Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara sedang berkembang yang masih menghadapi masalah
kesehatan. Masalah kesehatan yang dialami tidak saja masalah kesehatan terkait fisik tetapi
juga masalah kesehatan jiwa masyarakat. Sesuai dengan defenisi sehat sebagaimana yang
tertuang dalam UU Kesehatan No.23 tahun 1992 yang menyebutkan kesehatan adalah
keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomis.
Defenisi kesehatan tersebut diatas mengatakan bahwa manusia selalu dilihat sebagai
satu kesatuan yang utuh dari unsur badan, jiwa dan sosial yang tidak dititikberatkan pada
penyakit tetapi pada kualitas hidup yang terdiri dari kesejahteraan dan produkt ifitas sosial
ekonomi. Kesehatan jiwa mempunyai sifat yang harmonis (serasi), memperhatikan semua
segi kehidupan manusia dalam hubungannya dengan manusia lain. Oleh karena itu,
kesehatan jiwa mempunyai kedudukan yang penting di dalam pemahaman kesehatan,
sehingga tidak mungkin kita berbicara tentang kesehatan tanpa melibatkan kesehatan jiwa.
Prevalensi gangguan kesehatan jiwa di Indonesia menurut hasil studi Bahar, dkk (1995)
adalah 18,5%. Hal ini berarti dari 1.000 penduduk terdapat sedikitnya 185 penduduk
dengan gangguan kesehatan jiwa atau tiap rumah tangga terdapat seorang anggota keluarga
yang menderita gangguan kesehatan jiwa. Jika hasil studi ini dapat dijadikan dasar, tidak
dapat dipungkiri bahwa telah terjadi peningkatan angka gangguan kesehatan jiwa yang
semula berkisar antara 20-60 per 1.000 penduduk, seperti yang tercantum pada Sistem
Kesehatan Nasional.
Khusus untuk anak dan remaja, masalah kesehatan jiwa perlu menjadi fokus utama tiap
upaya peningkatan sumber daya manusia, mengingat anak dan remaja merupakan generasi
yang perlu disiapkan sebagai kekuatan bangsa Indonesia. Jika ditinjau dari proporsi
penduduk, 40% dari total pepulasi terdiri atas anak dan remaja berusia 0-16 tahun.
Ternyata 7-14% dari populasi anak dan remaja mengalami gangguan kesehatan jiwa (Achir
Yani, 2008).
Masalah kesehatan jiwa mempunyai lingkup yang sangat luas dan kompleks serta
saling berhubungan satu dengan lainnya. Apabila kita mengangkat data hasil Survey
1

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan Badan Litbang Departemen Kesehatan
pada tahun 1995, yang antara lain menunjukkan bahwa gangguan mental Remaja dan
Dewasa terdapat 140 per 1000 anggota rumah tangga, gangguan mental Anak Usia Sekolah
terdapat 104 per 1000 anggota rumah tangga. Dalam kurun waktu 6 (enam) tahun terakhir
ini, data tersebut dapat dipastikan meningkat karena krisis ekonomi dan gejolakgejolak lainnya di seluruh daerah, bahkan masalah dunia internasionalpun akan ikut
memicu terjadinya peningkatan. Menghadapi hal seperti ini tentu tidak semata-mata
menjadi tanggungjawab pemerintah tetapi sangat diperlukan adanya partisipasi aktif dari
semua pihak dan lapisan masyarakat (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor : 220 / MENKES / SK / III / 2002).
Masalah kesehatan jiwa pada anak-anak merupakan hal yang banyak terjadi, yang
pada umumnya tidak terdiagnosis dan pengobatannya kurang adekuat. Masalah kesehatan
jiwa terjadi pada 15% sampai 22 % anak-anak dan yang mendapat pengobatan jumlahnya
kurang dari 20% (Isaaac, 2004). Jika dilihat angka dari Badan Litbang Departemen
Kesehatan yakni angka gangguan mental yang dialami anak usia sekolah yakni 104 per
1000 anggota keluarga jika diartikan maka dalam 1000 keluarga ada sekitar 104 anak yang
mengalamigangguan mental.
Angka tersebut tentu saja mengkhawatirkan karena usia sekolah merupakan usia yang
sangat penting dalam perjalanan hidup anak, masa usia sekolah merupakan cerminan
kesuksesan anak di masa selanjutnya. Pada usia inilah pertama sekali anak diperkenalkan
dengan dunia pendidikan formal, dimana dalam pendidikan formal anak sudah dituntut
mampu menerapkan intelektualnya. Dalam masa ini juga anak mengalami pertumbuhan
fisik serta perkembangan emosiona l dan sosial, anak senang berkumpul dengan teman
sebaya untuk melakukan sosialisasi. Rentang umur usia sekolah antara enam sampai dua
belas tahun sesuai dengan pendapat Nasution (1993, dalam Djamarah, 2008).
Anak usia sekolah dikatakan mengalami masalah kesehatan jiwa apabila perilaku anak
tidak sesuai dengan tingkat usia sekolah, menyimpang bila dibandingkan dengan norma
budaya, yang mengakibatkan kurangnya atau terganggunya fungsi adaptasi. Tugas
perkembangan pada usia sekolah ini menurut Erickson adalah menyelesaikan tugas
(sekolah atau rumah) yang diberikan, mempunyai rasa bersaing, senang berkelompok
dengan teman sebaya, mempunyai sahabat karib, dan berperan dalam kegiatan kelompok.
Sedangkan penyimpangan perkembangan pada anak usia sekolah tidak mau mengerjakan
tugas sekolah atau membangkang pada orangtua, tidak ada kemauan untuk bersaing,

terkesan malas, tidak mau terlibat dalam kegiatan kelompok dan memisahkan diri dari
sekolah dan teman-teman sepermainan.
Penanganan dini terhadap anak-anak yang mengalami masalah kesehatan jiwa menjadi
penting, terutama jika gejala-gejala sudah muncul sejak usia kanak-kanak. Karena
kecenderungannya, gangguan jiwa yang muncul sejak usia dini dan tidak ditangani dengan
baik akan makin memburuk seiring bertambahnya usia. Tetapi kenyataannya masalah
kesehatan jiwa anak masih belum mendapat perhatian dari semua pihak. Untuk itu perlu
upaya penanganan yang serius untuk menanggulanginya, karena jika tidak kondisi itu akan
memperburuk kualitas perkembangan generasi muda yang pada akhirnya dapat menambah
beban sosial ekonomi bagi masyarakat.
Gangguan pemusatan perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) merupakan suatu kondisi
medis, yang ditandai oleh hiperaktivitas, ketidakmampuan memusatkan perhatian dan
impulsivitas, yang terdapat secara persisten (menetap). Sebagian anak dapat menunjukkan
gejala hiperaktif, yang lainnya menunjukkan gejala kesulitan memusatkan perhatian, dan
ada pula yang menunjukkan impulsivitas, atau ketiga gejala tersebut terdapat secara
bersamaan. Anak dengan GPPH jenis predominan ketidakmampuan memusatkan
perhatian, seringkali tampak sebagai anak yang suka melamun, pasif dan sulit untuk ikut
beraktivitas dengan teman-temannya.
GPPH adalah gangguan jiwa pada anak yang paling sering dijumpai diklinik maupun
masyarakat. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan khususnya dibidang kedokteran jiwa,
sudah ditemukan cara mengatasi anak dengan GPPH, baik secara organobiologis, maupun
psikoedukatif ataupun sosiokultural.
Selama ini belum banyak orang memahami keadaan tersebut. Banyak yang
menganggap anak dengan GPPH merupakan anak yang nakal, bahkan mereka
diperlakukan dengan keras dan sering dihukum, baik dirumah oleh orangtua, maupun
disekolah oleh guru atau dimasyarakat. Hal ini tidak akan dapat menyelesaikan masalah
dan bahkan membuat masalahnya bertambah berat.
Tidak mudah menjadi orangtua dari seorang anak dengan GPPH, mereka sering
merasa lelah dan putus asa. Walau sudah banyak melakukan usaha untuk mengatasinya,
namun mereka merasa sia-sia karena tidak mendapatkan hasil yang diharapkan. Orangtua
juga sering merasa malu karena anaknya sering berbuat yang tidak pada tempatnya
(misalnya mengacak-acak barang, bahkan merusak atau mengganggu anak lain).
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM), definisi GPPH
telah mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan perubahan konsep tentang
3

