Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan


basil mycobacterium leprae, yang bersifat obligat intraseluler.1 Penyakit
kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen merupakan
penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun yang
lalu. Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang
sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal
dengan istilah kusta yang berasal dari bahasa India, kushtha. Nama
Morbus Hansen ini sesuai dengan nama yang menemukan kuman, yaitu
Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874.2,3,4
Dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu
Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang
tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980, dimana program
Multi Drug Treamtment (MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat di
diagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi sayangnya meskipun telah
dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi kerusakan
sensorik dan motorik yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi
sehingga gejala tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan tersebut yang
membuat timbulnya stigma terhadap penyakit kusta.3
Pada sebagian besar orang yang terinfeksi, penyakit bersifat
asimptomatik. Sebagian kecil terlambat didiagnosis dan terlambat diobati,
memperlihatkan gejala klinis dan mempunyai kecenderungan untuk
menjadi cacat. Tetapi diagnosis dapat dibuat berdasarkan gejala-gejala
klinis yang spesifik pada pasien.Penyakit ini disebarkan melalui droplet
infeksi dan mempunyai masa tunas yang panjang.4

1
1.2 Tujuan

Dimana tujuan penulit ini untuk menguraikan mengenai defenisi,


epidemiologi, etiologi, pathogenesis, gejala klinis, pemeriksaan
penunjang, diagnosis banding, penatalaksanaan dan prognosis Morbus
Hansen untuk membantu menentukan diagnosis serta memberikan terapi
yang tepat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat obligat intraseluler.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit selanjutnya dapat
menyebar ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1

2.2 Epidemiologi
Jumlah penderita kusta yang dilaporkan dari 38 negara di semua
regional WHO adalah sebanyak 176.176 kasus di akhir tahun 2015 atau
0,18 kasus per 10.000 penduduk. 5
Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi
kusta <1 per 10.000penduduk (<10 per 100.000 penduduk), pada tahun
2000. Setelah itu Indonesia masih bisa menurunkan angka kejadian kusta
meskipun relatif lambat. Angka prevalensi kusta di Indonesia pada tahun
2016 sebesar 0,71 kasus/10.00 penduduk dan angka penemuan kasus baru
sebesar 6,50 kasus per 100.000 penduduk. 5
Pada tahun 2016 dilaporkan 16.826 kasus baru kusta (6,5/100.000
penduduk) dengan 84,19% kasus di antaranya merupakan tipe Multi
Basiler (MB). Sedangkan menurut jenis kelamin, 62,47% penderita baru
kusta berjenis kelamin laki-laki dan sebesar 37,53% lainnya berjenis
kelamin perempuan5

gambar 2.1 Angka prevalensi dan penemuan kasus baru tahun 2011-2016 5

3
Pengendalian kasus kusta antara lain dengan meningkatkan deteksi
kasus sejak dini. Indikator yang digunakan untuk menunjukkan
keberhasilan dalam mendeteksi kasus baru kusta salah satunya adalah
angka cacat tingkat 2. Angka cacat tingkat 2 pada tahun 2016 adalah
sebesar 5,27 per 1.000.000 penduduk, menurun dibanding tahun
sebelumnya yang sebesar 6,60 per 1.000.000 penduduk. Berikut ini grafik
angka cacat tingkat 2 tahun 2011-2016.5

Gambar 2.2 Angka cacat tingkat 2 penderita kusta baru per 1.000.000 penduduk
Tahun 2012-2016 5

Gambar 2.3 Angka cacat tingkat 2 kusta per 1.000.000 penduduk


Per provinsi tahun 2016 5

4
2.3 Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini
bersifat obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro,
berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 – 8 μm x 0,5 μm, bersifat
tahan asam dan alkohol.3 Kuman ini memunyai afinitas terhadap makrofag
dan sel Schwann, replikasi yang lambat di sel Schwann menstimulasi cell-
mediated immune response, yang menyebabkan reaksi inflamasi kronik,
sehingga terjadi pembengkakkan di perineurium, dapat ditemukan iskemia,
fibrosis, dan kematian akson.2,6
Kusta merupakan penyakit kronik yang jarang menyebabkan
kematian, namun sering menyebabkan kecacatan. kusta merupakan salah
satu penyebab neuropati perifer non-traumatik minimnya pengetahuan
dan stigma negatif membuat penderita enggan berobat dan
menyembunyikan penyakitnya sehingga transmisi infeksi sealalu terjadi5
Mycobacterium leprae dapat bereproduksi maksimal pada suhu
27°C – 30°C, tidak dapat dikultur secara in vitro, menginfeksi kulit dan
sistem saraf kutan. Tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin
(kulit, sistem saraf perifer, hidung, cuping telinga, anterior chamber of
eye, saluran napas atas, kaki, dan testis), dan tidak mengenai area yang
hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung. 2,7

2.4 Patogenesis
Penyakit kusta ditandai dengan adanya spektrum klinis yang luas
didasari oleh respon imunitas pejamu. Penderita kusta tipe tuberkuloid
menunjukkan adanya respon imunitas seluler yang dimediasi oleh Th (T
Helper) 1, IFN-γ dan interleukin (IL)-2 ) pada kulit dan saraf, yang
menggambarkan adanya respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen
M. leprae. Kusta tipe tuberkuloid ditandai dengan adanya pembentukan
granuloma dengan predominan sel T CD4+ dan gambaran klinis adanya
gangguan saraf tepi yang jelas namun jumlah basil serta lesi yang sedikit.
Sebaliknya kusta tipe lepromatosa dihubungkan dengan respon imun yang

5
dimediasi oleh sel Th2 (IL-4 dan IL-10) yang tidak responsif terhadap
antigen M. leprae, predominan sel T CD8+ serta tidak terbentuk
granuloma. Terdapat pula kelompok kusta tipe borderline yang
menunjukan pola imunitas diantara kedua kutub kusta.6
Pada tahap awal M. leprae dikenali oleh beberapa reseptor
imunitas alamiah termasuk Toll-like receptor (TLR). Toll-like receptor 2
membentuk heterodimer dengan TLR1 untuk mengenali komponen
mikobakterium seperti protein 19-kDa dan lipopeptida lainnya (Misch
dkk., 2010). Lipoglikan lipomanan (LM) dan manosa atau arabinose-
capped lipoarabinomanan (ManLAM dan AraLAM) merupakan faktor
virulensi utama pada spesies mikobakterium, berperan sebagai agonis
poten TLR1/2 dan berkontribusi pada aktivasi makrofag dan
imunomodulasi respon pejamu.6

