Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

EPILEPSI DAN STATUS EPILEPTIKUS

Pembimbing :
dr. Mukhdiar Kasim Sp.S

Disusun oleh :
M. Alkadri Anugrah
03014126

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT


RSUD CILEGON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 28 Oktober 2019 – 30 Nov 2019
LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul

“Epilepsi dan Status epileptikus”

disusun oleh :
M. Alkadri Anugrah
030.14.126
Terlah diterima dan disetujui oleh pembimbing:
dr. Mukhdiar Kasim, Sp.S

Pada tanggal :
5 November 2019

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Kulit
RSUD Cilegon
Periode

Cilegon, 5 November 2019


Pembimbing

dr. Mukhdiar Kasim, Sp.S

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas nikmat dan karuniaNya, penulis
mampu menyelesaikan penyusunan referat yang berjudulu Epilepsi dan Status
Eileptikus pada kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Kulit Rumah Sakit Umum
Daerah Cilegon
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian referat ini, terutama
kepada :
1. Dr Mukhdiar K Sp.S selaku pembimbing yang telah memberikan kesempatan
dan bimbingannya sehingga referat ini dapat terselesaikan
2. Rekan-rekan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Neurologi RSUD
Cilegon Penulis berharap laporan kasus ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan bagi rekan – rekan kepaniteraan klinik dalam memahami lebih lanjut
mengenai Epilepsi dan status epileptikus
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang membangun guna
menyempurnakan makalah ini sangat penulis harapkan. Demikian yang penulis dapat
disampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Terima
Kasih.

Cilegon ,5 November 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... i


KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
PENDAHULUAN .................................................................................................... 5
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 7
2.1 Definisi Epilepsi................................................................................................... 7
2.2 Etiologi ................................................................................................................ 6
2.3 Epidemiologi ........................................................................................................ 6
2.4 Etiologi ................................................................................................................. 7
2.5 Klasifikasi ............................................................................................................ 10
2.6 Penegakkan diagnosis .......................................................................................... 14
2.7 Tatalaksana .......................................................................................................... 17
3.1 Definisi Status epileptikus ................................................................................... 21
3.2 Patofisiologi ......................................................................................................... 21
3.3 Klasifikasi status epileptikus................................................................................ 21
3.4 Derajat status epileptikus ..................................................................................... 23
3.5 Tatalaksana ......................................................................................................... 24
3.6 Prognosis .............................................................................................................. 24

KESIMPULAN ........................................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 27

4
BAB I
PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai dengan episode kejang yang dapat
disertai hilangnya kesadaran penderita. Meskipun biasanya disertai hilangnya
kesadaran, ada beberapa jenis kejang tanpa hilangnya kesadaran. Penyakit ini
disebabkan oleh ketidakstabilan muatan listrik pada otak yang selanjutnya
mengganggu koordinasi otot dan bermanifestasi pada kekakuan otot atau pun
hentakan repetitif pada otot. Dokter di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
harus mampu menegakkan diagnosis epilepsi berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cermat. Autoanamnesis dan alloanamnesis terhadap pasien,
orang tua atau orang yang merawat dan saksi mata yang mengetahui. kejadian
diperlukan untuk menggambarkan gejala dan tanda sebelum, selama dan sesudah
bangkitan dan untuk menentukan apakah bangkitan yang terjadi adalah suatu
bangkitan epileptik atau bukan. Apabila diagnosis epilepsi sudah ditegakkan, secara
klinis maka dokter di tingkat layanan primer harus segera merujuk pasien ke fasilitas
kesehatan tingkat lanjut yang memiliki dokter spesialis neurologi untuk mendapatkan
penanganan lanjutan guna menentukan terapi terbaik bagi pasien. Terapi Obat Anti
Epilepsi (AOE) dapat diberikan oleh dokter di layanan primer berdasarkan hasil
konsultasi (rujukan balik) dari spesialis neurologi kecuali pada daerah yang tidak ada
dokter spesialis neurologi dokter FKTP boleh memberi pertolongan sebelum merujuk.
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan kondisi bebas bangkitan dengan
efek samping seminimal mungkin sehingga penyandang epilepsi dapat hidup secara
normal dan mencapai kualitas hidup yang optimal. Terapi penyandang epilepsi. dibagi
menjadi terapi farmakologis dan non farmakologis (edukasi dan konseling).
Keberhasilan terapi penyandang epilepsi sangat tergantung pada kepatuhan pasien
dalam menjalani terapi yang diberikan. Oleh karena itu, dokter di layanan primer
berperan penting dalam memantau perkembangan terapi serta memberikan edukasi
kepada penyandang epilepsi atau keluarganya tentang penyakit yang dideritanya.
Hasil penatalaksanaan epilepsi hendaknya dipantau secara terencana dan
berkesinambungan serta dicatat pada rekam medis di lembar pemantauan. Kegawatan
merupakan suatu keadaan dimana seseorang berada dalam keadaan kritis dan apabila
tidak dilakukan suatu usaha atau tindakan akan menyebabkan kematian. Salah satu
kegawat daruratan di bidang neurologi adalah status epileptikus. Walaupun di