penyakit tersebut. Sesuai dengan DSMIV, terdapat tiga gejala utama yaitu inattentiveness
atau tidak mampu memusatkan perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas.
Prevalensi GPPH tipe kombinasi lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi
gangguan pemusatan perhatian saja atau hiperaktif saja (Lahey,1990). Pada umumnya
berbagai ahli mengemukakan prevalensi GPPH pada anak sekolah berkisar 3%-10%
(Pineda D., et al., 1999). Di Amerika Serikat para ahli mempunyai kesepakatan bahwa
prevalensi GPPH adalah 3%-5% pada populasi anak (American Psychiatric Association,
1994). Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan prevalensi gangguan ini berkisar dari
1% sampai 29,2% (Wang et al.,1992). Di Jakarta, prevalensi GPPH diantara anak Sekolah
Dasar 26,2% (Saputro D,2004), proporsi terbesar adalah jenis gangguan tidak mampu
memusatkan perhatian yaitu sebesar 15,9%.
Anak dengan GPPH banyak dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk menjalani
pemeriksaan dalamupaya menegakkan diagnosis dan mendapatkan penanganan yang
sesuai. Namun tidak semua tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum (RSU), khususnya
Kelas A dan Kelas B, dan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) memahami masalah GPPH.
Berdasarkan hal ini perlu disusun pedoman diagnosis dan terapi dini GPPH.

1.2 Tujuan Pembahasan


Dalam penyusunan makalah ini tentunya memiliki tujuan yang diharapkan berguna
bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Dimana tujuannya dibagi
menjadi dua macam yang pertama secara umum makalah ini bertujuan menambah
wawasan mahasiswa/I dalam menguraikan suatu persoalan secara holistik dan tepat, dan
melatih pemikiran ilmiah dari seorang mahasiswa/I fakultas kedokteran, dimana pemikiran
ilmiah tersebut sangat dibutuhkan bagi seorang dokter agar mampu menganalisis suatu
persoalan secara cepat dan tepat. Sedangkan secara khusus tujuan penyusunan makalah ini
ialah sebagai berikut :
a. Melengkapi tugas small group discussion skenario lima, modul dua puluh tiga
(perilaku dan jiwa) tentang Gangguan Psikiatri pada Anak.
b. Menambah khasanah ilmu pengetahuan para pembaca dan penulis.
c. Sebagai bahan referensi mahasiswa/I Fakultas Kedokteran UISU dalam menghadapi
ujian akhir modul.
Itulah merupakan tujuan dalam penyusunan makalah ini, dan juga sangat diharapkan
dapat berguna setiap orang yang membaca makalah ini. Semoga seluruh tujuan tersebut
dapat tercapai dengan baik

1.3 Metode dan Teknik


Dalam penyusunan makalah ini kami mengembangkan suatu metode yang sering
digunakan

dalam

pembahasan-pembahasan

makalah

sederhana,

yaitu

dengan

menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim penyusun mencari sumber
data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu dianalisis sehinggga diperoleh
informasi tentang masalah yang akan dibahas setelah itu berbagai referensi yang
didapatkan dari berbagai sumber tersebut disimpulan sesuai dengan pembahasan yang akan
dilakukan dan sesuai dengan judul makalah dan dengan tujuan pembuatan makalah ini.
Itulah sekilas tentang metode dan teknik yang digunakan dalam penyusunan makalah ini.

BAB II
5

PEMBAHASAN

2.1 Gangguan Psikiatri pada Anak


Gangguan jiwa pada anak-anak merupakan hal yang banyak terjadi, yang umumnya
tidak terdiagnosis dan pengobatannya kurang adekuat. Masalah kesehatan jiwa terjadi pada
15% sampai 22% anak-anak dan remaja, namun yang mendapatkan pengobatan jumlahnya
kurang dari 20% (Keys, 1998). Gangguan hiperaktivitas-defisit perhatian (ADHD/
Attention Deficit-Hyperactivity Disorder) adalah gangguan kesehatan jiwa yang paling
banyak terjadi pada anak-anak, dimana insidensinya diperkirakan antara 6% sampai 9%.
Diagnosis gangguan jiwa pada anak-anak dan remaja adalah perilaku yang tidak sesuai
dengan tingkat usianya, menyimpang bila dibandingkan dengan norma budaya, yang
mengakibatkan kurangnya atau terganggunya fungsi adaptasi (Townsend, 1999). Dasar
untuk memahami gangguan yang terjadi pada bayi, anak-anak, dan remaja adalah dengan
menggunakan teori perkembangan. Penyimpangan dari norma-norma perkembangan
merupakan tanda bahaya penting adanya suatu masalah.
Gangguan spesifik dengan awitan pada masa kanak-kanak meliputi retardasi mental,
gangguan perkembangan, gangguan perkembangan, gangguan eliminasi, gangguan
perilaku disruptif, dan gangguan ansietas. Gangguan yang terjadi pada anak-anak dan juga
terjadi pada masa dewasa adalah gangguan mood dan gangguan psikotik. Gejala-gejala
gangguan jiwa pada anak-anak atau remaja berbeda dengan orang dewasa yang mengalami
gangguan serupa.

2.2 Jenis-jenis Gangguan Psikiatri pada Anak


Jenis Gangguan Jiwa Anak-anak :
1. Gangguan perkembangan pervasif. Ditandai dengan masalah awal pada tiga area
perkembangan utama: perilaku, interaksi sosial, dan komunikasi.
a. Retardasi mental.
Muncul sebelum usia 18 tahun dan dicirikan dengan keterbatasan substandar dalam
berfungsi, yang dimanifestasikan dengan fungsi intelektual secara signifikan berada
dibawah rata-rata (mis., IQ dibawah 70) dan keterbatasan terkait dalam dua bidang
keterampilan adaptasi atau lebih (mis., komunikasi, perawatan diri, aktivitas hidup

sehari-hari, keterampilan sosial, fungsi dalam masyarakat, pengarahan diri,


kesehatan dan keselamatan, fungsi akademis, dan bekerja.
b. Autisme
Dicirikan dengan gangguan yang nyata dalam interaksi sosial dan komunikasi, serta
aktivitas dan minat yang terbatas (Johnson, 1997). Gejala-gejalanya meliputi
kurangnya responsivitas terhadap orang lain, menarik diri dari hubungan sosial,
kerusakan yang menonjol dalam komunikasi, dan respon yang aneh terhadap
lingkungan (mis., tergantung pada benda mati dan gerakan tubuh yang berulangulang seperti mengepakkan tangan, bergoyang-goyang, dan memukul-mukulkan
kepala)
c. Gangguan perkembangan spesifik
Dicirikan dengan keterlambatan perkembangan yang mengarah pada kerusakan
fungsional pada bidang-bidang, seperti membaca, aritmetika, bahasa, dan artikulasi
verbal.
2. Defisit perhatian dan gangguan perilaku disruptif
a. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
Dicirikan dengan tingkat gangguan perhatian, impulsivitas, dan hiperaktivitas yang
tidak sesuai dengan tahap perkembangan. Menurut DSM IV, ADHD pasti terjadi di
sedikitnya dua tempat (mis., di sekolah dan di rumah) dan terjadi sebelum usia 7
tahun (DSM IV, 1994).
b. Gangguan perilaku
Dicirikan dengan perilaku berulang, disruptif, dan kesengajaan untuk tidak patuh,
termasuk melanggar norma dan peraturan sosial. Sebagian besar nak-anak dengan
gangguan ini mengalami penyalahgunaan zat atau gangguan kepribadian antisosial
setelah berusia 18 tahun. Contoh perilaku pada anak-anak dengan gangguan ini
meliputi

mencuri,

berbohong,

menggertak,

melarikan

diri,

membolos,

menyalahgunakan zat, melakukan pembakaran, bentuk vandalisme yang lain, jahat


terhadap binatang, dan serangan fisik terhadap orang lain.
c. Gangguan penyimpangan oposisi
Gangguan ini merupakan bentuk gangguan perilaku yang lebih ringan, meliputi
perilaku yang kurang ekstrim. Perilaku dalam gangguan ini tidak melanggar hakhak orang lain sampai tingkat yang terlihat dalam gangguan perilaku. Perilaku
dalam gangguan ini menunjukkan sikap menentang, seperti berargumentasi, kasar,
marah, toleransi yang rendah terhadap frustasi, dan menggunakan minuman keras,
zat terlarang, atau keduanya).
3. Gangguan ansietas sering terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja dan berlanjut ke
masa dewasa.

