PENDAHULUAN
1
1.2 Tujuan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat obligat intraseluler.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit selanjutnya dapat
menyebar ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1
2.2 Epidemiologi
Jumlah penderita kusta yang dilaporkan dari 38 negara di semua
regional WHO adalah sebanyak 176.176 kasus di akhir tahun 2015 atau
0,18 kasus per 10.000 penduduk. 5
Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi
kusta <1 per 10.000penduduk (<10 per 100.000 penduduk), pada tahun
2000. Setelah itu Indonesia masih bisa menurunkan angka kejadian kusta
meskipun relatif lambat. Angka prevalensi kusta di Indonesia pada tahun
2016 sebesar 0,71 kasus/10.00 penduduk dan angka penemuan kasus baru
sebesar 6,50 kasus per 100.000 penduduk. 5
Pada tahun 2016 dilaporkan 16.826 kasus baru kusta (6,5/100.000
penduduk) dengan 84,19% kasus di antaranya merupakan tipe Multi
Basiler (MB). Sedangkan menurut jenis kelamin, 62,47% penderita baru
kusta berjenis kelamin laki-laki dan sebesar 37,53% lainnya berjenis
kelamin perempuan5
gambar 2.1 Angka prevalensi dan penemuan kasus baru tahun 2011-2016 5
3
Pengendalian kasus kusta antara lain dengan meningkatkan deteksi
kasus sejak dini. Indikator yang digunakan untuk menunjukkan
keberhasilan dalam mendeteksi kasus baru kusta salah satunya adalah
angka cacat tingkat 2. Angka cacat tingkat 2 pada tahun 2016 adalah
sebesar 5,27 per 1.000.000 penduduk, menurun dibanding tahun
sebelumnya yang sebesar 6,60 per 1.000.000 penduduk. Berikut ini grafik
angka cacat tingkat 2 tahun 2011-2016.5
Gambar 2.2 Angka cacat tingkat 2 penderita kusta baru per 1.000.000 penduduk
Tahun 2012-2016 5
4
2.3 Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini
bersifat obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro,
berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 – 8 μm x 0,5 μm, bersifat
tahan asam dan alkohol.3 Kuman ini memunyai afinitas terhadap makrofag
dan sel Schwann, replikasi yang lambat di sel Schwann menstimulasi cell-
mediated immune response, yang menyebabkan reaksi inflamasi kronik,
sehingga terjadi pembengkakkan di perineurium, dapat ditemukan iskemia,
fibrosis, dan kematian akson.2,6
Kusta merupakan penyakit kronik yang jarang menyebabkan
kematian, namun sering menyebabkan kecacatan. kusta merupakan salah
satu penyebab neuropati perifer non-traumatik minimnya pengetahuan
dan stigma negatif membuat penderita enggan berobat dan
menyembunyikan penyakitnya sehingga transmisi infeksi sealalu terjadi5
Mycobacterium leprae dapat bereproduksi maksimal pada suhu
27°C – 30°C, tidak dapat dikultur secara in vitro, menginfeksi kulit dan
sistem saraf kutan. Tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin
(kulit, sistem saraf perifer, hidung, cuping telinga, anterior chamber of
eye, saluran napas atas, kaki, dan testis), dan tidak mengenai area yang
hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung. 2,7
2.4 Patogenesis
Penyakit kusta ditandai dengan adanya spektrum klinis yang luas
didasari oleh respon imunitas pejamu. Penderita kusta tipe tuberkuloid
menunjukkan adanya respon imunitas seluler yang dimediasi oleh Th (T
Helper) 1, IFN-γ dan interleukin (IL)-2 ) pada kulit dan saraf, yang
menggambarkan adanya respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen
M. leprae. Kusta tipe tuberkuloid ditandai dengan adanya pembentukan
granuloma dengan predominan sel T CD4+ dan gambaran klinis adanya
gangguan saraf tepi yang jelas namun jumlah basil serta lesi yang sedikit.
