Anda di halaman 1dari 31

Referat

STATUS EPILEPTIKUS

Disusun Oleh:
Dokter Muda Stase Bagian Neurologi
Periode 26 Maret – 19 April 2018

Silvi Silvania, S.Ked 04054821820026

Pembimbing:
dr. Hj. Sri Handayani, Sp.S

BAGIAN NEUROLOGI
RUMAH SAKIT MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat:

STATUS EPILEPTIKUS

Oleh:

Silvi Silvania, S.Ked 04054821820026

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Periode 26 Maret – 19 April 2018.

Palembang, April 2018

dr. Hj. Sri Handayani, Sp.S

2
KATA PENGANTAR

Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Status
Epileptikus” untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Bagian Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Hj. Sri Handayani, Sp.S selaku pembimbing yang telah membantu memberikan
ajaran dan masukan sehingga referat ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikian lah referat ini, semoga
bermanfaat.

Palembang, April 2018

Tim Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................i


HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................iii
DAFTAR ISI ...........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................3
2.1 Definisi ................................................................................................3
2.2 Epidemiologi .......................................................................................3
2.3 Etiologi...................................................................................................
2.4 Klasifikasi..............................................................................................
2.4 Patofisiologi...........................................................................................
2.5 Manifestasi Klinis..................................................................................
2.6 Diagnosis ...............................................................................................
2.7 Pemeriksaan Penunjang.........................................................................
2.8 Tatalaksana.............................................................................................
2.9 Komplikasi.............................................................................................
2.10 Prognosis.............................................................................................
BAB III KESIMPULAN............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................

4
BAB I
PENDAHULUAN

Status epileptikus merupakan keadaan kedaruratan neurologik medik


utama dalam kaitannya dengan morbiditas dan mortalitas. Status epileptikus
sekarang merupakan masalah kesehatan umum yang diakui meningkat akhir-akhir
ini terutama di Negara Amerika Serikat. Mortalitas SE (kematian dalam 30 hari)
berkisar 22%. Kematian pada anak hanya 3%, sedangkan pada dewasa 26%.
Populasi yang lebih tua mempunyai mortalitas hingga 38%. Mortalitas tergantung
dari durasi kejang, usia onset kejang, dan etiologi.
Epilepsy Foundation of America (EFA) mendefinisikan SE sebagai kejang
yang terus-menerus selama paling sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih
kejang terpisah tanpa pemulihan kesadaran di antaranya. Status epileptikus
merupakan kejang yang paling serius karena terjadi terus menerus tanpa berhenti
dimana terdapat kontraksi otot yang sangat kuat, kesulitan bernapas dan muatan
listrik di dalam otaknya menyebar luas sehingga apabila status epileptikus tidak
dapat ditangani segera, maka besar kemungkinan dapat terjadi kerusakan jaringan
otak yang permanen dan dapat menyebabkan kematian.
Penatalaksanaan status epileptikus membutuhkan kecepatan dalam
mengakhiri aktivitas bangkitan, proteksi jalan napas, pencegahan aspirasi,
komplikasi, bangkitan berulang dan pengobatan terhadap penyebab. Adanya
kegagalan terapi dengan anti konvulsan lini pertama selanjutnya akan digunakan
terapi dengan dosis anestesi umum.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan mewakili keadaan


darurat medis dan neurologis utama. International League Againts Epilepsy
(ILAE) menyatakan bahwa status epileptikus adalah kejang yang berlangsung
terus-menerus selama periode waktu tertentu atau berulang tanpa disertai pulihnya
kesadaran diantara kejang. Kekurangan definisi menurut ILAE tersebut adalah
batasan lama kejang berlangsung yang ditetapkan oleh sebagian para ahli batasan
waktunya adalah selama 30 menit atau lebih.
Epilepsy Foundation of America (EFA) mendefinisikan SE sebagai kejang
yang terus-menerus selama paling sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih
kejang terpisah tanpa pemulihan kesadaran di antaranya. Definisi ini telah
diterima secara luas, walaupun beberapa ahli mempertimbangkan bahwa durasi
kejang lebih singkat dapat merupakan suatu SE. Jadi, secara sederhana dapat
dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang
tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih, harus dipertimbangkan sebagai
status epileptikus.

