LAPORAN KASUS
VITILIGO
Disusun Oleh :
Iga Nuryanti 1810221036
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu
Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Kulit dan Kelamin
Dokter Pembimbing:
1
BAB I
PENDAHULUAN
Penyebab pasti vitiligo sampai saat ini belum diketahui. Namun, diduga ini
adalah suatu penyakit herediter yang diturunkan secara poligenik atau secara
autosomal dominan. Berdasarkan laporan, didapatkan lebih dari 30% dari penderita
vitiligo mempunyai penyakit yang sama pada orangtua, saudara, atau anak mereka.
Pernah dilaporkan juga kasus vitiligo yang terjadi pada kembar identik. 2,3
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis, serta
ditunjang oleh pemeriksaan histopatologik serta pemeriksaan dengan lampu Wood.
Biasanya, diagnosis vitiligo dapat dibuat dengan mudah pada pemeriksaan klinis
pasien, dengan ditemukannya gambaran bercak “kapur putih”, bilateral (biasanya
simetris), makula berbatas tajam pada lokasi yang khas. Pada pemeriksaan dengan
lampu wood, lesi vitiligo tampak putih berkilau dan hal ini berbeda dengan kelainan
hipopigmentasi lainnya. Pada kasus-kasus tertentu, pemeriksaan histopatologik
diperlukan untuk melihat ada tidaknya melanosit dan granul melanin di epidermis3.
Terdapat beberapa pilihan terapi yang dapat dilakukan pada vitiligo. Hampir
seluruh terapi bertujuan untuk mengembalikan pigmen pada kulit (Repigmentasi).
Seluruh pendekatan memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing, dan tidak
seluruh terapi dapat sesuai dengan masing-masing penderita.3
2
BAB II
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN :
Nama : Nn. S
Usia : 17 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat badan : 47 Kg
Agama : Islam
Alamat : Muntilan, Magelang
Tanggal Pemeriksaan : 8 Februari 2019
B. ANAMNESIS
Keluhan utama :
Bercak berwarna putih di lengan kanan sejak 5 tahun SMRS
3
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama, tidak memiliki riwayat konsumsi
obat-obatan jangka panjang dan sebelumnya tidak kontak dengan bahan iritan. Pasien
tidak memiliki riwayat alergi, riwayat penyakoit ginjal, riwayat penyakit jantung dan
riwayat asma.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Status Gizi : Baik
Tanda Vital : Dalam batas normal
Status Dermatologikus
Predileksi : Antebrachii Dextra (Regio Flexor), cervicalis posterior dan thoracalis
posterior dextra
UKK : Makula depigmentasi dengan batas tegas, berbentuk tidak beraturan,
tepi irreguler dan tidak meninggi, multiple, ukuran lentikular hingga numular
dengan penyebaran regional
4
Gambar 2.3 Thoracalis posterior dextra
D. RESUME
Seorang perempuan berusia 17 tahun, datang ke Poli Kulit dan Kelamin RST
Soedjono Magelang pada tanggal 8 Februari 2019 dengan keluhan utama adanya
makula depigmentasi di regio antebrachii dextra sinistra regio flexor, batas tegas, tepi
irreguler tidak ada peninggian, berukuran lentikuler hingga numular, jumlah multipel
penyebaran regional ke regio cervicalis posterior dan regio thoracalis posterior. Lesi
tidak nyeri, gatal maupun baal. Lesi timbul 5 tahun SMRS tanpa didahului oleb luka.
Riwayat pengobatan dilakukan 3 bulan SMRS. Riwayat kontak dengan bahan iritan,
riwayat alergi dan riwayat penyakit keluarga disangkal.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
F. DIAGNOSIS BANDING
Vitiligo
Pityriasis Alba
Pityriasis Versicolor
Hipopigmentasi pasca inflamasi
Piebaldisme
Sindrom Woolf
5
G. DIAGNOSIS
Vitiligo
H. TERAPI
Lotion Bergamote 12,5% No. I
S 1 dd 1 pagi (didiamkan 5’, dijemur 15’, dibilas dengan air)
I. PROGNOSIS
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
2. EPIDEMIOLOGI
7
perbedaan ini dianggap berasal dari banyaknya laporan dari pasien perempuan
oleh karena masalah kosmetik3.
