Anda di halaman 1dari 57

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stroke merupakan masalah kesehatan yang utama bagi masyarakat

modern saat ini. Dewasa ini, stroke semakin menjadi masalah serius yang

dihadapi hampir di seluruh dunia. Hal tersebut dikarenakan serangan stroke

yang mendadak dapat mengakibatkan kematian, kecacatan fisik dan mental

baik pada usia produktif maupun usia lanjut.

Menurut WHO (World Health Organization), Setiap tahunnya,

sebanyak 15 juta orang di seluruh dunia terkena penyakit stroke. Dari

jumlah tersebut, 5 juta penderita diantaranya meninggal dunia dan 5 juta

penderita lainnya mengalami kecacatan permanen sehingga menjadi beban

bagi keluarga dan masyarakat.(1)

Jumlah penderita stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga

kesehatan pada tahun 2013 diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang (7,0%)

dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan berdasarkan gejala sebesar

2.137.941 orang (12,1%). Berdasarkan data tersebut, stroke menduduki

tempat pertama sebagai faktor kematian dominan semua kelompok umur di

Indonesia(2).
2

Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki prevalensi penderita stroke

yang cukup tinggi. Berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan pada tahun

2013, sebanyak 66.695 orang di Nusa Tenggara Timur terkena stroke dan

48.307 orang diantaranya terdiagnosis berdasarkan gejala klinis yang

ditemukan(2).

Pasien dengan penyakit stroke cenderung memiliki gejala yang

cukup khas. Salah satu gejala yang sering timbul pada pasien stroke adalah

hemiparesis. Sekitar 70-80% pasien yang terkena stroke selalu disertai

dengan hemiparesis maupun hemiplegia. Pasien yang mengalami

hemiparesis akan kesulitan untuk menggerakan kaki, tangan, berjalan, dan

kemungkinan dapat terjadi kehilangan keseimbangan. Akibatnya pasien

yang mengalami hemiparesis akan sulit untuk melakukan kegiatan sehari-

hari seperti makan, mandi, mengambil benda dan menggunakan kamar

mandi. Penatalaksanaan stroke harus dilakukan sedini mungkin untuk

meminimalisir kemungkinan pasien akan mengalami defisit neurologis

yang akan berdampak pada terganggunya aktifitas sehari-hari.

Dengan mengetahui gejala tersebut, tidak membuat penegakkan

diagnosa menjadi akurat secara sempurna. Hal ini dikarenakan beberapa

tipe stroke memiliki gejala yang relatif sama. Sehingga dalam hal ini

pemeriksaan penunjang merupakan sesuatu yang wajib dilakukan perihal

penegakkan diagnosis pasien dengan penyakit stroke.(3)


3

Diagnosis stroke biasanya ditegakkan berdasarkan perjalanan

penyakit dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dapat membantu

menentukan lokasi kerusakan pada otak. Selain itu, pemeriksaan imaging

(pencitraan) untuk mengevaluasi stroke iskemik sangatlah diperlukan.(4)

Ada dua jenis teknik pemeriksaan imaging (pencitraan) untuk

mengevaluasi kasus stroke atau penyakit pembuluh darah otak (Cerebro

Vascular Disease / CVD),yaitu Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan

Computed Tomography (CT Scan)(5). CT Scan merupakan golden standard

untuk membedakan stroke hemoragik dan iskemik. Alat ini memiliki

sensitivitas tinggi untuk membedakan stroke perdarahan intraserebral

(hemoragik) dan stroke infark (iskhemik)(6).

CT Scan memegang peranan penting dalam hal penegakkan

diagnosis pada pasien dengan penyakit stroke iskemik. Berdasarkan

penelitian yang telah dilakukan oleh unit pelayanan fungsional dan

laboratorium fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada, pemeriksaan

ini sangat sensitif untuk mendeteksi lesi iskemik pada pasien dengan stroke

sedang sampai berat terutama pada 3 jam pertama terjadinya serangan.

Tetapi, jika dikaitkan dengan pemeriksaan lesi iskemik pada pasien dengan

stroke ringan, hanya sekitar kurang dari 50% pasien yang memiliki lesi

iskemik yang terlihat lewat pemeriksaan CT-Scan. Sehingga dalam hal ini,

CT scan terkadang tidak dijadikan acuan mutlak sebagai penegakkan

diagnosis pada pasien dengan stroke. Hal inilah yang menyebabkan masih
4

adanya pro dan kontra perihal efektifitas CT scan dalam mendiagnosa

stroke(7).

Di Kota Kupang, ketersediaan peralatan diagnostik seperti MRI

masih belum cukup memadai. Selain dikarenakan beberapa batasan dalam

penggunaan MRI pada pasien pengguna alat pacu jantung maupun benda

berbahan logam lainnya, CT scan masih dijadikan pemeriksaan lini pertama

pada pasien dengan penyakit stroke(8). Hal inilah yang menjadi peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian ini.


5

1.2 Pertanyaan Penelitiaan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitian untuk

penelitian ini adalah :

Apakah ada hubungan antara hemiparese pada pasien stroke dengan temuan

radiologi CT Scan kepala di RSU Siloam Kupang Tahun 2017?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Untuk mengetahui hubungan antara hemiparese pada pasien stroke dengan

temuan radiologi CT Scan kepala di RSU Siloam Kupang Tahun 2017.

1.3.2 Untuk mengetahui jumlah kejadian stroke di RSU Siloam Kupang Tahun

2017.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Peneliti

1.4.1.1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan

peneliti mengenai hubungan hemiparese pada pasien stroke dengan temuan

radiologi CT Scan kepala.

1.4.1.2 Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pengalaman dalam menerapkan

ilmu kedokteran dan menambah pengetahuan bagi peneliti dalam

menerapkan ilmu pengetahuan dan informasi yang telah diperoleh.


6

1.4.2 Paramedis

Memberikan pengertian mengenai pentingnya diagnosa dan penanganan

secara cepat dan tepat pada pasien dengan serangan stroke.

1.4.3 Peneliti selanjutnya

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat menambah referensi dalam

memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan salah satu

bahan bacaan bagi peneliti selanjutnya.

1.4.4 Rumah Sakit

1.4.4.1 Memberikan pengertian terhadap pentingnya diagnosis stroke secara dini

lewat pemeriksaan pencitraan yang tersedia (CT Scan) dengan

memperhatikan tanda dan gejala klinis pasien sebagai acuan untuk

menegakkan diagnosis.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi otak

Secara garis besar, sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat

dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat terbentuk oleh otak dan medulla spinalis.

Sistem saraf disisi luar sistem saraf pusat disebut sistem saraf tepi. Fungsi dari

sistem saraf tepi adalah menghantarkan informasi bolak balik antara sistem saraf

pusat dengan bagian tubuh lainnya.Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf,

dengan komponen bagiannya adalah:

1. Cerebrum

Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar yang terdiri dari sepasang

hemisfer kanan dan kiri dan tersusun dari korteks.Korteks ditandai dengan sulkus

(celah) dan girus.Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:

a) Lobus frontalis

Lobus frontalis menempati daerah di anterior sulcus centralis dan

superior dari sulcus lateralis(9). Lobus frontalis berperan sebagai pusat

fungsi intelektual yang lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan

nalar,bicara (area broca di hemisfer kiri), pusat penghidu, dan emosi.

