Anda di halaman 1dari 23

Referat

VITILIGO

Oleh
Silvi Silvania, S.Ked
04054821820026

Pembimbing
Dr. dr. Yuli Kurniawati, SpKK (K), FINSDV, FAADV

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. MOH. HOESIN
PALEMBANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

VITILIGO

Oleh:
Silvi Silvania, S.Ked
04054821820026

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan
klinik senior di Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang Periode
30 April - 04 Juni 2018.

Palembang, 14 Mei 2018

Dr. dr. Yuli Kurniawati, SpKK (K), FINSDV, FAADV

2
Vitiligo
Silvi Silvania, S.Ked
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Pendahuluan
Vitiligo merupakan gangguan pigmentasi yang didapat pada kulit yang ditandai
dengan depigmentasi berupa bercak putih dikelilingi oleh kulit normal maupun
hiperpigmentasi yang dapat bertambah besar dan banyak seiring waktu.1
Vitiligo biasanya dimulai pada masa anak-anak atau dewasa muda, dengan puncak
onset pada usia 10 sampai 30 tahun. Sekitar 50% kasus vitiligo dimulai sebelum usia 20
tahun. Vitiligo lebih rentan terjadi pada area wajah, dada bagian atas, punggung tangan,
aksila, dan lipat paha. Selain itu, area yang juga rentan terkena adalah mata, hidung, mulut,
telinga, puting, umbilikus, penis, vulva, dan anus. Lesi juga dapat muncul di area trauma
seperti siku dan lutut.1
Tanda utama yang ditemukan pada penderita vitiligo adalah patch depigmentasi yang
berbatas tegas. Selain di kulit, terdapat manifestasi lain pada penderita vitiligo yaitu pada
rambut dan mata. Pada penderita vitiligo dapat ditemui rambut-rambut menjadi putih. Vitiligo
diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok berdasarkan distribusi depigmentasi dan
lokalisasi. Vitiligo yang paling banyak dijumpai adalah tipe generalisata sedangkan subtipe
terbanyak adalah vulgaris.2
Menurut Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), vitiligo memiliki kompetensi
3A untuk dokter umum. Hal ini berarti dokter umum harus mampu membuat diagnosis klinik
dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Selain itu,
dokter umum harus mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien
selanjutnya dan mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Pada referat ini akan
dibahas mengenai definisi, epidemiologi, etiopatogenesis, diagnosis, penatalaksanaan dan
prognosis vitiligo. Melalui referat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai
vitiligo agar dapat didiagnosis dan ditatalaksana dengan tepat.

3
Definisi
Vitiligo merupakan gangguan pigmentasi yang didapat pada kulit yang ditandai
dengan depigmentasi berupa bercak putih dikelilingi oleh kulit normal maupun
hiperpigmentasi yang dapat bertambah besar dan banyak seiring waktu. 1,3

Epidemiologi
Vitiligo biasanya dimulai pada masa anak-anak atau dewasa muda, dengan puncak
onset pada usia 10 dan 30 tahun. Sekitar 50% kasus vitiligo dimulai sebelum usia 20 tahun
dan sekitar 7-80% sebelum usia 30 tahun. 10 Hanya sedikit kasus vitiligo yang timbul sejak
lahir dan terdapat beberapa kasus vitiligo yang terjadi pada usia tua.2
Prevalensi kejadian berkisar dari 0,5-1% di sebagian besar negara tetapi 8% di
beberapa wilayah di India. Kasus vitiligo meningkat pada beberapa negara yang dominan
masyarakatnya berkulit hitam. Hal ini disebabkan karena terjadi perbedaan warna yang sangat
tajam antara warna kulit dan lesi vitiligo. Kejadian vitiligo diduga lebih banyak dialami oleh
perempuan dibandingkan laki-laki yang dimulai pada usia lebih muda. Hal ini diduga akibat
perempuan lebih sering datang ke pelayanan kesehatan mengenai masalah kosmetik
dibandingkan laki-laki.1,2
Kejadian vitiligo >30% terjadi pada orang yang mempunyai orang tua, saudara atau
anak yang menderita vitiligo. Risiko terkena vitiligo pada orang tua yang menderita vitiligo
berkisar <10%. Risiko berkembangnya vitiligo juga meningkat pada orang yang memiliki
riwayat penyakit atau keluarga dengan penyakit tiroid, diabetes melitus, dan vitiligo.2

Etiopatogenesis
Vitiligo merupakan penyakit multifaktorial yang dapat dihubungkan dengan penyebab
genetik maupun non-genetik. Teori utama yang dikemukakan saat ini yaitu mengenai faktor
genetik yang berinteraksi dengan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi fungsi dari
melanosit bahkan dapat menyebabkan kerusakan melanosit.2,6
Beberapa teori yang dapat menjelaskan etiopatogenesis vitiligo adalah sebagai berikut:
1. Teori autoimun
Teori autoimun menjelaskan bahwa imunitas humoral dan seluler berperan dalam
penghancuran melanosit.6 Teori autoimun didukung dengan ditemukannya antibodi anti-organ
dalam peredaran darah. Antibodi ini melawan beberapa autoantigen melanosit seperti
tyrosinase, tyrosinase-related protein 1 dan 2 (TYRP1 dan TYRP2), dopachrome

