Gangguan psikotik yang disebabkan karena suatu penyakit medis yang jelas atau
penggunaan substansi/zat (narkotika) umumnya diistilahkan sebagai prikosis
sekunder. Dalam makalah ini, pertama kami akan membahas evolusi sejarah dari
konsep psikosis primer vs psikosis sekunder dan bagaimana perbedaan psikosis
ini dapat menggantikan sistem klasifikasi psikosis yang salah sebelumnya, dimana
dulunya psikosis dibagi menjadi psikosis organik dan fungsional. Kemudian kami
juga akan menguraikan gambaran klinis dan pendekatan diganosis pada kasuskasus dengan gangguan psikotik sekunder. Yang terakhir, kami juga membahas
tentang bagaimana penelitian tentang gangguan psikotik sekunder dapat
membantu dalam memberikan penjelasan terkait gangguan psikotik primer, atau
yang idiopatik, seperti skizofrenia. Kami menggambarkan permasalahan ini
melalui suatu diskusi terkait 3 gangguan psikotik sekunder psikosis yang
berhubungan dengan epilepsi lobus temporal, sindroma velokardiofasial, dan
ensefalitis reseptor NMDA (N-methyl D-aspartat) yang masing-masing dari
ketiganya dapat menjadi model neuroanatomi, genetik dan neurokimiawi dari
patogenesis skizofrenia.
KATA KUNCI : Psikosis sekunder, epilepsi lobus temporal, sindroma
velokardiofasial, ensefalitis reseptor NMDA, skizofrenia.
velokardiofasial
(Velocardiofacial
syndrome,
VCFS),
dengan kondisi genetik serta psikosis, dengan 25-30% pasien dengan VCFS akan
mengalami gejala-gejala yang serupa dengan skizofrenia.
VCFS merupakan kasus yang menarik karena temuan neurokognitifnya,
abnormalitas struktur otak, gejala psikotik dan pola respon terapi yang didapati
pada pasien dengan VCFS semuanya sangat mirip dengan yang didapati pada
pasien skizofrenia.
Gangguan genetik lainnya dimana psikosis dapat terjadi antara lain pada
sindrom Prader-Willi (dimana angka skizofrenia-like psychosis yang terjadi
mencapai sekitar 16%), pada penyakit Huntington (5-16%), dan pada sindroma
Fahr.
Gangguan yang Dipicu Oleh Obat/Racun
Orang-orang yang menggunakan zat-zat psikoaktif dapat mengalami gejala
psikotik dalam berbagai macam konteks, termasuk diantaranya intoksikasi,
withdrawal (putus obat), gangguan mood dengan gambaran psikotik, dan psikosis
akibat zat (substance-induced psychosis, SIP). Pemaparan mengenai SIP yang
paling tepat adalah, kondisi-kondisi dimana psikosis mulai terjadi dalam konteks
menggunakan zat namun psikosis menetap selama beberapa hari sampai minggu
walau tanpa penggunaan zat secara berkelanjutan.
Zat-zat yang memiliki kandungan psikotogenik paling nyata antara lain
golongan stimulan (amfetamin, kokain), kanabis, dan psikotomimetik (fensiklidin,
ketamin). Opiat dan nikotin tidak terlalu nyata dalam menimbulkan gambaran
psikosis, sedangkan alkohol dan benzodiazepin dapat memicu psikosis hanya pada
kondisi putus obat yang akut. Lysergic acid diethylamide dan MDMA (3,4methylenedioxy-N-methylamphetamine) dapat menimbulkan halusinan pada
intoksikasi akut, namun tidak ada bukti yang jelas yang menunjukkan bahwa obatobat ini dapat memicu gangguan psikotik yang terus-menerus.