2.2 Epidemiologi
Insidens SE di Amerika Serikat berkisar 41 per 100.000 individu setiap tahun,
sekitar 27 per 100.000 untuk dewasa muda dan 86 per 100.000 untuk usia lanjut.
Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala yang timbul pada pasien
yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang
didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat
antikonvulsan.
6
Insidensi kejadian SE terjadi pada masa-masa awal kehidupan dan akan
meningkat pada dekade kelima kehidupan secara perlahan-lahan. Pada usia lanjut
(>75 tahun), 35% kasus epilepsi yang baru ditemukan adalah status epileptikus.
Mortalitas SE (kematian dalam 30 hari) berkisar 22%. Kematian pada anak hanya
3%, sedangkan pada dewasa 26%. Populasi yang lebih tua mempunyai mortalitas
hingga 38%. Mortalitas tergantung dari durasi kejang, usia onset kejang, dan
etiologi. Pasien stroke dan anoksia mempunyai mortalitas paling tinggi.
Sedangkan pasien dengan etiologi penghentian alkohol atau kadar obat anti
epilepsi dalam darah yang rendah, mempunyai mortalitas relatif rendah.
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari status epileptikus
dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua status epileptikus
kebanyakan sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung,
dementia. Pada negara miskin, epilepsi merupakan kejadian yang tak tertangani
dan merupakan angka kejadian yang paling tinggi.

2.2 Etiologi

1. Idiopatik epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang


umum, penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi
mempunyai inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan
umumnya predisposisi genetik.
2. Kriptogenik epilepsi : Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum
diketahui. Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa
disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk
disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.
3. Simptomatik epilepsi : Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak
yang mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala,
infeksi susunan saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di
otak, gangguan pembuluh darah diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan
metabolik dan kelainan neurodegenerative

2. 3 Klasifikasi
7
Secara tradisional, SE dapat diklasifikasikan menjadi convulsive dan
nonconvulsive, namun istilah ini dapat tidak tepat. Skema baru klasifikasi
ILAE( International League Against Epilepsy) telah menolak penggunaan istilah
nonconvulsive, karena dapat merupakan suatu keadaan yang beragam seperti
kejang fokal pada limbic SE ataupun Generalized seperti absence SE. Disamping
itu, keadaan convulsive, khususnya kejang myoclonic, dapat terlihat pada
nonconvulsive SE, misalnya kejang di kelopak mata atau perioral.

Skema ILAE 2001 mendefinisikan SE sebagai aktivitas kejang yang terus-


menerus dan mengklasifikasikan SE menjadi dua kategori, yaitu generalized dan
focal SE. Laporan ILAE Core Group (2006) mengklasifikasikan bermacam-
macam tipe SE, serta berusaha menghindari istilah generalized dan focal.

Perdossi (2014) mengklasifikasikan status epileptikus menjadi beberapa


tipe, antara lain:2
a) Klasifikasi status epileptikus berdasarkan klinis:
- SE fokal
- SE general
b) Klasifikasi status epileptikus berdasarkan durasi:
- SE dini (5-30 menit)
- SE menetap (>30 menit)
- SE refrakter (bangkitan masih tetap ada setelah mendapat dua atau
tiga jenis antikonvulsan awal dengan dosis adekuat)
c) Klasifikasi status epileptikus nonkonvulsivus (SE-NK):
- SE-NK umum
- SE-NK fokal

2.3 Patofisiologi

Walaupun patofisiologi bangkitan belum diketahui secara jelas, dipikirkan


bahwa bangkitan epileptik merupakan akibat dari gangguan sumber dan aktivitas
listrik di korteks otak karena ada sel betz di lapisan korteks. Suatu bangkitan
terjadi apabila terdapat gangguan keseimbangan secara mendadak antara kekuatan

8
penggunggah (excitatory) dan kekuatan penghambat (inhibitory) di dalam jejaring
neuron kortikal. Metabolisme otak memerlukan glukosa dan oksigen. Membran
neuron memiliki permeabilitas dan tegangan tertetnu yang dipengaruhi oleh
perubahan lingkungan kimiawi dan humoral. Berbagai faktor yang mengubah
permeabilitas populasi sel dan konsentrasi ion dapat mengubah sistem neuron
yang lebih mudah terangsang. Kejang dipicu oleh perangsangan sebagian besar
neuron secara berlebihan, spontan, dan sinkron sehingga mengakibatkan aktivasi
fungsi motorik (kejang), sensorik, otonom atau fungsi kompleks (kognitif,
emosional) secara lokal atau umum. Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa
teori:

a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K,


misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada
kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.
c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan
dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan
menimbulkan kejang.

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktifitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang
berlebihan tersebut. Lesi di mesensefalon, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang.12

Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena


biokimiawi, termasuk yang berikut: 12

- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami


pengaktifan;

9
- Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun,
apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;
- Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan
asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA);
- Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat
hiperaktifitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aluran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan
setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktifitas
kejang.

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik yang seringkali normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih
bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara
konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin
dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap
asetilkolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut lambat
mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.

Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status


epileptikus melibatkan adanya kegagalan dalam pemutusan rantai kejang tersebut.
Berbagai studi eksperimen menemui kegagalan yang mungkin timbul dari
kelangsungan kejang terus menerus yang abnormal, eksitasi yang meningkat
secara tajam atau pengerahan dan penghambatan yang tidak efektif. Obat standar

10
yang digunakan pada status epileptikus lebih efektif apabila diberikan pada jam
pertama berlangsungnya status.

Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak, khususnya struktur limbik


seperti hipokampus. Selama 30 menit pertama kejang, otak masih dapat
mempertahankan homeostasis melalui peningkatan aliran darah, glukosa darah,
dan pemanfaatan oksigen. Setelah 30 menit, kegagalan homeostasis dimulai dan
mungkin akan berperan dalam kerusakan otak. Hipertermi, rhabdomyolisis,
hiperkalemia, dan asidosis laktat meningkat sebagai hasil dari pembakaran otot
spektrum luas yang terjadi terus menerus. Setelah 30 menit, tanda-tanda
dekompensasi lainnya meningkat, yakni hipoksia, hipoglikemia, hipotensi,
leukosistosis, dan cardiac output yang tidak memadai.

Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja
nampak cukup, untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran darah
otak (Cerebral Blood Flow), kurang dari 20 ml/100g/menit, memberikan banyak
efek di antaranya terinduksinya Nitrit Oksida Sintase (iNOS) di dalam astrosit dan
microglia yang mungkin berhubungan dengan aktivasi N-methyl-D-Aspartate
(NMDA) receptor yang menyebabkan kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit
saja yang kemudian bereaksi dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan super-
radical. Aktivasi ini menyebabkan pelepasan asam amino eksitatorik aspartat dan
glutamat. Akibatnya, berlangsunglah sebuah mekanisme kerusakan yang
dimediasi oleh glutamate-glutamic-mediated excitotoxicity khususnya di
hipokampus. Sementara, konsentrasi kalsium ekstraseluler normal pada neuron-
neuron setidaknya 1000 kali lebih besar daripada intraseluler. Selama kejang,
receptor-gated calcium channel terbuka mengikuti stimulasi reseptor NMDA.
Peningkatan kalsium intraseluler yang fluktuatif ini akan semakin meningkatkan
keracunan sel. Akibatnya apabila kejang ini terus menerus terjadi, kerusakan otak
yang terjadi pun akan semakin besar.

Pada status epileptikus terjadi kegagalan mekanisme normal untuk mencegah


kejang. Kegagalan ini terjadi bila rangsangan bangkitan kejang
(Neurotrasmitter eksitatori : glutamat, aspartat, dan acetylcholine) melebihi

11
kemampuan hambatan instrinsik (GABA) atau mekanisme hambatan intrinsik
tidak efektif. Status epileptikus dibagi menjadi 2 fase, yaitu:
 Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi . Pada fase ini terjadi:
- Pelepasan adrenalin dan noradrenalin
- Peningkatan cerebral blood flow dan metabolisme
- Hipertensi, hiperpireksia
- Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat
 Fase (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi: 
- Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak
- Depresi pernafasan
- Disritmia jantung, hipotensi
- Hipoglikemia, hiponatremia
- Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DIC

2.5 Manifestasi Klinik

Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk


mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized
Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai,
hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain
dapat juga terjadi.

1. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status


Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari status epileptikus yang paling sering dihadapi dan
potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-
klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik
umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang
tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan
peningkatan frekuensi.

12
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik
yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-
putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi
CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin
berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang
mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik.
Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani.

2. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic


Status Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.

3. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)


Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan
kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik
dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.

13
4. Status Epileptikus Mioklonik.
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus
adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat
kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia
berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan
toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
5. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia
pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status
presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang
lambat seperti menyerupai “slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam
waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau
kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz
monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap
status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.
6. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-
konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional,
cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi

14
psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG
menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike
wave discharges dari status absens.
7. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-
jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan
berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang
mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG
sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform
discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering
berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari
status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau
gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik
unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.
8. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi
yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi
otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang
berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau
frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit
memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-
konvulsif pada beberapa kasus.

