Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit kusta (Morbus Hansen) atau dikenal juga dengan nama lepra
adalah sebuah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae (M. leprae).1 M. leprae adalah basil obligat intraseluler yang terutama
dapat berkembang biak di dalam sel Schwann saraf dan makrofag kulit. M. leprae
menyerang saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf
pusat.2

Penyakit kusta ditularkan melalui droplet dari hidung dan mulut para pasien
yang tidak diobati dengan derajat penyakit yang sudah sangat parah. Jika tidak
ditangani, penyakit akan menyebabkan kerusakan saraf, menuju ke kelemahan dan
atrofi otot, dan kecacatan yang permanen. Namun, penyakit kusta dapat diobati
dengan MultiDrug Therapy (MDT) sesuai rekomendasi WHO.3

Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-negara yang sedang


berkembang (seperti Indonesia) sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara
tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan,
pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat.4

1
Goldsmith, L. A., et al. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine Eight Edition Volume One.
(New York: McGraw Hill; 2012), hlm. 3206.
2
Djuanda, Adhi (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam (Cetakan Ketiga 2013).
(Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010), Hlm. 73.
3
WHO. 2015. “Leprosy: Global Situation”. WHO, dilihat 19 Maret 2016.
http://www.who.int/topics/leprosy/en/
4
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian
Penyakit Kusta. (Jakarta: Kemkes RI; 2012), hlm. 1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama kali menyerang susunan saraf
tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan
bagian atas, system retikulo endothelial, mata, otot, tulang dan testis.5

B. EPIDEMIOLOGI
Penderita lepra tersebar di seluruh dunia. Jumlah yang tercatat 888.340 orang
pada tahun 1997. Sebenarnya kapan penyakit lepra ini mulai bertumbuh tidak
dapat diketahui dengan pasti, tetapi ada yang berpendapat penykit ini berasal dari
Asia Tengah kemudian menyebar ke Mesir, Eropa, Afrika dan Amerika. Di
Indonesia tercatat 33.739 orang penderita lepra. Indonesia merupakan Negara
ketiga terbanyak penderitanya setelah India dan Brazil dengan prevalensi 1,7 per
10.000 penduduk. 6
Penelitian secara epidemiologik pada penyakit kusta sangat sulit
mengumpulkan data tentang insidens, tetapi dari data yang tersedia pada beberapa

5
Harahap, Marwali. Ilmu Penyakit Kulit. (Jakarta: Hipokrates; 2013), Hlm. 260.
6
Harahap, Marwali. Loc. Cit.

2
daerah terpilih tampaknya insidens penyakit ini cenderung menurun di berbagai
belahan dunia dengan penurunan rata-rata per tahun berkisar 7-18%.7
Penyakit kusta dapat menyerang semua orang. Laki-laki lebih banyak
terkena dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan 2:1, walaupun ada
beberapa daerah yang menunjukkan insidens ini hamper sama bahkan ada
daerah yang menunjukkan penderita wanita lebih banyak. Penyakit ini dapat
mengenai semua umur. Namun demikian, jarang dijumpai pada umur yang
sangat muda. 8
Kapan penyakit ini menjalar ke Indonesia tidak dapat diketahui dengan
pasti. Namun dalam buku tentang Historische Studie over lepra dikatakan
bahwa penduduk pertama Jawa mungkin berasal dari Hindia Muka dan
belakang, negeri yang terkenal dengan sarang kusta yang membawa ke Pulau
Jawa. Juga dilaporkan bahwa orang Tionghoa yang datang berdagang ke negeri
pati kita pasti juga telah membawa penyakit ini ke Indonesia dan dilaporkan
dalam buku tersebut bahwa adanya 3 orang penderita kusta yang diasingkan di
suatu pulau di muka pelabuhan Jakarta pada tahun 1657.9

C. ETIOPATOGENESIS
Penyebab penyakit ini adalah Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama
kali diidentifikasi melallui mikroskop oleh Armauer Hansen di Norway pada
tahun 1873. 10
Secara morfologik, M. leprae berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi
pararel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1,8 mikron. Basil ini
berbentuk batang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora, dapat tersebar
atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk massa irregular besar
yang disebut sebagai globi. Dengan mikroskop electron, tampak M. leprae

7
Harahap, Marwali. Loc. Cit.
8
Ibid., hlm. 261
9
Ibid., hlm. 261
10
Arenas, Roberto dan Roberto Estrada. Vademecum Tropical Dermatology. (Austin: Landes
Bioscience; 2001), Hlm. 115.