Sebaliknya kusta tipe lepromatosa dihubungkan dengan respon imun yang
5
dimediasi oleh sel Th2 (IL-4 dan IL-10) yang tidak responsif terhadap
antigen M. leprae, predominan sel T CD8+ serta tidak terbentuk
granuloma. Terdapat pula kelompok kusta tipe borderline yang
menunjukan pola imunitas diantara kedua kutub kusta.6
Pada tahap awal M. leprae dikenali oleh beberapa reseptor
imunitas alamiah termasuk Toll-like receptor (TLR). Toll-like receptor 2
membentuk heterodimer dengan TLR1 untuk mengenali komponen
mikobakterium seperti protein 19-kDa dan lipopeptida lainnya (Misch
dkk., 2010). Lipoglikan lipomanan (LM) dan manosa atau arabinose-
capped lipoarabinomanan (ManLAM dan AraLAM) merupakan faktor
virulensi utama pada spesies mikobakterium, berperan sebagai agonis
poten TLR1/2 dan berkontribusi pada aktivasi makrofag dan
imunomodulasi respon pejamu.6
6
fagositosis bakteri patogen melalui mekanisme efektor nonspesifik.
Makrofag pada jaringan spesifik dan lokasi infeksi berperan dalam
melepaskan sitokin termasuk TNF-α sebagai hasil dari stimulasi M. leprae
utuh maupun komponen dinding sel. Stimulasi makrofag oleh PGL-1 juga
dapat menginduksi pelepasan TNF-α.6
Produk utama reaktivasi makrofag adalah ROS dan nitric oxide
(NO). Produksi ROS diperantarai oleh fagosit oksidase suatu enzim
multisubunit yang diaktivasi terutama oleh IFN-γ dan sinyal dari TLR.
Fagosit oksidase berfungsi mereduksi molekul oksigen menjadi ROS
dengan kofaktor nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH).
Radikal superoksid yang terbentuk dari proses ini kemudian akan
mengalami dismutasi secara enzimatik menjadi hidrogen peroksida, yang
selanjutnya digunakan oleh enzim myeloperoksidase untuk mengubah
ion halida menjadi asam hipoklorat yang bersifat reaktif. Proses ini dikenal
dengan sebutan respiratory burst.6
Respon imun terhadap M. leprae dapat menghasilkan beberapa tipe
reaksi yang berhubungan dengan status klinis. Reaksi lepra tipe 1
(downgrading and reversal reactions) terjadi pada individu dengan BT
dan BL, inflamasi terjadi diantara lesi kulit yang sudah ada. Downgrading
reaction terjadi sebelum terapi, reversal reaction terjadi karena respon
terhadap terapi. Reaksi tipe 1 berhubungan dengan demam derajat rendah,
lesi satelit makulopapular baru yang kecil dan banyak, dan/ atau neuritis.
Reaksi tipe 2 (Erythema Nodosum Leprosum, ENL) terjadi pada sebagian
individu dengan LL, biasanya timbul setelah awal pemberian terapi
antilepra, umumnya dalam 2 tahun pertama terapi. 6
Terdapat inflamasi yang hebat mirip seperti lesi eritema nodosum.
Reaksi lucio merupakan rekasi yang terjadi pada individu dengan LL yang
meluas. Pada individu tersebut terjadi ulserasi yang dangkal, large
polygonal sloughing pada kaki. Reaksi ini timbul baik sebagai varian dari
ENL atau sekunder terhadap oklusi arteriol. Ulserasi ini sulit membaik,
7
sering rekuren, dan distribusinya dapat general akibat infeksi bakteri
sekunder dan sepsis.6
2.5 Klasifikasi
Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat
pada tabel dibawah ini 7
Multibasiler berarti mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, BL, dan
BB. sedangkan pausibasiler berarti mengandung sedikit kuman. yakni tipe TT,BT
dan L. 7
8
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu
atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas
dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central
healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi,
bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata.7
Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba,
kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman
merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat
terhadap kuman kusta.7
9
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau
plakat yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu
atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau
skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT
dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf
perifer yang menebal.8
karekteristik perubahan kulit berupa lesi anular dengan pinggiran
tajam dan plak yang besar dengan kulit normal sering disebut dengan
swiss cheese atau lesi klasik dismorfik.6
10
Gambar 2.7 Tipe Borderline (BB) Plak eritem,
permukaan mengkilat dan anestesi tak nyata.7
11
5. Tipe Lepromatous Leprosy
penyebaran M.leprae pada Lepromatous Leprosy tidak terbatas dan
sangat luas selain itu juga menyebabkan gangguan fungsi organ6. Jumlah
lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih
eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak
ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah
wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan
mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan
ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang
progresif, cuping telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis,
keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis
yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas
menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium
lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau
fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.9
12
Tabel 2.2 Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta
Multibasiler (MB) 9
13
Tabel 2.3. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta
Pausibasiler (PB)9
Karakteristik Tuberkuloid Borderline Indeterminate
Lesi (TT) Tuberculoid (BT) (I)
14
Tabel 2.4. Bagan diagnosis klinis menurut WHO9
PB MB
15
2. 7 Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Sensorik
1) Rasa Raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk
memeriksa perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada
kulit. Pasien yang diperiksa harus duduk pada waktu dilakukan
pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana
merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus
menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan
dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia
diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan
sepotong kain. Selain diperiksa pada lesi di kulit sebaiknya juga
diperiksa pada kulit yang sehat. Bercak pada kulit harus diperiksa pada
bagian tengahnya.8
2) Rasa Nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung
jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan
pasien harus mengatakan tusukan mana yang tajam dan mana yang
tumpul.8
3) Rasa Suhu
Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air
panas (sebaiknya 40ºC), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar
20ºC). Mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian
kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai.
Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang sehat. Bila pada daerah
tersebut pasien salah menyebutkan sensasi suhu, maka dapat disebutkan
sensasi suhu di daerah tersebut terganggu.8
16
b. Perabaan ( Palpasi ) Saraf Tepi
Berikut ada prosedur umum pemeriksaan perabaan saraf.8
- Pemeriksa berhadapan dengan pasien
- Perabaan dilakukan dengan tekanan ringan sehingga tidak
menyakiti pasien
- Pada saat meraba saraf, perhatikan :
1) Apakah ada penebalan/pembesaran
2) Apakah saraf kiri&saraf kanan besar atau berbeda
3) Apakah ada nyeri atau tidak pada saraf
17
1. Pemeriksaan Nervus Ulnaris
a) Anatomi Nervus Ulnaris
18
Gambar 2.12 Pemeriksaan Nervus Ulnaris.8
19
Gambar 2.13 Pemeriksaan Nervus Peroneus Communis.8
20
b) Pemeriksaan Nervus Tibialis Posterior
- Dengan jari telunjuk dan tengah pemeriksa meraba saraf
tibialis posterior dibagian belakang bawah dari mata kaki
sebelah dalam (maleolus medialis) dengan tangan menyilang
- Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil
melihat reaksi pasien.7,8
21
a) Pemeriksaan Nervus Auricularis Magnus
Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin,
maka saraf yang terlibat akan terdorong oleh otot di bawahnya
sehingga acapkali sudah bisa terlihat bila saraf membesar. Dua
jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf
tersebut dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada
perabaan secara seksama akan menemukan jaringan seperti
kabel atau kawat. Jangan lupa membandingkan antara yang kiri
dan yang kanan. 9,10
22
c. Pemeriksaan Fungsi Motorik Saraf
23
Bila jari kelingking pasien tidak dapat mendekat atau
menjauh dari jari lainya berarti sudah lumpuh. 9,10
24
Gambar 2.20 Pemeriksaan Motorik Medianus.8
25
5. Pemeriksaan Nervus Peroneus Communis
- Dalam keadaan duduk pasien diminta mengangkat ujung kaki
dengan tumit tepat terletak dilantai/ekstensi max
- Pasien diminta bertahan pada posisi ekstensi, lalu pemeriksa dengan
kedua tangan menekan punggung kaki pasien ke bawah
- Penilaian :
Bila ada gerakan dan pasien mampu menahan tekanan pemeriksa
berarti kekuatan otot pasien tergolong kuat
Bila ada gerakan namun pasien tidak mampu menahan tekanan
berarti kekuatan otot tergolong sedang
Bila tidak ada gerakan berarti Lumpuh (ujung kaki tidak bisa
ditegakkan ke atas). 8,9
1. Pemeriksaaan bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan obat. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan
mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan Ziehl Neelson.
Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang
tersebut tidak mengandung basil M. leprae. Pertama – tama harus
ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah
terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat
diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat
yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling
26
aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan
cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat
tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.9
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada
sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (I.B) dengan nilai 0
sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan
pandang (LP). 9
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
-
Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA,
-
I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100
BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan
-
Mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.