a. Gangguan obsesif kompulsif, gangguan ansietas umum, dan fobia banyak terjadi
pada anak-anak dan remaja, dengan gejala yang sama dengan yang terlihat pada
orang dewasa.
b. Gangguan ansietas akibat perpisahan adalah gangguan masa kanak-kanak yang
ditandai dengan rasa takut berpisah dari orang yang paling dekat dengannya.
Gejala-gejalanya meliputi menolak pergi ke sekolah, keluhan somatik, ansietas
berat terhadap perpisahan dan khawatir tentang adanya bahaya pada orang-orang
yang mengasuhnya.
4. Skizofrenia
a. Skizofrenia anak-anak jarang terjadi dan sulit didiagnosis. Gejala-gejalanya dapat
menyerupai gangguan pervasif, seperti autisme. Walaupun penelitian tentang
skizofrenia anak-anak sangat sedikit, namun telah dijumpai perilaku yang khas
(Antai-Otong, 1995b), seperti beberapa gangguan kognitif dan perilaku, menarik
diri secara sosial, dan komunikasi.
b. Skizofrenia pada remaja merupakan hal yang umum dan insidensinya selama masa
remaja akhir sangat tinggi. Gejala-gejalanya mirip dengan skizofrenia dewasa.
Gejala awalnya meliputi perubahan ekstrim dalam perilaku sehari-hari, isolasi
sosial, sikap yang aneh, penurunan nilai-nilai akademik, dan mengekspresikan
perilaku yang tidak disadarinya.
5. Gangguan mood
a. Gangguan ini jarang terjadi pada masa anak-anak dan remaja dibanding pada orang
dewasa (Keltner,1999). Prevalensi pada anak-anak dan remaja berkisar antara 1%
sampai 5% untuk gangguan depresi. Eksistensi gangguan bipolar (jenis manik)
pada anak-anak masih kontroversial. Prevalensi penyakit bipolar pada remaja
diperkirakan 1%. Gejala depresi pada anak-anak sama dengan yang diobservasi
pada orang dewasa.
b. Bunuh diri. Adanya gangguan mood merupakan faktor resiko yang serius untuk
bunuh diri. Bunuh diri adalah penyebab kematian utama ketiga pada individu
berusia 15 sampai 24 tahun. Tanda-tanda bahaya untuk bunuh diri pada remaja
meliputi menarik diri secara tiba-tiba, berperilaku keras atau sangat memberontak,
menyalahgunakan obat atau alkohol, secara tidak biasanya mengabaikan
penampilan diri, kualitas tugas-tugas sekolah menurun, membolos, melarikan diri,
keletihan berlebihan dan keluhan somatik, respon yang buruk terhadap pujian,
ancaman bunuh diri yang terang-terangan secara verbal, dan membuang bendabenda yang didapat sebagai hadiah (Newman, 1999).
6. Gangguan penyalahgunaan zat.
8

a. Gangguan ini banyak terjadi; diperkirakan 32% remaja menderita gangguan


penyalahgunaan zat (Johnson, 1997). Angka penggunaan alkohol atau zat terlarang
lebih tinggi pada anak laki-laki dibanding perempuan. Risiko terbesar mengalami
gangguan ini terjadi pada mereka yang berusia antara 15 sampai 24 tahun. Pada
remaja, perubahan penggunaan zat menjadi ketergantungan zat terjadi lebih cepat;
misalnya, pada remaja penggunaan zat dapat berkembang menjadi ketergantungan
zat dalam waktu 2 tahun sedangkan pada orang dewasa membutuhkan waktu
antara 15 sampai 20 tahun.
b. Komorbiditas dengan gangguan psikiatrik lainnya merupakan hal yag banyak
terjadi, termasuk gangguan mood, gangguan ansietas, dan gangguan perilaku
disruptif.
c. Tanda bahaya penyalahgunaan zat pada remaja, diantaranya adalah penurunan
fungsi sosial dan akademik, perubahan dari fungsi sebelumnya, seperti perilaku
menjadi agresif atau menarik diri dari interaksi keluarga, perubahan kepribadian
dan toleransi yang rendah terhadap frustasi, berhubungan dengan remaja lain yang
juga menggunakan zat, menyembunyikan atau berbohong tentang penggunaan zat.

2.2.1 Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktivitas (GPPH)


2.2.1.1 Defenisi (GPPH)
GPPH merupakan gangguan perilaku yang dapat berdampak pada berbagai aspek
kehidupan seorang individu, termasuk kesulitan akademik, masalah keterampilan sosial
dan ketegangan dalam relasi orang tua dengan anak. Anak dengan gangguan ini beresiko
tinggi untuk mengalami akibat negatif jangka panjang yaitu rendahnya pencapaian
pendidikan dan pekerjaan. Gejala GPPH tidak hanya terjadi selama waktu sekolah, tetapi
juga

harus

mempertimbangkan

fungsi

dan

kesejahteraan

seluruh

keluarga

(Kusumaningrum, 2009).
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktivitas (GPPH) atau Attention
Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dalam DSM-IV (Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder IV, 2000) atau Gangguan Hiperkinetik dalam PPDGJ-III
(Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III, 1993) adalah suatu diagnosis
untuk pola perilaku anak yang berlangsung dalam jangka waktu paling sedikit 6 bulan,
dimulai sejak berusia sekitar7 tahun, yang menunjukkan sejumlah gejala ketidakmampuan
untuk memusatkan perhatian atau sejumlah gejala perilaku hiperaktif-impulsif, atau keduaduanya.
9

2.2.1.2 Etiologi GPPH


Penyebab dari GPPH belum diketahui dengan jelas. Sebagian besar anak dengan
GPPH tidak menunjukkan tanda-tanda cedera struktural yang besar pada sistem saraf
pusat. Sebaliknya, sebagian besar anak dengan gangguan neurologis yang diketahui
disebabkan oleh cedera otak tidak menunjukkan defisit atensi dan hiperaktivitas. Faktor
penyumbang yang diduga berperan terjadinya GPPH adalah pemaparan toksin pranatal,
prematuritas, dan kerusakan mekanis prenatal pada sistem saraf janin. Penyedap makanan,
zat pewarna, pengawet, dan gula telah juga diperkirakan sebagai kemungkinan penyebab
untuk perilaku hiperaktif. Serta beberapa faktor yang mempengaruhi GPPH,yaitu:
1. Faktor genetik
Saudara kandung dari penderita anak-anak hiperaktif memiliki resiko dua kali lebih
besar dibandingkan populasi umum. GPPH umumnya lebih banyak terjadi pada anak-anak
yang orang tuanya menggunakan alkohol dan memiliki gangguan kepribadian antisosial.
Namun belum ada penelitian lebih lanjut tentang faktor genetik ini.
2. Cedera otak
Telah lama diperkirakan bahwa beberapa anak dengan GPPH mendapatkan cedera
otak yang minimal pada sistem saraf pusat selama periode janin dan perinatalnya. Cedera
otak mungkin disebabkan oleh efek toksik, metabolik, mekanik, dan efek lain yang
merugikan serta stres dan kerusakanotak selama masa bayi yang disebabkan oleh infeksi,
peradangan, dan trauma.
3. Faktor psikososial
Anak-anak di dalam kelas seringkali overaktif dan memiliki rentan atensi yang buruk.
Beberapa hal atau kejadian fisik yang menimbulkan stres, kurangnya keharmonisan dalam
keluarga, serta faktor-faktor lain yang menyebabkan gangguan kecemasan kadang juga
dapat merupakan awal terjadinya GPPH (Kaplan et al., 1996).
2.2.1.3 Gambaran Klinis GPPH
Untuk dapat disebut memiliki gangguan GPPH, harus ada tiga gejala utama yang
tampak dalam perilaku seorang anak, yaitu inatensi, hiperaktif, dan impulsif. Anak tidak
mampu mempertahankan konsentrasinya terhadap sesuatu, sehingga mudah sekali beralih
perhatian dari satu hal ke hal yang lain. Gejala hiperaktif dapat dilihat dari perilaku anak
yang tidak bisa diam. Duduk dengan tenang merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Ia
akan bangkit dan berlari-lari, berjalan ke sana kemari, bahkan memanjat. Di samping itu, ia
cenderung banyak bicara dan menimbulkan suara berisik. Gejala impulsif ditandai dengan
10