Gambar 2.4 Ethiopathogenesis of lepra6


Makrofag merupakan sel pejamu yang paling banyak berinteraksi
dengan M. leprae. Makrofag memiliki 2 fungsi utama yaitu sebagai APC
melalui molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) klas I dan klas
II yang dipresentasikan kepada sel CD8+ dan CD4+ serta sebagai

6
fagositosis bakteri patogen melalui mekanisme efektor nonspesifik.
Makrofag pada jaringan spesifik dan lokasi infeksi berperan dalam
melepaskan sitokin termasuk TNF-α sebagai hasil dari stimulasi M. leprae
utuh maupun komponen dinding sel. Stimulasi makrofag oleh PGL-1 juga
dapat menginduksi pelepasan TNF-α.6
Produk utama reaktivasi makrofag adalah ROS dan nitric oxide
(NO). Produksi ROS diperantarai oleh fagosit oksidase suatu enzim
multisubunit yang diaktivasi terutama oleh IFN-γ dan sinyal dari TLR.
Fagosit oksidase berfungsi mereduksi molekul oksigen menjadi ROS
dengan kofaktor nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH).
Radikal superoksid yang terbentuk dari proses ini kemudian akan
mengalami dismutasi secara enzimatik menjadi hidrogen peroksida, yang
selanjutnya digunakan oleh enzim myeloperoksidase untuk mengubah
ion halida menjadi asam hipoklorat yang bersifat reaktif. Proses ini dikenal
dengan sebutan respiratory burst.6
Respon imun terhadap M. leprae dapat menghasilkan beberapa tipe
reaksi yang berhubungan dengan status klinis. Reaksi lepra tipe 1
(downgrading and reversal reactions) terjadi pada individu dengan BT
dan BL, inflamasi terjadi diantara lesi kulit yang sudah ada. Downgrading
reaction terjadi sebelum terapi, reversal reaction terjadi karena respon
terhadap terapi. Reaksi tipe 1 berhubungan dengan demam derajat rendah,
lesi satelit makulopapular baru yang kecil dan banyak, dan/ atau neuritis.
Reaksi tipe 2 (Erythema Nodosum Leprosum, ENL) terjadi pada sebagian
individu dengan LL, biasanya timbul setelah awal pemberian terapi
antilepra, umumnya dalam 2 tahun pertama terapi. 6
Terdapat inflamasi yang hebat mirip seperti lesi eritema nodosum.
Reaksi lucio merupakan rekasi yang terjadi pada individu dengan LL yang
meluas. Pada individu tersebut terjadi ulserasi yang dangkal, large
polygonal sloughing pada kaki. Reaksi ini timbul baik sebagai varian dari
ENL atau sekunder terhadap oklusi arteriol. Ulserasi ini sulit membaik,

7
sering rekuren, dan distribusinya dapat general akibat infeksi bakteri
sekunder dan sepsis.6

2.5 Klasifikasi
Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat
pada tabel dibawah ini 7

TABEL 2.1 Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi 7


KLASIFIKASI ZONA SPEKTRUM KUSTA
RIDLEY &JOPING TT BT BB BL LL
MARDID TUBERKULOID BORDERLINE LEPROMATOSA
WHO PAUSIBASILER MULTIBASILER
(PB) ( MB)
PUSKESMAS PB MB

Multibasiler berarti mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, BL, dan
BB. sedangkan pausibasiler berarti mengandung sedikit kuman. yakni tipe TT,BT
dan L. 7

2.6 Gejala Klinis


diagnosis didasarkan pada penemuan tanda kardinal menurut WHO
yaitu:1
1. Bercak kulit yang mati rasa
2. penebalan saraf tepi
3. ditemukannya kuman tahan asam
bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga atau
lesi kulit pada bagian yang aktif. kadang kadang bahan
diperoleh dari biopsi saraf.1
Kadang kadang disertai dengan kelumpuhan otot
mata,tangan, kaki, kulit kering (dehidrasi) serta pertumbuhan
rambut yang terganggu di daerah lesi.
Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling:

8
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu
atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas
dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central
healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi,
bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata.7
Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba,
kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman
merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat
terhadap kuman kusta.7

Gambar 2.5 Tipe Tuberkuloid (TT) ; Makula hipopigmentasi tepi


meninggi, batas tegas dan permukaan kering.6

9
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau
plakat yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu
atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau
skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT
dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf
perifer yang menebal.8
karekteristik perubahan kulit berupa lesi anular dengan pinggiran
tajam dan plak yang besar dengan kulit normal sering disebut dengan
swiss cheese atau lesi klasik dismorfik.6

Gambar 2.6 Tipe Borderline-Tuberkuloid plak eritematosa, batas tegas


lesi-lesi satelit.8

3. Tipe Mid Borderline (BB)


Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai
bentuk dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat
berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas
lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi
hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.7,8

10
Gambar 2.7 Tipe Borderline (BB) Plak eritem,
permukaan mengkilat dan anestesi tak nyata.7

4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)


Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan
dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul
dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan
beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian
tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa
tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat
muncul dibandingkan dengan tipe LL.7

Gambar 2.8 Papula, makula, dan plak eritematosa, anular, multiple,


tersebar luas, asimetris dan anestesi pada lesi yang besar.8

11
5. Tipe Lepromatous Leprosy
penyebaran M.leprae pada Lepromatous Leprosy tidak terbatas dan
sangat luas selain itu juga menyebabkan gangguan fungsi organ6. Jumlah
lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih
eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak
ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah
wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan
mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan
ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang
progresif, cuping telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis,
keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis
yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas
menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium
lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau
fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.9