2. Pemeriksaan histopatologi
Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses
imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan
dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk
27
menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat
berubah menjadi sel datia Langhans.6,9
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah
ada yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit.
Apabila SIS nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit
yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan
dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak
dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan
dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau
sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. 9
Tampakan histopatology Morbus Hansen :
1) Tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata,
tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa
terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu
suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak
patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil.9
Gambar 2.23 dua gambar lesi tipe tuberkuloid, Langhan’s giant cells,
epithelioid tubercles, a dense lymphocytic infiltrate and a brisk exocytosis into
the epidermis. (H&E, 20× objective.)6
28
raksasa tipe langhans tidak konstan dan juga terdapat epidermal
eksositosis fokal.6
29
5) Tipe Lepromatous Leprosy
Pada tipe LL lesi nodular dengan makrofag yang tidak berdiferensiasi
digantikan oleh dermis dan menghilangnya adneksa kulit. Epidermis
ditekan oleh nodul dan terdapat lapisan dermis (grenz zone) yang
memisahkan. Pada kulit terjadi infiltrat padat seperti busa.6
4. Tes Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan
prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk
menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.leprae 0,1 ml lepromin
dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal.
Kemudian dibaca setelah 48 jam / 2 hari (reaksi Fernandez) atau 3 – 4
minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi
30
dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M.
Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD) pada
tuberkolosis. 9
Reaksi Mitsuda bernilai :
0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+ 1 Papul berdiameter 4 – 6 mm
+ 2Papul berdiameter 7 – 10 mm
+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi.9
a. Pitriasis Vesikolor
Ptiriasis versikolor, disebabkan oleh Malaize furfur.
Patogenesisnya adalah terdpat flora normal yang berhubungan dengan
Ptiriasis versikolor yaitu Pitysporum orbiculare bulat atau Pitysporum
oval. Malaize furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor
predisposisi ada dua yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor
endogen adalah akibat rendahnya imun penderita sedangkan faktor
eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat. Hipopigmentasi
dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh
Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim
tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin. Gejala klinis
Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna –
warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus,
fluoresensi dengan menggunakan lampu wood akan berwarna kuning
muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal ringan. Secara
mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball). 9
31
Gambar 2.27 Diagnosis Banding Morbus Hansen ; Pitriasis Vesikolor.8
b. Lichen Planus
Ditandai dengan adanya papul – papul yang mempunyai warna dan
konfigurasi yang khas. Papul –papul berwarna merah, biru,
berskuama, dan berbentuk siku – siku. Lokasinya di ekstremitas
bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat gatal,
umumnya membaik 1 – 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken planus
merupakan infeksi virus.9
32
c. Psoriasis Vulgaris
Penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai
dengan adanya bercak – bercak eritema berbatas tegas dengan skuama
kasar, berlapis – lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin,
Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaruh
terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri
bercak – bercak eritema yang meninggi atau plak dengan skuama
diatasnya, eritema sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di bagian
tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat,
lentikuler dan dapat konfluen. 9
33
d. Tinea Korporis
Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama,
kadang papul dan vesikel di pinggir, daerah lebih terang, terkadang
erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak – bercak
terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center
healing. 9
e. Psoriasis
Psoriasis memiliki gambaran klinis seklias menyerupai mobus hansen
yaitu bercak merah berbatas tegas dan sisik sisik berlapis.
34
2.10 Penatalaksanaan
A. Lepra tipe PB
Jenis dan obat untuk orang dewasa :
Pengobatan bulanan : Hari pertama (diminum didepan petugas)
1) 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)
2) 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)
35
regimern pengobatan multi drug therapy (MDT) dipergunakan di indonesia,
regimen ini berdasarkan rekomendasi WHO, yaitu: 4
dewasa : rimpafisin 600 mg, clofazimin 300 mg, dapson 100 mg (diminum
hari pertama di depan petugas) dan clofamizin 50 mg, dapson 100 mg
(diminum di rumah 2-28). lama pengobatan 12-18 bulan (12 blister)
sedangkan anak dibawah umur 10 tahun, dosis MDT berdasarkan berat
badan yaitu 10-15 mg/kg BB, dapson 1-2 mg/kg BB dan clofazimin 1
mg/kgBB.4
36
1. Dapsone
Bentuk : Obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan
100mg/tablet.
