Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA

MEDIS “ERITEMA NODOSUM LEPROSUM (ENL)/KUSTA


DENGAN GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK III

PANGERAN DIPONEGORO

Ajeng Nur Insani Muh. Fachrul

Aiva Febrianty Shania Agnes T

Zulfadillah DJ Andi Febry A

AKADEMI KEPERAWATAN MAPPAOUDANG MAKASSAR

TAHUN AKADEMIK

2019 / 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia–Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan
tugas yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Diagnosa
Medis Lepra/Kusta Dengan Gangguan Sistem Integumen”. Tugas ini disusun
dengan tujuan untuk memperdalam pemahaman mahasiswa
mengenai gangguan sistem integumen terutama pada penyakit lepra/kusta.

Kami menyadari sepenuhnya, bahwa tugas ini jauh dari kata


sempurna dan masih banyak kekurangan-kekurangan mengingat
keterbatasan kami dalam penyusunan. Sehingga dengan keterbatasan
tersebut kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai
pihak untuk kesempurnaan makalah ini. Tak lupa kami ucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung penyelesaian
makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Makassar, 18 September 2019

Penulis,

(Kelompok III)
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang


menimbulkan masalah yang sangat kompleks, tidak hanya dari segi medis
(misalnya penyakit atau kecacatan fisik), tetapi juga meluas sampai
masalah sosual dan ekonomi. Disamping itu, ada stigma negatif dari
masyarakat yang mengatakan penyakit kusta adalah penyakit yang
menakutkan, bahkan ada beberapa masyarakat yang menganggap
penyakit ini adalah penyakit kutukan. Ini karena dampak yang ditimbulkan
dari penyakit tersebut cukup parah, yaitu adanya deformitas / kecacatan
yang menyebabkan perubahan bentuk tubuh.

Kusta (Lepra atau morbus hansen) adalah penyakit kronis yang


disebabkan oleh infeksi mycobacterium leprae (Kapita Selekta
Kedokteran UI, 2000). Penyakit kusta adalah penyakit menular yang
menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae )
yang menyerang saraf tep, kulit, dan jaringan tubuh lainnya (Departemen
Kesehatan, Dit.Jen PPM & PL, 2002).

Angka kejadian penyakit kusta cukup tinggi dan menyerang


beberapa negara. Pada tahun 2000, WHO menyatakan 91 negara
merupakan endemik penyakit kusta. Di Indonesia, penderitas kusta
terdapat hampir di seluruh daerah dengan penyebaran yang tidak merata.
Angka kejadian penyakit kusa tertinggi ada di wilayah Indonesia bagian
timur. (Departemen Kesehatan, Dit.Jen PPM & PL, 2002).

Tenaga kesehatan, khususnya keperawatan, harus dapat membantu


menyelesaikan masalah yang ditimbulkan peyakit ini agar klien yang
mnederita penyakit kusta dapat sembuh dan terhindar dari kecacatan
lebih lanjut. Oleh karena itu, tindakan promotif, pencegahan, pengobatan,
sera pemulihan kesehatan untuk penyakit kusta perlu diperhatikan dan
dilaksanakan..

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan penyakit lepra (kusta) ?


2. Apa penyebab dari penyakit lepra (kusta) ?
3. Bagaimana klasifikasi penyakit lepra (kusta) ?
4. Apa saja tanda dan gejala penyakit lepra (kusta) ?
5. Bagaimana patofisiologi dari penyakit lepra (kusta) ?
6. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari penyakit lepra (kusta) ?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit lepra (kusta) ?
8. Bagaimana asuhan keperawatan pada penyakit lepra (kusta) ?
C. TUJUAN
1. Mahasiswa mampu memahami tentang penyakit lepra (kusta).
2. Mahasiswa mampu memahami penyebab dari penyakit lepra (kusta).
3. Mahasiswa mampu memahami klasifikasi penyakit lepra (kusta).
4. Mahasiswa mampu memahami tanda dan gejala penyakit lepra
(kusta).
5. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi dari penyakit lepra (kusta).
6. Mahasiswa mampu memahami pemeriksaan diagnostik dari penyakit
lepra (kusta).
7. Mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan dari penyakit lepra
(kusta).
8. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pada penyakit
lepra (kusta).
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Medis

