STATUS EPILEPTIKUS
Disusun Oleh:
Dokter Muda Stase Bagian Neurologi
Periode 26 Maret – 19 April 2018
Pembimbing:
dr. Hj. Sri Handayani, Sp.S
BAGIAN NEUROLOGI
RUMAH SAKIT MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
1
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Referat:
STATUS EPILEPTIKUS
Oleh:
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Periode 26 Maret – 19 April 2018.
2
KATA PENGANTAR
Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Status
Epileptikus” untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Bagian Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Hj. Sri Handayani, Sp.S selaku pembimbing yang telah membantu memberikan
ajaran dan masukan sehingga referat ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikian lah referat ini, semoga
bermanfaat.
Tim Penulis
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Insidens SE di Amerika Serikat berkisar 41 per 100.000 individu setiap tahun,
sekitar 27 per 100.000 untuk dewasa muda dan 86 per 100.000 untuk usia lanjut.
Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala yang timbul pada pasien
yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang
didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat
antikonvulsan.
6
Insidensi kejadian SE terjadi pada masa-masa awal kehidupan dan akan
meningkat pada dekade kelima kehidupan secara perlahan-lahan. Pada usia lanjut
(>75 tahun), 35% kasus epilepsi yang baru ditemukan adalah status epileptikus.
Mortalitas SE (kematian dalam 30 hari) berkisar 22%. Kematian pada anak hanya
3%, sedangkan pada dewasa 26%. Populasi yang lebih tua mempunyai mortalitas
hingga 38%. Mortalitas tergantung dari durasi kejang, usia onset kejang, dan
etiologi. Pasien stroke dan anoksia mempunyai mortalitas paling tinggi.
Sedangkan pasien dengan etiologi penghentian alkohol atau kadar obat anti
epilepsi dalam darah yang rendah, mempunyai mortalitas relatif rendah.
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari status epileptikus
dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua status epileptikus
kebanyakan sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung,
dementia. Pada negara miskin, epilepsi merupakan kejadian yang tak tertangani
dan merupakan angka kejadian yang paling tinggi.
2.2 Etiologi
2. 3 Klasifikasi
7
Secara tradisional, SE dapat diklasifikasikan menjadi convulsive dan
nonconvulsive, namun istilah ini dapat tidak tepat. Skema baru klasifikasi
ILAE( International League Against Epilepsy) telah menolak penggunaan istilah
nonconvulsive, karena dapat merupakan suatu keadaan yang beragam seperti
kejang fokal pada limbic SE ataupun Generalized seperti absence SE. Disamping
itu, keadaan convulsive, khususnya kejang myoclonic, dapat terlihat pada
nonconvulsive SE, misalnya kejang di kelopak mata atau perioral.
2.3 Patofisiologi
8
penggunggah (excitatory) dan kekuatan penghambat (inhibitory) di dalam jejaring
neuron kortikal. Metabolisme otak memerlukan glukosa dan oksigen. Membran
neuron memiliki permeabilitas dan tegangan tertetnu yang dipengaruhi oleh
perubahan lingkungan kimiawi dan humoral. Berbagai faktor yang mengubah
permeabilitas populasi sel dan konsentrasi ion dapat mengubah sistem neuron
yang lebih mudah terangsang. Kejang dipicu oleh perangsangan sebagian besar
neuron secara berlebihan, spontan, dan sinkron sehingga mengakibatkan aktivasi
fungsi motorik (kejang), sensorik, otonom atau fungsi kompleks (kognitif,
emosional) secara lokal atau umum. Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa
teori:
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktifitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang
berlebihan tersebut. Lesi di mesensefalon, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang.12
9
- Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun,
apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;
- Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan
asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA);
- Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat
hiperaktifitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aluran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan
setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktifitas
kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik yang seringkali normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih
bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara
konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin
dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap
asetilkolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut lambat
mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
10
yang digunakan pada status epileptikus lebih efektif apabila diberikan pada jam
pertama berlangsungnya status.
Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja
nampak cukup, untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran darah
otak (Cerebral Blood Flow), kurang dari 20 ml/100g/menit, memberikan banyak
efek di antaranya terinduksinya Nitrit Oksida Sintase (iNOS) di dalam astrosit dan
microglia yang mungkin berhubungan dengan aktivasi N-methyl-D-Aspartate
(NMDA) receptor yang menyebabkan kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit
saja yang kemudian bereaksi dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan super-
radical. Aktivasi ini menyebabkan pelepasan asam amino eksitatorik aspartat dan
glutamat. Akibatnya, berlangsunglah sebuah mekanisme kerusakan yang
dimediasi oleh glutamate-glutamic-mediated excitotoxicity khususnya di
hipokampus. Sementara, konsentrasi kalsium ekstraseluler normal pada neuron-
neuron setidaknya 1000 kali lebih besar daripada intraseluler. Selama kejang,
receptor-gated calcium channel terbuka mengikuti stimulasi reseptor NMDA.
Peningkatan kalsium intraseluler yang fluktuatif ini akan semakin meningkatkan
keracunan sel. Akibatnya apabila kejang ini terus menerus terjadi, kerusakan otak
yang terjadi pun akan semakin besar.
11
kemampuan hambatan instrinsik (GABA) atau mekanisme hambatan intrinsik
tidak efektif. Status epileptikus dibagi menjadi 2 fase, yaitu:
Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi . Pada fase ini terjadi:
- Pelepasan adrenalin dan noradrenalin
- Peningkatan cerebral blood flow dan metabolisme
- Hipertensi, hiperpireksia
- Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat
Fase (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
- Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak
- Depresi pernafasan
- Disritmia jantung, hipotensi
- Hipoglikemia, hiponatremia
- Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DIC
12
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik
yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-
putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi
CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin
berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang
mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik.
Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani.
13
4. Status Epileptikus Mioklonik.
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus
adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat
kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia
berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan
toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
5. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia
pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status
presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang
lambat seperti menyerupai “slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam
waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau
kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz
monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap
status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.
6. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-
konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional,
cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi
14
psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG
menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike
wave discharges dari status absens.
7. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-
jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan
berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang
mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG
sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform
discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering
berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari
status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau
gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik
unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.
8. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi
yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi
otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang
berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau
frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit
memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-
konvulsif pada beberapa kasus.
2.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Epilepsi adalah sebuah penyakit yang sangat sulit untuk didiagnosa, dan
kesalahan-kesalahan dalam mendiagnosis seringkali terjadi. Ketepatan diagnosis
15
pada pasien dengan epilepsi bergantung terutama pada penegakan terhadap
gambaran yang jelas baik dari pasien maupun dari saksi. Hal ini mengarahkan
pada diagnosis gangguan kesadaran. Seseorang harus menelusuri secara teliti
tentang bagaimana perasaan pasien sebelum gangguan, selama (apabila pasien
sadar) dan setelah serangan, dan juga memperoleh penjelasan yang jelas tentang
apa yang dilakukan pasien setiap tahap kejang dari seorang saksi. Seseorang tidak
dapat langsung menegakkan diagnosa hanya dengan gejala klinis yang ada
melalui penilaian serangan. Pemeriksaan, seperti EEG, sebaiknya digunakan
untuk menunjang perkiraan diagnostik yang didasarkan pada informasi klinis.
Diagnostik secara tepat selalu jauh lebih sulit dilakukan pada pasien yang
mengalami kehilangan kesadaran tanpa adanya saksi mata.(Ahmed, Spencer
2004).
Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut (Ahmed, Spencer
2004, Hadi 1993, Harsono 2001, Kustiowati dkk 2003).
1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini?
Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang.
Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder
gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi
kongenital. Serangan kejang umum cenderung muncul pada usia anakanak
dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul serangan kejang biasanya
ada kemungkinan mempunyai kelainan patologis di otak seperti stroke
atau tumor otak dsb.