Sifat : Bakteriostatik yaitu menghalang/menghambat pertumbuhan kuman
kusta.
Dosis : dewasa 100 mg/hari, anak-anak 1-2 mg/kg berat badan/hari.
Efek : Anemia hemolitik.
Manifestasi kulit (alergi) seperti halnya obat lain, seseorang dapat alergi
terhadap obat ini. Bila hal ini terjadi harus diperiksa dokter untuk
dipertimbangkan apakahobat harus distop. 3,7,8
2. Rifampisin
Bentuk : Kapsul atau tablet takaran 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600 mg.
Sifat : Bakteriosid (Mematikan kuman kusta)
Dosis : Untuk dipergunakan dalam pengobatan kombinasi,lihat pada
regimen pengobatan MDT. Untuk anak-anak dosisnya adalah 10-15 mg/kg
berat badan.
Efek samping : Air seni berwarna merah, dapat menimbulkan kerusakan
pada hati dan ginjal. Sebelum pemberian obat ini perludilakukan tes fungsi
hati apabila ada gejala-gejala yang mencurigakan. Perlu diberitahukan
kepada penderita bahwa air seni akan berwarna merah bila minumobat.
Efek samping lain adalah tanda-tanda seperti influenza (flu Syndrom). 3,7,8
3. Klofazimine
Bentuk : kapsul warna coklat.Ada takaran 50 mg/kapsul dan 100 mg/kaps.
Sifat : bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman kusta dan
anti reaksi(menekan reaksi).
Dosis : untuk dipergunakan dalam pengobatan kombinasi,lihat pada
regimen pengobatan MDT.
Efek samping : Perubahan warna kulit menjadi coklat dan gangguan
pencernaan berupa diare, nyeri pada lambung.3,7,8
37
Obat Alternatif
1. Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif
terhadap Mycobacterium Leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400
mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman
Mycobacterium Leprae hidup sebesar 99.99%.9
Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna
lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk Insomnia, nyeri
kepala, Dizziness, Nercousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini
jarang ditemukan dan biasanya tidak membutuhkan penghentian
pemakaian obat . 9
2. Minoksiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih
tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin.
Dosis stsandar harian 100mg. efek sampingnya adalah pewarnaan gigi
bayi dan anak-anak, kadang-kadang mengenai kulit dan membran mukosa,
berbagai simtom saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk
dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk anak-
anak atau selama kehamilan. 9
3. Klaritomisin
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas
bakterisidal terhadap myobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada
penderita Kusta lepramtosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99%
kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99% dalam 56 hari. Efek
sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare. 9
38
(humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi
terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis
terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi
tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan
pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral.2
a. Reaksi Reversal
Gejala klinis reaksi reversal yaitu sebagian atau seluruh lesi yang
telah ada menjadi lebih banyak dan aktif dalam waktu singkat. Lesi
hipopigmentasi menjadi lebih eritema, lesi eritema menjadi semakin
eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, dan lesi lama bertambah luas.
Umumnya gejala konstitusi lebih ringan daripada ENL. 2
39
b. Reaksi ENL ( Eritema Nodusum Leprosum )
Reaksi tipe 2 adalah komplikasi imunologis paling serius pada
pasien BL dan LL. Pada reaksi ini terjadi peningkatan deposit kompleks
imun di jaringan. Lebih jauh, pada ENL terjadi peningkatan sementara
respons imunitas yang diperantarai sel dengan ekspresi pada sitokin tipe
Th1. Sel T mayor pada ENL adalah CD4+; TNF dan IL-6 juga muncul
pada lesi kulit ENL, sementara kadar IL-4 yang rendah mendukung
peran Th1 pada reaksi ini.3,14 Kejadian ini umumnya timbul pada tipe
lepromatosa polar dan BL, makin tinggi tingkat multibasilernya, makin
besar risiko terjadinya ENL. Gejala konstitusional yang muncul berupa
demam, menggigil, nyeri sendi, mual, sakit saraf, dan otot dari ringan
sampai berat.
