Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kusta atau disebut juga Morbus Hansen (MH) merupakan infeksi kronik pada kulit
yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Predileksi awal penyakit ini adalah saraf
perifer dan kulit, selanjutnya dapat mengenai mukosa saluran pernafasan dan organ-organ
lain, tetapi tidak mengenai saraf pusat (Menaldi, 2015). Menurut World Health
Organization (WHO) kusta merupakan salah satu dari tujuh belas penyakit tropis yang
terabaikan dan membutuhkan perhatian khusus dunia (Smith, 2012). Kusta dikenal juga
sebagai “The Great Imitator Disease” karena manifestasi yang mirip dengan banyak
penyakit kulit lainnya seperti infeksi jamur kulit, sehingga seseorang jarang menyadari
bahwa dirinya telah menderita kusta (Widoyono, 2008).
Prevalensi penyakit kusta di dunia masih tinggi. World Health Organization
(WHO) mencatat pada tahun 2014, sebanyak 213.899 penemuan kasus baru kusta
terdeteksi di seluruh dunia dengan kasus tertinggi berada di regional Asia Tenggara yakni
sebesar 154.834 kasus. Prevalensi kusta pada awal tahun 2015 didapatkan sebesar 0,31 per
100.000 penduduk. Indonesia menduduki peringkat ketiga negara dengan endemik kusta
terbanyak setelah India dan Brazil.
Indonesia merupakan negara tropis dan termasuk salah satu daerah endemik kusta.
Data Profil Kesehatan Republik Indonesia mencatat angka penemuan kasus baru kusta
pada tahun 2013 sebanyak 16.856 kasus. Sebesar 83,4% kasus di antaranya merupakan
tipe Multi Basiler dan 35,7% kasus berjenis kelamin perempuan. Terdapat 1.041 kasus
baru kusta yang terdeteksi antara tahun 2006 hingga 2009 di Jakarta (Widodo,2012). Pada
tahun 1991, World Health Assembly (WHA) membuat suatu resolusi mengenai eliminasi
kusta pada tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta menjadi dibawah 1 kasus per
10.000 penduduk (WHO, 2015). Resolusi ini di Indonesia dikenal sebagai Eliminasi Kusta
Tahun 2000 (EKT 2000). Meski Indonesia telah mencapai target eliminasi nasional, tetapi
14 wilayah Indonesia terutama bagian timur masih merupakan daerah dengan beban kusta
tinggi (angka penemuan kasus baru ≥10 per 100.000) (Depkes RI, 2013).
Faktor penting dalam terjadinya kusta adalah adanya sumber penularan dan sumber
kontak, baik dari penderita maupun dari lingkungan. Penderita kusta yang tidak diobati
dapat menjadi sumber penularan kepada orang lain, terutama penderita tipe multibasiler

1
yang berkaitan dengan banyaknya jumlah kuman pada lesi (Depkes RI, 2012). Orang-
orang yang kontak serumah dengan penderita multibasiler berisiko 4x lebih tinggi tertular
kusta (Moet, 2006). Hal ini berkaitan dengan tingginya frekuensi paparan terhadap
penderita yang mengandung kuman kusta, sehingga menyebabkan kasus kusta semakin
bertambah setiap tahunnya.

1.2 Rumusan Masalah


1) Apa pengertian dari Morbus Hansen (kusta)?
2) Bagaimana epideminologi dari kusta?
3) Bagaimana etiologi penyakit kusta?
4) Bagaimana patofisiologi kusta?
5) Apa saja gejala dan tanda penyakit kusta?
6) Apa saja faktor penyebab timbulnya penyakit kusta?
7) Apa saja klasifikasi kusta?
8) Bagaimana gambaran klinis penyakit kusta?
9) Apa saja pemeriksaan diagnostik penyakit kusta?
10) Bagaimana penatalaksanaan pada penderita penyakit kusta?
11) Bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis
kusta?

