Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN TUGAS KELOMPOK K3 (KESELAMATAN DAN

KESEHATAN KERJA)
PENYAKIT AKIBAT KERJA

“Low Back Pain Pada Pekerja Di Rumah Sakit”

Kelompok 1

Siwi Aji Pramudhita (14280)


Yesy Susilowati (14314)
Annisa Riswandany (14337)
Indriani Safila (14347)
Ari Diah Astuti (14374)
Anggi Wijayanti K (14401)
Indah Purnama Sari (14409)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2014
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan rumah sakit sebagai industri jasa merupakan bentuk
upaya pelayanan kesehatan yang bersifat sosioekonomi, yaitu suatu usaha
yang walau bersifat sosial namun diusahakan agar bisa memperoleh
surplus dengan cara pengelolaan yang profesional. Rumah sakit
merupakan institusi yang sifatnya kompleks dan sifat organisasinya
majemuk, maka perlu pola manajemen yang jelas dan modern untuk setiap
unit kerja atau bidang kerja. Sebagai contoh pada bidang manajemen
Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
Kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu
kesehatan/kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan agar pekerja atau
masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya, baik fisik, mental maupun sosial, dengan usaha promotif,
preventif dan kuratif terhadap penyakit/gangguan kesehatan yang
diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja, serta terhadap
penyakit umum. Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berkaitan
dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya,
landasan tempat kerja, lingkungan serta cara-cara melakukan pekerjaan.
Salah satu masalah Keselamatan dan Kesehatan kerja yang dapat dijumpai
di rumah sakit adalah low back pain.
Nyeri punggung bawah atau low back pain (LBP) merupakan
manifestasi keadaan patologik yang dialami oleh jaringan atau alat tubuh
yang merupakan bagian pinggang atau yang ada di dekat pinggang. LBP
sering dijumpai dalam praktek sehari-hari, terutama di negara industri.
Diperkirakan 70-85% dari seluruh populasi pernah mengalami episode ini
selama hidupnya.
Setiap pekerjaan pasti memiliki resiko, tidak terkecuali perawat.
Perawat merupakan tenaga kesehatan di rumah sakit yang memiliki tugas
sangat bervariasi, antara lain mengangkat dan mendorong pasien. Posisi
yang salah atau tidak ergonomis dalam melakukan pekerjaan sering
menimbulkan ketidaknyamanan, salah satunya adalah low back pain.
Seorang perawat yang mengalami low back pain akan terganggu
produktivitas kerjanya. Produktivitas kerja yang menurun pada akhirnya
akan berdampak pada kualitas pelayanan pasien.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis akan membahas
mengenai masalah keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit,
khususnya kejadian low back pain yang terjadi pada tenaga kesehatan
maupun pekerja di rumah sakit.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah bentuk kasus low back pain di rumah sakit dan
solusi untuk mengatasi maupun mencegahnya?
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui bentuk kasus low back pain di rumah sakit dan
solusi untuk mengatasi maupun mencegahnya.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus makalah ini adalah untuk mengetahui :
a. Definisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja
b. Potensi dan bahaya keselamatan dan kesehatan kerja di
Rumah Sakit
c. Jenis penyakit akibat kerja
- low back pain
d. Pencegahan penyakit akibat kerja
e. Penatalaksanaan penyakit akibat kerja
f. Undang – undang yang mengatur Keselamatan dan
Kesehatan Kerja
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)


