PENDAHULUAN
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan Badan Litbang Departemen Kesehatan
pada tahun 1995, yang antara lain menunjukkan bahwa gangguan mental Remaja dan
Dewasa terdapat 140 per 1000 anggota rumah tangga, gangguan mental Anak Usia Sekolah
terdapat 104 per 1000 anggota rumah tangga. Dalam kurun waktu 6 (enam) tahun terakhir
ini, data tersebut dapat dipastikan meningkat karena krisis ekonomi dan gejolakgejolak lainnya di seluruh daerah, bahkan masalah dunia internasionalpun akan ikut
memicu terjadinya peningkatan. Menghadapi hal seperti ini tentu tidak semata-mata
menjadi tanggungjawab pemerintah tetapi sangat diperlukan adanya partisipasi aktif dari
semua pihak dan lapisan masyarakat (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor : 220 / MENKES / SK / III / 2002).
Masalah kesehatan jiwa pada anak-anak merupakan hal yang banyak terjadi, yang
pada umumnya tidak terdiagnosis dan pengobatannya kurang adekuat. Masalah kesehatan
jiwa terjadi pada 15% sampai 22 % anak-anak dan yang mendapat pengobatan jumlahnya
kurang dari 20% (Isaaac, 2004). Jika dilihat angka dari Badan Litbang Departemen
Kesehatan yakni angka gangguan mental yang dialami anak usia sekolah yakni 104 per
1000 anggota keluarga jika diartikan maka dalam 1000 keluarga ada sekitar 104 anak yang
mengalamigangguan mental.
Angka tersebut tentu saja mengkhawatirkan karena usia sekolah merupakan usia yang
sangat penting dalam perjalanan hidup anak, masa usia sekolah merupakan cerminan
kesuksesan anak di masa selanjutnya. Pada usia inilah pertama sekali anak diperkenalkan
dengan dunia pendidikan formal, dimana dalam pendidikan formal anak sudah dituntut
mampu menerapkan intelektualnya. Dalam masa ini juga anak mengalami pertumbuhan
fisik serta perkembangan emosiona l dan sosial, anak senang berkumpul dengan teman
sebaya untuk melakukan sosialisasi. Rentang umur usia sekolah antara enam sampai dua
belas tahun sesuai dengan pendapat Nasution (1993, dalam Djamarah, 2008).
Anak usia sekolah dikatakan mengalami masalah kesehatan jiwa apabila perilaku anak
tidak sesuai dengan tingkat usia sekolah, menyimpang bila dibandingkan dengan norma
budaya, yang mengakibatkan kurangnya atau terganggunya fungsi adaptasi. Tugas
perkembangan pada usia sekolah ini menurut Erickson adalah menyelesaikan tugas
(sekolah atau rumah) yang diberikan, mempunyai rasa bersaing, senang berkelompok
dengan teman sebaya, mempunyai sahabat karib, dan berperan dalam kegiatan kelompok.
Sedangkan penyimpangan perkembangan pada anak usia sekolah tidak mau mengerjakan
tugas sekolah atau membangkang pada orangtua, tidak ada kemauan untuk bersaing,
terkesan malas, tidak mau terlibat dalam kegiatan kelompok dan memisahkan diri dari
sekolah dan teman-teman sepermainan.
Penanganan dini terhadap anak-anak yang mengalami masalah kesehatan jiwa menjadi
penting, terutama jika gejala-gejala sudah muncul sejak usia kanak-kanak. Karena
kecenderungannya, gangguan jiwa yang muncul sejak usia dini dan tidak ditangani dengan
baik akan makin memburuk seiring bertambahnya usia. Tetapi kenyataannya masalah
kesehatan jiwa anak masih belum mendapat perhatian dari semua pihak. Untuk itu perlu
upaya penanganan yang serius untuk menanggulanginya, karena jika tidak kondisi itu akan
memperburuk kualitas perkembangan generasi muda yang pada akhirnya dapat menambah
beban sosial ekonomi bagi masyarakat.
