Anda di halaman 1dari 25

LEMBAR PENGESAHAN

JOURNAL READING
A CASE REPORT OF LATE YAWS (FREMBUSIA)

Disusun Oleh :
Iga Nuryanti 1810221036

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Kulit dan Kelamin

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal : Februari 2019

Dokter Pembimbing:

Letkol CKM (K) dr. Susilowati, SpKK


BAB I

PENDAHULUAN

Frambusia adalah infeksi kronis yang menyerang kulit, tulang dan kartilago.
Organisme penyebab penyakit ini adalah bakteri Treponema pertenue, subspesies dari
Treponema pallidum yang menyebabkan sifilis genital. Namun frambusia sendiri adalah
1
infeksi non-veneral atau infeksi non-seksual.
Penularan penyakit terutama melalui kontak langsung dengan lesi dari penderita.
Lesi tunggal pada kulit akan menjadi tempat masuk kuman dengan masa inkubasi 2 – 4
minggu. Tanpa pengobatan lesi ini dapat berkembang menjadi lesi yang multipel di
1
seluruh tubuh dan menyebabkan disabilitas dan kecatatan.
Frambusia terutama ditemukan pada negara miskin dengan iklim hangat, lembab
yaitu pada daerah tropis Afrika, Asia dan Amerika latin. Diperkirakan 75% dari penderita
nya adalah anak berusia kurang dari 15 tahun (dengan insiden tertinggi pada usia 6 – 10
1
tahun), menyerang baik pria maupun wanita dan tidak dipengaruhi oleh ras tertentu.
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara di Asia dengan tingkat kejadian
penyakit frambusia yang masih tinggi. Pada tahun 2003 angka kejadian kasus frambusia di
Indonesia sebanyak 4012. Usaha eradikasi frambusia telah dilakukan oleh WHO sejak
tahun 1950an dan terus dilanjutkan sampai tahun 2000an. Namun, di Indonesia, upaya ini
tidak membawa hasil yang memuaskan karena masih kurang fokus dan kurangnya
2,3
sumberdaya.
Penyakit frambusia di Indonesia sampai saat ini belum dapat dieliminasi dari
seluruh wilayah, walaupun secara nasional angka prevalensi kurang dari 1 per 10.000
penduduk. Pada tahun 2006 terdapat lima provinsi di Indonesia dengan angka prevalensi
yang cukup tinggi yaitu Papua barat (15,00), Papua (10,01), Sulawesi Tenggara (7,92),
2
Nusa Tenggara Timur (2,80) dan Maluku (1,08).

2
BAB II

Laporan Kasus :

Frambusia dengan Keterlambatan Penanganan

Penulis :
Mohamed Hany El Tonsy, MD, P. 1

Abdul Gaffoor, BSc, Dip, Ven, DDV2

Mohamed Benhawi, MBBCH, Msc3

James C. Davidson, MB, FRCP4

Departemen Kulit dan Kelamin, Rumah Sakit Umum Hamad, Doha-Qatar

Laporan Kasus :
Kasus frambusia dengan keterlambatan penanganan ditemukan pada seorang laki-
laki muda di Oman.. Pasien mengalami kelainan tulang dan sendi serta lesi hiperkeratotik
pada telapak tangan dan kaki. Diagnosis diferensial dari treponematosis non-venereal
didapatkan pada temuan klinis dan laboratorium dan pasien.
Pasien laki-laki berusia 25 tahun di Oman datang ke klinik karena mengalami
deformitas pada sendi. Saat masih berusia 8 tahun, ia merasa nyeri pada siku, lutut dan
sendi pergelangan kaki.Semakin lama, ia kehilangan kemampuan untuk meluruskan kedua
kakinya. Pada saat yang sama, ia juga mengeluh mengalami deformitas pada hidung.
Ayahnya masih hidup dan sehat, Ibunya telah meninggal dunia namun sebab kematian
tidak diketahui dan kedua saudara kandungnya masih hidup dan sehat.
Pasien memiliki tubuh yang kecil, terdapat kelainan bentuk pada hidung (gambar 1),
perforasipalatum, dan hilangnya sebagian uvula. Terdapat lesi hiperkeratotik (gambar 2) di
telapak tangan kiri dan telapak kaki kanan serta terdapat keterbatasan gerak pada kedua
pergelangan kaki. Sistem kardiovaskular dan system saraf pusat dalam batas normal.

