Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN DEWASA II

DENGAN KASUS FRAKTUR


DI RUANG POLI KULIT DAN KELAMIN RS
LABUANG BAJI

DI SUSUN OLEH
NAMA

:ANDI NUR ALIM JAINUDDIN

NIM

: 142 2013 0054


KELOMPOK

: I (SATU)

CI LAHAN

CI INSTITUSI

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2016

KONSEP MEDIS
A. Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobaterium leprae yang bersifat intrasluler oligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke
organ lain kecuali susunan saraf pusat. (Djuanda Adhi, 2010).

B. Etiologi
Dibandingkan M.tuberculosis, basil tahan asam Mycobacterium leprae tidak
memproduksi eksotoksin dan enzim litik. Selain itu, kuman ini merupakan satusatunya mikobacteria yang belum dibiakkan in vitro. Mikrobakteria ini secara primer
menyerang sistem saraf tepi dan terutama pada tipe lepromatosa, secara sekundeer
dapat menyerang seluruh organ tubuh lain seperti kulit, mukosa mulut, mukosa
saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, tulang dan testis. Reaksi
imun penderita terhadap M. Leprae berupa reaksi imun seluler terutama pada lepra
bentuk tuberkuloid, dan reaksi imun humoral terutama pada lepra eentuk lepromatosa.
(Wim de jong et al.2005)

C. Klasifikasi
Karakteristik tipe kusta ini antara lain :
1. Kusta tipe PB (Pauci Baciler)
Jika jumlah bercak pada kulit berjumlah 1-5, bulu pada bercak rontok, ukuran
bercak kecil dan besar, bercak terdistribusi secara asimetris, bercak biasanya kering
dan kasar, batas bercak tegas, kehilangan rasa pada bercak selalu ada dan jelas,
terdapat central healing (penyembuhan di tengah), cacat biasanya terjadi dini dan
asimetris, penebalan syaraf terjadi dini, infiltrat, nodulus dan perdarahan hidung tidak
ada dan BTA negatif.
2. Kusta tipe MB (Multi Baciler)
Memiliki karakteristik jumlah bercak banyak, ukuran bercak kecil-kecil,
bercak terdistribusi simetris, bercak biasanya halus dan berkilat, batas bercak kurang
tegas, kehilangan rasa pada bercak biasanya tidak jelas dan terjadi pada stadium
lanjut, bulu pada bercak tidak rontok, infiltrat, perdarahan hidung ada dan kadangkadang tidak ada, ciri khusus terdapat punced out lesion (lesi berbentuk seperti kue
donat),madarosis, ginecomastia, hidung pelana, suara parau, penebalan syaraf pada
tahap lanjut, cacat terjadi pada stadium lanjut dan BTA positif.

D. Manifestasi Klinis
1.
2.
3.
4.
5.

Makula hipopigmentasi
Hiperpigmentasi
Eritematosa
Gejala kerusakan saraf (sensorik, motorik, autonom)
Kerusakan jaringan (kulit, mukosa traktus respiataorius atas, tulang-tulang jari dan

wajah).
6. Kulit kering dan alopesia

E. Patofisiologi
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Selain manusia,
hewan yang dapat tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan
kepiting. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M.
leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui
penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum
diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap
individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.
Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak
antara orang yang terinfeksi dan orang yang sehat. Dalam penelitian terhadap
insidensi, tingkat infeksi untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000
per tahun di Cebu, Philipina hingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan.
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit
dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya
sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan
bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat
laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit,
Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di
epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah M.
leprae yang besar di lapisan keratinsuperfisial kulit di penderita kusta lepromatosa.
Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar
melalui kelenjar keringat.