1.3 Tujuan
1) Mengetahui pengertian dari Morbus Hansen (kusta)
2) Mengetahui epideminologi dari penyakit kusta
3) Mengetahui etiologi penyakit kusta
4) Mengetahui patofisiologi penyakit kusta
5) Mengetahui gejala dan tanda penyakit kusta
6) Mengetahui faktor penyebab timbulnya penyakit kusta
7) Mengetahui klasifikasi kusta
8) Mengetahui gambaran klinis penyakit kusta
9) Mengetahui pemeriksaan diagnostik penyakit kusta
10) Mengetahui penatalaksanaan pada penderita penyakit kusta
11) Mengetahui Asuhan Keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis
kusta

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian

Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi


Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata,
otot, tulang dan testis kecuali susunan saraf pusat. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi
dapat asimtomatik, namun sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai
kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki.

2.2 Epideminologi
Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui secara
pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis.
Dapat menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada kelompok umur antara 30-50
tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita.
Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan pola
penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000 Indonesia secara
nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun tahun 2002 sampai dengan
tahun 2006 terjadi peningkatan penderita kusta baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita
kusta baru di Indonesia sebanyak 17.921 orang. Propinsi terbanyak melaporkan penderita
kusta baru adalah Maluku, Papua, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi
lebih besar dari 20 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2010, tercatat 17.012 kasus baru
kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk sedangkan pada
tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 8,03
per 100.000 penduduk.

3
2.3 Etiologi
Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang ditemukan oleh GH
Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman ini bersifat
tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron dan lebar 0,2 - 0,5 mikron,
biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan
yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat
menyebabkan infeksi sistemik pada binatang armadilo.

4
Secara skematik struktur M. leprae terdiri dari :
A. Kapsul
Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan elektron dari bahan
berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara struktur khas bentuk M.
leprae . Zona transparan ini terdiri dari dua lipid,
phthioceroldimycoserosate, yang dianggap memegang peranan protektif
pasif, dan suatu phenolic glycolipid, yang terdiri dari tiga molekul gula
hasil metilasi yang dihubungkan melalui molekul fenol pada lemak
(phthiocerol). Trisakarida memberikan sifat kimia yang unik dan sifat
antigenik yang spesifik terhadap M. Leprae.

B. Dinding sel
Dinding sel terdiri dari dua lapis, yaitu:
1) Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung
lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan yang
diesterifikasi dengan rantai panjang asam mikolat , mirip dengan yang
ditemukan pada Mycobacteria lainnya.
2) Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan: karbohidrat yang
dihubungkan melalui peptida-peptida yang memiliki rangkaian asam-
amino yang mungkin spesifik untuk M. leprae walaupun peptida ini
terlalu sedikit untuk digunakan sebagai antigen diagnostik.

C. Membran
Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu membran
yang khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan keluar
organisme. Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein sebagian besar
berupa enzim dan secara teori merupakan target yang baik untuk
kemoterapi. Protein ini juga dapat membentuk ‘antigen protein permukaan’
yang diekstraksi dari dinding sel M. leprae yang sudah terganggu dan
dianalisa secara luas.

D. Sitoplasma
Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material
genetik asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan

5
protein yang penting dalam translasi dan multiplikasi. Analisis DNA
berguna dalam mengkonfirmasi identitas sebagai M. leprae dari
mycobacteria yang diisolasi dari armadillo liar, dan menunjukkan bahwa
M. leprae, walaupun berbeda secara genetik, terkait erat dengan M.
tuberculosis dan M. Scrofulaceum.

2.4 Patofisiologi
Mekanisme penularan penyakit Morbus Hansen diawali dari kuman
Mycobacterium Leprea. Kuman ini biasanya berkelompok dan hidup dalam sel serta
mempunyai sifat tahan asam (BTA) . Kuman Morbus Hansen ini pertama kali menyerang
saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian
atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali susunan saraf pusat.
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan
seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti bahwa tidak semua
orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika
juga ikut berperan.
Kerusakan saraf pada pasien Morbus Hansen diakibatkan M.Leprae yang memiliki
bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan dengan sel
schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC (Major
Histocompatibility Complex) kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan
mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag
gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindungi di dalam
makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang makrofag bekerja terus-menerus
untuk menghasilkan sitokin dan GF(Growht Factor) yang lebih banyak lagi. Sitokin dan
GF tidak mengenal bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang
rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel
schwann merupakan APC non professional. Akibatnya akan mengalami gangguan fungsi
saraf tepi seperti sensorik, motorik dan otonom. Serangan terhadap fungsi sensorik akan
menyebabkan terjadinya luka pada tangan atau kaki, yang selanjutnya akan mati rasa
(anestasi). Kerusakan fungsi motorik akan mengakibatkan lemah atau lumpuhnya otot kaki
atau tangan, jari-jari tangan atau kaki menjadi bengkok. Rusaknya fungsi otonom berakibat
terjadinya gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras, dan pecah-pecah yang pada akhirnya
akan membuat si penderita cacat seumur hidup.

6
Kelainan juga terjadi pada kulit, dalam hal ini dapat berupa hipopigmentasi
(semacam panu) bercak-bercak merah, infiltrat (penebalan kulit) dan nodul (benjolan).
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar
palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia.
Penyakit ini dapat menimbulkan ginekomastia akibat gangguan keseimbangan
hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis. Penderita
lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat
menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.
Pada kornea mata akan terjadi kelumpuhan pada otot mata mengakibatkan kurang
atau hilangnya reflek kedip, sehingga mata akan mudah kemasukan kotoran dan benda-
benda asing yang dapat menimbulkan kebutaan. Kerusakan mata pada kusta dapat primer
dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat
mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat
membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan
lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya.
Secara sendirian atau bersama – sama akan menyebabkan kebutaan.

2.5 Gejala dan Tanda


Gejala kusta antara lain :
a) Bercak putih (hipopigemtasi) yang mati rasa biasanya daerah bercak putih
tidak ada keringat dan bulu.
b) Adanya penebalan saraf tepi dengan disertai gangguan fungsi (hanya dapat
diidentifikasi oleh tenaga yang sudah ahli atau terlatih).
c) Gangguan fungsi saraf meliputi mati rasa/kurang rasa, pareses dan paralisis,
kulit kering, retak dan edema (bengkak).
Ada beberapa tanda yang bisa didapatkan pada penderita kusta :
a) Tanda pada kulit bercak kulit yang merah, kulit yang mengkilap. Bercak
tidak gatal, lesi kulit yang tidak berkeringat atau berambut.
b) Tanda pada saraf rasa kesemutan , tertusuk-tusuk atau nyeri, gangguan
gerak pada anggota badan atau wajah
c) Cacat/deformitas
d) Ulkus yang tidak kun juang sembuh.

7
2.6 Faktor Yang Menyebabkan Timbulnya Penyakit Kusta
Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu
ditakuti, namun hal ini tergantung pada beberapa faktor, yaitu:
a) Patogenesis kuman Mycobacterium leprae, kuman Kusta tersebut masih utuh
bentuknya maka memiliki kemungkinan penularan lebih besar daripada
bentuk kuman yang telah hancur akibat pengobatan.
b) Cara penularan, melalui kontak langsung dengan daerah yang terdapat lesi
basah, berganti-gantian baju, handuk, melalui sekret serta udara.
c) Keadaan sosial ekonomi yang terbatas sehingga dalam memenuhi kebutuhan
hidup seperti makanan yang bergizi, tempat tinggal yang kumuh.
d) Higiene dan sanitasi berhubungan dengan keadaan sosial juga dimana orang-
orang yang mengalami keadaan sosial rendah tidak bisa memenuhi kebutuhan
hygienenya seperti membeli sabun, kebersihan air tidak terjamin akibat
permukiman padat penduduk, ventilasi rumah yang tidak bagus, pencahayaan
yang kurang baik.
e) Daya tahan tubuh, imun tubuh juga mempengaruhi dalam masuk dan
berkembangnya virus M.Leprae.

2.7 Klasifikasi Kusta


1) Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa,
dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat
ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik
dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau
tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba,
kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan tanda
terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.
2) Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya
gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya
ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3) Tipe Mid Borderline (BB)

8
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan
jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif,
permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah
lesi punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan
berbatas jelas.
4) Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat
menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas
dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya
melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan
infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out. Tanda-tanda
kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.
5) Tipe Lepromatous Leprosy
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih
eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan
anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi,
pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan mengenai bagian badan yang
dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor tungkai. Pada stadium
lanjut, tampapenebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, facies leonina,
madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan
orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas
menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut
serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang
menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.

2.8 Gambaran Klinis


Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling
a. Tipe Tuberkoloid ( TT )
 Mengenai kulit dan saraf.
 Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas
jelas, regresi, atau, kontrol healing ( + ).

9
 Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama
dengan psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf
perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
 Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda
adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.

b. Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )


 Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
 Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas
tipe TT.
 Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
 Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.

c. Tipe Mid Borderline ( BB )


 Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
 Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
 Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi
melebihi tipe BT, cenderung simetris.
 Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
 Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk
oralpada bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas
tipe ini.

d. Tipe Borderline Lepromatus ( BL )


 Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke
seluruh tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya,
beberapa nodus melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak
seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi,
hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih
cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat
teraba pada tempat prediteksi.

10
e. Tipe Lepromatosa ( LL )
 Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma,
berkilap, batas tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan
anhidrosis pada stadium dini.
 Distribusi lesi khas : Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga dan
Badan : bagian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor
tingkat bawah.
 Stadium lanjutan :Penebalan kulit progresif, Cuping telinga
menebal, Garis muka kasar dan cekung, membentuk fasies leonine,
dapat disertai madarosis, intis dan keratitis.
 Lebih lanjut : Deformitas hidung, Pembesaran kelenjar limfe, orkitis
atrofi, testis, Kerusakan saraf luas, gejala stocking dan glouses
anestesi, Penyakit progresif, makula dan popul baru, Timbul lesi
lama terjadi plakat dan nodus.
 Stadium lanjut : Serabut saraf perifer mengalami degenerasi
hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan
kaki.

f. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley &
Jopling)
 Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar
normal.
 Lokasi bagian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-
kadang dapat ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan
saraf.
 Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
 Sebagian sembuh spontan.

Gambaran klinis organ lain:


 Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
 Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana
 Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis
 Lidah : ulkus, nodus

11
 Larings : suara parau
 Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi
 Kelenjar limfe : limfadenitis
 Rambut : alopesia, madarosis
 Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis
interstitial.

2.9 Pemeriksaan Diagnostik


1. Inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata, menggerakan mulut, bersiul, dan
tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit di seluruh
tubuh diperhatikan, seperti adanya makula, nodul, jaringan parut, kulit yang
keriput, penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis).
2. Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba),
jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan dingin dalam
tabung reaksi (rasa suhu).
3. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada : n. auricularis magnus, n.
ulanaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n. tibialis posterior. Hasil
pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan
adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat
saraf diraba.
4. Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan pada
lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta.

Klasifikasi Pause Basiler dan Multi Basiler menurut P2MPLP


Kelainan kulit dan hasil Tipe Pause Basiler Tipe Multi Basiler
pemeriksaan bakteriologis
1. Bercak (makula)
a. Jumlah 1-5 Banyak
b. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
c. Distribusi Unilateral atau bilateral Bilateral, simetris
asimetris

d. Permukaan Kering dan kasar Halus, berkilat

12
e. Batas Tegas Kurang tegas
f. Gangguan sensitibilitas Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika
ada, terjadi pada yang
sudah lanjut

g. Kehilangan kemampuan Bertcak tidak berkeringat, Bercak masih


berkeringat, bulu rontok ada bulu rontok pada berkeringat, bulu tidak
pada bercak bercak rontok

2. Infiltrat
a. Kulit Tidak ada
Ada, kadang-kadang
tidak ada
b. Membrana mukosa Tidak pernah ada
(hidung tersumbat Ada, kadang-kadang
pendarahan di hidung) tidak ada

3. Nodulus Tidak ada


Kadang-kadang ada
4. Penebalan syaraf tepi Lebih sering terjadi dini,
asimetris Terjadi pada yang lanjut,
biasanya lebih dari satu
dan simetris
5. Deformitas (cacat) Biasanya asimetris terjadi
dini Terjadi pada usia lanjut

6. Sediaan apus BTA negatif


BTA positif
7. ciri-ciri khusus Central healing
penyembuhan di tengah punched

13
Dikutip dan dimodifikasi dari Buku Panduan Pemberantasan Kusta Depkes (1999)

Klasifikasi Pause Basiler dan Multi Basiler berdasarkan WHO (1995)


Tipe Pause Basiler Tipe Multi Basiler
Lesi kulit  1-5 lesi  5
(macula datar,  Hipopigmentasi/eritema  Distribusi
papul yang  Distribusi tidak simetris lebih simetris
meninggi, nodus)  Hilangnya sensasi yang  Hilangnya
jelas sensasi

Kerusakan saraf  Hanya satu cabang saraf  Banyak


(menyebabkan cabang saraf
hilangnya
sensasi/kelemaha
n otot yang
dipersarafi oleh
saraf yang
terkena)

Dikutip dan dimodifikasi dari WHO (1995)


5. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :
 Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif
 Kulit muka sebaiknya dihindari karena lalasan kosmetik, kecuali tidak
ditemukan lesi di tempat lain
 Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila
perluditambah dengan lesi kulit yang baru timbul
 Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan M. leprae ialah :
a) Cuping telinga kiri/kanan
b) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif di tempat lain

14
 Sediaan dari selaput lender hidung sebaiknya dihindari karena :
a) Tidak menyenangkan pasien
b) Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c) Tidak pernah ditemukan M. leprae pada selaput lendir hidung
apabila sediaan apus kulit negative
d) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lender hidung
lebih dahulu negative daripada sediaan kulit ditempat lain
 Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
a) Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien
kusta
c) Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena
tersangka kuman resisten terhadap obat
d) Semua pasien Multi Basiler setiap satu tahun sekali
 Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu
Ziehl Neelsen atau Kinyoun-gabett.
 Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode, yaitu cara
zig zag, huruf z, dan setengah/ seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang
mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented),
granular (granulates), globus, dan clamps.

6. Indeks Bakteri (IB)


Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus, IB
digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.
Penilaian dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai berikut :
0 Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
+1 Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
+2 Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
+3 Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+4 Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+5 Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+6 Bila > 1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

15
7. Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan
untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan
membantu menentukan resistensi terhadap obat.
Contoh menghitung IB dan IM sebagai berikut :

Lokasi pengambilan Kepadatan Solid Fragmented/granulated


 Daun telinga kiri 5+ 5 95
 Daun telinga kanan 4+ 6 94
 Paha kiri 4+ 3 97

 Bokong kanan 4+ 4 96

17 + 18 382

2.10 Penatalaksanaan
1. Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insidens penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin dan DDs dmluai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi
resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien,
menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam
jaringan.
2. Perawatan Umum
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan.
Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik
karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.
a) Perawatan mata dengan lagophthalmos
 Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran
 Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
 Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
b) Perawatan tangan yang mati rasa

16
 Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda-tanda luka,
melepuh
 Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebihkurang setengah
jam
 Keadaan basah diolesi minyak
 Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
 Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
 Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
c) Perawatan kaki yang mati rasa
 Penderita memeriksa kaki tiap hari
 Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
 Masih basah diolesi minyak
 Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
 Jari-jari bengkok diurut lurus
 Kaki mati rasa dilindungi
d) Perawatan luka
 Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
 Luka dibalut agar bersih
 Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
 Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas

17
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

MORBUS HANSEN

3.1 Pengkajian

A. Biodata
 Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-
anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda.
 Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat
kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar
penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan
adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-
kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi
pada organ tubuh.
C. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam
kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
D. Riwayat Kesehatan Keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya
diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit
morbus hansen akan tertular.
E. Riwayat Psikososial
Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita morbus
hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa
penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan
menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena
penurunan.

18
F. Pola Aktivitas Sehari-hari
 Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan
kaki maupun kelumpuhan.
 Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri
karena kondisinya yang tidak memungkinkan.
G. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat
pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya
gangguan saraf tepi motorik.
1. Sistem penglihatan.
 Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik,
 kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi
infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi
kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta.
 Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada
organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause
basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.
2. Sistem pernafasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan.
3. Sistem persarafan:
Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa.
Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka,
sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.
Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-
lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan
kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi
(kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat
dirapatkan (lagophthalmos).

19
Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras
dan akhirnya dapat pecah-pecah.
4. Sistem muskuloskeletal.
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
5. Sistem integumen.
Terdapat kelainan berupa:
• hipopigmentasi (seperti panu),
• bercak eritem (kemerah-merahan),
• infiltrat (penebalan kulit),
• nodul (benjolan).
Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat,
kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal,
mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika
terdapat bercak.
Harus diperiksa kelenjar regional karena dapat ditemukannya pembesaran
dari beberapa limfe.

1. Inspeksi
 Kaji adanya ruam,
 hipo pigmentasi atau hiprpigmentasi
 eritematosa dengan permukaan yang kasar atau licin dengan batas
yang kurang jelas.
 Pada tipe tuberkuloid dapat ditemukan gangguan saraf kulit. Yang
disrtai dengan penebalan syaraf, adanya nyeri tekan akibat adanya
jarinagn fibrosa, anhidrisi, dan kerontokan rambut.
 pada tipe lepromatus , dijumpai hidung pelana dan wajah singa.
Selain itu kaji juga adanya kelainan otot berupa artrofi disuse otot
yang ditandai dengan kelumpuhan otot otot.
 Kaji ada atau tidakadanya kekakuan sendi atau kontraktur sehingga
terjadi clow hand, drop foot, dan drop hand.

20
 Kaji ada atau tidakadanya osteomilitis serta pemendekan kerusakan
tulang.
 Kaji kelainan mata akibat kelumpuhan
 Inspeksi mata kering kereatitis ulkus kornea iritis iridoksiklitik dan
berakhir dengan kebutaan.
 Kaji adanya ginekomastia.

2. Palpasi
Temukan adanya penebalan serabut syaraf, makula anastetika, pada tipe
T, dan makula non anastetika pada tipe L. Serta permukaan yang kering dan
kasar. Lakukan pemeriksaan sederhana, untuk menunjang kepastian diagnosis
penyakit kusta serta untuk mengetahui adanyaanastesia pada lesi.
a. Uji kulit. Uji ini paling sering dilakukan dan cara mudahnya sehingga semua
petugas dapat melakukannya, penggunaan jarum untuk untuk mengetahui
adanya asa sakitdilakukan dengan meminta pasien menyebutkan area yang lbih
terasa nyeri. Serta kaji adanya rasa pada kulit dengan adanya rasa jika disentuh
kapas atau bulu ayam. Jika tidak bisa, gunakan juga reaksi suhu.
b. Uji keringat, biasanya akan ditemukan anhidrosis karena rusaknya kelenjar
keringat, uji ini dilakukan dengan menggores lesi dengan pinsil tinta mulai dari
beberapa cm dari arah dalam keluar. Hasilnya akan terjadi perubahan warna
ungu sedangkan di area lesi tidak.
c. Uji lepromin, untuk menentukan diagnosis dan klasifikasi penyakit kusta. Tipe
1,T dan BT: uji lepromin positif. Tipe BB, BL, LL: uji lepromin negatif.

3.2 Diagnosa Keperawatan

1. Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan Lesi dan Proses Inflamasi.


2. Gangguan Rasa Nyaman, Nyeri berhubungan dengan Proses Inflamasi Jaringan.
3. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan Kelemahan Fisik.
4. Gangguan Konsep Diri (Citra Diri) berhubungan dengan Ketidakmampuan dan
Kehilangan Fungsi Tubuh.

21
3.3 Rencana Intervensi

No. Tujuan dan kriteria Hasil Intervensi


Dx
1. Tujuan : 1. kaji/catat warna lesi, perhatikan jika
Setelah di lakukan tindakan ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar
keperawatan proses inflamasi luka.
berhenti dan berangsur-angsur 2. berikan perawatan khusus pada
sembuh. daerah yang terjadi inflamasi.
3. evaluasi warna lesi dan jaringan yang
Kriteria : terjadi inflamasi perhatikan adakah
1.menunjukan regenerasi penyebaran pada jaringan sekitar.
jaringan. 4. bersihkan lesi dengan sabun pada
2. mencapai penyembuh tepat waktu di rendam.
waktu pada lesi. 5. istirahatkan bagian yang terdapat lesi
dari tekanan.

2 Tujuan : 1. observasi lokasi, intenitas dan


Seteah di lakukan tindakan perjalanan nyeri.
keperawatan proses inflamasi 2. observasi tanda-tanda vital.
berhenti dan berangsur-angsur hilang. 3. ajarkan dan anjurkan melakukan
tekhnik distraksi dan relaksasi.
Kriteria : 4. atur posisi senyaman mungkin
Seteah dilkukan tindakan 5. kolaborasi untuk pemberian analgesik
keperawatan proses inflamasi dapat sesuai indikasi.
berkurang dan nyeri berkurang dan
berhenti dan berangsur-angsur hilang.
3. Tujuan : 1. pertahankan posisi tubuh yang
Setelah di lakukan tindakan nyaman.
keperawatan kelemahan fisik dapat 2. perhatikan sirkulasi gerakan kepekaan
teratasi dan aktivitas dapat di pada kulit.
lakukan. 3. lakukan latihan rentang gerak secara
konsisten, di awali dengan pasif

22
Kriteria : kemudian aktif.
1. pasien dapat melakukan aktivitas 4. jadwalkan pengobatan dan aktivitas
sehari-hari. perawatan untuk memberikan periode
2. kekuatan otot penuh. istirahat.
5. dorong dukungan dan bantuan
keluarga/orang yang terdekat pada
latihan
4. Tujuan : 1. kaji makna perubahan pada pasien.
Setelah di lakukan tindakan 2. terima dan akui ekspresi frustasi
keperawatan tubuh dapat berfungsi ketergantungan dan kemarahan.
secara optimal dan konsep diri Perhatikan perilaku menarik diri.
meningkat. 3. berikan harapan dalam paramenter
situasi individu, jangan memberikan
Kriteria : keyakinan yang salah.
1. pasien menyatakan penerimaan 4. berikan penguatan positif.
situasi diri. 5. berikan kelompok pendukung untuk
2. memasukan perubahan dalam orang terdekat.
konsep diri tanpa harga diri negatif.

3.4 Implementasi

Pada kegiatan implementasi, perawat perlu melakukan kontrak sebelumnya (


saat mensosalisasikan diagnosis keperawatan ) untuk pelaksanaan yang meliputi
kapan di laksanakan, berapa lama waktu yang di butuhkan, materi /topik yang di
diskusikan, siapa yang melaksanakan, anggota keluarga yang perlu mendapat
informasi. ( sasaran langsumg implementasi ), dan peralatan yang perlu di siapkan
keluarga. Kegiatan ini bertujuan agar keluarga dan perawat mempunyai kesiapan
secara fisik dan psikis pada saat implementasi.
Contoh implementasi:
NO Tanggal Implementasi
DX
1 1. mengkaji/catat warna lesi, perhatikan jika ada jaringan
nekrotik dan kondisi sekitar luka.