3
Pemeriksaan reagen plasma cepat (RPR) positif dalam pengenceran 1: 4 dan uji
absorpsi antibodi trepanoma ditemukan reaktif. CSF mengandung 2 limfosit / mm3 dan
kandungan protein 20mg / 100ml. Namun pemeriksaan reagen plasma cepat (RPR) pada
cairan serebospinal (CSS) negatif. Gambaran rontgen pada sendi lutut kanan (gambar 3)
menunjukkan pembesaran metafisis tibia dan femur, dengan tanda osteoporosis tulang dan
penyempitan ruang sendi.
Pembahasan: mungkin sulit untuk membedakan antara laten frambusia dan sifilis
laten pada imigran dari negara-negara endemis frambusia. Frambusia tidak endemik di
oman atau pantai barat arab. Namun, gejala klinis pada pasien dapat mendukung diagnosis
frambusia. Deformitas pada hidung adalah khas "gangnosa", keratoderma pada telapak
tangan dan kaki dan kelainan sendi identik dengan frambusia. Tidak ditemukannya
gangguan sistem kardiovaskular, sistem neurologis dan tes serologis reaktif lemah dapat
mendukung sifilis. Namun, usia pasien, riwayat keluarga, dan tidak adanya stigmata dari
sifilis bawaan tidak dapat mendukung diagnose sifilis..

Gambar 1. Deformitas nasal Gambar 2. Lesi hiperkeratotik

Gambar 3. Foto rontgen genu dextra

4
STATUS PASIEN

A. Identitas Penderita
Nama : Tn. X
Usia : 25 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Suku Bangsa : Oman

B. Anamnesis
1. Keluhan utama
Kelainan bentuk pada sendi tangan dan kaki sejak 17 tahun yang lalu
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke klinik dengan keluhan terdapat kelainan bentuk pada sendi tangan
dan kaki. Saat masih berusia 8 tahun, ia merasa nyeri pada siku, lutut dan sendi
pergelangan kaki.Semakin lama, ia mengaku tidak dapat meluruskan kedua kakinya.
Pada saat yang sama, ia juga mengalami kelainan bentuk pada hidung.
3. Riwayat penyakit dahulu
Tidak diketahui
4. Riwayat penyakit keluarga
Ayah pasien masih hidup dan sehat, Ibu pasien telah meninggal dunia namun sebab
kematian tidak diketahui dan kedua saudara kandung pasien masih hidup dan sehat.
5. Riwayat sosial dan ekonomi
Tidak diketahui

C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : Baik
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Vital sign
a. Tekanan darah : Tidak diketahui
b. Nadi : Tidak diketahui

5
c. Pernapasan : Tidak diketahui
d. Suhu : Tidak diketahui
4. Status gizi (IMT) : Underweight
5. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala dan wajah :
Deformitas “gangnosa” pada hidung, perforasi palatum, dan hilangnya sebagian
uvula.
b. Pemeriksaan leher : Tidak diketahui
c. Pemeriksaan thorax : Paru dan jantung tidak diketahui
d. Pemeriksaan abdomen : Tidak diketahui
e. Pemeriksaan ekstremitas :
Lesi hiperkeratotik di telapak tangan kiri dan telapak kaki kanan serta terdapat
keterbatasan gerak pada siku lengan kiri dan kedua pergelangan kaki.

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan reagen plasma cepat (RPR) positif dalam pengenceran 1: 4.
Pemeriksaan reagen plasma cepat (RPR) pada cairan serebospinal (CSS) negatif.
Uji absorpsi antibodi trepanoma reaktif.
CSF mengandung 2 limfosit / mm3 dan kandungan protein 20mg / 100ml.
2. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran rontgen pada sendi lutut kanan (gambar 6) menunjukkan pembesaran
metafisis tibia dan femur, dengan tanda osteoporosis tulang dan penyempitan ruang
sendi.

E. Diagnosis
1. Frambusia

6
F. Diagnosis Banding
1. Frambusia
2. Sifilis

G. Penatalaksanaan
1. Farmakologi

2. Non Farmakologi

H. Prognosis
Ad fungsional : dubia ad malam
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI
Frambusia atau patek atau puru (yaws, framboesia tropica, pian, buba, paru, parangi)
1
adalah infeksi sistemik menahun yang disebabkan oleh Treponema pertenue. Frambusia
merupakan penyakit menular yang ditularkan melalui kontak langsung dengan lesi penderita
(orang ke orang). Lesi awal bermanifestasi dalam bentuk lesi kulit yang dalam masa
penyembuhan memperlihan sedikit jaringan parut. Penyakit ini dapat menjadi progresif
dimana tulang dan kartilago yang terkena menyebabkan disabilitas dan kecatatann apabila
4
tidak diterapi.

