Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Olahraga, baik yang bersifat olahraga prestasi maupun rekreasi merupakan aktivitas
yang dapat memberikan manfaat bagi kesehatan fisik maupun mental. Akan tetapi,
olahraga yang dilakukan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah kesehatan dapat pula
menimbulkan dampak yang merugikan bagi tubuh antara lain berupa cedera olahraga.
Cedera olahraga yang terjadi pada atlet olahraga prestasi selain mengganggu kesehatan
juga dapat mengurangi kesempatan atlet tersebut untuk berprestasi secara maksimal.
Makalah ini mengulas tentang karakteristik cedera olahraga yang terjadi, penyebab cedera
olahraga, jenis cedera dan cara penanganan cedera olahraga. Tujuan akhir dari penanganan
cedera olahraga adalah untuk memaksimalkan proses pemulihan cedera serta untuk
meminimalkan terjadinya resiko cedera ulang.
Ada dua jenis cedera yang sering dialami oleh atlet, yaitu trauma akut dan Overuse
Syndrome (Sindrom Pemakaian Berlebih). Trauma akut adalah suatu cedera berat yang
terjadi secara mendadak, seperti robekan ligament, otot, tendo, atau terkilir, atau bahkan
patah tulang. Cedera akut biasanya memerlukan pertolongan profesional. Sindrom
pemakaian berlebih sering dialami oleh atlet, bermula dari adanya suatu kekuatan yang
sedikit berlebihan, namun berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama. Sindrom
ini kadang memberi respon yang baik dengan pengobatan sendiri. Cedera olahraga
seringkali direspon oleh tubuh dengan tanda radang yang terdiri atas rubor (merah), tumor
(bengkak), kalor (panas), dolor (nyeri), dan functiolaesa (penurunan fungsi). Pembuluh
darah di lokasi cedera akan melebar (vasodilatasi) dengan maksud untuk mengirim lebih
banyak nutrisi dan oksigen dalam rangka mendukung penyembuhan. Pelebaran pembuluh
darah ini lah yang mengakibatkan lokasi cedera terlihat lebih merah (rubor). Cairan darah
yang banyak dikirim di lokasi cedera akan merembes keluar dari kapiler menuju ruang
antar sel, dan menyebabkan bengkak (tumor). Dengan dukungan banyak nutrisi dan
oksigen, metabolisme di lokasi cedera akan meningkat dengan sisa metabolisme berupa
panas. Kondisi inilah yang menyebabkan lokasi cedera akan lebih panas (kalor) dibanding
dengan lokasi lain. Tumpukan sisa metabolisme dan zat kimia lain akan merangsang ujung
saraf di lokasi cedera dan menimbulkan nyeri (dolor). Rasa nyeri juga dipicu oleh
tertekannya ujung saraf karena pembengkakan yang terjadi di lokasi cedera. Baik rubor,
1

tumor, kalor, maupun dolor akan menurunkan fungsi organ atau sendi di lokasi cedera yang
dikenal dengan istilah functiolaesa.
Cedera olahraga dapat diklasifikasikan sebagai cedera ringan apabila robekan yang
terjadi hanya dapat dilihat dibawah mikroskop, dengan keluhan minimal, dan tidak
mengganggu penampilan secara berarti. Contoh yang dapat dilihat adalah memar, lecet,
dan sprain ringan. Cedera sedang ditandai dengan kerusakan jaringan yang nyata, nyeri,
bengkak, kemerahan, panas, dan ada gangguan fungsi. Tanda radang seperti tumor, rubor,
kalor, dolor, dan functiolaesa terlihat nyata secara keseluruhan atau sebagian. Contoh dari
cedera ini adalah robeknya otot, tendo, serta ligament secara parsial. Pada cedera berat
terjadi robekan total atau hampir total, dan bias juga terjadi patah tulang. Cedera ini
membutuhkan istirahat total, pengobatan intensif, atau bahkan operasi.
Cedera yang sering terjadi pada atlet adalah sprain yaitu cedera pada sendi yang
mengakibatkan robekan pada ligament. Sprain terjadi karena adanya tekanan yang
berlebihan dan mendadak pada sendi, atau karena penggunaan berlebihan yang berulangulang. Sprain ringan biasanya disertai hematom dengan sebagian serabut ligament putus,
sedangkan pada sprain sedang terjadi efusi cairan yang menyebabkan bengkak. Pada sprain
berat, seluruh serabut ligamen putus sehingga tidak dapat digerakkan seperti biasa dengan
rasa nyeri hebat, pembengkakan, dan adanya darah dalam sendi. Dislokasi sendi juga
sering terjadi pada olahragawan yaitu terpelesetnya bonggol sendi dari tempatnya. Apabila
sebuah sendi pernah mengalami dislokasi, maka ligament pada sendi tersebut akan kendor,
sehingga sendi tersebut mudah mengalami dislokasi kembali (dislokasi habitualis).
Penanganan yang dapat dilakukan pada saat terjadi dislokasi adalah segera menarik
persendian tersebut dengan sumbu memanjang.
Cedera olahraga berat yang sering terjadi pada olahragawan adalah patah tulang yang
dapat dibagi menjadi patah tulang terbuka dan tertutup. Patah tulang terbuka terjadi apabila
pecahan tulang melukai kulit, sehingga tulang terlihat keluar, sedangkan pada patah tulang
tertutup, pecahan tulang tidak menembus permukaan kulit. Pada kasus patah tulang,
olahragawan harus berhenti dari pertandingan, dan secepat mungkin harus dibawa ke
professional karena harus direposisi secepatnya. Reposisi yang dilakukan sebelum
limabelas menit akan member hasilmemuaskan karena pada saat itu belum terjadi nyeri
pada tulang (neural shock). Setelah reposisi bias dipasang spalk untuk mempertahankan
posisi dan sekaligus menghentikan perdarahan.