Keselamatan dan kesehatan kerja atau biasa disingkat K3 merupakan ilmu
pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan
terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Berikut ini keselamatan
dan kesehatan kerja menurut beberapa ahli :
a) Menurut Mangkunegara (2002, p.163), keselamatan dan kesehatan
kerja adalah suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan
kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada
khususnya, dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk
menuju masyarakat adil dan makmur.
b) Menurut Suma’mur (2001, p.104), keselamatan kerja merupakan
rangkaian usaha untuk menciptakan suasana kerja yang aman dan
tentram bagi para karyawan yang bekerja di perusahaan yang
bersangkutan.
c) Menurut Simanjuntak (1994), keselamatan kerja adalah kondisi
keselamatan yang bebas dari resiko kecelakaan dan kerusakan dimana
kita bekerja yang mencakup tentang kondisi bangunan, kondisi mesin,
peralatan keselamatan, dan kondisi pekerja.
d) Mathis dan Jackson (2002, p. 245), menyatakan bahwa keselamatan
merujuk pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang
terhadap cedera yang terkait dengan pekerjaan. Kesehatan merujuk
pada kondisi umum fisik, mental dan stabilitas emosi secara umum.
e) Menurut Ridley, John (1983) yang dikutip oleh Boby Shiantosia
(2000, p.6), mengartikan Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah
suatu kondisi dalam pekerjaan yang sehat dan aman baik itu bagi
pekerjaannya, perusahaan maupun bagi masyarakat dan lingkungan
sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut.
f) Jackson (1999, p. 222), menjelaskan bahwa Kesehatan dan
Keselamatan Kerja menunjukkan kepada kondisi-kondisi fisiologis-
fisikal dan psikologis tenaga kerja yang diakibatkan oleh lingkungan
kerja yang disediakan oleh perusahaan.
Indikator penyebab keselamatan kerja menurut Mangkunegara (2002,
p.170) adalah:
1. Keadaan tempat lingkungan kerja, yang meliputi:
a. Penyusunan dan penyimpanan barang-barang yang berbahaya
yang kurang diperhitungkan keamanannya
b. Ruang kerja yang terlalu padat dan sesak
c. Pembuangan kotoran dan limbah yang tidak pada tempatnya
2. Pemakaian peralatan kerja, yang meliputi :
a. Pengaman peralatan kerja yang sudah usang atau rusak
b. Penggunaan mesin, alat elektronik tanpa pengaman yang baik
c. Pengaturan penerangan
Keselamatan dan kesehatan kerja pada dasarnya mencari dan
mengungkapkan kelemahan yang memungkinkan terjadinya kecelakaan.
Fungsi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu mengungkapkan sebab-
akibat suatu kecelakaan dan meneliti apakah pengendalian secara cermat
dilakukan atau tidak (Bagus, 2009). Menurut Mangkunegara (2002, p.165)
bahwa tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut:
a) Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan
kerja baik secara fisik, sosial, dan psikologis.
b) Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-
baiknya selektif mungkin.
c) Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya.
d) Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
gizi pegawai.
e) Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi
kerja.
f) Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh
lingkungan atau kondisi kerja.
g) Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja.
B. Potensi Bahaya di Rumah Sakit
Potensi bahaya (hazard) adalah suatu keadaan yang memungkinkan atau
dapat menimbulkan kecelakaan atau kerugian berupa cidera, penyakit,
kerusakan, atau menghambat kemampuan yang telah ditetapkan. Bahaya
tersebut dapat berupa bahaya biologis, fisik, bahaya mekanik/ergonomik,
dan bahaya kimiawi. Potensi bahaya (hazard) di rumah sakit yang terdapat
dalam kasus pada makalah ini lebih menekankan adanya potensi bahaya
cedera musculoskeletal yaitu Low Back Pain atau Nyeri Punggung Bawah
(NBP) pada perawat.
C. Penyakit Akibat Kerja (PAK)
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor PER-01/MEN/1981
tentang kewajiban melapor Penyakit Akibat Kerja bahwa yang dimaksud
dengan Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah setiap penyakit yang
disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Penyakit Akibat Kerja
dapat dipengaruhi oleh populasi pekerja, disebabkan oleh penyebab yang
spesifik, ditentukan oleh pemajanan di tempat kerja, dan ada tidaknya
kompensasi (Efendi dan Makhfudli, 2009).
1) Penyebab Penyakit Akibat Kerja (Silalahi dan Silalahi, 1991)
a. Golongan fisik meliputi bunyi, getaran, suhu ruang kerja, radiasi
sinar, tekanan udara dan penerangan.
b. Golongan kimia meliputi debu, serbuk, kabut, racun serangga,
gas, uap, cairan beracun.
c. Golongan biologis meliputi tumbuhan beracun, virus, bakteri,
jamur.
d. Golongan fisiologis meliputi konsruksi mesin dan peralatan, sikap
kerja, dan cara bekerja.
e. Golongan Psikologis meliputi proses kerja, hubungan kerja, dan
suasana kerja.
Penyakit akibat kerja yang dapat dialami oleh tenaga kesehatan
khususnya perawat di rumah sakit salah satunya adalah Nyeri
Punggung Bawah (NPB). NPB termasuk gangguan musculoskeletal
yang disebabkan oleh gologan fisiologis utamanya pada sikap kerja