Gangguan pemusatan perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) merupakan suatu kondisi
medis, yang ditandai oleh hiperaktivitas, ketidakmampuan memusatkan perhatian dan
impulsivitas, yang terdapat secara persisten (menetap). Sebagian anak dapat menunjukkan
gejala hiperaktif, yang lainnya menunjukkan gejala kesulitan memusatkan perhatian, dan
ada pula yang menunjukkan impulsivitas, atau ketiga gejala tersebut terdapat secara
bersamaan. Anak dengan GPPH jenis predominan ketidakmampuan memusatkan
perhatian, seringkali tampak sebagai anak yang suka melamun, pasif dan sulit untuk ikut
beraktivitas dengan teman-temannya.
GPPH adalah gangguan jiwa pada anak yang paling sering dijumpai diklinik maupun
masyarakat. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan khususnya dibidang kedokteran jiwa,
sudah ditemukan cara mengatasi anak dengan GPPH, baik secara organobiologis, maupun
psikoedukatif ataupun sosiokultural.
Selama ini belum banyak orang memahami keadaan tersebut. Banyak yang
menganggap anak dengan GPPH merupakan anak yang nakal, bahkan mereka
diperlakukan dengan keras dan sering dihukum, baik dirumah oleh orangtua, maupun
disekolah oleh guru atau dimasyarakat. Hal ini tidak akan dapat menyelesaikan masalah
dan bahkan membuat masalahnya bertambah berat.
Tidak mudah menjadi orangtua dari seorang anak dengan GPPH, mereka sering
merasa lelah dan putus asa. Walau sudah banyak melakukan usaha untuk mengatasinya,
namun mereka merasa sia-sia karena tidak mendapatkan hasil yang diharapkan. Orangtua
juga sering merasa malu karena anaknya sering berbuat yang tidak pada tempatnya
(misalnya mengacak-acak barang, bahkan merusak atau mengganggu anak lain).
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM), definisi GPPH
telah mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan perubahan konsep tentang
3
penyakit tersebut. Sesuai dengan DSMIV, terdapat tiga gejala utama yaitu inattentiveness
atau tidak mampu memusatkan perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas.
Prevalensi GPPH tipe kombinasi lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi
gangguan pemusatan perhatian saja atau hiperaktif saja (Lahey,1990). Pada umumnya
berbagai ahli mengemukakan prevalensi GPPH pada anak sekolah berkisar 3%-10%
(Pineda D., et al., 1999). Di Amerika Serikat para ahli mempunyai kesepakatan bahwa
prevalensi GPPH adalah 3%-5% pada populasi anak (American Psychiatric Association,
1994). Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan prevalensi gangguan ini berkisar dari
1% sampai 29,2% (Wang et al.,1992). Di Jakarta, prevalensi GPPH diantara anak Sekolah
Dasar 26,2% (Saputro D,2004), proporsi terbesar adalah jenis gangguan tidak mampu
memusatkan perhatian yaitu sebesar 15,9%.
Anak dengan GPPH banyak dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk menjalani
pemeriksaan dalamupaya menegakkan diagnosis dan mendapatkan penanganan yang
sesuai. Namun tidak semua tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum (RSU), khususnya
Kelas A dan Kelas B, dan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) memahami masalah GPPH.
Berdasarkan hal ini perlu disusun pedoman diagnosis dan terapi dini GPPH.
dalam
pembahasan-pembahasan
makalah
sederhana,
yaitu
dengan
menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim penyusun mencari sumber
data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu dianalisis sehinggga diperoleh
informasi tentang masalah yang akan dibahas setelah itu berbagai referensi yang
didapatkan dari berbagai sumber tersebut disimpulan sesuai dengan pembahasan yang akan
dilakukan dan sesuai dengan judul makalah dan dengan tujuan pembuatan makalah ini.
Itulah sekilas tentang metode dan teknik yang digunakan dalam penyusunan makalah ini.
BAB II
5
PEMBAHASAN
mencuri,
berbohong,
menggertak,
melarikan
diri,
membolos,
a. Gangguan obsesif kompulsif, gangguan ansietas umum, dan fobia banyak terjadi
pada anak-anak dan remaja, dengan gejala yang sama dengan yang terlihat pada
orang dewasa.
b. Gangguan ansietas akibat perpisahan adalah gangguan masa kanak-kanak yang
ditandai dengan rasa takut berpisah dari orang yang paling dekat dengannya.