3. ETIOPATOGENESIS
Penyebab vitiligo yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Namun,
diduga ini adalah suatu penyakit herediter yang diturunkan secarapoligenikatau
secara autosomal dominan.Berdasarkan laporan, didapatkan lebih dari30% dari
penderita vitiligomempunyai penyakit yang sama pada orangtua, saudara, atau
anak mereka. Pernah dilaporkan juga kasus vitiligo yang terjadi pada kembar
identik3,4.
Walaupun penyebab pasti vitiligo belum diketahui sepenuhnya. Namun,
beberapa faktor diduga dapat menjadi pencetus timbulnya vitiligo pada
seseorang2 :
1. Faktor mekanis
Pada 10-70% penderita vitiligo timbul lesi setelah trauma fisik, misalnya
setelah tindakan bedah atau pada tempat bekas trauma fisik dan kimiawi
2. Faktor sinar matahari atau penyinaran ultra violet A
Pada 7-15% penderita vitiligo timbul lesi setelah terpajan sinar matahari atau
UVA dan ternyata 70% lesi pertama kali timbul pada bagian kulit yang
terpajan
3. Faktor emosi / psikis
Dikatakan bahwa kira-kira 20% penderita vitiligo berkembang setelah
mendapat gangguan emosi, trauma atau stres psikis yang berat
4. Faktor hormonal
Diduga vitiligo memburuk selama kehamilan atau pada penggunaan
kontrasepsi oral. Tetapi pendapat tersebut masih diragukan.
8
1. Hipotesis autoimun, menyatakan bahwa melanosit yang terpilih dihancurkan
oleh limfosit tertentu yang telah diaktifkan. Namun, mekanisme pengaktifan
limfosit tersebut belum diketahui secara pasti. Teori ini juga berdasarkan adanya
temuan klinis terhadap hubungan antara vitiligo terhadap gangguan autoimun.
Autoantibodi organ spesifik untukt iroid, sel parietal lambung, dan jaringan
adrenal lebih sering ditemukan pada serum dengan vitiligo dibandingkan dengan
populasi umum. Antibodi terhadap melanosit orang normal dapat dideteksi
dengan menggunakan tes immunoprecipitation spesifik yang memiliki pengaruh
sitolisis. Didapati profil sel-T yang abnormal pada pasien vitiligo dengan
penurunan sel T-helper.
2. Hipotesis neurogenik, didasarkan pada interaksi dari melanosit dan sel saraf.
Hipotesis ini menyatakan bahwa adanya pelepasan mediator kimiawi tertentu
yang berasal dari akhiran saraf yang akan menyebabkan menurunnya produksi
melanin. Namun, studi baru pada penanda neuropeptida dan saraf pada vitiligo
menunjukkan bahwa neuropeptida Y mungkin memiliki peran dalam proses
terjadinya vitiligo.
3. Hipotesis autositotoksik, menyatakan bahwa melanosit dihancurkan oleh zat-
zat beracun yang dibentuk sebagai bagian dari biosintesis melanin yang alami.
Penghancuran ini merupakan mekanisme proteksi alami untuk menyingkirkan
prekursor melanin yang beracun. Hipotesis ini berdasarkan temuan klinis dari
vitiligo dan penelitan eksperimen terhadap depigmentasi kulit oleh senyawa
kimia yang memilik efek mematikan pada fungsi melanosit. Senyawa ini juga
dapat menghasilkan leukoderma yang dibedakan dengan vitiligo idiopatik.
Sementara itu, mekanisme langsung terjadinya makula putih disebabkan
penghancuran melanosit yang progresif oleh sel-T sitotoksi, lainnya ditentukan
secara genetis melalui perubahan sitobiologika dan sitokin yang terlibat3.