Bagian ini mengandung pusat pengontrolan gerakan volunter di gyrus

presentralis (area motorik primer) dan terdapat area asosiasi motorik (area

premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca yang mengatur ekspresi
8

bicara, lobus ini juga mengatur gerakan sadar, perilaku sosial, berbicara,

motivasi dan inisiatif (10).

b) Lobus temporalis

Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan

ke bawah dari fisura lateralis dan sebelah posterior dari fisura parieto-

oksipitalis. Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, visual,

pendengaran dan berperan dalam pembentukan dan perkembangan

emosi(10).

c) Lobus parietalis

Lobus Parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di gyrus

postsentralis (area sensorik primer). Lobus parietalis memiliki beberapa

fungsi yaitu :

 Rasa (korteks sensorik primer : Korteks sensorik primer berada tepat

di sebelah posterior terhadap sulkus sentralis. Seperti korteks

motorik, homunkulus sensorik mewakili korelasi anatomiknya.

Korteks sensorik primer ini mengirimkan proyeksinya menuju

korteks sekunder dan asosiasi yang menginterpretasikan komponen

sensorik menjadi interpretasi yang terpadu. Lesi pada korteks

sensorik primer dapat menimbulkan kehilangan rasa taktil pada

daerah yang sesuai dengan daerah yang digambarkan pada

homunkulus sensorik.
9

 Hubungan ruang : Lobus parietalis memiliki fungsi untuk mengatur

penetapan kanan dan kiri. Lesinya dapat menimbulkan sindrom

Gerstmann(bagian lobus parietalis hemisferium dominan), agnosia

jari tangan, agafasia, aleksia, dan alkalkulia

d) Lobus oksipitalis

Lobus oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area

asosiasi penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang

penglihatan dari nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini dengan

informasi saraf lain & memori(9) .

Sumber : A.D.A.M Student Atlas of Anatomy(11)

Gambar 2.1 Lobus dari cerebrum, dilihat dari atas dan samping
10

2. Cerebellum

Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih banyak neuron

dibandingkan otak secara keseluruhan. Cerebellum memiliki peran koordinasi yang

penting dalam fungsi motorik yang didasarkan pada informasi somatosensori yang

diterima, inputnya 40 kali lebih banyak dibandingkan output. Cerebellum terdiri

dari tiga bagian fungsional yang berbeda yang menerima dan menyampaikan

informasi ke bagian lain dari sistem saraf pusat. Cerebellum merupakan pusat

koordinasi untuk keseimbangan dan tonus otot dan dapat mengendalikan kontraksi

otot-otot volunter secara optimal. Bagian-bagian dari cerebellum adalah lobus

anterior, lobus medialis dan lobus fluccolonodularis(12).

Sumber : A.D.A.M Student atlas of anatomy(11)

Gambar 2.2 Cerebellum, dilihat dari belakang atas.


11

3. Batang otak

Batang otak berfungsi untuk mengatur seluruh proses kehidupan yang

mendasar. Batang otak berhubungan dengan diensefalon diatasnya dan medulla

spinalis dibawahnya. Struktur struktur fungsional batang otak yang penting adalah

jaras asenden dan desenden traktus longitudinalis antara medulla spinalis dan

bagian-bagian otak, anyaman sel saraf dan 12 pasang saraf cranial. Secara garis

besar batang otak terdiri dari tiga segmen, yaitu mesensefalon, pons dan medulla

oblongata(12).

Sumber : A.D.A.M Student atlas of anatomy(11)

Gambar 2.3 Batang otak


12

2.2 Anatomi Basal ganglia

Basal Ganglia terdiri dari striatum (nukleus kaudatus dan putamen),

globus palidus (eksterna dan interna), substansia nigra dan nukleus sub-

thalamik. Korpus striatum terdiri dari nukleus kaudatus, putamen dan

globus palidus. Striatum dibentuk oleh nukleus kaudatus dan putamen.

Nukleus lentiformis dibentuk oleh putamen dan kedua segmen dari globus

palidius. Kapsula interna terletak diantara nukleus kaudatus dan nukleus

lentiformis. Kapsula intema adalah tempat relay dari traktus motorik

volunter, jika ada lesi pada lokasi ini akan menyebabkan gangguan motorik

seperti hemiparesis ataupun gangguan motorik lain(13).

Vaskularisasi yang memperdarahi basal ganglia adalah cabang-

cabang arteri yang berasal dari arteri serebri anterior, arteri serebri media

(MCA),arteri choroidal anterior, arteri posterior communicans (P-

commA), arteri serebri posterior (PCA) dan arteri serebelar superior.

Cabang dari MCA, yang disebut Lenticulostriata lateral, adalah yang

terbanyak mendarahi striatum dan lateral dari pallidum. Perdarahan pada

basal ganglia yang tersering adalah dikarenakan ruptur arteri

lenticulostriata media. Arteri Heubner, disebut juga arteri striata media,

berasal dari A2, yaitu segmen dari arteri serebri anterior, memperdarahi

putamen dan kepala dari nukleus caudatus. Arteri choroidalis anterior

memperdarahi sebagian dari globus palidus dan putamen, juga ekor dari

nukleus caudatus. Arteri posterior communicans memperdarahi bagian

medial dari pallidum, medial substansia nigra dan sebagian nukleus


13

subthalamikus. Thalamo perforata dari arteri serebri posterior adalah yang

terbanyak memperdarahi substansia nigra dan sebagian dan STN. Cabang

dari SCA memperdarahi bagian lateral dari substatia nigra(14).

Sumber : A.D.A.M Student atlas of anatomy(11)

Gambar 2.4 Potongan axial dari serebrum. Basal ganglia adalah yang

ditunjukkan oleh lingkaran berwarna merah

2.3 Vaskularisasi otak

Otak memperoleh darah melalui dua sistem, yakni sistem karotis

interna, dan sistem vertebral. Arteri karotis interna, setelah memisahkan diri

dari a.karotis komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak melalui kanalis
14

kortikus, berjalan dalam sinus kavernosus, mempercabangkan arteri

oftalmika untuk nervus optikus dan retina, akhirnya bercabang dua menjadi

arteri serebri anterior dan arteri serebri media. Untuk otak, sistem ini

memberi darah bagi lobus frontalis, parietalis, dan beberapa bagian lobus

temporalis.

Sistem vertebral dibentuk oleh a.vertebralis kanan dan kiri yang

berpangkal di a.subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis

transversalis di kolumna vertebralis servikalis, masuk rongga kranium

melalui foramen magnum, lalu mempercabangkan masing-masing arteri

serebeli inferior. Pada batas medula oblongata dan pons, keduanya bersatu

menjadi arteri basilaris, dan setelah mengeluarkan tiga kelompok cabang

arteri, pada tingkat mesensefalon, arteri basilaris berakhir sebagai sepasang

cabang yaitu arteri serebri posterior, yang memvaskularisasi lobus

oksipitalis, dan bagian medial lobus temporalis(15).

Ketiga pasang arteri serebri tersebut akan bercabang-cabang menelusuri

permukaan otak, dan beranastomosis satu dengan lainnya. Cabang-cabang

yang lebih kecil menembus ke dalam jaringan otak dan juga saling

berhubungan dengan cabang-cabang a.serebri lainnya. Untuk menjamin

pemberian darah ke otak, ada sekurang-kurangnya tiga sistem kolateral

antara sistem karotis dan vertebral yaitu :

a. Sirkulus willisi
15

Merupakan lingkungan pembuluh darah yang tersusun oleh a.serebri

media kanan-kiri, a.komunikans anterior (yang menghubungkan

kedua a.serebri anterior), sepasang a.serebri posterior dan

a.komunikans posterior (yang menghubungkan a.serebri media dan

posterior) kanan dan kiri. Anyaman arteri ini terletak di dasar otak.