Gejala-gejalanya meliputi menolak pergi ke sekolah, keluhan somatik, ansietas
berat terhadap perpisahan dan khawatir tentang adanya bahaya pada orang-orang
yang mengasuhnya.
4. Skizofrenia
a. Skizofrenia anak-anak jarang terjadi dan sulit didiagnosis. Gejala-gejalanya dapat
menyerupai gangguan pervasif, seperti autisme. Walaupun penelitian tentang
skizofrenia anak-anak sangat sedikit, namun telah dijumpai perilaku yang khas
(Antai-Otong, 1995b), seperti beberapa gangguan kognitif dan perilaku, menarik
diri secara sosial, dan komunikasi.
b. Skizofrenia pada remaja merupakan hal yang umum dan insidensinya selama masa
remaja akhir sangat tinggi. Gejala-gejalanya mirip dengan skizofrenia dewasa.
Gejala awalnya meliputi perubahan ekstrim dalam perilaku sehari-hari, isolasi
sosial, sikap yang aneh, penurunan nilai-nilai akademik, dan mengekspresikan
perilaku yang tidak disadarinya.
5. Gangguan mood
a. Gangguan ini jarang terjadi pada masa anak-anak dan remaja dibanding pada orang
dewasa (Keltner,1999). Prevalensi pada anak-anak dan remaja berkisar antara 1%
sampai 5% untuk gangguan depresi. Eksistensi gangguan bipolar (jenis manik)
pada anak-anak masih kontroversial. Prevalensi penyakit bipolar pada remaja
diperkirakan 1%. Gejala depresi pada anak-anak sama dengan yang diobservasi
pada orang dewasa.
b. Bunuh diri. Adanya gangguan mood merupakan faktor resiko yang serius untuk
bunuh diri. Bunuh diri adalah penyebab kematian utama ketiga pada individu
berusia 15 sampai 24 tahun. Tanda-tanda bahaya untuk bunuh diri pada remaja
meliputi menarik diri secara tiba-tiba, berperilaku keras atau sangat memberontak,
menyalahgunakan obat atau alkohol, secara tidak biasanya mengabaikan
penampilan diri, kualitas tugas-tugas sekolah menurun, membolos, melarikan diri,
keletihan berlebihan dan keluhan somatik, respon yang buruk terhadap pujian,
ancaman bunuh diri yang terang-terangan secara verbal, dan membuang bendabenda yang didapat sebagai hadiah (Newman, 1999).
6. Gangguan penyalahgunaan zat.
8
harus
mempertimbangkan
fungsi
dan
kesejahteraan
seluruh
keluarga
(Kusumaningrum, 2009).
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktivitas (GPPH) atau Attention
Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dalam DSM-IV (Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder IV, 2000) atau Gangguan Hiperkinetik dalam PPDGJ-III
(Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III, 1993) adalah suatu diagnosis
untuk pola perilaku anak yang berlangsung dalam jangka waktu paling sedikit 6 bulan,
dimulai sejak berusia sekitar7 tahun, yang menunjukkan sejumlah gejala ketidakmampuan
untuk memusatkan perhatian atau sejumlah gejala perilaku hiperaktif-impulsif, atau keduaduanya.
9
kesulitan anak untuk menunda respon. Ada semacam dorongan untuk mengatakan atau
melakukan sesuatu yang tidak terkendali. Dorongan tersebut diekspresikan dengan segera
dan tanpa pertimbangan.
Beberapa masalah perilaku yang muncul dan dapat menghambat proses belajar
pada anak GPPH dan kesulitan belajar ini dapat digambarkan,yaitu:
1. Aktivitas motorik yang berlebihan
Masalah motorik pada anak ini disebabkan karena kesulitan mengontrol dan melakukan
koordinasi dalam aktivitas motoriknya, sehingga tidak dapat membedakan kegiatan yang
penting dan yang tidak penting.