1. Definisi

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan


penyebabnya ialah mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler
obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa
traktus respiratosius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain
kecuali susunan saraf pusat. (Djuanda Adhi, 2010)

2. Etiologi

Penyebab penyakit kusta adalah mycobacterium leprae yang


merupakan bakteri tahan asam, bersifat obligat intraseluler, yang
ditemukan oleh G. A Hansen. Cara penularan yang pasti belum
diketahui, tetapi menurut sebagian ahli, kusta menular melalui saluran
pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat.

Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah


sehingga tidak perlu ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor,
antara lain :

1. Patogenitas kuman penyebab


2. Cara penularan
3. Hygiene dan sanitasi
4. Varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan
5. Sumber penularan
6. Daya tahan tubuh
3. Klasifikasi

Menurut WHO, kusta dibagi menjadi multibasiler dan paulibasiler.

a. Multibasiler (MB) = Berarti mengandung banyak basil. Tipenya

adalah BB, BL, dan LL

b. Pausibasiler (PB) = Berarti mengandung sedikit basil. Tipenya

adalah TT, BT, dan I

4. Manifestasi Klinis

a. Bercak kulit berbentuk seperti koin dimana pada tempat bercak


tersebut hilangnya atau berkurangnya kemampuan untuk
merasakan sensasi sentuhan, nyeri, panas atau dingin (mati rasa)
b. Hilangnya kemampuan saraf yang terkena infeksi untuk
merasakan sensasi di kulit
c. Lemas dan kelemahan otot
d. Berubahnya kulit menjadi lebih tebal (pada kusta lanjut)
e. Kulit kering
f. Mengalami demam atau panas tinggi
g. Mengalami kerontokan pada alis rambut

5. Patofisiologi

Kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh melalui


saluran pernafasan (Sel Schwan) dan kulit yang tidak utuh. Sumber
penularan adalah penderita kusta yang banyak mengandung kuman
(tipe multibasiler) yang belum diobati. Kuman masuk ke dalam tubuh
menuju tempat predileksinya yaitu saraf tepi.
Saat Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh,
perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan
seseorang. Respons tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung
pada derajat sistem imunitas pasien. Mycobacterium leprae
berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah
akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak
selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun pada
tiap pasien berbeda.

Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh,


perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan
seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui tergantung pada
derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien. Kalau
sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid
dan bila rendah berkembang kearah lepromatosa.

Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah yang relatif


dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat
penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun
pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat
reaksi seluler dari pada intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta
disebut penyakit imonologik.

Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih


merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman
kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada
yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:

a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung


penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x
24 jam.
b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah
umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun
makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.
b. Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi
basiler kepada orang lain dengan cara penularan langsung.
Sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta
dapat ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit. Masa
inkubasinya yaitu 3-5 tahun

6. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali
tidak ditemukan lesi ditempat lain.
3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan
bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan
mikobakterium leprae ialah:
a) Cuping telinga kiri atau kanan
b) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
c) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari
karena:
 Tidak menyenangkan pasien
 Tidak akurat karena ada mikobakterium lain
 Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada
selaput lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.
 Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput
lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit
ditempat lain.
d) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
 Semua orang yang dicurigai menderita kusta
 Semuapasien baru yang didiagnosis secara klinis
sebagai pasien kusta
 Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau
karena tersangka kuman resisten terhadap obat.
 Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
5) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan
asam, yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett.
6) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3
metode yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau
seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan
adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granula
(granulates), globus dan clumps.
b. Indeks Bakteri (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam
sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan
mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut
skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
1) Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandan
2) Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
3) Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
4) Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5) Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6) Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
7) Bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

c. Indeks Morfologi (IM)


Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh
BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman,
mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan
resistensi terhadap obat.