4
tautomerase, melanin-concentrating hormone receptor-1 dan beberapa autoantigen lain yang
memiliki kemampuan untuk merusak melanosit.2,6 Disfungsi komponen humoral juga
didukung dengan adanya hubungan antara vitiligo dengan penyakit endokrinopati autoimun
seperti hipotiroid, hipertiroid, anemia pernisiosa, penyakit Addison dan insufficiencies
polyglandular.2,6
Pada tepi lesi vitiligo generalisata ditemukan infiltrasi sel T sitotoksik yang
mengekspresikan profil sitokin tipe 1 bersifat sitolitik terhadap melanosit melalui jalur
granzyme atau perforin.2 Cutaneous lymphocyte-associated antigen (CLA+) sel T juga
berperan dalam kerusakan melanosit.7 Beberapa penelitian juga menemukan bahwa kadar
CD4+ dan CD8+ pada kulit penderita vitiligo lebih menurun dibandingkan dengan kulit orang
normal.8
Teori autoimun juga menjelaskan peran sitokin dalam perkembangan vitiligo.
Berdasarkan pemeriksaan terhadap 30 subjek vitiligo dan 20 subjek normal, diketahui bahwa
interleukin-17 (IL-17) meningkat signifikan pada penderita vitiligo dibandingkan orang
normal. Beberapa penelitan juga menyatakan adanya peningkatan ekspresi tumor necrosis
factor-α (TNF-α), interferon-γ (IFN-γ), and IL-10.8

2. Teori biokimia
Hipotesis stres oksidatif menyatakan bahwa ketidakseimbangan reduksi oksidasi
terjadi pada kulit penderita vitiligo. Hal ini menyebabkan dihasilkannya produksi ROS seperti
H202. Komponen oksidasi ROS akan menginduksi kerusakan melanosit dan menyebabkan
pembentukan makula depigmentasi.9

3. Teori genetika
Penelitian terhadap keluarga dan saudara kembar penderita vitiligo menunjukkan
bahwa faktor genetik memiliki peran dalam perkembangan vitiligo, tetapi pewarisan vitiligo
tidak dapat dijelaskan dengan genetika Mendel.6
Penelitian mengenai pengaruh genetik saat ini terfokus pada vitiligo non-segmental
(terutama generalisata).2 Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa pengaruh genetik dan
lingkungan banyak ditemukan pada penderita vitiligo tipe non-segmental. 7 Pada penderita
vitiligo non-segmental, riwayat keluarga yang menderita vitiligo sebesar 7,5-27,3%
sedangkan pada vitiligo segmental hanya sebesar 9,5-14,9%. 15 Berdasarkan studi retrospektif
yang dilakukan pada 137 anak, didapatkan bahwa vitiligo segmental lebih sering terjadi pada
penderita yang tidak memiliki riwayat vitiligo dalam keluarga. Selain itu diketahui bahwa gen

5
penderita vitiligo berada di lokus tertentu seperti major histocompatibility complex (MHC).
Genome wide association (GWA) juga telah mengidentifikasi lokus lain yang diperkirakan
berperan terhadap patogenesis vitiligo generalisata yaitu human leucosyte antigen (HLA)
kelas 1, HLA kelas 2 dan protein tyrosinase phosphatase (PTPN-22).2
Berbeda dengan vitiligo generalisata, vitiligo segmental biasanya terjadi secara
sporadik dan terdistribusi unilateral. Hal ini menunjukkan adanya mutasi somatik pada
penderita vitiligo segmental.2

4. Teori neural
Teori awal yaitu teori neural oleh Lerner’s (1959) menyatakan bahwa beberapa
vitiligo berdistribusi mengikuti perjalanan dermatom disertai dengan hiperhidrosis dan
gangguan emosional. Disfungsi dari peran sistem saraf simpatis mempengaruhi produksi dari
melanin yang dapat menyebabkan depigmentasi. Hipotesis neurogenik menyatakan bahwa
komponen yang dilepaskan di ujung saraf perifer akan menghambat melanogenesis kulit dan
bersifat toksik terhadap melanosit.4

5. Teori intrinsik
Teori intrinsik menyatakan bahwa pada penderita vitiligo terjadi defek intrinsik
melanosit yang menyebabkan kematian melanosit. Defek intrinsik dapat berupa defek
morfologi, penurunan adhesive properties, defisiensi faktor pertumbuhan melanosit serta
kelainan struktur termasuk pelebaran retikulum endoplasma kasar.6,8 Hal ini menunjukkan
bahwa kelainan struktur dan fungsi dari retikulum endoplasma kasar mungkin memiliki peran
dalam patogenesis vitiligo. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa terdapat ekspresi abnormal
tyrosinase-related proteins yang meningkatkan kepekaan terhadap stres oksidatif sehingga
mengakibatkan kematian sel. Berdasarkan hal ini, diketahui bahwa hilangnya melanosit pada
lesi penderita vitiligo berkaitan dengan sintesis dan pengolahan tyrosinase-related proteins-1
serta interaksi abnormal melanogenesis chaperone dan calnexin di dalam retikulum
endoplasma kasar.6

