Anda di halaman 1dari 35

PSIKOSIS SEKUNDER : SUATU PEMBAHARUAN

Gangguan psikotik yang disebabkan karena suatu penyakit medis yang jelas atau
penggunaan substansi/zat (narkotika) umumnya diistilahkan sebagai prikosis
sekunder. Dalam makalah ini, pertama kami akan membahas evolusi sejarah dari
konsep psikosis primer vs psikosis sekunder dan bagaimana perbedaan psikosis
ini dapat menggantikan sistem klasifikasi psikosis yang salah sebelumnya, dimana
dulunya psikosis dibagi menjadi psikosis organik dan fungsional. Kemudian kami
juga akan menguraikan gambaran klinis dan pendekatan diganosis pada kasuskasus dengan gangguan psikotik sekunder. Yang terakhir, kami juga membahas
tentang bagaimana penelitian tentang gangguan psikotik sekunder dapat
membantu dalam memberikan penjelasan terkait gangguan psikotik primer, atau
yang idiopatik, seperti skizofrenia. Kami menggambarkan permasalahan ini
melalui suatu diskusi terkait 3 gangguan psikotik sekunder psikosis yang
berhubungan dengan epilepsi lobus temporal, sindroma velokardiofasial, dan
ensefalitis reseptor NMDA (N-methyl D-aspartat) yang masing-masing dari
ketiganya dapat menjadi model neuroanatomi, genetik dan neurokimiawi dari
patogenesis skizofrenia.
KATA KUNCI : Psikosis sekunder, epilepsi lobus temporal, sindroma
velokardiofasial, ensefalitis reseptor NMDA, skizofrenia.

Klasifikasi gangguan psikotik terus berlanjut menjadi sebuah perdebatan.


Pemikiran bahwa psikosis dapat dibagi menjadi psikosis dengan gangguan
patologi anatomik (organik) dan psikosis tanpa gangguan patologi anatomik
(fungsional) telah sangat umum digunakan selama lebih dari 1 abad. Sayangnya,
pembagian seperti itu terkadang salah dalam praktiknya di lapangan, terutama
selama awal dekade abad ke-20, dimana psikosis fungsional sering disamakan
dengan gangguan psikogenik, dan faktor-faktor psikologis seperti peran didikan
orang tua dianggap sebagai etiologi skizofrenia.
Dalam beberapa dekade terakhir telah semakin disadari bahwasanya lebih
berguna jika mengkategorikan suatu gangguan psikiatri sebagai gangguan
sekunder, apabila gejala-gejala yang muncul disebabkan karena suatu penyakit
medis yang jelas atau penggunaan zat aktif (narkotika), dan merupakan suatu
gangguan primer (idiopatik) jika gejalanya tidak dapat dijelaskan oleh penyebab
lain. Dalam konteks ini, DSM-IV menggunakan istilah organik dan fungsional
pada edisi-edisi sebelumnya. Kemudian terjadi perubahan dalam pengkategorian
tersebut, dari yang awalnya berdasarkan ada atau tidak adanya kondisi patologis
pada otak (yang seringkali sulit diidentifikasi, bahkan pada berbagai gangguan
neurologis) menjadi berdasarkan etiologi penyakitnya (diketahui, diduga, atau
tidak diketahui). DSM-IV juga membuat pembedaan antara gangguan psikotik
yang disebabkan karena penyakit medis dengan psikotik yang disebabkan
penggunaan zat (narkotika).
Dalam makalah ini, dilakukan pendekatan dengan psikosis primer dan
sekunder untuk memahami gangguan psikotik. Ada berbagai gangguan psikotik
sekunder yang dijelaskan dalam makalah ini dimana substrat neurobiologis yang
bisa saja mendasari penyakit psikotik primer (atau idiopatik), harus disingkirkan
terlebih dahulu. Kami berusaha memberikan gambaran singkat serta menawarkan
pendekatan diferensial diganosis antara gangguan psikotik primer dan sekunder.

GANGGUAN-GANGGUAN YANG DISERTAI DENGAN GANGGUAN


PSIKOTIK SEKUNDER
Pada hakikatnya, zat apapun, obat yang diresepkan, ataupun kondisi medis
yang mempengaruhi fungsi sistem saraf dapat memunculkan gejala-gejala
psikiatrik, termasuk psikosis (Tabel 1). TACTICS MDS USE dapat membantu
klinisi mengingat secara mudah kelompok-kelompok utama dari gangguan
psikiatri yang dapat dipertimbangkan dalam diagnosis banding.
Cedera Traumatik Pada Otak
Cedera traumatik pada otak (Traumatic Brain Injury, TBI) telah dianggap
sebagai faktor risiko terjadinya skizofrenia-like psychosis (psikosis yang
menyerupai skizofrenia), walaupun hanya sedikit studi sistematis terkait
hubungan antara kedua kondisi tersebut.
Fujii dan Ahmed melakukan suatu ulasan laporan kasus dimana mereka
secara retroaktif menerapkan kriteria DSM-IV pada sejumlah total 69 kasus dan
menyimpulkan bahwa selaim dapat menjadi penyebab primer psikosis, TBI juga
dapat berkontribusi terhadap timbulnya psikosis dengan memicu terjadinya
kejang, walaupun keterbatasan penelitian ini terletak pada heterogenitas laporan
kasus-kasus yang ada. Sebuah studi kohort yang dilakukan pada 3552 orang
veteran Finlandia dari Perang Dunia ke-2 melaporkan angka psikosis setelah
terjadinya TBI sebesar 8,9%. Namun banyaknya kejadian cedera terbuka, faktorfaktor komorbid, dan kurangnya alat diagnostik yang terstandarisasi menimbulkan
pertanyaan terkait dengan generalisasi temuan-temuan dari penelitian tersebut.
Bukti dari penelitian lainnya, meliputi studi kasus kontrol dan studi
epidemiologis, menunjukkan bahwa TBI dapat sedikit meningkatkan risiko
psikosis, walaupun peningkatan risiko ini dapat menjadi jauh lebih tinggi pada
individu-individu dengan predisposisi psikosis secara genetik. Risiko psikosis
tampaknya meningkat apabila TBI yang terjadi bersifat parah, difus, melibatkan
lobus frontalis dan temporalis, dan adanya temuan abnormal pada EEG serta
pemeriksaan neuroimaging. Jika psikosis terjadi dalam suatu kondisi yang disertai
3

adanya TBI, maka gambaran psikosisnya yang dominan adalah delusi


persekutorik (persecutory delusions) dan halusinasi auditorik, dengan sedikit
gejala negatif. Dengan demikian, maka diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
menyelidiki interaksi antara TBI dengan faktor risiko genetik skizofrenia.
Gangguan Autoimun
Pada kasus SLE (Systemic Lupus Erythematosus), dapat dijumpai adanya
gejala-gejala psikotik walaupun jarang, dengan prevalensinya yang dilaporkan
berkisar dari 1-11%. Analisis retrospektif membuktikan bahwa apabila psikosis
pada SLE, cenderung muncul di awal perjalanan penyakit. Pada mereka yang
diketahui mengalami psikosis, sekitar 30-60% diantaranya psikotik saat
terdiagnosis SLE dan sampai 80% banyaknya yang mengalami gejala-gejala
psikotik dalam waktu 1 tahun sejak terdiagnosis SLE. Psikosis bisa jadi
merupakan gambaran klinis utama pada SLE, namun lebih sering terjadi dengan
gejala lupus lainnya, dimana paling banyak ditemukan adalah gejala yang
melibatkan kulit dan arthritis.
Secara simtomatik, psikosis lupus sering ditandai oleh adanya paranoid,
halusinasi auditorik dan visual, serta delusi berat. Terapi imunosupresif, termasuk
diantaranya dengan steroid dan antimalaria, biasanya dapat berakibat pada
hilangnya gejala psikosis yang terjadi (resolusi), walaupun obat-obatan ini sendiri
sebenarnya dapat memicu gejala psikotik dan turut mempersulit diagnosis
penyakit.
Penyakit autoimun sebagai penyebab gejala psikotik tidak hanya terbatas
pada SLE saja. Psikosis dapat muncul juga pada kasus dengan sklerosis multipel
dan juga pernah dilaporkan terjadi pada pasien dengan penyakit Hashimoto.
Gangguan Kongenital/Sitogenetik
Sindroma

velokardiofasial

(Velocardiofacial

syndrome,

VCFS),

disebabkan oleh adanya delesi kromosom heterozigot 22q11.2 dan berhubungan

dengan kondisi genetik serta psikosis, dengan 25-30% pasien dengan VCFS akan
mengalami gejala-gejala yang serupa dengan skizofrenia.
VCFS merupakan kasus yang menarik karena temuan neurokognitifnya,
abnormalitas struktur otak, gejala psikotik dan pola respon terapi yang didapati
pada pasien dengan VCFS semuanya sangat mirip dengan yang didapati pada
pasien skizofrenia.
Gangguan genetik lainnya dimana psikosis dapat terjadi antara lain pada
sindrom Prader-Willi (dimana angka skizofrenia-like psychosis yang terjadi
mencapai sekitar 16%), pada penyakit Huntington (5-16%), dan pada sindroma
Fahr.
Gangguan yang Dipicu Oleh Obat/Racun
Orang-orang yang menggunakan zat-zat psikoaktif dapat mengalami gejala
psikotik dalam berbagai macam konteks, termasuk diantaranya intoksikasi,
withdrawal (putus obat), gangguan mood dengan gambaran psikotik, dan psikosis
akibat zat (substance-induced psychosis, SIP). Pemaparan mengenai SIP yang
paling tepat adalah, kondisi-kondisi dimana psikosis mulai terjadi dalam konteks
menggunakan zat namun psikosis menetap selama beberapa hari sampai minggu
walau tanpa penggunaan zat secara berkelanjutan.
Zat-zat yang memiliki kandungan psikotogenik paling nyata antara lain
golongan stimulan (amfetamin, kokain), kanabis, dan psikotomimetik (fensiklidin,
ketamin). Opiat dan nikotin tidak terlalu nyata dalam menimbulkan gambaran
psikosis, sedangkan alkohol dan benzodiazepin dapat memicu psikosis hanya pada
kondisi putus obat yang akut. Lysergic acid diethylamide dan MDMA (3,4methylenedioxy-N-methylamphetamine) dapat menimbulkan halusinan pada
intoksikasi akut, namun tidak ada bukti yang jelas yang menunjukkan bahwa obatobat ini dapat memicu gangguan psikotik yang terus-menerus.
Interaksi antara kerentanan terhadap gangguan psikotik dan terhadap
gangguan penyalahgunaan zat bersifat kompleks, bukti yang ada menujukkan

bahwa kerentanan seseorang secara genetik terhadap psikosis jika dikombinasikan


dengan penyalagunaan obat akan dapat menyebabkan psikosis dan individuindividu dengan kerentanan demikian akan cenderung menunjukkan perilaku
penyalahgunaan obat.
Psikosis toksik juga dapat terjadi dalam konteks paparan terhadap logam
berat, misalnya timah, merkuri, dan arsen.
Psikosis Iatrogenik
Psikosis toksik dapat disebabkan oleh berbagai obat-obatan yang bekerja
aktif di saraf pusat dan sering ditandai dengan gangguan fungsi kognitif akut di
samping juga gejala psikotik.
Angka gejala psikotik yang dilaporkan pada pasien-pasien yang mendapat
obat glukokortikoid sangat bervariasi, meskipun ada bukti bahwa gangguan mood
sekunder akibat glukokortikoid lebih sering berhubungan dengan gejala psikotik
daripada gangguan mood yang primer. Onset gejala psikotik biasanya terjadi
dalam beberapa hari sejak pemberian awal glukokortikoid. Gejala dapat muncul
kapan saja dari beberapa jam sampai minggu setelah pemberian glukokortikoid
dosis pertama.
Pasien lansia berisiko terhadap timbulnya psikosis toksik sebagai reaksi
terhadap

obat-obatan

dengan

kandungan

antikolinergik

dan

golongan

benzodiazepin. Gejala psikotik setelah pemberian awal obat isoniazid semakin


banyak ditemukan dalam berbagai laporan kasus, dan dianggap disebabkan karena
perubahan kadar katekolamin dan serotonin melalui penghambatan monoamin
oksidase. Obat-obat antimalaria termasuk klorokuin dan meflokuin juga
dihubungan dengan gejala-gejala psikotik Bukti yang ada menunjukkan bahwa
risikonya lebih tinggi pada pasien dengan riwayat penyakit psikiatri. Golongan
obat lainnya yang juga dikaitkan dengan psikosis toksik diantaranya adalah
antidepresan, antikonvulsi, antiemetik, antiparkinson, antipsikotik, opioid,
antagonis histamin, dan antibiotik, khususnya jika yang terjadi adalah keracunan
di darah.
6

Gangguan Serebrovaskuler
Prevalensi psikosis pasca-stroke diperkirakan sekitar 3-4 %. Gejala
psikotik dapat terjadi dalam hubungannya dengan stroke di berbagai daerah otak,
namun yang paling banyak dijumpai adalah lesi temporo-parietal-oksipital. Sifat
gejala psikotik yang ditunjukkan berbeda dari skizofrenia, dengan psikosis pascastroke psikosis lebih cenderung melibatkan halusinasi visual, taktil, dan
penciuman. Perilaku halusinasi pada pasien pasca-stroke diklasifikasikan menjadi
halusinasi murni dan halusinosis, dimana pada halusinosis ada ego-distonia dan
tilikan terhadap kenyataan bahwa persepsi tersebut tidaklah nyata.
Telah ada beberapa studi sistematis yang menyelidiki hubungan antara
demensia vaskuler dengan munculnya gejala psikotik, meskipun angka kejadian
psikosis pada demensia vaskuler dan demensia Alzheimer adalah sama, fakta
tersebut bertentangan dengan mekanisme psikotogenik tertentu pada gangguan
serebrovaskular.
Berbagai penelitian yang mencari bukti cedera serebrovaskular pada
pasien-pasien yang mengalami gejala psikotik onset-akhir menunjukkan hasil
yang saling bertentangan. Berdasarkan data terbatas yang tersedia saat ini, sulit
untuk menyimpulkan sejauh mana predisposisi penyakit serebrovaskular
berdiposisi terhadap timbulkan gejala psikotik pada pasien, dan diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk memastikan atau menyangkal adanya kaitan ini.
Gangguan Lesi Desak Ruang Intrakranial
Tumor otak walaupun jarang, namun penting sebagai salah satu penyebab
psikosis sekunder. Bukti mengatkan bahwa prevalensi tumor intrakranial semakin
meningkat pada pasien-pasien dengan gangguan psikiatri. Secara simtomatis,
psikosis yang disebabkan karena tumor intrakranial dapat dibedakan dari
skizofrenia, walaupun psikosis yang terjadi lebih cenderung berhubungan dengan
halusinasi visual, delusi, dan tidak adanya gangguan pikiran formal.

Tumor yang terletak di lobus temporal atau struktur limbik adalah yang
paling sering menyebabkan psikosis, dimana pada suatu penelitian ditunjukkan
bahwa 20% tumor di lobus temporal berakibat pada gejala-gejala psikotik. Telah
ditunjukkan adanya kaitan antara jenis histologis tumor dan angka kejadian
psikosis. Walaupun tumor berderajat rendah dan tumbuh lambat, tumor dapat
menyebabkan gejala psikotik tanpa menunjukkan tanda-tanda neurologis.
Neuroimaging baik dengan CT atau MRI disarankan pada pasien usia tua
dengan psikosis onset baru dan pada pasien yang menunjukkan temuan neurologis
fokal pada saat pemeriksaan.
Gangguan Metabolik
Mekanisme terjadinya kekacauan konektivitas neural diduga berperan
dalam timbulnya gejala-gejala skizofrenia. Kekacauan konektivitas neural ini juga
terjadi pada gangguan metabolik yang berakibat pada terganggunya fungsi saraf
atau kematian saraf. Sebagai contoh, gangguan penyimpanan lisosom dapat
menyebabkan defisit neurologis dini yang berat hingga kematian pada remaja atau
dewasa dapat pula menimbulkan gejala psikosis sekunder. Gangguan-gangguan
metabolik lainnya, seperti penyakit Niemann-Pick tipe C (NPC), penyakit Tay
Sachs, dan alfa manosidosis, cenderung menimbulkan gejala psikotik melalui
interaksi proses neuropatologis dengan perubahan perkembangan saraf misalnya
terputusnya sinaps, mielinisasi, dan perubahan konektivitas. Kekacauan interaksi
yang sama antara konektivitas fungsional dan perkembangan saraf

juga

ditemukan pada leukodistrofi, dengan leukodistrofi metakromatik (MLD).


Gejala psikotik dilaporkan terjadi sampai pada 50% pasien dengan NPC
dan MLD onset akhir. Selain itu, ada laporan kasus tentang pasien dengan
gangguan mitokondria yang mengalami gejala psikotik, dan diperkirakan bahwa
leukodistrofi yang dapat terjadi pada gangguan mitokondria berdampak pada
terjadinya psikosis tersebut.
Penyakit Wilson, yang melibatkan deposisi tembaga yang abnormal di hati
dan otak, menunjukkan prevalensi psikosis yang berkisar antara 2-11%. Psikosis
8

pada penyakit Wilson ditandai tidak hanya oleh gejala-gejala khas berupa
halusinasi, delusi, dan gangguan pikir, tetapi juga ditandai dengan benyak gejala
tambahan lainnya, termasuk euforia, preokupasi seksual, hebefrenik, dan
katatonia.
Gangguan Diet
Kaitan antara defisiensi nutrisi dengan gejala psikiatri telah banyak diteliti
dan diperdebatkan selama beberapa dekade. Ada bukti bahwa gejala psikiatri
akibat defisiensi kobalamin dapat terjadi tanpa adanya bukti secara hematologis
ataupun adanya kelainan neurologis. Laporan kasus tentang psikosis sekunder
karena defisiensi kobalamin menunjukkan gambaran gejala-gejala berupa delusi
persekutorik, halusinasi auditorik dan visual, gangguan proses pikir, dan agitasi
psikomotor yang tidak berespon terhadap terapi dengan obat-obatan antipsikotik
tetapi dapat hilang atau sembuh sepenuhnya setelah pemberian kobalamin
parenteral. Bukti lainnya yang dapat mendukung keterkaitan ini adalah dalam
suatu studi di mana pasien yang terdepresi dengan depresi psikotik menunjukkan
kadar kobalamin yang lebih rendah secara signifikan daripada pasien dengan
depresi non-psikotik.
Meskipun hubungan antara defisiensi folat dan psikosis tidaklah kuat, ada
beberapa bukti yang menunjukkan bahwa suplementasi folat pada pasien dengan
skizofrenia akan memacu pemulihan pasien. Gejala psikotik termasuk halusinasi
auditorik, delusi persekutorik, dan parasitosis delusional bisa sangat jarang terjadi
dalam kondisi pellagra (defisiensi niasin), walaupun hampir semuanya terjadi
pada penyalahgunaan alkohol kronis.
Sepsis / Penyakit Infeksius
Secara historis, neurosifilis sangat berkaitan dengan angka rawat inap
psikiatri. Pada tahun 1900, sekitar 5% dari pasien di rumah sakit jiwa terdiagnosis
dengan paresis umum. Angka infeksi sifilis terus meningkat sejak munculnya
virus HIV, dan tercatat ada pasien-pasien yang menunjukkan gejala psikiatrik pada
kasus dengan neurosifilis. Pasien-pasien tersebut dapat menunjukkan baik gejala
9

afektif maupun psikotik yang dapat dibedakan dari gangguan psikiatrik primer.
Terapi neurosifilis dengan antibiotik, dan obat-obatan antipsikotik tambahan jika
diperlukan,