5
Indonesia belum merupakan problem kesehatan masyarakat yang besar. Status
epileptikus ditegakkan apabila kejang yang terjadi bersifat kontinyu, berulang dan
disertai gangguan kesadaran dengan durasi kejang yang berlangsung lebih dari 30
menit. Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius karena terjadi terus
menerus tanpa berhenti dimana terdapat kontraksi otot yang sangat kuat, kesulitan
bernapas dan muatan listrik di dalam otaknya menyebar luas sehingga apabila status
epileptikus tidak dapat ditangani segera, maka besar kemungkinan dapat terjadi
kerusakan jaringan otak yang permanen dan dapat menyebabkan kematian. Oleh
karena itu, gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi secepat mungkin. Rata-
rata 15% penderita meninggal, walaupun pengobatan dilakukan secara tepat. Lebih
kurang 60-80% penderita yang bebas dari kejang setelah lebih dari 1 jam akan
menderita cacat neurologis atau berlanjut menjadi penderita epilepsi.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai oleh adanya kecendrungan untuk
menimbulkan bangitan epilepsi , yang ditandai dengan episode kejang secara terus
menerus dengan konsekouensi neurobiologis, kognitif, psikologis dan sosial 1

2.2 Epidemiologi

Menurut World Health Organization (WHO) ditemukan sekitar 50 juta orang


diseluruh dunia menderita epilepsi. Sekitar 80% dari total penderita epilepsi diseluruh
dunia ditemukan di negara berkembang. Secara keseluruhan insiden epilepsi pada
negara maju berkisar antara 40-70 kasus per 100.000 orang per tahun. Di negara
berkembang, insiden berkisar antara 100-190 kasus per 100.000 orang per tahun.
Secara umum diperkirakan terdapat 2.4 juta pasien yang didiagnosis epilepsi setiap
tahunnya 2. Angka prevalensi epilepsi di Indonesia belum diketahui secara pasti. Hasil
penelitian kelompok Studi epilepsi perhimpunan Dokter Saraf Indonesia di beberapa
RS di pulau 5 besar di Indonesia (2013) didapatkan 2.288 penderita epilepsi dengan
21.3% merupakan pasien baru. Rerata usia pasien adalah usia produktif dengan
etiologi epilepsi tersering adalah cedera kepala, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
stroke dan tumor otak 3.

2.4 Etiologi

Etiologi dari epilepsi dalam beberapa literatur telah dikelompokkan dengan


penekanan pada mereka yang memiliki implikasi untuk perawatan. Seringkali
investigasi pertama dalam mencari etiologi epilepsi adalah melibatkan neuroimaging,
idelanya MRI jika tersedia. Hal ini berguna dalam keputusan dokter apakah terdapat
etiologi strukturl yang terlibat pada pasien. kelima kelompok etiologi tambahan
adalah genetik, infeksius, metabolik, sistem imun dan neoplasma. Pasien epilepsi
dapat dikelompokan menjadi lebih dari satu etiologi 4

7
Etiologi struktural

Etiologi struktural mengacu pada kelainan yang terlihat pada neuroimaging


struktural dimana penilaian elektroklini bersama-sama dengan temuan pencitraan
yang mengarah pada kemungkinan penyabab kejang pada pasien. etiologi struktural
dapat berupa stroke, trauma, malformasi. Identifikasi lesi struktural membutuhkan
studi MRI yang tepat menggunakan protokol epilepsi tertentu. Dasar yang mendasari
untuk kelainan struktural dapat mungkin disebabkan oleh genetik atau yang didapat
atau keduanya. Sebagai contoh polimicrogyria yang merupakan akibat dari mutasi gen
GPR56 5
a. Stroke
Stroke adalah faktor risiko utama untuk epilepsi. Hubungan antara epilepsi
dan risiko stroke pada lansia juga ditemukan. Dalam beberapa studi
prospektif, 2-4% dari kasus stroke terbukti mengalami epilepsi selama hidup
mereka. Angka tersbeut bervariasi pada tiap populasi. Diagnosis kejang pasca-
stroke sulit karena kejang dapat ditandai dengan gejala motorik negatif dan
6
mungkin dapat menyerupai Transient ischemic attack . Mekanisme
epileptogenik pada stroke kurang dapat dipahami, disfungsi regional
metabolik dan neurotransmiter excitotoxic rilis dan menyebabkan kematian
neuron dan iskemik pad asekitar penumbra yang merupakan substrat onset
dini kejang. Kerusakan otak yang melibatkan pelepasan eksitotoksik yang
ditingkatkan glutamat, ketidakseimbangan ion, kerusakan membran fosfolipd
dan pelepasan asam lemak bebas menginisiasi proses epileptogenik. Pada
stroke hemoragi, kombinasi fokal iskemia, produk darah (hemosiderin) dan
perkembang mendadak lesi yang menempati ruang dapat menimbulkan
aktivitas kejang 7

b. Trauma
Brain Injury (cidera otak) adalah salah satu faktor risiko terpenting untuk
epilepsi. Dalam peneltian berbasis populai besar dilakukan di Rochestar
(USA), trauma kepala diidentifikasikan sebagai penyebab epilepsi pada 6%
dari populasi. Epilepsi bergantung pada tingkat cedera. Pada kasus cedera otak
ringan (Mild Brain Injury) didefinisikan sebagai trauma langsung pada kepala
dan ditandai oleh perubahan fungsi otak, yaitu kehilangan kesadaran, amnesia,

8
defisit sementra neurologi fokal. Sementara Cedera otak berat/Severe Brain
Injury (SBI) menyajikan cedera struktural termasuk kontusio (memar otak)
atau perdarahan intrakranial 8. Epilepsi setelah cedera otak/brain injury dapat
merupakan konsekuensi dari beberapa proses kompleks, misalnya akibat
kerusakan otak lansung, deposisi besi (Fe) dari ekstravasasi pembuluh darah,
peningkatan eksitotoksitas akibat akumulasi glutamat. Cedera aksonal difus,
edemat atau iskemia. Bukti kerusakan kortikal, adanya deposit hemosidetin
dan jaringan parut gliotik pada MRI menjadi prediktor penting untuk epilepsi9.