Pentingnya

mukosa

hidung

telah

dikemukakan

oleh

Schffer

pada 1898. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut
Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa
sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung
mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa
dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.
Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat
ini diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari
masuknya bakteri. Rees dan McDougall telah sukses mencoba penularan kusta
melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem imunnya. Laporan yang berhasil juga
dikemukakan dengan pencobaan pada mencit dengan pemaparan bakteri di lubang
pernapasan. Banyak ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran pernapasan adalah
rute yang paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya bakteri, walaupun
demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti
berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah
beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi
maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan
pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian
berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa
inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.

F. Pengobatan
Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940an, tidak
ada pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal
(pembasmi bakteri) yang lemah terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson
menyebabkan populasi bakteri menjadi kebal. Pada 1960an, dapson tidak digunakan
lagi.
Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson, akhirnya
menemukan klofazimin dan rifampisin pada 1960an dan 1970an.

Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi kombinasi


dengan rifampisin dan dapson, untuk mengakali kekebalan bakteri. Terapi multiobat
dan kombinasi tiga obat di atas pertama kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO
pada 1981. Cara ini menjadi standar pengobatan multiobat. Tiga obat ini tidak
digunakan sebagai obat tunggal untuk mencegah kekebalan atau resistensi bakteri.
Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu cukup sulit untuk masuk ke negara yang
endemik. Pada 1985, kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 122
negara. Pada Pertemuan Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991, menelurkan
sebuah resolusi untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada
tahun 2000, dan berusaha untuk ditekan menjadi 1 kasus per 100.000. WHO diberikan
mandat untuk mengembangkan strategi penghapusan kusta.
Kelompok

Kerja

WHO

melaporkan Kemoterapi

Kusta pada 1993 dan

merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar. Yang pertama adalah


pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin,
dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan
rifampisin dan dapson.
Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapoi kusta secara gratis pada
negara endemik, melalui Kementrian Kesehatan. Strategi ini akan bejalan hingga
akhir 2010.
Pengobatan multiobat masih efektif dan pasien tidak lagi terinfeksi pada
pemakaian bulan pertama. Cara ini aman dan mudah. jangka waktu pemakaian telah
tercantum pada kemasan obat.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Test sensibilitas pada kulit yang mengalami kelainan.
2. Laboratorium basil tahan asam. Diagnosa pasti apabila adanya mati rasa dan
kuman tahan asam pada kulit yang (+) (positif).
3. Pengobatan kusta/lepra Lamanya pengobatan tergantung dari berbagai jenis kusta
lepromatus pengobatan minimal 10 tahun, obat
(dosis seminggu).

H. Komplikasi

yang diberikan Dapsone (DSS)

Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien Morbus Hansen
baik akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi
Morbus Hansen.dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien Morbur Hansen terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insidens penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi sifampisin,
klofazimen, dan DDS dimulai tahun 1981. program ini betujuan untuk mengatasi
resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien,
menurunkan angka putus obat dan mengeliminasi persstensi kuman Morbus Hansen
dalam jaringan.

I. Penatalaksanaan
Tujuan utama pemberantasan Morbus Hansen adalah menyembuhkan pasien
Mobus Hansen dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien Morbur Hansen terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insdens penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi sifampisin,
klofazimen, dan DDS dimulai tahun 1981. program ini bertujuan untuk mengatasi
resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien,
menurunkan angka putus obat dan mengeliminasi persstensi kuman Morbus Hansen
dalam jaringan.

Pathway

Mikrobakterium Leprae
M. Tuberkoloid

Resiko trauma

Sensabilitas

Menyerang kulit dan


saraf tepi

Menyerang saraf tepi


sensorik & motorik

Neuritis

Macula, nodula, papula

Ulkus

Kulit telihat rusak

Keganasan cancer
epidemoid

Menyerang saraf ulnaris,


nervus popliteus, nervus
aurikularis, nervus

Malu

Metastase

Kelumpuhan otot
Kontraktur otot & sendi

Inefektif koping individu

Amputasi

Gangguan citra tubuh

Hambatan mobilitas
fisik

Infasif bakteri
Gangguan rasa nyaman
Nyeri
Resti cidera

Resti infeksi

Gangguan Aktifitas

Perubahan aktivitas
Hambatan mobilitas
fisik

KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Mencakup Nama, umur Jenis Kelamin alamat, pekerjaan pendidikan agama dll.