3.2 EPIDEMIOLOGI
Pada awal tahun 1950-an diperkirakan banyak kasus frambusia terjadi di Afrika,
Asia, Amerika Selatan dan Tengah serta Kepulauan Pasifik, sebanyak 25 – 150 juta
penderita. Setelah WHO memprakarsai kampanye pemberantasan frambusia dalam kurun
waktu tahun 1954 – 1963, para peneliti menemukan terjadinya penurunan yang drastic dari
jumlah penderita penyakit ini. Namun kemudian kasus frambusia kembali muncul akibat
kurangnya fasilitas kesehatan public serta pengobatan yang tidak adekuat. Dewasa ini,
3
diperkirakan sebanyak 100 juta anak-anak beresiko terkena frambusia.

Dengan ditemukannya penisilin pada akhir tahun 1940 dan dilakukannya


kampanye dan program anti-frambusia oleh UNICEF dan WHO tahun 1950an – 1960an
telah berhasil menurunkan prevalensi penyakit treponematosis endemik di berbagai
belahan dunia. Tahun 1970an menjadi kurang dari 2 juta penderita dan tahun 1980an
3,4,5
dilaporkan kurang dari 500 kasus di belahan bumi bagian barat.

Di Asia Tenggara terdapat 3 negara yang merupakan endemik frambusia yaitu


India, Indonesia,dan Timor Leste. Indonesia sudah menjadi bagain dari WHO dalam usaha

8
menanggulangi frambusia sejak tahun 1950an dan terus dilanjutkan sampai tahun 2000
namun tidak membawa hasil yang memuaskan karena upaya yang kurang fokus dan
kurangnya sumberdaya. Pada tahun 2003 angka kejadian kasus frambusia di Indonesia
sebanyak 4012. Di Indonesia penyakit ini ditemukan di Kalimantan barat, Sumatra utara,
Sumatra barat, Sumatra selatan dan Papua. Diperkirakan 75% penderita adalah anak-anak
usia di bawah 15 tahun dengan insiden terbanyak pada anak usia 6 -10 tahun, menyerang
baik pria maupun wanita an tidak dipengaruhi oleh ras tertentu. Faktor yang mendukung
penyebaran dari penyakit ini adalah kepadatan penduduk, higienitas perorangan yang
2,3
buruk, dan fasilitas sanitasi yang buruk.

3.3 ETIOLOGI
Pada tahun 1905 Castellani menemukan subspesies Treponema yaitu pertenue,
organisme penyebab frambusia. Kuman ini terlihat tipis, menyerupai pembuka botol
berwarna perak dengan galur melingkar-lingkar, dan bergerak khas dengan gerakan
5
memutar cepat.

Treponema pada penyakit frambusia, pinta dan sifilis berhubungan sangat erat.
Infeksi salah satu organisme memberikan perlindungan parsial bagi infeksi lainnya, yang
menandakan bahwa mereka memberikan antigen yang sama. Belum ada pemeriksaan
laboratorik yang dapat membedakan jenis treponema ini. Namun T. pertenue mempunyai
6
alel yang disebut tprD3 yang membedakannya dengan T.pallidum.

Gambar 4. Treponema Pertenue

9
Bakteri ini motil, berukuran ± 3-18μm dan memiliki 8-20 corkscrew spirals.
Treponema adalah organisme dengan bentuk melingkar seperti pembuka botol. Organisme
o o
ini hidup pada pH antara 7,2 – 7,4 dengan temperature 30 C – 37 C dan lingkungan sedikit
oksigen. Struktur organisme ini sedikit berbeda karena selnya memiliki pembungkus
glycosamino-glycans yang dapat menjadi host-derivated dan membrane luar yang
menutupi 3 flagel untuk motilitasnya. Selain itu selnya juga kaya akan lipid (kardiolipin
dan kolesterol) yang biasanya tidak sering pada bakteri. Kardiolipin meningkatkan
6
antibody wasserman yang terdiagnosis pada sifilis.