3
mempunyai dinding yang terdiri dari dua lapisan, yakni lapisan peptidoglikan
padat pada bagian dalam dan lapisan transparan lipopolisakarida dan kompleks
protein-lipopolisakarida pada bagian luar.11

M. leprae adalah basil obligat intraseluler yang terutama dapat berkembang


biak di dalam sel Schwann saraf dan makrofag kulit. Basil ini dapat ditemukan
dimana-mana, misalnya di dalam tanah, air, udara, dan pada manusia terdapat di
permukaan kulit, rongga hidung, dan tenggorokan. Basil ini dapat berkembang
biak di dalam otot polos atau otot bergaris sehingga dapat ditemukan pada otot
erector pili, otot dan endotel kapiler, otot di skrotum, dan otot di iris mata. Basil
ini dapat ditemukan dalam folikel rambut, kelenjar keringat, secret hidung,
mukosa hidung, dan daerah erosi atau ulkus pada penderita tipe borderline dan
lepromatous.12
M. leprae mengandung DNA dan RNA yang berkembang biak secara perlahan
dengan cara binary fision yang membutuhkan waktu 11-13 hari. Sifat multiplikasi
ini lebih lambat dari pada Mycobacterium tuberculosis yang hanya membutuhkan
waktu 20 jam. Pertumbuhan yang sangat lambat ini yang menyebabkan masa
inkubasi kusta sangat lama (5-7 tahun) dan menyebabkan semua manifestasi
kliniknya menjadi kronik. M. leprae belum dapat dibiakkan secara in vitro
walaupun telah dapat diinokulasi pada beberapa binatang percobaan seperti
armadillo, mencit, tupai, hedgehog, dengan pertumbuhan yang terbatas dan tidak
teratur.13

11
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 261.
12
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 262.
13
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 262.

4
Adanya distribusi lesi yang secara klinik dominan pada kulit, mukosa hidung,
dan saraf perifer superficial menunjukkan pertumbuhan basil ini cenderung
menyukai temperature <37°C. Bagian tubuh yang dingin seperti saluran
pernapasan, testis, ruang anterior mata, dan kulit terutama cuping telinga, dan jari,
merupakan tempat yang biasa diserang. Saraf kulit yang terkena, terutama yang
superficial, dan bagian kulit yang dingin cenderung paling banyak mengalami
anastesi. Bagian tubuh yang dingin merupakan tempat predileksi tidak hanya
karena pertumbuhan optimal M. leprae pada temperature rendah, tetapi juga
karena rendahnya temperature dapat mengurangi respons imunologis. Di luar
hospes, dalam secret kering dengan temperature dan kelembaban yang bervariasi,
M. leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari, sedangkan pada temperature kamar
dibuktikan dapat bertahan hidup sampai 46 hari.14
M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala
yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat
infeksi dengan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang
menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat
sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut
sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat
reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.15
Untuk kriteria identifikasi, ada lima sifat khas M. leprae, yakni:
1) M. leprae merupakan bakteri intraseluler obligat yang tidak dapat
dibiakkan pada media buatan.
2) Sifat tahan asam M. leprae dapat diekstraksi oleh piridin.
3) M. leprae merupakan satu-satunya mikobakterium yang mengoksidasi D-
Dopa (D-Dihydroxyphenylalanin)
4) M. leprae adalah satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi
dan bertumbuh dalam saraf perifer

14
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 262.
15
Djuanda, Adhi (ed.). op. cit. hlm. 74.

5
5) Ekstrak terlarut dan preparat M. leprae mengandung komponen antigenik
yang stabil dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif
pada penderita tuberkuloid dan negatif pada penderita lepromatous.16

Penularan M. leprae:
 Sumber penularan
Sampai saat ini hanya manusia satu-satunya yang dianggap sebagai
sumber penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo,
simpanse dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar
thymus (athymic nude mouse)
 Cara keluar dari pejamu (tuan rumah+host)
Kuman kusta banyak ditemukan di mukosa hidung manusia. Telah terbukti
bahwa saluran pernapasan atas dari pasien tipe lepromatosa merupakan
sumber kuman.
 Cara penularan
Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama
dengan pasien. Pasien yang sudah minum obat MDT tidak menjadi sumber
penularan kepada orang lain
 Cara masuk ke dalam pejamu
Menurut teori cara masuknya kuman ke dalam tubuh adalah melalui
saluran pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit.17

D. FAKTOR RISIKO

 Sosial ekonomi rendah.

 Kontak lama dengan pasien, seperti anggota keluarga yang didiagnosis


dengan kusta

 Imunokompromais

 Tinggal di daerah endemik kusta.18

16
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 262-3.
17
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Op. cit. hlm. 9.