kesulitan anak untuk menunda respon. Ada semacam dorongan untuk mengatakan atau
melakukan sesuatu yang tidak terkendali. Dorongan tersebut diekspresikan dengan segera
dan tanpa pertimbangan.
Beberapa masalah perilaku yang muncul dan dapat menghambat proses belajar
pada anak GPPH dan kesulitan belajar ini dapat digambarkan,yaitu:
1. Aktivitas motorik yang berlebihan
Masalah motorik pada anak ini disebabkan karena kesulitan mengontrol dan melakukan
koordinasi dalam aktivitas motoriknya, sehingga tidak dapat membedakan kegiatan yang
penting dan yang tidak penting.
2. Menjawab tanpa ditanya
Ciri impulsif demikian ini merupakan salah satu sifat yang dapat menghambat proses
belajar anak. Keadaan ini menunjukkan bahwa anak tidak dapat mengendalikan dirinya
untuk berespon secara tepat.
3. Menghindari tugas
Masalah ini muncul karena biasanya anak merasa cepat bosan, sekalipun dengan tugas
yang menarik. Tugas-tugas belajar kemungkinan sulit dikerjakan karena anak mengalami
hambatan untuk menyesuaikan diri terhadap kegiatan belajar yang diikutinya. Keadaan ini
dapat menimbulkan rasa frustasi, dan akibatnya anak kehilangan motivasi untuk belajar.
4. Kurang perhatian
Kesulitan dalam mendengar, mengikuti arahan, dan memberikan perhatian adalah
merupakan masalah umum pada anak-anak ini. Perhatian yang mudah teralihkan sangat
menghambat dalam proses belajar.
5. Tugas yang tidak diselesaikan
Masalah ini berhubungan dengan penghargaan waktu yang kurang baik, frustasi
terhadap tugas, serta berbagai sikap yang merusak, namun membangun kebiasaan yang
baik secara konsisten merupakan langkah yang penting agar tugas dapat diselesaikan
dengan baik.
6. Bingung akan arahan
Masalah ini berpangkal pada perhatian, ketika perhatian pecah selama kegiatan
pembelajaran, terjadi perpecahan proses informasi yang mengakibatkan kebingungan
sehingga informasi yang diterima tidak utuh.
7. Disorganisasi
Pada umumnya anak-anak ini mengalami disorganisasi, impulsif, ceroboh, dan terburu-

11

buru dalam melakukan tugas yang mengakibatkan pekerjaan acak-acakan, bingung, dan
sering kali lupa beberapa bagian tugas.
8. Masalah-masalah sosial
Meskipun masalah dalam hubungan teman sebaya tidak ditemukan pada semua anakanak ini, namun kecenderungan impulsif, kesulitan menguasai diri sendiri, serta toleransi
rasa frustasi yang rendah, tidaklah mengherankan jika sebagian anak mempunyai masalah
dalam kehidupan sosial, kesulitan bermain dengan aturan, dan aktivitas lainnya yang tidak
hanya terbatas di sekolah saja tetapi di lingkungan sosial lainnya (Sugiarmin, 2007).
Masalah ini biasanya menetap selama masa bersekolah dan bahkan sampai umur
dewasa, tetapi banyak penderita secara lambat laun menunjukkan perbaikan dalam
kegiatan dan perhatiannya. (Departemen Kesehatan RI, 1993).
2.2.1.4 Diagnosis GPPH
Menurut DSM-IV (Diagnostic and Stastical Manual of Mental Disorder-IV-Text
Revision, 2000), gejala harus ditemukan pada sekurangnya dua keadaan seperti disekolah
dan di rumah untuk memenuhi kriteria diagnostik GPPH.
Kriteria Diagnostik GPPH berdasarkan DSM-IV.
1. Inatensi: terdapat enam (atau lebih) gejala inatensi berikut ini telah menetap selama
sekurangnya enam bulan sampai tingkat yang maladaptif dan tidak konsisten dengan
tingkat perkembangan.
a. Sering gagal memusatkan perhatian pada hal-hal kecil atau membuat kesalahan
yang ceroboh (tidak hati-hati) dalam pekerjaan sekolah, pekerjaan, kegiatan lain.
b. Sering sulit mempertahankam perhatian pada waktu melaksanakan tugas atau
kegiatan bermain.
c. Sering seperti tidak mendengarkan pada waktu diajak bicara langsung
d. Sering tidak mengikuti petunjuk dan gagal menyelesaikan pekerjaan sekolah dan
tugas (tidak disebabkan oleh perilaku menentang atau kegagalan memahami
petunjuk).
e. Sering sulit mengatur tugas dan kegiatan.
f. Sering menghindar, tidak suka atau enggan melibatkan diri dalam tugas yang
membutuhkan ketekunan yang berkesinambungan (seperti melakukanpekerjaan
sekolah atau pekerjaan rumah).
g. Sering menghilangkan benda-benda yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas
atau kegiatan lain.
h. Perhatiannya sering mudah dialihkan oleh rangsangan dari luar.
i. Sering lupa dalam kegiatan sehari-hari.
12

2. Hiperaktivitas-impulsivitas: Enam (atau lebih) gejala hiperaktivitas-impulsivitas


berikut ini telah menetap selama sekurangnya enam bulan sampai tingkat yang
maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan.
A. Hiperaktivitas
a. Sering tangan dan kakinya tidak bisa diam atau tidak bisa duduk diam.
b. Sering meninggalkan tempat duduk di dalam kelas atau di situasi di mana
diharapkan untuk tetap diam.
c. Sering berlari-lari atau memanjat secara berlebihan dalam situasi yang tidak
sesuai untuk hal tersebut.
d. Sering mengalami kesulitan bermain atau mengikuti kegiatan di waktu
senggang dengan tenang.
e. Sering dalam keadaan siap bergerak (atau bertindak seperti digerakkan oleh
mesin.
f. Sering bicara berlebihan.
B. Impulsivitas
a. Sering menjawab tanpa pikir dahulu terhadap pertanyaan sebelum pertanyaan
selesai ditanyakan.
b. Sering sulit menunggu gilirannya
c. Sering menyelak atau memaksakan diri terhadap orang lain (misalnya
memotong pembicaraan atau mengganggu permainan).
d. Beberapa gejala hiperaktif-impulsif atau inatentif yang menyebabkan
gangguan telah ada sebelum usia 7 tahun.
e. Beberapa gangguan akibat gejala ada selama dua atau lebih situasi (misalnya,
di sekolah (atau pekerjaan) dan di rumah).
f. Harus terdapat bukti jelas adanya gangguan yang bermakna secara klinis
dalam fungsi sosial, akademik, atau fungsi pekerjaan.
g. Gejala tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan perkembangan
pervasive, skizofrenia, atau gangguan psikotik lain, dan tidak diterangkan
lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya, gangguan mood, gangguan
kecemasan, gangguan disosiatif, atau gangguan kepribadian).
Selain itu kurangnya perhatian anak terutama ketika duduk di bangku sekolah,
begitu pula ketika anak tersebut berada di rumah. Seringkali tidak mematuhi peraturan
orang tua. Mereka cenderung memperlihatkan perilaku impulsif, emosional yang labil serta
mudah tersinggung. Riwayat di sekolah dan laporan guru sangatlah penting didalam
menilai apakah kesulitan anak dalam belajar dan perilakunya selama di kelas. Hal ini
disebabkan karena citra diri mereka yang buruk terhadap dirinya sendiri memberikan
petunjuk diagnostik yang berguna terhadap GPPH (Kaplan et al., 1996).
2.2.1.5 Terapi
13