6. Teori pertahanan terhadap radikal bebas


Pada penderita vitiligo, terjadi peningkatan biosintesis katekolamin (berkaitan dengan
peningkatan aktivitas monoamine oxidase A) dan terjadi penghambatan reduktase thioredoxin
oleh kalsium. Keratinosit dan melanosit penderita vitiligo memiliki transfer kalsium yang

6
rusak sehingga menyebabkan terjadinya abnormalitas homeostasis kalsium. Sejak Ca2+
ditemukan sebagai inhibitor dalam proses reduktase membrane-associated thioredoxin, defek
transportasi Ca2+ dapat menjelaskan teori pertahanan radikal bebas pada penderita vitiligo.
Defek transportasi Ca2+ menyebabkan stres oksidatif dan akumulasi senyawa
melanositotoksik yang berkontribusi terhadap kerusakan melanosit kulit penderita vitiligo.6

7. Teori melanositoragi
Studi morfologi in vivo terbaru menjelaskan mengenai teori melanositoragi. Teori ini
menyatakan bahwa vitiligo generalisata disebabkan karena detachment kronik melanosit dan
hilangnya transepidermal melanosit disebabkan oleh trauma ataupun stresor seperti
katekolamin, reactive oxygen species (ROS) atau autoimun. Setelah detachment (yang
diinduksi oleh stres mekanik), melanosit yang rusak akan dieliminasi melalui transepidermal
secara pasif.6
Protein tenascin juga memiliki peran dalam menurunkan adhesi melanosit pada
penderita vitiligo. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa kadar protein tenascin pada
penderita vitiligo lebih tinggi dibandingkan orang normal.6

8. Teori virus
Terdapat hubungan yang kuat antara vitiligo dan infeksi virus hepatitis C kronik dan
hepatitis autoimun. Infeksi cytomegalovirus (CMV) dapat menginduksi etiopatogensesis atau
deteriorasi vitiligo. Selain itu, virus lain seperti Epstein-Barr virus, virus hepatitis E, virus
herpes dan HIV juga diduga berhubungan dengan timbulnya vitiligo.9

9. Teori terpadu (teori konversi)


Berdasarkan data yang tersedia sampai saat ini, terdapat kemungkinan bahwa
hilangnya melanosit epidermis dan folikular penderita vitiligo merupakan kombinasi dari
beberapa mekanisme patogen yang berbeda. Vitiligo mungkin bukan merupakan entitas
penyakit tunggal melainkan sindrom yang terdiri dari berbagai patogenesis. Teori konvergensi
juga diusulkan untuk menjelaskan bahwa faktor genetik, stres, akumulasi senyawa toksik,
infeksi, autoimunitas, lingkungan selular, serta gangguan migrasi dan proliferasi melanosit
berkontribusi terhadap fenomena vitiligo.4,6

7
Faktor Lingkungan Faktor Epigenetik
Faktor Genetik (radiasi UV, infeksi) (modifikasi histone)

Faktor Autoimun: Faktor Biokimia:


1. Imunitas seluler (CD4+, Th2, 1. Akumulasi dari senyawa
Faktor Neural (neuropeptide, Th1, Th17, Tregs, CD8+ biokimia (peningkatan H2O2 dan
nerve growth factor, calcitonin 2. Imunitas humoral katekolamin)
gene-related peptide) (autoantibodi terhadap protein 2. Pertahanan anti oksidan yang
melanositik) lemah

Dekstruksi melanosit

Vitiligo

Bagan 1. Etiopatogenesis vitiligo.15

Manifestasi Klinis
Terdapat beberapa klasifikasi yang tercatat dalam literatur, pembagian terbanyak
berdasarkan lokasi dan distribusi, seperti klasifikasi menurut Ortonne tahun 1983 terdiri dari
vitiligo lokalisata, vitiligo generalisata dan vitiligo universalis. Vitiligo lokalisata terbagi
menjadi vitiligo fokalis, vitiligo segmental dan vitiligo mukosal. Vitiligo generalisata terbagi
menjadi vitiligo akrofasial, vitiligo vulgaris dan vitiligo campuran.16
1. Vitiligo segmental
Vitiligo segmental adalah varian yang terbatas pada satu sisi segmen, dan jenis
ini jarang dijumpai.16 Ditandai dengan makula unilateral yang tidak melewati garis
tengah tubuh serta sering mengenai anak-anak. Vitiligo ini biasanya menyebar dengan
cepat pada fase-fase awal, kemudian melambat dan tetap stabil setahun setelahnya.
Vitiligo segmental ini tidak pernah dikaitkan dengan etiopatogenesis autoimun.5