6
E. KLASIFIKASI
1) Klasifikasi untuk kepentingan riset/klasifikasi Ridley Jopling (1962).
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah
klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit
kusta menjadi lima kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik,
histopatologik dan imunologik. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas
dipakai di klinik dan untuk pemberantasan.19
 Tipe Tuberkuloid-Tuberkuloid (TT)
 Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
 Tipe Borderline-Borderline (BB)
 Tipe Borderline Lepromatous (BL)
 Tipe Lepromatous-Lepromatous (LL)
2) Klasifikasi untuk kepentingan program kusta/klasifikasi WHO (1981)
dan modifikasi WHO (1988)
 Pausibasilar (PB)
Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif
pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu: tipe-tipe I, TT, dan BT
menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai
BTA positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta MB.
 Multibasilar (MB)
Kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL, dan LL atau
apapun klasifikasi lainnya dengan BTA positif, harus diobati dengan
rejimen MDT-MB.20

NO PB MB
1. Lesi kulit 1-5 >5
2. Penebalan dan kerusakan saraf 1 >1
3. Apusan kulit (BTA) - +

18
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Op. cit. hlm. 7.
19
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 263-4.
20
Djuanda, Adhi (ed.). op. cit. hlm. 75.

7
F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik penyakit kusta biasanya menunjukkan gambaran yang jelas
pada stadium yang lanjut dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan
fisik saja. Penderita kusta adalah sesorang yang menunjukkan gejala klinik kusta
dengan atau tanpa pemeriksaan bakteriologik dan memerlukan pengobatan. Gejala
dan keluhan penyakit bergantung pada:
 Multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae.
 Respon imun penderita terhadap kuman M. leprae.
 Komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.21

Ada 3 tanda kardinal. Kalau salah satunya ada, tanda tersebut sudah cukup
untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta yakni:

1. Lesi kulit yang anastesi


2. Penebalan dan gangguan saraf perifer
3. Ditemukannya M. leprae (bakteriologis positif).22

Gambaran gejala klinis menurut Ridley dan Jopling:


 Tipe Tuberkuloid-Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa,
dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat
ditemukan lesi yang mengalami regresi atau penyembuhan di tengah.
Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat
menyerupai gambaran psoriasis. Gejala ini dapat disertai penebalan saraf
perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal.23

21
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 263.
22
Cook, G. C. dan A. I. Zumia. Manson’s Tropical Disease Twenty-Second Edition. (Philadelphia:
Sauenders Elsevier; 2009), Hlm. 1063.
23
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 263.

8
Sumber: Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine 8th Edition Vol. 1

 Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)


Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa macula anestesi atau
plak yang sering disertai lesi satelit di pinggirnya, jumlah lesi satu atau
beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama
tidak jelas seperti pada tipe tuberkuloid. Gangguan saraf tidak seberat pada
tipe tuberkuloid dan biasanya asimetrik. Biasanya ada lesi satelit yang
terletak dekat saraf perifer yang menebal.24

Sumber: Fitzpatrick’s Dermatology in General


Medicine 8th Edition Vol. 1

24
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 263.

9
 Tipe Borderline-Borderline (BB)
Tipe BB merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua spectrum
penyakit kusta. Tipe ini disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan jarang
dijumpai. Lesi dapat berbentuk macula infiltrate. Permukaan lesi dapat
mengkilat, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT
dan cenderung sistemik. Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk, maupun
distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi yang
oval pada bagian tengah, batas jelas yang merupakan ciri khas tipe ini.25

Sumber: Fitzpatrick’s Dermatology in General


Medicine 8th Edition Vol. 1

 Tipe Borderline Lepromatous (BL)


Secara klasik lesi dimulai dengan maukal. Awalnya hanya dalam jumlah
sedikit, kemudian dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Macula di sini
lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walau masih kecil, papel dan
nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hamper simetrik dan beberapa
nodus tampak melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering
tampak normal dengan pinggir di dalam infiltrat lebih jelas disbanding
pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched out.
Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi,
berkurangnya keringat, dan gugurnya rambut lebih cepat muncul
dibandingkan dengan tipe lepromatous dengan penebalan saraf yang dapat
terba pada tempat predileksi di kulit.26

25
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 263.
26
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 263-4.

10
Sumber: Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine 8th Edition Vol. 1

 Tipe Lepromatous-Lepromatous (LL)


Jumlah lesi ini sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem,
mengkilat, berbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anastesi dan
anhidrosis pada stadium dini. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai
dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan di badan mengenai belakang
yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai
bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping
telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fasies
leonine yang dapat disertai madarosis, iritis, dan keratitis. Lebih lanjut lagi
dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar
limfe, orkitis, yang selanjutnya dapat menjadi atropi testis. Kerusakan saraf
dermis menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia.27

Bila penyakit ini menjadi progresif, macula dan papula baru muncul,
sedangkan lesi yang lama menjadi plak dan nodul. Pada stadium lanjut, serabut-
serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan
anestesi dan pengecilan otot pada tangan dan kaki.
Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley
dan Jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta adalah tipe

27
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 264.