2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak
pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala
peringatan yang dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul
disebut dengan “aura” dimana suatu “aura” itu bila muncul sebelum
serangan kejang parsial sederhana berarti ada fokus di otak. Sebagian “
aura” dapat membantu dimana letak lokasi serangan kejang di otak. Pasien
dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan adanya “déjà vu” dan atau ada
sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen yang mungkin
merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan penglihatan sementara
mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada
16
serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan “aura” hal ini
disebabkan terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika “aura”
dilaporkan oleh pasien sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari
sumber fokus yang patologis.
3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan
dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien
tidak dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan
dengan saksi mata yang mengetahui serangan kejang berlangsung. Apakah
ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan
kejang terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh?
Apakah pasien dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung?
Apakah mata berkedip berlebihan pada serangan kejang terjadi? Apakah
ada gerakan “automatism” pada satu sisi ? Apakah ada sikap tertentu pada
anggota gerak tubuh? Apakah lidah tergigit? Apakah pasien mengompol ?
Serangan kejang yang berasal dari lobus frontalis mungkin dapat
menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan
kejang yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan
mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang
dari lobus oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang
berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin
kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang umum meskipun dapat
dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks.
4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode
sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah “post
ictal period ” Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik
pasien lalu tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun
terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan kejang
parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang
disebut “Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan adanya fokus patologis
di otak. Afasia dengan tidak disertai gangguan kesadaran menggambarkan
gangguan berbahasa di hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas tidak ada
gangguan disorientasi setelah serangan kejang.
17
5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang
tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga
dan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu,
sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu
malam hari.
6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh
karena kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan
minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat,
stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu,
“drug abuse”, “ reading & eating epilepsy”. Dengan mengetahui faktor
pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun keluarganya dapat
membantu dalam mencegah serangan kejang.
7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu
untuk mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat
obat-obat anti kejang.
8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan
ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat
obat anti kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut
yang sedang digunakan spesifik bermanfaat ?
9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan
menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan
setiap jenis serangan kejang secara lengkap.
10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan
serangan kejang? Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang
mengalami luka ditubuh akibat serangan kejang ada yang diawali dengan
“aura“ tetapi tidak ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak
menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang atau mungkin ada
“aura“ , sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan
upaya upaya untuk mengurangi bahaya terjadinya luka.
11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat?
Dengan mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat
darurat dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi
18
yang mungkin disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien,
ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain
yang menyertai.
Di luar dari temuan akurat yang berkaitan dengan serangan, terdapat banyak
informasi lebih lanjut yang perlu ditelusuri melalui anamnesis dan pemeriksaan.
Jika serangan tersebut diduga akan berlanjut sebagai epilepsi, penelusuran harus
disusun sesuai dengan penyebab epilepsi. Epilepsi umum primer-tonik-klonik
umum primer, bangkitan absen dan mioklonik, dengan atau tanpa fotosensitivitas-
memiliki kaitan dengan keluarga, sehingga bertanya mungkin akan mengungkap
anggota keluarga lainnya yang juga menderita serangan epilepsi. Epilepsi fokal
bentuk apapun memperlihatkan adanya patologi intrakranial. Patologi paling
umum yang dimaksud adalah pembentukan jaringan ikat pada satu daerah yang
merupakan kelanjutan dari beberapa proses perjalanan penyakit aktif sebelumnya,
meskipun kadang-kadang serangan epilepsi mungkin terjadi ketika terdapat proses
patologi yang masih berlangsung di fase aktif.
- Setelah trauma otak saat melahirkan;
- Setelah trauma pada otak dan kepala;
- Selama atau setelah meningitis, ensefalitis, atau abses otak;
- Pada saat atau sisa dari infark serebri, perdarahan serebral, atau
perdarahan sub arachnoid;
- Hasil dari trauma bedah yang tak terhindarkan. Kadang-kadang
epilepsi dicetuskan oleh gangguan biokimia di otak seperti:
- Selama putus konsumsi obat dan alkohol; - Selama koma hepatik,
uremik, dan hipoglikemik;
- Sementara mengonsumsi obat penenang atau antidepresan.