Sumber : A.D.A.M Student atlas of anatomy(11)

Gambar 2.5 sirkulus wilisi

b. Anastomosis antara a.serebri interna dan a.karotis eksterna di daerah

orbita, masing-masing melalui a.oftalmika dan a.fasialis ke

a.maksilaris eksterna.

c. Hubungan antara sistem vertebral dengan a.karotis eksterna

(pembuluh darah ekstrakranial).


16

2.3.1 Arteri untuk daerah otak tertentu :

a. Corpus striatum dan capsula interna

Corpus striatum dan capsula interna mendapat darah dari rami

centrales striatae mediales dan laterales arteriae cerebri media.

b. Thalamus

Thalamus mendapat darah dari cabang-cabang arteria comunicans

posterior, arteria basilaris, dan arteria cerebri posterior.

c. Mesenchepalon

Mesenchepalon diperdarahi oleh arteria cerebri posterior, arteria

superior cerebelli, dan arteria basilaris.

d. Pons

Pons diperdarahi oleh arteria basilaris dan arteria anterior, inferior,

dan superior cerbelli.

e. Medulla oblongata

Medulla oblongata diperdarahi oleh arteria vertebralis, arteria

spinalis anterior dan posterior, arteria inferior posterior cerebelli,

dan arteria basilaris.

f. Cerebellum

Cerebellum diperdarahi oleh arteria cerebelli superior, inferior

anterior cerbelli, dan inferior posterior cerebelli(9).


17

2.4 Konsep Dasar Stroke

2.4.1 Definisi Stroke

Stroke adalah gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan oleh

gangguan peredaran darah otak. Gangguan fungsi saraf tersebut timbul

secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa

jam) dengan gejala dan tanda yang sesuai daerah fokal otak yang terganggu.

Oleh karena itu manifestasi klinis stroke dapat berupa hemiparesis,

hemiplegi, kebutaan mendadak pada satu mata, afasia atau gejala lain sesuai

daerah otak yang terganggu(7).

2.4.2 Klasifikasi dan Etiologi Stroke

Terdapat dua macam bentuk stroke yaitu stroke iskemik dan stroke

hemoragik. Stroke iskemik merupakan 80% dari penyebab stroke,

disebabkan oleh gangguan pasokan oksigen dan nutrisi ke sel-sel otak akibat

bentukan trombus atau emboli. Keadaan ini dapat diperparah oleh terjadinya

penurunan perfusi sistemik yang mengaliri otak. Sedangkan stroke

hemoragik intraserebral dan subarakhnoid disebabkan oleh pecahnya

pembuluh darah kranial(16).

A. Stroke Non Hemoragik/Iskemik


18

1. Definisi

Stroke iskemik ialah stroke yang disebabkan oleh sumbatan pada

pembuluh darah servikokranial atau hipoperfusi jaringan otak oleh berbagai

faktor seperti aterotrombosis, emboli, atau ketidakstabilan hemodinamik

yang menimbulkan gejala serebral fokal, terjadi mendadak, dan tidak

menghilang dalam waktu 24 jam atau lebih. Sekitar 80-85% kejadian stroke

merupakan stroke iskemik(17).

2. Etiologi

Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering disebabkan

oleh emboli dari ekstrakranial atau trombosis di intrakranial, tetapi dapat

juga disebabkan oleh berkurangnya aliran darah otak. Pada level seluler,

setiap proses yang mengganggu aliran darah ke otak dapat mencetuskan

suatu kaskade iskemik, yang akan mengakibatkan kematian sel-sel otak dan

infark otak.

a. Emboli

Sumber emboli dapat terletak di arteri karotis maupun vertebralis akan

tetapi dapat juga di jantung dan sistem vaskular sistemik.

1. Embolus yang dilepaskan oleh arteri karotis atau vertebralis,dapat

berasal dari “plaque atherosclerotique” yang berulserasi atau thrombus

yang melekat pada intima arteri akibat trauma tumpul pada daerah

leher.
19

2. Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada: Penyakit jantung dengan

“shunt” yang menghubungkan bagian kanan dengan bagian kiri atrium

atau ventrikel.

3. Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai emboli

septik, misalnya dari abses paru atau bronkiektasis, dapat juga akibat

metaplasia neoplasma yang sudah ada di paru.

Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah

besar (termasuk sistem arteri karotis dan percabanganya) dan pembuluh

darah kecil. Tempat terjadinya trombosis yang paling sering adalah titik 13

percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri

karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya

turbulensi aliran darah. Energi yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan

neuronal berasal dari metabolisme glukosa. Bila tidak ada aliran darah lebih

dari 30 detik gambaran EEG akan mendatar, bila lebih dari 2 menit aktifitas

jaringan otak berhenti, bila lebih dari 5 menit maka kerusakan jaringan otak

dimulai, dan bila lebih dari 9 menit manusia dapat meninggal.

B. Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi akibat apabila lesi vaskuler

pembuluh darah intraserebral mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan

ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Terdapat

dua tipe stroke hemoragik:

a. Perdarahan Intraserebral
20

Perdarahan intraserebral adalah Perdarahan intraserebral paling sering

terjadi pada pasien dengan hipertensi berkepanjangan, dan meskipun tidak

dihubungkan dengan aktivitas, perdarahan intraserebral hampir selalu

terjadi saat pasien sadar dan kadang-kadang dalam keadaan stres. Muntah

dan nyeri kepala merupakan tanda perdarahan akut yang membedakan

stroke ini dengan stroke lain.

b. Perdarahan Subaraknoid

Perdarahan subaraknoid adalah keadaan akut yaitu masuknya darah ke

dalam ruangan subaraknoid atau perdarahan yang terjadi di luar pembuluh

darah otak, tetapi masih di daerah kepala seperti di selaput otak atau bagian

bawah otak. Perdarahan subaraknoid memiliki dua penyebab utama: ruptur

suatu aneurisma vaskuler dan trauma kepala. Perdarahan dapat masif dan

ekstravasasi darah ke dalam ruang subaraknoid lapisan meningen dapat

berlangsung cepat, sehingga angka kematian sangat tinggi hingga mencapai

50% pada bulan pertama terjadinya perdarahan(17).

2.7 Hemiparesis pada pasien stroke

2.7.1 Pengertian hemiparesis

Kata hemi, berarti satu sisi, sementara paresis berarti kelemahan.

Hemiparesis adalah kelemahan otot pada satu sisi tubuh. Hemiparesis

terjadi akibat dari stroke, yang umumnya melibatkan otot-otot di lengan,

wajah, dan kaki. Hemiparesis adalah suatu kondisi yang umumnya

disebabkan oleh stroke dan penyakit sistem persarafan lainnya.


21

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, sekitar 70-80%

pasien yang terkena serangan stroke mengalami hemiparesis. Sekitar 20%

pasien stroke akan mengalami peningkatan fungsi motorik, tetapi

pemulihan pasien yang mengalami hemiparesis bervariasi dan lebih dari

50% mengalami gangguan fungsi motorik kronis. Pasien yang mengalami

hemiparesis dapat memiliki kesulitan untuk menggerakan kaki dan tangan,

berjalan dan kemungkinan dapat kehilangan keseimbangan.