dan cara bekerja. Pedoman untuk membedakan PAK atau bukan PAK
adalah sebagai berikut (Effendy, 1998):
a) Gejala biasanya muncul setelah mengerjakan pekerjaan yang sama
selama beberapa waktu (biasanya mingguan hingga bulanan).
b) Gejala menghilang setelah berhenti mengerjakan pekerjaan
tertentu.
c) Jenis pekerjaan diketahui dapat menimbulkan rangkaian gejala
yang dialami pekerja.
d) Pekerja mungkin mempunyai faktor predisposisi terhadap gejala
tersebut, misalnya usia, spodilosis servikal yang mendasari.
2) Nyeri Punggung Bawah
Low Back Pain atau Nyeri Punggung Bawah (NPB) adalah nyeri
dan ketidaknyamanan, yang terlokalisasi di bawah sudut iga terakhir
(costal margin) dan di atas lipat bokong bawah (gluteal inferior fold),
dengan atau tanpa nyeri pada tungkai (Bare et al, 2005 dalam Cahyati,
2012).
NPB merupakan salah satu masalah kesehatan okupasi
(occupational health problems) yang tertua. Penemu ilmu kedokteran
okupasi (occupational medicine), yaitu Ramazzini B (1713),
menyatakan bahwa gerakan-gerakan tertentu, yang bersifat kasar dan
tidak beraturan, disertai posisi tubuh yang tidak alami dapat
menyebabkan kerusakan struktur tubuh.
Berdasarkan lama perjalanan penyakit NPB diklasifikasikan
menjadi 3 macam yaitu, akut, sub akut, dan kronis. Nyeri punggung
bawah akut didefinisikan sebagai timbulnya episode nyeri punggung
bawah yang menetap dengan durasi kurang dari 6 minggu. Untuk
durasi antara 6-12 minggu didefinisikan sebagai nyeri punggung
bawah sub akut, sedangkan untuk durasi lebih panjang dari 12 minggu
adalah nyeri punggung bawah kronis (Black, J.M., & Jacob, E.M.,
2005 dalam Cahyati, 2012). NPB ini dapat mengakibatkan nyeri yang
cukup hebat di malam hari, sehingga dapat menurunkan kualitas tidur.
Terjadinya NPB karena ada tekanan pada susunan saraf tepi yang
terjepit pada area tulang belakang. Penyebabnya bisa karena trauma
mekanik akut, trauma yang berkepanjanganan. Akumulasi trauma
dalam jangka panjang seringkali ditemukan di tempat kerja.
Kebanyakan kasus NPB terjadi dengan faktor predisposisi kerja
berlebihan, penggunaan kekuatan otot berlebihan, ketegangan otot,
cedera otot, ligamen, maupun diskus yang menyokong tulang
belakang (Roupa, at all, 2008). Tanda dan gejala dari NPB adalah
nyeri pada daerah sepanjang tulang belakang tanpa atau dengan
penjalaran atau nyeri yang menjalar ke lutut, tungkai, kaki, ataupun
adanya rasa baal di daerah nyeri, nyeri saat bergerak, kondisi secara
umum baik (Black, J.M., & Jacob, E.M., 2005 dalam Cahyati, 2012).
Faktor resiko terkena NPB adalah umur lebih dari 50 tahun, tidak
ada perbedaan pada jenis kelamin, obesitas, pekerjaan yang banyak
menggunakan kerja fisik berat, gerakan berulang, kerja statis, sikap
tubuh yang salah saat bekerja, posisi tidur yang salah (Black, J.M., &
Jacob, E.M., 2005 dalam Cahyati, 2012). Faktor risiko NPB menurut
(Jeyaratnam dan Koh, 2009) dibagi menjadi faktor individu yaitu:
a. Usia
Risiko cedera punggung lebih tinggi dan bermakna pada usia 25
tahun tetapi dengan biaya yang dikeluarkan lebih rendah diduga
karena pemulihannya lebih cepat. Kelompok rentan yang
mengeluarkan biaya tinggi cenderung pada kelompok usia 31-41
tahun.
b. Jenis Kelamin
Secara keseluruhan, wanita lebih sedikit mengalami masalah
punggung dibanding pria, tetapi wanita cenderung lebih rentan
lebih berpeluang mengalami masalah punggung (Bigos, 1986b).
c. Kebugaran Tubuh
Frekuensi cidera yang dialami oleh pekerja yang kurang bugar
sebanyak 10x lipat lebih tinggi dibanding yang paling bugar
(Cady et al, 1979)
d. Faktor Psikososial
Faktor psikososial yang ditemukan pada pasien Nyeri
punggung adalah pendidikan, depresi, kecanduan alkohol,
perceraian, ketidakpuasan melakukan pekerjaan, riwayat operasi
punggung, MMPI (Minnesota multiphasic Personality Inventory)
tidak normal.
e. Perubahan radiografis
NPB berhubungan dengan abnormaslitas struktur vertebra
lumbosakral hanya pada 3 % pasien (Rowa, 1982).
Terdapat 4 faktor yang paling menyebabkan cedera
muskuloskeletal pada perawat yaitu karakteristik dari perawat
dalam melakukan lifting (pengangkatan), pasien itu sendiri,
lingkungan kerja (termasuk peralatan) dan job tasks (Nelson &
Baptiste , 2004 dalam Cahyati, 2012). Pada penelitian yang
dilakukan oleh Widiyanti, et al. (2009) menyatakan bahwa
perawat yang melakukan pekerjaan dengan membungkuk dengan
sudut lengkung punggung >45° mempunyai risiko 4,5 kali untuk
terjadinya NPB dibandingkan dengan perawat yang membungkuk
dengan sudut lengkung punggung <45°.
NPB dapat dilakukan pemeriksaan diagnostik dengan
menggunakan rontgen atau MRI, tetapi biayanya mahal. NPB
diperiksa dengan rontgen apabila gejalanya menetap dan
ditemukan kelainan fisik yang abnormal. Rontgen vertebra
potongan lateral dalam posisi fleksi dan ekstensi dapat
menunjukkan mobilitas segmen tulang belakang yang tidak biasa
yang berhubungan dengan ketidakstabilan. Rontgen potongan
miring menunjukkan dan mengkonfirmasi adanya spondiolosis.
Selain itu juga dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk
menyingkirkan diangnosa lain.
Rontgen vertebra lumbal seorang pekerja berusia 24 tahun