Genetik
Konsep epilepsi genetik adalah hasil langsung dari mutasi genetik yang diketahui atau
diduga dimana kejang adalah gejala inti dari gangguan tersebut. Etiologi genetik
didasarkan pada riwayat keluarga dengan gangguan autosom dominan, misalnya pada
Sindrom Benign Familial Epilepsi Neonatal. Sebagian besar keluarga mengalami
10
mutasi salah satunya adalah kanal kalium, KCNQ1 atau KCNQ3 . Etiologi genetik
tidak dapat mengeksklusikan kontribusi lingkungan. Faktor lingkungan berkontribusi
terhadap gangguan kejang. Misalnya banyak orang dengan epilepsi lebih cendeurng
mengalami kekurangan tidur, stres, dan penyakit penyerta lain. Etiologi genetik
mengacu pada varian aptgen (mutasi) berpengaruh signifikan dalam menyebabkan
epilespi individu.

Infeksi
Etiologi paling umum epilepsi didunai adalah sebagai akibat dari infeksi. Sebagai
contoh infeksi yang biasa dapat menyebabkan kejang diantaranya neurocysticercosis,
TBC, HIV, malaria serebral, subakut panencephalitis sclerosing, toksoplasmosis
serebral, dan infeksi bawaan seperti virus Zika dan cytomegalovirus. Infeksi ini
terkadang memiliki korelasi structural. Dalam kasus ensefalitis virus, virus herpes
simpleks adalah agen penyebab paling umum yang sering dikaitkan dengan epilepsy.
Tingginya kejadian epilepsy setelah Ensefalitis yang disebabkan oleh virus herpes
simpleks diakibatkan karena sifat HSV yaitu nekrotik dan terdapat keterlibatan mesial
temporal dan basifrontal yang sangat epileptogenic. Pada sebuah penelitian
didapatkan perubahan langsung dalam jaringan saraf CA3 hipocampal yang
memainkan peran penting dalam memfasilitasi pengembangan kejang akut dan
epilepsy berikutnya 11

9
Metabolik
Konsep metabolisme epilepsi adalah hasil langsung dari yang diketahui atau diduga
gangguan metabolisme dimana kejang adalah inti gejala yang muncul. Penyebab dari
metabolisme merupakan manidestasi dari perubahan biokimia dalam tubuh seperti
porfiria, uremia, aminoacidopathes. Dalam beberapa kasus epilepsi metabolik
memiliki dasar gebetik. Gangguan metabolism tampaknya menjadi penyebab
epilepsy yang mungkin terutama pada pasien usia lanjut disebabkan oleh non-ketotic
hyperglycemia (NKH) Etiologi ini sangat umum di Thailand, dimana diidentifikasi
pada 34 dari 75 pasien dengan Epilepsi ,. Patogenesis pada epilepsi NKH belum
cukup diklarifikasi. Penyebab metabolic lain yang dilaporkan termasuk hipokalsemia,
ensefalopati hepatic, toksemia graviditatis, dan gagal ginjal.

Sistem Imun

Konsep epilepsy imun adalah hasil langsung dari gangguan imun yang menyebabkan
gejala utama kejang. Etiologi oleh karena imun dapat dikonseptualisasikan sebagai
dimana ada bukti autoimun yang dimediasi inflamasi pada system saraf pusat.
Diagnose ensefalitida autoimun dengan cepat meningkat, contohnya dalam test
antibody ditemukan anti-NMDA (N-methyl-D-aspartate) yang merupakan reseptor
ensefalitis . munculnya entitas ini agar dapat diberikan perawatan implikasi dengan
imunoterapi yang ditargetkan 12

2.5 Klasifikasi

Klasifikasi epilepsy yang digunakan secara luas adalah klasifikasi oleh International
League Against Epilepsy (ILAE) 1981 yang terdiri dari 3 kategori utama yaitu kejang
parsial, kejang umum dan kejang yang tak terklasifikasi. Serangan epilepsi tidak
selalu disertai dengan kejang dan sebaliknya, kejang belum tentu dapat dikatakan
epilepsi. Berikut gambaran klinis berdasarkan tipe kejangnya 13,14,15

Tabel 1. Klasifikasi kejang epilepsi ILAE 1981


1. Kejang Parsial a. Parsial sederhana a. Kejang parsial
b. parsial kompleks sederhana dengan gejala
c. Parsial yang diikuti motorik, gejala
dengan kejang umum somatosesnsorik, atau

10
sekunder sensorik khusus
b. Kejang parsial
kompleks dengan onset
parsial sederhana diikuti
gangguan kesadaran
c. kejang parsial sederhana
menjadi kejang umum,
kejang parsial kompleks
menjadi kejang umum
2. Kejang umum a. Kejang absans
b. Kejang mioklonik
c. Kejang klonik
d. Kejang tonik-klonik
e. Kejang atonik
3. Kejang yang tidak
terklasfikasi

a. Kejang parsial (fokal/lokal)


Kejang ini terjadi pada salah satu atau lebih lokasi yang spesifik pada otak. Dalam
beberapa kasus, kejang parsial dapat menyebar luas di otak. Kejang ini terkadang
disebabkan terjadinya trauma spesifik, namun dalam banyak kasus penyebabnya tidak
dapat diketahui (idiopatik).

1) Kejang parsial sederhana


Dalam kasus kejang parsial sederhana (Jacksonian epilepsy), pasien tidak mengalami
kehilangan kesadaran, namun dapat mengalami kebingungan, jerking movement, atau
kelainan mental dan emosional. Manifestasi klinis dari kejang parsial sederhana ini
yaitu klonik (repetitif, gerakan kepala dan leher menengok ke salah satu sisi).
Beberapa pasien dapat pula terjadi gejala somatosensorik berupa aura, halusinasi, atau
perasaan kuat pada indra penciuman dan perasa. Setelah kejang, pasien biasanya
mengalami kelemahan pada otot tertentu. Umumnya kejang terjadi selama 90 detik.

11
2) Kejang parsial kompleks Sekitar 80% dari kejang ini berasal dari temporal lobe,
bagian otak yang berdekatan dengan telinga. Gangguan pada bagian tersebut dapat
mengakibatkan penurunan kesadaran atau dapat terjadi perubahan tingkah laku
misalnya automatisme. Pasien kemungkinan mengalami kehilangan kesadaran secara
singkat dan tatapan kosong. Kejang ini seringkali diawali dengan aura. Episode
serangan biasanya tidak lebih dari 2 menit. Sakit kepala yang berdenyut kemungkinan
terjadi pada kejang tipe ini.

3. Kejang parsial diikuti kejang umum sekunder


Kejang fokal dapat berkembang menjadi tonik klonik dengan kehilangan kesadaran
dan kejang (tonik) otot seluruh badan diikuti periode kontraksi otot bertukar dengan
relaksasi (klonik). Seringkali sulit dibedakan dengan kejang umum. Hal ini karena
kejang parsial dengan generalisata sekunder mempunyai onset fokal yang seringkali
tak teramati. Onset fokal kejang diidentifikasi melalui analisis riwayat kejang dan
EEG secara cermat

b. Kejang umum
Kejang umum dapat terjadi karena gangguan sel saraf yang terjadi pada daerah otak
yang lebih luas daripada yang terjadi pada kejang parsial. Oleh karena itu, kejang ini
memiliki efek yang lebih serius pada pasien.

1. kejang absans (petit mal)


Kejang ini ditandai dengan hilangnya kesadaran yang berlangsung sangat singkat
sekitar 3-30 detik. Jenis yang jarang dijumpai dan umumnya hanya terjadi pada masa
anak-anak atau awal remaja. Sekitar 15-20% anak-anak menderita kejang tipe ini
(Kasper dkk., 2008). Penderita tiba-tiba melotot atau matanya berkedip-kedip dengan
kepala terkulai. Kejang ini kemungkinan tidak disadari oleh orang di sekitarnya. Petit
mal terkadang sulit dibedakan dengan kejang parsial sederhana atau kompleks, atau
bahkan dengan gangguan attention deficit. Selain itu terdapat jenis kejang atypical
absence seizure, yang mempunyai perbedaan dengan tipe absence. Sebagai contoh
atipikal mempunyai jangka waktu gangguan kesadaran yang lebih panjang, serangan
terjadi tidak dengan tiba-tiba, dan serangan kejang terjadi diikuti dengan tanda gejala
motorik yang jelas. Kejang ini diperantarai oleh ketidaknormalan yang menyebar dan
multifokal pada struktur otak. Kadangkala diikuti dengan gejala keterlambatan

12
mental. Kejang tipe ini kurang efektif dikendalikan dengan antiepilepsi dibandingkan
tipe kejang absence tipikal

2. Kejang tonik-klonik (grand mal)


Tipe ini merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi. Fase awal dari
terjadinya kejang biasanya berupa kehilangan kesadaran disusul dengan gejala
motorik secara bilateral, dapat berupa ekstensi tonik beberapa menit disusul gerakan
klonik yang sinkron dari otototot yang berkontraksi, menyebabkan pasien tiba-tiba
terjatuh dan terbaring kaku sekitar 10-30 detik. Beberapa pasien mengalami pertanda
atau aura sebelum kejang. Kebanyakan mengalami kehilangan kesadaran tanpa tanda
apapun. Dapat juga terjadi sianosis, keluar air liur, inkontinensi urin dan atau
menggigit lidah. Segera sesudah kejang berhenti pasien tertidur. Kejang ini biasanya
terjadi sekitar 2-3 menit

3. Kejang atonik
Serangan tipe atonik ini jarang terjadi. Pasien dapat tiba-tiba mengalami kehilangan
kekuatan otot yang mengakibatkan pasien terjatuh, namun dapat segera pulih kembali.
Terkadang terjadi pada salah satu bagian tubuh, misalnya mengendurnya rahang dan
kepala yang terkulai.

4. Kejang mioklonik
Kejang tipe ini ditandai oleh kontraksi otot-otot tubuh secara cepat, bilateral, dan
terkadang hanya terjadi pada bagian otot-otot tertentu. Biasa terjadi pada pagi hari
setelah bangun tidur, pasien mengalami hentakan yang terjadi secara tiba-tiba.

5. Simply tonic atau clonic seizures


Kejang kemungkinan terjadi secara tonik atau klonik saja. Pada kejang tonik, otot
berkontraksi dan gangguan kesadaran terjadi sekitar 10 detik, tetapi kejang ini tidak
berkembang menjadi klonik atau jerking phase. Kasus kejang klonik yang jarang
ditemukan, terutama terjadi pada anak-anak, yang mengalami spasme otot tetapi
bukan kekakuan tonik.

13
C. Kejang yang tak terklasifikasikan
Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung oleh data yang
cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan kejang yang sering terjadi pada
neonatus. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya perbedaan fungsi dan hubungan
saraf pada sistem saraf pusat di bayi dan dewasa

2.6 Penegakkan Diagnosis 16

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat
serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.

1. Anamnesis

Anamnesis merupakan langkah terpenting dalam melakukan diagnosis


epilepsi. Dalam melakukan anamnesis, harus dilakukan secara cermat, rinci,
dan menyeluruh karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan
yang dialami penderita. Anamnesis dapat memunculkan informasi tentang

14
trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler,
meningitis, gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu. Penjelasan dari
pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah
serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang
sangat penting dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis (auto dan
aloanamnesis), meliputi :
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g Usia saat terjadinya serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis


Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-
tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala,
gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga
atau sinus. Sebabsebab terjadinya serangan epilepsi harus dapat ditepis
melalui pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
sebagai pegangan. Untuk penderita anak-anak, pemeriksa harus
memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali,
perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukan awal ganguan
pertumbuhan otak unilateral

3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering
dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan
diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada 21 EEG, kelainan
fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak.

15
Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal
bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal Pemeriksaan EEG bertujuan
untuk membantu menentukan prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya
pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE).

b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis
bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua
pemeriksaan yang sering digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan)
dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan
maka MRI lebih sensitif 22 dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hippocampus kiri dan kanan. MRI dapat
menunjukkan ke lesi struktural dari korteks dan substansia alba. Dengan akses
yang lebih mudah ke MRI dan ketersediaan modalitasi pencitraan resolusi
yagn lebih tinggi, etiologi EPC secara radiografi seperti displasia kortikal
fokal, lebih sering dilaporkan. Positron emission tomography (PET) scanning
and single-photon-emission computed tomography (SPECT) muncul sebagai
alat penelitian yang berguna dalam evaluasi efek metabolik, terutama ketika
Computed tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
menemukan kondisi yang normal. Penelitian PET scan juga cenderung
meningkatkan pemahaman tentang fitur biokimia dan metabolik yagn terkait
dengan fisiologi abnormal dan akibatnya mereka dapat memberikan infomrasi
yang signifikan.

16
2.7 Tatalaksana 17, 18
Perawatan harus fokus pada kondisi yang mendasarinya, obat antiepilepsi
(AED) biasanya dicoba untuk mencegah penyebaran kejang.

Tatalaksana fase akut (saat kejang)


Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang
adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan
mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan
berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan
diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila
berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang setelah
selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali
pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan
untuk dibawa ke rumah sakit.

Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari
serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan
sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus 23 menerus maka
kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya

17
kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang
harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan
berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah
atau dikontrol dengan obatobatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas kejang.

Sampai pada tahun 1993, hanya fenobaribital, pirimidon, fenitoin, carbamazepin dan
valproat yang tersedia. Fenitoin terbatas pada status epileptikus yang sulit, mengingat
ketersediaan dalam formulasi intravena. Fenitoin dianggap neurotoksis dan
berhubungan dengan atrofi serebral dan polineuropati dengan perawatan kronik.
Fenobarbital dan pirimidon terkadang digunakan pada pasien dengan masalah
kepatuhan obat, dikarenakan keduanya memiliki waktu paruh yang panjang, namun
efek samping keduanya adalah menyebabkan defisiensi vitamin D dan osteoporosis,
sehingga harus dijadikan pilihan terakhir dalam terapi epilepsi. Tujuan terpenting
dalam pengobatan adalah mempertahankan kadar obat dalam therapeutic range tanpa
menimbulkan gejala toksik, setelah pemberian dosis tunggal OAE, kadar plasma akan
tercapai dalam waktu tertentu tergantung pada proses absorbsi. Obat antiepilepsi dosis
konvensional dengan persediaan enzim yang cukup akan mengikuti kaidah first order
enzyme kinetics yaitu kecepatan biotransformasi bertambah secara linier dengan
konsentrasi obat. Kadar enzim yang telah jenuh akan menyebabkan kecepatan
biotransformasi akan tetap sama pada konsentrasi obat yang berbeda (zero order).
Kenaikan dosis sedikit saja akan menyebabkan peningkatan kadar plasma yang
berlebihan dan menimbulkan gejala toksik

Fenitoin
Fenitoin berguna untuk kejang tonik-klonik, kejang parsial Absorbsi per oral
berlangsung lambat dan tidak lengkap dengan 10% dari dosis oral akan diekskresikan
bersama tinja dalam bentuk utuh, kadar puncak akan tercapai dalam 3-12 jam.
Pemberian dalam bentuk injeksi intramuskular akan menyebabkan pengendapan di
tempat suntikan kira–kira 5 hari dan absorbsinya berlangsung lambat. Obat ini kurang
baik untuk pengobatan jangka panjang pada anak karena banyak efek samping dan
adanya variasi yang besar dalam absorbsi dan metabolisme yang mudah terganggu
oleh antikonvulsan lain. Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah nistagmus,
ataxia, letargis, bradikardi, hipotensi. Efek idiosinkrasi fenitoin adalah hyperplasia
ginggiva,

18
jerawat, defisiensi asam folat, kemerahan

Fenobarbital
Fenobarbital (asam 5,5 fenil etil barbiturat) merupakan obat yang efektif untuk kejang
parsial sederhana kompleks dan kejang tonik-klonik umum (grand mal). Efikasi,
toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat yang
penting untuk tipe-tipe epilepsi ini. Efek sedasi serta kecenderungan menimbulkan
gangguan perilaku pada anak telah mengurangi penggunaannya sebagai obat utama
Aksi utama. fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan
natrium dan kalium. Fenobarbital menurunkan kadar kalsium dan mempunyai efek
langsung terhadap reseptor GABA, aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan
durasi pembukaan reseptor GABA dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida
(Solehiomran dkk., 2010). Dosis awal penggunaan fenobarbital 4-6 mg/kg/hari dalam
2 dosis dan akan mencapai kadar terapeutik dalam 2-3 minggu. Fenobarbital juga
dapat menyebabkan peningkatan profil lipid dan sindrom Stevens-Johnson

Karbamazepin
Karbamazepin merupakan golongan antidepresan trisiklik. Karbamazepin digunakan
sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonik-klonik. Karbamazepin
menghambat kanal natrium yang mengakibatkan masuknya ion natrium kedalam
membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi
terus-menerus pada neuron (Radeef dkk., 2013). Dosis pada anak dengan umur
kurang dari 6 tahun 10-30 mg/kg/hari dibagi dalam 2-3 dosis sehari, pemberian
dimulai dengan dosis 5-10 mg/kg/hari dinaikkan setiap 5-7 hari sampai mencapai
target 15-20 mg/kg/hari .

19
Namun, dewasa ini ditemukan bahwa asam valproat merupakan yang paling bersifat
teratogenik, sehingga dilarang penggunannya terhadap perempuan karena dapat
menyebabkan malformasi kongenital. Pada tahun 2015 Badan regulasi obat Inggris
menyaranka agar valproat tidak digunakan pada anak-anak perempuan dan
perempuan muda. Untuk itu digunakan jenis obat baru yang dikatakan memiliki efek
samping minimal dan memberikan efektivtas yang lebih baik.

3.1 Definisi status epileptikus

Status epileptikus merupakan keadaan darurat medis yang terkait morbiditas


dan mortalitas, didefinisikan sebagai kejang terus-menerus yang berlangsung lebih
dari 30 menit , atau dua atau lebih kejang tanpa pemulihan kesadaran penuh diantara
nya. Berdasarkan pemahaman terbaru tentang patofisiologi, sekarang dianggap bahwa

20
setiap kejang yang berlangsung selama lebi dari 5 menit atau lebih harus
dipertimbangkan sebagai status epileptikus 18.
Nilai mortalitas akibat status epileptikus bervarias dari 3-5% dalam berbagai
penelitian . pada pasien usia lanjut, status refrakter epileptikus dapat menyebabkan
kematian pada lebih dari 76% kasus. Diperkirakan bahwa 150.000 kasus status
epileptikus terjadi setiap tahun di AS, dengan 55.000 kematian terkait. Sangat penting
untuk dokter dapat mengidentifikasi dan mengobati SE dengan cepat dan efisien. SE
yang berkepanjangan dapat menyebabkan disritmia jantung, gangguan metabolisme,
disfungsi otonom, edema paru neurogenik, hipertermia, dan aspirasi paru. Kerusakan
neurologis juga dapat terjadi pada SE yang berkepanjangan 19.

3.2 Patofisiologi

Studi klinis dan eksperimental telah menunjukkan bahwa SE berevolusi melalui fase
inisiasi ke fase pemeliharaan. Pada fase inisiasi, rangsangan pemicu membangkitkan
kejang yang cenderung mereda segera setelah rangsangan dikeluarkan. Pada fase
pemeliharaan selanjutnya kejang diskrit bergabung bersama menjadi sebuah
kontinum, dengan memicu rangsangan tidak lagi diperlukan untuk mempertahankan
urutan kejang. Intensitas dan durasi stimulasi memiliki pengaruh langsung pada
transisi dari fase inisiasi ke fase pemeliharaan. Berbagai molekul pensinyalan seperti
antagonis GABA-A (γ-aminobutyric acid), agonis glutamat, agonis kolinergik
(muskarinik), tachykinin, antagonis galanin, dan antagonis opiat k telah ditemukan
terlibat dalam fase inisiasi. Berbeda dengan ini, lebih sedikit yang diketahui tentang
fase pemeliharaan. Faktanya, hanya sejumlah kecil molekul yang ditemukan yang
menghalangi fase pemeliharaan (mis. Antagonis NMDA (N-metil-D aspartat),
antagonis zat P, galanin, dan dinorfin). Aktivasi reseptor NMDA menghasilkan
peningkatan kadar kalsium intraseluler, yang mungkin bertanggung jawab atas cedera
sel saraf yang terlihat pada pasien dengan SE 20.

3.3. Klasifikasi status epileptikus 21


semiologis dan elektrofisiologis ada beberapa jenis kejang; ini telah secara
luas diklasifikasikan sebagai kejang umum atau parsial oleh Liga Internasional
Melawan Epilepsi. Pada prinsipnya bisa ada banyak jenis SE karena ada jenis
kejang. Ini telah menyebabkan klasifikasi SE yang kompleks. Namun, dengan

21
menggunakan fitur elektroklinik, SE dapat diklasifikasikan secara luas sebagai
SE konvulsif dan SE nonkonvulsif
a. Status epileptikus konvulsif
SE konvulsive (CSE) dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi
(a)tonik-klonik SE, (b) tonik SE, (c) klonik SE dan (d) SE mioklonik. SE
umum tonik-klonik adalah bentuk paling umum dari SE. Myoclonic SE
muncul sebagai myoclonus masif bilateral, bersama dengan pelepasan
polyspike pada EEG, dan biasanya membawa prognosis yang baik. Tetapi
status mioklonik yang mengikuti penghinaan hipoksik-iskemik berat,
ensefalitis virus, dan penyakit prion dikaitkan dengan prognosis yang buruk.
Ulasan ini berkaitan terutama dengan SE tonik-klonik umum, yang merupakan
bentuk SE paling umum diamati dalam praktek klinis.

b. Status epileptikus non-konvulsif


Nonconvulsive SE (NCSE) mengacu pada aktivitas kejang listrik umum
berkelanjutan atau hampir terus menerus yang berlangsung selama setidaknya
30 menit, tetapi tanpa kejang fisik. CSE dapat berkembang menjadi bentuk
nonconvulsive setelah perawatan atau NCSE dapat timbul secara de novo.
NCSE ditandai oleh status mental abnormal, tidak responsif, kelainan motorik
okuler, kejang elektrografi persisten, dan kemungkinan respons terhadap
antikonvulsan. [9] Semua pasien dengan kebingungan postiktal yang
berkepanjangan atau koma yang tidak dapat dijelaskan harus menjalani
pemantauan EEG untuk konfirmasi. [10] NCSE telah lama dibagi menjadi dua
kategori utama: tidak adanya SE (ASE) dan SE parsial kompleks (CPSE).
Sampai saat ini sebagian besar kasus NCSE dianggap ASE, dan CPSE
dianggap langka. Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa CPSE lebih
umum daripada yang diperkirakan sebelumnya dan bahwa banyak kasus ASE
sebenarnya adalah kasus CPSE yang telah digeneralisasi. Tomson et al.
melaporkan pada 32 pasien NCSE berturut-turut, sebagian besar yang
memiliki CPSE, dan menyarankan bahwa pada orang dewasa sebagian besar
kasus NCSE sebenarnya parsial saat onset. Perbedaan antara ASE dan CPSE
adalah yang penting, karena ASE biasanya lebih mudah diobati dan mungkin
tidak terkait dengan kerusakan neuron yang signifikan.

22
3.3. Derajat Status Epileptikus 22
SE dapat secara luas dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama ditandai dengan kejang
tonik-klonik umum yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas otonom, yang
mengakibatkan hipertensi, hiperglikemia, berkeringat, mengeluarkan air liur, dan
hiperpireksia. Selama fase ini, aliran darah otak meningkat karena meningkatnya
permintaan metabolisme otak. Setelah sekitar 30 menit aktivitas kejang, pasien
memasuki fase kedua, yang ditandai dengan kegagalan autoregulasi otak, penurunan
aliran darah otak, peningkatan tekanan intrakranial, dan hipotensi sistemik. Selama
fase ini, disosiasi elektromekanis dapat terjadi di mana, meskipun aktivitas kejang
serebral listrik berlanjut, manifestasi klinisnya mungkin terbatas pada kedutan ringan.

Tabel 2. Derajat status epileptkus

23
3.4 Tatalaksana 23

SE adalah salah satu situasi di mana bantuan gejala emergensi ebih


diutamakan daripada evaluasi sistematis. Prinsip-prinsip pengobatan adalah
perlindungan fungsi-fungsi vital, khususnya fungsi kardiorespirasi, dan perawatan
awal kejang dengan antikonvulsan yang sesuai. Ini perlu diikuti dengan evaluasi
sistematis penyebab SE dan langkah-langkah untuk mencegah komplikasi dan
kambuhnya kejang.

3.5 Prognosis 24

SE memiliki prognosis yang beragam . Dalam studi berbasis rumah sakit besar,
kematian bervariasi 3-50%. Faktor-faktor yang terkait dengan mortalitas tinggi
termasuk kejang refrakter, etiologi simptomatik akut (mis., Hipoksia atau infeksi
sistem saraf pusat), gangguan kesadaran, durasi SE yang lebih lama, dan usia yang
lebih tua (> 70 tahun). Dekompensasi kardiovaskular selama SE, komplikasi medis,
dan overtreatment dengan AED juga dapat mempengaruhi mortalitas yang berlebihan.
Koma dengan status elektrografi berulang dan disfungsi multiorgan membawa hasil

24
klinis yang buruk. Durasi kejang adalah satu-satunya prediktor utama kematian pada
analisis multivariat dalam satu penelitian, dengan durasi <10 jam menghasilkan
mortalitas yang lebih rendah (10%) dan durasi> 20 jam dalam mortalitas tinggi
(85%). Hasil di RSE buruk; mortalitas hampir 50%, dan hanya sebagian kecil pasien
(terutama mereka yang memiliki epilepsi yang sudah ada sebelumnya dan tidak ada
proses otak akut) kembali ke fungsi dasar premorbid mereka.

25
BAB III
KESIMPULAN

Status epilepticus (SE) adalah keadaan darurat medis yang terkait dengan morbiditas
dan mortalitas yang signifikan. SE didefinisikan sebagai kejang terus menerus yang
berlangsung lebih dari 30 menit, atau dua atau lebih kejang tanpa pemulihan penuh
kesadaran di antara mereka. Berdasarkan pemahaman patofisiologi baru-baru ini,
sekarang dianggap bahwa setiap kejang yang berlangsung lebih dari 5 menit mungkin
perlu diperlakukan sebagai SE. Mekanisme GABAergik memainkan peran penting
dalam mengakhiri kejang. Ketika kejang berlanjut, mekanisme yang dimediasi GABA
menjadi tidak efektif . Pengobatan awal SE dengan benzodiazepin, diikuti jika perlu
dengan pemberian fosfenytoin, adalah strategi yang paling banyak diikuti. Sekitar
sepertiga dari pasien dengan SE mungkin mengalami kejang yang persisten terhadap
obat lini . Mereka memerlukan penatalaksanaan agresif dengan obat lini kedua seperti
barbiturat, propofol, atau agen lain. Di negara berkembang di mana fasilitas ventilasi
bantu tidak tersedia, mungkin bermanfaat untuk menggunakan obat antiepilepsi
nonsedasi (seperti natrium valproat, levetiracetam, atau topiramat) pada tahap ini.
Penting untuk mengenali SE dan memulai pengobatan sedini mungkin untuk
menghindari keadaan refraktori. tidak lupa juga memperhatikan kondisi umum pasien
dan untuk memastikan bahwa pasien stabil secara hemodinamik

26
REFERENSI

1. Fisher RS, Boas W, Blume W, et al. Epileptic Seizures and Epilepsy:


Definitions Proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE)
and the International Bureau for Epilepsy (IBE). Epilepsia. 2005;46(4):470-2
2. World Health Organization. Epilepsy: fact sheet. WHO (serial online) 2016.
(diunduh 14 Agustus 2018) Tersedia dari: WHO media Centre
3. Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi.
Surabaya: Airlangga University Press; 2014
4. Scheffer IE. Samuel B. ILAE classification of the epilepsies: Position paper of
the ILAE Commission for Classification and Terminology Epilepsia,
58(4):512–521, 2017 doi: 10.1111/epi.13709
5. Guerrini R, Dobyns WB. Malformations of cortical development: clinical
features and genetic causes. Lancet Neurol 2014;13:710–726.
6. Nannucci S, Pescini F, Poggesi A et al. Familial cerebral cavernous
malformation: report of a further Italian family. Neurol. Sci. 30(2), 143–147
(2009)
7. Kelly KM. Poststroke seizures and epilepsy: clinical studies and animal
models. Epilepsy Curr. 2(6), 173–177 (2012).
8. Lowenstein DH. Epilepsy after head injury: an overview. Epilepsia 50(Suppl.
2), 4–9 (2009).
9. 5 Christensen J, Pedersen MG, Pedersen CB, Sidenius P, Olsen J, Vestergaard
M. Long-term risk of epilepsy after traumatic brain injury in children and
young adults: a population-based cohort study. Lancet 373(9669), 1105–1110
(2009).
10. Grinton BE, Heron SE, Pelekanos JT, et al. Familial neonatal seizures in 36
families: clinical and genetic features correlate with outcome. Epilepsia
2015;56:1071–1080.
11. Misra UK, Kalita J. Seizures in encephalitis: predictors and outcome. Seizure
18(8), 583–587 (2009).
12. Lancaster E, Dalmau J. Neuronal autoantigens–pathogenesis, associated
disorders and antibody testing. Nat Rev Neurol 2012;8:380–
13. International League Against Epilepsy. Definitions and guidelines on epilepsy

27
from ILAE. Available at: http://www.ilae.org/
Visitors/Centre/Definition_Class.cfm.
14. Berg AT, Berkovic SF, Brodie MJ, et al. Revised terminology and concepts
for organization of seizures and epilepsies: report of the ILAE Commission on
Classification and Terminology, 2005- 2009. Epilepsia 2010;51:676e85.
15. Korff CM, Scheffer IE. Epilepsy classification: a cycle of evolution and
revolution. Curr Opin Neurol 2013;26:163e7.
16. Halasz P, Kalviainen R, Mazurkiewicz-Beldzinska M, et al. Adjunctive
lacosamide for partial-onset seizures: Efficacy and safety results from a
randomized controlled trial. Epilepsia. 2009;50:443–53.
17. Doty P, Hebert D, Mathy FX, et al. Development of lacosamide for the
treatment of partial-onset seizures. Ann N Y Acad Sci. 2013;1291:56–68
18. Vogl C, Mochida S, Wolff C, et al. The synaptic vesicle glycoprotein 2A
ligand levetiracetam inhibits presynaptic Ca2+ channels through an
intracellular pathway. Mol Pharmacol. 2012;82:199–208.
19. Logroscino G, Hesdorffer DC, Cascino GD, Annegers JF, Bagiella E, Hauser
WA. Long-term mortality after a first episode of status
epilepticus. Neurology. 2002;58:537–41
20. Lothman E. The biochemical basis and pathophysiology of status
epilepticus. Neurology. 2003;40:13–23
21. Kapur J, Lothman EW. Loss of inhibition precedes delayed spontaneous
seizures in the hippocampus after tetanic electrical stimulation. J
Neurophysiol. 2009;61:427–34
22. Bleck TP. Refractory status epilepticus in 2001. Arch Neurol. 2002;59:188–9
23. Coplin WM, Pierson DJ, Cooley KD, Newell DW, Rubenfeld GD.
Implications of extubation delay in brain-injured patients meeting standard
weaning criteria. Am J Respir Crit Care Med. 2009;161:1530–6
24. Naritoku DK, Sinha S. Prolongation of midazolam half-life after sustained
infusion for status epilepticus. Neurology. 2010;54:1366–8

28

Anda mungkin juga menyukai