Cara penularan melalui kontak langsung dengan sekret luka (dari orang ke orang ).
Baju yang terkontaminasi dan j uga melalui lalat dapat menjadi sumber penularan namun
pengaruhnya tidak signifikan. T. pertenue tidak dapat menginvasi kulit yang utuh dan juga
tidak dapat melalui sawar plasenta atau kongenital. Faktor pendukung penyebaran
frambusia ialah kepadatan penduduk yang tinggi, dan sanitasi lingkungan yang buruk.

Setelah bakteri mengadakan penetrasi di kulit dalam waktu 3 - 4 minggu (kira -


kira 10 - 90 hari) lesi awal mulai muncul. Lesi sekunder mulai muncul biasanya setelah
interval 6 - 16 minggu (bahkan ada yang sampai lebih dari 2 tahun) dari infeksi primer.
Pada akhir tahun ke-5 lesi yang bersifat destruktrif dan menyebabkan deformitas pada
kulit, tulang dan periostium mulai muncul. Penyakit ini dapat kambuh 2 - 3 kali selama 5
3,6
tahun infeksi dan dapat juga terjadi infeksi baru.

3.4 FAKTOR RISIKO


3,6
Faktor pejamu:

Pria sedikit lebih berisiko terinfeksi frambusisa dari pada wanita. Namun beberapa
studi melaporkan bahwa anak kecil lebih rentan terinfeksi sedangkan studi lain menentang
pendapat ini. Studi dari India tidak melaporkan adanya perbedaan signifikan pada
kelompok usia tertentu yang terinfeksi. Studi eksperimental dan edpidemiologi
menyatakan bahwa infeksi frambusia memberikan imunitas parsial pada infeksi sifilis.

10
Masalah latensi penyakit juga dapat mempengaruhi tingkat kejadian frambusia.
Sudah diketahui sejak lama bahwa prevalensi infeksi subklinis lebih tinggi. Infeksi awal
biasanya dapat menghilang dalam beberapa waktu walaupun tanpa pengobatan dan
menjadi bentuk laten. Bentuk ini dapat bermanifes lagi setiap waktu dan inilah yang
disebut dengan relaps lesi frambusia. Munculnya erupsi lesi ini bisa berlangsung sampai
interval 5 tahun. Lesi yang relaps ini biasanya mempunyai tempat predileksi yaitu di
daerah periaxila, perianal dan sekitar mulut.

3,6
Faktor lingkungan

Frambusia terdapat pada daerah pegunungan, terpencil dan yang tidak dapat
terakses dan di daerah hutan dimana iklimnya panas dan lembab. Kelembaban yang tinggi
pada waktu yang lama dan rata-rata curah hujan kurang lebih 40 inchi per tahun menjadi
keadaan yang sangat baik untuk transmisi. Masyarakat yang hidup dalam suku – suku dan
daerah hutan dimana kontak orang perorang sangat erat dan didukung degan padatnya
penduduk, perumahan yang buruk, standar kehidupan yang rendah mendukung penyebaran
penyakit ini.

1,5,8
3.5 MANIFESTASI KLINIS

Frambusia tidak menyerang jantung, pembuluh darah, otak dan saraf, dan tidak ada
frambusia kongenital. T.pertenue akan masuk ke tubuh penderita melalui lesi pada kulit.
Penderita baru terbanyak terdapat pada musim hujan. Penyakit ini dibagi mejadi 3 stadium,
yaitu:

I. Stadium I (primary stage)

Setelah masa inkubasi 10 – 90 hari (rata-rata 3 minggu), lesi primer atau


disebut mother yaw (buba madre) muncul pada sisi inokulasi kuman, biasanya
pada bagian tubuh yang terekspos seperti tungkai bawah. Karekteristik lesi

11
biasanya tidak nyeri, sering gatal, terdapat infltrat, nodul kecil yang eritem
yang berkembang

menjadi 1 – 5cm. Permukaannya biasa menjadi papiloma dan krusta. Jaringan


granulasi banyak mengeluarkan serum bercampur darah dengan banyak
mengandung treponema. Lesi primer biasanya tunggal tetapi disertai pustul
satelit dan menjadi konfluent sampai plakat. Lesi dapat menjadi ulkus (chanre
of yaws, frambesioma) dengan dasar seperti raspberry yang dapat ditutupi oleh
krusta kekuningan. Pembesaran kelenjar ketah bening regional biasanya sering
terjadi dengan konsistensi keras, tidak nyeri, dan tidak terjadi perlunakan. Lesi
primer sembuh spontan dalam 2 – 6 bulan, dan meninggalkan jaringan parut
atrofi dan cekung dengan sental hipopigmentasi. Fase ini jarang disertai gejala
konstitusi.