D. Penatalaksanaan Penyakit Akibat Kerja


1. Tingkat-tingkat pencegahan gangguan keselamatan dan kesehatan
kerja (Efendi, Makhfudli, 2009).
a. Peningkatan kesehatan (Health Promotion)
- Pendidikan kesehatan kepada pekerja
- Peningkatan dan perbaikan gizi pekerja
- Perkembangan kepribadian pekerja yang sehat
- Penyediaan perumahan pekerja yang sehat
- Rekreasi bagi pekerja
- Penyediaan tempat dan lingkungan kerja yang sehat
- Pemeriksaan sebelum bekerja
- Perhatian terhadap faktor-faktor keturunan
b. Perlindungan Khusus (Specific Protection)
- Pemberian imunisasi
- Hygiene kerja yang baik
- Sanitasi lingkungan yang sehat
- Perlindungan diri terhadap bahaya pekerjaan
- Pengendalian bahaya akibat kerja
- Perlindungan terhadap faktor karsinogen
- Menghindari sebab-sebab alergi
- Perserasian manusia (pekerja) dengan mesin
c. Diagnosa dini dan pengobatan tetap
- Mencari pekerja yang memiliki gangguan penyakit tertentu
- Melakukan general check up secara teratur kepada bekerja
dengan tujuan mencegah dan mengobati proses penyakit,
mencegah penularan penyakit, mencegah komplikasi
- Penyaringan
d. Pencegahan kecacatan (Disability Limitation)
- Pengobatan yang adekuat untuk mencegah dan menghentikan
proses penyakit
- Perawatan yang baik
- Penyediaan fasilitas untuk membatasi kecacatan dan mencegah
kematian
e. Pemulihan (Rehabilitation)
- Latihan dan pendidikan dengan kemampuan yang ada
- Pendidikan masyarakat untuk menggunakan tenaga cacat
- Penempatan tenaga cacat secara selektif
- Terapi kerja di rumah sakit
- Menyediakan tempat kerja yang dilindungi
2. Penatalaksanaan NPB
Seperti penjelasan di atas pencegahan NPB juga dapat meliputi
peningkatan kesehatan, perlindungan khusus, diagnosa dini &
pengobatan tetap, pencegahan kecacatan, dan pemulihan. Menurut
Effendy (1998) nyeri punggung akut dapat diobati dengan analgesik,
istirahat dalam jangka waktu pendek, dilanjutkan kembali bekerja
secepatnya, karena jika terlalu lama maka akan terjadi kemunduran
otot tulang belakang lebih lanjut. Diatermi gelombang pendek, traksi
vertebra lumbal berkala, dan latihan batang tubuh biasanya membantu
dan dimulai sedini mungkin saat nyeri sudah bisa ditoleransi. Serta
dilakukan edukasi untuk pekerja mengenai pemeliharaan punggung,
postur tubuh, dan cara mengangkat.
3. Pencegahan NPB untuk perawat
Nelson & Baptiste (2004) dalam Cahyati (2012) mengemukakan
evidence basenya tentang penanganan dan pemindahan pasien secara
aman. Dalam evidence basenya disebutkan penanganan pasien yang
paling umum di Amerika Serikat termasuk mengangkat pasien manual,
pelatihan tentang mekanika tubuh, pelatihan dalam teknik mengangkat
yang aman, dan ikat pinggang tidak memberikan hasil yang efektif
dalam mengurangi NPB. Nelson & Baptiste (2004) mengemukakan hal
yang harus diperhatian dalam meminimalisir NPB pada perawat
adalah:
a) Kontrol teknik, yaitu lingkungan kerja, tata letak, peralatan yang
digunakan pada pekerjaan. Contohnya adalah penggunaan
teknologi penanganan pasien, seperti alat bantu pemindahan
pasien.
b) Kontrol administrasi adalah kebijakan untuk mengurangi atau
mencegah terjadinya NPB. Strategi pengendalian administrasi
meliputi aturan kerja (jadwal kerja), rotasi pekerjaan, adanya
protokol perawatan pasien dan protokol penggunaan alat-alat.
c) Kontrol perilaku meliputi training staff tentang body mekanik, cara
penggunaan alat untuk mengangkat atau memindahkan pasien
(ANA Periodicals OJIN Table of Contents Volume 9 - 2004 No 3:
Sept'04).
Berikut ini contoh-contoh alat sebagai kontrol teknik yang dapat
dipergunakan untuk mengangkat dan memindahkan pasien yang dapat
mengurangi resiko terjadinya NPB pada perawat:
1) Lifting Equipment, berfungsi untuk membantu mengangkat dan
memindahkan pasien, ambulasi, reposisi pasien. Yang termasuk
alat ini adalah:
a. Ceiling-Mounted Sling Lift. Alat ini harus dilengkapi oleh
mesin, tali dan bar gantungan. Sebelum menggunakan alat ini
terlebih dulu harus disiapkan ceiling track sebagai jalur untuk
memindahkan pasien (Petzel, 2010).
Sistem ceiling track dapat dilihat pada gambar berikut ini:

b. Lift Hanger Bars Styles


c. Floor-based Sling Lifts (FBSL)
FBSL merupakan alat untuk membantu pasien dalam terapi
ambulasi, terutama pada pasien dengan ketergantungan penuh,
atau untuk mengangkat pasien dari kendaraan (Petzel, 2010).
FBSL dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

d. Sit to Stand (STS)


Alat untuk membantu pasien dalam ambulasi. Digunakan untuk
membantu pasien dari duduk ke posisi berdiri (Petzel, 2010).

Penggunaan lifting equipment akan sangat membantu perawat


dalam melakukan tindakan keperawatan dalam mengangkat,
memindahkan pasien. Perawat tidak perlu membungkukkan
badannya apalagi dalam waktu lama, atau juga tidak perlu
mengangkat beban yang berat, apalagi bila dilakukan dengan
posisi yang tidak benar. Penggunaan lifting equipment ini akan
mengurangi resiko perawat terkena NPB. Selain itu juga patien
safety pada saat pasien pindah lebih terjamin.
2) Lateral transfer devices atau perangkat transfer lateral
Merupakan alat bantu untuk memindahkan pasien secara horizontal
dari satu permukaan ke yang lain (misalnya, transfer dari tempat
tidur ke blankar) atau dari tempat tidur ke kursi roda (Petzel, 2010)