Interaksi antara kerentanan terhadap gangguan psikotik dan terhadap
gangguan penyalahgunaan zat bersifat kompleks, bukti yang ada menujukkan
obat-obatan
dengan
kandungan
antikolinergik
dan
golongan
Gangguan Serebrovaskuler
Prevalensi psikosis pasca-stroke diperkirakan sekitar 3-4 %. Gejala
psikotik dapat terjadi dalam hubungannya dengan stroke di berbagai daerah otak,
namun yang paling banyak dijumpai adalah lesi temporo-parietal-oksipital. Sifat
gejala psikotik yang ditunjukkan berbeda dari skizofrenia, dengan psikosis pascastroke psikosis lebih cenderung melibatkan halusinasi visual, taktil, dan
penciuman. Perilaku halusinasi pada pasien pasca-stroke diklasifikasikan menjadi
halusinasi murni dan halusinosis, dimana pada halusinosis ada ego-distonia dan
tilikan terhadap kenyataan bahwa persepsi tersebut tidaklah nyata.
Telah ada beberapa studi sistematis yang menyelidiki hubungan antara
demensia vaskuler dengan munculnya gejala psikotik, meskipun angka kejadian
psikosis pada demensia vaskuler dan demensia Alzheimer adalah sama, fakta
tersebut bertentangan dengan mekanisme psikotogenik tertentu pada gangguan
serebrovaskular.
Berbagai penelitian yang mencari bukti cedera serebrovaskular pada
pasien-pasien yang mengalami gejala psikotik onset-akhir menunjukkan hasil
yang saling bertentangan. Berdasarkan data terbatas yang tersedia saat ini, sulit
untuk menyimpulkan sejauh mana predisposisi penyakit serebrovaskular
berdiposisi terhadap timbulkan gejala psikotik pada pasien, dan diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk memastikan atau menyangkal adanya kaitan ini.
Gangguan Lesi Desak Ruang Intrakranial
Tumor otak walaupun jarang, namun penting sebagai salah satu penyebab
psikosis sekunder. Bukti mengatkan bahwa prevalensi tumor intrakranial semakin
meningkat pada pasien-pasien dengan gangguan psikiatri. Secara simtomatis,
psikosis yang disebabkan karena tumor intrakranial dapat dibedakan dari
skizofrenia, walaupun psikosis yang terjadi lebih cenderung berhubungan dengan
halusinasi visual, delusi, dan tidak adanya gangguan pikiran formal.
Tumor yang terletak di lobus temporal atau struktur limbik adalah yang
paling sering menyebabkan psikosis, dimana pada suatu penelitian ditunjukkan
bahwa 20% tumor di lobus temporal berakibat pada gejala-gejala psikotik. Telah
ditunjukkan adanya kaitan antara jenis histologis tumor dan angka kejadian
psikosis. Walaupun tumor berderajat rendah dan tumbuh lambat, tumor dapat
menyebabkan gejala psikotik tanpa menunjukkan tanda-tanda neurologis.
Neuroimaging baik dengan CT atau MRI disarankan pada pasien usia tua
dengan psikosis onset baru dan pada pasien yang menunjukkan temuan neurologis
fokal pada saat pemeriksaan.
Gangguan Metabolik
Mekanisme terjadinya kekacauan konektivitas neural diduga berperan
dalam timbulnya gejala-gejala skizofrenia. Kekacauan konektivitas neural ini juga
terjadi pada gangguan metabolik yang berakibat pada terganggunya fungsi saraf
atau kematian saraf. Sebagai contoh, gangguan penyimpanan lisosom dapat
menyebabkan defisit neurologis dini yang berat hingga kematian pada remaja atau
dewasa dapat pula menimbulkan gejala psikosis sekunder. Gangguan-gangguan
metabolik lainnya, seperti penyakit Niemann-Pick tipe C (NPC), penyakit Tay
Sachs, dan alfa manosidosis, cenderung menimbulkan gejala psikotik melalui
interaksi proses neuropatologis dengan perubahan perkembangan saraf misalnya
terputusnya sinaps, mielinisasi, dan perubahan konektivitas. Kekacauan interaksi
yang sama antara konektivitas fungsional dan perkembangan saraf
juga
pada penyakit Wilson ditandai tidak hanya oleh gejala-gejala khas berupa
halusinasi, delusi, dan gangguan pikir, tetapi juga ditandai dengan benyak gejala
tambahan lainnya, termasuk euforia, preokupasi seksual, hebefrenik, dan
katatonia.