40
Tabel 2.5. Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 dan Tipe 2.7
No. Gejala/tanda Tipe I (reversal) Tipe II (ENL)
1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise
dan febris
2 Peradangan di Bercak kulit lama Timbul nodul
kulit menjadi lebih meradang kemerahan, lunak, dan
(merah), dapat timbul nyeri tekan. Biasanya
bercak baru pada lengan dan
tungkai. Nodul dapat
pecah (ulserasi)
3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Setelah pengobatan
yang lama, umumnya
lebih dari 6 bulan
4 Tipe kusta PB atau MB MB
5 Saraf Sering terjadi Dapat terjadi
Umumnya berupa nyeri
tekan saraf dan atau
gangguan fungsi saraf
6 Keterkaitan Hampr tidak ada Terjadi pada mata,
organ lain KGB, sendi, ginjal,
testis, dll
7 Faktor pencetus Melahirkan Emosi
Obat-obat yang Kelelahan dan
meningkatkan stress fisik
kekebalan tubuh lainnya
kehamilan
41
Tabel .2.6. Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2.8
No Gejala/tanda Tipe I Tipe II
Ringan Berat Ringan Berat
1. Kulit Bercak : Bercak : Nodul : Nodul :
merah, merah, merah, merah, panas,
tebal, tebal, panas, nyeri yang
panas, panas, nyeri bertambah
Nyeri nyeri parah sampai
yang pecah
bertambah
parah
sampai
pecah
2 Saraf tepi Nyeri pada Nyeri Nyeri Nyeri pada
perbaan (-) pada pada perabaan (+)
perabaan perabaan
(+) (-)
3 Keadaan Demam (-) Demam Demam Demam (+)
umum (+) (+)
4 Keterlibatan - - - +
organ lain Terjadi
peradangan
pada :
mata :
iridocycli
tis
testis :
epididim
oorchitis
ginjal :
42
nefritis
kelenjar
limpa :
limfadeni
tis
gangguan
pada
tulang,
hidung,
dan
tenggoro
kan
1) Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang
terjadi pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis
berupa plak atau infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak
teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas
ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai
purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi
yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan
parut.8
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik
dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi
endhotelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil
M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN
seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak deposit
imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah.8
43
2) Pengobatan reaksi reversal
Bila reaksi ini tidak disertai neuritis akut, maka tidak perlu diberi obat
tambahan. Bila ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah
kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya
neuritis. Biasanya diberikan prednisone 40-60 mg/hari yang dosisnya
diturunkan secara bertahap. Anggota gerak yang terkena neuritis akut
harus diistirahatkan. Analgesik dan sedatif kalau diperlukan dapat
diberikan.2,8,9
Pada pasien ini diberikan terapi morbus hansen sesuai dengan
regimen MDT-MB dari WHO dan diberikan kortikosteroid oral untuk
mengatasi reaksi ENL yang terdapat pada pasien ini. Pada pasien ini juga
diberikan antihistamin. Antihistamin yang dipilih disini adalah
antihistamin golongan sedatif misalnya Klorfeniramin maleat 2 x 4 mg.
Obat ini dipilih karena murah serta mudah didapat, namun dapat
menyebabkan kantuk karena memiliki efek sedatif. 2,8,9
Minggu 1 - 2 40 mg
Minggu 3 – 4 30 mg
Minggu 5 - 6 20 mg
Mimggu 7 - 8 15 mg
Minggu 9 - 10 10 mg
Minggu 11 - 12 5 mg
44
Klofazimin juga dapat dipakai sebagai anti ENL, tetapi dengan
dosis yang lebih tinggi. Dosisnya antara 200-300mg/hari. Khasiatnya
lebih lambat daripada kortikosteroid dan dapat dipakai untuk
melepaskan ketergantungan kortikosteroid.3
2.13 Relaps
Relaps adalah kembalinya penyakit secara aktif pada pasien yang
sesungguhnya telah menyelesaikan pengobatan yang telah ditentukan dan
karena itu pengobatannya telah dihentikan oleh petugas kesehatan yang
berwenang.8
1) Relaps pada kusta pasibasilar dapat bermanifestasi:
a. Terjadinya pada kulit dan saraf dengan klasifiasi tipe kusta yang
sama seperti asalnya.
b. Manifestasi relaps mungkin secara klinis dan imunologis lebih
buruk dari klasifikasi asalnya, contoh: pasien dengan klasifikasi
asal BT dapat relaps dengan ciri-ciri BB atau BL.
c. Dapat bermanifestasi dalam bentuk yang lebih baik, contoh:
pasien yang asalnya BT dapat relaps dalam bentuk TT. 8
2) Relaps pada kusta multibasilar dapat bermanifestasi:
a. Relaps dapat terjadi dalam bentuk tipe klasifikasi yang sama
dengan asalnya.
b. Dapat bermanifestasi lebih buruk, contoh: pasien dengan bentuk
asal BB atau BL dapat relaps dengan gambaran LL.
c. Dapat bermanifestasi lebih baik, contoh: pasien dengan bentuk
asal LL dapat relaps dalam bentuk lepra borderline, misalnya BL,
BB atau BT.
d. Tipe lesi yang disebut histoid dapat terjadi pada beberapa kasus.