1.2 Tujuan Pembahasan


Dalam penyusunan makalah ini tentunya memiliki tujuan yang diharapkan berguna
bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Dimana tujuannya dibagi
menjadi dua macam yang pertama secara umum makalah ini bertujuan menambah
wawasan mahasiswa/I dalam menguraikan suatu persoalan secara holistik dan tepat, dan
melatih pemikiran ilmiah dari seorang mahasiswa/I fakultas kedokteran, dimana pemikiran
ilmiah tersebut sangat dibutuhkan bagi seorang dokter agar mampu menganalisis suatu
persoalan secara cepat dan tepat. Sedangkan secara khusus tujuan penyusunan makalah ini
ialah sebagai berikut :
a. Melengkapi tugas small group discussion skenario tiga, modul sembilan belas
tentang cedera otot dan tendo
b. Menambah khasanah ilmu pengetahuan para pembaca dan penulis.
c. Sebagai bahan referensi mahasiswa/I Fakultas Kedokteran UISU dalam
menghadapi ujian akhir modul.
Itulah merupakan tujuan dalam penyusunan makalah ini, dan juga sangat diharapkan
dapat berguna setiap orang yang membaca makalah ini. Semoga seluruh tujuan tersebut
dapat tercapai dengan baik

1.3 Metode dan Teknik


Dalam penyusunan makalah ini kami mengembangkan suatu metode yang sering
digunakan

dalam

pembahasan-pembahasan

makalah

sederhana,

yaitu

dengan

menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim penyusun mencari sumber
data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu dianalisis sehinggga diperoleh
informasi tentang masalah yang akan dibahas setelah itu berbagai referensi yang
didapatkan dari berbagai sumber tersebut disimpulan sesuai dengan pembahasan yang akan
dilakukan dan sesuai dengan judul makalah dan dengan tujuan pembuatan makalah ini.
Itulah sekilas tentang metode dan teknik yang digunakan dalam penyusunan makalah ini.

BAB II
3

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Dan Penyebab Cedera Olahraga


Cedera olahraga adalah cedera pada sistem integumen, otot dan rangka yang
disebabkan oleh kegiatan olahraga. Cedera olahraga disebabkan oleh berbagai faktor antara
lain kesalahan metode latihan, kelainan struktural maupun kelemahan fisiologis fungsi
jaringan penyokong dan otot (Bahr et al. 2003).
1. Kesalahan Metode Latihan
Metode latihan yang salah merupakan penyebab paling sering cedera pada otot dan sendi.
Beberapa hal yang sering terjadi adalah :
a. Tidak dilaksanakannya pemanasan dan pendinginan yang memadai sehingga
latihan fisik yang terjadi secara fisiologis tidak dapat diadaptasi oleh tubuh.
b. Penggunakan intensitas , frekuensi, durasi dan jenis latihan yang tidak sesuai
dengan keadaan fisik seseorang maupun kaidah kesehatan secara umum.
c. Prinsip latihan overload sering diterjemahkan sebagai latihan yang didasarkan pada
prinsip no gain no pain serta frekuensi latihan yang sangat tinggi. Hal ini tidak
tepat mengingat rasa nyeri merupakan sinyal adanya cedera dalam tubuh baik
berupa micro injury maupun macro injury. Pada keadaan ini tubuh tidak memiliki
waktu untuk memperbaiki jaringan yang rusak tersebut (Stevenson et al. 2000).
2. Kelainan Struktural
Kelainan struktural bisa meningkatkan kepekaan seseorang terhadap cedera olah raga
karena pada keadaan ini terjadi tekanan yang tidak semestinya pada bagian tubuh tertentu.
Sebagai contoh, jika panjang kedua tungkai tidak sama, maka pinggul dan lutut pada
tungkai yang lebih panjang akan mendapatkan tekanan yang lebih besar. Faktor
biomekanika yang menyebabkan cedera kaki, tungkai dan pinggul adalah pronasi
(pemutaran kaki ke dalam setelah menyentuh tanah). Pronasi sampai derajat tertentu adalah
normal dan mencegah cedera dengan cara membantu menyalurkan kekuatan menghentak
ke seluruh kaki. Pronasi yang berlebihan bisa menyebabkan nyeri pada kaki, lutut dan
tungkai. Pergelangan kaki sangat lentur sehingga ketika berjalan atau berlari, lengkung
kaki menyentuh tanah dan kaki menjadi rata. Jika seseorang memiliki pergelangan kaki
yang kaku, maka akan terjadi hal sebaliknya yaitu pronasi yang kurang. Kaki tampak
memiliki lengkung yang sangat tinggi dan tidak dapat menyerap goncangan dengan baik,