7. Penatalaksanaan

a. Terapi Medik

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah


penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta
memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe
yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden
penyakit.

Jenis-jenis obat kusta:

1) obat primer : dapsone, clofasimin, rifampisin, etionamide,


prothionamide.
2) obat sekunder: INH, streptomycine

Dosis menurut rekomendasi WHO :

a) Kusta Paubacillary (tipe I, BT, TT)

 Dapsone : 1 x 100 mg tiap hari


 Rifampisin : 1 x 600 mg tiap bulan

Ket: Pengobatan harus diberikan 6 bulan berturut-turut


atau 6 dosis dalam 9 bulan dan diawasi selam 2 tahun.
b) Kusta Multibacillary (tipe BB, BL, LL)

 Dapsone : 1 x 100 mg tiap bulan


 Rifampisin : 1 x 600 mg tiap hari
 Clofazimine : 1 x 300 mg tiap bulan (hari pertama)
kemudian dilajutkan dengan 1 x 50 mg/hari

Ket : Pengobatan 24 bulan berturut-turut dan diawasi ± 5


tahun

Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal


36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT
meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan
bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan
untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan
pasien langsung dinyatakan RFT.

b. Terapi Umum

1) Biasakan hidup bersih dan sehat dan tidak lupa untuk selalu
cuci tangan sebelum dan sesudah beraktivitas
2) Makan-makanan yang bergizi seimbang
3) Hindari penularan melalui handuk, pisau cukur, sabun mandi
yang digunakan secara bersamaan
4) Menghilangkan sumber penularan yaitu dengan mengobati
semua penderita
B. Konsep Dasar Keperawatan

1. Pengkajian

a. Biodata

Kaji secara lengkap tentang umur, penyakit kusta dapat


menyerang semua usia, jenis kelamin; rasio pria dan wanita
2,3:1,0. Paling sering terjadi pada daerah dengan sosial-strip
ekonomi yang rendah dan insidennya meningkat pada daerah
tropis atau sub tropis. Kaji pula secara lengkap jenis pekerjaan
klien untuk mengetahui tingkat sosial-ekonomi, resiko trauma
pekerjaan, dan kemungkinan kontak dengan penderita kusta.

b. Keluhan Utama

Pasien sering datang ke tempat pelayanan kesehatan dengan


keluhan adanya bercak putih yang tidak terasa atau datang
dengan keluhan kontraktur pada jari-jari.

c. Riwayat penyakit sekarang

Pada saat melakukan anamnesis pada pasien, kaji kapan lesi


atau kontraktur tersebut timbul, sudah berapa lama timbulnya, dan
bagaimana proses perubahannya, baik warna kulit maupun
keluhan lainnya. Pada beberapa kasus, ditemukan keluhan, gatal,
nyeri, panas atau rasa tebal. Kaji juga apakah klien pernah
menjalani pemeriksaan laboratorium. Ini penting untuk mengetahui
apakah klien pernah menderita penyakit tersebut sebelumnya.
Pernahkah klien memakai obat kulit yang dioles atau diminum?
pada beberapa kasus, reaksi obat juga dapat menimbulkan
perubahan warna kulit dan reaksi alergi yang lain. Perlu juga
ditanyakan apakah keluhan ini pertama kali dirasakan. Jika sudah,
obat apa yang diminum? Teratur atau tidak?

d. Riwayat penyakit dahulu.

Salah satu faktor penyebab penyakit kusta adalah daya tahan


tubuh yang menurun. Akibatnya, M. Leprae dapat masuk ke daam
tubuh. Oleh karena itu, perlu dikaji adakah riwayat penyakit kronis
atau penyakit lain yang pernah diderita.

e. Riwayat penyakit keluarga.