2. Menjawab tanpa ditanya
Ciri impulsif demikian ini merupakan salah satu sifat yang dapat menghambat proses
belajar anak. Keadaan ini menunjukkan bahwa anak tidak dapat mengendalikan dirinya
untuk berespon secara tepat.
3. Menghindari tugas
Masalah ini muncul karena biasanya anak merasa cepat bosan, sekalipun dengan tugas
yang menarik. Tugas-tugas belajar kemungkinan sulit dikerjakan karena anak mengalami
hambatan untuk menyesuaikan diri terhadap kegiatan belajar yang diikutinya. Keadaan ini
dapat menimbulkan rasa frustasi, dan akibatnya anak kehilangan motivasi untuk belajar.
4. Kurang perhatian
Kesulitan dalam mendengar, mengikuti arahan, dan memberikan perhatian adalah
merupakan masalah umum pada anak-anak ini. Perhatian yang mudah teralihkan sangat
menghambat dalam proses belajar.
5. Tugas yang tidak diselesaikan
Masalah ini berhubungan dengan penghargaan waktu yang kurang baik, frustasi
terhadap tugas, serta berbagai sikap yang merusak, namun membangun kebiasaan yang
baik secara konsisten merupakan langkah yang penting agar tugas dapat diselesaikan
dengan baik.
6. Bingung akan arahan
Masalah ini berpangkal pada perhatian, ketika perhatian pecah selama kegiatan
pembelajaran, terjadi perpecahan proses informasi yang mengakibatkan kebingungan
sehingga informasi yang diterima tidak utuh.
7. Disorganisasi
Pada umumnya anak-anak ini mengalami disorganisasi, impulsif, ceroboh, dan terburu-
11
buru dalam melakukan tugas yang mengakibatkan pekerjaan acak-acakan, bingung, dan
sering kali lupa beberapa bagian tugas.
8. Masalah-masalah sosial
Meskipun masalah dalam hubungan teman sebaya tidak ditemukan pada semua anakanak ini, namun kecenderungan impulsif, kesulitan menguasai diri sendiri, serta toleransi
rasa frustasi yang rendah, tidaklah mengherankan jika sebagian anak mempunyai masalah
dalam kehidupan sosial, kesulitan bermain dengan aturan, dan aktivitas lainnya yang tidak
hanya terbatas di sekolah saja tetapi di lingkungan sosial lainnya (Sugiarmin, 2007).
Masalah ini biasanya menetap selama masa bersekolah dan bahkan sampai umur
dewasa, tetapi banyak penderita secara lambat laun menunjukkan perbaikan dalam
kegiatan dan perhatiannya. (Departemen Kesehatan RI, 1993).
2.2.1.4 Diagnosis GPPH
Menurut DSM-IV (Diagnostic and Stastical Manual of Mental Disorder-IV-Text
Revision, 2000), gejala harus ditemukan pada sekurangnya dua keadaan seperti disekolah
dan di rumah untuk memenuhi kriteria diagnostik GPPH.
Kriteria Diagnostik GPPH berdasarkan DSM-IV.
1. Inatensi: terdapat enam (atau lebih) gejala inatensi berikut ini telah menetap selama
sekurangnya enam bulan sampai tingkat yang maladaptif dan tidak konsisten dengan
tingkat perkembangan.
a. Sering gagal memusatkan perhatian pada hal-hal kecil atau membuat kesalahan
yang ceroboh (tidak hati-hati) dalam pekerjaan sekolah, pekerjaan, kegiatan lain.
b. Sering sulit mempertahankam perhatian pada waktu melaksanakan tugas atau
kegiatan bermain.
c. Sering seperti tidak mendengarkan pada waktu diajak bicara langsung
d. Sering tidak mengikuti petunjuk dan gagal menyelesaikan pekerjaan sekolah dan
tugas (tidak disebabkan oleh perilaku menentang atau kegagalan memahami
petunjuk).
e. Sering sulit mengatur tugas dan kegiatan.
f. Sering menghindar, tidak suka atau enggan melibatkan diri dalam tugas yang
membutuhkan ketekunan yang berkesinambungan (seperti melakukanpekerjaan
sekolah atau pekerjaan rumah).
g. Sering menghilangkan benda-benda yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas
atau kegiatan lain.
h. Perhatiannya sering mudah dialihkan oleh rangsangan dari luar.
i. Sering lupa dalam kegiatan sehari-hari.