8
Gambar 1. Vitiligo segmental.5
Klasifikasi vitiligo segmental di wajah menurut klasifikasi Hann terbagi
menjadi lima pola. Pola Ia memiliki lesi yang dimulai dari bagian kanan dahi,
melintasi garis tengah wajah dan menyebar ke bawah bola mata, hidung dan pipi pada
bagian wajah sebelah kiri. Pola Ib muncul dengan pola berlawanan dengan pola I. Lesi
dimulai dari sisi wajah sebelah kiri dan menyebar ke bawah sisi wajah sebelah kanan
melewati garis tengah wajah. Pola II, lesi dimulai dari area antara hidung dan bibir
lalu menyebar ke area preaurikular. Pada pola III, lesi dimulai dari bagian bawah bibir
dan menyebar ke bawah yaitu dagu dan leher. Pada pola IV, lesi berasal dari sisi wajah
sebelah kanan dan menyebar ke bawah bola mata, hidung dan pipi tanpa melalui garis
tengah wajah. Pola V, lesi berada di bagian pipi sebelah kiri. Beberapa vitiligo
segmental tidak dapat diklasifikasikan menggunakan klasifikasi ini. Pola yang paling
sering terjadi yaitu pola I dan pola IV yang paling jarang terjadi.10

Gambar 2. Klasifikasi Hann vitiligo segmental10

9
2. Vitiligo fokalis
Ditandai dengan adanya satu atau beberapa makula pada suatu area tapi tidak
terdistribusi dalam pola segmental, yang merupakan bentuk awal dari vitiligo
generalisata.5

Gambar 3. Vitiligo fokalis.5

3. Vitiligo mukosal
Vitiligo mukosal, merupakan istilah yang menunjukkan adanya depigmentasi
pada membran mukosa.5 Vitiligo mukosal meliputi mukosa oral dan genital. Mukosal
mulut atau bibir lebih sering terjadi pada individu dengan kulit hitam dengan insidensi
antara 20 sampai 50%. Sebesar 7,84% pasien vitiligo mengalami keterlibatan mukosal.
Seperti halnya keterlibatan bibir, dapat terjadi pula depigmentasi serupa pada mukosa
lain seperti kelenjar, vagina atau mukosa dubur.10

Gambar 4. Vitiligo pada mukosal bibir.10

4. Vitiligo generalisata

10
Vitiligo general biasanya ditandai dengan makula berwarna putih susu yang
berbatas tegas dan bersifat simetris melibatkan kedua sisi tubuh. Makula dapat
berbentuk bulat hingga oval dengan batas yang tegas. Ukuran dan diameter lesi sangat
bervariasi.10 Vitiligo generalisata dapat dimulai di semua bagian tubuh, tetapi
umumnya di daerah peregangan dan tekanan, misalnya lutut, siku, punggung tangan
dan jari tangan.16

Gambar 5. Vitiligo generalisata10


5. Vitiligo vulgaris
Vitiligo vulgaris merupakan bentuk paling umum dari vitiligo generalisata. Vitiligo
vulgaris ditandai dengan patch yang terdistribusi secara simetris pada tubuh.

6. Vitiligo akrofasial
Daerah depigmentasi/subtipe vitiligo generalisata yang mengenai bagian distal jari dan
daerah orifisial dengan batas yang tegas.5

Gambar 6. Vitiligo akrofasial.5


7. Vitiligo universalis

11
Vitiligo universalis hampir mengenai seluruh tubuh (>80%).5 Vitiligo
universalis lebih sering terjadi pada individu dengan kulit hitam dengan rasio
perbandingan laki-laki dan perempuan sama. Pada vitiligo universalis, semua bagian
hampir mengalami depigmentasi. Rambut pada badan biasanya mengalami
depigmentasi pada area yang terkena. Rambut pubis dan aksila dapat atau tidak terjadi
depigmentasi. Mukosa pada bibir, gusi dan alat kelamin biasanya juga mengalami
depigmentasi.10

Gambar 7. Vitiligo universalis pada area yang terpapar sinar matahari.10

8. Vitiligo campuran
Vitiligo campuran terdiri dari vitiligo segmental dan non-segmental. Biasanya
didahului dengan vitiligo segmental. Kriteria vitiligo campuran adalah
- Tidak adanya area depigmentasi dalam distribusi area segmental pada saat lahir
dan satu tahun pertama kehidupan serta pada pemeriksaan lampu wood kecuali
nevus depigmentasi
- Vitiligo segmental disertai dengan vitiligo non-segmental paling lama 6 bulan
- Vitiligo segmental mengenai paling sedikit 20% area distribusi dari segmen
dermatom atau pada Garis Blaschko
- Respon terhadap narrrow-band UVB dalam pengobatan vitiligo segmental dan
vitiligo non-segmental

Diagnosis

12
Vitiligo dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis
biasanya tidak dtemukan keluhan subjektif penderita, tetapi pada kasus tertentu dapat
ditemukan keluhan gatal dan sensasi terbakar. Keluhan lainnya yang pasti ditemukan yaitu
gambaran hipopigmentasi atau patch depigmentasi. Predileksi utama yaitu pada kulit yang
sering terkena matahari, lipatan tubuh dan area periofisial. Pada kasus tertentu, perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk membantu menyingkirkan diagnosis banding dan
menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan
lampu Wood, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan histopatologik.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis dan menyingkirkan
diagnosis banding pada vitiligo dapat dilakukan pemeriksaan lampu Wood, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan histopatologik.
1. Lampu Wood
Pemeriksaan ini diperlukan untuk mengevaluasi makula, khususnya pada tipe kulit
yang lebih terang dan untuk mengidentifikasi makula pada area yang terlindungi dari
sinar matahari tetapi tipe kulit yang gelap. Lampu wood dapat menentukan luas area
depigmentasi dan monitoring respon terapi serta progresivitas lesi. Area vitiligo
tampak lebih terang dibandingkan dengan area kulit normal yang tampak lebih gelap.2