Gangguan Diet
Kaitan antara defisiensi nutrisi dengan gejala psikiatri telah banyak diteliti
dan diperdebatkan selama beberapa dekade. Ada bukti bahwa gejala psikiatri
akibat defisiensi kobalamin dapat terjadi tanpa adanya bukti secara hematologis
ataupun adanya kelainan neurologis. Laporan kasus tentang psikosis sekunder
karena defisiensi kobalamin menunjukkan gambaran gejala-gejala berupa delusi
persekutorik, halusinasi auditorik dan visual, gangguan proses pikir, dan agitasi
psikomotor yang tidak berespon terhadap terapi dengan obat-obatan antipsikotik
tetapi dapat hilang atau sembuh sepenuhnya setelah pemberian kobalamin
parenteral. Bukti lainnya yang dapat mendukung keterkaitan ini adalah dalam
suatu studi di mana pasien yang terdepresi dengan depresi psikotik menunjukkan
kadar kobalamin yang lebih rendah secara signifikan daripada pasien dengan
depresi non-psikotik.
Meskipun hubungan antara defisiensi folat dan psikosis tidaklah kuat, ada
beberapa bukti yang menunjukkan bahwa suplementasi folat pada pasien dengan
skizofrenia akan memacu pemulihan pasien. Gejala psikotik termasuk halusinasi
auditorik, delusi persekutorik, dan parasitosis delusional bisa sangat jarang terjadi
dalam kondisi pellagra (defisiensi niasin), walaupun hampir semuanya terjadi
pada penyalahgunaan alkohol kronis.
Sepsis / Penyakit Infeksius
Secara historis, neurosifilis sangat berkaitan dengan angka rawat inap
psikiatri. Pada tahun 1900, sekitar 5% dari pasien di rumah sakit jiwa terdiagnosis
dengan paresis umum. Angka infeksi sifilis terus meningkat sejak munculnya
virus HIV, dan tercatat ada pasien-pasien yang menunjukkan gejala psikiatrik pada
kasus dengan neurosifilis. Pasien-pasien tersebut dapat menunjukkan baik gejala
9
afektif maupun psikotik yang dapat dibedakan dari gangguan psikiatrik primer.
Terapi neurosifilis dengan antibiotik, dan obat-obatan antipsikotik tambahan jika
diperlukan,
memberikan
perbaikan
klinis
yang
signifikan,
membantu
10
tidak meningkatkan
secara klinis. Psikosis iktal menggambarkan gejala psikotik yang terjadi dalam
konteks kejang non-konvulsif aktif, yang cenderung menetap selama beberapa
menit sampai jam, dan terdiri dari halusinasi dan delusi paranoid yang menonjol.
Psikosis post-iktal adalah episode psikotik singkat yang biasanya terjadi beberapa
jam sampai beberapa hari setelah klaster kejang, yang meliputi delusi, halusinasi,
dan gejala-gejala afektif, dan biasanya hilang/sembuh dalam waktu beberapa hari.
Terjadinya psikosis kronis yang berhubungan dengan epilepsi juga dipaparkan,
dimana studi yang terbaru melaporkan risiko relatif sebesar 2,48%.
Secara fenomenologis, psikosis yang berhubungan dengan epilepsi sulit
untuk dibedakan dengan skizofrenia. Psikosis yang berhubungan dengan epilepsi
ditandai oleh gejala yang lebih benigna/jinak dan gejala negatif yang relatif
jarang dijumpai. Faktor risiko terjadinya psikosis sekunder diantaranya meliputi
bentuk epilepsi yang lebih berat dengan tipe kejang yang multipel, riwayat status
epileptikus, dan resistensi terhadap terapi obat-obatan. Hubungan epilepsi lobus
temporal dengan timbulnya gejala psikotik akan dibahas lebih mendetil di bagian
berikutnya.