Alat ini dapat digunakan sebagai tempat tidur untuk pemeriksaan


atau tindakan misalnya rontgen, selain itu bagian tengah dari alat
ini dapat dipindahkan ke kursi roda sehingga meminimalisir
perawat untuk membungkukkan pasien pada saat membantu turun
dari tempat tidur ke kursi roda atau sebaliknya.
3) Tempat tidur khusus untuk penderita NPB
VAX-D (Vertebral-Axial Decompretion) table adalah pengobatan
non-invasif untuk sakit punggung kronis dan sakit leher dari disk
dan penyakit sendi facet. VAX-D merupakan prosedur yang efektif
dan aman tanpa risiko yang terkait dengan operasi, suntikan, atau
anestesi. Meja ini merupakan alat traksi bermotor yang digunakan
untuk meregangkan punggung bawah. Alat ini terdiri dari dua
bagian yaitu bagian atas sebagai tempat tidur dan bagian bawah
slide yang maju mundur untuk memberikan traksi. Pasien tidur
pada bagian atas meja, pada panggul ada sebuah alat yang akan
menarik bagian tulang belakang tubuh, yang diatur melalui sebuah
komputer. Lama waktu penggunaan sekitar 20 kali @ 30 – 45
menit.
VAX-D dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Bagi perawat atau siapa pun yang sudah terkena NPB dapat
menggunakan tempat tidur khusus yang dapat membantu
mengurangi sakit punggung dan kompresi pada tulang belakang.
Penggunaan alat ini di Indonesia sepengetahuan penulis belum
digunakan, alat ini relatif mahal.
E. UU dalam Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
1) Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja,
disana terdapat ruang lingkup pelaksanaan, syarat keselamatan kerja,
pengawasan, pembinaan, panitia pembina K-3, tentang kecelakaan,
kewajiban dan hak tenaga kerja, kewajiban memasuki tempat erja,
kewajiban pengurus dan ketentuan penutup (ancaman pidana). Inti dari
UU ini adalah, ruang lingkup pelaksanaan K-3 ditentukan oleh 3
unsur:
a. Adanya tempat kerja untuk keperluan suatu usaha
b. Adanya tenaga kerja yang bekerja di sana
c. Adanya bahaya kerja di tempat itu
Dalam penjelasan UU No. 1 Tahun 1970 pasal 1 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2918, tidak hanya bidang usaha
bermotif ekonomi tetapi usaha yang bermotif sosial pun (usaha
rekreasi, Rumah Sakit, dll) yang menggunakan instalasi listrik dan atau
mekanik, juga terdapat bahaya (potensi bahaya tersetrum, korsleting
dan kebakaran dari listrik dan peralatan mesin lainnya).
2) UU No. 21 tahun 2003 tentang pengesahan ILO Convention No. 81
Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce (yang mana
disahkan 19 Juli 1947). Saat ini, telah 137 negara (lebih dari 70%)
anggota ILO meratifikasi (menyetujui dan memberikan sanksi formal)
ke dalam undang-undang, termasuk Indonesia. Terdapat 4 alasan
Indonesia meratifikasi ILO Convention No. 81 ini, salah satunya
adalah point 3 yaitu baik UU No. 3 Tahun 1951 dan UU No. 1 Tahun
1970 keduanya secara eksplisit belum mengatur kemandirian profesi
pengawas ketenagakerjaan serta Supervisi tingkat pusat (yang diatur
dalam pasal 4 dan pasal 6 Konvensi tersebut) – sumber dari Tambahan
Lembaran Negara RI No. 4309.
3) UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, khususnya paragraf 5
tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, pasal 86 dan 87. Pasal 86
ayat 1 berbunyi: “Setiap pekerja/ buruh mempunyai hak untuk
memperoleh perlindungan atas (a) Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”
Aspek ekonominya adalah Pasal 86 ayat 2: ”Untuk melindungi
keselamatan pekerja/ buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang
optimal diselenggarakan upaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”
Sedangkan kewajiban penerapannya ada dalam pasal 87: “Setiap
perusahaan wajib menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja yang terintegrasi dengan Sistem Manajemen
Perusahaan.”
4) Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-05/MEN/1996 tentang
Sistem Manajemen K3. Dalam Permenakertrans yang terdiri dari 10
bab dan 12 pasal ini, berfungsi sebagai Pedoman Penerapan Sistem
Manajemen K-3 (SMK3), mirip OHSAS 18001 di Amerika atau BS
8800 di Inggris.
BAB III
KASUS
BAB IV
PEMBAHASAN

Nyeri punggung bawah (NPB) merupakan salah satu masalah kesehatan


okupasi (occupational health problems) yang tertua. Nyeri punggung bawah
adalah salah satu penyakit akibat kerja yang sering terjadi pada perawat di rumah
sakit, terutama di ruang rawat inap karena sifat pekerjaannya yang banyak
mengangkat beban pasien dewasa yang berat, dengan gerakan membungkuk dan
memutar tubuh, khususnya sekitar tulang punggung bawah. Rata-rata seorang
perawat akan mengangkat 20 pasien dari kursi roda/ usungan ke tempat tidur, dan
memindahkan 5 s.d. 10 pasien dari tempat tidur ke kursi roda pada setiap kali
giliran jaga.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi masalah
kesehatan kerja yang sering menimpa para perawat di rumah sakit. Salah satu
penelitian yang telah dilakukan yaitu oleh Widiyanti, Basuki dan Jannis (2009)
dengan judul “Hubungan Sikap Tubuh Saat Mengangkat dan Memindahkan
Pasien pada Perawat Perempuan dengan Nyeri Punggung Bawah” yang
bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penentu terjadinya nyeri punggung
bawah pada perawat perempuan yang bekerja di ruang rawat inap pasien dewasa
di Rumah Sakit. Sebanyak 422 orang perawat yang diikutsertakan pada penelitian
potong lintang pada sebuah rumah sakit di bangsal rawat inap ini mengikuti
skrining untuk didiagnosis nyeri punggung bawah yaitu dengan kriteria: (1)
Numeric Pain Intensity Scale (NPIS) (+); (2) Lasegue test (-); (3) ada nyeri tekan
pada palpasi dan perkusi lumbo-sakral; (4) Tidak memiliki riwayat hernia nukleus
pulposus. Untuk penelitian kasus-kontrol, responden dipilih secara acak sebanyak
58 perawat yang menderita NPB pada saat penelitian (kasus) dan 58 perawat yang
tidak menderita NPB (kontrol) dengan cara padanan (matching) umur. Sebelum
penelitian dilakukan, diadakan wawancara dengan pimpinan pelatihan perawat
untuk menanyakan apakah ada pelatihan cara mengangkat dan memindahkan
pasien dari kursi roda ke tempat tidur, apakah ada supervisi berkala sewaktu
perawat melakukan pekerjaan sehari-hari, apakah ada penyediaan APD (misalnya
korset) dan alat bantu kerja. Sebelum dilakukan wawancara maka setiap perawat
perempuan yang bersedia ikut diminta mengisi formulir kesediaan setelah
sebelumnya diberikan penjelasan.

