PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Otitis Media Akut (OMA) merupakan penyakit yang sering dijumpai pada masa anakanak (Vernacchio et al, 2004). Di Amerika Serikat, diperkirakan bahwa sekitar 9,3 juta
anak-anak mengalami serangan OMA pada 2 tahun pertama kehidupannya (Berman,
1995). Insidens tertinggi kasus OMA yang dilaporkan di Amerika Serikat adalah pada
umur 6 sampai dengan 20 bulan (Kerschner, 2007). Menurut Teele (1991) dalam
Commisso et al. (2000), 33% anak akan mengalami sekurang-kurangnya satu episode
OMA pada usia 3 tahun pertama. Terdapat 70% anak usia kurang dari 15 tahun pernah
mengalami satu episode OMA (Bluestone, 1996). Faktanya, ditemukan bahwa otitis media
menjadi penyebab 22,7% anak-anak pada usia dibawah 1 tahun dan 40% anak-anak pada
usia 4 sampai dengan 5 tahun yang datang berkunjung ke dokter anak. Selain itu, sekitar
sepertiga kunjungan ke dokter didiagnosa sebagai OMA dan sekitar 75% kunjungan balik
ke dokter adalah untuk follow-up penyakit otitis media tersebut (Teele et al., 1989).
Menurut Casselbrant (1999) dalam Titisari (2005), menunjukkan bahwa 19% hingga 62%
anak-anak mengalami sekurang-kurangnya satu episode OMA dalam tahun pertama
kehidupannya dan sekitar 50-84% anak-anak mengalami paling sedikit satu episode OMA
ketika ia mencapai usia 3 tahun. Di Amerika Serikat, insidens OMA tertinggi dicapai pada
usia 0 sampai dengan 2 tahun, diikuti dengan anak-anak pada usia 5 tahun.
Di Indonesia, dari penelitian yang dilakukan di Poli THT sub-bagian Otologi THT
RSCM dan Poli THT RSAB Harapan Kita pada Agustus 2004 sampai dengan Februari
2005, terhadap 43 orang pasien yang didiagnosis dengan OMA, sebanyak 30,2% dijumpai
pada anak-anak yang berumur kurang dari 2 tahun. Anak-anak yang berumur 2 sampai
dengan 5 tahun adalah sebanyak 23,3%. Golongan umur 5 sampai dengan 12 tahun adalah
paling tinggi yaitu 32,6%. Anak-anak yang berumur 12 sampai dengan 18 tahun adalah
4,7% dan bagi yang berumur 18 tahun ke atas adalah 9,2% (Titisari, 2005).
Otitis media supuratif kronis (OMSK) termasuk salah satu masalah kesehatan utama
yang ditemukan pada banyak populasi di dunia, dan merupakan penyebab morbiditas dan
mortalitas yang cukup signifikan. Penyakit ini biasa ditemukan pada masyarakat kelas
menengah ke bawah di negara-negara berkembang, dan menyebabkan meningkatnya
biaya untuk pengobatan (Dhingra PL, 2007).
dalam
pembahasan-pembahasan
makalah
sederhana,
yaitu
dengan
menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim penyusun mencari sumber
data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu dianalisis sehinggga diperoleh
informasi tentang masalah yang akan dibahas setelah itu berbagai referensi yang
didapatkan dari berbagai sumber tersebut disimpulan sesuai dengan pembahasan yang
akan dilakukan dan sesuai dengan judul makalah dan dengan tujuan pembuatan makalah
ini. Itulah sekilas tentang metode dan teknik yang digunakan dalam penyusunan makalah
ini.
BAB II
SUB PEMBAHASAN
2.1 Skenario
TELINGA BERAIR
Wingky, usia 5 tahun dibawa orang tuanya ke RS dengan keluhan telinga kiri bernanah dan
bau. Keluhan otorrhea sering dialami pasien disertai dengan common cold dan odinofagi.
Tetapi pasien tidak pernah mengeluhkan sakit kepala.