A B

Gambar 8. Pemeriksaan lampu Wood. (A). Lampu Wood merefleksikan cahaya yang terang pada patch
depigmentasi. (B). Permeriksaan menggunakan cahaya putih.2

2. Laboratorium

13
Pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu menyingkirkan diagnosis banding
dan menegakkan diagnosis vitiligo, antara lain pemeriksaan T4, thyroid-stimulating
hormone, antinuclear antibodies dan pemeriksaan darah lengkap. Pada beberapa kasus
juga diperlukan pemeriksaan serum antithyroglobulin dan antithyroid peroxidase
antibodies apabila pasien memiliki tanda dan gejala penyakit tiroid.2

3. Histopatologik
Biopsi kulit jarang dilakukan untuk menegakkan diagnosis vitiligo. Pada pemeriksaan
histopatologik, didapatkan gambaran infiltrat limfosit minimal pada vaskular
superfisial, penurunan jumlah atau tidak adanya melanosit pada dermoepidermal
junction, serta penurunan jumlah melanin pada lapisan epidermis (Gambar 8).2

A B

Gambar 9. Histopatologik vitiligo. (A). Jumlah infiltrat limfosit yang sedikit di lapisan dermis. (B).
Tidak terdapat melanosit pada lapisan epidermis.10

Diagnosis Banding
Vitiligo harus dibedakan dengan pitiriasis versikolor, piebaldism dan hipomelanosis
gutata. Pitiriasis versikolor adalah penyakit jamur superfisial yang mengalami kehilangan
pigmen pada individu berkulit gelap. Penyakit ini menyerang bagian atas batang tubuh dan
dada, berupa makula putih dengan skuama halus di atas nya.16 Pitiriasis versikolor memiliki
ragi dan hifa yang dapat dibuktikan dengan pemeriksaan KOH. 1 Piebaldisme kelainan pigmen
autosomal dominan, yang terlihat sering pada saat lahir. Daerah yang terkena mengalami
ketiadaan pigmen, biasanya berlokalisasi di daerah garis tengah tubuh termasuk forelock yang
dapat dilihat pada rambut. Hipomelanosis gutata idiopatik tampil dengan bentuk makula
hipopigmentasi multipel di daerah batang tubuh dan daerah terpajan matahari. Bila vitiligo
terdapat di daerah genital sulit dibedakan dengan liken-sklerosus.16

Penatalaksanaan

14
Pengobatan yang dapat menyembuhkan vitiligo secara sempurna sampai saat ini
belum ada. Pengobatan vitiligo pada dasarnya mempertimbangan beberapa hal, yakni jumlah
patch depigmentasi, tipe patch, penyebaran patch depigmentasi, dan pengobatan yang lebih
dipilih oleh pasien.1
Prinsip pengobatan vitiligo adalah memfasilitasi repopulasi patch depigmentasi di
interfolikular epidermis melalui pengaktifan melanosit untuk bermigrasi, bertahan terhadap
repopulasi depigmentasi, dan menginduksi biosintesis melanin. Repigmentasi dapat terjadi
secara spontan atau diinduksi terapi tertentu. Repigmentasi spontan biasanya tidak dapat
diprediksi, sering tidak signifikan, dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan dari segi
kosmetik.2
Pengobatan yang ada saat ini mencakup pengobatan topikal, fisik, terapi bedah serta
kombinasi dari beberapa prosedur.2 Pengobatan seperti aplikasi topikal analog vitamin D dan
narrowband ultraviolet B (NB-UVB) merupakan pengobatan yang sering dilakukan.4

Topikal
Kortikosteroid topikal merupakan terapi lini pertama yang sangat direkomendasikan
untuk lesi yang berukuran kecil, predileksi di wajah, dan pada anak. Keuntungan penggunaan
kortikosteroid adalah mudah diaplikasikan, kecepatan penyembuhan, dan biaya pengobatan
yang relatif murah.2
Kortikosteroid merupakan pilihan pertama untuk vitiligo lokalisata, dan sangat dianjurkan
untuk lesi kecil daerah wajah, juga pada anak-anak. Pemakaian preparat ini menguntungkan
pasien karena murah, mudah penggunaannya dan efektif. Repigmentasi umumnya bersifat
difus, potensi kortikosteroid. Pemakaian kortikosteroid topikal dengan potensi sedang
maupun kuat.16
Keberhasilan terapi terlihat dari repigmentasi perifolikuler atau dari tepi lesi. Berbagai
kortikosteroid topikal telah digunakan, misalnya: triamsinolon asetonid 0,1%, flusinolon
asteta 0,01%, betametasone valerat 0,1-0,2%, halometason 0,05%, fluticason propionat
0,05%, dan klobetasol propionat 0,05%. Karena pemakaian terapi jangka panjang (dianjurkan
tidak melebihi 3 bulan), maka perlu diperhatikan efek samping kortikosteroid. Pemakaian
topikal ditakutkan terjadi dermatitis perioral, dermatitis kontak, rosesea like atau erupsi
akneiformis, reaksi iritatif, pruritus, reaksi terbakar, folikulitis, penyembuhan luka yang
memanjang, infeksi kulit, atrofik, telangektasis, striae, hipertrikusis, purpura, dan mudah
perdarahan. Efek samping kortikosteroid oral antara lain: sindroma Cushing, bertambahnya