Gangguan Endokrin
Gejala-gejala psikotik yang disebabkan karena abnormalnya fungsi tiroid
sebenarnya jarang terjadi. Namun ada beberapa laporan kasus terkait psikosis
yang terjadi akibat hipertiroidisme, hipotiroidisme, dan bahkan perubahan yang
cepat pada kondisi tiroid. Psikosis dikatakan sebagai gejala tirotoksikosis yang
bisa muncul pada penyakit Graves, krisis tiroid, goiter noduler toksik, tiroiditis
subakut, dan tiroiditis tanpa nyeri. Penelitian melaporkan
sebanyak 5-15%
12
dengan antipsikotik hanya diperlukan pada kondisi akut saja. Namun yang
menarik adalah, koreksi kadar hormon tiorid serum yang abnormal secara cepat
justru dapat memicu dan menimbulkan eksaserbasi psikosis yang disebabkan
kelainan tiroid.
Hubungan hiperparatiroid dan hiperkalemia dengan gejala psikiatrik juga
telah banyak diketahui, walaupun prevalensi spesifik psikosis pada pasien dengan
hiperparatiroid masih belum jelas. Laporan kasus yang ada menjelaskan pasienpasien dengan halusinasi auditorik dan visual, delusi persekutorik, dan
disorganisasi proses pikir pada kondisi hiperkalemia yang disebabkan karena
hiperparatiorid. Bukti yang ada menunjukkan bahwa koreksi hiperkalemia,
biasanya dengan cara paratiroidektomi, dapat menyebabkan hilangnya gejala
psikotik tanpa rekurensi (kekambuhan).
Walaupun jarang dijumpai dan sedikit diteliti, hipoparatiroidisme juga
dapat muncul disertai dengan psikosis. Sebuah ulasan pada 268 kasus dengan
hipoparatiroidisme yang dipublikasikan pada tahun 1962 melaporkan bahwa 11%
pasien mengalami gejala-gejala psikotik, seringnya dalam kondisi hipoparatiroid
yang disebabkan operasi. Laporan kasus yang ada setelahnya turut mendukung
banyaknya gejala psikotik yang terjadi pada kondisi hipoparatiroid dan
menguatkan fakta bahwa perbaikan secara simtomatik membutuhkan kadar
magnesium dan kalsium yang normal, selain juga dengan terapi antipsikotik.
klinis
tertentu
yang
sangat
menonjol/dominan,
maka
harus
14
depresi ringan pada pasien psikotik juga harus memicu kecurigaan adanya
penyakit medis mendasar.
Gejala psikotik tipe tertentu mungkin juga sering mengarah pada
perubahan regional dalam fungsi otak dan harusnya meningkatkan kecurigaan
akan
adanya
penyakit
neurologis
yang
mendasari.
Dengan
demikian,
16
homogen
dalam
skizofrenia
untuk
lebih
mencirikan
17
18
dengan riwayat epilepsi yang menetap selama lebih dari 10 tahun, dan dengan
riwayat kejang parsial kompleks, serta lesi pada lobus kiri.
Kejadian psikosis pada epilepsi lobus temporal sesuai dengan perubahan
struktur lobus temporal medial yang dilaporkan juga terjadi pada skizofrenia.
Secara khusus, gejala-gejala positif seperti halusinasi auditorik dan gangguan
pikiran formal juga dikaitkan dengan perubahan struktural pada area asosiasi
auditorik di gyrus temporalis superior. Gejala-gejala positif psikotik yang
menonjol pada epilepsi lobus temporal mengarah pada pertanyaan apakah
mungkin ada kemiripan antara epilepsi lobus temporal dengan model
neurokimiawi skizofrenia. Ando et al. meneliti perubahan pada sistem
dopaminergik sentral dalam model kainate epilepsi lobus temporal dengan
menggunakan aktivitas lokomotor yang diinduksi oleh methamphetamine sebagai
indeks sensitivitas dopaminergik pada tikus dewasa. Mereka menemukan bukti
bahwa hipersensitivitas dopaminergik, yang dapat menguraikan mekanisme yang
mendasari psikosis epilepsi secara jelas, juga dapat menunjukkan perubahan yang
sama pada psikosis idiopatik.