Dari pemeriksaan telinga kiri dijumpai : sekret mukoid (+), darah (+), granulasi (+), membran
timpani perforasi sub total
2.2 Step
Step 1
a. Otorrhea
b. Common cold
c. Odinofagi
d. Secret mukoid
e. Granulasi
Step 2
1. Penyebab common cold ?
2. Penyebab telinga kiri bernanah dan bau ?
3. Penyebab odinofagi ?
4. Menandakan apakah granulasi (+) ?
5. Hubungan common cold dengan keluhan ?
6. Penyebab membrane timpani perforasi sub total ?
7. Penyebab secret mukoid pada telinga ?
8. Mengapa gangguan telinga kiri dapat menyebabkan odinofagi?
9. Bagia telinga manakah yang terserang pada scenario ?
10. Hubungan usia dengan keluhan ?
11. Sebutkan gangguan apa saja yang bias terjadi pada telinga ?
Step 3
1.
2.
3.
4.
Step 4
Wingky, 5 thn
Keluhan ;
Hasil pemeriksaan ;
o
o
o
o
Otitis media
Step 5
Mahasisw mampu megetahui, memahami serta menjelaskan otitis media, meliputi ;
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
defenisi
klasifikasi
etiologi
gejala dan tanda
patofisiologi
pemeriksaan fisik
pemeriksaan penunjang
penatalaksanaa
komplikasi
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Defenisi Otitis Media
Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.Otitis media berdasarkan gejalanya
dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, di mana masing-masing
memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik,
seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis
media adhesiva (Djaafar, 2007).
6
Otitis media
Otitis Media
Otitis Media
Otitis Media
Akut
Sub Akut
Kronik
Resiko Rendah
Tipe Aman
Resiko Tinggi
Tipe Bahaya
Otitis Media
Otitis Media
Supuratif
Supuratif Akut/
Otitis Media Akut
Otitis Media
Supuratif Kronik
Otitis Media
Otitis Media
Supuratif / Otitis
Serosa Akut
Otitis Media
Media Serosa
Serosa Kronik
7
Otitis Media
Otitis Media
Spesifik
Adhesiva
40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus
akan membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun
lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan
menganggu mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2007). Dengan menggunakan
teknik
polymerase
chain
reaction
(PCR)
dan
virus
specific
enzyme-linked
immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari cairan telinga tengah
pada anak yang menderita OMA pada 75% kasus (Buchman, 2003).
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada
anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di samping
suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang
lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa
rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA
adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan
sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak
memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke
liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang (Djaafar, 2007).
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya suatu
penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang tua pasien
tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta membran timpani yang
kemerahan dan membengkak atau bulging. Menurut Dagan (2003) dalam Titisari (2005), skor
OMA adalah seperti berikut:
Suhu (C)
Gelisah
Tarik
Kemerahan
Bengkak
telinga
pada
pada
membran
membran
timpani
timpani
<38,0
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
(bulging)
Tidak ada
1
2
3
38,0- 38,5
38,6- 39,0
>39,0
Ringan
Sedang
Berat
Ringan
Sedang
Berat
Ringan
Sedang
Berat
Ringan
Sedang
Berat,
termasuk
otore
Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0 hingga 3,
berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat.
Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat otalgia berat atau
sedang, suhu lebih atau sama dengan 39C oral atau 39,5C rektal. OMA ringan bila nyeri
telinga tidak hebat dan demam kurang dari 39C oral atau 39,5C rektal (Titisari, 2005).
10
berkurang, karena tuba telah berkembang sempurna dan diameter tuba Eustschius meningkat,
sehingga jarang terjadi obstruksi dan disfungsi tuba. Selain itu, sistem pertahanan tubuh anak
masih rendah sehingga mudah terkena ISPA lalu terinfeksi di telinga tengah. Adenoid merupakan
salah satu organ di tenggorokan bagian atas yang berperan dalam kekebalan tubuh. Pada anak,
adenoid relatif lebih besar dibanding orang dewasa. Posisi adenoid yang berdekatan dengan muara
tuba Eustachius sehingga adenoid yang besar dapat mengganggu terbukanya tuba Eustachius.
Selain itu, adenoid dapat terinfeksi akibat ISPA kemudian menyebar ke telinga tengah melalui
tuba Eustachius (Kerschner, 2007).