Faktor Risiko NPB


Beberapa keadaan merupakan faktor risiko dari NPB, seperti yang telah
ditemukan pada beberapa penelitian sebelumnya. Pada tabel 1 memperlihatkan
sebaran responden kelompok kasus dan kontrol berdasarkan tinggi badan, IMT,
masa kerja, jumlah rerata pasien yang diangkat dari kursi roda ke tempat tidur,
sudut lengkung punggung pada waktu mengangkat dan memindahkan pasien dari
kursi roda ke tempat tidur, dan cara mengangkat pasien.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi nyeri punggung bawah sebesar
23,0% dari 422 pekerja yang diperiksa. Prevalensi ini lebih kecil dibandingkan
dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh J.
Smedley, dan kawan-kawan di Inggris pada 1995, dengan metode cross-sectional
menunjukkan NPB banyak terjadi pada perawat. Dari 1616 perawat perempuan
yang diteliti, ternyata prevalensi NPB selama hidup (lifetime prevalence) 60% dan
prevalensi tahunan (annual prevalence) sebesar 45%.

Hubungan antara Faktor Risiko dan NPB


Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara tinggi badan dengan NPB. Tinggi badan sebagai faktor risiko
NPB memang masih diperdebatkan. Penelitian Palmer KT dan kawan-kawan
(2002) memperlihatkan lebih besarnya prevalensi NPB pada orang yang lebih
tinggi. Berat badan yang berlebih menyebabkan tonus otot abdomen lemah,
sehingga pusat gravitasi seseorang akan terdorong ke depan dan menyebabkan
lordosis lumbalis akan bertambah yang kemudian menimbulkan kelelahan pada
otot paravertebra, hal ini merupakan risiko terjadinya NPB. Pada penelitian ini
status gizi tidak berhubungan bermakna dengan NPB. Riihimaki berpendapat
bahwa hubungan antara postur tubuh dan kelebihan berat badan masih
kontradiksi, namun Fuortes et al (1994) menemukan bahwa overweight dan
obesitas merupakan faktor risiko NPB dengan OR masing-masing 2,1 dan 3,2.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh fakta bahwa 12,1% perawat
memiliki masa kerja >5 tahun. Hanne Christensen etal (1995) pada pekerja
perusahaan kayu dan furniture, menunjukkan bahwa NPB berhubungan dengan
umur dan masa kerja yang lebih lama. Namun pada penelitian ini tidak ditemukan
hubungan bermakna antara masa kerja perawat dengan NPB. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Siswarti yang tidak menemukan hubungan antara masa
kerja dengan NPB pada perajin pelat logam.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa 39,5% perawat mengangkat
pasien dari kursi roda ke tempat tidur sebanyak >3 orang per minggu, dan hanya
3,4% perawat mengangkat pasien dengan cara yang kurang baik. Tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara jumlah rerata pasien yang diangkat dari kursi
roda ke tempat tidur maupun cara mengangkat pasien dengan NPB. Hasil ini
sesuai dengan penelitian Ernawati yang memperlihatkan bahwa frekuensi
mengangkat, dan cara mengangkat beban secara statistik tidak terbukti
berhubungan dengan NPB.
Sikap tubuh yang diamati dengan mengukur sudut lengkung punggung
perawat pada waktu membuka kunci kursi roda dalam proses mengangkat dan
memindahkan pasien dari kursi roda ke tempat tidur, ternyata berhubungan
bermakna dengan NPB (p=0,03; OR 4,5; 95% CI 4,4-4,6). Hal ini berarti perawat
yang melakukan pekerjaan dengan membungkuk dengan sudut lengkung
punggung >45° mempunyai risiko 4,5 kali untuk terjadinya NPB dibandingkan
dengan perawat yang membungkuk dengan sudut lengkung punggung <45°.