Berdasarkan hemifser otak yang mengalami gangguan, hemiparesis

dibagi menjadi dua tipe yaitu :

a. Hemiparesis sisi kiri

Melibatkan lesi di hemisfer kiri otak seseorang. Sisi kiri otak

mengendalikan kemampuan berbicara dan berbahasa. Orang yang

memiliki tipe hemiparesis ini juga bisa mengalami kesulitan dalam

berbicara dan mengerti apa yang orang lain katakan, serta menentukan

kiri dari kanan.

b. Hemiparesis sisi kanan

Melibatkan lesi di hemisfer kanan otak seseorang, yang

mengendalikan proses belajar, jenis perilaku tertentu, dan komunikasi

non verbal. Cedera pada area otak seseorang ini juga dapat

menyebabkan orang berbicara berlebihan, memiliki rentang perhatian

yang pendek, serta masalah ingatan(9).


22

2.8 Pemeriksaan penunjang pada pasien stroke

2.8.1 CT Scan

Computed tomography atau CT scan adalah sebuah pemeriksaan di

bidang medis seperti sinar-X konvensional yang menghasilkan pencitraan

atau gambaran multipel struktur dalam tubuh. Pencitraan cross-sectional

yang dihasilkan CT scan dapat direformat dalam multipel planar dan bahkan

dapat menghasilkan bentuk pencitraan tiga dimensi. Pencitraan ini dapat

dilihat di monitor komputer dalam bentuk film yang diprint atau disimpan

dalam CD atau DVD(18).

Computed tomography scanner merupakan alat diagnostik dengan

teknik radiografi yang menghsilkan gambar potongan tubuh secara

melintang berdasarkan penyerapan sinar-X pada irisan tubuh yang

ditampilkan pada layar monitor TV hitam putih.

2.8.1.1 Checklist membaca CT scan kepala

a. Fissura Interhemisphere

- Di tengah

- Tidak tampak pergeseran

- Ketebalan dan densitas falx cerebri


23

b. Sulci kortikal dari serebrum dan serebellum

- Konfigurasi

- Jumlah sulcii

- Ketebalan sulcii

- Permukaan tidak kasar

- Tidak tampak penyempitan atau ekspansi

- Berbatas tegas

c. Korteks serebri

- Ketebalan

- Distribusi (tidak ada jaringan ektopik)

- Densitas (tidak ada kalsifikasi atau perdarahan)

- Tidak ada keluar kalvarium

- Tidak ada cairan patologis (konveks atau konkaf) antara korteks

dengan kalvarium

d. Ventrikel

- Bentuk

- Ukuran sesuai dengan usia

- Simetris (tidak ada pelebaran pada kedua sisi atau salah satu sisi)

- Tidak ada tanda peningkatan tekanan intrakranial (pendataran

sulcii, penyempitan ventrikel, ataupun pembesaran unilateral)

e. Sustansia Alba

- Densitas (homogen terutama pada periventrikel)

- Tidak ada hipodensitas


24

- Tidak ada hiperdensitas

- Ukuran relatif normal dibanding korteks

f. Basal ganglia, kapsula interna, kapsula eksterna

- Posisi

- Ukuran

- Densitas

g. Thalamus

- Posisi

- Ukuran

- Densitas

h. Corpus Callosum

- Konfigurasi

- Ukuran

- Densitas

i. Batang otak

- Bentuk

- Densitas

- Tidak ada abnormalitas fokal

j. Serebelum

- Bentuk umum simetris

- Korteks (ketebalan dan sulcii)

- Substansia alba (densitas homogen)

k. Pembuluh darah intrakranial


25

- Alur

- Ukuran

- Tidak ada dilatasi abnormal

- Tidak ada malformasi vaskular

2.8.1.2 Gambaran CT Scan kepala tanpa kontras pada pasien stroke iskemik

Computed tomography scan tanpa kontras harus dilakukan sesegera

mungkin pada stroke. CT sangat sensistif untuk penggambaran lesi hemoragik dan

peran kunci CT tanpa kontras adalah deteksi perdarahan atau penyakit lain yang

mirip stroke yang bisa menyebabkan defisit neurologis(19). Peran kedua CT tanpa

kontras yaitu mendeteksi tanda-tanda iskemia yang disebabkan karena infark.

Temuan utama pada CT adalah daerah hypoattenuating di kortikal-subkortikal

dalam suatu wilayah vaskular.

Sumber : Pencitraan pada Stroke(20)


26

Gambar 2.6 Hasil CT scan pada arteri serebral

Gambar (atas) menunjukkan wilayah (raster) dari arteri cerebri anterior,

arteri serebri media dan arteri serebri posterior. CT scan (bawah) menunjukkan

infark pada wilayah arteri tersebut(21).

2.8.1.3 Gambaran computed tomography perfusion

Perfusi CT dilakukan dengan hanya memantau agen kontras iodinasi bolus

yang lolos melalui sirkulasi serebral ini. Hal ini melibatkan pencitraan secara terus-

menerus selama 45 detik di atas potongan jaringan yang sama (1-32 bagian) selama

administrasi kontras kecil secara dinamis (50 mL) dan kontras dengan aliran tinggi

secara bolus (laju injeksi 4-5 mL/detik). Sebelum dilakukan pemeriksaan ini,

pemeriksaan fungsi ginjal perlu diperiksa terlebih dahulu untuk mengurangi

keterlambatan kontras dan mencegah terjadinya kontras-induced nefropati dan

merupakan komplikasi yang jarang pada pasien stroke akut yang menjalani

pemeriksaan multimodal CT scan(22). Berdasarkan penelitian sebelumnya, tidak

ditemukan adanya defisit neurologis baru atau komplikasi jantung setelah injeksi

bahan kontras pada tingkat aliran tinggi(23).

Pada stroke akut, inti jaringan infark irreversible dikelilingi oleh daerah

perifer atau disebut penumbra yang menerima suplai darah kolateral dari arteri yang

tidak terkena dan arteri di wilayah leptomeningeal. Sel-sel di penumbra berpotensi

diselamatkan dengan rekanalisasi awal. Penelitian terbaru telah menunjukkan

bahwa terapi trombolitik intravena mungkin bermanfaat bagi pasien di luar 3 jam

pertama. Pasien dipilih secara hati-hati berdasarkan temuan perfusi mismatch.


27

Beberapa penulis telah melaporkan ambang batas untuk infark inti ketika CBV

kurang dari 2 L/menit dan untuk jaringan iskemia ketika MTT mencapai lebih dari

145%(22).

Sumber : Pencitraan pada Stroke(20)

Gambar 2.7 Stroke akut (6 jam evolusi) pada wanita 46 tahun dengan

hemiparese kiri.

Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bagian (a) yaitu nonenhanced CT

scan yang menunjukkan tanda titik (panah) di MCA kanan, kehilangan diferensiasi

materi putih dan abu-abu dan mengaburkan basal ganglia. Bagian (b-e) peta perfusi

CT dari MTT (b) , CBV (c), dan CBF (d), dan peta ringkasan (e) menunjukkan

MTT diubah dan CBF di daerah frontotemporal kanan, sugestif iskemia, dan

subkortikal berkurang daerah dengan penurunan CBV, sugestif dari inti infark.

Pada area peningkatan CBF dan CBV di nucleus caudatus kanan dan inti lentikular,

yang mewakili tahap pertama dari iskemia otak ( kompensasi dengan suplai dari
28

cadangan serebrovaskular). Bagian (f) gambar MR aksial T2-weighted

menunjukkan hiperintens daerah frontoparietal kanan dan nucleus caudatus yang

berkaitan dengan infark di bidang iskemia.

