and pathophysiology of status
epilepticus. Neurology. 2003;40:13–23
21. Kapur J, Lothman EW. Loss of inhibition precedes delayed spontaneous
seizures in the hippocampus after tetanic electrical stimulation. J
Neurophysiol. 2009;61:427–34
22. Bleck TP. Refractory status epilepticus in 2001. Arch Neurol. 2002;59:188–9
23. Coplin WM, Pierson DJ, Cooley KD, Newell DW, Rubenfeld GD.
Implications of extubation delay in brain-injured patients meeting standard
weaning criteria. Am J Respir Crit Care Med. 2009;161:1530–6
24. Naritoku DK, Sinha S. Prolongation of midazolam half-life after sustained
infusion for status epilepticus. Neurology. 2010;54:1366–8
28