1. Farmakoterapi
Terapi yang efektif bagi GPPH adalah terapi perilaku dan farmakoterapi khususnya
dengan psikostimulan. Efektivitas keduanya dalam waktu singkat (beberapa minggu atau
bulan) telah terbukti. Peranan terapi perilaku penting dalam pelaksanaan GPPH. Hal ini
telah ditunjukkan oleh penelitian bahwa dengan pemberian obat metilfenidat dosis rendah,
disertai dengan pelatihan orang tua dan juga pelatihan bagi anak untuk mengontrol dirinya.
Hasil yang lebih baik pada anak yang selama 2-3 tahun diterapi dengan multimodal
(kombinasi dari pemberian psikostimulan, memperhatikan aspek pendidikan, berbagai
terapi psikososial, dan termasuk terapi keluarga) daripada hanya memberikan
psikostimulan saja (Laurentius, 1999).
Pemberian psikostimulan dengan dosis yang adekuat pada anak hiperaktif
menunjukkan 35%-50% perbaikanyang dramatis, 30%-40% perbaikan yang moderate dan
15%-20% tidak menunjukkan adanya perbaikan. Perbaikan yang terjadi secara dramatis
biasanya dilaporkan oleh guru bahwa muridnya tersebut menjadi anak yang manis seperti
lainnya (Greenhil, 1992). Perbedaan lain sebagai respon utama antara anak hiperaktif
dengan orang dewasa adalah adanya efek euforia hanya pada orang dewasa. Serta anak
hiperaktif menjadi kurang gelisah jika diberikan psikosimulan, sedangkan pada orang
dewasa dapat meningkatkan aktivitasnya (Safer et al., 1996).
2. Terapi Perilaku
Terapi yang diterapkan terhadap penderita ADHD haruslah bersifat holistik dan
menyeluruh. Penanganan ini hendaknya melibatkan multi disiplin ilmu yang dilakukan
antara dokter, psikologi, orangtua, guru dan lingkungan yang berpengaruh terhadap
penderita secara bersama-sama. Penanganan ideal harus dilakukan terapi stimulasi dan
terapi perilaku secara terpadu guna menjamin keberhasilan terapi (Judarwanto, 2009).
Modifikasi perilaku juga melibatkan orang tua seperti yang dijelaskan oleh Judarwato
(2009) bahwa orang tua sebaiknya selalu mendampingi dan mengarahkan kegiatan yang
seharusnya dilakukan anak dengan melakukan modifikasi bentuk kegiatan yang menarik
minat, sehingga lambat laun dapat mengubah perilaku anak yang menyimpang. Pola
pengasuhan di rumah hendaknya mengajarkan anak dan memberikan pengertian yang
benar tentang segala sesuatu yang harus ia kerjakan dan segala sesuatu yang tidak boleh
dikerjakan serta memberikan kesempatan mereka secara psikis menerima petunjukpetunjuk yang diberikan.
Umpan balik, dorongan semangat, dan disiplin, hal ini merupakan pokok dari upaya
perbaikan perilaku anak dengan memberikan umpan balik agar anak bersedia melakukan
14

sesuatu dengan benar disertai dengan dorongan semangat dan keyakinan bahwa dia mampu
mengerjakan, pada akhirnya bila ia mampu mengerjakannya dengan baik maka harus
diberikan penghargaan yang tulus baik berupa pujian ataupun hadiah tertentu yang bersifat
konstruktif. Bila hal ini tidak berhasil dan anak menunjukkan tanda-tanda emosi yang tidak
terkendali harus segera dihentikan atau dialihkan pada kegiatan lainnya yang lebih ia sukai
(Hidayati, 2009).

2.2.2 Retardasi Mental


2.2.2.1 Defenisi Retardasi Mental
American Association on Mental Deficiency (AAMD) membuat definisi retardasi
mental yang kemudian direvisi oleh Rick Heber (1961) sebagai suatu penurunan fungsi
intelektual secara menyeluruh yang terjadi pada masa perkembangan dan dihubungkan
dengan gangguan adaptasi sosial. Ada 3 hal penting yang merupakan kata kunci dalam
definisi ini yaitu penurunan fungsi intelektual, adaptasi sosial, dan masa perkembangan.
Penurunan fungsi intelektual secara umum menurut definisi Rick Heber diukur
berdasarkan tes intelegensia standar paling sedikit satu deviasi standar (1 SD) di bawah
rata-rata. Periode perkembangan mental menurut definisi ini adalah mulai dari lahir sampai
umur 16 tahun. Gangguan adaptasi sosial dalam definisi ini dihubungkan dengan adanya
penurunan fungsi intelektual. Menurut definisi ini tidak ada kriteria bahwa retardasi mental
tidak dapat diperbaiki seperti definisi retardasi mental sebelumnya.
Banyak pakar menyatakan bahwa definisi initerlalu liberal, karena dengan batasan
tes intelegensia di bawah satu deviasi standar (1 SD) terdapat hampir 16% dari populasi
dapat digolongkan sebagai retardasi mental. Pada tahun 1973 melalui Manual on
Terminology and Classfication in Mental Retardation Grossman merevisi definisi Heber
tersebut. Menurut Grossman retardasi mental adalah penurunan fungsi intelektual yang
menyeluruh secara bermakna dan secara langsung menyebabkan gangguan adaptasi sosial,
dan bermanifestasi selama masa perkembangan. Menurut definisi ini penurunan fungsi
intelektual yang bermakna berarti pada pengukuran uji intelegensia berada pada dua
deviasi standar di bawah rata-rata. Berdasarkan kriteria ini ternyata kurang dari 3%
populasi yang dapat digolongkan sebagai retardasi mental. Periode perkembangan menurut
definisi ini adalah mulai dari lahir sampai umur 18 tahun. Gangguan adaptasi sosial
menurut definisi ini secara langsung disebabkan oleh penurunan fungsi intelektual.

15

2.2.2.2 Klasifikasi Retardasi Mental


Uji intelegensia pertama kali diperkenalkan oleh seorang psikolog Perancis yang
bernama Alfred Binet dan Theodore Simon pada tahun 1900. Pada tahun 1916 Dr Lewis
Terman mengadaptasi pemeriksaan intelegensia berdasarkan skala Binet tersebut di
Stanford University. Saat ini uji intelegensia tersebut dinamakan Stanford Binet
Intelligence Scale yang sudah direvisi 4 kali yaitu tahun 1937, 1960, 1973, dan 1986.
William Stern pada tahun 1912 membuat konsep intelligence quotient (IQ) sebagai
suatu perbandingan antara mental age (MA) dan chronological age (CA).
Pada tahun 1939 David Wechsler mempublikasikan suatu tes intelegensia yang
mengukur fungsiintelektual yang lebih global. Uji ini kemudian disebut Wechsler
Intelligence Scale for Children (WISC) yang kemudian direvisi tahun 1976 dan disebut
Wechsler Intelligence Scale for Children Revised (WISC-R), dan direvisi kembali tahun
1990 yang disebut WISC third edition (WISC-III). Uji intelegensia tersebut dipakai untuk
anak umur 6-16 tahun.
Pada tahun 1966 dipublikasikan Wechsler Preschool and Primary Scale of
Intelligence (WPPSI) yang kemudian direvisi tahun 1989 disebut WPPSI-R, untuk anak
umur 4-61/2 tahun.
Berdasarkan The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders,
WHO, Geneva tahun 1994 retardasi mental dibagi menjadi 4 golongan yaitu :
1.
2.
3.
4.