2.8.1.4 Gambaran stroke iskemik berdasarkan waktu

Temuan pada CT dan MRI berubah dengan cepat pada minggu awal setelah

infark. Hal ini mencerminkan perubahan mendasar yang relatif mirip secara

patofisiologis. Gambaran stroke iskemik dibedakan menjadi beberapa jenis

berdasarkan fase waktu yaitu:

a. Infark hiperakut (0-6 jam)

Kejadian awal yang mengarah ke infark yaitu insufisiensi vaskular karena

oklusi fokal proksimal, distal, atau stenosis. Dalam kebanyakan kasus

pencitraan rutin, tidak akan menunjukkan oklusi kecuali bila ada oklusi emboli

pembuluh darah besar. Oklusi vaskular menyebabkan penurunan perfusi yang

cukup parah atau berkepanjangan sehingga memulai terjadinya kaskade

iskemia. Dalam waktu lima menit hipoksia, pompa membran normal yang

menjaga kesenjangan antara tingginya konsentrasi natrium ekstraseluler dan

rendahnya natrium intraseluler gagal melakukan tugasnya. Natrium memasuki

sel dan masuknya natrium tersebut menghasilkan peningkatan osmotik. Air

memasuki sel secara pasif kemudian menciptakan edema siotoksik. Selain itu,

kalsium memasuki sel yang pada gilirannya akan mengaktifkan enzim

intraselular yang mulai melisiskanorganel intraselular dan endapan protein. Hal

ini menghasilkan lisis sel dan pelepasan asam amino perangsang (glutamin dan
29

glutamat) dan zat vasoaktif yang selanjutnya mempengaruhi status metabolisme

sel-sel yang berdekatan(24).

Selama fase hiperakut, CT mungkin normal atau kemungkinan juga

menunjukkan tanda dense vessel, ketika ada oklusi emboli dari pembuluh darah

proksimal.

Sumber : Pencitraan pada Stroke(20)

Gambar 2.8 CT infark hiperakut-subakut

Berdasarkan gambar diatas, terlihat bagian (A) menunjukkan

gambar aksial pada tingkat sirkulus wilisi pada 3 jam yang menunjukkan

hiperdens di proksimal arteri serebral tengah sisi kiri, menunjukkan oklusi

emboli pada proksimal (panah). Bagian (B) menunjukkan fokus hiperdens

di fisura sylvii kiriyang merupakan indikasi dari emboli distal (panah).

Bagian (C) menunjukkan fokus hiperdens di ujung arteri basilar tampak

pada 4 jam tanpa bukti lain infark (panah). Bagian (D) menunjukkan

pemeriksaan ulangan pada 24 jam kemudian menunjukkan hiperdens basilar

yang menetap dengan edema baru dari batang otak dan serebellum,

menunjukkan infark akut.


30

Temuan awal pada parenkim yaitu hilangnya intensitas subtansia

grisea normal tanpa adanya efek massa. Substansia grisea menjadi isodens

terhadap substansia alba yang berdekatan sehingga menyebabkan

hilangnya normal cortical ribbon (Gambar 2.9) atau kehilangan

kemampuan untuk membedakan basal ganglia atau thalamus dari kapsula

interna.

Sumber : Pencitraan pada Stroke(20)

Gambar 2.9 Gambaran yang menunjukkan hilangnya normal cortical

ribbon

Berdasarkan gambaran CT scan di atas, bagian (A) menunjukkan

pemindaian pada 4 jam awal tampak hilangnya intensitas kortikal normal

bersama insula (insula ribbon sign) dan kelengkungan gyrus (panah).

Perhatikan bahwa sulkus terlihat karena tidak ada efek massa. Bagian (B)

menunjukkan pemeriksaan ulang pada 36 jam menunjukkan hipodens

absolut yang merata pada substansia alba sesuai teritori arteri serebri media.

Efek massa hadir dengan hilangnya sulkus. Batas infark yang jelas dan lurus

(panah). Bagian (C) menunjukkan pemeriksaan herniasi subfalkine.


31

Tampak lesi hiperdens dalam infark yang merupakan perdarahan reperfusi

(panah).

Sumber : Pencitraan pada Stroke(20)

Gambar 2.10 Tampak gambaran insula kanan yang menghilang (insula

ribbon sign)

Hilangnya intensitas kortikal dapat terjadi pada 3 jam awal tapi

biasannya lebih yaitu membutuhkan 4-6 jam untuk berkembang. Temuan

ini sangat halus dan sering terlewati oleh pengamat berpengalaman.

Seseorang dapat meningkatkan deteksi hilangnya intensitas substansia alba

dengan mempersempit jendela pada gambar CT sehingga menonjolkan

perbedaan intensitas abu-abu dan putih. Selain itu, akan sangat membantu

untuk melihat beberapa irisan secara bersamaan. Infark hiperakut yang

dapat terdeteksi biasanya relatif besar. Sementara itu, melihat gambar secara

bersamaan akan dapat meningkatkan kemungkinan untuk mendeteksi

kelainan ini(24).
32

Sumber : Pencitraan pada Stroke(20)

Gambar 2.11 Akut infark pada ganglia basalis

Pada gambar diatas, bagian (A) menunjukkan CT scan sekitar 4 jam,

terlihat hipodens relatif di ganglia basalis kanan dibandingkan dengan kiri

(panah panjang). Hipodens normal di kapsula interna yang terlihat di

sebelah kiri (panah pendek) tidak dapat dibedakan dari ganglia basalis yang

berdekatan dengan hipodens ini. Bagian (B) menunjukkan diffusion

weighted MR sekitar 1 jam setelah CT menunjukkan hiperntens yang jelas.

Dengan CT tanpa kontras dapat dengan mudah dan handal untuk

menyingkirkan stroke karena perdarahan, menunjukkan trombus dan

menunjukkan tanda-tanda awal iskemia otak, seperti kehilangan insular

ribbon, mengaburkan substansia grisea dan alba, dan pendataran sulkal dari

daerah hypoattenuation(25).
33

Sumber : Pencitraan pada Stroke(20)

Gambar 2.12 Penggunaan irisan tipis

Gambaran CT scan diatas menunjukkan bagian (A) menampilkan Ct

scan sekitar 5 jam, menunjukkan hilangnya intensitas substansia alba

normal pada insula kiri, korteks girus kiri, dan basal ganglia kiri (perhatikan

ketidakmampuan untuk mengidentifikasi kapsula interna dan kapsula

eksterna

b. Infark akut (6 jam – 3 hari)

Berlanjutnya iskemia akan menyebabkan kerusakan saraf dan kematian

(edema sitotoksik) meningkat. Sel-sel endovaskular rusak sehingga terjadi

kerusakan sawar darah otak dan kebocoran cairan ke dalam ruang

ekstravaskular. Dengan meningkatnya air jaringan, pembengkakan lokal terjadi.

Ekstravasasi sel darah merah juga dapat terjadi meskipun perdarahan biasanya

tidak ada atau terjadi pada tingkat ringan. Gumpalan dalam pembuluh darah

proksimal dapat menetap atau menuju ke pembuluh distal. Pembuluh darah

kolateral leptomeningeal bisa melebar untuk memberikan beberapa perfusi ke

otak yang terkena. Luas dan tingkat dimana edema vasogenik berkembang
34

tergantung pada aliran darah ke otak yang terkena. Jika tidak ada reperfusi,

edema yang terjadi ringan dan membutuhkan waktu lebih lama untuk

berkembang. Jika aliran darah cepat diperbaiki kembali (secara spontan atau

pengobatan) tetapi pembuluh darah rusak, edema akan meningkat dengan cepat

dan perdarahan dapat terjadi. Edema vasogenik menghasilkan hipodens yang

jelas pada otak yang terkena. Pada infark tromboemboli, substansia grisea

menjadi hipodens dan bengkak (pendataran gyrus). Sulit untuk membedakan

antar infark lakunar akut dan kronis berdasarkan studi tunggal CT(24).