Gambar 2.9 Tipe LL (Lepromatous Leprosy)9

12
Tabel 2.2 Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta
Multibasiler (MB) 9

Sifat Lesi Lepromatosa (LL) Borderline Mid Borderline


Lepromatosa (BL) (BB)
Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrat difus Plakat Dome-
Papul Papul shape (kubah)
Nodus Punched-out
Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapat dihitung,
praktis tidak ada masih ada kulit kulit sehat jelas
kulit sehat sehat ada
Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak
berkilat
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
Anestesia Biasanya tidak jelas Tak jelas Lebih jelas
BTA
Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
Sekret Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif
hidung
Tes Negatif Negatif Negatif
Lepromin

13
Tabel 2.3. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta
Pausibasiler (PB)9
Karakteristik Tuberkuloid Borderline Indeterminate
Lesi (TT) Tuberculoid (BT) (I)

Tipe Makula ; Makula dibatasi Hanya


makula dibatasi infiltrat saja; Infiltrat
infiltrat infiltrat saja

Jumlah Satu atau dapat Beberapa atau satu Satu atau


beberapa dengan lesi satelit beberapa
Distribusi Terlokalisasi & Asimetris Bervariasi
asimetris
Permukaan Kering, skuama Kering, skuama Dapat halus
agak berkilat
Batas Jelas Jelas Dapat jelas
atau dapat
tidak jelas
Anestesia Jelas Jelas Tak ada
sampai tidak
jelas
BTA
Lesi kulit Hampir selalu Negatif atau hanya Biasanya
negatif 1+ negatif
Tes lepromin Positif kuat Positif lemah Dapat positif
(3+) lemah atau
negatif

14
Tabel 2.4. Bagan diagnosis klinis menurut WHO9

PB MB

1. Lesi kulit (makula yang 1-5 lesi > 5 lesi


datar, papul yang meninggi,
Hipopigmentasi/eritema Distribusi lebih
infiltrat, plak eritem, nodus)
simetris
Distribusi tidak simetris
Hilangnya
Hilangnya sensasi yang jelas
sensasi kurang
jelas

Kerusakan saraf Hanya satu cabang saraf Banyak cabang


(menyebabkan hilangnya saraf
senasasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh saraf
yang terkena)

BTA Negatif Positif

15
2. 7 Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan Sensorik

1) Rasa Raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk
memeriksa perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada
kulit. Pasien yang diperiksa harus duduk pada waktu dilakukan
pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana
merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus
menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan
dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia
diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan
sepotong kain. Selain diperiksa pada lesi di kulit sebaiknya juga
diperiksa pada kulit yang sehat. Bercak pada kulit harus diperiksa pada
bagian tengahnya.8
2) Rasa Nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung
jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan
pasien harus mengatakan tusukan mana yang tajam dan mana yang
tumpul.8
3) Rasa Suhu
Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air
panas (sebaiknya 40ºC), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar
20ºC). Mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian
kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai.
Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang sehat. Bila pada daerah
tersebut pasien salah menyebutkan sensasi suhu, maka dapat disebutkan
sensasi suhu di daerah tersebut terganggu.8

16
b. Perabaan ( Palpasi ) Saraf Tepi
Berikut ada prosedur umum pemeriksaan perabaan saraf.8
- Pemeriksa berhadapan dengan pasien
- Perabaan dilakukan dengan tekanan ringan sehingga tidak
menyakiti pasien
- Pada saat meraba saraf, perhatikan :
1) Apakah ada penebalan/pembesaran
2) Apakah saraf kiri&saraf kanan besar atau berbeda
3) Apakah ada nyeri atau tidak pada saraf

Gambar 2.10 Pemeriksaan saraf tepi morbus hansen8

17
1. Pemeriksaan Nervus Ulnaris
a) Anatomi Nervus Ulnaris

Gambar 2.11 Anatomi Nervus Ulnaris.12

b) Pemeriksaan Nervus Ulnaris


Pemeriksaan dilakukan dengan jari telunjuk dan jari tengah
tangan kiri pemeriksaan mencari sambil meraba saraf Ulnaris
dalam sulkus nelvi lnaris yaitu lekukan diantara tonjolan tulang
siku dan tonjolan tulang siku kecil dibagian medial
(epicondilus).8,9

18
Gambar 2.12 Pemeriksaan Nervus Ulnaris.8

gejala kerusakan saraf ulnaris :9

a. anastesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis


b. clawing kelingking dan jari manis
c. atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot umbrikalis
medial
2. Pemeriksaan Nervus Peroneus Comunis/Nervus tibialis lateral
- Pemeriksaan duduk di depan pasien dengan tangan kanan
memeriksa kaki kiri pasien dengan tangan kiri memeriksa kaki
kanan.
- Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada
pertengahan betis bagian luar pasien sambil pelan-pelan meraba
keatas sampai menemukan benjolan tulang (caput fibula).
Setelah menemukan tulang tersebut jari pemeriksa meraba saraf
peroneus 1 cm ke arah belakang.
- Dengan tangan kanan tangan ringan saraf tersebut digulirkan
bergantian kekanan & kekiri sambil melihat mimik/reaksi
pasien.8,9

19
Gambar 2.13 Pemeriksaan Nervus Peroneus Communis.8

gejala kerusakan saraf peroneus communis :9

a. anastesia pada tungkai bawah,bagian lateral dan dorsum pedis.


b. kaki tergantung (drop foot)
c. kelemahan otot peroneus.

3. Nervus Tibialis Posterior

a) Anatomi Nervus Tibialis Posterior

Gambar 2.14 Anatomi Nervus Tibialis Posterior.12

20
b) Pemeriksaan Nervus Tibialis Posterior
- Dengan jari telunjuk dan tengah pemeriksa meraba saraf
tibialis posterior dibagian belakang bawah dari mata kaki
sebelah dalam (maleolus medialis) dengan tangan menyilang
- Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil
melihat reaksi pasien.7,8

Gambar 2.15 Pemeriksaan Nervus Tibialis Posterior.8


Gejala kerusakan saraf tibialis posterior :9
a. anastesia pada telapak kaki
b. claw toes
c. paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis.

4. Nervus Auricularis Magnus

Gambar 2.16 anatomi Nervus Auricularis Magnus.12

21
a) Pemeriksaan Nervus Auricularis Magnus
Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin,
maka saraf yang terlibat akan terdorong oleh otot di bawahnya
sehingga acapkali sudah bisa terlihat bila saraf membesar. Dua
jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf
tersebut dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada
perabaan secara seksama akan menemukan jaringan seperti
kabel atau kawat. Jangan lupa membandingkan antara yang kiri
dan yang kanan. 9,10

Gambar 2.17 Pemeriksaan Nervus Auricularis Magnus.8

22
c. Pemeriksaan Fungsi Motorik Saraf

1. Pemeriksaan Nervus Facialis


- Pasien diminta untuk memejamkan mata
- Lihat dari depan samping apakah mata menutup sempurna/tidak
ada celah
- Bagi mata yang tidak menutup rapat ukur lebarnya,bila
lagopthalmus +3mm mata kiri atau kanan.
- cabang bukal, mandibula dan servikal menyebabkan kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. 9,10

Gambar 2.18 Lagopthalmus pada penderita morbus hansen.8

2. Pemeriksaan Motorik Nervus Ulnaris


- Minta pasien addukasi dan abdukasi kelingking dari jari-jari
lainnya. Bila pasien dapat melakukannya, minta ia menahan
kelingkingnya pada posisi jauh dari jari yang lainnya dan
kemudian jari telunjuk pemeriksa mendorong pada bagian
pangkal kelingking.
- Penilaian :
 Bila jari kelingking pasien dapat menahan dorongan ibu jari
pemeriksa, berarti kekuatan ototnya tergolong kuat
 Bila jari kelingking pasien tidak dapat menahan dorongan
pemeriksa berarti kekuatan ototnya tergolong sedang

23
 Bila jari kelingking pasien tidak dapat mendekat atau
menjauh dari jari lainya berarti sudah lumpuh. 9,10

Gambar 2.19 Pemeriksaan Motorik Nervus Ulnaris.8

3. Pemeriksaan Motorik Nervus Medianus


- Ibu jari pasien ditegakkan keatas sehingga tegak lurus terhadap
telapak tangan pasien dan pasien diminta untuk mempertahankan
posisi tersebut.
- Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari pasien yaitu dari
bagian batas antara punggung dan telapak tangan mendekati telapak
tangan
- Penilaian :
 Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kekuatan ototnya
tergolong kuat
 Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti kekuatan ototnya
tergolong sedang
 Bila tidak ada gerakan berarti sudah lumpuh.9,10

24
Gambar 2.20 Pemeriksaan Motorik Medianus.8

4. Pemeriksaan Motorik Nervus Radialis


- Pasien diminta menggerakkan pergelangan tangan kanan yang
terkepal keatas
- Pasien diminta bertahan pada posisi ekstensi lalu dengan tangan
kanan pemeriksa menarik tangan pasien ke arah pemeriksa
- Penilaian :
 Bila pasien mampu menahan tarikan berarti ototnya
tergolong kuat
 Bila ada gerakan tapi pasien tidak mampu menahan tarikan
berarti kekuatan ototnya tergolong sedang
 Bila tidak ada gerakan berarti Lumpuh (Pergelangan tangan
tidak bisa ditegakkan ke atas). 8,9

Gambar 2.21 Pemeriksaan Motorik Nervus Radialis.8

25
5. Pemeriksaan Nervus Peroneus Communis
- Dalam keadaan duduk pasien diminta mengangkat ujung kaki
dengan tumit tepat terletak dilantai/ekstensi max
- Pasien diminta bertahan pada posisi ekstensi, lalu pemeriksa dengan
kedua tangan menekan punggung kaki pasien ke bawah
- Penilaian :
 Bila ada gerakan dan pasien mampu menahan tekanan pemeriksa
berarti kekuatan otot pasien tergolong kuat
 Bila ada gerakan namun pasien tidak mampu menahan tekanan
berarti kekuatan otot tergolong sedang
 Bila tidak ada gerakan berarti Lumpuh (ujung kaki tidak bisa
ditegakkan ke atas). 8,9

Gambar 2.22 Pemeriksaan Motorik Nervus Peroneus Communis.8

2.8 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaaan bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan obat. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan
mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan Ziehl Neelson.
Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang
tersebut tidak mengandung basil M. leprae. Pertama – tama harus
ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah
terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat
diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat
yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling

26
aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan
cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat
tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.9
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada
sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (I.B) dengan nilai 0
sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan
pandang (LP). 9
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP

2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP

3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP

4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP

5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP

6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan


dengan jumlah solid dan non solid

IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid

Syarat perhitungan IM adalah :

-
Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA,
-
I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100
BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan
-
Mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.

2. Pemeriksaan histopatologi
Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses
imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan
dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk

27
menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat
berubah menjadi sel datia Langhans.6,9
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah
ada yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit.
Apabila SIS nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit
yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan
dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak
dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan
dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau
sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. 9
Tampakan histopatology Morbus Hansen :
1) Tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata,
tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa
terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu
suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak
patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil.9

Gambar 2.23 dua gambar lesi tipe tuberkuloid, Langhan’s giant cells,
epithelioid tubercles, a dense lymphocytic infiltrate and a brisk exocytosis into
the epidermis. (H&E, 20× objective.)6

2) Tipe borderline tuberkolid


Pada pemeriksaan borderline tuberkoloid terdapat epiteloid akan tetapi
mantel limofisitiknya lebih sedikit dibandingkan dengan tipe TT. Sel

28
raksasa tipe langhans tidak konstan dan juga terdapat epidermal
eksositosis fokal.6

gambar 2.24 Perineural fibrosis with lamellar or onion skin pattern;


more circumscription of the granulomatous response, more
lymphocytes and closer relationship to nerves6
3) Tipe Mid Borderline
Pada pemeriksaan histopatologi tipe BL ditemukan granuloma
makrofag, beberapa sel menunjukkan perubahan menjadi foamy cell,
dan ditemukan banyak limfosit. Beberapa sel epiteloid kadang-kadang
dapat ditemukan. Saraf-saraf dermis berisi beberapa infiltrat selular dan
kadang-kadang perineurium memiliki gambaran seperti kulit bawang.
Zona papillary jernih, banyak bakteri yang tersebar tunggal atau
berkelompok.7
4) Tipe Borderline Tuberkoloid
Pada tipe ini respon kulit yang muncul infiltrat limfosit padat yang
relatif. Terbatas pada rongga yang ditempati sama makrofag, pada
repson tipe BL tampak laminas perinum dengan infiltrasi sel radang.
Bisa terdapat sel plasma dan bakteri basil yang mudah ditemukan.6

Gambar 2. 25 gambaran histopatologi borderline tuberkuloid6

29
5) Tipe Lepromatous Leprosy
Pada tipe LL lesi nodular dengan makrofag yang tidak berdiferensiasi
digantikan oleh dermis dan menghilangnya adneksa kulit. Epidermis
ditekan oleh nodul dan terdapat lapisan dermis (grenz zone) yang
memisahkan. Pada kulit terjadi infiltrat padat seperti busa.6

Gambar 2. 26 gambaran histopatologi lepromatous leprosy6 A thin


epidermis, Elongated epithelioid tubercles near the epidermis,
Confluence of tubercles, Lymphoid infiltrate around tubercles
3. Pemeriksaan serologik
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik
terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan
antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak
spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga
dihasilkan oleh kuman M.tuberculosis. 9

4. Tes Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan
prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk
menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.leprae 0,1 ml lepromin
dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal.
Kemudian dibaca setelah 48 jam / 2 hari (reaksi Fernandez) atau 3 – 4
minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi

30
dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M.
Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD) pada
tuberkolosis. 9
Reaksi Mitsuda bernilai :
0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+ 1 Papul berdiameter 4 – 6 mm
+ 2Papul berdiameter 7 – 10 mm
+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi.9

2.9 Diagnosis Banding

a. Pitriasis Vesikolor
Ptiriasis versikolor, disebabkan oleh Malaize furfur.
Patogenesisnya adalah terdpat flora normal yang berhubungan dengan
Ptiriasis versikolor yaitu Pitysporum orbiculare bulat atau Pitysporum
oval. Malaize furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor
predisposisi ada dua yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor
endogen adalah akibat rendahnya imun penderita sedangkan faktor
eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat. Hipopigmentasi
dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh
Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim
tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin. Gejala klinis
Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna –
warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus,
fluoresensi dengan menggunakan lampu wood akan berwarna kuning
muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal ringan. Secara
mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball). 9

31
Gambar 2.27 Diagnosis Banding Morbus Hansen ; Pitriasis Vesikolor.8

b. Lichen Planus
Ditandai dengan adanya papul – papul yang mempunyai warna dan
konfigurasi yang khas. Papul –papul berwarna merah, biru,
berskuama, dan berbentuk siku – siku. Lokasinya di ekstremitas
bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat gatal,
umumnya membaik 1 – 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken planus
merupakan infeksi virus.9

Gambar 2.28 Diagnosis Banding Morbus Hansen ; Lichen Planus.9

32
c. Psoriasis Vulgaris
Penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai
dengan adanya bercak – bercak eritema berbatas tegas dengan skuama
kasar, berlapis – lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin,
Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaruh
terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri
bercak – bercak eritema yang meninggi atau plak dengan skuama
diatasnya, eritema sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di bagian
tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat,
lentikuler dan dapat konfluen. 9

Gambar 2.29 Diagnosis Banding Morbus Hansen ; Psoriasis Vulgaris.9

33
d. Tinea Korporis
Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama,
kadang papul dan vesikel di pinggir, daerah lebih terang, terkadang
erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak – bercak
terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center
healing. 9

Gambar 2.30 Diagnosis Banding Morbus Hansen ; Tinea Corporis.9

e. Psoriasis
Psoriasis memiliki gambaran klinis seklias menyerupai mobus hansen
yaitu bercak merah berbatas tegas dan sisik sisik berlapis.

Gambar 2.31 diagnosis banding Mobus Hansen ; Psoriasis9

34
2.10 Penatalaksanaan

Tatalaksana Lepra menyesuaikan dengan tipe sebagai berikut :

A. Lepra tipe PB
Jenis dan obat untuk orang dewasa :
Pengobatan bulanan : Hari pertama (diminum didepan petugas)
1) 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)
2) 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)

Pengobatan hari ke 2-28 (dibawa pulang)


1) 1 tablet dapson (DDS 100 mg) 1 Blister untuk 1 bulan
Lama pengobatan : Selama 6-9 bulan.4,8,9
B. Lepra tipe MB
Jenis dan dosis untuk orang dewasa :
Pengobatan Bulanan : Hari pertama (Dosis diminum di depan petugas)
1) 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)
2) 3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg)
3) 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)

Pengobatan Bulanan : Hari ke 2-28


1) 1 tablet Lampren 50 mg
2) 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)

Lama Pengobatan : Selama 12-18 Bulan. 3,7,8

Gambar 2.32 Regimen MDT

35
regimern pengobatan multi drug therapy (MDT) dipergunakan di indonesia,
regimen ini berdasarkan rekomendasi WHO, yaitu: 4

1. Penderita pausi basiler (PB)


a. Penderita PB lesi 1

diberikan dosis tunggal ROM (rimfampisin, ofloxacin dan minosikilin)


dewasa 50-70 : rifampisin 300 mg, ofloxacin 200 mg dan minosiklin 50
mg pemberian pengobatan hanya sekali saja dan penderita digolongkan
dalam kelompok RFT(release from treatment). dalam program kusta di
indonesia, penedrita PB dengan 1 lesi diobati seperti pada PB dengan 2-5
lesi.

b. penderita PB lesi 2-5


dewasa : rimpafisin 600 mg,dapson 100 mg (diminum hari pertama di
depan petugas) dan dapson 100 mg (diminum di rumah 2-28). lama
pengobatan : 6-9 bulan (6 blister).