Gambar 2.4. Perbedaan Antara Tuba Eustachius pada Anak-anak dan Orang Dewasa
oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran timpani
menjadi kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien
mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin masih normal atau
terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat
tekanan udara yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam
sampai dengan satu hari (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah di
telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi
makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum
timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar.
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa
nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat
disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai muntah
dan kejang.
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani.
Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis
vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan
nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah
kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah akan
keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan
menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup
kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak utuh lagi (Djaafar,
2007; Dhingra, 2007).
4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah
yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang
pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya
pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi
lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.
Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap
berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika
13
kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan,
maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya dan
berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga
perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya
kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika
membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media
supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap, dengan
sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul.
Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa.
Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi
membran timpani (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
3.2.1.7 Penatalaksanaan
A. Pengobatan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada
stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik,
dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah
untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati
gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan
memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik (Titisari, 2005).
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba
Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl
efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1 %
dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber
infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik (Djaafar, 2007).
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik.
Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat
diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan
penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi
mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan. Antibiotik
diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada
anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau
eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007).
14
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk
melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak
terjadi ruptur (Djaafar, 2007).
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut
atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan 5 hari serta
antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan
menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari (Djaafar, 2007).
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada
lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di liang telinga
luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila
keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis (Djaafar, 2007).
B. Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren, seperti
miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman, 2003).
1. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi drainase sekret
dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat dilihat
langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi
miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat,
miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah (Djaafar, 2007).
Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA
seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi
merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi
antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis
dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line,
untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur (Kerschner, 2007).
2. Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan pungsi pada
membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan.
Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif,
pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. Menurut Buchman (2003), pipa
timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan
pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga penelitian prospertif,
randomized trial yang telah dijalankan.
3. Adenoidektomi
15
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi dan OMA
rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi
hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului
dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan
rinosinusitis rekuren (Kerschner, 2007).
3.2.1.8 Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses subperiosteal
sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat
pada otitis media supuratif kronik. Mengikut Shambough (2003) dalam Djaafar (2005),
komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal (perforasi membran timpani,
mastoiditis akut, paresis nervus fasialis, labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses
subperiosteal), dan intracranial (abses otak, tromboflebitis).
17
Faktor Host yang berkaitan dengan insiden OMSK yang relatif tinggi adalah defisiensi
imun sistemik. Kelainan humoral (seperti hipogammaglobulinemia) dan cell-mediated (seperti
infeksi
HIV,
sindrom
kemalasan
leukosit)
dapat
manifest
sebagai
sekresi
telinga
kronis(Nursiah,2003).
Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani menetap pada OMSK:
1. Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan produksi sekret
telinga purulen berlanjut
2. Berlanjutnya obstruksi tuba eustachius yang mengurangi penutupan spontan pada perforasi.
3. Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui mekanisme migrasi
epitel.
4. Pada pinggir perforasi dari epitel skuamosa dapat mengalami pertumbuhan yang cepat diatas
sisi medial dari membran timpani. Proses ini juga mencegah penutupan spontan dari perforasi.
putih mengkilat. Gangguan pendengaran tipe konduktif timbul akibat terbentuknya kolesteatom
bersamaan juga karena hilangnya alat penghantar udara pada otitis media nekrotikans akut. Selain
tipe konduktif dapat pula tipe campuran karena kerusakan pada koklea yaitu karena erosi pada
tulang-tulang kanal semisirkularis akibat osteolitik kolesteatom (Orluh, 2008).
telinga
adalah
membuat
lingkungan
yang
tidak
sesuai
untuk
perkembangan
mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media yang baik bagi perkembangan
mikroorganisme (Fairbank, 1981).
Pengobatan OMSK Tipe Atikoantral
Pengobatan yang tepat untuk OMSK maligna adalah operasi. Pengobatan konservatif dengan
medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila
terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian
dilakukan mastoidektomi.