Yang juga perlu dipikirkan adalah kemungkunan epilepsi yang dicetuskan
oleh tumor otak. Tumor otak merup[akan penyebab yang tidak sering
menyebabkan epilepsi, namun tidak boleh disingkirkan tanpa adanya pemeriksaan
lebih lanjut. Epilepsi yang onsetnya dimulai pada umur dewasa, khususnya
dengan tanda-tanda defisit neurologis fokal dan terasosiasi, kemungkinan besar
disebabkan oleh tumor. (Ahmed, Spencer 2004).
19
Untuk mempermudah anamnesis, berikut kesimpulan yang perlu
dintanyakan kepada pasien maupun saksi:
- Family history
- Past history
- Systemic history
- Alcoholic history
- Drug hostory
- Focal neurological symptoms and signs
20
adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus
temporalis.
Dengan kata lain, EEG dapat memberikan hasil yang berupa positif palsu
maupun negatif palsu, dan diperlukan kehati-hatian dalam menginterpretasinya.
Perekaman EEG yang dilanjutkan pada pasien dengan aktifitas yang sangat berat
dapat sangat membantu dalam penegakan diagnosis dengan kasus yang sangat
sulit dengan serangan yang sering, karena memperlihatkan gambaran selama
serangan kejang terjadi. Namun dengan metode ini pun masih terdapat
kemungkinan negatif palsu, dengan 10% kejang fokal yang timbul di dalam
21
sebuah lipatan korteks serebri dan yang gagal memberikan gambaran abnormal
pada pemeriksaan EEG.
2.8 Penatalaksanaan
Algoritma Management Pasien dengan Status Epileptikus
Diazepam
Seizure Berlanjut
Valproat 25 mg/kg IV
Seizure Berlanjut
Terapi OAE harus diberikan bersama sama dengan terapi emergensi. Pilihan obat
tergantung dari terapi sebelumnya, tipe epilepsi, dan klinis. Apapun OAE yang
digunakan sebelumnya, harus dilanjutkan dengan dosis penuh. Bila phenitoin atau
Phenobarbital telah diberikan pada terapi emergensi, dosis rumatan dapat
diberikan secara oral atau intravena dengan monitor kadar obat dalam serum.
OAE rumatan lain dapat diberikan dengan dosis loading peroral. Bila pasien
sudah bebas bangkitan selama 12-24 jam dan terbukti kadar obat dalam plasma
adekuat, maka obat anestesi dapat diturunkan perlahan.
Pemeriksaan Umum
Berikan oksigen
Pasang infuse
23
Stadium 2 (0-30 menit)
Monitor pasien
Berika glukosa (D50% 50 ml) dan/atau thiamine 250 mg i.v bila ada kecurigaan
penyalahgunaan alkohol atau defisiensi nutrisi
Pastikan etiologi
Pindah ke ICU
Pemeriksaan emergensi
Pemeriksaan gas darah, glukosa, fungsi liver, fungsi ginjal, kalsium, magnesium, darah
lengkap, faal hemostasis, kadar obat antiepilepsi. Bila diperlukan pemeriksaan toksikologi
bila penyebab status epileptikus tidak jelas. Foto toraks diperlukan untuk evaluasi
kemungkinan aspirasi. Pemeriksaan lain tergantung kondisi klinis, bisa meliputi pencitraan
otak dan dan pungsi lumbal
Pengawasan
Observasi status neurologis, tanda vital, ECG, biokimia, gas darah, pembekuan darah, dan
kadar OAE. Pasien memerlukan fasilitas ICU penuh dan dirawat oleh ahli anestesi bersama
ahli neurologi.
Monitor EEG perlu pada status epileptikus refrakter. Pertimbangkan kemungkinankan status
epilepsi nonkonvulsif. Pada status epileptikus konvulsif refrakter, tujuan utama adalah
supresi aktivitas epileptik pada EEG, dengan tujuan sekunder adalah munculnya pola burst
suppression.
24
Tabel 3. OAE untuk status epileptikus konvulsif 2
Stadium premonitor (sebelum ke Diazepam 10-20 mg per rektal, dapat diulangi 15
rumah sakit) menit kemudian bila kejang masih berlanjut, atau
midazolam 10 mg diberikan intrabuccal( belum
tersedia di Indonesia. Bila bangkitan berlanjut, terapi
sebagai berikut.