2.6 Diagnosis

1. Anamnesis
Epilepsi adalah sebuah penyakit yang sangat sulit untuk didiagnosa, dan
kesalahan-kesalahan dalam mendiagnosis seringkali terjadi. Ketepatan diagnosis
15
pada pasien dengan epilepsi bergantung terutama pada penegakan terhadap
gambaran yang jelas baik dari pasien maupun dari saksi. Hal ini mengarahkan
pada diagnosis gangguan kesadaran. Seseorang harus menelusuri secara teliti
tentang bagaimana perasaan pasien sebelum gangguan, selama (apabila pasien
sadar) dan setelah serangan, dan juga memperoleh penjelasan yang jelas tentang
apa yang dilakukan pasien setiap tahap kejang dari seorang saksi. Seseorang tidak
dapat langsung menegakkan diagnosa hanya dengan gejala klinis yang ada
melalui penilaian serangan. Pemeriksaan, seperti EEG, sebaiknya digunakan
untuk menunjang perkiraan diagnostik yang didasarkan pada informasi klinis.
Diagnostik secara tepat selalu jauh lebih sulit dilakukan pada pasien yang
mengalami kehilangan kesadaran tanpa adanya saksi mata.(Ahmed, Spencer
2004).
Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut (Ahmed, Spencer
2004, Hadi 1993, Harsono 2001, Kustiowati dkk 2003).
1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini?
Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang.
Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder
gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi
kongenital. Serangan kejang umum cenderung muncul pada usia anakanak
dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul serangan kejang biasanya
ada kemungkinan mempunyai kelainan patologis di otak seperti stroke
atau tumor otak dsb.
2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak
pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala
peringatan yang dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul
disebut dengan “aura” dimana suatu “aura” itu bila muncul sebelum
serangan kejang parsial sederhana berarti ada fokus di otak. Sebagian “
aura” dapat membantu dimana letak lokasi serangan kejang di otak. Pasien
dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan adanya “déjà vu” dan atau ada
sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen yang mungkin
merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan penglihatan sementara
mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada
16
serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan “aura” hal ini
disebabkan terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika “aura”
dilaporkan oleh pasien sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari
sumber fokus yang patologis.
3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan
dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien
tidak dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan
dengan saksi mata yang mengetahui serangan kejang berlangsung. Apakah
ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan
kejang terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh?
Apakah pasien dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung?
Apakah mata berkedip berlebihan pada serangan kejang terjadi? Apakah
ada gerakan “automatism” pada satu sisi ? Apakah ada sikap tertentu pada
anggota gerak tubuh? Apakah lidah tergigit? Apakah pasien mengompol ?
Serangan kejang yang berasal dari lobus frontalis mungkin dapat
menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan
kejang yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan
mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang
dari lobus oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang
berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin
kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang umum meskipun dapat
dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks.
4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode
sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah “post
ictal period ” Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik
pasien lalu tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun
terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan kejang
parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang
disebut “Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan adanya fokus patologis
di otak. Afasia dengan tidak disertai gangguan kesadaran menggambarkan
gangguan berbahasa di hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas tidak ada
gangguan disorientasi setelah serangan kejang.
17
5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang
tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga
dan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu,
sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu
malam hari.
6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh
karena kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan
minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat,
stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu,
“drug abuse”, “ reading & eating epilepsy”. Dengan mengetahui faktor
pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun keluarganya dapat
membantu dalam mencegah serangan kejang.
7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu
untuk mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat
obat-obat anti kejang.
8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan
ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat
obat anti kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut
yang sedang digunakan spesifik bermanfaat ?
9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan
menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan
setiap jenis serangan kejang secara lengkap.
10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan
serangan kejang? Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang
mengalami luka ditubuh akibat serangan kejang ada yang diawali dengan
“aura“ tetapi tidak ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak
menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang atau mungkin ada
“aura“ , sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan
upaya upaya untuk mengurangi bahaya terjadinya luka.
11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat?
Dengan mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat
darurat dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi
18
yang mungkin disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien,
ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain
yang menyertai.
Di luar dari temuan akurat yang berkaitan dengan serangan, terdapat banyak
informasi lebih lanjut yang perlu ditelusuri melalui anamnesis dan pemeriksaan.
Jika serangan tersebut diduga akan berlanjut sebagai epilepsi, penelusuran harus
disusun sesuai dengan penyebab epilepsi. Epilepsi umum primer-tonik-klonik
umum primer, bangkitan absen dan mioklonik, dengan atau tanpa fotosensitivitas-
memiliki kaitan dengan keluarga, sehingga bertanya mungkin akan mengungkap
anggota keluarga lainnya yang juga menderita serangan epilepsi. Epilepsi fokal
bentuk apapun memperlihatkan adanya patologi intrakranial. Patologi paling
umum yang dimaksud adalah pembentukan jaringan ikat pada satu daerah yang
merupakan kelanjutan dari beberapa proses perjalanan penyakit aktif sebelumnya,
meskipun kadang-kadang serangan epilepsi mungkin terjadi ketika terdapat proses
patologi yang masih berlangsung di fase aktif.
- Setelah trauma otak saat melahirkan;
- Setelah trauma pada otak dan kepala;
- Selama atau setelah meningitis, ensefalitis, atau abses otak;
- Pada saat atau sisa dari infark serebri, perdarahan serebral, atau
perdarahan sub arachnoid;
- Hasil dari trauma bedah yang tak terhindarkan. Kadang-kadang
epilepsi dicetuskan oleh gangguan biokimia di otak seperti:
- Selama putus konsumsi obat dan alkohol; - Selama koma hepatik,
uremik, dan hipoglikemik;
- Sementara mengonsumsi obat penenang atau antidepresan.
Yang juga perlu dipikirkan adalah kemungkunan epilepsi yang dicetuskan
oleh tumor otak. Tumor otak merup[akan penyebab yang tidak sering
menyebabkan epilepsi, namun tidak boleh disingkirkan tanpa adanya pemeriksaan
lebih lanjut. Epilepsi yang onsetnya dimulai pada umur dewasa, khususnya
dengan tanda-tanda defisit neurologis fokal dan terasosiasi, kemungkinan besar
disebabkan oleh tumor. (Ahmed, Spencer 2004).