2. Penderita multi basiler (MB)

dewasa : rimpafisin 600 mg, clofazimin 300 mg, dapson 100 mg (diminum
hari pertama di depan petugas) dan clofamizin 50 mg, dapson 100 mg
(diminum di rumah 2-28). lama pengobatan 12-18 bulan (12 blister)
sedangkan anak dibawah umur 10 tahun, dosis MDT berdasarkan berat
badan yaitu 10-15 mg/kg BB, dapson 1-2 mg/kg BB dan clofazimin 1
mg/kgBB.4

36
1. Dapsone
Bentuk : Obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan
100mg/tablet.
Sifat : Bakteriostatik yaitu menghalang/menghambat pertumbuhan kuman
kusta.
Dosis : dewasa 100 mg/hari, anak-anak 1-2 mg/kg berat badan/hari.
Efek : Anemia hemolitik.
Manifestasi kulit (alergi) seperti halnya obat lain, seseorang dapat alergi
terhadap obat ini. Bila hal ini terjadi harus diperiksa dokter untuk
dipertimbangkan apakahobat harus distop. 3,7,8

2. Rifampisin
Bentuk : Kapsul atau tablet takaran 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600 mg.
Sifat : Bakteriosid (Mematikan kuman kusta)
Dosis : Untuk dipergunakan dalam pengobatan kombinasi,lihat pada
regimen pengobatan MDT. Untuk anak-anak dosisnya adalah 10-15 mg/kg
berat badan.
Efek samping : Air seni berwarna merah, dapat menimbulkan kerusakan
pada hati dan ginjal. Sebelum pemberian obat ini perludilakukan tes fungsi
hati apabila ada gejala-gejala yang mencurigakan. Perlu diberitahukan
kepada penderita bahwa air seni akan berwarna merah bila minumobat.
Efek samping lain adalah tanda-tanda seperti influenza (flu Syndrom). 3,7,8

3. Klofazimine
Bentuk : kapsul warna coklat.Ada takaran 50 mg/kapsul dan 100 mg/kaps.
Sifat : bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman kusta dan
anti reaksi(menekan reaksi).
Dosis : untuk dipergunakan dalam pengobatan kombinasi,lihat pada
regimen pengobatan MDT.
Efek samping : Perubahan warna kulit menjadi coklat dan gangguan
pencernaan berupa diare, nyeri pada lambung.3,7,8

37
Obat Alternatif
1. Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif
terhadap Mycobacterium Leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400
mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman
Mycobacterium Leprae hidup sebesar 99.99%.9
Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna
lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk Insomnia, nyeri
kepala, Dizziness, Nercousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini
jarang ditemukan dan biasanya tidak membutuhkan penghentian
pemakaian obat . 9

2. Minoksiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih
tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin.
Dosis stsandar harian 100mg. efek sampingnya adalah pewarnaan gigi
bayi dan anak-anak, kadang-kadang mengenai kulit dan membran mukosa,
berbagai simtom saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk
dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk anak-
anak atau selama kehamilan. 9

3. Klaritomisin
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas
bakterisidal terhadap myobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada
penderita Kusta lepramtosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99%
kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99% dalam 56 hari. Efek
sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare. 9

2.12 Reaksi Kusta


Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang sebenarnya sangat kronik.Penyakit kusta yang merupakan
suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody

38
(humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi
terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis
terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi
tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan
pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral.2
a. Reaksi Reversal
Gejala klinis reaksi reversal yaitu sebagian atau seluruh lesi yang
telah ada menjadi lebih banyak dan aktif dalam waktu singkat. Lesi
hipopigmentasi menjadi lebih eritema, lesi eritema menjadi semakin
eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, dan lesi lama bertambah luas.
Umumnya gejala konstitusi lebih ringan daripada ENL. 2

gambar 2.33 gambaran reaksi reversal 6


Reaksi ini terjadi karena adanya peningkatan hebat dan tiba-tiba
dari respons imun seluler, yang menyebabkan respons inflamasi atau
peradangan kulit atau saraf pada pasien tipe borderline (BT, BB, dan
BL). Walaupun pencetus utama belum diketahui, tetapi diperkirakan
ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Pemeriksaan imunohistokimia menunjukkan peningkatan sel tumor
necrosis factor (TNF) di kulit dan saraf selama reaksi tipe 1
dibandingkan dengan kontrol. Pada penelitian di India, didapatkan
respons antibodi ke antigen 18kDa secara signifikan lebih tinggi pada
pasien dengan reaksi tipe 1 dibandingkan pasien TT atau borderline
tanpa reaksi tipe 1. 2

39
b. Reaksi ENL ( Eritema Nodusum Leprosum )
Reaksi tipe 2 adalah komplikasi imunologis paling serius pada
pasien BL dan LL. Pada reaksi ini terjadi peningkatan deposit kompleks
imun di jaringan. Lebih jauh, pada ENL terjadi peningkatan sementara
respons imunitas yang diperantarai sel dengan ekspresi pada sitokin tipe
Th1. Sel T mayor pada ENL adalah CD4+; TNF dan IL-6 juga muncul
pada lesi kulit ENL, sementara kadar IL-4 yang rendah mendukung
peran Th1 pada reaksi ini.3,14 Kejadian ini umumnya timbul pada tipe
lepromatosa polar dan BL, makin tinggi tingkat multibasilernya, makin
besar risiko terjadinya ENL. Gejala konstitusional yang muncul berupa
demam, menggigil, nyeri sendi, mual, sakit saraf, dan otot dari ringan
sampai berat.

Gambar 2.34 lesi papulas ENL pada wajah6


Pada reaksi tipe 2 perubahan efloresensinya berupa nodus eritema dan
nyeri dengan tempat predileksi lengan dan tungkai. Pada kasus berat
dapat menyerang sistemik, sehingga menyebabkan iridosiklitis, neuritis
akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis akut dengan proteinuria. 2

40
Tabel 2.5. Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 dan Tipe 2.7
No. Gejala/tanda Tipe I (reversal) Tipe II (ENL)
1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise
dan febris
2 Peradangan di Bercak kulit lama Timbul nodul
kulit menjadi lebih meradang kemerahan, lunak, dan
(merah), dapat timbul nyeri tekan. Biasanya
bercak baru pada lengan dan
tungkai. Nodul dapat
pecah (ulserasi)
3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Setelah pengobatan
yang lama, umumnya
lebih dari 6 bulan
4 Tipe kusta PB atau MB MB
5 Saraf Sering terjadi Dapat terjadi
Umumnya berupa nyeri
tekan saraf dan atau
gangguan fungsi saraf
6 Keterkaitan Hampr tidak ada Terjadi pada mata,
organ lain KGB, sendi, ginjal,
testis, dll
7 Faktor pencetus  Melahirkan  Emosi
 Obat-obat yang  Kelelahan dan
meningkatkan stress fisik
kekebalan tubuh lainnya
 kehamilan