11
Intermediate (I). Tipe ini ditandai dengan jumlah lesi sedikit, asimetrik, macula
hipopigmentasi dengan sisik yang sedikit, kulit sekitar normal. Lokalisasi
biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang
dapat ditemukan bentuk macula hipestesi atau sedikit penebalan saraf. Diagnosis
tipe ini hanya dapat ditegakkan bila dengan pemeriksaan histopatologik
didapatkan basil atau terdapat infiltrate di sekitar saraf.28

G. TEMPAT PREDILEKSI
M. leprae lebih sering menyerang saraf tepi yang terletak superficial yang
suhunya relatif lebih dingin. Saraf tepi yang diserang dengan berbagai kelainan
yaitu:
1) Nervus auricularis magnus.
2) Nervus ulnaris; anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari V dan
sebagian jari IV.
3) Nervus peroneus communis; kaki simper (drop foot)
4) Nervus medianus; anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari I, II, III,
dan sebagian jari IV. Kerusakan N. ulnaris dan N. medianus menyebabkan
jari tangan kiting (claw finger), tangan cakar (claw hand).
5) Nervus radialis; tangan lunglai (drow wrist).
6) Nervus tibialis posterior; mati rasa telapak kaki, jari kaki kiting (claw
toes).
7) Nervus facialis; lagoftalmus, mulut mencong.
8) Nervus trigeminus; anestesi kornea.29

28
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 264.
29
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 264.

12
Manifestasi klinik organ lain yang dapat diserang:

 Mata: iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan.


 Tulang rawan: epistaksis, hidung pelana.
 Tulang dan sendi: absorbs, mutilasi, arthritis.
 Lidah: ulkus, nodus.
 Larings: suara parau.
 Testis: epididimitis akut, orkitis, atrofi.
 Kelenjar limfe: limfadenitis.
 Rambut: alopesia, madarosis.
 Ginjal: glomerulonefritis, amiloidosis ginjal, pielonefritis, nefritis
interstisial.30

H. DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis. Ada 3 cardinal sign pada
penyakit kusta. Kalau salah satunya ada, tanda tersebut sudah cukup untuk

30
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 265.

13
menetapkan diagnosis penyakit kusta yakni: lesi kulit yang anastesi, penebalan
dan gangguan saraf perifer, serta ditemukannya M. leprae (bakteriologis positif).31

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang penyakit kusta antara lain bakterioskopis,
histopatologis, dan serologis.
1) Baktrioskopik (kerokan jaringan kulit)
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa
hidung yang diwarnai dengan pewarnaan basil tahan asam (BTA), antara
lain dengan ZIEHL-NEELSEN. Pemeriksaan ini untuk menilai Indeks
Bakteri dan Morfologi Indeks.
2) Histopatologis
Pemeriksaan histopatologis didasarkan atas tindakan makrofag dalam
jaringan yang berasal dari monosit dalam bereaksi terhadap M. leprae.
3) Serologis
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibody pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Macam-macam
pemeriksaan serologik kusta adalah uji MLPA, ELISA, ML dipstick test,
dan ML flow test.32

J. DIAGNOSIS BANDING
1) Bercak eritem
 Psoriasis
Bercak merah berbatas tegas, dengan sisik berlapis-lapis.
 Tinea circinata
Bercak meninggi, sering meradang, mengandung vesikel/krusta.
 Dermatitis seboroik

31
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 263.
32
Djuanda, Adhi (ed.). Op. cit. hlm. 79-80.

14
Lesi di daerah seboroik (berminyak) dengan sisik kuning berminyak,
gatal, kronik, residif, tidak ada rasa baal.33

2) Lesi sekunder
 Vitiligo
Pigmen kulit hilang total, warna kulit amat putih.
 Pitiriasis versikolor
Tampak lesi berupa plak hipopigmentasi dengan skuama halus dan
berbatas tegas.
 Pitiriasis alba
Makula berbentuk bundar/oval dengan sisik, rasa raba normal.34

3) Nodul
 Neurofibromatosis
Bercak café au lait (bercak coklat muda berbatas tegas) yang sering
timbul sejak lahir. Nodus dan tumor bertangkai pada usia yang lebih
lanjut tersebar luas tanpa rasa baal. Pemeriksaan BTA (-).
 Sarcoma Kaposi
Nodus lunak berwarna biru keunguan, lokalisata (terutama pada kaki).
Pemeriksaan BTA (-)
 Veruka vulgaris
Papul-papul dengan permukaan kasar.35

K. PENATALAKSANAAN

Tujuan utama program pemberantasan penyakit kusta adalah memutuskan


rantai penularan untuk menurunkan inveksi penyakit, mengobati dan
meyembuhkan penderita serta mencegah timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan
itu sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan masih didasarkan atas deteksi

33
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Op. cit. hlm. 69.
34
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Op. cit. hlm. 70.
35
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Op. cit. hlm. 71.