memberikan

perbaikan

klinis

yang

signifikan,

membantu

menghentikan tetapi tidak dapat mengembalikan, kerusakan status mental yang


diakibatkan karena hilangnya sel saraf,.
Diperkirakan psikosis onset baru yang berhubungan dengan infeksi HIV
berkisar antara 0,23-15 %, dengan gejala psikosis yang muncul umumnya pada
HIV stadium akhir atau ketika pasien telah beralih menjadi AIDS. Secara
simtomatis, psikosis akibat HIV ditandai dengan delusi yang persekutorik,
mencolok, dan somatik, dengan halusinasi sebagai gejala kedua yang paling
menonjol. Efek pengobatan antiretroviral aktif terhadap gejala psikotik masih
belum jelas, dan diperumit oleh adanya fakta bahwa efek samping ARV termasuk
diantaranya adalah halusinasi. Meskipun antipsikotik biasanya efektif untuk
psikosis HIV, pasien dengan HIV mengalami peningkatan risiko untuk terjadinya
gejala ekstrapiramidal dan diskinesia tardiv, khususnya dengan penggunaan
antipsikotik tipikal.
Telah dipaparkan beberapa infeksi lainnya yang dapat menyebabkan
psikosis sekunder, termasuk diantaranya infeksi oleh Toxoplasma gondii.
Keterkaitan ini didasarkan pada kenyataan bahwa penelitian menunjukkan adanya
peningkatan prevalensi antibodi terhadap Toxoplasma gondii pada pasien dengan
skizofrenia. Selain itu, toksoplasmosis telah dikaitkan dengan gejala-gejala
psikotik termasuk delusi dan halusinasi auditorik, bahkan tanpa adanya AIDS
pada waktu yang bersamaan.
Yang terakhir, ada semakin banyak bukti yang mendukung infeksi prenatal
sebagai faktor risiko yang berpotensi menyebabkan skizofrenia. Meskipun masih
belum meyakinkan, infeksi prenatal oleh influenza, toksoplasmosis, rubella, virus
herpes simpleks, dan sifilis telah dikaitkan dengan terjadinya psikosis sekunder.

10

Penyebab Tidak Diketahui / Penyakit Degeneratif / Gangguan Demielinasi


Meskipun data tentang psikosis pada sklerosis multipel (MS) tidaklah
konsisten, bukti terbaru menunjukkan bahwa MS

tidak meningkatkan

kecenderungan timbulnya gejala psikotik. Sebuah studi berbasis populasi,


berskala besar, dari Kanada melaporkan bahwa 2-4 % pasien dengan MS menjadi
psikotik. Delusi merupakan gejala psikotik primer yang ditemukan pada MS,
sedangkan halusinasi dan gejala negatif jarang dijumpai. Namun laporan terkait
korelasi temporal antara gejala MS dan psikosis masih saling bertentangan. Gejala
psikotik mungkin berhubungan dengan peningkatan beban lesi di substansia alba
periventrikuler dan temporal, meskipun mekanisme pastinya masih harus
dipaparkan. Psikosis kronis akibat MS tampaknya menjadi jarang terjadi.
Perkiraan prevalensi dan insiden gejala psikotik pada penyakit Alzheimer
(AD) bervariasi, dengan satu ulasan pada 55 studi yang ada melaporkan bahwa
prevalensi keseluruhan adalah sebesar 41 %, yang terdiri dari 36% pasien dengan
delusi dan 18% pasien dengan halusinasi. Tiga tahun pertama AD ditandai dengan
meningkatnya insidensi gejala psikotik, dimana fase setelah itu tampaknya tidak
ada peningkatan. Simtomatologi psikotik pada AD paling sering terdiri atas delusi,
halusinasi visual dimana lebih sering ditemukan daripada halusinasi auditorik, dan
misidentifikasi. Gejala-gejala ini biasanya bersamaan dengan gejala psikiatri
lainnya seperti agresi, agitasi, apatis, dan depresi.
Gejala psikotik tampaknya lebih jarang ditemui pada kasus dengan
demensia fronto-temporal, dimana tercatat ada sekitar 20% pasien yang
mengalaminya, dengan angka kejadian psikosis yang lebih tinggi pada subtipe
tertentu.
Gangguan Kejang
Skizofrenia-like psychosis telah dikaitkan dengan epilepsi selama lebih dari
satu abad, dan ada bukti yang kuat bahwa psikosis kronis terjadi lebih sering pada
pasien dengan epilepsi dibandingkan pada populasi umum. Sindrom psikotik pada
epilepsi biasanya dikategorikan berdasarkan hubungan temporal dengan kejang
11

secara klinis. Psikosis iktal menggambarkan gejala psikotik yang terjadi dalam
konteks kejang non-konvulsif aktif, yang cenderung menetap selama beberapa
menit sampai jam, dan terdiri dari halusinasi dan delusi paranoid yang menonjol.
Psikosis post-iktal adalah episode psikotik singkat yang biasanya terjadi beberapa
jam sampai beberapa hari setelah klaster kejang, yang meliputi delusi, halusinasi,
dan gejala-gejala afektif, dan biasanya hilang/sembuh dalam waktu beberapa hari.
Terjadinya psikosis kronis yang berhubungan dengan epilepsi juga dipaparkan,
dimana studi yang terbaru melaporkan risiko relatif sebesar 2,48%.
Secara fenomenologis, psikosis yang berhubungan dengan epilepsi sulit
untuk dibedakan dengan skizofrenia. Psikosis yang berhubungan dengan epilepsi
ditandai oleh gejala yang lebih benigna/jinak dan gejala negatif yang relatif
jarang dijumpai. Faktor risiko terjadinya psikosis sekunder diantaranya meliputi
bentuk epilepsi yang lebih berat dengan tipe kejang yang multipel, riwayat status
epileptikus, dan resistensi terhadap terapi obat-obatan. Hubungan epilepsi lobus
temporal dengan timbulnya gejala psikotik akan dibahas lebih mendetil di bagian
berikutnya.
Gangguan Endokrin
Gejala-gejala psikotik yang disebabkan karena abnormalnya fungsi tiroid
sebenarnya jarang terjadi. Namun ada beberapa laporan kasus terkait psikosis
yang terjadi akibat hipertiroidisme, hipotiroidisme, dan bahkan perubahan yang
cepat pada kondisi tiroid. Psikosis dikatakan sebagai gejala tirotoksikosis yang
bisa muncul pada penyakit Graves, krisis tiroid, goiter noduler toksik, tiroiditis
subakut, dan tiroiditis tanpa nyeri. Penelitian melaporkan

sebanyak 5-15%

pasien miksedema hipotiroidisme memiliki beberapa bentuk dari gejala psikotik.


Pasikosis yang bekaitan dengan penyakit tiroid tidak menunjukkan
karakteristik klaster gejala psikotik. Beberapa pasien mengalami halusinasi
auditorik dan visual, delusi, dan paranoid. Kebanyakan pasien mengalami
gangguan afektif. Terapi pada penyakit tiroid yang mendasari terjadinya psikosis
cenderung berakibat pada sembuh/hilangnya psikosis, sehingga pengobatan

12

dengan antipsikotik hanya diperlukan pada kondisi akut saja. Namun yang
menarik adalah, koreksi kadar hormon tiorid serum yang abnormal secara cepat
justru dapat memicu dan menimbulkan eksaserbasi psikosis yang disebabkan
kelainan tiroid.
Hubungan hiperparatiroid dan hiperkalemia dengan gejala psikiatrik juga
telah banyak diketahui, walaupun prevalensi spesifik psikosis pada pasien dengan
hiperparatiroid masih belum jelas. Laporan kasus yang ada menjelaskan pasienpasien dengan halusinasi auditorik dan visual, delusi persekutorik, dan
disorganisasi proses pikir pada kondisi hiperkalemia yang disebabkan karena
hiperparatiorid. Bukti yang ada menunjukkan bahwa koreksi hiperkalemia,
biasanya dengan cara paratiroidektomi, dapat menyebabkan hilangnya gejala
psikotik tanpa rekurensi (kekambuhan).
Walaupun jarang dijumpai dan sedikit diteliti, hipoparatiroidisme juga
dapat muncul disertai dengan psikosis. Sebuah ulasan pada 268 kasus dengan
hipoparatiroidisme yang dipublikasikan pada tahun 1962 melaporkan bahwa 11%
pasien mengalami gejala-gejala psikotik, seringnya dalam kondisi hipoparatiroid
yang disebabkan operasi. Laporan kasus yang ada setelahnya turut mendukung
banyaknya gejala psikotik yang terjadi pada kondisi hipoparatiroid dan
menguatkan fakta bahwa perbaikan secara simtomatik membutuhkan kadar
magnesium dan kalsium yang normal, selain juga dengan terapi antipsikotik.

MENYELIDIKI PSIKOSIS SEKUNDER VS SKIZOFRENIA


Menciptakan suatu hubungan sebab-akibat antara penyalahgunaan
zat/penyakit medis dengan psikosis tidaklah mudah. Mencurigai adanya penyakit
medis yang mendasari adalah langkah awal yang dilakukan ketika menemui
kasus psikosis dalam praktik medis umum. Penyakit medis penyerta juga cukup
banyak dijumpai pada pasien dengan gejala psikotik, terutama di kalangan orang
tua. Kita harus juga mencurigai dan mengidentifikasi adanya penyakit medis yang
mendasari psikosis pada pasien yang lebih muda.
13