Sumber : Pencitraan pada Stroke (20)

Gambar 2.13 Infark akut luas korteks subkorteks lobus

frontotemporoparietoocicipital

Jika diperhatikan, gambar di atas terlihat paling kiri yaitu nukleus

kaudatus, kapsula interna kiri suspek karena emboli di arteri serebri media

segmen M1 setelah cabang lentikulostriata. Selain itu, paling kanan

menunjukkan infark lakunar subakut di kapsula interna kanan limb anterior.


35

c. Infark subakut fase awal (36 jam – 5 hari)

Aliran darah ke bagian otak yang terkena infark biasanya dibangun kembali

pada 24 sampai 72 jam setelah infark. Clot pada proksimal dan distal akan

mengalami lisis dan bergerak ke hilir. Pada hari ke-3 atau ke-4, pertumbuhan

pembuluh darah baru ke daerah infark dimulai. Pembuluh darah yang belum

matang ini mempunyai sawar darah otak yang bocor. Sebagai hasil dari

perubahan ini, edema vasogenik meningkat dengan efek massa progresif yang

biasanya mencapai puncak pada hari ke-5. Pada infark besar, efek massa dapat

menyebabkan herniasi transfalcine atau herniasi transtentorial.

d. Infark subakut fase akhir (5 -14 hari)

Edema akan diserap seiring dengan waktu dan sebagai hasilnya akan terjadi

penrunan efek massa. Makrofag dan sel glial akan memasuki area infark dan

mulai menghilangkan jaringan saraf yang mati sehingga edema sitotoksik akan

berakhir. Aliran darah akan kembali. Perdarahan reperfusi ringan dapat terjadi,

tetapi transformasi perdarahan jarang terjadi. Densitas akan berubah menjadi

lebih heterogen. Infark biasanya tetap hipodens, namun setelah edema berakhir

maka mungkin ada periode sementara ketika infark telihat isodens ke otak

normal (efek kabut). Efek massa akan berakhir dan mungkin akan terjadi tanda

awal dari fokal atrofi(24).

e. Infark kronis (lebih dari 2 minggu)

Pada fase ini edema telah berakhir. Jaringan saraf yang mati akan

dihilangkan dan diganti dengan gliosis dan degenerasi kistik (ensefalomalasia


36

kistik). Infark lakunar biasanya berupa rongga kecil yang berisi cairan yang

dikelilingi oleh zona gliosis dan kehilangan volume vokal. Tergantung pada

ukuran dan lokasi dari infark, hal ini dapat menyebabkan fokal kortikal atrofi

atau dilatasi fokal pada ventirkel yang berdekatan (gambar 2.14). Jika infark

melibatkan saluran kortikospinalis, akan ada degenrasi wallerian yaitu atrofi

pedunkulus serebral sisi ipsilateral dan pons.

Sumber : Pencitraan pada Stroke(20)

Gambar 2.14 Infar kronis pada CTscan

Berdasarkan gambar di atas, terlihat bagian (A) terlihat fokus

hipodens besar di lobus frontal kiri. Lesi lebih hipodens dari infark akut dan

memiliki batas tidak teratur, batas yang agak cekung. Ada dilatasi dari

ventrikel lateral kiri. Bagian (B) yaitu CT scan pada tingkat yang lebih

rendah menunjukkan atrofi dari pedunkulus serebral sisi ipsilateral.

2.8.1.5 Pencitraan CT scan kepala pada stroke hemoragik

a. Gambaran CT scan pada perdarahan intraserebral

ICH akut akan tampak sebagai lesi hiperdens oval atau bulat pada Ct

scan kepala tanpa kontras. ICH sering mengalami ekstensi ke intraventrikel,


37

terutama jika berasal dari ganglia basalis dan batang otak. Pada fase

hiperakut, densitas lesi akan berkisar antara 40-60 HU(26). Pada fase ini, ICH

mungkin sulit dibedakan dengan parenkim otak normal. Beberapa lesi

mungkin tampak heterogen, memberi gambaran swirl sign, dan

menandakan perdarahan aktif masih berlangsung. Setelah hematoma

terbentuk dengan sempurna dalam hitungan jam hingga hari, densitas akan

naik menjadi 60-80 HU. Dalam beberapa hari kemudian, lesi akan memiliki

densitas 80-100 HU dan dikelilingi oleh edema peri hematoma. Hal ini

disebabkan oleh ekstrusi plasma dan retraksi bekuan darah. Edema

perihematoma sendiri dapat bertahan hingga 14 hari. Gambaran hiperdens

pada ICH disebabkan oleh kandungan proteinnya yang tinggi dan massa

jenisnya yang berat(27). ICH akut dapat tampak isodens atau bahkan

hipodens. Hal ini disebabkan oleh anemia atau gangguan koagulasi. Tanda

lain ICH akibat gangguan koagulasi adalah adanya fluid-fluid level. Tanda

ini dapat ditemukan pula pada ICH yang disebabkan oleh hipertensi, tumor,

trauma dan AVM.


38

Sumber : Pencitraan pada Stroke(20)

Gambar 2.15 CT scan kepala tanpa kontras serial menunjukkan ICH

pada thalamus kanan pada fase akut (A) dengan atenuasi 65 HU, 8 hari

kemudian (B) dengan atenuasi 45 HU, 13 hari kemudian (C) dan 5 bulan

kemudian (D).

Densitas ICH akan menurun secara bertahap, rata-rata 0,7-1,5

HU/hari. ICH akan menjadi isodens terhadap parenkim otak dalam

kurun waktu 1-6 minggu(28).

Hal ini disebabkan oleh aktivitas makrofag yang melakukan

fagositosis terhadap produk darah, dimulai dari bagian perifer hingga ke

sentral. Dalam 4-9 hari, atenuasi ICH akan turun menjadi sama dengan

korteks normal dan dalam 2-3 minggu menjadi sama dengan substansia

alba normal. ICH dapat tidak terlihat, namun efek massa yang prominen

menjadi petunjuk akan adanya ICH di sekitar. Gambaran ini berpotensi

untuk dikacaukan dengan abses pada pemeriksaan CT scan dengan

kontras akibat kerusakan sawar darah otak. Gambaran yang tersisa dari

sebuah ICH adalah fokus hipodens (37%), slit-like lesion (25%),

kalsifikasi (10%), atau terserap sempurna (27%)(20).


39

ICH yang mengalami resolusi umumnya akan memberikan

penyangatan cincin (ring enhancement) paska pemberian kontras pada

1-6 minggu sejak kejadian stroke dan akan menghilang setelah 2-6

minggu. Hal ini terjadi akibat dari hipervaskularisasi dan disrupsi dari

sawar darah otak(29). Pada CT perfusi, area yang mengalami ICH akan

menunjukkan hipoperfusi.

Sumber : Pencitraan pada Stroke(20)

Gambar 2.16 CT scan dengan kontras

Berdasarkan gambar diatas, bagian (A) menunjukkan ICH pada

ganglia basalis kiri. Bagian (B) menunjukkan cerebral blood volume,

cerebral blood flow (bagian C), dan mean transit time (bagian D). Tampak

penurunan jumlah pada ketiga parameter dari bagian perifer ICH ke bagian

sentral ICH.

Hipertensi adalah penyebab tersering dari ICH. ICH supratentorial dapat

dibagi menjadi lobar ICH (pusat area perdarahan terdapat pada substansia

alba junction) dan deep ICH (pusat area perdarahan pada ganglia basalis
40

dan thalamus). Jika area yang terlibat dalam ICH luas, meliputi lobar dan

deep, kemungkinan besar perdarahannya berasal dari area deep(28).