41
Tabel .2.6. Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2.8
No Gejala/tanda Tipe I Tipe II
Ringan Berat Ringan Berat
1. Kulit Bercak : Bercak : Nodul : Nodul :
merah, merah, merah, merah, panas,
tebal, tebal, panas, nyeri yang
panas, panas, nyeri bertambah
Nyeri nyeri parah sampai
yang pecah
bertambah
parah
sampai
pecah
2 Saraf tepi Nyeri pada Nyeri Nyeri Nyeri pada
perbaan (-) pada pada perabaan (+)
perabaan perabaan
(+) (-)
3 Keadaan Demam (-) Demam Demam Demam (+)
umum (+) (+)
4 Keterlibatan - - - +
organ lain Terjadi
peradangan
pada :
 mata :
iridocycli
tis
 testis :
epididim
oorchitis
 ginjal :

42
nefritis
 kelenjar
limpa :
limfadeni
tis
 gangguan
pada
tulang,
hidung,
dan
tenggoro
kan

1) Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang
terjadi pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis
berupa plak atau infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak
teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas
ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai
purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi
yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan
parut.8
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik
dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi
endhotelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil
M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN
seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak deposit
imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah.8

43
2) Pengobatan reaksi reversal
Bila reaksi ini tidak disertai neuritis akut, maka tidak perlu diberi obat
tambahan. Bila ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah
kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya
neuritis. Biasanya diberikan prednisone 40-60 mg/hari yang dosisnya
diturunkan secara bertahap. Anggota gerak yang terkena neuritis akut
harus diistirahatkan. Analgesik dan sedatif kalau diperlukan dapat
diberikan.2,8,9
Pada pasien ini diberikan terapi morbus hansen sesuai dengan
regimen MDT-MB dari WHO dan diberikan kortikosteroid oral untuk
mengatasi reaksi ENL yang terdapat pada pasien ini. Pada pasien ini juga
diberikan antihistamin. Antihistamin yang dipilih disini adalah
antihistamin golongan sedatif misalnya Klorfeniramin maleat 2 x 4 mg.
Obat ini dipilih karena murah serta mudah didapat, namun dapat
menyebabkan kantuk karena memiliki efek sedatif. 2,8,9

3) Pengobatan reaksi ENL


Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara
lain prednisone. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi,
biasanya 15-30 mg/hari dan dosisnya diturunkan bertahap.3,9

Minggu Pemberian Dosis harian yang dianjurkan

Minggu 1 - 2 40 mg
Minggu 3 – 4 30 mg
Minggu 5 - 6 20 mg
Mimggu 7 - 8 15 mg
Minggu 9 - 10 10 mg
Minggu 11 - 12 5 mg

44
Klofazimin juga dapat dipakai sebagai anti ENL, tetapi dengan
dosis yang lebih tinggi. Dosisnya antara 200-300mg/hari. Khasiatnya
lebih lambat daripada kortikosteroid dan dapat dipakai untuk
melepaskan ketergantungan kortikosteroid.3

2.13 Relaps
Relaps adalah kembalinya penyakit secara aktif pada pasien yang
sesungguhnya telah menyelesaikan pengobatan yang telah ditentukan dan
karena itu pengobatannya telah dihentikan oleh petugas kesehatan yang
berwenang.8
1) Relaps pada kusta pasibasilar dapat bermanifestasi:
a. Terjadinya pada kulit dan saraf dengan klasifiasi tipe kusta yang
sama seperti asalnya.
b. Manifestasi relaps mungkin secara klinis dan imunologis lebih
buruk dari klasifikasi asalnya, contoh: pasien dengan klasifikasi
asal BT dapat relaps dengan ciri-ciri BB atau BL.
c. Dapat bermanifestasi dalam bentuk yang lebih baik, contoh:
pasien yang asalnya BT dapat relaps dalam bentuk TT. 8
2) Relaps pada kusta multibasilar dapat bermanifestasi:
a. Relaps dapat terjadi dalam bentuk tipe klasifikasi yang sama
dengan asalnya.
b. Dapat bermanifestasi lebih buruk, contoh: pasien dengan bentuk
asal BB atau BL dapat relaps dengan gambaran LL.
c. Dapat bermanifestasi lebih baik, contoh: pasien dengan bentuk
asal LL dapat relaps dalam bentuk lepra borderline, misalnya BL,
BB atau BT.
d. Tipe lesi yang disebut histoid dapat terjadi pada beberapa kasus.
Relaps yang khas ini disebabkan oleh resistensi obat (terutama
terhadap dapson). 8

45
3) Gejala klinis Relaps adalah:
a. Meluasnya lesi yang telah ada, menebal, eritematosa atau
terjadinya infiltrat pada lesi yang sebelumnya telah menghilang,
atau terbentuknya lesi yang baru.
b. Penebalan atau kekakuan saraf, atau adanya saraf baru yang
terkena.
c. Ditemukan bakteri pada tempat yang sebelumnya negatif dan atau
positif pada lesi yang baru. 8

Tabel 2.7. Perbedaan Reaksi Tipe 1 dan Relaps kusta

No. Gejala/tanda Reaksi Tipe 1 Relaps


1 Interval/Onset Umumnya dalam 4 1 tahun atau lebih
minggu–6 bulan setelah RFT ;
pengobatan atau dalam 6 PB : 3 tahun pada non
bulan setelah RFT. Pada lepramatosa
reaksi berulang sampai 2 Borderline : 5 tahun
tahun setelah RFT MB : 9 tahun
2 Timbulnya Mendadak, cepat Lambat, bertahap
gejala
3 Tipe Kusta BT,BB,BL Semua Tipe
4 Lesi lama Beberapa atau seleuruh Eritem dan plak di tepi
lesi menjadi berkilap, lesi ; lesi bertambah
eritematosa dan bengkak dan meluas
; nyeri tekan (+) ;
konsistensi lunak.Terjadi
perubahan tipe ke arah
yang lebih baik ; edema
tangan dan kaki (+)
5 Lesi Baru Jumlah beberapa, Jumlahnya banyak
morfologi sama
6 Ulserasi (+) pada reaksi berat (-)