Di dalam membedakan psikosis primer dan sekunder, penting untuk


terlebih dahulu mengidentifikasi kondisi medis secara umum. Langkah
selanjutnya - menciptakan suatu hubungan sebab-akibat antara kondisi medis dan
psikosis - seringkali sulit dilakukan, tetapi dapat dipermudah dengan
mempertimbangkan tiga prinsip utama sebagai berikut: atipikal, temporal
(sementara), dan dapat dijelaskan.
Apakah Gambaran Psikosis yang Terjadi Atipikal?
Adanya penyakit medis yang mendasari psikosis harus dicurigai terutama
jika presentasi psikosisnya atipikal. Sebagai contoh adalah onsetnya di usia lanjut:
onset baru psikosis pada seorang laki-laki berusia 70 tahun harus menimbulkan
kecurigaan dokter terkait adanya penyakit medis yang mendasari psikosis
tersebut. Harus diingat bahwa ada gambaran klinis psikosis baik tunggal maupun
campuran yang cukup reliabel (dapat diandalkan) untuk membedakan antara
gangguan psikotik primer atau sekunder. Namun bagaimanapun juga, apabila ada
gambaran

klinis

tertentu

yang

sangat

menonjol/dominan,

maka

harus

dipertimbangkan kemungkinan psikosis tersebut sekunder. Sehingga, adanya


gambaran disorientasi berat dan/atau kebingungan harus menimbulkan kecurigaan
psikosis sekunder. Gejala katatonik, perubahan status kesadaran (yaitu,
kebingungan atau kondisi seperti bermimpi), dan halusinasi visual lebih sering
terjadi pada psikosis sekunder. Delusi tertentu, seperti yang melibatkan keyakinan
akan kesalahan identitas orang lain (misalnya, delusi Capgras), dianggap lebih
banyak terjadi pada psikosis sekunder daripada skizofrenia. Adanya halusinasi
multimodal (misalnya, visual dan taktil) juga meningkatkan kecenderungan
gangguan yang terjadi merupakan psikosis sekunder.
Gejala penyerta yang tidak sesuai dengan apa yang dapat diperkirakan dari
suatu gangguan psikotik juga harus menimbulkan suatu kecurigaan/pertimbangan
adanya kemungkinan penyakit medis yang mendasari psikosis. Misalnya,
penurunan berat badan dalam jumlah besar (kg) yang sulit dijelaskan oleh adanya

14

depresi ringan pada pasien psikotik juga harus memicu kecurigaan adanya
penyakit medis mendasar.
Gejala psikotik tipe tertentu mungkin juga sering mengarah pada
perubahan regional dalam fungsi otak dan harusnya meningkatkan kecurigaan
akan

adanya

penyakit

neurologis

yang

mendasari.

Dengan

demikian,

penyangkalan akan kebutaan yang dapat memunculkan delusi seharusnya


menimbulkan kecurigaan klinisi akan sindrom Anton (kebutaan kortikal, karena
lesi koreteks visual) dan penyangkalan adanya paralisis seharusnya mengarah
pada kecurigaan adanya anosognosia (disebabkan adanya lesi pada korteks
parietal non-dominan). Demikian juga, baik delusi terisolasi maupun kesalahan
identifikasi (sindrom Capgras) dan halusinasi olfaktori dapat mengarah pada
penyakit lobus temporal.
Apakah Kondisi Medis atau Penggunaan Zat Secara Sementara Berkaitan
dengan Psikosis?
Psikosis sekunder cenderung terjadi apabila psikosis mulai muncul setelah
onset suatu penyakit medis tertentu. Tingkat keparahannya beragam seiring
dengan keparahan penyakit medis yang mendasarinya, tetapi akan hilang atau
sembuh saat penyakit medisnya telah tertangani. Contohnya adalah munculnya
delusi saat seorang pasien dengan hipotiroid berhenti dari pengobatan tiroidnya
dan kesembuhan

psikosis yang dialami pasien terjadi setelah kembali

melanjutkan pengobatan hipotiroidnya. Namun kondisi ini tidak selalu terjadi,


ada beberapa yang tidak berjalan demikian; contohnya, psikosis pada kasus
dengan epilepsi lobus temporal muncul beberapa tahun setelah onset kejang.
Sebaliknya, kondisi atau penyakit medis juga dapat memperburuk atau memicu
relapsnya suatu skizofrenia pada pasien tanpa menjadi penyebab langsung
penyakit.

Apakah Psikosis Tidak Dapat Dijelaskan oleh Suatu Gangguan Psikotik


Primer atau Gangguan Kejiwaan Lainnya?
15

Penyakit medis penyerta sering dijumpai pada pasien-pasien dengan


gangguan psikotik kronik seperti skizofrenia. Pada beberapa kasus, bahkan jika
penyakit medis yang terjadi bersamaan dengan psikosis menimbulkan kecurigaan
adanya psikosis sekunder. Hali ini berbeda ketika pada seorang pasien ditemukan
adanya riwayat skizofrenia pada keluarga dan ciri kepribadian premorbid yang
skizoid, maka diagnosis mengarah pada skizofrenia. Sama juga halnya dengan
pasien-pasien dengan riwayat penyakit afektif yang jelas, gambaran gejala
psikotiknya cenderung berkaitan dengan penyakit afektif yang ia derita daripada
suatu penyakit medis lainnya.
Apakah Psikosis Merupakan Akibat Fisiologis Langsung dari Suatu Penyakit
Medis atau Penggunaan Zat?
Jawaban dari pertanyaan ini tergantung pertama pada apakah adanya
penyakit medis mendasar atau penggunaan zat yang mungkin merupakan agen
etiologis psikosis tersebut. Untuk menjawabnya akan membutuhkan penelusuran
riwayat, pemeriksaan fisik dan neurologis yang cermat dari dokter, disertai dengan
pemeriksaan laboratorium yang sesuai. Yang kedua, bahkan jika ada agen
penyebabnya, seringkali sulit untuk memastikan apakah gejala psikotik yang
dialami pasien merupakan akibat fisiologis langsung dari faktor etilogik tadi.
Terkadang ada kaitan langsung yang sangat jelas. Contohnya, adanya
hiperaktivitas otonom (misalnya pupil dilatasi, takikardia) yang disertai dengan
ansietas paranoid dapat menunjukkan penggunaan suatu agen simpatomimetik
seperti amfetamin, feniklidin, atau adanya tumor adrenal.
Pada setiap pasien dengan episode psikotik yang pertama, penting untuk
memperoleh riwayat pasien secara detil dan pemeriksaan fisik lengkap, termasuk
juga pemeriksaan neurologis dan evaluasi laboratorium untuk menyingkirkan
kemungkinan gangguan medis yang biasa terjadi (Tabel 2). Pemeriksaan lainnya
seperti brain imaging, pemeriksaan LCS dan studi elektrofisiologi mungkin juga
diperlukan, khususnya pada pasien-pasien dengan gambaran psikosis atipikal dan
pada pasien yang masih ada kecurigaan psikosis primer.

16

Pertanyaan tentang apakah dengan melakukan scan otak pada pasien


dengan kecurigaan skizofrenia pada praktik medis rutin masih diperdebatkan.
Ketika scan otak, biasanya secara struktural (MRI atau CT-scan), dilakukan secara
klinis sebagai bagian dari pemeriksaan penunjang pada pasien psikotik, tujuannya
adalah untuk menyingkirkan kemungkinan adanya lesi desak ruang atau
malformasi sebagai sesuatu yang berpotensi menyebabkan terjadinya psikosis.
Walaupun temuan insidental (tidak sengaja) yang dilaporkan dalam suatu
pemeriksaan MRI pada pasien yang menunjukkan gejala psikosis, dan memang
bisa terjadi bahkan pada orang yang sehat, temuan seperti itu sangat jarang
dijumpai. Sehingga, tanpa adanya analisis kuantitatif, brain imaging rutin tidak
dapat membantu dalam menentukan diferensial diagnosis psikosis tanpa
mempertimbangkan gambaran klinis pasiennya.

DAPATKAH PSIKOSIS SEKUNDER MENJELASKAN PATOFISIOLOGI


SKIZOFRENIA?
Skizofrenia, suatu penyakit yang banyak ditemui dan sangat menimbulkan
kecacatan (disabling) dengan penyebab yang tidak jelas, adalah suatu entitas
heterogen luas yang mungkin terdiri dari beberapa gangguan psikotik idiopatik.
Untuk mengungkap kompleksitas dari skizofrenia, penting untuk mengidentifikasi
sub-subkelompok

homogen

dalam

skizofrenia

untuk

lebih

mencirikan

patofisiologinya. Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah dengan


menyelidiki sindrom-sindrom dengan etiologi yang sudah diketahui dengan baik
yang menunjukkan gambaran klinis sama dengan skizofrenia, yaitu, fenokopi dari
penyakit ini.
Untuk mengidentifikasi fenokopi yang sesuai dengan skizofrenia untuk
dipelajari, pertama kita perlu mendefinisikan apa yang telah kita ketahui tentang
patofisiologi skizofrenia. Pada tingkat anatomi, skizofrenia ditandai dengan
kelainan struktural otak di regio frontalis, temporal, parietal, ganglia basalis,
talamus, dan daerah limbik. Studi pencitraan fungsional menunjukkan adanya

17

gangguan fungsi daerah prefrontal (hipofrontalitas) dan gangguan pada


konektivitas inter dan intrahemisfer. Pada tingkat neurokimiawi, ada semakin
banyak bukti yang mengarah pada adanya disfungsi dopaminergik, glutamatergik
dan GABAergik dalam patofisiologi psikosis, dengan hipotesis hipofungsi NMDA
(N-methyl D-aspartat) sebagai teori utama untuk menjelaskan patogenesis
skizofrenia. Beberapa bukti juga mengarah pada adanya perubahan dalam
mekanisme stres oksidatif dan imunitas tubuh pada skizofrenia. Dari sudut sudut
pandang etiologis, skizofrenia sangat dianggap bersifat diwariskan (heritabilitas
>70%), namun faktor-faktor lingkungan termasuk virus, penyalahgunaan obat,
trauma kepala, dan komplikasi obstetrik juga turut berdampak sebagai penyebab
skizofrenia. Sehingga skizofrenia cenderung merupakan gejala-gejala penyakit
yang muncul dari kombinasi antara kerentanan genetik dengan stressor
lingkungan.
Mengingat heterogenitas substansi dari skizofrenia, akan sulit untuk
membayangkan setiap individu dengan psikosis sekunder menjadi suatu model
yang adekuat untuk dapat menjelaskan semua aspek gangguan pada skizofrenia.
Tidak mengherankan, beberapa gangguan psikotik ,yang berasal dari faktor-faktor
etiologi yang tercantum dalam Tabel 2, menunjukkan kesamaan hanya sebagian
saja terkait dengan apa yang secara klinis kita identifikasi sebagai skizofrenia.
Akan tetapi pada beberapa gangguan, cenderung lebih sering menunjukkan
gambaran klinis, patofisiologi, etiologi yang paralel dengan skizofrenia; kami
membahasnya secara singkat karena dapat memberikan petunjuk untuk lebih
memahami skizofrenia.
Epilepsi Lobus Temporal: Sebuah Model Anatomi Skizofrenia
Psikosis muncul dan terjaid pada 7-11% pasien dengan epilepsi, angka ini
jauh lebih banyak daripada pada populasi umum. Psikosis, ketika terjadi pada
epilepsi lobus temporal, dianggap sangat menyerupai skizofrenia, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Slater pada makalahnya. Psikosis yang muncul pada epilepsi
lobus temporal dihubungkan dengan onset epilepsi pada usia di bawah 20 tahun,