Gambar 2. Mother Yaws

II. Stadium II (secondary stage)

Resolusi atau penyembuhan lesi primer akan diikuti oleh periode laten yang
dapat berlangsung selama 10 – 16 minggu bahkan sampai 2 tahun setelah lesi
primer, lalu terjadinya erupsi lesi kulit diseminata dengan limfadenopati
general. Biasanya pada fase ini terjadi gejala konstitusi seperti malaise, demam,
dan anorexia. Lesi sekunder kemerahan, basah (eksudat dan transudat), seperti
kutil, berkrusta, papul dan plak yang tidak gatal mirip dengan lesi primer terapi
ukurannya lebih kecil (mencapai 2 cm). Lesi terus membesar dan akhirnya

12
pecah dan ditutupi oleh eksudat fibrin yang sangat infeksius yang mengering
menjadi krusta. Eksudat yang timbul menarik lalat untuk hinggap sehingga
membuat penderita semakin tidak nyaman. Dapat berkembang menjadi pianic
onchya (paronychia). Pianoma dapat muncul di bagian tubuh manapun. Juga
dapat ditemukan plak dan lapisan papuloskuamosa pada bagian tubuh
manapun. Pada bagian intertriginosa (axial dan lipatan lain) lesi dapat
menyerupai kondiloma lata. Pada membran mukosa terlihat seperti lapisan
mukosa hipertrofi. Yang menarik adalah lesi papul eksudat dengan penyebaran
luas muncul pada saat udara lembab tapi kering, daerah gurun dan selama
musim panas. Lesi tebatas pada daerah intertriginosa dan membran mukosa.
Selain itu dilaporkan juga kasus yang terjadi pada daerah dengan transmisi
rendah, berupa lesi dengan bentuk yang lebih ringan, kurang eritem, tunggal
atau berjumlah sedikit, lesi kecil, kering dan terbatas pada lipatan kulit. Pada
beberapa kasus lesi bersifat papiloma namun penyembuhan cepat.

Gambar 6. A.Lesi sekunder awal (daughter yaws) tampak sebagai papul yang pecah dan krusta
serta plak B.Lesi sekunder-stadium papiloma C.Papiloma yang telah pecah dan ditutupi eksudat
fibrin.

13
Dapat ditemukan plak hiperkeratik dan tebal pada telapak tangan dan telapak kaki
yang menjadi fisur dan terbentuk ulkus (worm-eaten soles). Keratoderma yang terjadi
pada telapak kaki menyebabkan nyeri sehingga pasien berjalan lambat dan seperti
kepiting. Lesi juga dapat berbentuk anular atau sirsinar (tinea yaws). Lesi pada wajah
biasanya berbentuk seboroik atau psoriasi. Pada stadium awal frambusia biasa terjadi
osteoperiostitis yang sangat nyeri. Gambaran klasik karena periostitis biasanya seperti
lobak, pembengkakan jaringan lunak yang fusiform pada bagian proximal saja tidak
bagian distal,dan falang (ghoul hands). Tulang tibia, metatarsal, dan metacarpal juga
biasa terkena.

Pasien lalu memasuki periode laten dengan reaktivasi serologi tapi tidak
terdapat gejala klinis. Semua lesi sembuh tanpa jaringan parut namun bisa relaps
pada awal tahun ke-5 infeksi. Saat relaps lesi terbatas pada area perioral, perianal,
dan periaxila.

Gambar 5. Papiloma plantar dengan macula hiperkeratotik plantar8

14
III. Stadium Lanjut (tertiary stage)

Kira – kira 10% kasus periode laten terjadi 5 – 10 tahun dan terjadi stadium lanjut
atau stadium III dengan lesi pada kulit dan skeletal dan dapat dengan keterlibatan
organ mata dan saraf. Pada stadium ini didapatkan nodus yang melunak, pecah
menjadi ulkus, yang dapat sembuh di tengah dan meluas ke perifer. Nodulus guma
pada kutan maupun subkutan mengalami nekrosis sentral dan ulkus menyebabkan lesi
lebih dalam dan terjadi mutilasi (gumma framboesiodes). Gabungan ulkus – ulkus
dapat meyebabkan jalur sirsinar dan serpiginosa yang sembuh dengan jaringan parut
destruktif dan kontraktur. Hyperkeratosis palomoplantar dapat meyebabkan
keratoderma. Limfadenopati juxta-articular dapat terjadi pada siku dan lutut.