15
dini dan pengobatan penderita, yang tampaknya masih tetap diperlukan walaupun
antivaksin kusta yang efektif telah tersedia. Sejak dilaporkan adanya resistensi
terhadap dapson baik primer maupun sekunder, pada tahun 1977 WHO
memperkenalkan pengobatan kombinasi yang terdiri paling tidak dua obat anti
kusta yang efektif. Sayangya anjuran ini tidak diikuti di lapangan dengan
beberapa alasan. Ole karenaitu, pada tahun 1981 WHO Study Group on
Chemotherapy of Leprosy secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan
kusta dengan regimen MTD (Multi Drug Therapy).36

Sejak Januari 1982, pengobatan kusta di Indonesia mengikuti keputusan WHO


Expert Commie Meeting di Geneva (Oktober 1981), yaitu dengan pengobatan
kombinasi DDS, Lampren dan Rifampisin.37

 OBAT-OBAT ANTI KUSTA


1) Sulfon
a. Dapson (4,4-diamino difenilsulfon, DDS).
Hal-hal yang paling penting mengenai dapson adalah sebagai berikut:
 Merupakan dasar terapi untuk kusta.
 Bersifat bakteriotastik, tetapi carakerjanya tidak diketahui. Dosis 100
mg bersifat bakterisidal lemah. Merupakan suatu inhibitor kompetitif
PABA dan berhubungan dengan metabolism e asam folat tetapi
sensitivitas M. leprae yang unik terhadap dapson menimbulkan
perkiraan adanya mekanisme lain yang terlibat.
 Aman, mudah didapat dan harganya murah.
 Efek samping dapson sebagai berikut:
 Pada penderita difisiensi G6PD: menimbulkan anemia hemilotik.
 Dapat timbul anemia normositik hipokromik dan lekopenia. Obat
harus dihentikan bila hitung total sel darah merah kurang dari 3,5
juta/mm3. Jarang timbul anemia setelah terapi 4 bulan.
 Dapat terjadi sianosis (methemo-globinemia).

36
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 265-6.
37
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 266.

16
 Gangguan gastrointestinal yang rendah dan hepatitis yang ditandai
oleh anoreksia dan vomitus. Dalam hal ini obat dapat dihentikan
sementara.
 Psikotik merupakan komplikasi yang serius, tetapi jarang, ditandai
oleh insomnia, mudah terangsang dan irritable. Dalam hal ini obat
perlu dihentikan.
 Keterlibatan ginjal ditandai dengan albuminuria.
 Erupsi kulit bervariasi dari rash morbiliformis sampai pemfigoid
berat, fixed drug eruption, dermatitis eksfoliativa, eritema
multiforme, toksik epidermal nekrolisis (TEN).
 Kadang-kadang sulfon mengeksaserbasi keterlibatan saraf pada
penderita tuberkuloid (paradox terapi).38
b. DADDS (diasetil-diamino-difenil-sulfon)
Merupakan depot sulfon, penggunaan intramuscular 225 mg dapat
aktif sampai lebih dari 2 bulan. Dapat digunakan di lapangan. Titer
plasma dengan suntikan lebih rendah daripada dapson oral dan terapi
yang lama dapat menimbukan resistensi. Karenanya, obat ini tidak
boleh digunakan sebagai obat tunggal. Sebagai tambahan untuk terapi
oral, diberikan satu injeksi tiap 8-10 minggu. DADDS sering digunakan
oleh leprolog amerika Latin, terutama pada penderita yang diragukan
kepatuhannya dalam meminum obat. Profilasis DADDS ini efektif bila
disupervisi dengan baik.39

2) Rifampisin
Beberapa yang penting mengenai rifampisin:
 Suatu derivat semi sintetik produk fermentasi Streptomyces
mediterranei.
 Kerjanya melalui inhibisi sintetis RNA bakteri.

38
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 266.
39
Harahap, Marwali. Loc. Cit.

17
 Merupakan antikusta yang paling poten, menurunkan MI (Indeks
Morfologi) pada kusta lepromatosa menjadi 0 dalam ±5 minggu,
bersifat bakterisidal.
 Dosis tunggal rifampisisn 600 mg akan membunuh 99,99% M. leprae
dalam beberapa hari sehinnga penderita jadi tidak infeksius lagi.
 Rifampisin harus diminum sebelum makan, umumnya obat dapat
ditoleransi dengan baik.
 Berbagai kasus resisten telah dilaporkan, karenanya obat ini tidak boleh
diberikan secara tunggal.
 Tidak direkomendasikan pada kehamilan trisemester I.
 Hambatan pada negara-negara berkembang adalah harganya mahal.
 Efek samping:
- Diskolorisasi urin, urin menjadi merah.
- Erupsi kulit umumnya berupa papula-papula eritematosa, eritema
multiforme dan kadang-kadang sindroma Steven-Johnson.
- Pusing, lemah, gangguan gastrointestinal.
- Flushing dan/atau pruritus.
- Kadang-kadang hepatitis, trombositopenia, porfiria kutanea tarda.
- Flu-like syndrome.
- Gagal ginjal, napas pendek, syok, purpura.40

3) Klofazimin (B663, Lampren).