23
2. memberikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi
inflamasi.
3. mengevaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi
perhatikan adakah penyebaran pada jaringan sekitar.
4. membersihkan lesi dengan sabun pada waktu di rendam.
5. mengistirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan.
2. 1.mengobservasi lokasi, intenitas dan perjalanan nyeri.
2. mengobservasi tanda-tanda vital.
3. mengajarkan dan anjurkan melakukan tekhnik distraksi dan
relaksasi.
4. mengatur posisi senyaman mungkin
5. mengkolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi.
3. 1. mempertahankan posisi tubuh yang nyaman.
2. memperhatikan sirkulasi gerakan kepekaan pada kulit.
3. melakukan latihan rentang gerak secara konsisten, di awali
dengan pasif kemudian aktif.
4. menjadwalkan pengobatan dan aktivitas perawatan untuk
memberikan periode istirahat.
5. mendorong dukungan dan bantuan keluarga/orang yang
terdekat pada latihan.
4. 1. mengkaji makna perubahan pada pasien.
2. menerima dan akui ekspresi frustasi ketergantungan dan
kemarahan. Perhatikan perilaku menarik diri.
3. memberikan harapan dalam paramenter situasi individu,
jangan memberikan keyakinan yang salah.
4. memberikan penguatan positif.
5. memberikan kelompok pendukung untuk orang terdekat.

24
3.5 Evaluasi

Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan


terencana tentang kesehatan keluarga dengan tujuan yang telah di tetapkan, di lakukan
dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainya.
Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan keluarga dalam mencapai tujuan.
Evaluasi di susun dengan menggunakan SOAP yang operasional :
S : ungkapan dan perasaaan dan keluhan yang di rasakan secara subjektif oleh
keluarga setelah implementasi keperawatan
O : keadaan objektif yang dapat di defenisikan oleh perawat menggunakan
pengamatan yang objektif setelah implementasi keperawatan
A : Analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objekti keluarga
yang di bandingkan denagn kriteria dan standar yang telah mengacu pada tujuan
pada rencana keperawatan keluarga
P : Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis

25
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kusta atau disebut juga Morbus Hansen (MH) merupakan infeksi kronik pada kulit
yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprea.

Mekanisme penularan penyakit Morbus Hansen diawali dari kuman


Mycobacterium Leprea. Kuman ini biasanya berkelompok dan hidup dalam sel serta
mempunyai sifat tahan asam (BTA) . Kuman Morbus Hansen ini pertama kali menyerang
saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian
atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali susunan saraf pusat.

Dalam memeberikan asuhan keperawatan pada klien kusta yang perlu dilakukan
adalah malakukan pengkajian, pemeriksaan fisik, manentukan diagnosa
keperawatan,kemudian memberikan tindakan perawatan yang komprehensif.

4.2 Saran

Menyadari bahwa penyusunan masih jauh dari kata sempurna dalam menyusun
makalah ini, kami mengharapkan saran serta kritik dari pembaca agar makalah ini dapat
berkembang serta dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/37321/Chapter%20II.pdf;seque
nce=4
2. http://digilib.unila.ac.id/6730/13/BAB%20II.pdf
3. http://scholar.unand.ac.id/5143/2/BAB%20I%20MIA%20EKA%20PUTRI.pdf
4. https://edoc.site/asuhan-keperawatan-morbus-hansendocx-pdf-free.html
5. https://drive.google.com/file/d/1ACWl-zWzUUES788RnN8AbsZj8v7sNX6i/view
6. http://bangsalsehat.blogspot.com/2018/03/laporan-pendahuluan-lp-kusta-lengkap.html
7. http://jonrisimarmat.blogspot.com/2015/09/askep-kusta.html
8. https://dokumen.tips/download/link/makalah-askep-morbus-hansen
9. https://dokumen.tips/download/link/makalah-askep-morbus-hansen

27

Anda mungkin juga menyukai