9
4. MANIFESTASI KLINIS
10
5. KLASIFIKASI
b) Bentuk segmental : terdapat satu atau lebih makula dalam satu atau lebih
daerah dermatom dan selalu unilateral.
c) Bentuk mukosal : lesi hanya terdapat pada selaput lendir (genital dan mulut).
2. Tipe generalisata, yang terdiri atas:
a) Bentuk akrofasial : lesi terdàpat pada bagian distal ekstremitas dan muka.
b) Bentuk vulgaris : lesi tersebar tanpa pola khusus.
c) Bentuk mixed : lesi campuran segmental dan vulgaris atau akrofasial
11
Gambar 3.4. Gambaran lokasi predileksi vitiligo3
6. DIAGNOSA
12
Gambar 3.5.Perbandinganmelanosit normal(A) dan melanositvitiligo(B)
menggunakanimmunocytochemistry. (C) analisisWestern blotmenegaskan
bahwaekspresiBcl-2 berkurangdalam dua barismelanositvitiligodibandingkandengan
empatbarismelanositkontrol6.
7. DIAGNOSA BANDING
1. Pityriasis alba (berukuran kecil, tepi yang tidak berbatas tegas, dan warna
yang tidak terlalu putih )
2. Pityriasis versicolor (sisik halusdengan warna fluoresensikuning -kehijauandi
bawah lampuWood, KOHpositif)
3. Hipopigmentasi Pasca Inflamasi (makula tidak terlalu putih, biasanya riwayat
psoriasis atau eksim pada yang sama daerahmakula)
4. Piebaldisme (kongenital, putih, stabil, garis berpigmenpada punggung, pola
khas dengan makula hiperpigmentasi besar ditengah daerah hypomelanotik).
8. PENATALAKSANAAN
Ada banyak pilihan terapi yang bisa dilakukan pada pasien dengan vitiligo.
Hampir semua terapi bertujuan untuk mengembalikan pigmen pada kulit. Seluruh
pendekatan memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing, dan tidak semua
terapi dapat sesuai dengan masing-masing penderita.
1. Tabir surya
Sunscreen atau tabir surya mencegah paparan sinar matahari berlebih pada kulit
dan hal ini dapat mengurangi kerusakan akibat sinar matahari dan dapat
mencegah terjadinya fenomena Koebner. Selain itu sunscreen juga dapat
13
mengurangi tanning dari kulit yang sehat dan dengan demikian mengurangi
kekontrasan antara kulit yang sehat dengan kulit yang terkena vitiligo3.
2. Kosmetik
Banyak penderita vitiligo, terutama jenis vitiligo fokal menggunakan covermask
kosmetik sebagai pilihan terapi. Area dengan lesi leukoderma, khususnya pada
wajah, leher, atau tangan dapat ditutup dengan make-up konvensional, produk-
produk self tanning, atau pengecatan topikal lain. Pilihan untuk menggunakan
kosmetik cukup menguntungkan pasien dikarenakan biayanya yang murah, efek
samping yang kecil, dan mudah digunakan3,9.
3. Trimetilpsoralen / metoksipsoralen
Dosis psoralen peroral adalah 0.6mg/kgbb 2 jam sebelum penyinaran selama 6
bulan sampai dengan setahun. Psoralen juga dapat digunakan secara topical
namun sering menimbulkan dermatitis kontak iritan. Psoralen topical dioleskan 5
menit sebelum penyinaran.1
4. Glukokortikoid topikal
Digunakan sebagai awal pengobatan diberikan secara intermiten (4 minggu
pemakaian, 2 minggu tidak) glukokortikoid topikal kelas I cukup praktis,
sederhana, dan aman untuk pemberian pada makula tunggal atau multipel. Jika
dalam 2 bulan tidak ada respon, mungkin saja terapi tidak berjalan efektif. Perlu
dilakukan pemantauan tanda-tanda awal atrofi akibat penggunaan kortikostreoid.