12
1. Farmakoterapi
Terapi yang efektif bagi GPPH adalah terapi perilaku dan farmakoterapi khususnya
dengan psikostimulan. Efektivitas keduanya dalam waktu singkat (beberapa minggu atau
bulan) telah terbukti. Peranan terapi perilaku penting dalam pelaksanaan GPPH. Hal ini
telah ditunjukkan oleh penelitian bahwa dengan pemberian obat metilfenidat dosis rendah,
disertai dengan pelatihan orang tua dan juga pelatihan bagi anak untuk mengontrol dirinya.
Hasil yang lebih baik pada anak yang selama 2-3 tahun diterapi dengan multimodal
(kombinasi dari pemberian psikostimulan, memperhatikan aspek pendidikan, berbagai
terapi psikososial, dan termasuk terapi keluarga) daripada hanya memberikan
psikostimulan saja (Laurentius, 1999).
Pemberian psikostimulan dengan dosis yang adekuat pada anak hiperaktif
menunjukkan 35%-50% perbaikanyang dramatis, 30%-40% perbaikan yang moderate dan
15%-20% tidak menunjukkan adanya perbaikan. Perbaikan yang terjadi secara dramatis
biasanya dilaporkan oleh guru bahwa muridnya tersebut menjadi anak yang manis seperti
lainnya (Greenhil, 1992). Perbedaan lain sebagai respon utama antara anak hiperaktif
dengan orang dewasa adalah adanya efek euforia hanya pada orang dewasa. Serta anak
hiperaktif menjadi kurang gelisah jika diberikan psikosimulan, sedangkan pada orang
dewasa dapat meningkatkan aktivitasnya (Safer et al., 1996).
2. Terapi Perilaku
Terapi yang diterapkan terhadap penderita ADHD haruslah bersifat holistik dan
menyeluruh. Penanganan ini hendaknya melibatkan multi disiplin ilmu yang dilakukan
antara dokter, psikologi, orangtua, guru dan lingkungan yang berpengaruh terhadap
penderita secara bersama-sama. Penanganan ideal harus dilakukan terapi stimulasi dan
terapi perilaku secara terpadu guna menjamin keberhasilan terapi (Judarwanto, 2009).
Modifikasi perilaku juga melibatkan orang tua seperti yang dijelaskan oleh Judarwato
(2009) bahwa orang tua sebaiknya selalu mendampingi dan mengarahkan kegiatan yang
seharusnya dilakukan anak dengan melakukan modifikasi bentuk kegiatan yang menarik
minat, sehingga lambat laun dapat mengubah perilaku anak yang menyimpang. Pola
pengasuhan di rumah hendaknya mengajarkan anak dan memberikan pengertian yang
benar tentang segala sesuatu yang harus ia kerjakan dan segala sesuatu yang tidak boleh
dikerjakan serta memberikan kesempatan mereka secara psikis menerima petunjukpetunjuk yang diberikan.
Umpan balik, dorongan semangat, dan disiplin, hal ini merupakan pokok dari upaya
perbaikan perilaku anak dengan memberikan umpan balik agar anak bersedia melakukan
14
sesuatu dengan benar disertai dengan dorongan semangat dan keyakinan bahwa dia mampu
mengerjakan, pada akhirnya bila ia mampu mengerjakannya dengan baik maka harus
diberikan penghargaan yang tulus baik berupa pujian ataupun hadiah tertentu yang bersifat
konstruktif. Bila hal ini tidak berhasil dan anak menunjukkan tanda-tanda emosi yang tidak
terkendali harus segera dihentikan atau dialihkan pada kegiatan lainnya yang lebih ia sukai
(Hidayati, 2009).
15
16
Tetapi jika ternyata timbul masalah emosional dan sosial, akan terlihat bahwa mereka
mengalami gangguan, misal tidak mampu menguasai masalah perkawinan atau mengasuh
anak, atau kesulitan menyesuaikan diri dengan tradisi budaya.
2. Retardasi mental sedang
Retardasi mental sedang dikategorikan sebagai retardasi mental dapat dilatih
(trainable). Pada kelompok ini anak mengalami keterlambatan perkembangan pemahaman
dan penggunaan bahasa, serta pencapaian akhirnya terbatas. Pencapaian kemampuan
mengurus diri sendiri dan ketrampilan motor juga mengalami keterlambatan, dan beberapa
diantaranya membutuhkan pengawasan sepanjang hidupnya. Kemajuan di sekolah terbatas,
sebagian masih bisa belajar dasar-dasar membaca, menulis dan berhitung.
3. Retardasi mental berat
Kelompok retardasi mental berat ini hampir sama dengan retardasi mental sedang
dalam hal gambaran klinis, penyebab organik, dan keadaan-keadaan yang terkait.
Perbedaan utama adalah pada retardasi mental berat ini biasanya mengalami kerusakan
motor yang bermakna atau adanya defisit neurologis.
4. Retardasi mental sangat berat
Retardasi mental sangat berat berarti secara praktis anak sangat terbatas
kemampuannya dalam mengerti dan menuruti permintaan atau instruksi. Umumnya anak
sangat terbatas dalam hal mobilitas, dan hanya mampu pada bentuk komunikasi nonverbal
yang sangat elementer.
2.2.2.3 Etiologi Retardasi Mental
Terjadinya retardasi mental tidak dapat dipisahkan dari tumbuh kembang seorang
anak. Seperti diketahui faktor penentu tumbuh kembang seorang anak pada garis besarnya
adalah faktor genetik/heredokonstitusional yang menentukan sifat bawaan anak tersebut
dan faktor lingkungan. Yang dimaksud dengan lingkungan pada anak dalam konteks
tumbuh kembang adalah suasana (milieu) dimana anak tersebut berada. Dalam hal ini
lingkungan berfungsi sebagai penyedia kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang.
Kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang ini secara garis besar dapat
digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu:
1. Kebutuhan fisis-biomedis (asuh)
17
Penyebab psikososial atau sering disebut tipe sosiokultural mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut :
a. Biasanya merupakan retardasi mental ringan
b. Diketahui pada usia sekolah
18
2.2.3 Autisme
2.2.3.1 Defenisi Autisme
Istilah autisme berasal dari kata Autos yang berarti diri sendiri dan isme yang
berarti suatu aliran, sehingga dapat diartikan sebagai suatu paham tertarik pada dunianya
sendiri (Suryana, 2004). Autisme pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun
1943. Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi
dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan bahasa yang
tertunda, echolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain repetitive dan
stereotype, rute ingatan yang kuat dan keinginan obsesif untuk mempertahankan
keteraturan di dalam lingkungannya (Dawson & Castelloe dalam Widihastuti, 2007).
Gulo (1982) menyebutkan autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan
khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran
subjektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh
karena itu penderita autisme disebut orang yang hidup di alamnya sendiri.
Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis pada anakanak yang unik dan menonjol yang sering disebut sindrom Kanner yang dicirikan dengan
ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit
sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka
berkomunikasi (Budiman, 1998).
Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut
komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak
berusia 3 tahun (Suryana, 2004). Menurut dr. Faisal Yatim DTM&H, MPH (dalam
Suryana, 2004), autisme bukanlah gejala penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan
21
yang bisa diterima dslsm masyarakat Terapi ini sangat penting untuk membantu
penyandang autisme untuk lebih bisa menyesuaikan diri dalam masyarakat.
2. Terapi wicara
Terapi wicara sering kali masih tetap dibutuhkan untuk memperlancar bahasa anak.
Menerapkan terapi wicara pasda anak autisme berbeda daripada anak lain. Oleh karena itu
diperlukan pengetahuan yang cukup mendalam tentang gangguan bicara pada anak
autisme.