2. Riwayat Kesehatan
a. RKD
Biasanya klien pernah menderita penyakit atau masalah dengan kulit
misalnya: penyakit panu.kurab. dan perawatan kulit yang tidak terjaga atau
dengan kata lain personal higine klien yang kurang baik
b. RKS

Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan


adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadangkadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya
Komplikasi pada organ tubuh dan gangguan perabaan ( mati rasa pada daerah
yang lesi )
c. RKK
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya
diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai
penyakit morbus hansen akan tertular

3. Riwayat Psikososial
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar
masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan,
sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami
gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang
diderita

4. Riwayat Sosial Ekonomi


Biasanya

klien

yang

menderita

penyakit

ini

kebanyakan

dari

golonganmenengah kebawah terutam apada daerah yang lingkungannya kumuh dan


sanitasi yang kurang baik

5. Pola Aktifitas Sehari-hari


Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki
maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam
perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan.

6. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat
pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya
gangguan saraf tepi motorik.
a. Sistem penglihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan
saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan

buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organorgan tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada
bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok
b. Sistem pernafasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan.
c. Sistem Persyarafan
1). Kerusakan Fungsi Sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati
rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka,
sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.
2). Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lamalama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan
kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi
(kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat
dirapatkan (lagophthalmos).
3). Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras
dan akhirnya dapat pecah-pecah.

d. Sistem musculoskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
e. Sistem Integumen.
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem
(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada
kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah.
Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

B. Diagnosa Keperawatan

1) Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
2) Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan
3)

Intoleransi

aktivitas

yang

berhubungan

dengan

kelemahan

fisik

4) Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh.

C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa I : Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses
inflamasi
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur sembuh.
Kriteria hasil : 1) Menunjukkan regenerasi jaringan
2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
Intervensi:
1. Kaji / catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar
luka
Rasional: Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau
mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi
Rasional: menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.
3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah
penyebaran pada jaringan sekitar
Rasional : Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi
terjadinya komplikasi.
4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam
Rasional: Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan
kebersihan lesi
5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan
Rasional: Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan

Diagnosa 2 : Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi
jaringan
Tujuan :setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsurangsur hilang
Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang
dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang.
Intervensi:
1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri
Rasional: Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi.
2. Observasi tanda-tanda vital
Rasional: Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien

3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi


Rasional: Dapat mengurangi rasa nyeri.
4. Atur posisi senyaman mungkin
Rasional: Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri
5. kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi
Rasional: menghilangkan rasa nyeri
Diagnosa 3 : Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan
aktivitas dapat dilakukan
Kriteria:
1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
2) Kekuatan otot penuh
Intervensi:
1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman
Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas
2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit
Rasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas
3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian
aktif
Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan
pemeliharaan fungsi otot/ sendi
4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode
istirahat
Rasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas
5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan
Rasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam perawatan
pasien dan memberikan terapi lebih konstan
Dianosa 4 : Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan
ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal
dan konsep diri meningkat
Kriteria:
1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negative
Intervensi

1. Kaji makna perubahan pada pasien


Rasional: episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan
dukungan dalam perbaikan optimal
2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan
perilaku menarik diri.

Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi
membantu perbaikan
3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan
kenyakinan yang salah
Rasional: Meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk
menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas
4. Berikan penguatan positif
Rasional: kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping
positif
5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat
Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih
membantu pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Depkes, 1998, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan ke-XII. Depkes
Jakarta
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius. Jakarta.
Juall, Lynda, 1995, Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II.
EGC. Jakarta,
Simposium Penyakit Kusta. FKUA Surabaya
Nurarif, Amin Huda dan Kusuma, Hardhi, 2015, Aplikasi NANDA NIC-NOC Jilid 2 Edisi
Revisi. MediAction. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai