Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asfiksia adalah kumpulan dari pelbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam
pertukaran udara pernafasan yang normal. Gangguan tersebut dapat disebabkan karena
adanya obstruksi pada saluran pernafasan dan gangguan yang diakibatkan karena
terhentinya sirkulasi. Gangguan ini akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen
dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida. Keadaan
ini jika terus dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya kematian.
Asfiksia merupakan penyebab kematian terbanyak yang ditemukan dalam kasus
kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya obstruksi pada saluran
pernafasan disebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis inilah yang paling sering dijumpai
dalam kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Mengetahui
gambaran asfiksia, khususnya pada postmortem serta keadaan apa saja yang dapat
menyebabkan asfiksia, khususnya asfiksia mekanik mempunyai arti penting terutama
dikaitkan dengan proses penyidikan.
Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban yang
diduga karena peristiwa tindak pidana, seorang penyidik berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli
lainnya. Seorang dokter sebagaimana pasal 179 KUHAP wajib memberikan keterangan
yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan di bidang keahliannya
demi keadilan. Untuk itu, sudah selayaknya seorang dokter perlu mengetahui dengan
seksama perihal ilmu forensik, salah satunya asfiksia. Makalah ini secara garis besar akan
membahas mengenai asfiksia, khususnya asfiksia mekanik.
Visum et Repertum(VeR) merupakan salah satu bantuan yang sering diminta oleh pihak
penyidik (polisi) kepada dokter menyangkut perlukaan pada tubuh manusia. Visum et
Repertum(VeR) merupakan alat bukti dalam proses peradilan yang tidak hanya memenuhi
standar penulisan rekam medis, tetapi juga harus memenuhi hal-hal yang disyaratkan
dalam sistem peradilan.
Data di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa jumlah kasus perlukaan dan
keracunan yang memerlukan VeR pada unit gawat darurat mencapai 50-70%. Diban1

dingkan dengan kasus pembunuhan dan perkosaan, kasus penganiayaan yang


mengakibatkan luka merupakan jenis yang paling sering terjadi, dan oleh karenanya
penyidik perlu meminta VeR kepada dokter sebagai alat bukti di depan pengadilan.
Dalam praktik sehari-hari seorang dokter tidak hanya melakukan pemeriksaan medis
untuk kepentingan diagnostik dan pengobatan penyakit saja, tetapi juga untuk dibuatkan
suatu surat keterangan medis. Demikian pula halnya dengan seorang pasien yang datang ke
instalasi gawat darurat, tujuan utama yang bersangkutan umumnya adalah untuk
mendapatkan pertolongan medis agar penyakitnya sembuh. Namun dalam hal pasien
tersebut mengalami cedera, pihak yang berwajib dapat meminta surat keterangan medis
atau VeR dari dokter yang memeriksa. Jadi pada satu saat yang sama dokter dapat
bertindak sebagai seorang klinisi yang bertugas mengobati penyakit sekaligus sebagai
seorang petugas forensik yang bertugas membuat VeR. Sedangkan pasien bertindak
sebagai seorang yang diobati sekaligus korban yang diperiksa dan hasilnya dijadikan alat
bukti.
Sebuah VeR yang baik harus mampu membuat terang perkara tindak pidana yang
terjadi dengan melibatkan bukti-bukti forensik yang cukup. Tetapi hasil penelitian di
Jakarta menunjukkan bahwa hanya 15,4% dari VeR perlukaan rumahsakit umum DKI
Jakarta berkualitas baik, sementara di Pekanbaru menunjukkan bahwa 97,06 % berkualitas
jelek dan tidak satu pun yang memenuhi kriteria VeR yang baik. Dari kedua penelitian
tersebut juga menunjukkan bahwa bagian pemberitaan dan bagian kesimpulan merupakan
bagian yang paling kurang diperhatikan oleh dokter. Kualitas bagian pemberitaan berturutturut untuk Jakarta dan Pekanbaru adalah 36,9% dan 29,9%, yang berarti berkualitas
buruk. Nilai kualitas bagian pemberitaan merupakan nilai yang terendah dari ketiga bagian
VeR. Unsur yang tidak dicantumkan oleh hampir semua dokter adalah anamnesis, tanda
vital, dan pengobatan perawatan. Hal tersebut mungkin disebabkan masih adanya
anggapan bahwa anamnesis, tanda vital dan pengobatan tidak penting dituliskan dalam
VeR, atau juga dapat disebabkan karena dokter pembuat VeR tidak mengetahui bahwa
unsur tersebut perlu dicantumkan dalam pembuatan VeR.

1.2 Tujuan Pembahasan


Dalam penyusunan makalah ini tentunya memiliki tujuan yang diharapkan berguna
bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Dimana tujuannya dibagi
menjadi dua macam yang pertama secara umum makalah ini bertujuan menambah
wawasan mahasiswa/I dalam menguraikan suatu persoalan secara holistik dan tepat, dan
melatih pemikiran ilmiah dari seorang mahasiswa/I fakultas kedokteran, dimana pemikiran
ilmiah tersebut sangat dibutuhkan bagi seorang dokter agar mampu menganalisis suatu
persoalan secara cepat dan tepat. Sedangkan secara khusus tujuan penyusunan makalah ini
ialah sebagai berikut :
a. Melengkapi tugas small group discussion skenario tiga, modul dua puluh dua tentang
asfiksia dan visum et repertum.
b. Menambah khasanah ilmu pengetahuan para pembaca dan penulis.
c. Sebagai bahan referensi mahasiswa/I Fakultas Kedokteran UISU dalam menghadapi
ujian akhir modul.
Itulah merupakan tujuan dalam penyusunan makalah ini, dan juga sangat diharapkan
dapat berguna setiap orang yang membaca makalah ini. Semoga seluruh tujuan tersebut
dapat tercapai dengan baik

1.3 Metode dan Teknik


Dalam penyusunan makalah ini kami mengembangkan suatu metode yang sering
digunakan

dalam

pembahasan-pembahasan

makalah

sederhana,

yaitu

dengan

menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim penyusun mencari sumber
data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu dianalisis sehinggga diperoleh
informasi tentang masalah yang akan dibahas setelah itu berbagai referensi yang
didapatkan dari berbagai sumber tersebut disimpulan sesuai dengan pembahasan yang akan
dilakukan dan sesuai dengan judul makalah dan dengan tujuan pembuatan makalah ini.
Itulah sekilas tentang metode dan teknik yang digunakan dalam penyusunan makalah ini.

BAB II
3

PEMBAHASAN

2.1 Skenario
MATI TENGGELAM (DROWNING)
Dijumpai sesosok mayat wanita terapung disungaai. Masyarakat setempat
melaporkan temuan tersebut kepolisi dan kemudian mayat dibawa kekamar mayat suatu
rumah sakit. Pada mayat dijumpai tanda-tanda asfiksia seperti sianosis pada kuku dan
bibir, perdarahan pada sub conjungtiva, terdapat buih halus yang sukar pecah dihidung,
juga dijumpai cadaveric spasme, washer womens hand dan cutis anserina.
Polisi mencurigai kematian korban akibat suatu tinak pidana, dimana korban
dibunuh terlebih dahulu baru ditenggelamkan, sehingga polisi meminta kepada dokter
dirumah sakit tersebut membuat VeR.

2.2 Asfiksia
2.2.1 Defenisi Asfiksia
Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar oksigen
(O2) dan berlebihnya kadar karbon dioksida (CO2) secara bersamaan dalam darah dan
jaringan tubuh akibat gangguan pertukaran antara oksigen (udara) dalam alveoli paru-paru
dengan karbon dioksida dalam darah kapiler paru-paru. Kekurangan oksigen disebut
hipoksia dan kelebihan karbon dioksida disebut hiperkapnia.
Asfiksia berasal dari bahasaYunani, yaitu terdiri dari a yang berarti tidak, dan
sphinx yang artinya nadi. Jadi secara harfiah, asfiksia diartikan sebagai tidak ada
nadi atau tidak berdenyut. Pengertian ini sering salah dalam penggunaannya. Akibatnya
sering menimbulkan kebingungan untuk membedakan dengan status anoksia lainnya.
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai
dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh
mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian (Ilmu Kedokteran
Forensik, 1997). Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia (Amir,
2008).
2.2.2

Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut (Ilmu Kedokteran
4

Forensik, 1997):
1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti
laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan
atau halangan pada saluran napas dan sebagainya.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya barbiturat dan
narkotika.
Penyebab tersering asfiksia dalam konteks forensik adalah jenis asfiksia mekanik,
dibandingkan dengan penyebab yang lain seperti penyebab alamiah ataupun keracunan
(Knight, 1996 ).
2.2.3

Fisiologi

Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia (Amir, 2008), yaitu:


1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
a. Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi
kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam
selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni
atau sufokasi.
b. Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan,
gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienumdalam
tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati pada anemia berat
dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan sedikitnya kendaraan yang
membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal jantung,
syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi sirkulasi
darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Ganggua n terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak dapat
menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:
a. Ekstraseluler
5

Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida terjadi
perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan kematian
segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom dihambat secara
parsial sehingga kematian berlangsung perlahan.
b. Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan permeabilitas
membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut dalam lemak seperti
kloform, eter dan sebagainya.
c. Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O 2 oleh
d.

jaringan seperti pada keadaan uremia.


Substrat
Dalam hal ini makanan tidak mencukup i untuk metabolisme yang efisien, misalnya
pada keadaan hipoglikemia.

2.2.4

Patologi

Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan (Amir,
2008), yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari
asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian otak
tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih rentan
terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum,
serebellum, dan basal ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan pada
organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan
akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan
mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen
dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal
jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada:
a. Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
b. Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus
alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara
masuk ke paru-paru.
6

c. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (Traumatic


asphyxia).
d. Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan,
misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.
2.2.5

Stadium Pada Asfiksia

Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan dalam 4
stadium (Amir, 2008), yaitu:
1. Stadium Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 akan merangsang pusat
pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) bertambah dalam dan cepat
disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah cemas, bibir mulai kebiruan,
mata menonjol, denyut nadi dan tekanan darah meningkat. Bila keadaan ini berlanjut,
maka masuk ke stadium kejang.
2. Stadium Kejang
Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh, kesadaran hilang
dengan cepat, spinkter mengalami relaksasi sehingga feses dan urin dapat keluar
spontan. Denyut nadi dan tekanan darah masih tinggi, sianosis makin jelas. Bila
kekurangan O2 ini terus berlanjut, maka penderita akan masuk ke stadium apnoe.
3. Stadium Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot menjadi lemah,
hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun, pernafasan dangkal dan
semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya pusat-pusat
kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada
stadium ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya
berkisar antara 3-5 menit.
2.2.6

Tanda-tanda Asfiksia

Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat asfiksia,
telah ditetapkan beberapa tanda klasik (Knight, 1996), yaitu:
1. Tardieus spot (Petechial hemorrages)
Tardieus spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang menyebabkan
overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan longgar,
seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral
skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung,
7

paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium,
peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.
2. Kongesti dan Oedema
Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie. Kongesti
adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ
yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena
yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang
mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan
perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi
pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema).
3. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir yang
terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan
dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram
hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas
dari jumlah tot al hemoglobin. Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi
leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena
yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung
kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.
4. Tetap cairnya darah
Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang tetap
cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia adalah
bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan sistem vena
setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencairan
bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam
diagnosis asfiksia
2.2.7 Pemeriksaan Jenazah
2.2.7.1 Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997):
1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.
2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan
tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam
mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin
dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.
4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas
pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas.
Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang
kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler. Kapiler yang lebih mudah
8

pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi,
palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah.
5. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva
bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam
pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu,
hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari
selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai
Tardieus spot. Penulis lain mengatakan bahwa Tardieus spotinitimbul karena
permeabilitas kapiler yang meningkat akibat hipoksia.
2.2.7.2 Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran Forensik,
1997):
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang meningkat
paska kematian.
2. Busahalus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat,
berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang
jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di lobus
bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama
daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring langsung
atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan krikoid
(pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).

2.3 Asfiksia Mekanik


Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang
memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997), misalnya:
a. Penutupan

lubang saluran pernapasan bagian atas, seperti pembekapan

(smothering) dan penyumbatan (gagging dan choking).


b. Penekanan dinding saluran pernapasan, seperti penjeratan (strangulation),
pencekikan (manual strangulation, throttling) dan gantung (hanging).
c. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)

2.3.1 Mati Gantung (Hanging)


2.3.1.1 Defenisi
Mati gantung (hanging) merupakan suatu bentuk kematian akibat pencekikan
dengan alat jerat, di mana gaya yang bekerja pada leher berasal dari hambatan gravitasi
dari berat tubuh atau bagian tubuh (Knight, 1996).
2.3.1.2 Etiologi Kematian pada Penggantungan
Ada 6 penyebab kematian pada penggantungan (Modi,1988), yaitu:
a. Asfiksia
Merupakan penyebab kematian yang tersering. Alat penjerat biasanya berada di atas
tulang rawan tiroid yang menyebabkan penekanan pada leher, sehingga saluran
pernafasan menjadi tersumbat.
b. Kongesti Vena
Disebabkan oleh lilitan tali pengikat pada leher sehingga terjadi penekanan pada vena
jugularis oleh alat penjerat sehingga sirkulasi serebral menjadi terhambat.
c. Kombinasi Asfiksia dan Kongesti Vena
Merupakan penyebab kematian yang paling umum, seperi pada kebanyakan kasus
dimana saluran napas tidak seluruhnya dihalangi oleh penjerat yang berada di sekitar
leher.
d. Iskemik Otak(anoxia)
Disebabkan oleh penekanan pada arteri besar di leher yang berperan dalam menyuplai
darah ke otak, umunya pada arteri karotis dan arteri vertebralis.
e. Syok Vagal
Menyebabkan serangan jantung mendadak karena terjadinya hambatan pada refleks
vaso-vagal secara tiba-tiba, hal ini terjadi karena adanya tekanan pada saraf vagus atau
sinus karotid.
f. Fraktur atau Dislokasi dari Verterbra Servikal 2 dan 3
Biasanya terjadi pada kasus judicial hanging, hentakan yang tiba-tiba pada ketinggian
1-2 m oleh berat badan korban dapat menyebabkan fraktur dan dislokasi dari vertebra
servikalis yang selanjutnya dapat menekan atau merobek spinal cord sehingga terjadi
kematian yang tiba-tiba.
2.3.1.3 Jenis Penggantungan
1. Dari letak tubuh ke lantai dapat dibedakan menjadi 2 tipe (Amir,2008), yaitu:
a. Tergantung Total (complete), dimana tubuh seluruhnya tergantung di atas lantai.
b. Setengah Tergantung (partial), dimana tidak seluruh bagian tubuh tergantung,
misalnya pada posisi duduk, bertumpu pada kedua lutut, dalam posisi telungkup
dan posisi lain.
2. Dari letak jeratan dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2008), yaitu:
10

a. Tipikal, dimana letak simpul di belakang leher, jeratan berjalan simetris di samping
leher dan di bagian depan leher di atas jakun. Tekanan pada saluran nafas dan arteri
karotis paling besar pada tipe ini.
b. Atipikal, bila letak simpul di samping, sehingga leher dalam posisi sangat miring
(fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan pada arteri karotis dan arteri
vetebralis. Saat arteri terhambat, korban segera tidak sadar.
2.3.1.4 Tanda Post Mortem
Tanda post mortem sangat berhubungan dengan penyebab kematian atau tekanan di
leher. Kalau kematian terutama akibat sumbatan pada saluran pernafasan maka dijumpai
tanda-tanda asfiksia, respiratory distress, sianose dan fase akhir konvulsi lebih menonjol.
Bila kematian karena tekanan pembuluh darah vena, maka sering didapati tanda-tanda
pembendungan dan perdarahan (ptechial) di konjungtiva bulbi, okuli dan di otak bahkan
sampai ke kulit muka. Bila tekanan lebih besar sehingga dapat menutup arteri, maka tandatanda kekurangan darah di otak lebih menonjol (iskemi otak), yang menyebabkan
gangguan pada sentra respirasi dan berakibat gagal nafas. Tekanan pada sinus karotikus
menyebabkan jantung tiba-tiba berhenti dengan tanda-tanda post mortem yang minimal.
Tanda- tanda di atas jarang berdiri sendiri, tetapi umumnya akan didapati tanda-tanda
gabungan (Amir, 2008).
2.3.1.5 Pemeriksaan Jenazah
A. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar penting diperiksa bekas jeratan di leher (Amir, 2008), yaitu:
1. Bekas jeratan (ligature mark) berparit, bentuk oblik seperti V terbalik, tidak
bersambung, terletak di bagian atas leher, berwarna kecoklatan, kering seperti kertas
perkamen, kadang-kadang disertai luka lecet dan vesikel kecil di pinggir jeratan. Bila
lama tergantung, di bagian atas jeratan warna kulit akan terlihat lebih gelap karena
adanya lebam mayat.
2. Kita dapat memastikan letak simpul dengan menelusuri jejas jeratan. Simpul terletak di
bagian yang tidak ada jejas jeratan, kadang di dapati juga jejas tekanan simpul di kulit.
Bila bahan penggantung kecil dan keras (seperti kawat), maka jejas jeratan tampak
dalam, sebaliknya bila bahan lembut dan lebar (seperti selendang), maka jejas jeratan
tidak begitu jelas. Jejas jeratan juga dapat dipengaruhi oleh lamanya korban tergantung,
berat badan korban dan ketatnya jeratan. Pada keadaan lain bisa didapati leher dibeliti
beberapa kali secara horizontal baru kemudian digantung, dalam kasus ini didapati
11

beberapa jejas jeratan yang lengkap, tetapi pada satu bagian tetap ada bagian yang tidak
tersambung yang menunjukkan letak simpul.
3. Leher bisa didapati sedikit memanjang karena lama tergantung, bila segera diturunkan
tanda memanjang ini tidak ada. Muka pucat atau bisa sembab, bintik perdarahan
Tardieus spot tidak begitu jelas, lidah terjulur dan kadang tergigit, tetesan saliva
dipinggir salah satu sudut mulut, sianose, kadang-kadang ada tetesan urin, feses dan
sperma.
4. Bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat didapati di kaki dan tangan
bagian bawah. Bila segera diturunkan, lebam mayat bisa di dapati di bagian depan atau
belakng tubuh sesuai dengan letak tubuh sesudah diturunkan. Kadang penis tampak
ereksi akibat terkumpulnya darah.
B. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam perlu diperhatikan (Amir, 2008):
1. Jaringan otot setentang jeratan didapati hematom, saluran pernafasan congested,
demikian juga paru-paru dan organ dalam lainnya. Terdapat Tardieus spot di
permukaan paru-paru, jantung dan otak. Darah berwarna gelap dan encer
2. Patah tulang lidah (os hyoid) sering didapati, sedangkan tulang rawan yang lain jarang
3. Didapati adanya robekan melintang berupa garis berwarna merah (red line) pada tunika
intimadari arteri karotis interna.
2.3.2 Pembekapan
2.3.2.1 Defenisi
Pembekapan (smoothering) adalah asfiksia yang terjadi karena ditutupnya saluran
napas bagian luar yaitu hidung dan mulut korban sekaligus. Biasanya dilakukan terhadap
korban yang lemah atau tidak berdaya. Bisa dilakukan dengan telapak tangan atau
memakai benda lain seperti kain, handuk, bantal plester lebar, menekan muka korban
kekasur dan lain-lain. Pembunuhan anak atau pembunuhan pada orang tua dan orang
lemah lainnya sering menggunakan cara ini. Bila daerah mulut dan hidung kecil maka
pemakaian telapak tangan cukup untuk itu, tetapi bila lebih luas dan kemungkinan tidak
dapat ditutup sekaligus maka dipergunakan bantal, selimut, atau bahan yang lain.
Dapat juga terjadi karena kecelakaan pada anak karena tertindih bantal atau
tertindih buah dada karena ketiduran waktu menyusukan bayi. Walaupun jarang, dapat juga
terjadi bunuh diri dengan cara mengikatkan gulungan kain atau bantal menutup muka.

12

2.3.2.2 Tanda Post Mortem


Dijumpai tanda-tanda perbendungan, muka bengkak (congested), bintik perdarahan
pada bola dan kelopak mata (tardeous spot), mata melotot dan sianose pada bagian akral
tubuh seperti kuku, bibir, hidung, dan kuping, luka lecet dan hematom karena tekanan
dibagian dalam bibir.
Pada pembunuhan, bila digunakan tenaga lebih dari seperlunya, didapati luka lecet
disekitar mulut dan hidung. Tetapi bila dipakai bahan yang halus atau muka korban
dibalikkan kekasur maka tanda-tanda kekerasan seperti lecet mungkin sedikit atau tidak
didapati sama sekali. Sebab kematian, murni karena kekurangan oksigen.

2.3.3

Penyumbatan Saluran Nafas (Gagging dan Choking)

Sumbatan saluran nafas bagian atas oleh benda asing. Pada gagging sumbatan pada
orofaring, mulut disumpal dengan kain, sedangkan pada choking sumbatan pada
laringofaring. Ini sering pada anak tertelan bombon, kacang dan lain-lain. Jenis asfiksia ini
jarang ditemukan, kecuali pada pembungkaman korban dengan penyumpalan mulut
dengan kain, begitu juga pada pembunuhan anak.
Tanda post mortem yang penting adalah tanda-tanda asfiksia dan adanya benda asing
didalam mulut. Benda asing bisa berupa potongan kain, kertas koran, tisu, sapu-tangan,
gigi palsu dan sebagainya.
2.3.4 Penjeratan (Strangulation)
2.3.4.1 Defenisi
Jerat (strangulation by ligature) adalah suatu strangulasi berupa tekanan pada leher
korban akibat suatu jeratan dan menjadi erat karena kekuatan lain bukan karena berat
badan korban.
2.3.4.2 Etiologi Kematian pada Penjeratan
Ada 3 penyebab kematian pada jerat (strangulation by ligature), yaitu :
a. Asfiksia
b. Iskemia
c. Vagal refleks
2.3.4.3 Cara Kematian pada Penjeratan
13

Ada 3 cara kematian pada kasus jeratan (strangulation by ligature), yaitu :


a. Pembunuhan (paling sering).
Pembunuhan pada kasus jeratan dapat kita jumpai pada kejadian infanticide dengan
menggunakan tali pusat, psikopat yang saling menjerat, dan hukuman mati (zaman
dahulu).
b. Kecelakaan.
Kecelakaan pada kasus jeratan dapat kita temukan pada bayi yang terjerat oleh tali
pakaian, orang yang bersenda gurau dan pemabuk. Vagal reflex menjadi penyebab
kematian pada orang yang bersenda gurau.
c. Bunuh diri.
Pada kasus bunuh diri dengan jeratan, dilakukan dengan melilitkan tali secara
berulang dimana satu ujung difiksasi dan ujung lainnya ditarik. Antara jeratan dan
leher dimasukkan tongkat lalu mereka memutar tongkat tersebut.
Hal-hal penting yang perlu kita perhatikan pada kasus jeratan, antara lain :
a.
b.
c.
d.
e.

Arah jerat mendatar / horisontal.


Lokasi jeratan lebih rendah daripada kasus penggantungan.
Jenis simpul penjerat.
Bahan penjerat misalnya tali, kaus kaki, dasi, serbet, serbet, dan lain-lain.
Pada kasus pembunuhan biasanya kita tidak menemukan alat yang digunakan untuk
menjerat.

2.3.4.4 Gambaran Post mortem


Pemeriksaan otopsi pada kasus jeratan (strangulation by ligature) mirip kasus
penggantungan (hanging) kecuali pada :
a. Distribusi lebam mayat yang berbeda.
b. Alur jeratan mendatar / horisontal.
c. Lokasi jeratan lebih rendah.
2.3.5 Pencekikan
2.3.5.1 Definisi
Pencekikan (manual strangulasi) adalah suatu strangulasi berupa tekanan pada leher
korban yang dilakukan dengan menggunakan tangan atau lengan bawah. Pencekikan dapat
dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
a. Menggunakan 1 tangan dan pelaku berdiri di depan korban.
b. Menggunakan 2 tangan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang korban.
c. Menggunakan 1 lengan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang korban.
Apabila pelaku berdiri di belakang korban dan menarik korban ke arah pelaku maka ini
disebut mugging.
14

2.3.5.2 Etiologi Kematian pada Pencekikan


Ada 3 penyebab kematian pada pencekikan, yaitu :
a. Asfiksia
b. Iskemia
c. Vagal reflex
2.3.5.3 Cara Kematian pada Pencekikan
Ada 2 cara kematian pada kasus pencekikan, yaitu :
a. Pembunuhan (hampir selalu).
b. Kecelakaan, biasanya mati karena vagal reflex.
2.3.5.4 Gambaran Post mortem Pencekikan
A. Pemeriksaan Luar
Yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan luar kasus pencekikan, antara lain :
1. Tanda asfiksia.
Tanda-tanda asfiksia pada pemeriksaan luar otopsi yang dapat kita temukan antara lain
adanya sianotik, petekie, atau kongesti daerah kepala, leher atau otak. Lebam mayat
akan terlihat gelap.
2. Tanda kekerasan pada leher.
Tanda kekerasan pada leher yang penting kita cari, yaitu bekas kuku dan bantalan jari.
Bekas kuku dapat kita kenali dari adanya crescent mark, yaitu luka lecet berbentuk
semilunar/bulan sabit. Terkadang kita dapat menemukan sidik jari pelaku. Perhatikan
pula tangan yang digunakan pelaku, apakah tangan kanan (right handed) ataukah
tangan kiri (left handed). Arah pencekikan dan jumlah bekas kuku juga tak luput dari
perhatian kita.
3. Tanda kekerasan pada tempat lain.
Tanda kekerasan pada tempat lain dapat kita temukan di bibir, lidah, hidung, dan lainlain. Tanda ini dapat menjadi petunjuk bagi kita bahwa korban melakukan perlawanan.
B. Pemeriksaan Dalam
Hal yang penting pada pemeriksaan dalam bagian leher kasus pencekikan, yaitu :
1. Perdarahan atau resapan darah.
Perdarahan atau resapan darah dapat kita cari pada otot, kelenjar tiroid, kelenjar ludah,
dan mukosa & submukosa pharing atau laring.
2. Fraktur.
Fraktur yang paling sering kita temukan pada os hyoid. Fraktur lain pada kartilago
tiroidea, kartilago krikoidea, dan trakea.
3. Memar atau robekan membran hipotiroidea.
4. Luksasi artikulasio krikotiroidea dan robekan ligamentum pada mugging.
15

2.3.6

Tenggelam
Tenggelam adalah penyebab signifikan kecacatan dan kematian. Tenggelam telah

didefenisikan sebagai kematian sebelumnya sekunder untuk sesak napas sementara


terbenam dalam suatu cairan, biasanya air, atau dalam waktu 24 jam perendaman. Pada
Kongres Dunia 2002 yang diadakan di Amsterdam, sekelompok ahli menyarankan sebuah
definisi konsensus baru untuk tenggelam dalam rangka mengurangi kebingungan atas
jumlah istilah dan definisi (> 20) merujuk kepada proses ini yang telah muncul dalam
literatur. Grup yang percaya bahwa definisi yang seragam akan memungkinkan analisa
lebih akurat dan perbandingan studi, memungkinkan peneliti untuk menarik kesimpulan
lebih bermakna dari mengumpulkan data, dan meningkatkan kemudahan kegiatan
surveilans dan pencegahan (Shepherd, 2009).
2.3.6.1 Definisi
Tenggelam secara definisi tenggelam diartikan sebagai suatu keadaan tercekik dan
mati yang disebabkan oleh terisinya paru dengan air atau bahan lain atau cairan sehingga
pertukaran gas menjadi tidak mungkin. Sederhananya, tenggelam adalah merupakan akibat
dari terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke dalam cairan (Idries, 1997).
2.3.6.2 Jenis Tenggelam
Tenggelam dibagi menjadi beberapa jenis antara lain :
a.
b.
c.
d.

wet drowning
dry drowning
secondary drowning
the immersion syndrome (cold water drowning), (Modi, 1988)

Wet drowning adalah kematian tenggelam akibat terlalu banyaknya air yang terinhalasi.
Pada kasus wet drowning ada tiga penyebab kematian yang terjadi, yaitu akibat asfiksia,
fibrilasi ventrikel pada kasus tenggelam di air tawar, dan edema paru pada kasus tenggelam
di air asin.
Dry drowning adalah suatu kematian tenggelam dimana air yang terinhalasi sedikit.
Penyebab kematian pada kasus ini sendiri dikarenakan terjadinya spasme laring yang
menimbulkan asfiksia dan terjadinya refleks vagal, cardiac arrest, atau kolaps sirkulasi
(Modi, 1988).
Secondary drowning adalah suatu keadaan dimana terjadi gejala beberapa hari setelah
korban tenggelam (dan diangkat dari dalam air) dan korban meninggal akibat komplikasi.
16

Immersion drowning adalah suatu keadaan dimana korban tiba-tiba meningga l setelah
tenggelam dalam air dingin akibat refleks vagal. Pada umumnya alkohol dan makan terlalu
banyak merupakan faktor pencetus pada kejadian ini (Modi, 1988).
2.3.6.3 Pemeriksaan pada Kasus Tenggelam
1. Pemeriksaan luar
Penurunan suhu mayat, berlangsung cepat, rata-rata 5 0F per menit. Suhu tubuh akan
sama dengan suhu lingkungan dalam waktu 5 atau 6 jam.
Lebam mayat, akan tampak jelas pada dada bagian depan, leher dan kepala. Lebam
mayat berwarna merah terang yang perlu dibedakan dengan lebam mayat yang terjadi pada
keracunan CO.
Pembusukan sering tampak, kulit berwarna kehijauan atau merah gelap. Pada
pembusukan lanjut tampak gelembung-gelembung pembusukan, terutama bagian atas
tubuh, dan skrotum serta penis pada pria dan labia mayora pada wanita, kulit telapak
tangan dan kaki mengelupas.
Gambaran kulit angsa (goose-flesh, cutis anserina), sering dijumpai; keadaan ini terjadi
selama interval antara kematian somatik dan seluler, atau merupakan perubahan post
mortal karena terjadinya rigor mortis. Cutis anserina tidak mempunyai nilai sebagai kriteria
diagnostik.
Busa halus putih yang berbentuk jamur (mushroom-like mass) tampak pada mulut atau
hidung atau keduanya. Terbentuknya busa halus tersebut adalah masuknya cairan ke dalam
saluran pernapasan merangsang terbentuknya mukus, substansi ini ketika bercampur
dengan air dan surfaktan dari paru-paru dan terkocok oleh karena adanya upaya pernapasan
yang hebat. Pembusukan akan merusak busa tersebut dan terbentuknya pseudofoam yang
berwarna kemerahan yang berasal dari darah dan gas pembusukan.
Perdarahan berbintik (petechial haemmorrhages), dapat ditemukan pada kedua kelopak
mata, terutama kelopak mata bagian bawah.
Pada pria genitalianya dapat membesar, ereksi atau semi-ereksi. Namun yang paling
sering dijumpai adalah semi-ereksi.
Pada lidah dapat ditemukan memar atau bekas gigitan, yang merupakan tanda bahwa
korban berusaha untuk hidup, atau tanda sedang terjadi epilepsi, sebagai akibat dari
masuknya korban ke dalam air.
Cadaveric spasme, biasanya jarang dijumpai, dan dapat diartikan bahwa berusaha
untuk tidak tenggelam, sebagaimana sering didapatkannya dahan, batu atau rumput yang
17

tergenggam, adanya cadaveric spasme menunjukkan bahwa korban masih dalam keadaan
hidup pada saat terbenam.
Luka-luka pada daerah wajah, tangan dan tungkai bagian depan dapat terjadi akibat
persentuhan korban dengan dasar sungai, atau terkena benda-benda di sekitarnya; lukaluka tersebut seringkali mengeluarkan darah, sehingga tidak jarang memberi kesan
korban dianiaya sebelum ditenggelamkan.
Pada kasus bunuh diri dimana korban dari tempat yang tinggi terjun ke sungai,
kematian dapat terjadi akibat benturan yang keras sehingga menyebabkan kerusakan pada
kepala atau patahnya tulang leher.
Bila korban yang tenggelam adalah bayi, maka dapat dipastikan bahwa kasusnya
merupakan kasus pembunuhan. Bila seorang dewasa ditemukan mati dalam empang yang
dangkal, maka harus dipikirkan kemungkinan adanya unsur tindak pidana, misalnya
setelah diberi racun korban dilempar ke tempat tersebut dengan maksud mengacaukan
penyidikan (Idries, 1997).
2. Pemeriksaan dalam
Untuk sebagian kasus asfiksia merupakan penyebab umum terjadinya kematian ini. Hal
tersebut dikarenakan air yang masuk ke paru-paru akan bercampur dengan udara dan lendir
sehingga menghasilkan buih-buih halus yang memblok udara di vesikula. Dalam beberapa
kasus, kematian dapat terjadi dari asfiksia obstruktif yang juga dikenal sebagai tenggelam
kering yang disebabkan oleh kejang laring yang dibentuk oleh sejumlah kecil air yang
memasuki laring. Pada beberapa kasus lainnya air tidak masuk ke paru-paru sehingga
tanda-tanda klasik tenggelam tidak dapat kita temukan (Modi, 1988)
Sebelum kita melakukan pemeriksaan dalam pada korban tenggelam, kita harus
memperhatikan apakah mayat korban tersebut sudah dalam keadaan pembusukan lanjut
atau belum. Apabila keadaan mayat telah mengalami pembusukan lanjut, maka
pemeriksaan dan pengambilan kesimpulan akan menjadi lebih sulit.
Pemeriksaan terutama ditujukan pada sistem pernapasan, busa halus putih dapat
mengisi trakhea dan cabang-cabangnya, air juga dapat ditemukan, demikian pula halnya
dengan benda-benda asing yang ikut terinhalasi bersama air.
Benda asing dalam trakhea dapat tampak secara makroskopik misalnya pasir, lumpur,
binatang air, tumbuhan air dan sebagainya. Sedangkan yang tampak secara mikroskopik
diantaranya telur cacing dan diatome (Idries, 1997).

18

Diatome adalah sejenis ganggang yang mempunyai dinding dari silikat. Silikat ini
tahan terhadap pemanasan dan asam keras. Diatome dijumpai di air tawar, air laut, sungai,
sumur, dan lain-lain.
Pada korban mati tenggelam diatome akan masuk ke dalam saluran pernafasan dan
saluran pencernaan, karena ukurannya yang sangat kecil, ia di absorpsi dan mengikuti
aliran darah. Diatome ini dapat sampai ke hati, paru, otak, ginjal, dan sumsum tulang. Bila
diatome positif berarti korban masih hidup sewaktu tenggelam.
Oleh karena banyak terdapat di alam dan tergantung musim, maka tidak ditemukannya
diatome tidak dapat menyingkirkan bahwa korban bukan mati tenggelam. Relevansi
diatome terbatas pada tenggelam dengan mekanisme asfiksia.
Cara pemeriksaan diatome adalah :
1. Ambil jaringan paru sebanyak 150-200 gram, bersihkan lalu masukkan ke dalam
tabung Erlenmeyer, masukkan H2SO4 pekat sampai menutup seluruh jaringan paru
dan biarkan selama 24 jam sehingga seluruh jaringan paru hancur dan seperti bubur
hitam.
2. Panaskan dengan api yang kecil sampai mendidih sehingga semuanya benar-benar
hancur.
3. Tuangkan ke dalamnya beberapa tetes HNO3 pekat, sampai warnanya kuning jernih.
4. Cairan disentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm.
5. Sedimennya dicuci dengan akuades kemudian disentrifuge lagi. Sedimennya dilihat
dibawah mikroskop. Periksalah kerangka diatome yang berupa sel-sel yang cerah
dengan dinding bergaris-garis bentuk bulat, panjang, dan lain-lain (Modi, 1988).
Pleura juga dapat kita temukan pada pemeriksaan kasus ini. Pleura yang ditemukan
dapat berwarna kemerahan dan terdapat bintik-bintik perdarahan, perdarahan ini dapat
terjadi karena adanya kompresi terhadap septum inter alveoli atau oleh karena terjadinya
fase konvulsi akibat kekurangan oksigen.
Bercak perdarahan yang besar (diameter 3-5 cm), terjadi karena robeknya partisi
interalveolar dan sering terlihat di bawah pleura. Bercak ini disebut bercak Paltouf yang
ditemukan pada tahun 1882 dan diberi nama sesuai dengan nama yang pertama mencatat
kelainan tersebut.
Bercak paltoufberwarna biru kemerahan dan banyak terlihat pada bagian bawah paruparu, yaitu pada permukaan anterior dan permukaan antar bagian paru-paru. (Spitz, 1997).
Kongesti pada laringmerupakan kelainan yang berarti, paru-paru biasanya sangat
mengembang, seringkali menutupi perikardium dan pada permukaan tampak adanya jejas
dari tulang iga, pada perabaan kenyal.
19

Edema dan kongesti paru-paru dapat sangat hebat sehingga beratnya dapat mencapai
700-1000 gram, dimana berat paru-paru normal adalah sekitar250-300 gram(Williams,
1998).
Paru-paru pucat dengan diselingi bercak-bercak merah di antara daerah yang berwarna
kelabu. Pada pengirisan tampak banyak cairan merah kehitaman bercampur buih keluar
dari penampang tersebut, yang pada keadaan paru-paru normal, keluarnya cairan
bercampur busa tersebut baru tampak setelah dipijat dengan dua jari. Gambaran paru-paru
seperti tersebut diatas dikenal dengan nama emphysema aquosum atau emphysema
hydroaerique.
Obstruksi pada sirkulasi paru-paru akan menyebabkan distensi jantung kanan dan
pembuluh vena besar dan keduanya penuh berisi darah yang berwarna merah gelap dan
cair, tidak ada bekuan (Idries, 1997).
2.4 Visum et Repertum
2.4.1 Definisi Visum et Repertum
Visum et Repertum artinya laporan ahli (pengadilan) dan sambil menunjuk LN
1937-380 RIB/306
Sepintas lalu, rationalnya apa yang dimaksud oleh Mr. Van Der Tas sudah langsung
masuk dalam pengertian perundang-undangan. Karena itu dimungkinkan sekali oleh kaum
awam untuk dapat dimengerti.
R. Atang Ranoemihardja, SH menulis:
Pengertian yang terkandung dalam Visum et Repertum ialah yang diliha dan
ketemukan, jadi Visum et Repertum adalah suatu keterangan dokter tentang apa yang di
lihat dan di ketemukan dalam melakukan terhadap orang luka atau terhadap mayat. Jadi
merupakan kesaksian tertulis.
R. Soeparmono, SH menulis:
Pengertian harafiah Visum et Repertum berasal dari kata-kata visual yaitu
melihat dan repertum yaitu melaporkan. Berarti apa yang dilihat dan diketemukan
sehingga Visum et Repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang
dibuat berdasarkan sumpah, perihal apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup,
mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan
pengetahuan yang sebaik-baiknya.

20

Atas dasar penglihatan dalam pemeriksaan in casu selanjutnya diambil kesimpulan


yang juga merupakan pendapat dari seorang ahli ataupun kesaksian (ahli) secara tertulis
sebagaimana yang tertuang dalam bagian pembuktian (hasil pemeriksaan).
Umumnya diketahui pada garis besarnya bahwa Visum et Repertum adalah
merupakan suatu hasil dari keterangan yang dilihat dan ditemukan berdasarkan
pemeriksaan yang sebaik-baiknya dari seorang dokter tentang hal ikhwal victim yang
sudah mati karena kekerasan (ruda paksa) atau karena akibat penganiayaan, kejahatan yang
berhubungan dengan susila (perkosaan). Untuk mencapai sasaran pemeriksaan yang
efektif, pihak alat negara yang berkecimpung dilingkungan hukum acara pidanaseperti
polisi dan jaksa juga harus mengetahui atau mempelajari tentang ilmu tabib Kehakiman
atau ilmu forensik lainnya secara matang dan patut berkewajiban untuk minta seorang ahli
lainnya selain seorang dokter.
2.4.2 Dasar Hukum Visum et Repertum
A. Visa Reperta Ordonantic 22 Mei 1937, stb 1937-350 setelah mencabut berlakunya
ordonansi S.92-106 jo 22-198 tertulis:
Pasal 1:
Visa Reperta seorang dokter yang dibuat baik atas ......... jabatannya yang diucapkan
pada waktu menyelesaikan penyelenggaraannya di negeri Belanda atau Indonesia,
maupun atas sumpah istimewa seperti tercantum dalam pasal 2, mempunyai daya bukti
yang syah dalam perkara-perkara pidana, selama visa reperta tersebut berisi keterangan
mengenai hal-hal yang dilihat dan ditentukan oleh dokter itu pada benda yang
diperiksa.
Pasal 2 (1) :
Para dokter yang tidak pernah mengucapkan sumpah jabatan baik di negeri Belanda
maupun Indonesia sebagai tersebut dalam pasal 1 di atas, dapat mengucapkan sumpah
sebagai berikut:
Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya sebagai seorang dokter akan membuat
pernyataan-pernyataan atau keterangan-keterangan tertulis yang dibutuhkan untuk
kepentingan peradilan dengan sebenar-benarnya menurut pengetahuan saya yang
sebaik-baiknya. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melimpahkan kekuatan lahir dan
batin.
Pasal 2 (2) :
Sumpah tersebut pada ayat 1 di atas, yang diminta oleh seorang dokter di Jawa dan
Madura dilakukan oleh kepala daerah setempat dimana dokter itu bertinggal.
Hasil dari pada penyumpahan tersebut dibuat proses verbal rangkap tiga, yaitu satu
lembar untuk yang bersangkutan (yang disumpah), satu lembar diserahkan kepada
21

kepala dinas kesehatan dan satu lembar sisanya disimpan di kantor pejabat
menyumpahnya untuk arsip.
B. Rechtsreglement Buitengewesten pasal 397 (3) jo pasal 492 ayat (4) yaitu keterangan
yang dibuat oleh dokter dan ditanda tangani oleh dokter yang bersangkutan.
Visum et Repertum semata-mata hanya dibuat agar suatu perkara pidana menjadi jelas
dan hanya berguna bagi kepentingan pemeriksaan dan untuk keadilan serta diperuntukan
bagi kepentingan peradilan. Dengan demikian Visum et Repertum tidaklah dibuat atau
diterbitkan untuk kepentingan yang lain.
Pembuatan Visum et Repertum selalu didahului dengan perkataan: Pro Yusticia. Jikalau
dilihat menurut sifatnya maka Visum et Repertum dapat dibagi dalam tiga macam (pada
umumnya bagi Visum et Repertum korban hidup):
1. Visum et Repertum yang dibuat (lengkap) sekaligus atau definitif Lazimnya ditulis:
Visum et Repertum.
2. Visum et Repertum sementara
Misalnya visum yang dibuat bagi si korban yang sementara masih dirawat di
Rumah Sakit akibat luka-lukanya-karena penganiayaan.
Lazimnya ditulis: Visum et Repertum (sementara).
3. Visum et Repertum lanjutan
Misalnya visum bagi si korban yang luka tersebut (Visum et Repertum sementara)
kemudian lalau meninggalkan Rumah Sakit ataupun akibat luka-lukanya tersebut si
korban kemudian dipindahkan kerumah sakit atau dokter lain, melarikan diri,
pulang dengan paksa atau meninggal dunia.
Lazimnya ditulis Visum et Repertum (lanjutan).
Pemakaian istilah pada berbagai macam Visum et Repertum kadang berlainan,
namun maksudnya dapat dipahami.
Visum et Repertum pertama bagi korban hidup, yang terjadi oleh karena atau
diakibatkan benda tumpul, benda yang tajam, bahan kimia atau racun, obat pembasmi cair
(basah), atau kering, tembakan senjata api dari jarak dekat atau jauh, tenggelam, mencoba
bunuh diri atau lainnya, sehingga perlu diobati ataupun dirawat nginap disuatu Rumah
Sakit. Kemudian dalam hal dibuatkan Visum et Repertum akhir (penghabisan) dari suatu
hal atau peristiwa dan itu hanya boleh dibuat oleh dokter atau dokter ahli yang mengobati
atau menanganinya semula.
Pembagian menurut sifatnya, oleh karena dihubungkan dengan kedudukan dari
Visum et Repertum tersebut dari aspek yuridis, sebagai alat bukti pro yustisia yang
dilampirkan dalam berkas perkara dan apabila kelengkapan sebagai alat bukti itu belum
22

lengkap (sempurna), kelengkapannya tersebut masih dapat dibuat/disusulkan kemudian.


Sedangkan, apabila dihubungkan dengan keadaaan sebenarnya menurut kenyataan, sifat
Visum et Repertum tersebut berkaitan dengan kenyataan kondisi (realita) saat itu,
misalnya, keadaan luka tubuh korban, keadaaan mayat korban saaat itu dan sebagainya.
Semua keadaan tersebut didasarkan atas kondisi/keadaan dari bukti hidup, mayat (jenazah)
atau bukti fisik ataupun barang bukti lain yang diperiksa menurut kenyataannya (realita)
serta dibuat dalam kedudukannya Visum et Repertum itu dari aspek teknis karena
didasarkan atas permintaan, kemudian memeriksa, meneliti, menemukan pendapatnya.
Maksud Visum et Repertum adalah , sebagai pengganti corpus delicti, karena apa
yang telah dilihat dan diketemukan dokter (ahli) itu dilakukan subjektif mungkin, sebagai
pengganti peristiwa/keadaan yang terjadi dan pengganti bukti yang telah diperiksa dengan
menurut kenyataan atau fakta-faktanya, sehingga berdasarkan atas pengetahuan yang
sebaik-baiknya atas dasar keahliannya tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat
dan akurat. Disamping itu kemungkinan yang lain adalah, apabila pada waktu dilakukan
pemeriksaan perkaranya tersebut di sidang pengadilan maka suatu luka (misalnya) yang
disebabkan tindak pidana penganiayaan telah sembuh atau korban yang telah meninggal
akibat tindak pidana pembunuhan sewaktu sidang dilakukan telah membusuk atau dikubur,
maka guna mencegah perubahan keadaan tersebut, dibuatlah Visum et Repertum.
Tujuan Visum et Repertum adalah, untuk memberikan kepada hakim (majelis)
suatu kenyataan akan fakta-fakta dari bukti-bukti tersebut atas semua keadaan/hal
sebagaimana tertuang dalam pembagian pemberitaan agar hakim dapat mengambil
putusannya dengan tepat atas dasar kenyataan atau fakta-fakta tersebut, sehingga dapat
menjadi pendukung atas keyakinan hakim.
Semuakenyataan atau fakta-fakta tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan,
maka atas dasar pendapatnya yang dilandasi dengan pengetahuan yang sebaik-baikya
berdasar atas keahlian dan pengalamannya tersebut, diharapkan guna usaha membantu
pemecahan pengungkapan pokok masalahnya (pokok soal) menjadi jelas dan hal itu
diserahkan kepada hakim sepenuhnya. Lain dari itu dengan Visum et Repertum masih
dimungkinkan orang ahli yang lain dipanggil, guna mempertimbangkan pendapatnya
dari kesimpulan dokter(ahli) yang membuat Visum et Repertum tersebut. Hal itu juga
dibenarkan oleh yurisprudensi mahkamah agung RI yang menentukan, bahwa sebagai
pengganti Visum et Repertum dapat juga didengar keterangan saksi ahli (= orang ahli yang
lain). Bagi hakim, maka Visum et Repertum merupakan alat bukti sah dapat berlaku
sebagai alat bukti surat atau keterangan ahli, seperti telah dijelaskan di muka.
23

Prinsipnya tanggung jawab penuh ada pada dokter (ahli) yang membuatnya, maka
dari itu hakim (pengadilan) dapat memanggilnya untuk datang menghadap kemuka
persidangan.
Suatu perubahan atau perbaikan atas Visum et Repertum pada dasarnya dapat
dibenarkan, asalkan disertai dasar alasan yang benar atau dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya serta harus dibuat dan ditanda tangani dokter (ahli) pembuatnya. Kecuali
apabila tidak dimungkinkan kembali seperti: pensiun atau alasan lain, dapat dilakukan dan
ditertibkan oleh dokter (ahli) lain. Hal itu merupakan Visum et Repertum ulangan.
Sedangkan bagi hakim (pengadilan), maka nilai atau penghargaan pembuktian
terhadap, suatu macam Visum et Repertum, apakah Visum et Repertum itu telah Definitif
dengan kesimpulan atau bersifat sementara maupun berupa Visum et Repertum
lanjutan adalah sama, oleh karena itu hakim di dalam perkara pidana, hakim selalu
berusaha untuk mencari kebenaran materil (materiele waarheid) suatu perkara dan oleh
karena itu nilai/penghargaan terhadap kekuatan buktinya diserahkan kepada penilaian dan
keyakinan majelis hakim.
Keterangan ahli dokter ahli kedokteran kehakiman yang diperlukan oleh penyidik
bagi kepentingan peradilan mencakup, keterangan ahli tentang pemeriksaan luka,
pemeriksaan mayat, pemerikasaan bedah mayat dan penggalian mayat, menurut ketentuan
dalam KUHAP.
2.4.3

Jenis-jenis Visum Et Repertum

Visum et repertum terdiri dari beberapa jenis, antara lain :


1. Visum untuk korban hidup
Yang termasuk visum untuk korban hidup adalah visum yang diberikan untuk korban
luka-luka karena kekerasan, keracunan, perkosaan, psikiatri dan lain-lain. Berdasarkan
waktu pemberiannya visum untuk korban hidup dapat dibedakan atas :
a. Visum seketika ( definitive )
yaitu visum yang langsung diberikan setelah korban selesai diperiksa. Visum inilah
yang paling banyak dibuat oleh dokter.
b. Visum sementara
yaitu visum yang diberikan pada korban yang masih dalam perawatan. Biasanya
visum sementara ini diperlukan penyidik untuk menentukan jenis kekerasan, sehingga
dapat menahan tersangka atau sebagai petunjuk dalam menginterogasi tersangka.
Dalam visum sementara ini, belum ditulis kesimpulan.
24

Pemberian visum sementara ini hanya merupakan barang bukti untuk melakukan
penangkapan dan penahanan terhadap terdakwa atas telah terjadinya suatu peristiwa
pidana, misalnya penganiayaan, pemerkosaan, percobaan membunuh dan lain-lain.
Penangkapan dan penahanan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang dengan
hanya dilandasi adanya dugaan. Akan tetapi harus didasarkan atas bukti-bukti
permulaan.
Apabila sikorban sudah sembuh atau sudah meninggal, maka dokter harus
mengganti visum sementara yang telah dikeluarkan terdahulu dan berkewajiban untuk
membuat visum yang baru. Dalam visum yang baru sebagai pengganti visum
sementara, dokter telah sampai pada kesimpulan tentang apa yang dilihat dan
diketahuinya dari tubuh korban unutk bahan pembuktian dipersidangan. Sedangkan
visum sementara tadi tidak dapat diajukan sebagai alat bukti karena dalam visum
sementara dokter belum sampai pada suatu kesimpulan terhadap apa yang dilihat dan
didapat dari pemeriksaan korban.
c. Visum lanjutan
yaitu visum yang diberikan setelah korban sembuh atau meninggal dan merupakan
lanjutan dari visum sementara yang telah diberikan sebelumnya. Dalam visum ini harus
dicantumkan nomor dan tanggal dari visum sementara yang telah diberikan. Dalam
visum ini dokter telah membuat kesimpulan. Visum lanjutan tidak perlu dibuat oleh
dokter yang membuat visum sementara, tetapi oleh dokter yang terakhir merawat
penderita.
2. Visum jenazah
Visum et repertum jenazah dapat dibedakan atas beberapa, yaitu :
a. Visum dengan pemeriksaan luar
Pemeriksaan luar yang dimaksud tidak dapat memberikan kepada umum apakah
pemeriksaan pertama bagian luar saja, oleh karena kurang jelas disebutkan tetapi
mungkin pembuat undang-undang hanyalah pemeriksaan luar saja. Pemeriksaan mayat
yang hanyaditujukan pada bagian luar saja pada umumnya kurang dapat memberikan
hasil yang diharapkan dalam membuktikan faktor penyebab kematian sikorban atau
dengan kata lain hasil pemeriksaan tersebut kurang sempurna.
b. Visum dengan pemeriksaan luar dan dalam
Visum ini sering menimbulkan permasalahan antara penyidik, dokter dan
masyarakat terutama dalam visum pemeriksaan luar dan dalam ( autopsy ). Masalah
disini adalah hambatan dari keluarga korban bila visum harus dibuat melalui bedah
25

mayat. Pemeriksaan bedah mayatberarti membuka semua rongga tubuh ( kepala, dada,
perut, dan pinggul ) dan memeriksa semua alat-alat (organ) untukdapat menentukan
sebeb kematian maupun penyakit atau kelainan yang mungkin terdapat pada si korban.
Apabila ditinjau dari segi yuridis, pemeriksaan bedah mayat bukanlah sekedar
menentukan kematian sikorban saja melainkan melalui pemeriksaan tersebut akan
dapat menjawab apakah perbuatan terdakwa merupakan satu-satunya penyebab
kematian korban atau pada korban terdapat penyakit atau kelainan yang mempermudah
atau mempercepat kematiannya sehingga berdasarkan teori yang dianut oleh hakim
pada saat mengadili perkara dapat dijatuhi hukuman seadil-adilnya.
Permintaan bedah mayat ini merupakan otopsi dan harus mendapat izin dan
persetujuan dari keluarga korban serta memperlakukan mayat dengan penuh
penghormatan. Hasil dari pemeriksaan bedah mayat tersebut nantinya dituangkan oleh
saksi ahli kedalam visum et repertum. Dokter dalam membuat visum et repertum
jenazah dari mayat yang diperiksanya tidak dapat menyebutkan bahwa si korban mati
akibat pembunuhan walaupun dokter mengetahui bahwa kematian sikorban disebabkan
karena pembunuhan. Dokter dalam kesimpulannya hanya membuat keterangan tentang
kematian korban, misalnya,kematian akibat keracunan, pendarahan diotak dan
sebagainya.
2.4.4

Bentuk dari Visum Et Repertum

Bentuk visum et repertum yang sekarang dipakai adalah warisan para pakar kedokteran
kehakiman yaitu profesor H. Muller, Prof Mas soetedjo Mertodidjojo dan Prof Sutomo
Tjokronegoro sejak puluhan tahun yang lalu. Konsep visum et repertum ini disusun dalam
kerangka dasar yang terdiri dari :
1. Pro- Yustisia
Menyadari bahwa semua surat baru syah di pengadilan apabila dibuat diatas kertas
bermaterai dan hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap visum et repertum yang
dibuatnya harus memakai kertas materai. Berpedoman kepada peraturan pos, maka bila
dokter menulis Pro-Yustisia dibagian atas visum, maka itu sudah dianggap sama dengan
kertas materai.
Penulisan kata Pro-Yustisia pada bagian atas dari visum lebih diartikan agar pembuat
maupun pemakai visum dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah demi keadilan
(pro-yustisia). Hail ini sering terabaikan oleh pembuat maupun pemakai tentang arti
sebenarnya kata pro-yustisia ini. Bila dokter sejak semula memahami bahwa laporan yang
26

dibuatnya tersebut adalah sebagai partisipasinya secara tidak langsung dalam menegakkan
hukum dan keadilan, maka saat mulai memeriksa korban ia telah menyadari bantuan yang
diberikan akan dipakai sebagai salah satu alat bukti yang syah dalam menegakkan hukum
dan keadilan. Dengan kata lain kata Pro-Yustisia harus dicantumkan dikiri atas, dengan
demikian visum et repertum tidak perlu bermaterai.
2. Pendahuluan
Bagian pendahuluan berisi tentang siapa yang memeriksa dan siapa yang diperiksa,
saat pemeriksaan (tanggal, hari dan jam), dimana diperiksa, mengapa diperiksa dan atas
permintaan siapa visum itu dibuat. Data diri korban diisi sesuai dengan yang tercantum
dalam permintaan visum.
3. Pemeriksaan
Bagian yang terpenting dari visum sebetulnya terletak pada bagian ini, karena apa yang
dilihat dan ditemukan dokter sebagai terjemahan dari visum et repertum itu terdapat pada
bagian ini. Pada bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya secara obyektif dan
pada bagian ini dokter menuliskan luka, cedera dan kelainan pada tubuh korban seperti apa
adanya. Misalnya terdapat suatu luka, dokter menuliskan dalam visum suatu luka
berbentuk panjang, dengan panjang 10 cm, dan lebar luka 2 cm dan dalam luka 4 cm,
pinggir luka rata, jaringan dalam luka terputus tanpa menyebutkan jenis luka. Menurut
penulis cara penulisan ini lebih baik langsung disebut sebuah luka sayat dengan rincian
seperti diatas. Demikian juga dengan luka robek, luka tembak dal lain-lain.
Pada bagian pemeriksaan ini, bila dokter mendapat kelainan yang banyak atau luas dan
akan sulit menjelaskannya dengan kata-kata, maka sebaiknya penjelasan ini disertai
dengan lampiran foto atau sketsa. Tujuannya adalah karena dengan lampiran foto atau
sketsa pemakain visum akan lebih mudah memahami penjelasan yang ditulis dengan katakata dalam visum.
4. Kesimpulan
Bagian ini memuat pendapat pribadi dokter sendiri, bersifat subyektif dan dipengaruhi
oleh pengetahuan dan pengalaman. Untuk pemakain visum, ini adalah bagian yang
penting, karena dokter diharapkan dapat menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban
menurut keahliannya.
Pada korban luka perlu penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab akibat dari
kelainan, tentang derajat kualifikasi luka, berapa lama korban dirawat dan bagaimana
harapan kesembuhan. Pada korban perkosaan atau pelanggaran kesusilaan perlu penjelasan

27

tentang tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, kesadaran korban serta bila perlu
umur korban (terutama pada anak belum cukup umur atau belum mampu untuk dikawini).
Pada kebanyakan visum yang dibuat dokter, bagian kesimpulan ini perlu mendapat
perhatian agar visum lebih berdaya guna dan lebih informatif.
5. Penutup
Pada bagian ini, visum et repertum ditutup dengan : demikian visum et repertum ini
dibuat dengan sesungguhnya mengingat sumpah dokter yang tercantum dalam stb.
1937/350 atau sesuai dengan penjelasan KUHAP pasal 186 : keterangan ahli ini dapat juga
sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang
dituangkan dalam suatu bentuk keterangan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada
waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
Ketentuan ini sangat memudahkan dokter dalam membuat visum et repertum, tidak
perlu setiap kali disumpah oleh penyidik kalau membuat visum et repertum. Visum et
repertum harus dibuat sejujur-jujurnya dan sengaja dari ketentuan ini dapat dipidana
berdasarkan KUHP pasal 242 yaitu sumpah palsu.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar oksigen (O 2)
dan berlebihnya kadar karbon dioksida (CO2) secara bersamaan dalam darah dan jaringan
tubuh akibat gangguan pertukaran antara oksigen (udara) dalam alveoli paru-paru dengan
karbon dioksida dalam darah kapiler paru-paru. Kekurangan oksigen disebut hipoksia dan
kelebihan karbon dioksida disebut hiperkapnia.
28

Visum et Repertum selaku keterangan dalam bentuk yang formil menyangkut hal-hal
yang dilihat dan ditemukan oleh dokter pada benda-benda yang diperiksa sesungguhnya
adalah pengganti barang bukti, bahwa pada keharusannya dalam hal pembuktian mestinya
orang yang menjadi obyek penganiayaan, pembunuhan atau kejahatan lainnya dari suatu
peristiwa pidana sepatutnya diajukan menjadi barang bukti seperti misalnya orang yang
dianiaya dan mati terbunuh sudah barang tentu menjadi kesulitan dalam praktek;
karenanya orang yang meninggal (mayat) harus di kebumikan sebab dapat membusuk
untuk selanjutnya mengalami proses alamiah hancur menjadi debu tanah.
Kedudukan Visum et Repertum dalam hukum pembuktian dalam proses acara pidana
adalah termasuk sebagai alat bukti surat sebagaimana maksud pasal 184 ayat 1 huruf c jo
pasal 187 huruf c KUHAP dengan keterangan ahli sesuai maksud pasal 1 angka 28
KUHAP jo Stb 1937-350 jo pasal 184 ayat 1 huruf b KUHAP.
3.2 Saran
Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para pembaca dan
mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah berikutnya :
a. Kombinasikan metode pembuatan makalah berikutnya.
b. Pembahsan yang lebih mendalam disertai data-data yang lebih akurat.
Beberapa poin diatas merupakan saran yang kami berikan apabila ada pihak-pihak
yang ingin melanjutkan penelitian terhadap makalah ini, dan demikian makalah ini disusun
serta besar harapan nantinya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususunya
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara semester VI/2014 dalam
penambahan wawasan dan ilmu pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA

Harahap, M. Yahya, SH., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, PT.

Sarana Bakti Semesta


Kusuma,Musa Perdana, SH. , Bab-bab Tentang Kedokteran Forensik, cetakan I Galia

Indonesia Jakarta 1989


Mr. H. Van de Tas, Kamus Hukum Bahasa Indonesia, cetakan kedua, Timur Mas

Jakarta 1981
Nasution, Karim, Masaalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana,Jakarta, 1975
Prakoso, Djoko, SH., Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian Di dalam Proses Pidana,
Liberty Yogyakarta 1988
29

Prodjodikoro,Wirjono, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Sumur Bandung 1981


Ranoemihardja,R. Atang, SH., Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), Tarsito

Bandung 1983
R. Soeparmono, SH, Keterangan Ahli dan Visum et Repetum Dalam Aspek Hukum

Acara Pidana, Mandar Maju Bandung 2002


Soekamto,Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press Jakarta 1982,
Soekamto, Soerjono dan Mamudji Sri, Penelitian Normatif, Rajawali Jakarta 1985
KUHAP Dan Penjelasannya, Yayasan Pelita Jakarta1983
Tim Penulis Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta:FKUI; 1997.h. 25-36.


Corazza O, Schifano F, Ketamin use, near death States Reported in a Sample of 50

Misusers. Informahealthcare.USA. 2010; 916-24


Husni, GM. Hukum Kesehatan Ilmu Kedokteran Forensik, bagian Kedokteran Forensik

Fakulatas Kedokteran Universitas Andala, Padang: FKUNAND; 2007.h.15-26


Greyson B, On The Mind/body Problem: The theory of Essence, Journal of Near Death

Studies. 1992:7N.
Klemerk KZ, Kersnik J, Grmec S, The Effect Of Carbon Dioxide On Near-Death
Experiences In Out Of Hospital Cardiac Arrest Survivors: A Prospective Observational
Study, Critical Care. 2010:14:R56;p

30

Anda mungkin juga menyukai