19
Untuk mempermudah anamnesis, berikut kesimpulan yang perlu
dintanyakan kepada pasien maupun saksi:
- Family history
- Past history
- Systemic history
- Alcoholic history
- Drug hostory
- Focal neurological symptoms and signs

II. Pemeriksaan Fisik dan Neurologi


Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang
dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien
yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk
mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya
dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh karena banyak
kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular
seperti sinkop kardiovaskular. (Ahmed, Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni
2004).
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf
kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit
neurologi seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang,
papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di
area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh
karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin,
lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi
”Dysmorphism“ dan gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom dan
gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat
diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa
menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan

20
adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus
temporalis.

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan EEG umumnya membantu dalam mengklasifikasikan tipe


epilepsi seseorang. Pasien jarang mengalami kejang selama pemriksaan EEG
rutin. Namun kejang tetap dapat memberikan konfirmasi tentang kehadiran
aktifitas listrik yang abnormal, informasi tentang tipe gangguan kejang, dan lokasi
spesifik kejang fokal. Pada pemeriksaan EEG rutin, tidur dan bangun, hanya
terdapat 50% dari seluruh pasien epilepsi yang akan terdeteksi dengan hasil yang
abnormal. EEG sebenarnya bukan merupakan tes untuk menegakkan diagnosa
epilepsi secara langsung.

EEG hanya membantu dalam penegakan diagnosa dan membantu


pembedaan antara kejang umum dan kejang fokal. Tetapi yang harus diingat :

- 10% populasi normal menunjukkan gambaran EEG abnormal yang ringan


dan non spesifik seperti gelombang lambat di salah satu atau kedua lobus
temporal-menurut sumber lain terdapat 2% populasi yang tidak pernah
mengeluh kejang memberikan gambaran abnormal pada EEG;
- 30% pasien dengan epilepsi akan memiliki gambaran EEG yang normal
pada masa interval kejang-berkurang menjadi 20% jika EEG dimasukkan
pada periode tidur.

Dengan kata lain, EEG dapat memberikan hasil yang berupa positif palsu
maupun negatif palsu, dan diperlukan kehati-hatian dalam menginterpretasinya.
Perekaman EEG yang dilanjutkan pada pasien dengan aktifitas yang sangat berat
dapat sangat membantu dalam penegakan diagnosis dengan kasus yang sangat
sulit dengan serangan yang sering, karena memperlihatkan gambaran selama
serangan kejang terjadi. Namun dengan metode ini pun masih terdapat
kemungkinan negatif palsu, dengan 10% kejang fokal yang timbul di dalam

21
sebuah lipatan korteks serebri dan yang gagal memberikan gambaran abnormal
pada pemeriksaan EEG.

Pencitraan otak, lebih sering digunakan MRI daripada CT Scan, adalah


bagian yang penting dari penilaian epilepsi tipe fokal, dan di beberapa kasus
epilepsi tipe yang tidak menentu. Mungkin tidak begitu penting pada pasien
kejang umum yang telah dikonfirmasi dengan EEG. Pemeriksaan lainnya seperti
glukosa, kalsium, dan ECG jarang memberikan informasi yang dibutuhkan.

Sulitnya menegakkan diagnosis epilepsi dengan bantuan pemeriksaan di


atas, memaksa seorang pemeriksa harus meneliti gejala klinis secara seksama
untuk menegakkan diagnosa dengan tetap memperhatikan hasil dari pemeriksaan
EEG.

2.8 Penatalaksanaan
Algoritma Management Pasien dengan Status Epileptikus

Diazepam

Seizure Berlanjut

Phenytoin 20 mg/kgIV 250mg/min


mg/min
Seizure Berlanjut

Phenytoin 5-10 mg/kg IV


250mg/min

Valproat 25 mg/kg IV
Seizure Berlanjut

Phenobarbital 20 mg/kg IV at 50-


75 mg/min
Seizure Berlanjut

Segera berikan midazolam atau Phenobarbital (tambahkan 5-10 mg/kg)


propofol (di ICU). Bila menjadi status
Seizure Berlanjut
epileptikus, dirawat dengan
gangguan sistemik lain atau bila Midazolam atau propofol
22
kejang lebih dari 6-90 menit
 Pengelolaan Status Epileptikus Konsvulsif

Pengelolaan sebelum sampai di Rumah Sakit

Pemberian benzodiazepine rectal/midazolam buccal merupakan terapi yang utama


selama diperjalanan menuju rumah sakit. Segera panggil ambulans pada kondisi
berikut:

- Bangkitan berlanjut 5 menit setelah obat emergensi diberikan


- Penderita memiliki riwayat sering mengalami bangkitan serial/bangkitan
konvulsivus.
- Terdapat kesulitan monitor jalan napas, pernapasan, sirkulasi, atau tanda
vitallain.