18

dengan riwayat epilepsi yang menetap selama lebih dari 10 tahun, dan dengan
riwayat kejang parsial kompleks, serta lesi pada lobus kiri.
Kejadian psikosis pada epilepsi lobus temporal sesuai dengan perubahan
struktur lobus temporal medial yang dilaporkan juga terjadi pada skizofrenia.
Secara khusus, gejala-gejala positif seperti halusinasi auditorik dan gangguan
pikiran formal juga dikaitkan dengan perubahan struktural pada area asosiasi
auditorik di gyrus temporalis superior. Gejala-gejala positif psikotik yang
menonjol pada epilepsi lobus temporal mengarah pada pertanyaan apakah
mungkin ada kemiripan antara epilepsi lobus temporal dengan model
neurokimiawi skizofrenia. Ando et al. meneliti perubahan pada sistem
dopaminergik sentral dalam model kainate epilepsi lobus temporal dengan
menggunakan aktivitas lokomotor yang diinduksi oleh methamphetamine sebagai
indeks sensitivitas dopaminergik pada tikus dewasa. Mereka menemukan bukti
bahwa hipersensitivitas dopaminergik, yang dapat menguraikan mekanisme yang
mendasari psikosis epilepsi secara jelas, juga dapat menunjukkan perubahan yang
sama pada psikosis idiopatik.
Sindrom Velokardiofasial (VCFS): Sebuah Model Genetik Skizofrenia
Etiologi skizofrenia masih belum jelas, telah disepakati secara luas bahwa
faktor genetik memiliki peranan dalam skizofrenia, dengan perkiraan heritabilitas
di atas 70%. Saat ini, skizofrenia dianggap bersifat poligenik dan multifaktor,
dengan sebagian kecil kasus disebabkan oleh variasi jumlah kopi genetik, seperti
mikrodelesi atau mikroduplikasi regio kromosom. Sebagian besar etiologi genetik
skizofrenia tetap belum dapat dipetakan, dan masih memerlukan penelitian
sindrom genetik diskrit yang muncul dengan gambaran menyerupai skizofrenia.
VCFS ditandai dengan delesi besar pada satu kopi kromosom 22
(mengandung sampai dengan 30 gen), yang dapat dideteksi dengan uji genetik.
Hal ini merupakan mikrodelesi kromosom yang paling sering terjadi pada
manusia, dan ditandai dengan adanya kelainan jantung bawaan, dismorfisme
fasial, dan defisit kognitif pada masa kanak-kanak. Sebagian besar individu yang

19

menderita kelainan kromosom ini akan mengalami penyakit psikiatri di masa


remaja atau dewasa mudanya, dengan spektrum gangguan skizofrenia terjadi pada
25-30% dari kelompok individu ini.
VCFS dapat menjadi model hubungan antara liabilitas genetik dan risiko
manifestasi simtomatik dari skizofrenia. Defisit kognitif pada skizofrenia
memiliki keterkaitan dengan polimorfisme gen yang mengkodekan COMT
(catechol O-methyltransferase), suatu enzim yang terlibat dalam proses degradasi
dopamin. Individu yang menderita polimorfisme Val/Val akan mengalami
pengurangan jumlah dopamin prefrontal karena adanya peningkatan aktivitas
COMT, dan akibatnya, dapat terjadi gangguan fungsi kognitif. VCFS berkaitan
dengan gangguan kognitif yang mirip dengan yang terlihat pada skizofrenia,
termasuk defisit kontrol eksekutif, defiit memori, dan perhatian. Individu dengan
VCFS yang memiliki genotip COMT ValMet hemizigot telah terbukti mengalami
peningkatan kognisi berhubungan dengan penurunan enzim pendegradasi
dopamin. Abnormalitas morfologi otak, termasuk hilangnya substansia grisea
cingulata dan prefrontal, yang ditemukan pada skizofrenia, juga bisa ditemukan
pada VCFS, dan kelainan tersebut tampaknya berkorelasi dengan gangguan
kognitif. Studi longitudinal menunjukkan bahwa perubahan struktur otak pada
VCFS muncul untuk memprediksi timbulnya gejala psikotik, meskipun
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi tanda khas VCFS secara
neurobiologis dan genotipik yang terus berkembang menjadi psikosis sekunder.
Studi-studi seperti ini, yang berbasis neurobiologis psikosis pada VCFS akan
membantu mengraikan patofisiologi setidaknya 1 subkelompok pasien dengan
skizofrenia.
Ensefalitis NMDA: Sebuah Model Patofisiologis Skizofrenia
Meskipun telah ada kemajuan dalam pemahaman kita terkait substratsubstrat patofisiologi skizofrenia, disfungsi inti tetap diperdebatkan. Sebuah teori
mengatakan bahwa disfungsi glutamatergik dan GABAergik dapat mendasari
patofisiologi terjadinya psikosis, yang mungkin melalui hipofungsi reseptor

20

NMDA glutamatergik. Model ini didukung oleh pengamatan klinis psikosis yang
sangat mirip dengan skizofrenia yang disebabkan oleh antagonis reseptor NMDA
feniklidin, serta melalui pengamatan neuropatologi adanya perubahan ikatan
reseptor NMDA dan ekspresi pada otak pasien postmortem yang dulunya
mengalami skizofrenia. Oleh karena itu, reseptor NMDA dapat menjadi suatu
model biologis alami untuk penelitian lebih lanjut dan dapat memberikan
wawasan tentang heterogentita fisiologis skizofrenia yang begitu kompleks.
Disfungsi glutamatergik dapat disebabkan karena gagalnya regulasi yang
dimediasi oleh GABA terutama pada neuron piramidal glutamatergik. Teori ini
didukung oleh adanya pengamatan bahwa terjadi penurunan sintesis GABA, yang
dicerminkan oleh turunnya aktivitas neuronal dari GAD67 (Glutamic acid
decarboxylase isoform 67-kDa), pada pasien-pasien skizofrenia. Perlu untuk
menggambarkan hubungan antara model perubahan NMDA GABA dengan teori
modulasi sistem umun pada skizofrenia; penelitian lebih lanjut tentang bentuk
psikosis sekunder yang sesuai dapat menjadi salah satu cara untuk menjelaskan
model ini lebih mendalam.
Bentuk psikosis sekunder yang menarik yang mengarah pada adanya
hipofungsionasi resptor NMDA dapat memberikan wawasan terkait patofisiologi
skizofrenia. Sejak tahun 2007, banyak laporan kasus yang menggambarkan
bentuk ensefalitis dimana pada pasien menunjukkan gejala-gejala neurologis dan
psikiatris diketahui memiliki autoantibodi positif terhadap heteromer NR1/NR2
dari reseptor NMDA. Dalmau dkk. meneliti 100 pasien dengan ensefalitis reseptor
NMDA dan menemukan bahwa 77% pasien menunjukkan berbagai gejala
psikiatrik termasuk ansietas, insomnia, rasa takut, rasa kebesaran, delusi,
hipereligius, mania, dan paranoid.
Suatu model yang mengintegrasikan ensefalitis reseptor NMDA dengan
disfungsi GABA/glutamat diantaranya adalah gagasan bahwa penurunan reseptor
NMDA yang dimediasi oleh antibodi dapat menginaktivasi neuron GABAergik,
yang mana pada kondisi normal dapat menghambat glutamat ekstraseluler. Tanpa

21

adanya proses yang meregulasi GABA, glutamat berlebihan yang dihasilkan dapat
menyebabkan dan memperburuk psikosis. Mekanisme serupa dapat dijumpai pada
skizofrenia, meskipun bukti definitif perubahan neurotransmisi glutamatergik di
otak pada skizofrenia belum dapat ditemukan. Reseptor NMDA memberikan
gambaran mekanisme biologis terjadinya psikosis yang membutuhkan penelitian
lebih lanjut, dengan kemungkinan bahwa variasi alami dari disfungsi reseptor
NMDA dapat memberikan informasi tentang heterogenitas patofisiologi
skizofrenia yang kompleks.

KESIMPULAN
Perbedaan riwayat antara penyakit organik (atau sturktural) dan fungsional
(murni fisiologis) belum dapat membantu praktik di lapangan dan menghambat
investigasi yang sistematis terkait gangguan-gangguan yang sebelumnya dianggap
murni bersifat psikologis. Klasifikasi gangguan psikiatri menjadi kelompok
dengan atau tanpa etiologi yang dapat diidentifikasi menjadi lebih bermakna
secara klinis.
Identifikasi penyebab kondisi medis yang mendasari, penyebab toksik,
atau iatrogenik pada pasien dengan gambaran psikosis merupakan suatu tantangan
secara diagnostik. Anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik, dan melakukan
pemeriksaan penunjang secara bijaksana, dipadu dengan pemikiran yang penuh
informasi, tentunya dapat membantu dokter untuk sampai pada diagnosis dan
intervensi yang optimal, yang bisa sangat memuaskan.
Dalam hal penyebab psikosis sekunder, dokter-ilmuwan juga memperoleh
wawasan terkait patofisiologi dan etiologi gangguan psikosis primer seperti
skizofrenia.