19
Ada beberapa jenis pembedahan atau tehnik operasi yang dapat dilakukan pada OMSK dengan
mastoiditis kronis, baik tipe tubatimpani atau tipe atikoantral, antara lain (Soepardi, 2001).
1.
Mastoidektomi sederhana
Dilakukan pada OMSK tipe tubatimpani yang tidak sembuh dengan pengobatan konservatif.
Pada tindakan ini dilakukan pembersihan ruang mastoid dari jaringan patologik, dengan
tujuan agar infeksi tenang dan telinga tidak berair lagi.
2. Mastoidektomi radikal
Dilakukan pada OMSK tipe atikoantral dengan infeksi atau kolesteatom yang sudah
meluas.Pada operasi ini rongga mastoid dan kavum timpani dibersihkan dari semua jaringan
patologik. Dinding batas antara liang telinga luar dan telinga tengah dengan rongga mastoid
diruntuhkan, sehingga ketiga daerah anatomi tersebut menjadi satu ruangan. Tujuan operasi
ini adalah untuk membuang semua jaringan patologik dan
mencegah komplikasi ke
intrakranial.
3. Mastoidektomi radikal dengan modifikasi (Operasi Bondy)
Dilakukan pada OMSK dengan kolesteatom di daerah atik, tetapi belum merusak kavum
timpani. Seluruh rongga mastoid dibersihkan dan dinding posterior liang telinga direndahkan.
Tujuan operasi adalah untuk membuang semua jaringan patologik dari rongga mastoid dan
mempertahankan pendengaran yang masih ada.
4. Miringoplasti
Dilakukan pada OMSK tipe tubatimpani yang sudah tenang dengan ketulian ringan yang
hanya disebabkan oleh perforasi membran timpani. Operasi ini merupakan jenis timpanoplasti
yang paling ringan, dikenal juga dengan nama timpanoplasti tipe 1. Rekonstruksi hanya
dilakukan pada membran timpani. Tujuan operasi adalah untuk mencegah berulangnya infeksi
telinga tengah ada OMSK tipe tubatimpani dengan perforasi yang menetap.
5. Timpanoplasti
Dikerjakan pada OMSK tipe tubatimpani dengan kerusakan yang lebih berat atau OMSK tipe
tubatimpani yang tidak bisa diatasi dengan pengobatan medikamentosa. Tujuan operasi adalah
menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran.
membersihkan kolesteatom dan jaringan granulasi di kavum timpani melalui dua jalan, yaitu
liang telinga dan rongga mastoid dengan melakukan timpanotomi posterior. Namun teknik
operasi ini pada OMSK tipe atikoantral belum disepakati oleh para ahli karena sering timbul
kembali kolesteatoma (Soepardi EA, 2007).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.Otitis media berdasarkan gejalanya
dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, di mana masing-masing
memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik,
seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis
media adhesiva (Djaafar, 2007).
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-tanda
yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi
secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta
otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga
dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi
telinga tengah ditandai dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas
yang terhad pada membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore
(Kerschner, 2007).
21
Otitis media supuratif kronis adalah Suatu radang kronis telinga tengah dengan perforasi
membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 2 bulan, baik terus
menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah
(Soepardi, 2001).
4.2 Saran
Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para pembaca dan
mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah berikutnya :
a. Kombinasikan metode pembuatan makalah berikutnya.
b. Pembahsan yang lebih mendalam disertai data-data yang lebih akurat.
Beberapa poin diatas merupakan saran yang kami berikan apabila ada pihakpihak yang ingin melanjutkan penelitian terhadap makalah ini, dan demikian makalah
ini disusun serta besar harapan nantinya makalah ini dapat berguna bagi pembaca
khususunya mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara
semester III/2012 dalam penambahan wawasan dan ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
o Soepardi efiaty arsyad dkk. 2012. Buku ajar ilmu kesehtan telinga hidung tenggorok
kepala dan leher. Jakarta; fakultas kedokteran universitas Indonesia
o http://www.scribd.com/doc/13607134/Otitis-Media-Kronik
o http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21423/4/Chapter%20II.pdf
o http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25640/4/Chapter%20II.pdf
22