15
ukuran berat badan, gangguan epigastrium, nyeri abdominal, kehilangan nafsu makan,
dizzines, diare dan mentruasi tidak teratur.16
Nama Golongan Mekanisme Kerja
Clobetasol propionate Super poten - Kortikosteroid bekerja
ointment dan cream dengan mempengaruhi
0,5% kecepatan sintesis protein
Triamcinolone Potensi tinggi - Molekul hormon memasuki
acetonide ointment jaringan melalui membran
0,1% plasma secara difusi pasif di
Betamethasone valerate Potensi medium jaringan target, kemudian
cream 0,1% bereaksi dengan reseptor
streoid
- Kompleks ini mengalami
perubahan bentuk, lalu
bergerak menuju nukleus
dan berikatan dengan
kromatin
- Ikatan ini menstimulasi
transkrip RNA dan sintesis
protein spesifik. Indikasi
sintesis protein ini
merupakan perantara efek
fisiologis steroid.
Tabel 1. Mekanisme kerja kortikosteroid pada vitiligo.17
Terapi topikal lain yang dapat digunakan adalah topical calcineurin inhibitor (TCI).
TCI mempengaruhi maturasi sel T, menghambat produksi sitokin seperti TNF-α, serta
meningkatkan migrasi dan differensiasi melanosit.11
Terapi kombinasi (kortikosteroid + UVB), kotrikosteroid + penghambat kalsineurin,
kortikostroid + analog vitamin D bermanfaat untuk beberapa kasus, dimana dua agen bekerja
secara sinergis dalam restorasi pigmen, dan pada dosis kecil memiliki efek samping minimal.2

Fisik
Terapi fisik pada penderita vitiligo meliputi fototerapi dengan narrowband UVB (NB-
UVB—311 nm) atau broadband UVB (BB-U beberapa VB—290-320 nm) dan
fotokemoterapi. Sinar UV dianggap sebagai imunomodulator untuk mengatur aktivitas
sitokin, memodulasi aktivitas sel T regulator, dan polarizing respon imun terhadap profil Th2,
sehingga dapat mengurangi atau menstabilkan proses depigmentasi pada vitiligo. Radiasi
beberapa sinar UV juga dapat menstimulasi melanogenesis. Selain itu, sinar UV juga dapat

16
menginduksi pelepasan faktor epidermal yang menstimulasi proliferasi dan migrasi melanosit.
Beberapa faktor parakrin yang dihasilkan keratinosit terpapar UV akan mengatur fungsi
melanosit dibawah regulasi p53, tetapi hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.2
Sinar narrowband UV (NB-UVB), dengan puncak emisi pada 311 nm, merupakan
terapi vitiligo yang paling efektif untuk saat ini dan merupakan pilihan pengobatan pada
pasien vitiligo generalisata tipe sedang-berat. Beberapa penelitian terakhir yang mengevaluasi
mengenai efektivitas psoralen dan UVA (PUVA) dengan UVB menunjukkan bahwa NB-
UVB menghasilkan kecepatan repigmentasi serta warna yang lebih baik. NB-UVB memiliki
efek samping jangka pendek dan efek samping jangka panjang yang lebih sedikit.2
PUVA merupakan kombinasi dari topikal atau oral 8-methoxy-psoralen dengan radiasi
UVA (320-400 nm). Pada PUVA, topikal methoxsalen 0,1% diberikan di area vitiligo selama
30-60 menit sebelum radiasi sinar UV. Topikal UVA diindikasikan untuk pasien yang
memiliki vitiligo <20% luas permukaan tubuh dan adanya nyeri terbakar (nyeri fototoksisitas)
sulit dihindari. Oral psoralen dapat diberikan pada pasien dengan lesi yang lebih luas atau
pada pasien yang tidak responsif dengan pengobatan topikal. Setelah terapi oral, pasien harus
menggunakan kacamata UVA-blocking serta juga disarankan menggunakan tabir surya
spektrum luas dan menggunakan baju pelindung. PUVA tidak direkomendasikan untuk anak
di bawah 12 tahun untuk menghindari terjadinya katarak dan kanker kulit akibat terpapar sinar
dalam jangka waktu yang lama. 2