sehingga meningkatkan resiko terjadinya retakan kecil dalam tulang kaki dan tungkai
(fraktur karena tekanan) (Gleim et al. 1997).
3. Kelemahan Otot, Tendon & Ligamen.
Jika mendapatkan tekanan yang lebih besar daripada kekuatan alaminya, maka otot, tendon
dan ligamen akan mengalami robekan. Sendi lebih peka terhadap cedera jika otot dan
ligamen yang menyokongnya lemah. Tulang yang rapuh karena osteoporosis mudah
mengalami patah tulang (fraktkur). Latihan penguatan bisa membantu mencegah terjadinya
cedera. Satusatunya cara untuk memperkuat otot adalah berlatih melawan tahanan, yang
secara bertahap kekuatannya ditambah (Meeuwisse 1994).

2.2 Patofisiologi Dan Diagnosis Cedera Olahraga


Secara umum patofisiologi terjadinya cedera berawal dari ketika sel mengalami kerusakan,
sel akan mengeluarkan mediator kimia yang merangsang terjadinya peradangan. Mediator
tadi antara lain berupa histamin, bradikinin, prostaglandin dan leukotrien. Mediator
kimiawi tersebut dapat menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah serta penarikan populasi
sel sel kekebalan pada lokasi cedera. Secara fisiologis respon tubuh tersebut dikenal
sebagai proses peradangan. Proses peradangan ini kemudian berangsur-angsur akan
menurun sejalan dengan terjadinya regenerasi proses kerusakan sel atau jaringan
tersebut(Van Mechelen et al. 1992). Selain berdasarkan tanda dan gejala peradangan,
diagnosis ditegakkan berdasarkan keterangan dari penderita mengenai aktivitas yang
dilakukannya dan hasil pemeriksaaan penunjang.
1. Gejala Cedera Olahraga
Tanda akut cedera olahraga yang umumnya terjadi adalah tanda respon peradanagan tubuh
berupa tumor ( pembengkakaan), kalor (peningkatan suhu), rubor (warna merah), dolor
(nyeri) dan functio leissa (penurunan fungsi). Nyeri pertama kali muncul jika serat-serat
otot atau tendon yang jumlahnya terbatas mulai mengalami robekan.Selain nyeri muncul
tanda radang seperti bengkak, kemerahan, panas dan penurunan fungsi. Pada proses lanjut
tandatanda peradangan tersebut akan berangsur angsur menghilang. Apabila tanda
peradangan awal cukup hebat, biasanya rasa nyeri masih dirasakan samapai beberapa hari
setelah onset cedera. Kelemahan fungsi berupa penurunan kekuatan dan keterbatasan
jangakauan gerak juga sering dijumpai (Stevenson et al. 2000).

2. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk melengkapi informasi yang diperoleh dari
anamnesis (wawancara dengan penderita) serta pemeriksaan fisik. Pemeriksaan diagnostik
yang dilakukan dapat berupa CT scan MRI, artroskopi, elektromyografi dan foto rontgen.

2.3 Jenis Cedera Olahraga Dan Penanganannya


Menurut Bahr (2003) secara umum macam-macam cedera yang mungkin terjadi adalah:
cedera memar, cedera ligamentum, cedera pada otot dan tendo, perdarahan pada kulit, dan
pingsan. Struktur jaringan di dalam tubuh yang sering terlibat dalam cedera olahraga
adalah: otot, tendo, tulang, persendian termasuk tulang rawan, ligamen, dan fasia.
2.3.1

Memar (Contusio)

Memar adalah keadaan cedera yang terjadi pada jaringan ikat dibawah kulit. Memar
biasanya diakibatkan oleh benturan atau pukulan pada kulit. Jaringan di bawah permukaan
kulit rusak dan pembuluh darah kecil pecah, sehingga darah dan cairan seluler merembes
ke jaringan sekitarnya. Memar ini menimbulkan daerah kebiru-biruan atau kehitaman pada
kulit. Apabila terjadi pendarahan yang cukup, timbulnya pendarahan didaerah yang
terbatas disebut hermatoma (Van Mechelen et al. 1992). Nyeri pada memar biasanya
ringan sampai sedang dan pembengkakan yang menyertai sedang sampai berat. Adapun
memar yang mungkin terjadi pada daerah kepala, bahu, siku, tangan, dada, perut dan kaki.
Benturan yang keras pada kepala dapat mengakibatkan memar dan memungkinkan luka
sayat.
Penanganan Cedera Memar
1. Kompres dengan es selama 12-24 jam untuk menghentikan pendarahan kapiler.
2. Istirahat untuk mencegah cedera lebih lanjut dan mempercepat pemulihan
jaringanjaringan lunak yang rusak.
3. Hindari benturan di daerah cedera pada saat latihan maupun pertandingan berikutnya.
2.3.2