Pada beberapa penderita vitiligo, terapi dengan kortikosteroid poten tinggi,
misalnya betametason valerat 0,1% atau klobetasol propionat 0,05% efektif
menimbulkan pigmen.1
5. Metoksalen
Usia dibawah 18 tahun dapat digunakan losio metoksalen 1% yang diencerkan
1:10 dengan spiritus dilutes. Cairan dioleskan pada lesi selama 15 menit lalu
dijemur selama 10 menit atau hingga timbul eritema namun jangan sampai
tampak erosi, vesikel atau bula.
Pada usia diatas 18 tahun, jika kelainannya generalisata , pengobatan digabung
dengan kapsul metoksalen (10mg) dikonsumsi 2 kapsul 2 jam sebelum dijemur,
14
seminggu 3 kali.Jika lesi lokalisata hanya diberi pengobatan topical dan
dihentikan jika dalam 6 bulan tidak ada perbaikan.
6. MBEH (monobenzylether of hydroquinone)
Dosis 20% dapat dipakai untuk pengobatan luas lebih dari 50% permukaan kulit
dan tidak berhasil dengan pengobatan psoralen. Jika tidak timbul dermatitis
kontak pengobatan dilanjutkan selama 4 minggu.
Minigrafting
Teknik pembedahan dengan metode Minigrafting (Autolog Thin
Thierschgrafting, Suction Blister grafts,autologous minipunch grafts,
transplantation of cultured autologous melanocytes)cukup efektif untuk
mengatasi vitiligo dengan makula segmental yang stabil dan sulit diatasi3.
Depigmentasi
Tujuan dari depigmentasi adalah "kesatuan" warna kulit pada pasien dengan
vitiligo yang luas atau pasien dengan terapi PUVA yang gagal, yang tidak dapat
menggunakan PUVA, atau pasien yang menolak pilihan terapi PUVA3.
Bleaching, Pemutihan kulit normal dengan krimmonobenzyl ether dari
hydroquinone (MBEH) 20% ini bersifat permanen, artinya proses bleaching
(pemutihan) ini tidak reversible. Tingkat keberhasilan terapi ini >90%. Tahap
Akhir warna depigmentasi dengan MBEH adalah chalkwhite (kapur putih),
seperti pada makula vitiligo3. Monobenzon tersedia dalam bentuk cream 20%,
dioleskan 2 kali sehari selama 2 sampai 3 bulan pada daerah kulit yang masih
berpigmen. Terapi biasanya dianggap selesai setelah 10 bulan pemberian9.
15
Gambar 3.7. Algoritma penatalaksanaan vitiligo11.
9. PROGNOSIS
16
BAB IV
KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5.
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 296-298.
2. Hidayat D. 1997. Vitiligo. Cermin Dunia Kedokteran. 117: 33-35.
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=Hidayat%2BJ.%2BVitiligo%252C%2Btinjauan%2Bkep
ustakaan.%2BDalam%2BCermin%2Bdunia%2Bkedokteran&source=web&cd=1&ved=0CBgQFjAA
&url=http%3A%2F%2Fwww.kalbe.co.id%2Ffiles%2Fcdk%2Ffiles%2F11Vitiligo117.pdf%2F11Vitilig
o117.pdf&ei=PNCqTtHiI5HirAeKyZDmDA&usg=AFQjCNG8ZD_6X0lotzoP72Ztn85py_efgA&cad=rja
3. Wolff K, Johnson RA. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas And Synopsis Of Clinical
Dermatology. 6th Ed. Mcgraw Hill Medical: Newyork. 335-341.
4. Rook A, Wilkinson DS, Ebling FJG. 1998. Textbook of Dermatology. 6th ed.
Blackwell Science: Malden. 1802-1805.
5. Gawkrodger DJ. 2003. Dermatology an Ilustrated Colour Text. 3rd ed. Churchill
Livingstone: London. 70.
6. Boissy RE, Manga P. 2004. Review On the Etiology of Contact/Occupational
Vitiligo. Pigment Cell Res. 17: 208–214.
7. Moretti S. 2003. Vitiligo. Orphanet Encyclopedia.
http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-vitiligo.pdf.
18