Sistemik
Terapi sistemik yang dapat diberikan pada penderita vitiligo yaitu kortikosteroid
sistemik seperti deksametason. Memberikan kortikosteroid topikal yang berguna untuk usaha
mengadakan repigmentasi. Dosis kortikosteroid oral (0,3 mg/kg/hr) selama 4 bulan menolong
pasien pada penyebaran vitiligo yang aktif. Kortikosteroid sistemik berperan dalam
imuosupresi, tetapi jarang digunakan sebagai pengobatan konvensional untuk vitiligo.
Kortikosteroid sistemik terapi denyut dapat digunakan untuk pengobatan vitiligo. Steroid
sistemik terapi denyut dan sonar NB-UVB memberikan respon repigmentasi lebih baik dari
psoralen dan UVA dan fotoerapi spektrum luas UVB. Kortikosteroid sistemik mempunyai
efek samping, antara lain insomnia, akne, agitasi, gangguan menstruasi, berat badan nai,
hipertrikosis, dan insufisiensi adrenal.2

17
Terapi Bedah
Autologous skin graft merupakan terapi pilihan hanya untuk pasien dengan vitiligo
stabil yang refrakter atau parsial responsif terhadap pengobatan medis lain serta secara umum
terbatas luas area nya (kurang dari 3% luas permukaan tubuh). Efek samping tersering dari
autologous skin graft adalah infeksi, postinflamatory hyperpigmentation, unaesthetic
repigmentation, cobblestoning, dan skar. Terapi sinar UV secara umum dapat lebih baik
apabila dikombinasikan dengan pembedahan.2

Di tingkat pelayanan dasar (Pemberi Pelayanan Kesehatan/PPK 1):


Jenis Terapi : topikal
Di tingkat pelayanan lanjut (Pemberi Pelayanan Kesehatan/PPK 2 atau 3):
Jenis Terapi: topikal fototerapi, fotokemoterapi, pembedahan. 18

Non-medikamentosa
1. Menghindari trauma fisik baik luk tajam, tumpul, ataupun tekanan repetitif yang
menyebabkan fenomena Koebner, yaitu lesi depigmentasi baru pada lokasi trauma.
Trauma ini terjadi umumnya pada aktivitas sehari-hari, misalnya pemakaian jam
tangan, celana yang terlalu ketat, menyisir rambut terlalu keras, atau menggosok
handuk di punggung.
2. Menghindari stres
3. Menghindari pajanan sinar matahari berlebihan.18

Medikamentosa
Lini pertama
1. Topikal
- Kortikosteroid topikal
- Calcineurin inhibitor (takrolimus, pimekrolimus
2. Fototerapi
- Narrowband ultraviolet B (NBUVB, 311 nm)
- Excimer lamp atau laser 308 nm
3. Fotokemoterapi
Kombinasi psoralen dengan phototherapy ultraviolet A (PUVA)

Lini kedua

18
1. Topikal
Kombinasi kortikosteroid topikal dengan analog vitamin D3 topikal
2. Sistemik (untuk menahan penyebaran lesi aktif dan progreif pada VNS yang
akut/aktif) berupa pemberian betametason 5 mg dosis tunggal, dua hari berturut-turut
per minggu selama 16 minggu
3. Excimer lamp atau laser 308 nm
4. Fotokemoterapi
- Kombinasi psoralen dengan phototherapy ultraviolet A (PUVA)
- Kombinasi NBUVB dengan calcineurin inhibitor topikal
- Kombinasi NBUVB dengan kortikosteroid sistemik

Lini ketiga
Terapi intervensi/pembedahan : untuk vitiligo stabil, segmental, rekalsitran, dan yang
memberikan rspons parsial terhadap terapi non-bedah. Terapi pembedahan dapat berupa:
1. Minipunch grafting
2. Split graft
3. Suction blister epidermal graft (SBEG)
Teknik graft melanosit atau epidermis baik dalam suspensi epidermis atau spesifik kultur sel
primer dari melanosit.18

Menghitung Luas Permukaan Tubuh


Perhitungan luas permukaan tubuh dapat menggunakan metode rule of nine yang
diperkenalkan sejak tahun 1940-an. 11

19
Gambar 10. Luas permukaan tubuh.11
Perhitungan luas permukaan berdasarkan “Rule of Nine” oleh Polaski dan Tennison
dari Wallace :
a. Kepala dan leher : 9%
b. Ekstremitas atas : 2 x 9% (kiri dan kanan)
c. Paha dan betis-kaki : 4 x 9% (kiri dan kanan)
d. Dada, perut, punggung, bokong : 4 x 9%
e. Perineum dan genitalia : 1%
Pada anak-anak terdapat perbedaan dalam luas permukaan tubuh relatif, yang
umumnya mempunyai perimbangan lebih besar antara luas permukaan kepala dengan luas
ekstremitas bawah dibandingkan dengan orang dewasa. Area kepala luasnya adalah 19 persen
pada waktu lahir (10 persen lebih besar daripada orang dewasa); hal ini terjadi akibat
pengurangan pada luas ekstremitas bawah, yang masing-masing sebesar 13 persen. Dengan
bertambahnya usia setiap tahun sampai usia 10 tahun, area kepala dikurangi 1 persen dan
dalam jumlah yang sama di tambah pada ekstremitas bawah. Setelah usia 10 tahun, di
gunakan persentase dewasa. 11