Perubahan skeletal tahap akhir berupa periostitis hipertrofi, hidrartrosis, osteitis


gumatosa, dan osteomielitis. Hipertrofi tulang yang berlebihan akibat osteitis kronik
dapat menyebabkan perubahan kurvatura tibia berupa saber shin. Osteitis hipertrofi
bilateral pada prosesus nasalis pada maxilla dengan pembengkakan persisten pada
nasal bridge (goundou) berkembang perlahan sampai 5 – 20 tahun. Akibat paling
fatal dari frambusia yang tidak diterapi yang terjadi pada ± 1% penderita adalah
rinofaringitis mutilans (gangosa) atau destruksti luas pada hidung, maxilla, bibir atas
dan bagian tengah wajah dan akhirnya terjadi perforasi hidung dan palatum.
Walaupun biasanya tidak menyerang mata, saraf, ataupun jantung namun pernah
dilaporkan terjadi atrofi diskus optikus, mieloneopati dan aneurisme walaupun jarang.

Gambar 6. Saber Shin

15
6
3.6 DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

Penyakit ini terdapat di daerah tropik. Kelainan kulitnya bersifat khas dan
1
pemeriksaan laboratorik akan membantu menegakkan diagnosis. Gejala dan lesi
kulit dapat diidentifikasi berdasarkan stadium – stadiumnya. Pada table di bawah
akan dijelaskan mengenai lesi yang timbul pada setiap stadiumnya dan apakah
bersifat infeksius atau tidak.

Diagnosis laboratorik dan survailans serologi merupakan salah satu cara


untuk membantu diagnosis. Pemeriksaan laboratorik memegang peranan yang sangat
penting dalam program eradikasi yaitu sebagai kofirmasi terhadap kasus suspek
frambusia dan juga dukungan survailans serologi untuk menggambarkan transmisi
penyebaran penyakitnya dalam komunitas.

Pemeriksaan laboratorik yang dilakukan berupa pemeriksaan langsung


terhadap lesi dengan menggunakan mikroskop dan pemeriksaan antibody dari serum
pasien dengan menggunakan berbagai tes serologi.

1. Pemeriksaan langsung

Teknik mikroskopik yang digunakan adalah dengan menggunakan mikroskop


lapangan gelap, mikroskop fase kontras , dan mikroskop antibody floresens
langsung. Semua metode ini membutuhkan sampel segar dari lesi stadium I atau lesi
stadium II awal sehinggga pemeriksaan ini kurang praktis dan efisien.

Pemeriksaan lapangan gelap : treponema yang sangat kecil ini tidak dapat
dilihat dengan mikroskop biasa. Dengan pencahayaan yang gelap treponema terlihat
seperti galur atau benang perak 13 kali diameter sel darah merah. Beberapa spiral
regular (1,5 μm) terikat kuat sepanjang badannya dengan karekteristik bergerak
memutar seperti pembuka botol dengan beberapa kali gerakan fleksi. Pemeriksaan ini
membutuhkan tenaga terampil dan harganya mahal sehingga pemeriksaan ini hanya
dilakukan pada laboratorium intermediet dan rujukan.

16
2. Pemeriksaan serologi

Serologi merupakan pemeriksaan yang paling dapat dipercaya dan dapat


digunakan pada semua stadium penyakit, selain itu tidak membutuhkan sampel yang
segar. Pemeriksaan serologi untuk menditeksi antibodi terhadap treponema, dan
hanya dapat dilakukan apabila penyakit sifilis genital telah disingkirkan.

Pemeriksaan serologi standar untuk sifilis juga memberikan reaksi positif


pada penyakit frambusia, pinta, dan non veneral endemik sifilis. Sehingga
pemeriksaan serologi untuk sifilis dapat juga digunakan untuk frambusia, yaitu
VDRL ( Venereal Disease Research Laboratory ), RPR (Rapid Plasma Reagen) dan
TRUST (Toliridine Red Unheated Serum Test). Pemeriksaan ini sudah menjadi
standar dan sudah tersedia secara komersial. Pemeriksaan ini tidak mahal, mudah dan
cepat. Setelah onset penyakit muncul, masih dibutuhkan beberapa waktu untuk dapat
menghasilkan sero-positif.