Relaps yang khas ini disebabkan oleh resistensi obat (terutama
terhadap dapson). 8
45
3) Gejala klinis Relaps adalah:
a. Meluasnya lesi yang telah ada, menebal, eritematosa atau
terjadinya infiltrat pada lesi yang sebelumnya telah menghilang,
atau terbentuknya lesi yang baru.
b. Penebalan atau kekakuan saraf, atau adanya saraf baru yang
terkena.
c. Ditemukan bakteri pada tempat yang sebelumnya negatif dan atau
positif pada lesi yang baru. 8
46
7 Keterlibatan Neuritis akut yang nyeri Terjadi keterlibatan
Saraf ; ada nyeri spontan ; saraf baru ; tanpa nyeri
abses saraf ; tiba-tiba ada spontan ; nyeri tekan
paralisis otot disertai positif ; ganggua
meluasnya gangguan motoris dan sensoris
sensorik terjadi lambat/ perlahan
8 Gangguan Mungkin (+) Mungkin (-)
Sistemik
9 BTA Terjadi Penurunan BI. BI mungkin positif
Peningkatan bentuk pada pasien dengan BI
granuler yang sebelumnya
negatif
10 Tes Lepromin Reaksi fernandez positif Hasil Tes bergantung
pada tipe BL dan BB pada tipe saat relaps
yang menjadi secara
berurutan menjadi BB
dan BT
11 Respon terhadap Excellent : Lesi Respon tidak ada atau
pemberian membaik dalam 2-4 sedikit
steroid minggu ; tetap membaik
dengan pengobatan 2
bulan
47
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya
sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula
menyadari adanya perubahan sensibilitas atau kekuatan otot. Keluhan
berbentuk nyeri saraf atau luka yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya
berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya saja. Juga ditemukan
keluhan sukarnya melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang
kancing baju, memegang pulpen atau mengambil benda kecil, atau
kesukaran berjalan. Keluhan tersebut harus diperiksa dengan teliti dengan
anamnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan, sebab
pengobatan dini dapat mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan
berlanjut. 4,8
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of
disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta,
pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan
mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan syaraf
serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila
terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana
misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena,
memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas,
dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan
pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa
ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki
direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah. 4,8,9
WHO Expert Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat
pada tangan, kaki dan mata bagi penderita kusta. Berikut adalah klasifikasi
4,8,9
cacat pada penderita kusta:
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 : Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan
atau deformitas yang terlihat.
Tingkat 1 : Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau
deformitas yang terlihat.
48
Tingkat 2 : Terdapat kerusakan atau deformitas.
2.15 Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh
ialah antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya
tidak sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya secara kosmetik dapat
diperbaiki.8
Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan
yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat
meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik
(kejiwaan). 8
2.16 Komplikasi
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan.
Trauma dan infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari
jemari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan.
Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien
lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat
lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya
mortalitas. Amiloidos sekunder merupakan penyulit pada penyakit leprosa
berat terutama ENL kronik.5,8
49
2.17 Prognosis
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit.
Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan.
Terkadang pasien dapat mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta
kualitas hidup pasien menurun.6,9
50
DAFTAR PUSTAKA
9. Menaidi, S, dkk, 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh.
Cetakan Pertama 2016. FKUI ; Jakarta
51
10. Mudatsir, 2013. Perkembangan Terkini Penelitian Kusta Secara Biologi
Molekular. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, Volume 13. Bagian Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala banda Aceh. Diakses tanggal
26 february 2018
12. Paulsen,J & Waschke, J, 2012. Sobotta Altas Anatomi Manusia. Edisi 23.
Jilid 3. EGC ; Jakarta
52