Tabel 1. Kemungkinan Penyebab Psikosis Sekunder

22

Contoh
Trauma

Pemeriksaan

Cedera traumatik pada CT-scan, MRI


kepala

Gangguan autoimun

SLE, Ensefalitis reseptor Titer autoantibodi


NMDA

Gangguan sitogenetik / Sindroma


kongenital

Kariotyping, MRI

velokardiofasial, agenesis
korpus kallosum

Gangguan

akibat PCP,

Racun/Zat

MDMA,

LSD, Penelusuran

kanabis,

alkohol, medikasi; skrining urine,

keracunan merkuri atau skrining


arsen
Gangguan iatrogenik

riwayat

logam

berat;

percobaan agen penyebab

Antimalaria,

steroid, Penelusuran

isoniazid

riwayat

medikasi; percobaan agen


penyebab

Gangguan

Stroke;

serebrovaskuler

subdural

Gangguan

lesi

hematoma CT-scan, MRI

desak Tumor cerebri

CT-scan, MRI

ruang
Gangguan metabolik

Feokromositoma,

Katekolamin urine; kadar

lukodistrofi

arylsulphatase-A. Kadar

metakromatik,

penyakit tembaga

Wilson
Gangguan diet

dan

seruloplasmin

Pellagra, defisiensi B12; Kadar B12, folat, D3


defisiensi vitamin D

Gangguan infeksi/Sepsis

Neurosifilis,

RPR

untuk

toksoplasmosis, HIV

menyingkirkan

sifilis,

titer antibodi HIV, kadar


glukosa,

protein

pada

23

LCS
Penyebab
diketahui

tidak Demensia Lewi, penyakit MRI,


/

penykit Parkinson,

degeneratif

/ multipel,

CT-scan,

EEG,

sklerosis potensi bangkitan


ataksia

demielinisasi

Fredreich

Gangguan kejang

Kejang kompleks parsial, EEG, termasuk deprivasi


epilepsi lobus temporal

tidur;

EEG

telemetrik

jika diperlukan
Gangguan endokrin

Hipertiroid,

hipotiroid, Kadar

hiperparatiroid

kalsium

serum,

hormon tiroid/paratiroid

Tabel 2. Pendekatan Untuk Pemerikaan Pasien Guna Menyingkirkan


Psikosis Sekunder
Penilaian lini pertama (dipertimbangkan untuk dilakukan secara rutin pada semua
pasien dengan psikosis episode pertama)
-

Riwayat medis dan neurologis/psikiatrik yang mendetil

Pemeriksaan fisik/neurologis

Tes neuropsikologi

Tes laboratorium: darah lutin lengkap dan hitung jenis, LED, glukosa,
elektrolit, tes fungsi tiroid, tes fungsi hati, skrining urine

Penilaian lini kedua (dipertimbangkan untuk dilakukan apabila penilaian diatas


menunjukkan kemungkinan diagnostik spesifik)
-

Tes laboratorium: reagen plasma rapid untuk menyingkirkan sifilis; tes


HIV; logam berat dalam serum; kadar tembaga dan seruloplasmin; kadar
kalsium dalam serum; titer antibodi (yaitu, antibodi antinuclear untuk
lupus); B12, kadar folat; kadar arylsuphatase-A; toksikologi dan kultur

24

urine, skrining obat (narkotika)


-

Neuroimaging: CT-scan, MRI, tomografi emisi positron, tomografi emisi


proton tunggal

EEG, polisomnografi, potensi bangkitan

Pemerikaan LCS: glukosa, protein, kultur, antigen kriptokokus

Kariotyping

DAFTAR PUSTAKA

Mendel LB. The American Physiological Society. Science 1907;


26:765.
2. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual
of mental disorders, 4th ed., text revision. Washington: American
Psychiatric Association, 2000.

25

3. Fujii D, Ahmed I. Characteristics of psychotic disorder due to


traumatic brain injury: an analysis of case studies in the literature.
J Neuropsychiatry Clin Neurosci 2002;14:130-40.
4. Acht_e KA, Hillbom E, Aalberg V. Psychoses following war brain
injuries. Acta Psychiatr Scand 1969;45:1-18.
5. Silver JM, Kramer R, Greenwald S et al. The association between
head injuries and psychiatric disorders: findings from the New
Haven NIMH Epidemiologic Catchment Area Study. Brain Inj
2001;15:935-45.
6. Harrison G, Whitley E, Rasmussen F et al. Risk of schizophrenia
and other non-affective psychosis among individuals exposed to
head injury: case control study. Schizophr Res 2006;88:119-26.
7. David AS, Prince M. Psychosis following head injury: a critical
review. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2005;76 (Suppl. 1):i53-60.
8. Sachdev P, Smith JS, Cathcart S. Schizophrenia-like psychosis
following traumatic brain injury: a chart-based descriptive and
case-control study. Psychol Med 2001;31:231-9.
9. Cutting J. The phenomenology of acute organic psychosis. Comparison
with acute schizophrenia. Br J Psychiatry 1987;151:324-32.
10. Miller BL, Benson DF, Cummings JL et al. Late-life paraphrenia:
an organic delusional syndrome. J Clin Psychiatry 1986;47:204-7.
11. Sibley JT, Olszynski WP, Decoteau WE et al. The incidence and
prognosis of central nervous system disease in systemic lupus erythematosus.
J Rheumatol 1992;19:47-52.
12. Stojanovich L, Zandman-Goddard G, Pavlovich S et al. Psychiatric
manifestations in systemic lupus erythematosus. Autoimmun
Rev 2007;6:421-6.
13. Pego-Reigosa JM, Isenberg DA. Psychosis due to systemic lupus
erythematosus: characteristics and long-term outcome of this rare
manifestation of the disease. Rheumatology 2008;47:1498-502.
14. Appenzeller S, Cendes F, Costallat LTL. Acute psychosis in systemic
lupus erythematosus. Rheumatol Int 2008;28:237-43.
15. Ward MM, Studenski S. The time course of acute psychiatric episodes
in systemic lupus erythematosus. J Rheumatol 1991;18:535-9.
16. Carrieri PB, Montella S, Petracca M. Psychiatric onset of multiple
sclerosis: description of two cases. J Neuropsychiatry Clin Neurosci
2011;23:E6.
17. Kosmidis MH, Giannakou M, Messinis L et al. Psychotic features
associated with multiple sclerosis. Int Rev Psychiatry 2010;22:
55-66.
18. Lee M-J, Lee H-S, Hwang J-S et al. A case of Hashimotos encephalopathy
presenting with seizures and psychosis. Korean J
Pediatr 2012;55:111-3.
19. de Holanda N, de Lima D. Hashimotos encephalopathy: systematic
review of the literature and an additional case. J Neuropsychiatry
Clin Neurosci 2011;23:384-90.

26

20. Shprintzen RJ, Goldberg R, Golding-Kushner KJ et al. Late-onset


psychosis in the velo-cardio-facial syndrome. Am J Med Genet
1992;42:141-2.
21. Pulver AE, Nestadt G, Goldberg R et al. Psychotic illness in
patients diagnosed with velo-cardio-facial syndrome and their relatives.
J Nerv Ment Dis 1994;182:476-8.
22. Papolos DF, Faedda GL, Veit S et al. Bipolar spectrum disorders
in patients diagnosed with velo-cardio-facial syndrome: does a
hemizygous deletion of chromosome 22q11 result in bipolar
affective disorder? Am J Psychiatry 1996;153:1541-7.
23. Murphy KC, Jones LA, Owen MJ. High rates of schizophrenia in
adults with velo-cardio-facial syndrome. Arch Gen Psychiatry
1999;56:940-5.
24. Chow EWC, Watson M, Young DA et al. Neurocognitive profile
in 22q11 deletion syndrome and schizophrenia. Schizophr Res
2006;87:270-8.
25. Vogels A, Matthijs G, Legius E et al. Chromosome 15 maternal
uniparental disomy and psychosis in Prader-Willi syndrome. J
Med Genet 2003;40:72-3.
26. Vogels A, De Hert M, Descheemaeker MJ et al. Psychotic disorders
in Prader-Willi syndrome. Am J Med Genet A 2004;15;
127A:238-43.
27. Folstein SE, Chase GA, Wahl WE et al. Huntington disease in
Maryland: clinical aspects of racial variation. Am J Hum Genet
1987;41:168-79.
28. Shiwach R. Psychopathology in Huntingtons disease patients.
Acta Psychiatr Scand 1994;90:241-6.
29. Bourgeois JA. Fahrs disease a model of neuropsychiatric illness
with cognitive and psychotic symptoms. Acta Psychiatr Scand
2010;121:78.
30. Shakibai SV, Johnson JP, Bourgeois JA. Paranoid delusions and
cognitive impairment suggesting Fahrs disease. Psychosomatics
2005;46:569-72.
31. Curran C, Byrappa N, McBride A. Stimulant psychosis: systematic
review. Br J Psychiatry 2004;185:196-204.
32. Post RM. Cocaine psychoses: a continuum model. Am J Psychiatry
1975;132:225-31.
33. Thirthalli J, Benegal V. Psychosis among substance users. Curr
Opin Psychiatry 2006;19:239-45.
34. Fergusson DM, Horwood LJ, Swain-Campbell NR. Cannabis dependence
and psychotic symptoms in young people. Psychol Med
2003;33:15-21.
12 World Psychiatry 12:1 - February 2013
35. Fergusson DM, Horwood LJ, Ridder EM. Tests of causal linkages
between cannabis use and psychotic symptoms. Addiction 2005;
100:354-66.

27

36. Erard R, Luisada PV, Peele R. The PCP psychosis: prolonged


intoxication or drug-precipitated functional illness? J Psychedelic
Drugs 1980;12:235-51.
37. Jansen KL. A review of the nonmedical use of ketamine: use,
users and consequences. J Psychoactive Drugs 2000;32:419-33.
38. Hambrecht M, Hafner H. Do alcohol or drug abuse induce schizophrenia?
Nervenarzt 1996;67:36-45.
39. Dalmau A, Bergman B, Brismar B. Psychotic disorders among
inpatients with abuse of cannabis, amphetamine and opiates. Do
dopaminergic stimulants facilitate psychiatric illness? Eur Psychiatry
1999;14:366-71.
40. Cami J, Farr_e M, Mas M et al. Human pharmacology of 3,4methylenedioxymethamphetamine
(ecstasy): psychomotor performance
and subjective effects. J Clin Psychopharmacol 2000;20:45566.
41. Cole JC, Sumnall HR. Altered states: the clinical effects of Ecstasy.
Pharmacol Ther 2003;98:35-58.
42. Kahan VL. Paranoid states occurring in leaded-petrol handlers. J
Ment Sci 1950;96:1043-7.
43. Schenk VW, Stolk PJ. Psychosis following arsenic (possibly thallium)
poisoning. A clinical-neuropathological report. Psychiatr
Neurol Neurochir 1967;70:31-7.
44. Dubovsky AN, Arvikar S, Stern TA et al. The neuropsychiatric
complications of glucocorticoid use: steroid psychosis revisited.
Psychosomatics 2012;53:103-15.
45. Feinberg M. The problems of anticholinergic adverse effects in
older patients. Drugs Aging 1993;3:335-48.
46. Peters NL. Snipping the thread of life. Antimuscarinic side effects
of medications in the elderly. Arch Intern Med 1989;149:241420.
47. Schor JD, Levkoff SE, Lipsitz LA et al. Risk factors for delirium in
hospitalized elderly. JAMA 1992;267:827-31.
48. Marcantonio ER, Juarez G, Goldman L et al. The relationship of
postoperative delirium with psychoactive medications. JAMA
1994;272:1518-22.
49. Schrestha S, Alao A. Isoniazid-induced psychosis. Psychosomatics
2009;50:640-1.
50. Tran TM, Browning J, Dell ML. Psychosis with paranoid delusions
after a therapeutic dose of mefloquine: a case report. Malar
J 2006;5:74.
51. Alisky JM, Chertkova EL, Iczkowski KA. Drug interactions and
pharmacogenetic reactions are the basis for chloroquine and
mefloquine-induced psychosis. Med Hypotheses 2006;67:1090-4.
52. Gustafson Y, Berggren D, Brannstrom B et al. Acute confusional
states in elderly patients treated for femoral neck fracture. J Am

28

Geriatr Soc 1988;36:525-30.


53. Meador KJ. Cognitive side effects of antiepileptic drugs. Can J
Neurol Sci 1994;21:S12-6.
54. Inouye SK, Charpentier PA. Precipitating factors for delirium in
hospitalized elderly persons. Predictive model and interrelationship
with baseline vulnerability. JAMA 1996;275:852-7.
55. Bowen JD, Larson EB. Drug-induced cognitive impairment.
Defining the problem and finding solutions. Drugs Aging 1993;
3:349-57.
56. Martin NJ, Stones MJ, Young JE et al. Development of delirium: a
prospective cohort study in a community hospital. Int Psychogeriatr
2000;12:117-27.
57. Snavely S. The neurotoxicity of antibacterial agents. Ann Intern
Med 1984;101:92-104.
58. Almeida OP, Xiao J. Mortality associated with incident mental
health disorders after stroke. Aust N Z J Psychiatry 2007;41:27481.
59. Kumral E, Ozturk O. Delusional state following acute stroke.
Neurology 2004;62:110-3.
60. Nagaratnam N, ONeile L. Delusional parasitosis following occipitotemporal cerebral infarction. Gen Hosp Psychiatry 2000;
22:129-32.
61. Beniczky S, K_eri S, Voros E et al. Complex hallucinations following
occipital lobe damage. Eur J Neurol 2002;9:175-6.
62. Nye E, Arendts G. Intracerebral haemorrhage presenting as olfactory
hallucinations. Emerg Med 2002;14:447-9.
63. Starkstein S, Robinson R. Post-stroke hallucinatory delusional
syndromes. Neuropsychiatry Neuropsychol Behav Neurol 1992;
5:114-8.
64. Lyketsos CG, Steinberg M, Tschanz JT et al. Mental and behavioral
disturbances in dementia: findings from the Cache County
Study on Memory in Aging. Am J Psychiatry 2000;157:708-14.
65. Sachdev PS, Keshavan MS. Secondary schizophrenia. Cambridge:
Cambridge University Press, 2010.
66. Waggoner RW, Bagchi BK. Initial masking of organic brain
changes by psychic symptoms: clinical and electroencephalographic
studies. Am J Psychiatry 1954;110:904-10.
67. Klotz M. Incidence of brain tumors in patients hospitalized for
chronic mental disorders. Psychiatr Q 1957;31:669-80.
68. Larson C. Intracranial tumors in mental hospital patients a statistical
study. Am J Psychiatry 1940;97:49-58.
69. Mulder DW, Daly D. Psychiatric symptoms associated with
lesions of temporal lobe. JAMA 1952;150:173-6.
70. Selecki BR. Intracranial space-occupying lesions among patients
admitted to mental hospitals. Med J Aust 1965;1:383-90.
71. Malamud N. Psychiatric disorder with intracranial tumors of limbic

29

system. Arch Neurol 1967;17:113-23.


72. Galasko D, Kwo-On-Yuen PF, Thal L. Intracranial mass lesions
associated with late-onset psychosis and depression. Psychiatr
Clin North Am 1988;11:151-66.
73. Edwards-Lee T. Focal lesions and psychosis. In: Bogousslavsky J,
Cummings JL (eds). Behavior and mood disorders. Cambridge:
Cambridge University Press, 2000:419-36.
74. Davison K, Bagley CR. Schizophrenia-like psychoses associated
with organic disorder of the central nervous system: a review of
the literature. In: Herrington RN (ed). Current problems in neuropsychiatry.
Ashford: Headley Brothers, 1969:1-45.
75. Hollister LE, Boutros N. Clinical use of CT and MR scans in psychiatric
patients. J Psychiatry Neurosci 1991;16:194-8.
76. Benes F. Why does psychosis develop during adolescence and
early adulthood? Curr Opin Psychiatry 2003;16:317-9.
77. Feinberg I. Schizophrenia: caused by a fault in programmed synaptic
elimination during adolescence? J Psychiatr Res 1982; 17:319-34.
78. Benes FM. Myelination of cortical-hippocampal relays during
late adolescence. Schizophr Bull 1989;15:585-93.
79. Weinberger DR, Lipska BK. Cortical maldevelopment, anti-psychotic
drugs, and schizophrenia: a search for common ground.
Schizophr Res 1995;16:87-110.
80. Mizukami K, Sasaki M, Suzuki T et al. Central nervous system
changes in mitochondrial encephalomyopathy: light and electron
microscopic study. Acta Neuropathol 1992;83:449-52.
81. Suzuki T, Koizumi J, Shiraishi H et al. Psychiatric disturbance in
mitochondrial encephalomyopathy. J Neurol Neurosurg Psychiatry
1989;52:920-2.
82. Amemiya S, Hamamoto M, Goto Y et al. Psychosis and progressing
dementia: presenting features of a mitochondriopathy. Neurology
2000;55:600-1.
83. Huang CC, Chu NS. Wilsons disease: clinical analysis of 71 cases
and comparison with previous Chinese series. J Formos Med
Assoc 1992;91:502-7.
84. Rathbun J. Neuropsychological aspects of Wilsons disease. Int J
Neurosci 1996;85:221-9.
85. Wilson S. Progressive lenticular degeneration. BMJ 1912; 2:1645.4.
86. Lindenbaum J, Healton EB, Savage DG et al. Neuropsychiatric
disorders caused by cobalamin deficiency in the absence of anemia
or macrocytosis. N Engl J Med 1988;318:1720-8.
13
87. Hutto BR. Folate and cobalamin in psychiatric illness. Compr
Psychiatry 1997;38:305-14.
88. Evans DL, Edelsohn GA, Golden RN. Organic psychosis without
anemia or spinal cord symptoms in patients with vitamin B12
deficiency. Am J Psychiatry 1983;140:218-21.

30

89. Masalha R, Chudakov B, Muhamad M et al. Cobalamin-responsive


psychosis as the sole manifestation of vitamin B12 deficiency.
Isr Med Assoc J 2001;3:701-3.
90. Payinda G, Hansen T. Vitamin B(12) deficiency manifested as
psychosis without anemia. Am J Psychiatry 2000;157:660-1.
91. Levitt AJ, Joffe RT. Vitamin B12 in psychotic depression. Br J Psychiatry
1988;153:266-7.
92. Godfrey PS, Toone BK, Carney MWet al. Enhancement of recovery
from psychiatric illness by methylfolate. Lancet 1990;
336:392-5.
93. Prakash R, Gandotra S, Singh LK et al. Rapid resolution of delusional
parasitosis in pellagra with niacin augmentation therapy.
Gen Hosp Psychiatry 2008;30:581-4.
94. Rudin DO. The major psychoses and neuroses as omega-3 essential
fatty acid deficiency syndrome: substrate pellagra. Biol Psychiatry
1981;16:837-50.
95. Hare EH. The origin and spread of dementia paralytica. J Ment
Sci 1959;105:594-626.
96. Sobhan T, Rowe HM, Ryan WG et al. Unusual case report: three
cases of psychiatric manifestations of neurosyphilis. Psychiatr
Serv 2004;55:830-2.
97. Klaus MV, Amarante L, Beam TR. Routine screening for syphilis
is justified in patients admitted to psychiatric, alcohol, and drug
rehabilitation wards of the Veterans Administration Medical Center.
Arch Dermatol 1989;125:1644-6.
98. Hutto B. Syphilis in clinical psychiatry: a review. Psychosomatics
2001;42:453-60.
99. Taycan O, Ugur M, Ozmen M. Quetiapine vs. risperidone in treating
psychosis in neurosyphilis: a case report. Gen Hosp Psychiatry
2006;28:359-61.
100. Guler E, Leyhe T. A late form of neurosyphilis manifesting with
psychotic symptoms in old age and good response to ceftriaxone
therapy. Int Psychogeriatr 2011;23:666-9.
101. Sewell DD. Schizophrenia and HIV. Schizophr Bull 1996;
22:465-73.
102. Dolder CR, Patterson TL, Jeste DV. HIV, psychosis and aging:
past, present and future. AIDS 2004;18 (Suppl. 1):S35-42.
103. Harris MJ, Jeste DV, Gleghorn A et al. New-onset psychosis in
HIV-infected patients. J Clin Psychiatry 1991;52:369-76.
104. Shedlack KJ, Soldato-Couture C, Swanson CL. Rapidly progressive
tardive dyskinesia in AIDS. Biol Psychiatry 1994;35:147-8.
105. Yolken RH, Dickerson FB, Fuller Torrey E. Toxoplasma and
schizophrenia. Parasite Immunol 2009;31:706-15.
106. Torrey EF, Yolken RH. Schizophrenia and toxoplasmosis.
Schizophr Bull 2007;33:727-8.
107. Kramer W. Frontiers of neurological diagnosis in acquired toxoplasmosis.