Dari pemeriksaan yang ada, RPR ternyata paling banyak digunakan karena
mudah digunakan dan teknik yang dibutuhkan tidak rumit. Tes ini adalah tes
aglutinasi cepat untuk mendeteksi antibodi dengan menggunakan antigen kardiolipin
yang dilapisi karbon. Singkatnya, 1 tetes(50 μl) serum pasien atau plasma
dicampurkan dengan 15 μl antigen pada kartu solid, akan terbentuk gumpalan hitam
keabu – abuan dalam 45 menit yang menandakan tes positif.

Pemeriksaan non treponema ini juga sering kurang sensitif pada infeksi
lanjut. Skrining dengan tes non-treponema saja sering menyebabkan reaksi positif
palsu pada kondisi akut dan kronis pada pasien dengan infeksi treponema yang
negatif. Rata – rata reaksi positif palsu 1-2% dan sedikit lebih tinggi kejadiannya
pada kelompok usia yang sangat muda dengan faktor rheumatoid autoimun. Western
Blotting (immunolotting) assay tidak dapat membedakan bentuk antibodi sifilis
dengan frambusia atau pinta.

17
Oleh karena itu, gejala klinis dan gambaran lesi, anatomi lesi, mode transmisi dan
usia penderita menjadi satu – satunya kriteria yang dapat membedakan diagnosis
penyakit ini secara benar dan tepat.

3. Pemeriksaan Histopatologi dapat dilakukan untuk mengetahui karakteristik lesi, dan

dapat dilakukan dengan cara biopsy.

1,5,6,8
3.7 DIAGNOSIS BANDING

Lesi frambusia dapat identik dengan osteomielitis dan penyakit sickle cell. Lesi
mukokutaneus, rinosporidosis, rinoskeroma, selatan.

Namun secara garis besar, terdapat beberapa penyakit yang sering menyulitkan
diagnosis karena kemiripan manifestasi lesinya dengan frambusia, yaitu:

1. Impetigo

Lesi kulit yang sering mengenai anak – anak yang disebabkan oleh streptokokus
atau stafiokokus. Terutama bentuk impetigo krustosa dimana predileksinya juga mirip
frambusia yaitu di daerah lubang hidung dan mulut. Lesi berupa eritema dan vesikel
yang cepat pecah sehingga ketika penderita datang berobat yang terlihat adalah krusta
tebal berwarna kuning seperti madu dan apabila dilepas terdapat dasar yang erosi.
Sering menyebar ke perifer dan sembuh di tengah.

2. Tinea versikolor (pitiriasis versikolor)

Infeksi kulit superficial yang disebabkan oleh jamur, Malassezia furfur,


karakteristiknya berupa bercak skuama halus berwarna putih sampai coklat hitam
terutama meliputi badan dan kadang – kadang dapat menyerang ketiak, lipatan paha,
lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepalayang berambut, dengan keluhan
subyektif gatal.

18
3. Moluskum kontagiosum

Penyakit kulit yang disebabkan oleh virus dengan lesi papul berukuran miliar atau
lentikular putih atau merah muda dengan bagian bagian inti tengah yang menonjol,
yang dapat muncul pada bagian tubuh manapun. Penyakit ini terutama menyerang
anak – anak dan kadang orang dewasa. Pada orang dewasa digolongkan sebagai
penyakit menular seksual karena ditularkan langsung melalui kontak seksual.

4. Ulkus tropical (ulcer tropicum)

Ulkus yang cepat berkembang dan nyeri, biasanya pada tungkai bawah, lebih sering
dijumpai pada anak – anak yang kurang gizi. Biasanya disebabkan oleh infeksi
campuran antara Treponema vencentil dan Fusabacterium nucleatum. Berbeda dengan
ulkus pada frambusia, ulkus tropical memiliki tepi yang tegas dengan dasar purulen,
dan bisa mengalami penetrasi sampai ke tendon dan tulang.

5. Veruka plantaris

Veruka adalah hiperplasi epidermis disebabkan oelh human papiloma virus. Veruka
yang sakit dan datar pada telapak kaki, susah dibedakan dengan papiloma plantar pada
frambusia.

6. Tungisis (jiggers)

Lesi plantar disebabkan oleh kutu pasir betina (female sand-flea), tungau penetrans
yang membuat lubang pada permukaan kulit.

7. Leptospirosis

Lesi mengalami dua bentuk yaitu leprematosa dan tuberkulosa yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. Lesi ini sering salah dikenali dengan lesi frambusia. Namun
hilangnya sensasi tidak terdapat pada frambusia.