46
7 Keterlibatan Neuritis akut yang nyeri Terjadi keterlibatan
Saraf ; ada nyeri spontan ; saraf baru ; tanpa nyeri
abses saraf ; tiba-tiba ada spontan ; nyeri tekan
paralisis otot disertai positif ; ganggua
meluasnya gangguan motoris dan sensoris
sensorik terjadi lambat/ perlahan
8 Gangguan Mungkin (+) Mungkin (-)
Sistemik
9 BTA Terjadi Penurunan BI. BI mungkin positif
Peningkatan bentuk pada pasien dengan BI
granuler yang sebelumnya
negatif
10 Tes Lepromin Reaksi fernandez positif Hasil Tes bergantung
pada tipe BL dan BB pada tipe saat relaps
yang menjadi secara
berurutan menjadi BB
dan BT
11 Respon terhadap Excellent : Lesi Respon tidak ada atau
pemberian membaik dalam 2-4 sedikit
steroid minggu ; tetap membaik
dengan pengobatan 2
bulan

2.14 Pencegahan Cacat

Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat


MDT mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain
itu, penderita dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulit
multipel dan dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki resiko
tersebut.4

47
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya
sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula
menyadari adanya perubahan sensibilitas atau kekuatan otot. Keluhan
berbentuk nyeri saraf atau luka yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya
berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya saja. Juga ditemukan
keluhan sukarnya melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang
kancing baju, memegang pulpen atau mengambil benda kecil, atau
kesukaran berjalan. Keluhan tersebut harus diperiksa dengan teliti dengan
anamnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan, sebab
pengobatan dini dapat mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan
berlanjut. 4,8
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of
disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta,
pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan
mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan syaraf
serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila
terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana
misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena,
memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas,
dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan
pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa
ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki
direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah. 4,8,9
WHO Expert Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat
pada tangan, kaki dan mata bagi penderita kusta. Berikut adalah klasifikasi
4,8,9
cacat pada penderita kusta:
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 : Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan
atau deformitas yang terlihat.
Tingkat 1 : Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau
deformitas yang terlihat.

48
Tingkat 2 : Terdapat kerusakan atau deformitas.

Cacat pada mata


Tingkat 0 : Tidak ada kelainan atau kerusakan pada mata (termasuk
visus)
Tingkat 1 : Ada kelainan atau kerusakan pada mata, tetapi tidak
terlihat, visus sedikit berkurang.
Tingkat 2 : Ada kelainan mata yang terlihat (misalnya lagoftalmos,
iritis, kekeruhan kornea) dan atau visus sangat terganggu.

2.15 Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh
ialah antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya
tidak sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya secara kosmetik dapat
diperbaiki.8
Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan
yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat
meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik
(kejiwaan). 8

2.16 Komplikasi
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan.
Trauma dan infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari
jemari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan.
Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien
lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat
lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya
mortalitas. Amiloidos sekunder merupakan penyulit pada penyakit leprosa
berat terutama ENL kronik.5,8

49
2.17 Prognosis
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit.
Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan.
Terkadang pasien dapat mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta
kualitas hidup pasien menurun.6,9

50
DAFTAR PUSTAKA

1. PERDOSKI. 2014 Paduan Layanan Klinis Dokter spesialis dermatologi dan


venereologi. Jakarta

2. Ramaswari, N, 2015. Masalah reaksi reversal dan eritema nodosum leprosum


pada penyakit kusta. Vol. 42 No.9. Fakultas Kedokteran Udayana, Denpasar ;
Bali. Diakses tanggal 26 februari 2018

3. Tangkidi, D, dkk, 2015. Morbus hansen multibasiler relaps dengan reaksi


eritema nodosum leprosum bulosa pada seorang anak. Jurnal biomedik
(JBM), Volume 7, No 3. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin,
Fakultas Kedokteran Universitas Samratulangi ; Manado. Diakses tanggal 26
februari 2018.

4. Tiarasari, R, 2014. Rehabilitation and Disability Limitation Of Youth 22


Years Old Morbus Hansen. Jurnal Medula Unila. Volume 3 No 3. Fakultas
Kedokteran, Univeristas Lampung. Diakses tanggal 26 februari 2018.

5. Kementrian kesehatan indonesia. 2017. Profil kesehatan Indonesia tahun


2016. Jakarta diaskes dari (www.depkes.go.id/.../profil-kesehatan-
indonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-2016.pdf) tanggal 1 maret 2018

6. Goldsmit at all, Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Eight


Edition. Volume one. Mc Graw Hill.

7. Gunawan,dkk. 2011. Satu Kasus Kusta Multibasiler Tipe Borderlie


Lepromatous Pada Geriatri yang diterapi Dengan Rejimen Rifampisin-
Klaritromisin. Vol 38. SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, FK
Universitas Sam Ratulangi/RSU Prof.dr. R.D Kandou; Manado. Diakses
tanggal 26 februari 2018.

8. Kementerian Kesehatan RI, 2012. Pedoman Nasional Pengendalian Program


Penyakit Kusta ; Jakarta

9. Menaidi, S, dkk, 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh.
Cetakan Pertama 2016. FKUI ; Jakarta

51
10. Mudatsir, 2013. Perkembangan Terkini Penelitian Kusta Secara Biologi
Molekular. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, Volume 13. Bagian Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala banda Aceh. Diakses tanggal
26 february 2018

11. Solikhah, A, dkk, 2015. Hubungan tingkat pengetahuan tentang kusta


(leprosy) dengan perawatan diri pada penderita kusta di wilayah kabupaten
Sukoharjo. Dosen Keperawatan FIK UMS ; Surakarta. Diakses tanggal 26
februari 2018

12. Paulsen,J & Waschke, J, 2012. Sobotta Altas Anatomi Manusia. Edisi 23.
Jilid 3. EGC ; Jakarta

13. Noviastuti R, & Soleha.2017. Mobus Hansen Tipe Multibasiler (mid


borderline) dengan reaksi kusta reversal dan kecatatan tingkat I.; Bandar
Lampung. vol7 no.2 diaskes tanggal 26/02/2018

52

Anda mungkin juga menyukai