Beberapa tanda yang mendukung hipertensi sebagai penyebab ICH antara

lain sebagai berikut(29):

a. Terdapat di area yang divaskularisasi oleh r.perforantes arteri serebri

media atau arteri basilaris

b. Terdapat di pons atau serebellum

c. Disertai dengan infark lakunar atau white matter disease.

b. Gambaran CT scan pada perdarahan subarachnoid

Sumber : Pencitraan pada Stroke(20)

Gambar 2.17 Area khas untuk ICH yang disebabkan oleh hipertensi:

thalamus (A), batang otak (B), dan nukleus lentiformis (C)

Pada pencitraan CT scan tanpa kontras, subarachnoid hemorrage

(SAH) akan tampak sebagai pita hiperdens berlekuk-lekuk seperti ular

(serpingeous) mengisi subarachnoid space yang terdapat pada sulcii dan

sisterna(27). Pada pasien dengan ruptur aneurisma, darah biasanya

berkumpul pada sisterna basalis, sementara jika penyebab SAH adalah


41

trauma, darah akan berkumpul pada konveksitas otak. Pada pasien dengan

kadar hematokrit <30%, darah pada SAH dapat terlihat isodens terhadap

parenkim otak(20).

Sumber : Pencitraan pada Stroke(20)

Gambar 2.18 Gambaran CT scan tanpa kontras pada SAH

Gambar di atas merupakan stroke hemoragik subarachnoid pada CT

scan tanpa kontras, SAH akan tampak sebagai lesi hiperdens mengisi

sisterna basalis (A) dan fissura sylvii kanan (B). Tampak kalsifikasi pada

dinding aneurisma sisi kiri (B). Pada gambar C, tampak SAH akibat ruptur

arteri perikallosal. Pola SAH dapat digunakan untuk memprediksi lokasi

aneurisma yang ruptur. Bila SAH disertai ICH, kemungkinan ruptur

aneurisma terjadi di arteri serebri media(27).


42

2.9 Kerangka Teori

Stroke hemoragik Stroke iskemik

Aneurisma Trombus/emboli di
cerbral

Perdarahan Suplai darah ke


intracerabral/subara jaringan cerbral
khnoid tidak adequat

Hematoma cerebral Perfusi jaringan


tidak adequat

Iskemik/infark

Defisit neurologi

Hemiparesis/Hemip
legi

CT scan

skema 2.19 Kerangka teori


BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka konsep

Temuan radiologis
Hemiparesis CT scan kepala

Variabel perancu :
Trauma kapitis &
medula spinalis

skema 3.1 kerangka konsep


44

3.2 Identifikasi Variabel

Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Variabel Independen

Pasien stroke dengan gejala hemiparesis

2. Variabel dependen

Temuan radiologis ct scan kepala

3.3 Definisi operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional


No Variabel Definisi Alat Ukur Kategori Skala
. Operasional
1. Hemiparesis Merupakan suatu Rekam medis 1. Tidak Nomin
kelemahan otot ditemuka al
pada satu sisi n gejala
tubuh hemipare
sis pada
pasien
stroke
2.
Ditemuk
an gejala
hemipare
sis pada
pasien
stroke
45

2. Temuan Merupakan suatu Rekam medis 1. Tidak Nomin


radiologis ct gambaran ditem al
scan kepala radiologis berupa ukan
lesi iskemik lesi
maupun pada
hemoragik pada otak
otak 2. Ditem
ukan
lesi
pada
otak

3.4 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian cross-sectional

retrospektif. Analisis hasil penelitian akan menggunakan rumus Chi

square.

3.5 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini akan dilakukan di RSU Siloam Kupang pada bulan

Agustus 2017
46

3.6 Populasi dan Sampel

3.6.1 Populasi

a. Populasi target

Populasi target adalah populasi yang akan menjadi sasaran akhir

penelitian. Penelitian ini akan menggunakan populasi target seluruh

pasien stroke dengan gejala hemiparesis yang dirawat di rumah sakit

b. Populasi terjangkau

Populasi terjangkau adalah bagian populasi target yang dibatasi

tempat dan waktu yang lebih sempit dan dapat dijangkau oleh peneliti

yaitu pasien stroke dengan gejala hemiparesis yang dirawat di RSU

Siloam Kupang

3.6.2 Sampel

Pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan menggunakan metode total sampling yaitu semua pasien yang

terdiagnosis stroke iskemik dan hemoragik, telah melakukan pemeriksaan

radiologi ct scan kepala dan memenuhi kriteria inklusi di Rumah Sakit

Umum Siloam Kupang dari bulan Januari sampai Juni 2017.

3.7 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi yang diambil adalah sebagai berikut :

- Pasien Stroke dengan gejala hemiparese

- Pasien yang memiliki foto ct scan kepala


47

b. Kriteria Eksklusi

- Pasien dengan riwayat trauma kapitis

- Pasien dengan riwayat trauma medula spinalis


48

3.8 Alur Penelitian dan Cara Kerja

3.8.1 Alur Penelitian

Pengurusan izin penelitian komisi etik Fakultas


Kedokteran Universitas Nusa Cendana

Menetapkan sampel sesuai kriteria inklusi dan


eksklusi

Data rekam medik pasien stroke

Gejala klinis Pemeriksaan CT


scan kepala

Hemiparesis Hemiparesis Lesi otak + Lesi otak -


+ -

Pengumpulan data Analisis data

Menyusun laporan

Penyajian data dalam laporan hasil penelitian

Skema 3.2 Alur penelitian


49

3.8.2 Cara Kerja

Pengumpulan data dilakukan di Rumah Sakit Umum Siloam

Kupang. Dalam pengumpulan data, peneliti melalui tahap-tahap sebagai

berikut :

l. Peneliti mengajukan surat permohonan ijin penelitian dari instansi

kepada pihak Rumah Sakit Umum Siloam Kupang

2. Peneliti mendatangi bagian radiologi dan patologi klinik Rumah

Sakit Siloam Kupang

3. Peneliti mendata semua rekam medik pasien yang terdiagnosis

stroke yang memenuhi kriteria inklusi

4. Selanjutnya peneliti mengolah dan menganalisis data rekam medik

tersebut dengan program SPSS

3.9 Analisis Data

3.9.1 Identifikasi Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data sekunder.

Data sekunder diambil melalui pencatatan rekam medik pasien

yang terdiagnosis stroke dengan gejala hemiparesis

3.9.2 Pengolahan Data dengan Komputer

- Editing

Editing adalah penyuntingan yang dilakukan secara langsung

oleh peneliti terhadap data yang telah dikumpulkan untuk


50

memastikan bahwa data tersebut lengkap, relevan dan dapat

dibaca dengan baik.

- Coding

Setelah semua data diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan

pengkodean, yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau huruf

menjadi data angka atau bilangan. Coding ini sangat berguna

dalam proses memasukkan data.

- Entry Data

Data dari rekam medic yang sudah dalam bentuk kode

dimasukkan ke dalam program computer.

- Cleaning (pembersihan data)

Apabila semua data dari rekam medic tersebut telah

dimasukkan, perlu dilakukan pengecekan kembali untuk melihat

kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan dalam pemberian

kode, data yang tidak lengkap dan sebagainya, kemudian

dilakukan pembetulan atau koreksi terhadap data tersebut.