Cedera pada Otot atau Tendo dan Ligamen

Menurut Van Mechelen (2004) cedera pada ligamentum dikenal dengan istilah sprain
sedangkan cedera pada otot dan tendo dikenal sebagai strain.
2.3.2.1 Strain
6

2.3.2.1.1

Defenisi Strain

Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung (impact) atau
tidak langsung (overloading). Pada cedera strain rasa sakit adalah nyeri yang menusuk
pada saat terjadi cedera, terlebih jika otot berkontraksi
Strain adalah hasil dari penggunaan otot atau struktur sambungan lain yang
melebihi kemampuan fungsional. Strain dapat terjadi pada suatu cedera (akut) atau dapat
terjadi karena efek komulatif dari penggunaan berlebihan yang berangsur-angsur sampai
dengan serangan mendadak.
Strain adalah tarikan otot akibat penggunaan berlebihan, peregangan berlebihan,
atau sterss yang berlebihan. Strain adalah robekana mikroskopis tidak komplet dengan
perdarahan kedalam jaringan. Pasien mengalami rasa sakit dan nyeri mendadak dengan
nyeri tekan lokal pada pemakaian otot dan kontraksi isometric.
Dari beberapa pengertian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa strain adalah
kerusakan pada jaringan oto yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung
akibat dari peregangan atau penggunaan yang berlebihan.
2.3.2.1.2

Klasifikasi Strain

Cedera strain terbagi menjadi derajat satu, dua dan tiga :


4. Strain derajat pertama, peregangan ringan dari otot/tendon menghasilkan ketegangan
pada saat dipalpitasi, memungkin ketegangan oto, tetapi tidak mengalami kehilangan
rentang gerak sendi (ROM), edema atau ekimosis, penanganannya adalah mengukur
kenyamanan dengan tindakan pengompresan dingin secara intermitten pada 24 jam
pertama, kemudian pengompresan hangat, relaksan otot, analgesic ringan dan obat anti
inflamasi.
5. Strain derajak kedua, peregangan sedang atau sobekan pada otot atau tendon yang
menghasilkan spasme otot yang berat, nyeri pada gerakan yang pasif, dan edema segera
setelah luka, diikuti dengan ekimosis. Penanganannya sama dengan strain derajat
pertama, kecuali pada penggunaan es digunakan secara intermediet selama lebih dari
48 jam, setelah kompres hangat dilakukan. Mobilitas dibatasi selama 4-6 minggu,
kemudian diikuti latihan yang bertahap. Tindakan pembedahan diperlukan pada kasus
berat.
6. Strain derajat ketiga, peregangan berat dan penggerusan komplit dari tendon/otot yang
menyebabkan

spasme

otot,

ketegngan,

Penanganannya sama dengan derajat kedua


7

edema

dan

kehilangan

pergerakan.

Strain ringan ditandai dengan kontraksi otot terhambat karena nyeri dan teraba pada pada
bagian otot yang mengaku. Strain total didiagnosa sebagai otot tidak bisa berkontraksi dan
terbentuk benjolan. Cedera strain membuat daerah sekitar cedera memar dan membengkak.
Setelah 24 jam, pada bagian memar terjadi perubahan warna, dan tanda-tanda perdarahan
pada otot yang sobek, dan otot mengalami kekejangan.

2.3.2.1.3

Etiologi Strain

Sebagai penyebabya adalah persendian tulang dipaksa melakukan suatu gerak yang
melebihi jejah sendi atau range of movement normalnya. Trauma langsung ke persendian
tulang, yang menyebabkan persendian bergeser ke posisi persendian yang tidak dapat
bergerak.
Pada strain akut :
Ketika otot keluar dan berkontraksi secara mendadak
Pada strain kronis :
Terjadi secara berkala oleh karena penggunaan yang berlebihan/tekanan berulang-ulang,
menghasilkan tendonitis (peradangan pada tendon)
2.3.2.1.4

Manifestasi Klinis Strain

Memar, bengkak disekitar persendian tulang yang terkena cedera, termasuk perubahan
warna kulit. Terjadi haemarthrosis atau perdarahan sendi. Nyeri pada persendian tulang,
nyeri bila anggota badan digerakkan atau diberi beban, fungsi persendian terganggu,
derajat kekakuan sendi, ketidakstabilan persendian tergantung jenis cederanya.
Tanda dan gejala berdasarkan derajat strain;
1. Derajat I/mild strain (rigan)
Gejala yang timbul :
Nyeri lokal
Meningkat apabila bergerak/ bila ada beban pada otot
Tanda-tandanya :
Adanya spasme otot ringan
Bengkak
Gangguan kekuatan otot
Fungsi yang sangat ringan
2. Derajat II/ Medorate Strain (ringan)
Gejala yang timbul :
8

Nyeri lokal
Meningkat apabila bergerak/ apabila ada tekanan otot
Spasme otot sedang
Bengkak
Tenderness
Gangguan kekuatan otot dan fungsi sedang
3. Derajat III/Strain Severe (berat)
Gejala yang timbul :
Nyeri yang berat
Adanya stabilitas
Spasme
Kuat
Bengkak
Tenderness
Gangguan fungsi otot
2.3.2.1.5

Patofisiologi Strain

Strain dapat mencakup robekan atau ruptur jaringan. Inflamasi terjadi pada cedera otot atau
tendon yang menyebabkan nyeri dan pembengkakan jaringan (Corwin, 2008). Strain
adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung (impact) atau tidak langsung
(overloading). Cedera ini terjadi akibat otot tertarik pada arah yang salah, kontraksi otot
yang berlebihan atau ketika terjadi kontransi otot belum siap, terjadi pada bagian groin
muscle (otot pada kunci paha), hamstring (otot pada bagian bawah), dan otot kuadriceps.
Fleksibilitas otot yang baik bisa menghindarkan daerah sekitar cedera memar dan
membengkak (smeltzher,2000)

2.3.2.1.6

Pemeriksaan strain

Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan meliputi :


1.
2.
3.
4.
5.

CT Scan
MRI
Artroskopi
Elektromiografi
Pemeriksaan dengan bantuan komputer lainnya untuk menilai fungsi otot dan sendi

2.3.2.1.7

Penatalaksanaan Strain

Terapi yang harus dilakukan adalah rest atau istirahat, ice atau mendinginkan area
cedera, compression atau balut bagian yang cedera, elevasi atau meninggikan dan
membebaskan dari beban. Jika nyeri dan bengkak berkurang 48 jam setelah cedera,
gerakkan persendian tulang keseluruh arah. Hindari tekanan pada daerah yang cedera
sampai nyeri hilang (biasanya 7 sampai 10 hari untuk cedera ringan dan 3 sampai 5
minggu untuk cedera berat). Jika dibutuhkan gunakan tongkat penopang ketika berjalan.
Es mengurangi nyeri dan pembengkakan melalui beberapa cara. Daerah yang
mengalami cedera mengalami pembengkakakn karena cairan merembes dari dalam
pembuluh darah. Dengan menyebabkan mengkerutnya pembuluh darah, maka dingin akan
mengurangi kecendrungan merembesnya cairan sehingga mengurangi jumlah cairan dan
pembengkakan didaeran yang terkena. Menurunkan suhu kulit disekitar daeran yang
terkena bisa mengurangi rasa nyeri dan kejang otot. Dingin juga akan mengurangi
kerusakan jaringan karena proses selular yang lambat.
Pengkompresan dengan es batu terlalu lama bisa merusak jaringan. Jika suhu
sangat rendah (sanpai 150C), kulit akan memberikan reaksi yang sebaliknya, yaitu
menyebabkan melebarnya pembuluh darah. Kulit tampak merah, teraba hangat dan gatal,
juga bisa terluka. Efek tersebut biasanya terjadi dalam waktu 9-16 menitsetelah dilakukan
pengompresan dan akan berkurang dalam waktu sekitar 4-8 menit setelah es diangkat.
Pijat tidak hanya menghilangkan ketegangan otot
Siapapun dan apapun pekerjaannya anda pasti pernah mengalami saat-saat yang penuh
stres dan melelahkan. Stres mental dan fisik dapat timbul dari beban kegiatan fisik maupun
kegiatan mental, dan juga suasana kejiwaan. Stres pada otot tentu saja sangat terasa tidak
nyaman dan pijat adalah salah satu terapi terbaik yang dapat mengatasinya. Sebenarnya
pijat tidak hanya bertujuan mengendurkan otot yang tegang, tetapi juga membawa manfaat
lain seperti :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Mengurangi rasa kaku pada otot


Mengurangi rasa sakit dan nyeri pada otot dan persendian
Mempercepat penyembuhan persendian yang sakit/bengkak
Meningkatkan kinerga otot saat berolahraga
Melancarka aliran darah dan cairan getah bening
Memperbaiki postur tubuh
Mengurangi ketengangan mental
Menciptakan mood (suasana hati)