SE Dini Lorazepam (intravena) 0,1 mg/kgBB( dapat diberikan
4 mg bolus, diulang satu kali setelah 10-20 menit).
Berikan OAE yang biasa digunakan bila pasien sudah
pernah mendapat terapi OAE
SE Menetap Bila bangkitan masih berlanjut terapi sebagai berikut
dibawah ini.
Phenytoin i.v dosis of 15-18 mg/kg dengan kecepatan
pemberian 50 mg/menit dan/atau bolus Phenobarbital
10-15 mg/kg i.v dengan kecepatan pemberian 100
mg/menit.
SE Refrakter Anestesi umum dengan salah satu obat dibawah ini:
- Propofol 1-2 mg/KgBB bolus, dilanjutkan 2-10
mg/kg/jam dititrasi naik sampai SE terkontrol
- Midazolam 0,1-0,2 mg/kg bolus, dilanjutkan 0,05-
0,5 mg/kg/jam dititrasi naik sampai SE terkontrol
- Thiopental sodium 3-5 mg/kg bolus , dilanjut 3-5
mg/kg/jam dititrasi naik sampai terkontrol
Setelah penggunaan 2-3 hari kecepatan harus
diturunkan karena saturasi pada lemak.
Anastesi dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah
bangkitan klinis atau ektrografis terakhir, kemudian
dosis diturunkan perlahan
25
penyandang koma Phenobarbital Phenobarbital, propofol atau
midazolam
A. Lini Pertama
Lorazepam <60 th 4 mg i.v Ulangi 1x
60-80 th 2 mg i.v Ulangi 1-3x
>80 th 1 mg i.v Ulangi s/d 5x
26
B. Lini Kedua
Fenitoin
Bolus 15-18 mg/kg kec. 50
mg/menit
Rumatan <70 kg 150 mg i.v. Tiap 12 jam, mulai 6
jam setelah loading
70-90 kg 175 mg i.v. Tiap 12 jam, mulai 6
jam setelah loading
>90 kg 200 mg i.v. Tiap 12 jam, mulai 6
jam setelah loading
Asam valproat
Bolus 30-45 mg/kg i.v.
<60 th dalam 30 menit
20-30 mg/kg i.vi.
60-80 th dalam 30 menit
15-25 mg/kg i.v.
>80 th dalam 30 menit
Rumatan Mulai dosis yang
sama dengan loading
selama 24 jam
Leveracetam
Bolus <60 th 25-30 mg/kg i.v.
dalam 15 menit
60-80 th 15-25 mg/kg i.v.
dalam 15 menit
>80 th 10-20 mg/kg i.v.
dalam 15 menit
Rumatan <60 th 1000-1500 mg/12
jam
60-80 th 750-1000 mg/12 jam
>80 th 500-750 mg/12 jam
C. Lini Ketiga
Thipenthal
Bolus 100-250 mg Ulangi sampai
bangkitan berhenti
Rumatan 3-5 mg/kg/jam
D. Lini Keempat
Lidocaine IV
Bolus 1,5-2 mg/kg Ulangi 1x setelah 20-30
menit
Rumatan 3-4 mg/kg/jam
Ketamine IV
Bolus 0,7-2 mg/kg
27
Rumatan 2-6 mg/kg/jam
Isofluran
Inhalasi
Bolus 0,5-3% dari volume end tidal
Rumatan 0,8-2% dari volume end tidal
2.9 Komplikasi
Komplikasi sekunder
2.10 Prognosis
Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis; 37% menderita defisit
neurologis permanen, 48% disabilitas intelektual. Sekitar 3-56% pasien yang
mengalami SE akan mengalami kembali kejang yang lama atau status epileptikus
yang terjadi dalam 2 tahun pertama. Faktor risiko SE berulang adalah; usia muda,
ensefalopati progresif, etiologi simtomatis remote, sindrom epilepsi.
29
BAB III
KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
31