19
8. Liken Planus

Penyakit infeksi kronis yang etiologinya masih belum diketahui dan ditandai dengan
timbulnya papul, dengan warna dan konfigurasi khas. Papul – papul berwarna merah
biru, berskuama, dan berbentuk siku – siku. Lokasinya di ekstrimitas bagian fleksor,
selaput lendir, dan alat kelamin. Sangat gatal, umumnya membaik dalam waktu 1 – 2
tahun.

1,5
3.8 TERAPI

Terapi yang direkomendasikan untuk frambusia masih dengan injeksi tunggal


benzathine penisilin 2,4 juta unit intramuskular untuk orang dewasa dan anak usia lebih
dari 12 tahun dan dosis setengahnya untuk anak usia kurang dari 12 tahun. Pasien menjadi
tidak infeksius setelah 24 jam pasca injeksi. Anak usai lebih dari 8 tahun yang mempunyai
alergi terhadap penisilin dapat diterapi dengan tetrasiklin 250 mg 4 kali sehari selama 15
hari. Atau jika usia nya lebih muda yaitu kurang dari 8 tahun dapat diterapi dengan
eritromisin 8mg/kgBB dengan frekuensi 4 kali sehari selama 15 hari.

Orang dewasa yang mempunyai alergi terhadap penisilin dapat diganti dengan
tetrasiklin 500 mg dengan frekuensi 4 kali sehari selama 15 hari, doksisiklin 100 mg
frekuensi 2 kali sehari, atau eritromisin 500 mg frekuensi 4 kali sehari. Jenis antibiotik lain
seperti makrolid dapat juga digunakan namun laporan ujicobanya masih kurang.

2
2.9.1 PENCEGAHAN

Sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang dapat mencegah terjadinya
frambusia. Pada prinsipnya pencegahan yang dapat kita lakukan adalah pemutusan rantai
penularan kuman dengan deteksi dini dan pengobatan yang tepat dan efektif terhadap
penderita dan orang yang kontak langsung dengan penderita. Dengan demikan proses
transmisi penyakit dapat kita batasi.

Selain itu higienitas perorangan dan sanitasi lingkungan perlu kita pelihara dengan
baik karena hal tersebut juga merupakan faktor risiko penularan penyakit.

20
BAB IV
KESIMPULAN

Frambusia atau patek adalah penyakit treponematosis menahun, hilang timbul,


dengan 3 stadium yaitu ulkus atau granuloma pada kulit (mother yow), lesi non-destruktif
dini dan lanjut pada kulit, tulang, dan perios. Frambusia merupakan penyakit menular
1
yang ditularkan melalui kontak langsung dengan lesi penderita (orang ke orang).

Penyakit ini terutama ditemukan pada daerah miskin dengan iklim hangat, lembab
pada daerah tropis Afrika, Asia dan Amerika latin. Indonesia sendiri merupakan salah
satu negara di Asia dengan tingkat kejadian penyakit frambusia yang masih tinggi dan
2,3
maerupakan bagian dari upaya WHO dalam eradikasi frambusia. Diperkirakan 75%
dari penderita nya adalah anak berusia kurang dari 15 tahun (dengan insiden tertinggi
pada usia 6 – 10 tahun); menyerang baik pria maupun wanita dan tidak dipengaruhi oleh
ras tertentu. Jumlah penduduk yang padat, higienitas personal dan sanitasi yang buruk
menjadi faktor risiko perkembangan penyakit ini. Penyakit ini dapat berkembang dan
menyebabkan disabilitas dan kecatatan.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Natahusada E.C. Frambusia. Dalam Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi kelima. Hal
127-128. Fakultas Kedokteran Uuniversitas Indonesia.. Jakarta. 2015.
2. Yaws: A forgotten disease. January 2012. www.who/int/medicenter.
3. Robed A, et al.Eradication of Yaws. Journal of Clinical Medicine and Research, Vol. 2(3)
pp. 049-054, March 2011
4. Amin R, Basher A, Zaman F, Faiz M.A. Global eradication of yaws : neglected disease
with research priority. J medicine Vol 10 No 2. 2009.
5. Sanchez M.R. Endemic (Non-Venereal) Treponematoses. Chapter 201. In Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine, 7th Edition. 2000
6. Lal Shiv et al. Yaws Elimination in India. A step toward eradication. National institute of
communicable disease, World Health Organization. 2011.
7. Christian Kevin. Lepra dan frambusia. 2011. www.scribd.com
8. Yaws. [juli 2011] www.emedecine.medscape.com

22
23
24
25

Anda mungkin juga menyukai