Dengan demikian hipotesis yang diajukan pada penelitian ini dapat diterima. Hasil
penelitian ini sama dengan penelitian Siswarti yang mendapatkan bahwa pekerja
dengan sikap tubuh kurang baik mempunyai risiko 3,5 kali untuk terjadinya NPB.
Penelitian Insya pada pekerja hotel juga menunjukkan bahwa pekerja dengan
sikap tubuh membungkuk berisiko 6,4 kali untuk mengalami NPB dibandingkan
dengan mereka yang bekerja tidak dengan membungkuk. Penelitian yang
dilakukan oleh Keyserling (1986) dan kawan-kawan juga mendukung hasil
penelitian ini yakni risiko terkena NPB pada pekerja dengan fleksi punggung
sedang (20-45°) sebesar 5 kali dan fleksi punggung kuat (>45°) sebesar 6 kali
kontrol. Perawat pada penelitian ini melakukan gerakan membungkuk dengan
sudut lengkung punggung >45° pada waktu membuka kunci kursi roda dalam
proses mengangkat dan memindahkan pasien dari kursi roda ke tempat
tidurkarena tinggi kursi roda yang lebih rendah daripada tinggibadan perawat.
Gerakan ini menimbulkan rasa nyeri dipunggung bawah. Mengingat bahwa
jumlah rerata pasienyang diangkat hanya sekitar 3 orang per minggu, perlu
dipikirkan mungkin ada faktor-faktor lain yang menjadi penyebab NPB pada
responden, antara lain gerakan-gerakan yang terjadi pada waktu melakukan
pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan lain sebagai perawat misalnya
memandikan pasien dan atau merapikan tempat tidur. Akan tetapi pada penelitian
ini tidak dilakukan pengamatan terhadap jenis pekerjaan lain tersebut di atas,
sehingga masih ada kemungkinan NPB disebabkan juga oleh pekerjaan tersebut.
Bila dilihat pada tabel 2, terdapat perbedaan hasil penelitian antara sudut
lengkung punggung dengan cara mengangkat pasien sebanyak 94,8% kasus
membungkuk dengan sudut lengkung punggung >45°, sedangkan pada cara
mengangkat pasien yang kurang baik di peroleh kasus sebanyak 3,4%. Hasil
kedua faktor risiko tersebut tidak sejalan, karena kedua faktor risiko tersebut
merupakan dua hal yang berbeda yakni sudut lengkung punggung diukur pada
saat perawat membungkuk untuk membuka kunci kursi roda, sedangkan cara
mengangkat pasien diukur dengan melihat apa yang dilakukan perawat pada saat
mengangkat pasien, dari ketiak dengan menggunakan 2 tangan atau mengangkat
dari pinggang dengan 2 atau 1 tangan.
Dari wawancara dan pengamatan yang dilakukan dirumah sakit ini
diperoleh hasil belum pernah dilakukan pelatihan cara bekerja yang sesuai dengan
standar ergonomi, misalnya sikap tubuh yang baik saat bekerja. Seyogyanya
rumah sakit membuat SOP mengenai cara bekerja yang baik dan benar bagi
karyawan pada umumnya, khususnya para perawat yang bekerja di rumah sakit
ini. Selain itu perlu dilakukan surveilans laporan kesehatan dan keselamatan kerja
oleh tim K3 rumah sakit untuk mengidentifikasi pola cedera atau penyakit yang
paling sering terjadi agar cedera yang lebih berat dapat dihindari. Jobanalysis juga
perlu dilakukan untuk mengidentifikasi pekerja yang terpajan faktor-faktor risiko
yang menyebabkan sering terjadinya cedera atau penyakit; job design and
redesign bila perlu untuk mengurangi atau mengeliminasi faktor-faktor risiko
ergonomi. Demikian pula perlu disediakan alat pelindung diri (APD) misalnya
korset dan alat bantu kerja, contohnya Hoyer’s lift. Perawat perlu memelihara
sendi dan otot yang fleksibel dan kuat dengan latihan olah raga yang baik dan
benar.

Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan oleh tim K3 rumah sakit
untuk mencegah NPB antara lain dengan memberikan pelatihan cara bekerja yang
sesuai dengan standar ergonomi, seperti misalnya sikap tubuh yang baik saat
bekerja yakni tubuh tegak, dada terangkat, bahu santai. Pemeriksaan radiologis
sebenarnya diperlukan untuk menyingkirkan kelainan anatomis atau penyakit
degenerative pada tulang belakang khususnya vertebra lumbosakral. Namun
karena keterbatasan biaya, maka pemeriksaan ini tidak dilakukan. Implikasi
terhadap hasil penelitian ini adalah kejadian NPB pada kelompok kasus dapat pula
disebabkan oleh penyakit-penyakit tersebut yang belum disingkirkan.
Selain itu, pada penelitian lain yang berjudul “The Incidence of Low Back
Pain among Theatre Nurses: A Case Study of University of Ilorin and Obafemi
Awolowo University Teaching Hospital” oleh Christiana D. Hinmikaiye dan
Eunice I. Bamishaiye (2012) menemukan bahwa dari 80 perawat yang menjadi
subjek penelitan, sebanyak 57 (78,1%) perawat mengalami NPB untuk pertama
kalinya tepat setelah mereka mulai menjadi seorang perawat. Nyeri yang biasa di
rasakan perawat terdapat pada punggung bagian bawah (77,9%). Menurut
penelitian ini juga, perawat kebanyakan meminum obat anti nyeri untuk mengatasi
NPB yang dirasakan (46,25%) sementara kegiatan yang menyebabkan perawat
merasakan NPB adalah memindahkan pasien baik itu dari kursi ke tempat tidur
ataupun sebaliknya(50%).
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kondisi dunia kesehatan yang semakin hari semakin membutuhkan
profesionalitas yang tinggi menuntut pihak penyedia layanan kesehatan
(dalam hal ini rumah sakit) untuk menyediakan fasilitas yang di dalamnya
terdapat variabel jaminan mutu pelayanan. Salah satu elemen dari variabel
itu adalah perawat, dimana perawat adalah salah satu tenaga kesehatan
yang paling sering berhadapan dengan pasien dalam usahanya
memberikan pelayanan keperawatan.
Perawat merupakan tenaga kesehatan di rumah sakit yang memiliki
tugas sangat bervariasi, antara lain mengangkat dan mendorong pasien.
Posisi yang salah atau tidak ergonomis dalam melakukan pekerjaan sering
menimbulkan ketidaknyamanan, salah satunya adalah low back pain.
Seorang perawat yang mengalami low back pain akan terganggu
produktivitas kerjanya. Produktivitas kerja yang menurun pada akhirnya
akan berdampak pada kualitas pelayanan pasien.
Low Back Pain atau Nyeri Punggung Bawah merupakan salah satu
masalah kesehatan okupasi (occupational health problems) yang tertua.
Penemu ilmu kedokteran okupasi (occupational medicine), yaitu
Ramazzini B (1713), menyatakan bahwa gerakan-gerakan tertentu, yang
bersifat kasar dan tidak beraturan, disertai posisi tubuh yang tidak alami
dapat menyebabkan kerusakan struktur tubuh.
Keselamatan dan kesehatan kerja pada dasarnya mencari dan
mengungkapkan kelemahan yang memungkinkan terjadinya kecelakaan.
Fungsi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu mengungkapkan sebab-
akibat suatu kecelakaan dan meneliti apakah pengendalian secara cermat
dilakukan atau tidak (Bagus, 2009).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi
masalah kesehatan kerja yang sering menimpa para perawat di rumah
sakit. Salah satu penelitian yang telah dilakukan yaitu oleh Widiyanti,
Basuki dan Jannis (2009) dengan judul “Hubungan Sikap Tubuh Saat
Mengangkat dan Memindahkan Pasien pada Perawat Perempuan dengan
Nyeri Punggung Bawah” yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor
penentu terjadinya nyeri punggung bawah pada perawat perempuan yang
bekerja di ruang rawat inap pasien dewasa di Rumah Sakit.
Selain itu, pada penelitian lain yang berjudul “The Incidence of
Low Back Pain among Theatre Nurses: A Case Study of University of
Ilorin and Obafemi Awolowo University Teaching Hospital” oleh
Christiana D. Hinmikaiye dan Eunice I. Bamishaiye (2012) menemukan
bahwa dari 80 perawat yang menjadi subjek penelitan, sebanyak 57
(78,1%) perawat mengalami NPB untuk pertama kalinya tepat setelah
mereka mulai menjadi seorang perawat.
Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan oleh tim K3 rumah
sakit untuk mencegah NPB antara lain dengan memberikan pelatihan cara
bekerja yang sesuai dengan standar ergonomi, seperti misalnya sikap
tubuh yang baik saat bekerja yakni tubuh tegak, dada terangkat, bahu
santai. Pemeriksaan radiologis sebenarnya diperlukan untuk
menyingkirkan kelainan anatomis atau penyakit degenerative pada tulang
belakang khususnya vertebra lumbosakral. Namun karena keterbatasan
biaya, maka pemeriksaan ini tidak dilakukan sehingga kasus seperti ini
masih belum dapat disingkrikan secara total.

B. Saran
a. Bagi Mahasiswa
- Agar dapat lebih memahami tentang LBP (Low Back Pain) atau
NPB (Nyeri Punggung Bawah).
- Agar dapat lebih waspada tentang kejadian LBP (Low Back Pain)
di lingkungan sekitar dan segera menganjurkan untuk dirujuk ke
tempat pelayanan sehingga dapat ditangani dengan lebih dini.
b. Bagi Masyarakat
- Agar lebih waspada dengan berbagai macam kejadian yang dapat
memicu penyebab terjadinya LBP (Low Back Pain) di
lingkungannya.
- Agar lebih memperhatikan aktivitas atau perilaku anggota
keluarganya khususnya bagi yang mempunyai pekerjaan yang
rentan terhadap LBP (Low Back Pain) sehingga dapat ditangani
lebih dini jika terdapat suatu tanda atau gejala orang tersebut.
c. Bagi Tenaga Ahli
- Agar dapat menyediakan tempat konsultasi dan pemeriksaan untuk
masyarakat sehingga angka kejadian LBP (Low Back Pain) dapat
ditangani lebih dini.
.
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, D. 2009. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) : Definisi, Indikator


Penyebab dan Tujuan Penerapan Keselatan dan Kesehatan Kerja.
Diakses hari rabu 17 September 2014 pukul 9.03 PM. http://jurnal-
sdm.blogspot.com/2009/10/kesehatan-dan-keselamatan-kerja-k3.html
Cahyati, A. 2012. Merawat tanpa Nyeri Punggung Bawah (NPB). Program
Magister Fakultas Ilmu Keperawatan Peminatan Keperawatan Medikal
Bedah Universitas Indonesia. (Makalah)
Efendi, F., Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan
Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Effendy, N. 1998. Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
EGC
Jeyaratnam, J., Koh, D. 2009. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja. Jakarta: EGC
Widiyanti, E.C.L., Basuki, E. Jannis, J. 2009. Hubungan Sikap Tubuh Saat
Mengangkat dan Memindahkan Pasien pada Perawat Perempuan dengan
Nyeri Punggung Bawah. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol: 59: No.3
http://digilib.unimus.ac.id/files
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/7029
http://www.hiperkes.co.cc/

Anda mungkin juga menyukai