3.9.3 Jenis Pengolahan Data

Data dianalisis secara komputerisasi menggunakan perangkat lunak

pengolahan data dengan analisis univariat dan bivariat

- Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Pada

umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi


51

frekuensi dan persentase dari tiap variabel yang disajikan dalam

bentuk tabel, gambar diagram maupun grafik

- Analisis Bivariat

Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan dan kekuatan

hubungan antara dua variabel penelitian, yaitu variabel bebas

dan variabel terikat.Uji statistik yang digunakan adalah uji chi

square.

3.10 Jadwal Penelitian

2017

Kegiatan Bulan

03 04 05 06 07 08 09 10 11

Penyusunan

Proposal

Seminar

Proposal

Pengumpulan

Data

Pengolahan

Data

Analisis Data

Penyusuna

Laporan
52

Seminar

Hasil

Ujian Skripsi

3.11 Rancangan Anggaran

No Uraian Jumlah Biaya Satuan Biaya Total

1. Kertas A4 2 Rim Rp. 35.000,00 Rp. 70.000,00

2. Tinta Printer Hitam 1 Botol Rp. 45.000,00 Rp. 45.000,00

3. Tinta Printer Warna 1 Botol Rp. 60.000,00 Rp. 60.000,00

4. Fotocopy 500 Rp. 200,00 Rp. 100.000,00

halaman

5. Percetakan dan Rp. 100.000,00

Penjilidan Skripsi

Total Rp. 375.000,00


53

Daftar pustaka

1. Said SJ, Noor JAE, Yueniwati Y. Identification of Ischemic Stroke Stages

in CT scan Brain Images Using Imagej Software. 2014;3(7):24–31.

2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar

(RISKESDAS) 2013. Lap Nas 2013. 2013;1–384.

3. Hackett ML, Duncan JR, Anderson CS, Broad JB, Bonita R. Health-

Related Quality of Life Among Long-Term Survivors of Stroke : Results

From the Auckland Stroke Study, 1991-1992. Stroke [Internet].

2000;31(2):440–7. Available from:

http://stroke.ahajournals.org/content/31/2/440.abstract

4. Jauch, Edward CMD, MS, FAHA F. No Title. Ischemic Stroke [Internet].

2016;(1):1. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/1916852-overview

5. Pandian JD, Liu M, Misbach J, Venketasubramanian N. Alternative

therapies for stroke treatment in Asia. Vol. 6, International Journal of

Stroke. 2011. p. 541–3.

6. Meuli RA. Imaging viable brain tissue with CT scan during acute stroke.

Cerebrovasc Dis [Internet]. 2004;17 Suppl 3(SUPPL. 3):28–34. Available

from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14730256

7. Ringleb P a, Bousser MG, Ford G, Bath P, Brainin M, Caso V, et al.

Ischaemic stroke and transient ischaemic attack [Internet]. European


54

Handbook of Neurological Management, Second Edition, Volume 1,

Second Edition. 2011. 101-158 p. Available from:

http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/9781444328394.ch9/summary%

5Cnpapers3://publication/uuid/F17547A6-8765-4E96-886A-

080BF07C178D

8. Siloam R. Stroke imaging [Internet]. 2017 [cited 2017 Apr 6]. Available

from: https://siloamhospitals.com/our-hospitals/facilities/siloam-hospitals-

kupang.html

9. Snell RS. Neuroanatomi klinik. 7th ed. Djayasaputra dr L, Salim dr C,

editors. Washington DC: EGC; 2010. 267 p.

10. L T, K K. Sinopsis organ system neurologi. Sasmita DPK, editor. Jakarta;

2014. 49-60 p.

11. Of P, Victor M, Ropper AH, Adams RD, Professional BM. Adams &

Victor ’ s Principles of Neurology. System. 2010;7:215–37.

12. Purves D, Augustine GJ, Fitzpatrick D, Hall WC, Lamantia A-S,

Mcnamara JO, et al. Neuroscience. Vol. 3, Sunderland. 2012. 773 p.

13. Snell RS. Clinical neuroanatomy. S. Snell. 7th ed. Sugiharto dr L, Salim

dr C, editors. Washington DC: EGC; 2010. 326-339 p.

14. L., Moore K, F., DalleyII A, M.R., Agur A, D’Antoni A V. Clinically

Oriented Anatomy, 7th Edition. 7th ed. Vol. 27, Clinical Anatomy. 2014.

828,874-876.
55

15. dr.Harsono DSS. Kapita selekta neurologi. 2nd ed. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press; 2009. 82-83 p.

16. Pi Y, Zhang L, Yang Q, Li B, Fang C, Gao C, et al. Neurothrombectomy

for the treatment of acute ischemic stroke in 1530 patients. J Clin Neurosci.

2012;19(10):1363–8.

17. Mardjono, Prof.dr.Mahar et all. Neurologi klinis dasar. Dian Rakyat; 1988.

270-273 p.

18. Jordan Y, Jordan J, Lightfoote J, Ragland K. Quality Outcomes of

Reinterpretation of Brain CT Studies by Subspecialty Experts in Stroke

Imaging. Am J Roentgenol [Internet]. 2012; Available from:

http://www.ajronline.org/doi/abs/10.2214/AJR.11.8358

19. Steven C, Harold A, Steven W. Stroke recovery and rehabilitation research.

Issues, Oppor Natl institutes Heal stroke [Internet]. 2017;1(1):1–5.

Available from:

http://stroke.ahajournals.org/content/early/2017/02/07/STROKEAHA.116.

015501

20. Yueniwati D dr YP. MKSR. Pencitraan Pada Stroke. 1st ed. Erlangga R,

editor. Malang: Universitas Brawijaya Press; 2016. 216-290 p.

21. Marco de Lucas E, Elena Sánchez B, Agustín Gutiérrez B. Vascular and

Other Emergencies in the Head CT Protocol for Acute Stroke: Tips and

Tricks for General Radiologists 1. Oct Spec Issue [Internet].

1674;28(6):1673–87. Available from: www.rsna


56

22. Lucas S, Michele A, Mario P, Federica C. Multi-modal CT Scanning in the

Evaluation of Cerebrovascular Disease Patients. 2014;1(1):1–5. Available

from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4069983/

23. Gang W, Xue C, Xiangling Z. Use of various CT imaging methods for

diagnosis of acute ischemic cerebrovascular disease. 2013;1(1):1–7.

Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4145983/

24. Pizer Z, Zimmerman J, Staab E. Adaptive Grey Level Assignment in CT

Scan Display. 2007;2(1):1–8. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/6707283

25. Fugate JE, Fugate JE, Kallmes DF, Rabinstein AA. Early basal ganglia

hyperperfusion on CT perfusion in acute ischemic stroke: A marker of

irreversible damage? Am J Neuroradiol. 2014;35(9):1688–92.

26. Lev MH, Kamalian S. Introducing Radiology Select : Stroke. 2008;2(1):8–

14. Available from:

https://www2.rsna.org/timssnet/radiologyselect/pdf/IntrosForewords/RYSV

ol2.Introduction.PDF

27. Wanke I. Neuroimaging of rapidly progressing dementias Treatment

complications of Solitaire and Merci devices CTA of carotid blowout.

2014;35(3):117–34.

28. Smith DD. CT Protocol for Acute Stroke: Tips and Tricks for General

Radiologists. 2013;2(2):3–8. Available from:

http://pubs.rsna.org/doi/full/10.1148/rg.286085502
57

29. Ghandehari K. Inter-rater reliability of modified Alberta Stroke program

early computerized tomography score in patients with brain infarction.

2011;1(1):1–3. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3430023/

Anda mungkin juga menyukai