Terapi OAE harus diberikan bersama sama dengan terapi emergensi. Pilihan obat
tergantung dari terapi sebelumnya, tipe epilepsi, dan klinis. Apapun OAE yang
digunakan sebelumnya, harus dilanjutkan dengan dosis penuh. Bila phenitoin atau
Phenobarbital telah diberikan pada terapi emergensi, dosis rumatan dapat
diberikan secara oral atau intravena dengan monitor kadar obat dalam serum.
OAE rumatan lain dapat diberikan dengan dosis loading peroral. Bila pasien
sudah bebas bangkitan selama 12-24 jam dan terbukti kadar obat dalam plasma
adekuat, maka obat anestesi dapat diturunkan perlahan.

Pemeriksaan Umum

Stadium 1 (0-10 menit) SE Dini

Pertahankan patensi jalan napas dan resusitasi

Berikan oksigen

Periksa fungsi kardiorespirasi

Pasang infuse

23
Stadium 2 (0-30 menit)

Monitor pasien

Pertimbangkan kemungkinan kondisi non epileptik

Terapi antiepilepsi emergensi

Pemeriksaan emergensi (lihat di bawah)

Berika glukosa (D50% 50 ml) dan/atau thiamine 250 mg i.v bila ada kecurigaan
penyalahgunaan alkohol atau defisiensi nutrisi

Terapi asidosis bila terdapat asidosis berat

Stadium 3(0-60 menit) SE Menetap

Pastikan etiologi

Siapkan untuk rujuk ke ICU

Identifikasi dan terapi komplikasi medis yang terjadi

Vasopressor bila diperlukan

Stadium 4 (30-90 menit)

Pindah ke ICU

Perawatan intensif dan monitor EEG

Monitor tekanan intrakranial bila dibutuhkan

Berikan antiepilepsi rumatan jangka panjang

Pemeriksaan emergensi

Pemeriksaan gas darah, glukosa, fungsi liver, fungsi ginjal, kalsium, magnesium, darah
lengkap, faal hemostasis, kadar obat antiepilepsi. Bila diperlukan pemeriksaan toksikologi
bila penyebab status epileptikus tidak jelas. Foto toraks diperlukan untuk evaluasi
kemungkinan aspirasi. Pemeriksaan lain tergantung kondisi klinis, bisa meliputi pencitraan
otak dan dan pungsi lumbal

Pengawasan

Observasi status neurologis, tanda vital, ECG, biokimia, gas darah, pembekuan darah, dan
kadar OAE. Pasien memerlukan fasilitas ICU penuh dan dirawat oleh ahli anestesi bersama
ahli neurologi.

Monitor EEG perlu pada status epileptikus refrakter. Pertimbangkan kemungkinankan status
epilepsi nonkonvulsif. Pada status epileptikus konvulsif refrakter, tujuan utama adalah
supresi aktivitas epileptik pada EEG, dengan tujuan sekunder adalah munculnya pola burst
suppression.

24
Tabel 3. OAE untuk status epileptikus konvulsif 2
Stadium premonitor (sebelum ke Diazepam 10-20 mg per rektal, dapat diulangi 15
rumah sakit) menit kemudian bila kejang masih berlanjut, atau
midazolam 10 mg diberikan intrabuccal( belum
tersedia di Indonesia. Bila bangkitan berlanjut, terapi
sebagai berikut.
SE Dini Lorazepam (intravena) 0,1 mg/kgBB( dapat diberikan
4 mg bolus, diulang satu kali setelah 10-20 menit).
Berikan OAE yang biasa digunakan bila pasien sudah
pernah mendapat terapi OAE
SE Menetap Bila bangkitan masih berlanjut terapi sebagai berikut
dibawah ini.
Phenytoin i.v dosis of 15-18 mg/kg dengan kecepatan
pemberian 50 mg/menit dan/atau bolus Phenobarbital
10-15 mg/kg i.v dengan kecepatan pemberian 100
mg/menit.
SE Refrakter Anestesi umum dengan salah satu obat dibawah ini:
- Propofol 1-2 mg/KgBB bolus, dilanjutkan 2-10
mg/kg/jam dititrasi naik sampai SE terkontrol
- Midazolam 0,1-0,2 mg/kg bolus, dilanjutkan 0,05-
0,5 mg/kg/jam dititrasi naik sampai SE terkontrol
- Thiopental sodium 3-5 mg/kg bolus , dilanjut 3-5
mg/kg/jam dititrasi naik sampai terkontrol
Setelah penggunaan 2-3 hari kecepatan harus
diturunkan karena saturasi pada lemak.
Anastesi dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah
bangkitan klinis atau ektrografis terakhir, kemudian
dosis diturunkan perlahan

 Status Epileptikus Non Konvulsif


- Dapat ditemukan pada 1/3 kasus SE
- Dapat dibagi menjadi SE lena, SE Parsial kompleks, SE nonkonvulsivus
pada penyandang dengan koma, dan SE pada penyandang dengan
gangguan belajar
- Pemilihan terapi untuk status epileptikus nonkonvulsivus bermacam
macam sesuai jenis bangkitan

Tabel 4. Terapi status epileptikus (SE) non konvulsivus2


Tipe Terapi pilihan Terapi lain
SE Lena Benzodiazepin I.V./ oral Valproate i.v
SE Parsial kompleks Clobazam oral Lorazepam/Phenytoin/
Phenobarbital i.v.
SE Lena atipikal Valproate oral Benzodiazepine Lamotrigine,
topiramate, methylphenidate,
steroid oral
SE Tonik Lamotrigine oral methylphenidate, steroid
SE nonkonvulsivus pada Phenytoin i.v. atau Anestesia dengan thiopentone,

25
penyandang koma Phenobarbital Phenobarbital, propofol atau
midazolam

Dosis OAE pada SE Non Konvulsif 

SE lena biasanya bisa dihentikan dengan benzodiazepine intravena:


diazepam 0,2-0,3mg/kg, atau clonazepam 1 mg (0,25-0,5 mg pada anak-anak)
atau lorazepam 0,07mg/kg(0,1 mg/kg pada anak), dapat diulangi bila diperlukan.
Bila terapi ini tidak efektif,mungkin bisa diberikan fenitoin atau valproat
intravena. Pada epilepsi lena pada anak,terapi rumatan dengan valproat atau
ethosuximide diberikan setelah status terkontrol.Kondisi ini sering disebabkan
oleh putus obat( khususnya obat psikotropik atau benzodiazepine), dan
dapat dietrapi dengan diazepam atau lorazepam intravena. Terapirumatan jangka
panjang biasanya tidak diperlukan.

SE parsial kompleks paling baik diterapi dengan benzodiazepine.


Terdapatkontroversi tentang perlunya pemberian intravena pada kasus ini, pada
kebanyakankasus terapi oral member hasil yang cukup baik. Beberapa
rekomendasi terapi SE-NK dapat dilihat pada tabel.

Tabel 5. Dosis obat pada status epileptikus non konvulsif2


Obat Dosis

A. Lini Pertama
Lorazepam <60 th 4 mg i.v Ulangi 1x
60-80 th 2 mg i.v Ulangi 1-3x
>80 th 1 mg i.v Ulangi s/d 5x

Clonezepam <60 th 1 mg i.v Ulangi 1-2x


60-80 th 0,75 mg i.v Ulangi 1-3x
>80 th 0,50 mg i.v Ulangi s/d 3x

Midazolam <60 th 5 mg i.v Ulangi beberapa kali


bila perlu
60-80 th 2 mg i.v Ulangi beberapa kali
bila perlu
>80 th 1 mg i.v Ulangi beberapa kali
bila perlu

Diazepam <60 th 10 mg i.v Ulangi 1-2x


60-80 th 5 mg i.v Ulangi 1-3x
>80 th 2,5 mg i.v Ulangi s/d 5x

26
B. Lini Kedua

Fenitoin
Bolus 15-18 mg/kg kec. 50
mg/menit
Rumatan <70 kg 150 mg i.v. Tiap 12 jam, mulai 6
jam setelah loading
70-90 kg 175 mg i.v. Tiap 12 jam, mulai 6
jam setelah loading
>90 kg 200 mg i.v. Tiap 12 jam, mulai 6
jam setelah loading

Asam valproat
Bolus 30-45 mg/kg i.v.
<60 th dalam 30 menit
20-30 mg/kg i.vi.
60-80 th dalam 30 menit
15-25 mg/kg i.v.
>80 th dalam 30 menit
Rumatan Mulai dosis yang
sama dengan loading
selama 24 jam

Leveracetam
Bolus <60 th 25-30 mg/kg i.v.
dalam 15 menit
60-80 th 15-25 mg/kg i.v.
dalam 15 menit
>80 th 10-20 mg/kg i.v.
dalam 15 menit
Rumatan <60 th 1000-1500 mg/12
jam
60-80 th 750-1000 mg/12 jam
>80 th 500-750 mg/12 jam

C. Lini Ketiga

Midazolam (100-)300-600(-400) μg/menit)