Prognosis
Perjalanan penyakit vitiligo pada seseorang tidak dapat diduga, dapat stabil selama
beberapa tahun, tetapi dapat pula membesar, sementara lesi lain muncul atau menghilang.
Repigmentasi spontan dapat terjadi terutama pada anak-anak, tetapi juga tidak menghilang
sempurna, terutama pada daerah yang terpajan sinar matahari.16
20
Pada kenyataan repigmentasi berlangsung lambat, tidak sempurna dan tidak permanen,
keadaan ini terutama bila menggunakan fototerapi. Ketiadaan rambut sebagai sumber pigmen
diperkirakan terjadi kegagalan terapi, misalnya pada jari-jari tangan dan kaki.16

Ringkasan
Vitiligo adalah depigmentasi pada kulit berupa bercak putih dikelilingi oleh kulit
normal maupun hiperpigmentasi yang dapat bertambah besar dan banyak seiring waktu.
Etiopatogenesis vitiligo bersifat multifaktorial. Sampai saat ini, teori autoimun merupakan
teori yang paling diterima untuk patogenesis vitiligo. Vitiligo dapat ditegakkan melalui
anamnesis dan pemeriksaan klinis. Pada pemeriksaan klinis, ditemukan patch depigmentasi
yang merupakan tanda utama pada penderita vitiligo. Distribusi vitiligo mengikuti pola
segmental maupun non-segmental. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan sesuai indikasi
untuk menyingkirkan diagnosis banding dan membantu menegakkan diagnosis. Pengobatan
yang dilakukan untuk vitiligo adalah pengobatan topikal atau pengobatan seperti aplikasi
topikal analog vitamin D dan narrowband ultraviolet B (NB-UVB) masih merupakan
pengobatan yang sering dilakukan tetapi sampai saat ini prognosis vitiligo masih kurang
baik.4

21
DAFTAR PUSTAKA

1. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Disease of the Skin Clinical
Dermatology. 11th. ed. Philadelphia: Elsevier Publishing; 2011. p. 854-8.
2. Birlea SA, Spritz RA, Norris DA. Vitiligo. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General.
Medicine. 8th edition. New York: McGrawHill; 2012. p. 792-802.
3. Moretti, Silvia. Vitiligo. Orphanet Encyclopedia. October 2013.
http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-vitiligo.pdf
4. Mohammed GF, Gomaa AH, Al-Dhubaibi MS. Higlights in Pathogenesis of Vitiligo.
World J Clin Cases. 2015; 3(3): 221-30.
5. Roy AK. Vitiligo: A White Patch that Affects the Soul. Journal of Pigmentary
Disorders. 2017; 4:1: 1-8.
6. Ortonne JP, Passeron T. Vitiligo and Other Disorder of Hypopigmentation. In:
Bollognia JL, Lorizzo JL, Rapini RP, ed. Dermatology. 3 th ed. New York: Elseiver
Saunders; 2012. p. 1023-9.
7. Oiso N, Suzuku T, Kaneda MT, Tanemura A, Tanioka M, Fujimoto T, Fukai K, et al.
Guidelines Guideline for the Diagnosis and Treatment of Vitiligo and Japan. Journal
of Dermatology. 2013; 40: 344-54.
8. Abreu ACG, Duarte GC, Miranda JYP, Ramos DG, Ramos CG, Ramos MG.
Immunological Parameters Associated With Vitiligo Treatments: A Literature Review
Based on Clinical Studies. Hindawl Pub Corp. 2011; 12(2): 1-5.
9. Anurogo D, Ikrar T. Vitiligo. CDK. 2014; 41(9): 666-75.
10. Picardo, M, Taieb, A. Vitiligo. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. 2010
11. Anstey AV. Disorders of Skin Colour. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,
editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. London: Wiley-BlackWell; 2010. p.
2968-71
12. Boer A. Vitiligo. In: Maibach HI. Color Atlas of Dermatophatology. New York:
Informa Healthcare USA; 2007.p. 10-16.
13. Ghalamkarpur F, Robati R, Ghasir G. The 308 nm Xenon Chloride Excimer Laser in
Combination With Topical Calcipotriol in the Treatment of Vitiligo. Iranian Journal of
Dermatology; 2011. 14: 12 - 15.

22
14. Kawakami T. Hashimoto T. Disease Severity Index and Treatment Evaluation.
Hindawl Pub Corp. 2011; 11 (9). 11-3.
15. Lahiri, K. Chatterjee, M. Sarkar, R. Pigmentary Disorders. A Comprehensive
Compendium. 2014. P. 135-263.
16. Adhi Djuanda, dkk. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. P. 352-358
17. Felsten LM, Alikhan A, Petronic-Rosic V. Vitiligo: a comprehensive overview
treatment option and approach to treatment. J Am Acad Dermatol. 2011; 65(3):493-
514
18. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). Panduan
Praktik Klinis. 2017; 282-285.

23

Anda mungkin juga menyukai