Sindrom Velokardiofasial (VCFS): Sebuah Model Genetik Skizofrenia
Etiologi skizofrenia masih belum jelas, telah disepakati secara luas bahwa
faktor genetik memiliki peranan dalam skizofrenia, dengan perkiraan heritabilitas
di atas 70%. Saat ini, skizofrenia dianggap bersifat poligenik dan multifaktor,
dengan sebagian kecil kasus disebabkan oleh variasi jumlah kopi genetik, seperti
mikrodelesi atau mikroduplikasi regio kromosom. Sebagian besar etiologi genetik
skizofrenia tetap belum dapat dipetakan, dan masih memerlukan penelitian
sindrom genetik diskrit yang muncul dengan gambaran menyerupai skizofrenia.
VCFS ditandai dengan delesi besar pada satu kopi kromosom 22
(mengandung sampai dengan 30 gen), yang dapat dideteksi dengan uji genetik.
Hal ini merupakan mikrodelesi kromosom yang paling sering terjadi pada
manusia, dan ditandai dengan adanya kelainan jantung bawaan, dismorfisme
fasial, dan defisit kognitif pada masa kanak-kanak. Sebagian besar individu yang
19
20
NMDA glutamatergik. Model ini didukung oleh pengamatan klinis psikosis yang
sangat mirip dengan skizofrenia yang disebabkan oleh antagonis reseptor NMDA
feniklidin, serta melalui pengamatan neuropatologi adanya perubahan ikatan
reseptor NMDA dan ekspresi pada otak pasien postmortem yang dulunya
mengalami skizofrenia. Oleh karena itu, reseptor NMDA dapat menjadi suatu
model biologis alami untuk penelitian lebih lanjut dan dapat memberikan
wawasan tentang heterogentita fisiologis skizofrenia yang begitu kompleks.
Disfungsi glutamatergik dapat disebabkan karena gagalnya regulasi yang
dimediasi oleh GABA terutama pada neuron piramidal glutamatergik. Teori ini
didukung oleh adanya pengamatan bahwa terjadi penurunan sintesis GABA, yang
dicerminkan oleh turunnya aktivitas neuronal dari GAD67 (Glutamic acid
decarboxylase isoform 67-kDa), pada pasien-pasien skizofrenia. Perlu untuk
menggambarkan hubungan antara model perubahan NMDA GABA dengan teori
modulasi sistem umun pada skizofrenia; penelitian lebih lanjut tentang bentuk
psikosis sekunder yang sesuai dapat menjadi salah satu cara untuk menjelaskan
model ini lebih mendalam.
Bentuk psikosis sekunder yang menarik yang mengarah pada adanya
hipofungsionasi resptor NMDA dapat memberikan wawasan terkait patofisiologi
skizofrenia. Sejak tahun 2007, banyak laporan kasus yang menggambarkan
bentuk ensefalitis dimana pada pasien menunjukkan gejala-gejala neurologis dan
psikiatris diketahui memiliki autoantibodi positif terhadap heteromer NR1/NR2
dari reseptor NMDA. Dalmau dkk. meneliti 100 pasien dengan ensefalitis reseptor
NMDA dan menemukan bahwa 77% pasien menunjukkan berbagai gejala
psikiatrik termasuk ansietas, insomnia, rasa takut, rasa kebesaran, delusi,
hipereligius, mania, dan paranoid.
Suatu model yang mengintegrasikan ensefalitis reseptor NMDA dengan
disfungsi GABA/glutamat diantaranya adalah gagasan bahwa penurunan reseptor
NMDA yang dimediasi oleh antibodi dapat menginaktivasi neuron GABAergik,
yang mana pada kondisi normal dapat menghambat glutamat ekstraseluler. Tanpa
21
adanya proses yang meregulasi GABA, glutamat berlebihan yang dihasilkan dapat
menyebabkan dan memperburuk psikosis. Mekanisme serupa dapat dijumpai pada
skizofrenia, meskipun bukti definitif perubahan neurotransmisi glutamatergik di
otak pada skizofrenia belum dapat ditemukan. Reseptor NMDA memberikan
gambaran mekanisme biologis terjadinya psikosis yang membutuhkan penelitian
lebih lanjut, dengan kemungkinan bahwa variasi alami dari disfungsi reseptor
NMDA dapat memberikan informasi tentang heterogenitas patofisiologi
skizofrenia yang kompleks.