Penyakit kusta ukan penyakit turunan, tetapi jika anggota


keluarga atau tetangga menderita penyakit kusta, risiko tinggi
tertular sangat mungkin terjadi. Perlu dikaji adakah anggita
keluarga lain yangmenderita atau memiliki keluhan yang sama,
baik yang masih hidup maupun sudah meninggal.

f. Riwayat psikososial.

Kusta terkenal sebagai penyakit yang menakutkan dan


menjijikan. Ini disebabkan adanya deformitas atau kecacatan yang
ditimbulkan. Oleh karena itu, perlu dikaji bagaimana konsep diri
klien dan respons masyarakat di sekitar klien.

g. Kebiasaan sehari-hari.

Pada saat melakukan anamnesis tentang pola kebiasaan


sehari-hari, perawat perlu mengkaji status gizi, pola makan / nutrisi
klien. Hal ini sangat penting karena faktor gizi berkaitan erat
dengan sistem imun. Apabila sudah ada deformitas atau
kecacatan, maka aktivitas dan kemampuan klien dalam
menjalankan kegiatan sehari-hari dapat terganggu.
h. Pemeriksaan fisik

. Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena


reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus Hansen
Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.

1) Sistem penglihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik,
kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang
jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf
tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos
jika ada infeksi akan buta.Pada morbus hansen tipe II reaksi
berat, jika terjadiperadangan pada organ-organ tubuh
akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler
jika ada bercak pada alis mata maka alismata akan rontok.

2) Sistem syaraf
a) Kerusakan fungsi sensorik ,
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya
kurang/ mati rasa. Akibat kurang/ mati rasa pada telapak
tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea
mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip
b) Kerusakan fungsi motoric
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/
lumpuh dan lama- lama ototnya mengecil (atropi)
karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki
menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan
pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan
mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan
(lagophthalmos).
c) Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar
minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit
menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat
pecah-pecah.

3) System Musculoskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik
,adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki,
jika dibiarkan akan atropi.

4) System Integumen
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi
(seperti panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat
(penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan
fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat,
kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga
kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut:
sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan citra tubuh


terhadap lesi pada kulit.
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kontraktur otot dan
kaku sendi.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan
tubuh primer dan kerusakan integritas kulit.
d. Resiko trauma berhubungan dengan peningkatan resiko cidera
jaringan karena neuritis.
e. Resiko cidera berhubungan dengan kerusakan integritas kulit.

3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa
Keperawatan NOC NIC
1 Gangguan citra Tujuan:  Kaji secara verbal
tubuh b.d  Body image dan non verbal
perubahan citra respon klien
 Self esteem
tubuh terhadap lesi terhadap tubuhnya
pada kulit. Kriteria hasil:
 Monitor frekuensi
 Body image positif
mengkritik dirinya
 Mampu
 Jelaskan tentang
mengindetifikasi
pengobatan,
kekuatan personal
perawatan,
 Mendriskripsikan kemajuan dan
secara faktual prognosis penyakit
perubahan fungsi
 Dorong klien
tubuh
mengungkapkan
 Mempertahankan perasaannya
interaksi sosial
 Identifikasi arti
pengurangan
melalui pemakaian
alat bantu.
2 Hambatan Tujuan :  Monitor TTV
mobilitas fisik b.d  Joint movement : sebelum/sesudah
kontraktur otot dan aktive latihan dan lihat
kaku sendi. respon pasien saat
 Mobility level
latihan
 Self care : ADLs
 Konsultasikan
 Tranfer dengan terapi fisik
performance tentang rencana
ambulasi sesuai
Kriteria hasil :
dengan kebutuhan
 Klien meningkat
dalam aktivitas  Ajarkan pasien
fisik tentang teknik
ambulasi
 Mengerti tujuan
dalam  Kaji kemampuan
peningkatan pasien dalam
mobilitas mobilisasi

 Mengungkapkan  Latih pasien dalam


perasaan secara pemenuhan
lisan dalam kebutuhan ADLs
meningkatkan secara mandiri
kekuatan dan sesuai
kemampuan kemampuan
berpindah.