 Bahan aktif adalah turunan zat warna iminofenazin.
 Kerjanya melalui interaksidengan DNA mikobakteria.
 Bersifat bakteriostatik dan bakterisidal lemah.
 Sifat antikustanya mirip dengan dapson tetapi sedikit lebih lambat.
 Efektif untuk terapi ENL (Eritema Nodosum Leprosum) danreaksi
reversal, yang tidak dapat diatasi dengan talidomid secara efektif.
 Harus diminum pada waktu makan atau dengan segelas susu.

40
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 266-7.

18
 Terutama penting untuk penderita dengan resistensi terhadap dapson,
penderita ENL menetap yang tidak dapat berhenti minum kortiosteroid
dan tidak dapa tminum talidomid (wanita hamil dengan ENL).
 Efek samping:
- Terjadi diskolorisasi yang reversible dari ungu sampai coklat
kehitaman pada kulit. Efek ini berhubungan dengan dosis. Pigmen
pada lesi kusta berwarna keabu-abuan, dapat sampai hampir hitam.
- Nyeri abdominal, mual, diare; dapat dikurangi dengan minum obat
saat makan.
- Kematian pernah dilaporkan karena deposit kistal pada limfatik
dengan submucosa gastrointestinal, dimana dosis total clofazimin
tinggi.
- Iktiosis, kekeringan kulit, fisura terutama pada tulang kering, dapat
dikontrol dengan minyak.
- Dapat menyebabkan eksaserbasi pada permulaan terapi.
- Lampren melewati plasenta sehingga pada bayi yang lahir dari ibu
yang mendapatkan lampren, kulitnya menjadi lebih berpigmentasi.
Tidak ditemukan adanya teratogenisistas.
- Sedapat mungkin lampren tidak diberikan pada:
o Trisemester I kehamilan.
o Penderita dengan nyeri abdomen berulang dan diare.
o Penderita dengan kerusakan hati/ginjal.41

4) Protionamide dan Etionamide


 Keduanya mempunyai efek bakterisidal. Efek keduanya hampir sama
dan dapat dipertukarkan. Resistensi silang sering terjadi.
 Digunakan bila klofazimin tidak dapat diberikan.
 Dosis:
Etionamide : 250-500 mg/hari.

41
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 267.

19
Protionamide : 250-375 mg/hari.
 Efek samping:
Hepatitis pada 40% penderita, tetapi protionamid lebih kurang-toksik di
antara kedua obat tersebut. Intoleransi terhadap obat ini tinggi pada
orang-orang Asia, terutama orang-orang Cina. Oleh karena dapat
menyebabkan hepatotostik, terutama bila dikombinasi dengan
rifampisin, WHO Expert Commite on Leprosy merekomendasikan
bahwa kedua obat tersebut sebaiknya tidak dipakai sebagai komponen
MDT di lapangan, kecuali sangat terpaksa.42

 PRINSIP MDT (MULTI DRUG THERAPY = PENGOBATAN


KOMBINASI)
Manajemen penyakit kusta yang tepat memerlukan pengetahuan tentang
tujuan terapi, sifat-sifat obat yang digunakan dan perjalanan alamiah peyakit.
Yang penting, diperlukan kesabaran dan pegertian akan keadaan psikologik
penderita. Regimen rekomendasi MDT adalah suatu kompromi antara ide
teori dan suksesnya tujuan pada kondisi lapangan di negara miskin.43
1. Keuntungan MDT
a. Mencegah resistensi obat.
b. Mengobati penderita dengan resistensi terhadap dapson.
c. Menghapus keperluan mengidentifikasi sensitivitas terhadap M. leprae
sebelum terapi.
d. Mengubah konsep dari terapi jangka panjang yang hanya mencegah
perluasan penyakit ke terapi jangka pendek yang menyembuhkan
peyakit.
e. Meningkatkan ketaatan berobat dari 50% ke 95%.
f. Mencegah deformitas secara lebih efisien.
g. Menurunkan jumlah kasus-kasus setiap tahunnya

42
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 267-8.
43
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 268.

20
h. Cepat membuat penderita menjadi tidak infeksius.
i. Mengurangi biaya jangka panjang pada program kontrol kusta.44

2. Regimen MDT – standar WHO


a. Regimen MDT – Pausibasiler
Penderita yang diobati dengan regimen ini adalah penderita yang
termasuk dalam klasifikasi TT, BT menurut Ridley Jopling atau I dan T
menurut klasifikasi Madrid yang bakterioskopik negatif sedang apabila
bakterioskopik positif, digolongkan ke dalam multibasiler.45

Obat/dosis:

 Rifampisin:
Dewasa: 600mg/bulan, disupervisi
Berat badan <35 kg: 450 mg/bulan
Anak 10-14 tahun: 450 mg/bulan (12-15 mg/kg BB/bulan)
 DDS:
Dewasa: 100 mg/hari
Berat badan <35 kg: 50 mg/hari
Anak 10-14 tahun: 50 mg/hari (1-2 mg/kg BB/hari)

Lama pengobatan: diberikan sebanyak 6 regimen dengan jangka waktu


maksimal 9 bulan46

b. Regimen MDT- Multibasiler


Penderita yang diobati dengan regimen ini adalah penderita yang
termasuk dalam klasifikasi BB, BL, LL menurut Ridley-Jopling atau B

44
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 268.
45
Harahap, Marwali. loc. cit.
46
Harahap, Marwali. loc. cit.

21
dan L menurut klasifikasi Madrid dan tipe lain yang bakterioskopik
positif.47

Obat/dosis:

 Rifampisin:
Dewasa: 600mg/bulan, disupervisi
Berat badan <35 kg: 450 mg/bulan
Anak 10-14 tahun: 450 mg/bulan (12-15 mg/kg BB/bulan)
 Lampren
Dewasa: 300 mg/bulan, disupervisi dilanjutkan dengan 50 mg/hari.
Anak 10-14 tahun: 200 mg/bulan, disupervisi dilanjutkan dengan 50
mg selang sehari.
 DDS
Dewasa: 100 mg/hari.
Berat badan <35 kg: 50 mg/hari (1-2 mg/hari/kg BB/hari)

Lama pengobatan: diberikan sebanyak 24 regimen dengan jangka


waktu maksimal 36 bulan, sedapat mungkin sampai apusan kulit
menjadi negatif.48

Setelah pengobatan dihentikan (Release from Treatment/RFT atau Completion


of Treatment/COT), penderita masuk dalam masa pengamatan
(control/surveillance), yaitu: penderita dikontrol secara klinik dan bakterioskopik
minimal sekali setahun selama 5 tahun untuk penderita kusta multibasiler dan
dikontrol secara klinik sekali setahun selama 2 tahun untuk penderita kusta
pausibasiler. Bila selama masa tersebut tidak ada keaktifan, maka penderita
dinyatakan bebas dari pengamatan (Release from Control/RFC).49

47
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 268.
48
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 268-9.
49
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 269.

22
L. KONSELING DAN EDUKASI

 Individu dan keluarga diberikan penjelasan tentang kusta, terutama cara


penularan dan pengobatannya.

 Dari keluarga diminta untuk membantu memonitor pengobatan pasien


sehingga dapat tuntas sesuai waktu pengobatan.

 Apabila terdapat tanda dan gejala serupa pada anggota keluarga lainnya,
perlu dibawa dan diperiksakan ke pelayanan kesehatan.50

M. RENCANA TINDAK LANJUT

1) Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat.


2) Bila terlambat, paling lama dalam 1 bulan harus dilakukan pelacakan.
3) Release From Treatment (RFT) dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi
tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium.
4) Pasien yang sudah RFT namun memiliki faktor risiko: cacat tingkat 1 atau
2, pernah mengalami reaksi, BTA pada awal pengobatan >3 (ada nodul atau
infiltrate), maka perlu dilakukan pengamatan semi-aktif.
5) Pasien PB yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-
9 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium.
6) Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam
waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium.
7) Default
Jika pasien PB tidak mengambil/minum obatnya lebih dari 3 bulan dan
pasien MB lebih dari 6 bulan secara kumulatif (tidak mungkin baginya
untuk menyelesaikan pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka yang
bersangkutan dinyatakan default. Pasien defaulter tidak diobati kembali bila
tidak terdapat tanda-tanda klinis aktif. Namun jika memiliki tanda-tanda
klinis aktif (eritema dari lesi lama di kulit/ ada lesi baru/ ada pembesaran

50
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. (Jakarta: Kemenkes RI; 2013). hlm. 63.

23
saraf yang baru). Bila setelah terapi kembali pada defaulter ternyata berhenti
setelah lebih dari 3 bulan, maka dinyatakan default kedua. Bila default lebih
dari 2 kali, perlu dilakukan tindakan dan penanganan khusus.51

N. KRITERIA RUJUKAN

 Terdapat efek samping obat yang serius.

 Reaksi kusta dengan kondisi:

 ENL melepuh, pecah (ulserasi), suhu tubuh tinggi, neuritis.

 Reaksi tipe 1 disertai dengan bercak ulserasi atau neuritis.

 Reaksi yang disertai komplikasi penyakit lain yang berat, misalnya


hepatitis, DM, hipertensi, dan tukak lambung berat.52

O. PROGNOSIS
Prognosis untuk vitam umumnya bonam, namun dubia ad malam pada
fungsi ekstremitas, karena dapat terjadi mutilasi, demikian pula untuk kejadian
berulangnya.53

P. REAKSI KUSTA

51
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan. Op. cit. hlm. 108.
52
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Op. cit. hlm. 64.
53
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. loc. cit.

24
Q. PENGOBATAN REAKSI KUSTA

[2]

R. KOMPLIKASI
Komplikasi dari penyakit kusta adalah kecacatan. WHO Expert Committee
on Leprosy membuat klasifikasi cacat pada tangan, kaki dan mata bagi

25
penderita kusta. Pada pertemuan yang ketujuh (1977) dibuat amandemen
khusus untuk mata.54
Klasifikasi cacat:
Cacat pada tangan dan kaki (termasuk ulserasi, absorbs, mutilasi,
kontraktur)
No Derajat Gangguan Kerusakan atau deformitas
sensibilitas yang terlihat
1. Tingkat 0 - -
2. Tingkat 1 √ -
3. Tingkat 2 √ √

Cacat pada mata (termasuk anastesi kornea, iridosiklitis dan lagoftalmus)


No Derajat Kelainan/kerusakan pada Visus
mata
1. Tingkat 0 - -
2. Tingkat 1 Ada, Tidak terlihat Sedikit berkurang
3. Tingkat 2 Ada, Terlihat Sangat terganggu
(misalnya lagoftalmus,
iritis, kekeruhan kornea)

S. PENCEGAHAN CACAT
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita
dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulit multiple dan dengan
saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki risiko tersebut.55
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan
berukurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadarai
adanya perubahan sensibilitas dan kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri

54
Djuanda, Adhi (ed.). op. cit. hlm. 88.
55
Djuanda, Adhi (ed.). op. cit. hlm. 87.

26
saraf atau luka yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang
kehilangan sensibilitas saja. Juga ditemukan keluhan sukarnya melakukan
aktivitas sehari-sehari, misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen
atau mengambil benda kecil, atau kesukaran berjalan. Semua keluhan tersebut
harud diperiksa dengan teliti dengan anamnesis yang baik tentang bentuk dan
lamanya keluhan, sebab pengobatan dini dapat mengobati, sekurang-
kurangnya mencegah kerusakan menjadi berlanjut.56
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat adalah dengan
melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat
dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang
disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid
sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi
petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang
telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam
atau panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu
diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan
memeriksa ada tidaknya memar, luka, atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki
direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.57

T. REHABILITASI
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah
antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak
sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat
diperbaiki.
Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang
sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan
rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).58

56
Djuanda, Adhi (ed.). op. cit. hlm. 87-8.
57
Djuanda, Adhi (ed.). op. cit. hlm. 88.
58
Djuanda, Adhi (ed.). loc. cit.

27
BAB III

KESIMPULAN

1. Penyakit Kusta (Morbus Hansen) adalah sebuah penyakit infeksi kronik yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae).59
2. M. leprae menyerang saraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorius bagian
atas, dan ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.60
3. Penyakit kusta terdapat dimana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika
Latin, daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya
rendah.61
4. Klasifikasi kusta menurut WHO: multibasilar (MB) dan paubasilar (PB).
Klasifikasi kusta menurut Ridley&Jopling: TT, Ti, BT, BB, BL, Li, LL.62
5. Untuk menetapkan diagnosis penyakit Kusta, cukup dengan ditemukannya 1
dari 3 cardinal sign.63
6. Pemeriksaan penunjang penyakit kusta yaitu pemeriksaan bakterioskopik,
histopatologis, dan serologis.64
7. Pengobatan penyakit kusta yang digunakan saat ini adalah pengobatan MDT
sesuai rekomendasi WHO, dengan obat alternatif sejalan dengan kebutuhan
dan kemampuan.65
8. Prognosis untuk vitam umumnya bonam, namun dubia ad malam pada fungsi
ekstremitas, karena dapat terjadi mutilasi, demikian pula untuk kejadian
berulangnya.66

59
Goldsmith, L. A., et al. Op. cit. hlm. 3206.
60
Djuanda, Adhi (ed.). Hlm. 73.
61
D
juanda, Adhi (ed.). loc. Cit.
62
Djuanda, Adhi (ed.). Hlm. 75.
63
Djuanda, Adhi (ed.). Hlm. 74.
64
Djuanda, Adhi (ed.). Hlm. 79-81.
65
Harahap, Marwali. Op. cit. hlm. 265.
66
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Op. cit. hlm. 64.

28
Daftar Pustaka

1) Arenas, Roberto dan Roberto Estrada. Vademecum Tropical Dermatology.


Austin: Landes Bioscience; 2001.
2) Cook, G. C. dan A. I. Zumia. Manson’s Tropical Disease Twenty-Second
Edition. Philadelphia: Sauenders Elsevier; 2009
3) Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional
Pengendalian Penyakit Kusta. Kemkes RI. 2012.
4) Djuanda, Adhi (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam (Cetakan
Ketiga 2013). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.
5) Goldsmith, L. A., et al. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine Eight
Edition Volume One. New York: McGraw Hill; 2012.
6) Harahap, Marwali. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates; 2013.
7) Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Praktis Klinis Bagi
Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta: Kemenkes RI; 2013
8) WHO. 2015. “Leprosy: Global Situation”. WHO, dilihat 19 Maret 2016.
<http://www.who.int/topics/leprosy/en/>

29

Anda mungkin juga menyukai