KESIMPULAN
Perbedaan riwayat antara penyakit organik (atau sturktural) dan fungsional
(murni fisiologis) belum dapat membantu praktik di lapangan dan menghambat
investigasi yang sistematis terkait gangguan-gangguan yang sebelumnya dianggap
murni bersifat psikologis. Klasifikasi gangguan psikiatri menjadi kelompok
dengan atau tanpa etiologi yang dapat diidentifikasi menjadi lebih bermakna
secara klinis.
Identifikasi penyebab kondisi medis yang mendasari, penyebab toksik,
atau iatrogenik pada pasien dengan gambaran psikosis merupakan suatu tantangan
secara diagnostik. Anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik, dan melakukan
pemeriksaan penunjang secara bijaksana, dipadu dengan pemikiran yang penuh
informasi, tentunya dapat membantu dokter untuk sampai pada diagnosis dan
intervensi yang optimal, yang bisa sangat memuaskan.
Dalam hal penyebab psikosis sekunder, dokter-ilmuwan juga memperoleh
wawasan terkait patofisiologi dan etiologi gangguan psikosis primer seperti
skizofrenia.
22
Contoh
Trauma
Pemeriksaan
Gangguan autoimun
Kariotyping, MRI
velokardiofasial, agenesis
korpus kallosum
Gangguan
akibat PCP,
Racun/Zat
MDMA,
LSD, Penelusuran
kanabis,
riwayat
logam
berat;
Antimalaria,
steroid, Penelusuran
isoniazid
riwayat
Gangguan
Stroke;
serebrovaskuler
subdural
Gangguan
lesi
CT-scan, MRI
ruang
Gangguan metabolik
Feokromositoma,
lukodistrofi
arylsulphatase-A. Kadar
metakromatik,
penyakit tembaga
Wilson
Gangguan diet
dan
seruloplasmin
Gangguan infeksi/Sepsis
Neurosifilis,
RPR
untuk
toksoplasmosis, HIV
menyingkirkan
sifilis,
protein
pada
23
LCS
Penyebab
diketahui
penykit Parkinson,
degeneratif
/ multipel,
CT-scan,
EEG,
demielinisasi
Fredreich
Gangguan kejang
tidur;
EEG
telemetrik
jika diperlukan
Gangguan endokrin
Hipertiroid,
hipotiroid, Kadar
hiperparatiroid
kalsium
serum,
hormon tiroid/paratiroid
Pemeriksaan fisik/neurologis
Tes neuropsikologi
Tes laboratorium: darah lutin lengkap dan hitung jenis, LED, glukosa,
elektrolit, tes fungsi tiroid, tes fungsi hati, skrining urine
24
Kariotyping
DAFTAR PUSTAKA
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
2011;69:945-52.
157. Olney JW, Farber NB. Glutamate receptor dysfunction and
schizophrenia. Arch Gen Psychiatry 1995;52:998-1007.
158. Moghaddam B. Bringing order to the glutamate chaos in schizophrenia.
Neuron 2003;40:881-4.
159. Harrison PJ, Law AJ, Eastwood SL. Glutamate receptors and
transporters in the hippocampus in schizophrenia. Ann N Y
Acad Sci 2003;1003:94-101.
160. Gonz_alez-Burgos G, Hashimoto T, Lewis DA. Alterations of
cortical GABA neurons and network oscillations in schizophrenia.
Curr Psychiatry Rep 2010;12:335-44.
161. Potvin S, Stip E, Sepehry AA et al. Inflammatory cytokine alterations
in schizophrenia: a systematic quantitative review. Biol
Psychiatry 2008;63:801-8.
162. Dalmau J, Tuzun E, Wu H-Y et al. Paraneoplastic anti-NmethylD-aspartate receptor encephalitis associated with ovarian
teratoma. Ann Neurol 2007;61:25-36.
163. Dalmau J, Rosenfeld MR. Paraneoplastic syndromes of the CNS.
Lancet Neurol 2008;7:327-40.
DOI 10.1002/wps.20001
35