Mild retardation (retardasi mental ringan), IQ 50-69


Moderate retardation (retardasi mental sedang), IQ 35-49
Severe retardation (retardasi mental berat), IQ 20-34
Profound retardation (retardasi mental sangat berat), IQ <20

1. Retardasi mental ringan


Retardasi mental ringan dikategorikan sebagai retardasi mental dapat dididik
(educable). Anak mengalami gangguan berbahasa tetapi masih mampu menguasainya
untuk keperluan bicara sehari-hari dan untuk wawancara klinik. Umumnya mereka
jugamampu mengurus diri sendiri secara independen (makan, mencuci, memakai baju,
mengontrol saluran cerna dan kandung kemih), meskipun tingkat perkembangannya sedikit
lebih lambat dari ukuran normal. Kesulitan utama biasanya terlihat pada pekerjaan
akademik sekolah, dan banyak yang bermasalah dalam membaca dan menulis. Dalam
konteks sosiokultural yang memerlukan sedikit kemampuan akademik, mereka tidak ada
masalah.

16

Tetapi jika ternyata timbul masalah emosional dan sosial, akan terlihat bahwa mereka
mengalami gangguan, misal tidak mampu menguasai masalah perkawinan atau mengasuh
anak, atau kesulitan menyesuaikan diri dengan tradisi budaya.
2. Retardasi mental sedang
Retardasi mental sedang dikategorikan sebagai retardasi mental dapat dilatih
(trainable). Pada kelompok ini anak mengalami keterlambatan perkembangan pemahaman
dan penggunaan bahasa, serta pencapaian akhirnya terbatas. Pencapaian kemampuan
mengurus diri sendiri dan ketrampilan motor juga mengalami keterlambatan, dan beberapa
diantaranya membutuhkan pengawasan sepanjang hidupnya. Kemajuan di sekolah terbatas,
sebagian masih bisa belajar dasar-dasar membaca, menulis dan berhitung.
3. Retardasi mental berat
Kelompok retardasi mental berat ini hampir sama dengan retardasi mental sedang
dalam hal gambaran klinis, penyebab organik, dan keadaan-keadaan yang terkait.
Perbedaan utama adalah pada retardasi mental berat ini biasanya mengalami kerusakan
motor yang bermakna atau adanya defisit neurologis.
4. Retardasi mental sangat berat
Retardasi mental sangat berat berarti secara praktis anak sangat terbatas
kemampuannya dalam mengerti dan menuruti permintaan atau instruksi. Umumnya anak
sangat terbatas dalam hal mobilitas, dan hanya mampu pada bentuk komunikasi nonverbal
yang sangat elementer.
2.2.2.3 Etiologi Retardasi Mental
Terjadinya retardasi mental tidak dapat dipisahkan dari tumbuh kembang seorang
anak. Seperti diketahui faktor penentu tumbuh kembang seorang anak pada garis besarnya
adalah faktor genetik/heredokonstitusional yang menentukan sifat bawaan anak tersebut
dan faktor lingkungan. Yang dimaksud dengan lingkungan pada anak dalam konteks
tumbuh kembang adalah suasana (milieu) dimana anak tersebut berada. Dalam hal ini
lingkungan berfungsi sebagai penyedia kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang.
Kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang ini secara garis besar dapat
digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu:
1. Kebutuhan fisis-biomedis (asuh)
17

a. Pangan (gizi, merupakan kebutuhan paling penting)


b. Perawatan kesehatan dasar (Imunisasi, ASI, penimbangan bayi secara teratur,
pengobatan sederhana, dan lain lain)
c. Papan (pemukiman yang layak)
d. Higiene, sanitasi
e. Sandang
f. Kesegaran jasmani, rekreasi
2. Kebutuhan emosi/kasih sayang (asih). Pada tahun-tahun pertama kehidupan hubungan
yang erat, mesra dan selaras antara ibu dan anak merupakan syarat mutlak untuk
menjamin suatu proses tumbuh kembang yang selaras, baik fisis, mental maupun
sosial.
3. Kebutuhan akan stimulasi mental (asah). Merupakan cikal bakal proses pembelajaran
(pendidikan dan pelatihan) pada anak. Stimulasi mental ini membantu perkembangan
mental psikososial (kecerdasan, ketrampilan, kemandirian, kreativitas, kepribadian,
moral-etika dan sebagainya). Perkembangan ini pada usia balita disebut sebagai
perkembangan psikomotor.
Kelainan/penyimpangan tumbuh kembang pada anak terjadi akibat gangguan pada
interaksi antara anak dan lingkungan tersebut, sehingga kebutuhan dasar anak tidak
terpenuhi. Keadaan ini dapat menyebabkan morbiditas anak, bahkan dapat berakhir dengan
kematian. Kalaupun kematian dapat diatasi, sebagian besar anak yang telah berhasil tetap
hidup ini mengalami akibat menetap dari penyimpangan tersebut yang dikategorikan
sebagai kecacatan, termasuk retardasi mental. Jelaslah bahwa dalam aspek pencegahan
terjadinya retardasi mental praktek pengasuhan anak dan peran orangtua sangat penting.
Etiologi retardasi mental dapat terjadi mulai dari fase pranatal, perinatal dan
postnatal. Beberapa penulis secara terpisah menyebutkan lebih dari 1000 macampenyebab
terjadinya retardasi mental, dan banyak diantaranya yang dapat dicegah. Ditinjau dari
penyebab secara langsung dapat digolongkan atas penyebab biologis dan psikososial.
Penyebab biologis atau sering disebut retardasi mental tipe klinis mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.

Pada umumnya merupakan retardasi mental sedang sampai sangat berat


Tampak sejak lahir atau usia dini
Secara fisis tampak berkelainan/aneh
Mempunyai latar belakang biomedis baik pranatal, perinatal maupun postnatal
Tidak berhubungan dengan kelas sosial

Penyebab psikososial atau sering disebut tipe sosiokultural mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut :
a. Biasanya merupakan retardasi mental ringan
b. Diketahui pada usia sekolah
18

c. Tidak terdapat kelainan fisis maupun laboratorium


d. Mempunyai latar belakang kekurangan stimulasi mental (asah)
e. Ada hubungan dengan kelas sosial
Melihat struktur masyarakat Indonesia, golongan sosio ekonomi rendah masih
merupakan bagian yang besar dari penduduk, dapat diperkirakan bahwa retardasi mental di
Indonesia yang terbanyak adalah tipe sosio-kultural. Etiologi retardasi mental tipe klinis
atau biologikal dapat dibagi dalam :
1. Penyebab pranatal
a. Kelainan kromosom
b. Kelainan genetik /herediter
c. Gangguan metabolik
d. Sindrom dismorfik
e. Infeksi intrauterin
f. Intoksikasi
2. Penyebab perinatal
a. Prematuritas
b. Asfiksia
c. Kernikterus
d. Hipoglikemia
e. Meningitis
f. Hidrosefalus
g. Perdarahan intraventrikular
3. Penyebab postnatal
a. Infeksi (meningitis, ensefalitis)
b. Trauma
c. Kejang lama
d. Intoksikasi (timah hitam, merkuri)
2.2.2.4 Diagnosis Retardasi Mental
Diagnosis retardasi mental tidak hanya didasarkan atas tes intelegensia saja,
melainkan juga dari riwayat penyakit, laporan dari orangtua, laporan dari sekolah,
pemeriksaan fisis, laboratorium, pemeriksaan penunjang. Yang perlu dinilai tidak hanya
intelegensia saja melainkan juga adaptasi sosialnya. Dari anamnesis dapat diketahui
beberapa faktor risiko terjadinya retardasi mental.
Pemeriksaan fisis pada anak retardasi mental biasanya lebih sulit dibandingkan
pada anak normal, karena anak retardasi mental kurang kooperatif. Selain pemeriksaan
fisis secara umum (adanya tanda-tanda dismorfik dari sindrom-sindrom tertentu) perlu
dilakukan pemeriksaan neurologis, serta penilaian tingkat perkembangan. Pada anak yang
berumur diatas 3 tahun dilakukan tes intelegensia.
Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) kepala dapat membantu menilai adanya
kalsifikasi serebral, perdarahan intra kranial pada bayi dengan ubun-ubun masih terbuka.
19

Pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi, pemeriksaan ferriklorida dan asam


amino urine dapat dilakukan sebagai screening PKU.
Pemeriksaan analisis kromosom dilakukan bila dicurigai adanya kelainan
kromosom yang mendasari retardasi mental tersebut. Beberapa pemeriksaan penunjang
lain dapat dilakukan untuk membantu seperti pemeriksaan BERA, CT-Scan, dan MRI.
Kesulitan yang dihadapi adalah kalau penderita masih dibawah umur 2-3 tahun,
karena kebanyakan tes psikologis ditujukan pada anak yang lebih besar. Pada bayi dapat
dinilai perkembangan motorik halus maupun kasar, serta perkembangan bicara dan bahasa.
Biasanya penderita retardasi mental juga mengalami keterlambatan motor dan bahasa.
2.2.2.5 Tatalaksana Retardasi Mental
1. Tatalaksana Medis
Obat-obat yang sering digunakan dalam pengobatan retardasi mental adalah terutama
untuk menekan gejala-gejala hiperkinetik. Metilfenidat (ritalin) dapat memperbaiki
keseimbangan emosi dan fungsi kognitif. Imipramin, dekstroamfetamin, klorpromazin,
flufenazin, fluoksetin kadang-kadang dipergunakan oleh psikiatri anak. Untuk menaikkan
kemampuan belajar pada umumnya diberikan tioridazin (melleril), metilfenidat,
amfetamin, asam glutamat, gamma aminobutyric acid (GABA).
2. Rumah Sakit/Panti Khusus
Penempatan di panti-panti khusus perlu dipertimbangkan atas dasar: kedudukan sosial
keluarga, sikap dan perasaan orangtua terhadap anak, derajat retardasi mental, pandangan
orangtua mengenai prognosis anak, fasilitas perawatan dalam masyarakat, dan fasilitas
untuk membimbing orangtua dan sosialisasi anak.
Kerugian penempatan di panti khusus bagi anak retardasi mental adalah kurangnya
stimulasi mental karena kurangnya kontak dengan orang lain dan kurangnya variasi
lingkungan yang memberikan kebutuhan dasar bagi anak.
3. Psikoterapi
Psikoterapi dapat diberikan kepada anak retardasi mental maupun kepada orangtua
anak tersebut. Walaupun tidak dapat menyembuhkan retardasi mental tetapi dengan
psikoterapi dan obat-obatan dapat diusahakan perubahan sikap, tingkah laku dan adaptasi
sosialnya.
4. Konseling
Tujuan konseling dalam bidang retardasi mental ini adalah menentukan ada atau
tidaknya retardasi mental dan derajat retardasi mentalnya, evaluasi mengenai sistem
20

kekeluargaan dan pengaruh retardasi mental pada keluarga, kemungkinan penempatan di


panti khusus, konseling pranikah dan pranatal.
5. Pendidikan
Pendidikan yang penting disini bukan hanya asal sekolah, namun bagaimana
mendapatkan pendidikan yang cocok bagi anak yang terbelakang ini. Terdapat empat
macam tipe pendidikan untuk retardasi mental.
a.
b.
c.
d.

Kelas khusus sebagai tambahan dari sekolah biasa


Sekolah luar biasa C
Panti khusus
Pusat latihan kerja (sheltered workshop)

2.2.3 Autisme
2.2.3.1 Defenisi Autisme
Istilah autisme berasal dari kata Autos yang berarti diri sendiri dan isme yang
berarti suatu aliran, sehingga dapat diartikan sebagai suatu paham tertarik pada dunianya
sendiri (Suryana, 2004). Autisme pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun
1943. Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi
dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan bahasa yang
tertunda, echolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain repetitive dan
stereotype, rute ingatan yang kuat dan keinginan obsesif untuk mempertahankan
keteraturan di dalam lingkungannya (Dawson & Castelloe dalam Widihastuti, 2007).
Gulo (1982) menyebutkan autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan
khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran
subjektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh
karena itu penderita autisme disebut orang yang hidup di alamnya sendiri.
Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis pada anakanak yang unik dan menonjol yang sering disebut sindrom Kanner yang dicirikan dengan
ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit
sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka
berkomunikasi (Budiman, 1998).
Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut
komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak
berusia 3 tahun (Suryana, 2004). Menurut dr. Faisal Yatim DTM&H, MPH (dalam
Suryana, 2004), autisme bukanlah gejala penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan
21

gejala) dimana terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan


kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak autisme hidup dalam dunianya sendiri. Autisme
tidak termasuk ke dalam golongan suatu penyakit tetapi suatu kumpulan gejala kelainan
perilaku dan kemajuan perkembangan. Dengan kata lain, pada anak Autisme terjadi
kelainan emosi, intelektual dan kemauan (gangguan pervasif).
Berdasarkan uraian di atas, maka autisme adalah gangguan perkembangan yang
sifatnya luas dan kompleks, mencakup aspek interaksi sosial, kognisi, bahasa dan motorik
2.2.3.2 Ciri-ciri autisme
Menurut American Psychiatric Association dalam buku Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision (DSM IV-TR, 2004), kriteria
diagnostik untuk dari gangguan autistik adalah sebagai berikut:
A. Jumlah dari 6 (atau lebih) item dari (1), (2) dan (3), dengan setidaknya dua dari (1), dan
satu dari masing-masing (2) dan (3):
1. Kerusakan kualitatif dalam interaksi sosial, yang dimanifestasikan dengan setidaktidaknya dua dari hal berikut:
a. Kerusakan yang dapat ditandai dari penggunaan beberapa perilaku non verbal
seperti tatapan langsung, ekspresi wajah, postur tubuh dan gestur untuk
mengatur interaksi sosial.
b. Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya yang tepat menurut
tahap perkembangan.
c. Kekurangan dalam mencoba secara spontanitas untuk berbagi kesenangan,
ketertarikan atau pencapaian dengan orang lain (seperti dengan kurangnya
menunjukkan atau membawa objek ketertarikan).
d. Kekurangan dalam timbal balik sosial atau emosional.
2. Kerusakan kualitatif dalam komunikasi yang dimanifestasikan pada setidaktidaknya satu dari hal berikut:
a. Penundaan dalam atau kekurangan penuh pada perkembangan bahasa (tidak
disertai dengan usaha untuk menggantinya melalui beragam alternatif dari
komunikasi, seperti gestur atau mimik).
b. Pada individu dengan bicara yang cukup, kerusakan ditandai dengan
kemampuan untuk memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang
lain.
c. Penggunaan bahasa yang berulang-ulang dan berbentuk tetap atau bahasa yang
aneh.
d. Kekurangan divariasikan, dengan permainan berpura-pura yang spontan atau
permainan imitasi sosial yang sesuai dengan tahap perkembangan.
22

3. Dibatasinya pola-pola perilaku yang berulang-ulang dan berbentuk tetap,


ketertarikan dan aktivitas, yang dimanifestasikan pada setidak-tidaknya satu dari
hal berikut:
a. Meliputi preokupasi dengan satu atau lebih pola ketertarikan yang berbentuk
tetap dan terhalang, yang intensitas atau fokusnya abnormal.
b. Ketidakfleksibilitasan pada rutinitas non fungsional atau ritual yang spesifik.
c. Sikap motorik yang berbentuk tetap dan berulang (tepukan atau mengepakkan
tangan dan jari, atau pergerakan yang kompleks dari keseluruhan tubuh).
d. Preokupasi yang tetap dengan bagian dari objek
B. Fungsi yang tertunda atau abnormal setidak-tidaknya dalam 1 dari area berikut, dengan
permulaan terjadi pada usia 3 tahun:
1. interaksi sosial
2. bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial atau
3. permainan simbolik atau imajinatif.
C. Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam Retts Disorder atau Childhood
Disintegrative Disorder.
Gangguan autistik lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita dengan ratio 5 : 1.
Dalam pengklasifikasian gangguan autisme untuk tujuan ilmiah dapat digolongkan atas
autisme ringan, sedang dan berat. Namun pengklasifikasian ini jarang dikemukakan pada
orangtua karena diperkirakan akan mempengaruhi sikap dan intervensi yang dilakukan.
Padahal untuk penanganan dan intervensi antara autisme ringan, sedang dan berat tidak
berbeda. Penanganan dan intervensinya harus intensif dan terpadu sehingga memberikan
hasil yang optimal. Orangtua harus memberikan perhatian yang lebih bagi anak
penyandang autis. Selain itu penerimaan dan kasih sayang merupakan hal yang terpenting
dalam membimbing dan membesarkan anak autis (Yusuf, 2003).
2.2.3.3 Penanganan Autisme
Penanganan pada anak autisme ditujukan terutama untuk mengurangi atau
menghilangkan masalah gangguan tingkah laku, meningkatkan kemampuan belajar dan
perkembangannya terutama dalam penguasaan bahasa dan keterampilan menolong diri.
Supaya tujuan tercapai dengan baik diperlukan suatu program penanganan menyeluruh dan
terpadu dalam suatu tim yang terdiri dari; tenaga medis antara lain dokter saraf dan dokter
anak, tenaga pendidik, tenaga terapis seperti ahli terapi wicara dan ahli terapi okupasi.
Beberapa penanganan yang telah dikembangan untuk membantu anak autisme antara lain;
1. Terapi Tingkah laku
Berbagai jenis terapi tingkahlaku telah dikembangkan untuk mendidik penyandang
autisme, mengurangi tingkahlaku yang tidak lazim dan menggantinya dengan tingkahlaku
23

yang bisa diterima dslsm masyarakat Terapi ini sangat penting untuk membantu
penyandang autisme untuk lebih bisa menyesuaikan diri dalam masyarakat.
2. Terapi wicara
Terapi wicara sering kali masih tetap dibutuhkan untuk memperlancar bahasa anak.
Menerapkan terapi wicara pasda anak autisme berbeda daripada anak lain. Oleh karena itu
diperlukan pengetahuan yang cukup mendalam tentang gangguan bicara pada anak
autisme.
3. Pendidikan kebutuhan khusus
Pendidikan pada tahap awal diterapkan satu guru untuk satu anak. Cara ini paling
efektif karena anak sulit memusatkan perhatiannya dalam suatu kelas yang besar. Secara
bertahap anak dimasukan dalam kelompok kelas untuk dapat mengikuti pembelajaran
secara klasikal. Penggunaan guru pendamping sebaiknya tidak terlalu dominan, yang
diharapkan adalah anak dengan gangguan autisme dapat secara terus menerus belajar
dengan anak-anak lainnya dalam satu pembelajaran bersama. Pola pendidikan yang
terstruktur baik di sekolah maupun di rumah sangat diperlukan bagi anak ini. Mereka harus
dilatih untuk mandiri, terutama soal bantu diri. Maka seluruh keluarga di rumah harus
memakai pola yang sama Agar tidak membingungkan anak.
4. Terapi okupasi
Sebagian individu dengan gangguan autisme mempunyai perkembangan motorik
terutama motorik halus yang kurang baik. Terapi okupasi diberikan untuk membantu
menguatkan, memperbaiki koordinasi dan keterampilan otot halus seperti tangan. Otot jari
tangan penting dilatih terutama untuk persiapan menulis dan melakukan segala pekerjaan
yang membutuhkan keterampilan motorik halus.
5. Terapi medikamentosa (obat)
Pada keadaan tertentu individu dengan gangguan autisme mempunyai beberapa gejala
yang menyertai gangguan autisme, seperti perilaku agresif atau hiperaktivitas. Pada
individu dengan keadaan demikian dianjurkan untuk menggunakan pemberian obat-obatan
secara tepat. Penggunaaan obat-obat yang digunkan biasanya dilakukan dengan cermat
agar memperoleh pengaruh positif terhadap perkembangan anak.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
24

Gangguan jiwa pada anak-anak merupakan hal yang banyak terjadi, yang umumnya
tidak terdiagnosis dan pengobatannya kurang adekuat. Masalah kesehatan jiwa terjadi pada
15% sampai 22% anak-anak dan remaja, namun yang mendapatkan pengobatan jumlahnya
kurang dari 20% (Keys, 1998).
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dicirikan dengan tingkat gangguan
perhatian, impulsivitas, dan hiperaktivitas yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan.
Menurut DSM IV, ADHD pasti terjadi di sedikitnya dua tempat (mis., di sekolah dan di
rumah) dan terjadi sebelum usia 7 tahun (DSM IV, 1994).
Retardasi mental muncul sebelum usia 18 tahun dan dicirikan dengan keterbatasan
substandar dalam berfungsi, yang dimanifestasikan dengan fungsi intelektual secara
signifikan berada dibawah rata-rata (mis., IQ dibawah 70) dan keterbatasan terkait dalam
dua bidang keterampilan adaptasi atau lebih (mis., komunikasi, perawatan diri, aktivitas
hidup sehari-hari, keterampilan sosial, fungsi dalam masyarakat, pengarahan diri,
kesehatan dan keselamatan, fungsi akademis, dan bekerja.
Autisme dicirikan dengan gangguan yang nyata dalam interaksi sosial dan
komunikasi, serta aktivitas dan minat yang terbatas (Johnson, 1997). Gejala-gejalanya
meliputi kurangnya responsivitas terhadap orang lain, menarik diri dari hubungan sosial,
kerusakan yang menonjol dalam komunikasi, dan respon yang aneh terhadap lingkungan
(mis., tergantung pada benda mati dan gerakan tubuh yang berulang-ulang seperti
mengepakkan tangan, bergoyang-goyang, dan memukul-mukulkan kepala)

3.2 Saran
Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para pembaca dan
mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah berikutnya :
a. Kombinasikan metode pembuatan makalah berikutnya.
b. Pembahsan yang lebih mendalam disertai data-data yang lebih akurat.
25

Beberapa poin diatas merupakan saran yang kami berikan apabila ada pihak-pihak
yang ingin melanjutkan penelitian terhadap makalah ini, dan demikian makalah ini disusun
serta besar harapan nantinya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususunya
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara semester VII/2014
dalam penambahan wawasan dan ilmu pengetahuan

DAFTAR PUSTAKA

Simbolon Joesoef. 2014. Buku penuntun pelayanan dan pemeriksaan medik-psikiatri.


Medan: Bagian Psikiatri FK UISU
26

Silvia D. Elvira. 2013. Buku Ajar Psikiatri Ed.2. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

WHO. Primary prevention of mental neurological and psychosocial disorders. Geneva,


WHO 1998: h. 8-53.

Payne JS, Patton JR. Mental retardation. Columbus: Bell & Howell Company,1981. h.
1-466.

Prasadio T. Gangguan psikiatrik pada anak-anak dengan retardasi mental. Disertasi.


Surabaya: UniversitasAirlangga, 1976.

Lumbantobing SM. Anak dengan mental terbelakang.

(online), tersedia : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31480/5/Chapter


%20I.pdf (19 Oktober 2014)

(online), tersedia : http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/4s1kedokteran/207311144/BAB


%20II.pdf (19 Oktober 2014)

(online), tersedia : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19080/3/Chapter


%20II.pdf (19 Oktober 2014)

27

Anda mungkin juga menyukai