Propofol (100-)300-600(-100 mg/jam (+ midazolam atau


lorazepam)

Thipenthal
Bolus 100-250 mg Ulangi sampai
bangkitan berhenti
Rumatan 3-5 mg/kg/jam

D. Lini Keempat

Lidocaine IV
Bolus 1,5-2 mg/kg Ulangi 1x setelah 20-30
menit
Rumatan 3-4 mg/kg/jam

Ketamine IV
Bolus 0,7-2 mg/kg

27
Rumatan 2-6 mg/kg/jam

Isofluran
Inhalasi
Bolus 0,5-3% dari volume end tidal
Rumatan 0,8-2% dari volume end tidal

Topiramate oral 100-400 mg Tiap 12 jam

Oxcarbazepine 600-1200 mg Tiap 12 jam, monitor


oral kadar natrium

2.9 Komplikasi

Komplikasi primer akibat langsung dari status epileptikus

Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan


memicu reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan
reseptor glutamat dan GABA, serta perubahan lingkungan sel neuron lainnya.
Perubahan pada sistem jaringan neuron, keseimbangan metabolik, sistem saraf
otonom, serta kejang berulang dapat menyebabkan komplikasi sistemik. Proses
kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada SE konvulsif dapat menyebabkan
kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan gagal ginjal. Selain itu, keadaan
hipoksia akan menyebabkan metabolisme anaerob dan memicu asidosis. Kejang
juga menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom dan fungsi jantung (hipertensi,
hipotensi, gagal jantung, atau aritmia). Metabolisme otak pun terpengaruh;
mulanya terjadi hiperglikemia akibat pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit
kemudian kadar glukosa akan turun. Seiring dengan berlangsungnya kejang,
kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi akan
memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat terjadi akibat proses
inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan sawar darah-otak.

Komplikasi sekunder

Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan adalah depresi napas


serta hipotensi, terutama golongan benzodiazepin dan fenobarbital. Efek samping
propofol yang harus diwaspadai adalah propofol infusion syndrome yang ditandai
dengan rabdomiolisis, hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal jantung, serta
28
asidosis metabolik. Pada sebagian anak, asam valproat dapat memicu ensefalopati
hepatik dan hiperamonia. Selain efek samping akibat obat antikonvulsan, efek
samping terkait perawatan intensif dan imobilisasi seperti emboli paru, trombosis
vena dalam, pneumonia, serta gangguan hemodinamik dan pernapasan harus
diperhatikan.

2.10 Prognosis

Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis; 37% menderita defisit
neurologis permanen, 48% disabilitas intelektual. Sekitar 3-56% pasien yang
mengalami SE akan mengalami kembali kejang yang lama atau status epileptikus
yang terjadi dalam 2 tahun pertama. Faktor risiko SE berulang adalah; usia muda,
ensefalopati progresif, etiologi simtomatis remote, sindrom epilepsi.

29
BAB III
KESIMPULAN

Status epileptikus adalah kejang yang berlangsung terus-menerus selama


periode waktu tertentu atau berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara
kejang. Batasan lama kejang berlangsung yang ditetapkan oleh sebagian para ahli
batasan waktunya adalah selama 30 menit atau lebih.

Status Epileptikus merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang harus


ditangani segera dan secepat mungkin, karena melibatkan proses fisiologis pada
sistem homeostasis tubuh, kerusakan syaraf dan otak yang dapat mengakibatkan
kematian. Penanganannya tidak hanya menghentikan kejang yang sedang
berlangsung, tetapi juga harus mengidentifikasi penyakit dasar dari status tersebut.

Dengan memahami dasar dari patofisiologi status epileptikus dan adanya


konsensus mengenai penatalaksanaan status epileptikus, maka diharapkan
prognosis pasien yang mengalami kasus ini dapat menjadi lebih baik dan
mencegah timbulnya komplikasi dan rekurensi dari status epileptikus ini.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur C. 1987.Fisiologi Kedokteran. 148 – 168. Edisi ke 5. EGC.


Jakarta.
2. Engel J Jr. Report of the ILAE classification core group. Epilepsia.
2006;47:1558–1568.
3. Kolegium Neurologi Indonesia Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. Advanced Neurology Life Support. Indonesian Neurosurgical
Association. 2008
4. Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman
Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.
5. Mardjono M (2003) : Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan
Penatalaksanaannya dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi,
Agoes A (editor); 129-148.
6. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) 2014.
Pedoman Studi Epilepsi
7. Price, A. Silvia; Wilson, M. Lorraine, Patofisiologi, Konsep Klinis
Prosesproses Penyakit, 901 – 929, 1021 – 1022, EGC, Jakarta, 1995.
8. Rilianto, Beny. 2015. Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus. CDK-
233, Vol 42 (10): 750-754.

31

Anda mungkin juga menyukai