31

Psychiatr Neurol Neurochir 1966;69:43-64.


108. Freytag HW, Haas H. Psychiatric aspects of acquired toxoplasmosis.
A case report. Nervenarzt 1979;50:128-31.
109. Brown AS. Epidemiologic studies of exposure to prenatal infection
and risk of schizophrenia and autism. Dev Neurobiol (in
press).
110. Brown AS, Begg MD, Gravenstein S et al. Serologic evidence of
prenatal influenza in the etiology of schizophrenia. Arch Gen
Psychiatry 2004;61:774-80.
111. Mortensen PB, N_rgaard-Pedersen B, Waltoft BL et al. Toxoplasma
gondii as a risk factor for early-onset schizophrenia:
analysis of filter paper blood samples obtained at birth. Biol Psychiatry
2007;61:688-93.
112. Babulas V, Factor-Litvak P, Goetz R et al. Prenatal exposure to
maternal genital and reproductive infections and adult schizophrenia.
Am J Psychiatry 2006;163:927-9.
113. Brown AS, Cohen P, Harkavy-Friedman J et al. Prenatal rubella,
premorbid abnormalities, and adult schizophrenia. Biol Psychiatry
2001;49:473-86.
114. Patten SB, Svenson LW, Metz LM. Psychotic disorders in MS:
population-based evidence of an association. Neurology 2005;
65:1123-5.
115. Feinstein A. The neuropsychiatry of multiple sclerosis. Can J
Psychiatry 2004;49:157-63.
116. Feinstein A, Boulay du G, Ron MA. Psychotic illness in multiple
sclerosis. A clinical and magnetic resonance imaging study. Br J
Psychiatry 1992;161:680-5.
117. Ropacki SA, Jeste DV. Epidemiology of and risk factors for psychosis
of Alzheimers disease: a review of 55 studies published
from 1990 to 2003. Am J Psychiatry 2005;162:2022-30.
118. Paulsen JS, Ready RE, Stout JC et al. Neurobehaviors and psychotic
symptoms in Alzheimers disease. J Int Neuropsychol Soc
2000;6:815-20.
119. Jeste DV, Finkel SI. Psychosis of Alzheimers disease and related
dementias. Diagnostic criteria for a distinct syndrome. Am J
Geriatr Psychiatry 2000;8:29-34.
120. Rapoport MJ, van Reekum R, Freedman M et al. Relationship of
psychosis to aggression, apathy and function in dementia. Int J
Geriatr Psychiatry 2001;16:123-30.
121. Gustafson L, Brun A, Passant U. Frontal lobe degeneration of
non-Alzheimer type. Baillieres Clin Neurol 1992;1:559-82.
122. Edwards-Lee T, Miller BL, Benson DF et al. The temporal variant
of frontotemporal dementia. Brain 1997;120 (Pt 6):1027-40.
123. Logsdail SJ, Toone BK. Post-ictal psychoses. A clinical and
phenomenological
description. Br J Psychiatry 1988;152:246-52.

32

124. Kanner AM, Stagno S, Kotagal P et al. Postictal psychiatric


events during prolonged video-electroencephalographic monitoring
studies. Arch Neurol 1996;53:258-63.
125. Slater E, Beard AW, Glithero E. The schizophrenia-like psychoses
of epilepsy. Br J Psychiatry 1963;109:95-150.
126. Qin P, Xu H, Laursen TM et al. Risk for schizophrenia and
schizophrenia-like psychosis among patients with epilepsy: population
based cohort study. BMJ 2005;331:23.
127. Standage KF, Fenton GW. Psychiatric symptom profiles of
patients with epilepsy: a controlled investigation. Psychol Med
1975;5:152-60.
128. Katsigiannopoulos K, Georgiadou E, Pazarlis P et al. Psychotic
disorder as a manifestation of Graves disease. Psychosomatics
2010;51:449-50.
129. Chen T-S, Wen M-J, Hung Y-J et al. A rare storm in a psychiatric
ward: thyroid storm. Gen Hosp Psychiatry 2012;34:210.e14.
130. Brownlie BE, Rae AM, Walshe JW et al. Psychoses associated
with thyrotoxicosis thyrotoxic psychosis. A report of 18
cases, with statistical analysis of incidence. Eur J Endocrinol
2000;142:438-44.
131. Rizvi AA. Thyrotoxic psychosis associated with subacute thyroiditis.
South Med J 2007;100:837-40.
132. Kobayashi N, Tajiri J, Takano M. Transient psychosis due to
painless thyroiditis in a patient with anxiety disorder: a case
report. J Med Case Reports 2011;5:534.
133. Sathya A, Radhika R, Mahadevan S et al. Mania as a presentation
of primary hypothyroidism. Singapore Med J 2009;50:e657.
134. Tor PC, Lee HY, Fones CSL. Late-onset mania with psychosis
associated with hypothyroidism in an elderly Chinese lady. Singapore
Med J 2007;48:354-7.
135. Hall R. Psychiatric effects of thyroid hormone disturbance. Psychosomatics
1983;24:7-11.
136. Heinrich TW, Grahm G. Hypothyroidism presenting as psychosis:
myxedema madness revisited. Prim Care Companion J Clin
Psychiatry 2003;5:260-6.
137. Irwin R, Ellis PM, Delahunt J. Psychosis following acute alteration
of thyroid status. Aust N Z J Psychiatry 1997;31:762-4.
14 World Psychiatry 12:1 - February 2013
138. Schofield A, Bracken P. Thyroid-induced psychosis in myxoedema.
Ir Med J 1983;76:495-6.
139. Papa A, Bononi F, Sciubba S et al. Primary hyperparathyroidism:
acute paranoid psychosis. Am J Emerg Med 2003;21:250-1.
140. Watson LC, Marx CE. New onset of neuropsychiatric symptoms
in the elderly: possible primary hyperparathyroidism. Psychosomatics
2002;43:413-7.

33

141. Velasco PJ, Manshadi M, Breen K et al. Psychiatric aspects of


parathyroid disease. Psychosomatics 1999;40:486-90.
142. Denko JD, Kaelbling R. The psychiatric aspects of hypoparathyroidism.
Acta Psychiatr Scand 1962;38 (Suppl. 164):1-70.
143. Ang AW, Ko SM, Tan CH. Calcium, magnesium, and psychotic
symptoms in a girl with idiopathic hypoparathyroidism. Psychosom
Med 1995;57:299-302.
144. Lisanby S, Kohler C, Swanson C. Psychosis secondary to brain
tumor. Semin Clin Neuropsychiatry 1998;3:12-22.
145. Illes J, Kirschen M, Edwards E et al. Incidental findings in brain
imaging research: what should happen when a researcher sees a
potential health problem in a brain scan from a research subject?
Science 2006;311:783-84.
146. Lawrie SM, Abukmeil SS, Chiswick A et al. Qualitative cerebral
morphology in schizophrenia: a magnetic resonance imaging
study and systematic literature review. Schizophr Res 1997;
24;25:155-66.
147. Keshavan MS, DeLisi LE, Seidman LJ. Early and broadly
defined psychosis risk mental states. Schizophr Res 2011;126:110.
148. Shenton ME, Whitford TJ, Kubicki M. Structural neuroimaging
in schizophrenia: from methods to insights to treatments. Dialogues
Clin Neurosci 2010;12:317-32.
149. Keshavan MS, Tandon R, Boutros NN et al. Schizophrenia, just
the facts: what we know in 2008. Part 3: Neurobiology. Schizophr
Res 2008;106:89-107.
150. Tandon R, Keshavan MS, Nasrallah HA. Schizophrenia, just
the facts: what we know in 2008. 2. Epidemiology and etiology.
Schizophr Res 2008;102:1-18.
151. Trimble M. The psychoses of epilepsy. New York: Raven, 1991.
152. Torta R, Keller R. Behavioral, psychotic, and anxiety disorders
in epilepsy: etiology, clinical features, and therapeutic implications.
Epilepsia 1999;40 (Suppl. 10):S2-20.
153. Ando N, Morimoto K, Watanabe T et al. Enhancement of central
dopaminergic activity in the kainate model of temporal lobe
epilepsy: implication for the mechanism of epileptic psychosis.
Neuropsychopharmacology 2004;29:1251-8.
154. Shashi V, Keshavan MS, Howard TD et al. Cognitive correlates
of a functional COMT polymorphism in children with 22q11.2
deletion syndrome. Clin Genet 2006;69:234-8.
155. Shashi V, Kwapil TR, Kaczorowski J et al. Evidence of gray matter
reduction and dysfunction in chromosome 22q11.2 deletion
syndrome. Psychiatry Res 2010;181:1-8.
156. Kates WR, Antshel KM, Faraone SV et al. Neuroanatomic predictors
to prodromal psychosis in velocardiofacial syndrome
(22q11.2 deletion syndrome): a longitudinal study. Biol Psychiatry

34

2011;69:945-52.
157. Olney JW, Farber NB. Glutamate receptor dysfunction and
schizophrenia. Arch Gen Psychiatry 1995;52:998-1007.
158. Moghaddam B. Bringing order to the glutamate chaos in schizophrenia.
Neuron 2003;40:881-4.
159. Harrison PJ, Law AJ, Eastwood SL. Glutamate receptors and
transporters in the hippocampus in schizophrenia. Ann N Y
Acad Sci 2003;1003:94-101.
160. Gonz_alez-Burgos G, Hashimoto T, Lewis DA. Alterations of
cortical GABA neurons and network oscillations in schizophrenia.
Curr Psychiatry Rep 2010;12:335-44.
161. Potvin S, Stip E, Sepehry AA et al. Inflammatory cytokine alterations
in schizophrenia: a systematic quantitative review. Biol
Psychiatry 2008;63:801-8.
162. Dalmau J, Tuzun E, Wu H-Y et al. Paraneoplastic anti-NmethylD-aspartate receptor encephalitis associated with ovarian
teratoma. Ann Neurol 2007;61:25-36.
163. Dalmau J, Rosenfeld MR. Paraneoplastic syndromes of the CNS.
Lancet Neurol 2008;7:327-40.
DOI 10.1002/wps.20001

35

Anda mungkin juga menyukai