Jangan diurut
10

Apabila terjadi cidera otot seringkali ditemukan kasus-kasus ini ditangani dengan
pengurutan. Padahal, tidak selalu harus demikian. Orang yang mengalami cedera, bisa saja
ada pembuluh darah pada jarigan otot yang robek sehingga timbul perdarahan. Sebaiknya,
dalam kasus ini bagian yang cedera jangan diurut atau diberi param karena cedera justru
akan semakin parah.
Pengurutan hanya akan menimbulkan inflamasi yang pada akhirnya malah menjadi
bengkak karena pembuluh darah yang robek semakin lebar dan biasanya menjadi lama
sembuhnya. Padahal, jika dikompres dengan es, pembuluh darah yang pecah tidak semakin
pecah, justru bisa semakin kuat karena terjadi pembekuan. Bila cedera otot ini sudah
semakin berat maka tindakan dokter dalah memberikan gips karena biasanya cedera sudah
mengarah pada keretakan tulang dan sendi.
2.3.2.1.8

Pencegahan Strain

Sebagai upaya pencegahan, saat melakukan aktifitas olahraga memakai sepatu yang sesuai
misalnya sepatu yang bisa melindungi pergelangan kaki selama aktifitas. Lalu melakukan
pemanasan atau streching sebelum elakukan aktivitas atletik, serta latihan yang tidak
berlebihan. Cedera dapat terjadi pada setiap orang yang melakukan olahraga dengan jenis
yang paling sering adalah strain dan sprain dengan derajat dari yang ringaan sampai berat.
Cedera olahraga terutama dapat dicegah dengan pemanasan dan pemakain perlengkapan
olahraga yang sesuai .

2.3.2.2 Sprain
2.3.2.2.1 Defenisi Sprain
Sprain adalah cedera pada ligamentum, cedera ini yang paling sering terjadi pada
berbagai cabang olahraga. hal ini terjadi karena stress berlebihan yang mendadak atau
penggunaan berlebihan yang berulang-ulang dari sendi.
2.3.2.2.2

Klasifikasi Sprain

Berdasarkan Van Mechelen (2003) berat ringannya cedera sprain dibagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu :
1. Sprain Tingkat I

11

Pada cedera ini terdapat sedikit hematoma dalam ligamentum dan hanya beberapa serabut
yang putus. Cedera menimbulkan rasa nyeri tekan, pembengkatan dan rasa sakit pada
daerah tersebut.
2. Sprain Tingkat II
Pada cedera ini lebih banyak serabut dari ligamentum yang putus, tetapi lebih separuh
serabut ligamentum yang utuh. Cedera menimbulkan rasa sakit, nyeri tekan,
pembengkakan, efusi, (cairan yang keluar) dan biasanya tidak dapat menggerakkan
persendian tersebut.
3. Sprain Tingkat III
Pada cedera ini seluruh ligamentum putus, sehinnga kedua ujungya terpisah.
Persendian yang bersangkutan merasa sangat sakit, terdapat darah dalam persendian,
pembekakan, tidak dapat bergerak seperti biasa, dan terdapat gerakangerakan yang
abnormal.
2.3.2.2.3

Etiologi Sprain

Beberapa faktor sebagai penyebab sprain:


a. Umur
Faktor

umur

sangat

menentukan

karena

mempengaruhi

kekuatan

serta

kekenyalan jaringan. Misalnya pada umur tiga puluh sampai empat puluh tahun
kekuatan ototakan relative menurun. Elastisitas tendon dan ligamen menurun pada usia
tiga puluhtahun.
b. Terjatuh atau kecelakan
Sprain dapat terjadi apabila terjadi kecelakan atau terjatuh sehingga jaringanligamen
mengalami sprain
c. Pukulan
Sprain dapat terjadi

apabila

danmenyebabkan sprain
d. Tidak melakukan pemanasan
Pada atlet olahraga sering

mendapat

terjadi

sprain

pukulan

karena

pada

bagian

kurangnya

sendi

pemanasan.

Denganmelakukan pemanasan otot-otot akan menjadi lebih lentur. (Brunnerd &


Suddarth,2002).
2.3.2.2.4

Manifestasi Klinik Sprain

Gejala yang dapat dirasakan jika seseorang mengalami sprain adalah nyeri,
inflamasi/peradangan, dan pada beberapa kasus, ketidakmampuan menggerakkan tungkai,
bengkak, memar, tidak stabil, dan hilangnya kemampuan untuk menggerakkan sendi,
12

bengkak di sekitar persendian tulang yang terkena cedera, termasuk perubahanwarna kulit.
Terjadi haemarthrosis atau perdarahan sendi. Nyeri pada persendian tulang, nyeri bila
anggota badan digerakkan atau diberi beban, fungsi persendian terganggu,terjadi kekakuan
sendi, ketidakstabilan persendian tergantung jenis cederanya. Meskipun begitu, gejala dan
tanda ini dapat sangat bervariasi dalam hal beratnya, tergantungseberapa parahnya sprain
yang terjadi. Terkadang orang yang mengalami sprain merasa ada yang robek saat cedera
terjadi. (Mansjoer, 2009)
2.3.2.2.5

Patofisiologi Sprain

Biasanya terjadi sesudah gerakan memuntir yang tajam. Keseleo atau sprain jika
difiksasi dapat sembuh dalam dua hingga tiga minggu tanpa tindakan bedah
korektif.Sesudah itu secara berangsur-angsur pasien dapat kembali melakukan aktivitas
normal. Keseleo atau sprain pada pergelangan kaki merupakan cedera sendi yang paling
seringdijumpai dan kemudian diikuti oleh keseleo pada pergelangan tangan, siku, serta
lutut.Jika sebuah ligamen mengalami ruptur maka eksudasi inflamatori akan terjadi
dalamhematoma diantara kedua ujung potongan ligamen yang putus itu. Jaringan
granulasitumbuh kedalam dari jaringan lunak dan kartilago sekitarnya. Pembentukan
kolagendimulai empat hingga lima hari sesudah cedera dan pada akhirnya akan
mengatur serabut-serabut tersebut sejajar dengan garis tekanan/stres. Dengan bantuan
jaringanfibrosa yang vaskular, akhirnya jaringan yang baru tersebut menyatu dengan
jaringandisekitarnya. Ketika reorganisasi ini berlanjut, ligamen yang baru akan terpisah
dari jaringan sekitarnya dan akhirnya menjadi cukup kuat untuk menahan tegangan
ototnormal. (Price, 2005)
2.3.2.2.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Foto rontgen untuk menyingkirkan kemungkinan fraktur
2. Stress radiography untuk memfisualisasi cedera ketika bagian tersebut digerakkan
3. Artrografi
4. Artroskopy(Price, 2005)
2.3.2.2.7 Penatalaksanaan Sprain
1. RICE (Rice, Ice, Compression, Elevation)
Prinsip utama penatalaksanaan sprain adalah mengurangi pembengkakan dan
nyeriyang terjadi. Langkah yang paling tepat sebagai penatalaksanaan tahap awal (2448 jam) adalah prinsip RICE (rest, ice, compression, elevation), yaitu :
13

a. Rest (istirahat)
Kurangi aktifitas sehari-hari sebisa mungkin. Jangan menaruh beban pada tempatyang
cedera selama 48 jam. Dapat digunakan alat bantu seperti crutch(penopang/penyangga
tubuh yang terbuat dari kayu atau besi) untuk mengurangi beban pada tempat yang cedera.
b. Ice (es)
Letakkan es yang sudah dihancurkan kedalam kantung plastik atau semacamnya.Kemudian
letakkan pada tempat yang cedera selama maksimal 2 menit gunamenghindari cedera
karena dingin.
c. Compression (penekanan)
Untuk mengurangi terjadinya pembengkakan lebih lanjut, dapat dilakukan penekanan pada
daerah yang cedera. Penekanan dapat dilakukan dengan perban elastik. Balutandilakukan
dengan arah dari daerah yang paling jauh dari jantung ke arah jantung.
d. Elevation (peninggian)
Jika memungkinkan, pertahankan agar daerah yang cedera berada lebih tinggidaripada
jantung. Sebagai contoh jika daerah pergelangan keki yang terkena, dapatdiletakkan bantal
atau guling dibawahnya supaya pergelangan kaki lebih tinggidaripada jantung. Tujuan
daripada tindakan ini adalah agar pembengkakan yangterjadi dapat dikurangi.
2. Penanganan sprain menurut klasifikas
a. Sprain tingkat satu (first degree)
Tidak perlu pertolongan/ pengobatan, cedera pada tingkat ini cukup diberikanistirahat saja
karena akan sembuh dengan sendirinya.
b. Sprain tingkat dua (Second degree).
Pemberian pertolongan dengan metode RICE. Tindakan imobilisasi (suatutindakan yang
diberikan agar bagian yang cedera tidak dapat digerakan) dengancara balut tekan, spalk
maupun gibs. Biasanya istirahat selama 3-6 minggu.
c. Sprain tingkat tiga (Third degree).
Pemberian pertolongan dengan metode RICE. Dikirim kerumah sakit untuk dijahit/
disambung kembali. (Brunnerd & Suddarth,2002)
2.3.2.2.8 Komplikasi Sprain
1. Disklokasi berulang akibat

ligamen

yang

ruptur

tersebut

tidak

sembuh

dengansempurna sehingga diperlukan pembedahan untuk memperbaikinya


2. Gangguan fungsi ligamen (jika terjadi tarikan otot yang kuat sebelum sembuh dan
tarikan tersebut menyebabkan regangan pada ligamen yang ruptur, maka ligamen
14

inidapat sembuh dengan bentuk memanjang, yang disertai pembentukan jaringan parut
secara berlebihan). (Mansjoer, 2009).

2.3.3 Dislokasi
2.3.3.1 Defenisi Dislokasi
Dislokasi adalah terlepasnya sebuah sendi dari tempatnya yang seharusnya. Dislokasi yang
sering terjadi pada olahragawan adalah dislokasi di bahu, angkle (pergelangan kaki), lutut
dan panggul. Faktor yang meningkatkan resiko dislokasi adalah ligamen-ligamennya yang
kendor akibat pernah mengalami cedera, kekuatan otot yang menurun ataupun karena
faktor eksternal yang berupa tekanan energi dari luar yang melebihi ketahanan alamiah
jaringan dalam tubuh (Stevenson et al. 2000).
2.3.3.2 Penanganan Dislokasi
Menurut Stevenson (2000) prinsip dasar penanganan dislokasi adalah reposisi. Reposisi
pada keadaan akut (beberapa saat setelah cedera sebelum terjadinya respon peradangan)
dapat dilakukan dengan lebih mudah. Pada keadaan akut dimana respon peradanagan
sudah terjadi, reposisi relatif sukar untuk dilakukan. Pada keadaan ini, direkomendasikan
untuk menunggu berkurangnya respon peradangan. Pada keadaan kronis dimana respon
peradanagn sudah berkurang, reposisi dapat dilakukan dengan jalan melemaskan kembali
persendian supaya dapat dilakukan penarikan dan pergeseran tulang dengan lebih mudah.
Pelemasan jaringan persendian dapat dilakukan dengan terapi panas maupun dengan
manual therapy pada bagian proksimal dan distal lokasi yang mengalami dislokasi.
Penanganan yang dilakukan pada saat terjadi dislokasi adalah melakukan reduksi ringan
dengan cara menarik persendian yang bersangkutan pada sumbu memanjang. Setelah
reposisi berhasil dilakukan, sendi tersebut difiksasi selama 3-6 minggu untuk mengurangi
resiko terjadinya dislokasi ulang. Apabila rasa nyeri sudah minimal, dapat dilakukan
exercise therapy secara terbatas untuk memperkuat struktur persendian dan memperkecil
resiko dislokasi ulang (Meeuwisse 1994).

2.4 Pencegahan Cedera Olahraga


Menurut Stevenson (200), beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya
cedera olahraga antara lain adalah:
15

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pemeriksaan awal sebelum melakukan olahraga untuk menentukan ada tidaknya


kontraindikasi dalam berolahraga
Melakukan olahraga sesuai dengan kaidah baik, benar, terukur dan teratur
Menggunakan sarana yang sesuai dengan olahraga yang dipilih
Memperhatikan kondisi prasarana olahraga
Memperhatikan lingkungan fisik seperti suhu dan kelembaban udara sekelilingnya

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pada umumnya penatalaksanaan cedera olahraga menggunakan prinsip RICE (Rest, Ice,
Compression, Elevation) yang selalu diterapkan pada fase akut cedera sebelum penanganan
selanjutnya. Indikasi RICE dilakukan pada cedera akut atau kronis eksaserbasi akut, seperti
hematome (memar), sprain, strain, patah tulang tertutup, dislokasi setelah dilakukan
reposisi. Secara umum penanganan cedera olahraga disesuaikan dengan jenis cedera dan
proses patofisiologi cedera yang mendasari. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk
mencegah terjadinya cedera olahraga antara lain adalah perlu dilakukan kegiatan
pemanasan dengan melibatkan latihan dinamis maupun statis dan perlu dilakukan
pengaturan progresi latihan yang baik agar latihan dapat diadaptasi dengan baik oleh tubuh
3.2 Saran
16

Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para pembaca dan
mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah berikutnya :
a. Kombinasikan metode pembuatan makalah berikutnya.
b. Pembahsan yang lebih mendalam disertai data-data yang lebih akurat.
Beberapa poin diatas merupakan saran yang kami berikan apabila ada pihak-pihak
yang ingin melanjutkan penelitian terhadap makalah ini, dan demikian makalah ini disusun
serta besar harapan nantinya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususunya
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara semester V/2014 dalam
penambahan wawasan dan ilmu pengetahuan

DAFTAR PUSTAKA

Bahr, R. and I. Holme (2003). "Risk factors for sports injuriesa methodological

approach." British journal of sports medicine 37(5): 384.


Gleim, G. W. and M. P. McHugh (1997). "Flexibility and its effects on sports injury

and performance." Sports Medicine 24(5): 289299.


Meeuwisse, W. H. (1994). "Assessing causation in sport injury: a multifactorial

model." Clinical Journal of Sport Medicine 4(3): 166.


Parkkari, J., U. M. Kujala, et al. (2001). "Is it Possible to Prevent Sports Injuries?:
Review of Controlled Clinical Trials and Recommendations for Future Work."

Sports Medicine 31(14): 985995.


Stevenson, M. R., P. Hamer, et al. (2000). "Sport, age, and sex specific incidence of

sports injuries in Western Australia." British journal of sports medicine 34(3): 188.
Van Mechelen, W., H. Hlobil, et al. (1992). "Incidence, severity, aetiology and
prevention of sports injuries. A review of concepts." Sports Medicine (Auckland,
NZ) 14(2): 82.
17

18

Anda mungkin juga menyukai