3. Pendidikan kebutuhan khusus
Pendidikan pada tahap awal diterapkan satu guru untuk satu anak. Cara ini paling
efektif karena anak sulit memusatkan perhatiannya dalam suatu kelas yang besar. Secara
bertahap anak dimasukan dalam kelompok kelas untuk dapat mengikuti pembelajaran
secara klasikal. Penggunaan guru pendamping sebaiknya tidak terlalu dominan, yang
diharapkan adalah anak dengan gangguan autisme dapat secara terus menerus belajar
dengan anak-anak lainnya dalam satu pembelajaran bersama. Pola pendidikan yang
terstruktur baik di sekolah maupun di rumah sangat diperlukan bagi anak ini. Mereka harus
dilatih untuk mandiri, terutama soal bantu diri. Maka seluruh keluarga di rumah harus
memakai pola yang sama Agar tidak membingungkan anak.
4. Terapi okupasi
Sebagian individu dengan gangguan autisme mempunyai perkembangan motorik
terutama motorik halus yang kurang baik. Terapi okupasi diberikan untuk membantu
menguatkan, memperbaiki koordinasi dan keterampilan otot halus seperti tangan. Otot jari
tangan penting dilatih terutama untuk persiapan menulis dan melakukan segala pekerjaan
yang membutuhkan keterampilan motorik halus.
5. Terapi medikamentosa (obat)
Pada keadaan tertentu individu dengan gangguan autisme mempunyai beberapa gejala
yang menyertai gangguan autisme, seperti perilaku agresif atau hiperaktivitas. Pada
individu dengan keadaan demikian dianjurkan untuk menggunakan pemberian obat-obatan
secara tepat. Penggunaaan obat-obat yang digunkan biasanya dilakukan dengan cermat
agar memperoleh pengaruh positif terhadap perkembangan anak.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
24
Gangguan jiwa pada anak-anak merupakan hal yang banyak terjadi, yang umumnya
tidak terdiagnosis dan pengobatannya kurang adekuat. Masalah kesehatan jiwa terjadi pada
15% sampai 22% anak-anak dan remaja, namun yang mendapatkan pengobatan jumlahnya
kurang dari 20% (Keys, 1998).
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dicirikan dengan tingkat gangguan
perhatian, impulsivitas, dan hiperaktivitas yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan.
Menurut DSM IV, ADHD pasti terjadi di sedikitnya dua tempat (mis., di sekolah dan di
rumah) dan terjadi sebelum usia 7 tahun (DSM IV, 1994).
Retardasi mental muncul sebelum usia 18 tahun dan dicirikan dengan keterbatasan
substandar dalam berfungsi, yang dimanifestasikan dengan fungsi intelektual secara
signifikan berada dibawah rata-rata (mis., IQ dibawah 70) dan keterbatasan terkait dalam
dua bidang keterampilan adaptasi atau lebih (mis., komunikasi, perawatan diri, aktivitas
hidup sehari-hari, keterampilan sosial, fungsi dalam masyarakat, pengarahan diri,
kesehatan dan keselamatan, fungsi akademis, dan bekerja.
Autisme dicirikan dengan gangguan yang nyata dalam interaksi sosial dan
komunikasi, serta aktivitas dan minat yang terbatas (Johnson, 1997). Gejala-gejalanya
meliputi kurangnya responsivitas terhadap orang lain, menarik diri dari hubungan sosial,
kerusakan yang menonjol dalam komunikasi, dan respon yang aneh terhadap lingkungan
(mis., tergantung pada benda mati dan gerakan tubuh yang berulang-ulang seperti
mengepakkan tangan, bergoyang-goyang, dan memukul-mukulkan kepala)
3.2 Saran
Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para pembaca dan
mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah berikutnya :
a. Kombinasikan metode pembuatan makalah berikutnya.
b. Pembahsan yang lebih mendalam disertai data-data yang lebih akurat.
25
Beberapa poin diatas merupakan saran yang kami berikan apabila ada pihak-pihak
yang ingin melanjutkan penelitian terhadap makalah ini, dan demikian makalah ini disusun
serta besar harapan nantinya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususunya
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara semester VII/2014
dalam penambahan wawasan dan ilmu pengetahuan
DAFTAR PUSTAKA
Silvia D. Elvira. 2013. Buku Ajar Psikiatri Ed.2. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Payne JS, Patton JR. Mental retardation. Columbus: Bell & Howell Company,1981. h.
1-466.
27