3 Resiko infeksi b.d Tujuan:  Bersihkan


ketidakadekuatan  Immune status lingkungan setelah
pertahanan tubuh  Knowledge : dipakai pasien lain
primer dan Infection control
 Pertahankan teknik
kerusakan
 Risk control isolasi
integritas kulit.
Kriteria hasil:  Batasi pengunjung
 Klien bebas dari bila perlu
tanda dan gejala
 Instruksikan pada
infeksi
pengunjung untuk
 Mendiskripsikan mencuci tangan
proses penularan saat berkunjung
penyakit, factor dan setelah
yang berkunjung
mempengaruhi meninggalkan
penularan serta pasien
penatalaksanaann
 Gunakan sabun
ya
antimikrobia untuk
 Menunjukkan cuci tangan
kemampuan untuk
 Cuci tangan
mencegah
sebelum dan
timbulnya infeksi
sesudah tindakan
 Jumlah leukosit keperawatan
dalam batas
 Gunakan baju,
normal
sarung tangan
 Menunjukkan sebagai alat
perilaku hidup pelindung
sehat  Pertahankan
lingkungan aseptik
selama
pemasangan alat

4 Resiko trauma b.d Tujuan : NIC :


peningkatan resiko  Knowledge:  Sediakan
cidera jaringan personal safety lingkungan yang
karena neuritis. aman untuk pasien
 Safety behaviour:
fall prevention  Identifikasi
kebutuhan
 Safety behaviour:
keamanan pasien
fall occurance
sesuai dengan
 Safety behaviour: kondisi fisik dan
physical injury fungsi kognitif serta
riwayat penyakit
 Tissway intregity:
terdahulu pasien
skin and mucosa
membrane  berikan penjelasan
pada pasien dan
Kriteria Hasil:
keluarga atau
 Pasien terbebas
pengunjung
dari trauma fisik
adanya perubahan
 Lingkungan rumah status kesehatan
aman dan penyebab
penyakit
 Perilaku
pencegaha jatuh
 Dapat mendeteksi
resiko

 Pengendalian
resiko :
pengetahuan
personal safety

5. Resiko cidera b.d Tujuan : NIC :


kerusakan  Risk control  Sediakan
integritas kulit. lingkungan yang
Kreteria hasil :
nyaman untuk
 Pasien tebebas
pasien
dari cidera
 Identifikasi
 Pasien mampu
kebutuhan
menjelaskan cara
keamanan pasien
untuk mencegah
sesuai dengan
cidera
kondisi fisik dan
 Mampu mengenali fungsi kognitif serta
perubahan status riwayat penyakit
kesehatan terdahulu pasien

 Sediakan tempat
tidur yang nyaman
dan bersih

 Hindarkan
lingkungan yang
berbahaya

 Anjurkan keluarga
untuk menemani
pasien
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda A. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 4. Jakarta : EGC.

http://scholar.unand.ac.id/13149/2/BAB%20I.pdf#targetText=Eritema%20Nod
osum%20Leprosum%20(ENL)%20adalah,komplek%20(Fitness%2C2002).
Diakses pada tanggal 18 September 2019

https://www.academia.edu/31530741/ASKEP_LEPRA Diakses pada tanggal


18 September 2019

Loetfia Dwi Rahariyani ; editor, Eka Anisa Mardella, Monica Ester. 2012.
Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Integumen. Jakarta :
EGC

Mansjoer, Arif. 2012. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media


Aesculapius. Nanda.

Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc Jilid 2. Jogjakarta:
Mediaction.

Price, Sylvia. 2011. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Psoses Penyakit Edisi


6.Jakarta : EGC

Sjamsoe – Daili, Emmi S. 2013. Kusta. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai