Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan somatisasi dalam DSM-V dikenal sebagai gangguan gejala somatic (GGS),

ditandai dengan 6 bulan atau lebih preokupasi nondelusional dengan ketakutan memiliki, atau

pemikiran memiliki penyakit serius berdasarkan salah tafsir gejala tubuh. Preokupasi ini

menyebabkan kesusahan dan gangguan yang signifikan dalam hidup seseorang. 1 Gangguan

somatisasi ditandai oleh banyaknya gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat

berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Gangguan somatisasi dibedakan dari

gangguan somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan melibatkan system organ yang

multipel (sebagai contoh, gastrointestinal dan neurologis)/ gangguan ini adalah kronis

(dengan gejala ditemukan selama beberapa tahun dan dimulai sebelum usia 30 tahun) dan

disertai dengan penderitaan psikologis yang bermakna, gangguan fungsi sosial dan pekerjaan,

dan perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan. Pasien di semua tingkat pelayanan

kesehatan sering mengeluhkan keluhan somatisasi seperti nyeri di lokasi tubuh yang berbeda,

kelelahan, atau gangguan yang dirasakan pada kardiovaskular, gastrointestinal, atau fungsi

organ lainnya.2

Prevalensi gangguan somatisasi diperkirakan sekitar 5% -7% pada populasi umum.

Pada layanan tingkat primer, prevalensi gangguan somatisasi dilaporkan berkisar antara 5%-

35%.3 Prevalensi morbiditas psikologis di Amira utara dan Eropa Barat diperkirakan oleh

studi yang berbeda berkisar dari 14% - 50% di antara pasien perawatan kesehatan primer.

Sekitar 80% gangguan mental terjadi di negara berpenghasilan rendah atau menengah. Di

antara gangguan mental yang berbeda; depresi, kecemasan, dan somatisasi lebih sering

terjadi. Prevalensi gangguan jiwa lebih tinggi pada perempuan, individu yang tinggal di

perkotaan dan pada kelompok usia lanjut.4 Babu AR dkk, Prevalensi somatisasi wanita
dewasa adalah 40,8%. Pada studi diagnostik yang dilakukan secara seksama, hanya 0,5%

diagnosis gejala dan sindrom fungsional yang harus dievaluasi kembali. Di sisi lain, evaluasi

menyeluruh terhadap pasien dengan diagnosis awal gejala atau sindrom fungsional memiliki

patologi organik yang mendasari hingga 8% kasus.5

Banyak pasien mengeluhkan beberapa gejala secara bersamaan, tetapi beberapa hanya

menderita satu gejala yang menetap. Gangguan ini tidak terbatas pada pengalaman keluhan

tubuh, juga dapat melibatkan aspek psikologis dan perilaku seperti perilaku kecemasan dan

perilaku memeriksakan diri secara terus menerus. Masalah utama disebabkan oleh fakta

bahwa keluhan tubuh terus-menerus dikaitkan dengan penyakit organik. Pasien dengan GGS

percaya bahwa mereka memiliki penyakit serius yang belum terdeteksi dan mereka tidak bisa

dibujuk. Mereka mungkin mempertahankan keyakinan bahwa mereka mengidap penyakit

tertentu atau, seiring berjalannya waktu, mereka mungkin memindahkan keyakinan mereka

ke penyakit lain. Keyakinan mereka bertahan meskipun hasil laboratorium normal dan

pemeriksaan lainnya. GGS seringkali disertai dengan gejala depresi dan kecemasan serta

biasanya muncul bersamaan dengan gangguan depresi atau kecemasan.1,2

Biasanya, tidak ditemukan patologi organik yang berkorelasi dengan gejala. Oleh

karena itu, gejala-gejala tersebut dikatakan bersifat fungsional. Jika ada patologi organ tidak

menjelaskan sejauh mana gejala-gejala tersebut, dan bahkan pengobatan yang berhasil dan /

atau remisi penyakit yang mendasari tidak menghilangkan gejala. Banyak spesialis medis

merasa tidak pasti ketika harus memutuskan tentang relevansi (atau tidak) penyakit organik

yang mendasari. Pasien yang sudah terdiagnosis oleh dokter gangguan somatisasi, terkadang

datang kembali kedokter dengan keluhan gejala sebelumnya. Dengan adanya keluhan-

keluhan gejala fisik yang berkali-kali dan tidak ada hasil bahwa dia terkena kelainan fisik

bisa disimpulkan merupakan ciri khas gangguan somatisasi. 6 Kaitannya dengan komorbid

lainnya (depresi, kecemasan dan psikopatologi karakter), serta penyakit medis,


menjadikannya tantangan dalam mendiagnosis dan terapi. Akibatnya dari manifestasi klinis

gangguan somatisasi yang kompleks, pasien didiagnosis dan dirawat oleh spesialisasi

perawatan kesehatan yang berbeda, tergantung keluhan utama mereka.7


BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. DEFINISI

Gangguan somatisasi ditandai dengan preokupasi disfungsional dengan satu atau lebih

gejala fisik. Pasien dengan gangguan somatisasi sering kali melakukan penyelidikan yang

berlebihan dan tidak perlu, rawat inap, perawatan yang secara signifikan dan

memengaruhi kualitas hidup dan sumber daya perawatan kesehatan. Dengan demikian,

diagnosis yang tepat dan manajemen yang cermat diperlukan untuk mengurangi

kesusahan pasien dan untuk mengurangi beban perawatan kesehatan. Gangguan gejala

somatic (GGS) adalah istilah baru yang didefinisikan dalam Diagnostic and Statistical

Manual Fifth Edition (DSM-5), menggantikan gangguan somatoform pada DSM-4TR

dengan kriteria diagnostik yang mencakup beragam presentasi.8

Gejala somatik dan gangguan terkait ditandai dengan satu atau lebih gejala tubuh

yang disertai dengan pikiran, perasaan, dan perilaku berlebihan. Gejala yang paling

umum termasuk nyeri di berbagai bagian tubuh (punggung, sendi, kepala, dada, dan lain-

lain), Gangguan pada fungsi organ (gastrointestinal, pernapasan, dan lain-lain), dan

kelelahan. Gejala ini tidak dapat secara memadai dikaitkan dengan penyakit organik,

perubahan struktural dalam tubuh, atau kelainan biokimia. Pasien biasanya menderita

beberapa gejala fisik, serta gangguan mental dan psikososial komorbid, yang memicu dan

mempertahankan gejala. Dalam kasus perjalanan kronis, gejala menjadi sulit untuk

diobati dan menyebabkan gangguan pada kehidupan pasien, mengakibatkan biaya

langsung dan tidak langsung yang tinggi (peningkatan perawatan kesehatan,

ketidakmampuan kerja, dan pensiun dini).9

Kriteria diagnosis sebelumnya untuk gangguan somatisasi membutuhkan konstelasi

gejala somatik hingga mencakup empat gejala nyeri yang berbeda, dua gejala
gastrointestinal, satu gejala seksual dan satu gejala pseudoneurologis. Sebaliknya,

diagnosis SSD membutuhkan hanya satu gejala somatik. Lebih lanjut, satu gejala somatik

tidak diperlukan untuk terus-menerus muncul, melainkan keadaan gejala, dengan variasi

gejala apa pun, diperlukan untuk diagnosis SSD. Kriteria diagnostik ini termasuk

rangkaian presentasi yang lebih luas daripada diagnosis gangguan somatisasi DSM-4-TR

sebelumnya, gangguan somatoform tidak berdiferensiasi, gangguan somatoform tidak

ditentukan lain (NOS) dan gangguan nyeri, yang tidak termasuk dalam DSM-5. Individu

yang sebelumnya memenuhi kriteria untuk gangguan ini sekarang dapat didiagnosis

dengan SSD.8

B. ETIOLOGI, FAKTOR RISIKO

Seseorang dengan gangguan ini menambah dan memperkuat sensasi somatik, dimana

mereka memiliki ambang batas yang rendah, dan toleransi yang rendah terhadap

ketidaknyamanan fisik. Misalnya, apa yang biasanya dirasakan orang sebagai tekanan

pada perut, orang dengan SSD mempersepsikannya sebagai sakit perut. Mereka mungkin

fokus pada sensasi tubuh, salah menafsirkannya, dan menjadi khawatir oleh karena skema

kognitif yang salah. GGS juga dapat dipahami dalam istilah model pembelajaran sosial.

Gangguan ini dipandang sebagai permintaan untuk masuk ke peran sakit yang dibuat oleh

orang yang menghadapi tampaknya tidak dapat diatasi dan tidak dapat diselesaikan. Peran

sakit menawarkan pelarian yang memungkinkan pasien menghindari kewajiban, untuk

menunda pekerjan, dan dibebaskan dari tugas dan kewajiban biasanya. Gangguan gejala

somatik terkadang merupakan variasi dari gangguan jiwa lainnya, di antaranya gangguan

depresi dan gangguan kecemasan paling sering dimasukkan. Diperkirakan 80% pasien

dengan kelainan ini mungkin mengalami.1


Gangguan depresi atau kecemasan secara bersamaan. Pasien yang memenuhi kriteria

diagnostik untuk GGS mungkin saja somatizing subtipe dari gangguan lain ini.

Psikodinamik menyatakan bahwa keinginan agresif dan bermusuhan terhadap orang lain

ditransfer (melalui represi dan perpindahan) menjadi keluhan fisik. Kemarahan pasien

dengan gangguan ini berasal dari kekecewaan pada masa lali, penolakan, dan kerugian,

tetapi pasien mengungkapkan kemarahan mereka saat ini dengan meminta bantuan dan

perhatian orang lain dan kemudian menolaknya sebagai tidak efektif. Gangguan ini juga

dipandang sebagai pertahanan terhadap rasa bersalah, rasa keburukan bawaan, ekspresi

harga diri rendah, dan tanda perhatian diri yang berlebihan. Nyeri dan penderitaan

somatik dengan demikian menjadi sarana penebusan dan dapat dialami sebagai hukuman

yang pantas untuk kesalahan di masa lalu (baik nyata maupun imajiner).1

Psikodinamik awal dari stress tubuh secara umum sering menunjukkan mekanisme

top-down, yaitu aktivasi psikologis dari fisiologi perifer, sebagai mekanisme utama yang

mendasari pengalaman gejala somatik peresisten. Penjelasan pada dekade terakhir ini

secara dominan menyiratkan mekanisme bottom-up di mana input perifer dari nosiseptif

dan sensorik lainnya dianggap dipengaruhi atau diperkuat oleh faktor sentral atau

psikologis.10

Gejala somatik dihasilkan dari kesadaran yang meningkat akan sensasi tubuh tertentu,

dikaitkan dengan kecenderungan menafsirkan sensasi ini sebagai indikasi penyakit medis.

Etiologi gangguan somatisasi tidak sepenuhnya diketahui. Namun, penelitian telah

menentukkan bahwa faktor risiko gejala somatisasi yang kronik dan berat diantaranya

pengabaian pada masa kanak-kanak, pelecehan seksual, gaya hidup dan riwayat

penyalahgunaan alcohol dan zat-zat terlarang. Selain itu, gangguan somatisasi dikaitkan

dengan gangguan kepribadian. Stressor psikososial mempengaruhi bagaimana pasien

datang ke dokter. Sebagai contoh, penelitian pada tingkat layanan primer menemukan
tingkat pengangguran yang secara signifikan lebih tinggi dan gangguan fungsi pekerjaan

pada pasien somatik dibandingkan dengan pasien yang tidak (29% vs 15%, dan 55% vs

14%).11

Teori tentang gangguan somatisasi dikaitkan dengan gangguan dalam proses regulasi

emosi (RE) sebagai salah satu aspek psikologis yang berkontribusi pada perkembangan,

progresivitas, dan pengobatan gejala. Laporan empiris dan klinis juga cukup konsisten

mengkonfirmasi hubungan antara gangguan dalam proses RE dan gangguan somatisasi.

Namun, mekanisme yang mendasari asosiasi ini tidak ditetapkan dengan jelas. Sebuah

teori menunjukkan bahwa RE pada gangguan somatisasi ditandai oleh fungsi sistem

respon emosional yang tidak koheren (kognisi dan tubuh) selama regulasi emosi.9

Biopsikososial gangguan somatisasi termasuk perjalanan perkembangan interaksi

antar-pribadi awal yang terganggu, riwayat trauma sebagai faktor risiko untuk

perkembangan gangguan regulasi emosi pada pasien dengan gangguan somatisasi.

Lintasan sosio-emosional ditemukan terkait dengan perubahan dalam sistem endokrin,

kekebalan, dan regulasi nyeri. Dengan demikian, psikoterapi untuk gangguan somatisasi

menggabungkan aspek antarpribadi dan pelatihan regulasi emosi ke dalam perencanaan

terapi.9

Hubungan antara proses regulasi emosi dan gangguan somatisasi juga didukung oleh

studi neurobiologis yang menyoroti hubungan neuronal substansial yang tumpang tindih

dengan subsistem emosional, somatosen, dan motorik. Jaringan ini berhubungan erat

dengan sistem saraf autonomy, imunitas dan axis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA),

yang juga memainkan peran kunci dalam kesadaran sensasi tubuh internal dan regulasi

homeostatis dalam menanggapi perubahan emosional.9

Pada sebuah penelitian Garussi dkk, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna

antara usia, status perkawinan, pendidikan, status pekerjaan, kondisi hidup, status sosial
ekonomi, kecemasan dan depresi dengan gejala somatik. Hasil analisis menunjukkan

bahwa usia berhubungan dengan gejala somatik, secara signifikan. Kelompok usia 71-90

tahun 36,10 kali lebih mungkin mengalami gejala somatik dibandingkan kelompok usia

10-30 tahun (p: 0,004), usia 51-70 tahun 2,81 kali lebih mungkin mengalami gejala

tersebut ( nilai-p: 0,013). Risiko gejala somatik 3,58 kali lebih mungkin terjadi orang

dengan status perkawinan bercerai dibandingkan yang tidak(p: 0,031). Ada korelasi

positif yang signifikan antara skor kecemasan dan depresi. Setiap skor tambahan

kecemasan dan depresi dikaitkan dengan 1,14 kali lebih mungkin (nilai p: <0,001) dan

1,11 kali lebih kecil kemungkinannya (nilai p: 0,003) untuk memiliki gejala somatik,

masing-masing.4

C. EPIDEMIOLOGI

Pevalensi gangguan somatisasi pada populasi umum diperkirakan 5% - 7%,

menjadikan ini salah satu kategori paling umum yang menjadi perhatian di pusat

perawatan primer. Diperkirakan 20% - 25% pasien yang datang dengan gejala somatik

akut terus berkembang menjadi penyakit somatik kronis. Gangguan ini dapat dimulai

pada masa kanak-kanak, remaja, atau dewasa. Wanita cenderung lebih sering mengalami

gangguan somatisasi daripada pria, dengan perkiraan rasio wanita dibandingkan laki-laki

10:1.11

Somatisasi menunjukan banyak keluhan yang berulang mengenai gejala somatik.

Somatisasi memiliki perjalanan kronis dan komorbiditas psikiatri yang tinggi terutama

kecemasan dan depresi. Situasi ini menyebabkan beban penderitaan pasien dan

keluarganya. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa 20,4% pasien dengan gangguan

somatisasi menderita kecemasan dan 30% dengan gangguan depresi. Wanita, usia tua,

dan individu yang bercerai melaporkan gejala somatik lebih tinggi dari kelompok lain

secara signifikan. Hasil penelitian lainnya menunjukkan somatisasi terjadi secara umum
pada orang dengan status sosial ekonomi rendah dan tingkat pendidikan rendah.

Somatisasi memiliki konsekuensi langsung dan tidak langsung pada masyarakat. Akibat

langsung adalah sumber daya yang digunakan untuk perawatan seperti biaya obat-obatan,

tes laboratorium, dan petugas kesehatan. Konsekuensi tidak langsung adalah

ketidakhadiran pada tempat kerja, pengurangan atau hilangnya produktivitas dan kualitas

hidup.4

D. DIAGNOSIS

Dalam DSM-5 gangguan tersebut telah diubah namanya menjadi gangguan gejala

somatic (SSD), dibagi menjadi SSD dengan keluhan somatic yang dominan (sebelumnya

disebut sebagai gangguan somatisasi) dan SSD dengan dominan nyeri (sebelumnya

dikenal dengan gangguan nyeri). Kriteria omatic ic gangguan gejala somatic (DSM 5):12

a) Satu atau lebih gejala omatic yang menyebabkan omati dan / atau

menyebabkan gangguan yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari.

b) Satu atau lebih pikiran, perasaan, dan / atau perilaku berlebihan yang terkait

dengan gejala omatic berikut atau masalah kesehatan terkait: (i) pikiran yang

tidak proporsional dan terus-menerus tentang keseriusan gejala seseorang; (ii)

tingkat kecemasan tinggi yang terus-menerus tentang kesehatan atau gejala;

dan (iii) waktu dan energi yang berlebihan untuk gejala atau masalah

kesehatan ini.

c) Meskipun salah satu gejala mungkin tidak terus-menerus muncul, keadaan

gejala tetap ada dan berlangsung lebih dari 6 bulan.

Kondisi tersebut dianggap ringan bila hanya satu dari gejala psikosomatik yang

terpenuhi; sedang, bila dua atau lebih gejala ini terpenuhi; dan parah, bila dua atau
lebih gejala psikobehaviour terpenuhi, ditambah bila ada beberapa keluhan somatic

(atau satu gejala somatic yang sangat parah).12

Tabel 1. Gangguan gejala somatisasi: DSM 5 VS DSM IV.13


Gambar 1. Diagnosis Banding pada pasien dengan banyak gejala yang tidak dapat
dijelaskan.14

E. TATALAKSANA

Manajemen SSD melibatkan kombinasi terapi farmakologis dan intervensi psikologis.

Regimen pengobatan harus dipilih berdasarkan bukti dan disesuaikan dengan masing-

masing pasien, memperhitungkan presentasi khusus mereka, komorbiditas psikiatri dan

medis. Misalnya, satu obat dapat dipilih untuk mengurangi keparahan gejala dan untuk

mengobati komorbid gangguan psikiatri. Selain itu, penggunaan terapi psikologis

bergantung pada persetujuan dan pola pikir psikologis pasien.15,16

Terapi perilaku kognitif (CBT) telah ditemukan efektif dalam pengobatan SSD pada

kelompok yang lebih muda. CBT telah terbukti memiliki khasiat yang hampir serupa

dalam pengobatan gangguan depresi dan kecemasan pada orang dewasa yang lebih tua

hingga usia 80 tahun seperti pada kelompok usia yang lebih muda. Sampai saat ini, terapi

perilaku kognitif (CBT) adalah pengobatan terbaik untuk berbagai gangguan somatoform

termasuk gangguan somatisasi.  CBT bertujuan untuk membantu pasien menyadari bahwa

penyakit mereka bukanlah bencana dan untuk memungkinkan mereka secara bertahap

kembali ke aktivitas yang sebelumnya mereka lakukan, tanpa takut "memperburuk gejala

mereka".15,17

Farmakologi

Saat ini, beberapa obat yang paling banyak dipelajari dalam pengobatan gangguan

somatisasi dan gangguan depresi mayor dengan gejala somatik adalah duloxetine,

venlafaxine, mirtazapine dan St John’s wort. Randomised controlled trials (RCT)

menemukan beberapa manfaat obat-obatan tersebut dibandingkan plasebo . Penelitian

oleh Cochrane tentang khasiat duloxetine dalam pengobatan sindrom nyeri


mengungkapkan manfaat dalam pengobatan nyeri neuropati perifer diabetik dan bukti

kualitas yang lebih rendah untuk pengobatan gejala fisik pada depresi dan fibromyalgia.15

Ulasan Cochrane dari 26 uji coba terkontrol secara acak membandingkan khasiat

berbagai antidepresan, antipsikotik terhadap pengobatan gangguan somatisasi

menyimpulkan bahwa evidence is of low quality efikasi amitriptyline, citalopram,

clomipramine, fluoxetine, flupentixol, milnacipran, mirtazapine, paliperidone, paroxetine,

reboxetine, sertraline, trazodone, quetiapine, venlafaxine, butterbur root, lemon balm leaf-

Ze 185, passionflower herb, St John’s wort atau valerian root. Penulis mencatat bahwa

bukti saat ini dibatasi oleh ukuran sampel kecil, risiko tinggi bias dan kurangnya

penelitian lanjutan.18

Studi sistemik yang berfokus pada lima kelompok pengobatan utama: antidepresan

trisiklik , SSRI, serotonin dan noradrenalin reuptake inhibitor (SNRI), antipsikotik

atipikal, dan obat-obatan berbasis herbal. Bukti menunjukkan bahwa kelima kelompok ini

adalah

efektif untuk berbagai macam gangguan jiwa dan semua jenis antidepresan tampaknya

memiliki tingkat efektivitas tertentu pada gangguan somatisasi. Antidepresan trisiklik dan

SSRI merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan dalam pengobatan

ganguan somatisasi. Namun demikian, hanya ada sedikit data yang mendukung

keefektifannya sebagai pengobatan yang berdiri sendiri.7

Dalam meta-analisis dari 94 percobaan, antidepresan memberikan manfaat yang

substansial. Antidepresan trisiklik memiliki keberhasilan yang menonjol dan dikaitkan

dengan kemungkinan efektivitas yang lebih besar daripada SSRI. Amitriptyline adalah

trisiklik yang paling banyak dipelajari, dan memberikan manfaat untuk setidaknya satu

dari hasil berikut: nyeri, kaku di pagi hari, perbaikan menyeluruh, tidur, kelelahan, skor
titik nyeri (berdasarkan jumlah dan tingkat keparahan titik nyeri), dan gejala fungsional.

Dari SSRI yang dipelajari, fluoxetine (Prozac) menunjukkan manfaat untuk nyeri, status

fungsional, kesejahteraan global, tidur, kaku di pagi hari, dan titik nyeri. Ada sedikit

dukungan untuk penggunaan inhibitor mono-amine oksidase, bupropion (Well-butrin),

antiepilepsi, atau antipsikotik dalam pengobatan gangguan gejala somatik. Obat-obatan

ini memiliki efek samping yang signifikan dan sebaiknya dihindari.11

Tabel 2. Rekomendasi farmakologi pada gangguan gejala somatisasi.11


Tabel 3. Pilihan terapi pada pasien gangguan gejala somatisasi.11

Pasien dengan GGS biasanya menolak pengobatan psikiatri, meskipun beberapa

menerima pengobatan ini jika itu terjadi dalam lingkungan medis dan berfokus pada

pengurangan stres dan edukasi dalam mengatasi penyakit kronis. Kelompok psikoterapi

sering kali menguntungkan pasien seperti itu, sebagian karena memberikan dukungan

sosial dan interaksi sosial yang tampak untuk mengurangi kecemasan mereka. Bentuk

psikoterapi lainnya, seperti psikoterapi yang berorientasi pada wawasan individu, perilaku

terapi, terapi kognitif, dan hypnosis juga bermanfaat.1

Pemeriksaan fisik yang rutin dan teratur membantu meyakinkan pasien bahwa dokter

mereka tidak mengabaikan mereka dan keluhan mereka akan ditanggapi dengan serius.

Prosedur diagnostik dan terapeutik yang invasif seharusnya hanya dilakukan


dilakukan, bagaimanapun, ketika bukti obyektif ditemukan. Jika memungkinkan, dokter

harus menahan diri untuk tidak melakukan perawatan temuan pemeriksaan fisik samar-

samar atau insidental.1

Farmakoterapi meredakan gangguan gejala somatik hanya jika pasien memiliki

respons obat yang mendasari kondisi, seperti gangguan kecemasan atau gangguan

depresi. Ketika gangguan gejala somatik bersifat sekunder dari yang lain maka gangguan

mental primer, harus ditangani dengan benar. Bila gangguan tersebut bersifat sementara

Reaksi, dokter harus membantu pasien mengatasi stres tanpa memperkuat perilaku

penyakit mereka.1

PROGNOSIS

Perjalanan penyakit biasanya episodic, episode berlangsung dari bulan ke tahun dan

dipisahkan dengan durasi yang lama. Mungkin ada hubungan yang jelas antara

eksaserbasi gejala somatik dan psikososial penyebab stres. Meskipun tidak ada studi besar

yang dilakukan, diperkirakan sepertiga sampai setengah dari semua pasien dengan GGS

akhirnya membaik secara signifikan. Prognosis yang baik dikaitkan dengan status sosial

ekonomi , kecemasan atau depresi yang berespon terhadap pengobatan, timbulnya gejala

secara tiba-tiba, tidak adanya gangguan kepribadian, dan tidak adanya kondisi medis

nonpsikiatri. Kebanyakan anak-anak dengan gangguan tersebut sembuh terlambat pada

usia remaja atau dewasa muda.1


BAB III

KESIMPULAN

Gangguan somatisasi ditandai dengan preokupasi disfungsional dengan satu atau lebih

gejala fisik. Dalam psikiatri, kategori diagnostik menurut Diagnostic and Statistical

Manual for Mental Disorders, fifth edition (DSM-5), dalam DSM-5 gangguan

tersebut telah diubah namanya menjadi gangguan gejala somatic (SSD), dibagi

menjadi SSD dengan keluhan somatic yang dominan (sebelumnya disebut sebagai

gangguan somatisasi) dan SSD dengan dominan nyeri (sebelumnya dikenal dengan

gangguan nyeri. Pevalensi gangguan somatisasi pada populasi umum diperkirakan 5%

- 7%. Tatalaksana gangguan somatisasi meliputi tatalaksana farmakologi dan

psikoterapi. Terapi perilaku kognitif (CBT) adalah pengobatan terbaik untuk berbagai

gangguan gangguan somatisasi.  CBT bertujuan untuk membantu pasien menyadari

bahwa penyakit mereka bukanlah bencana dan untuk memungkinkan mereka secara

bertahap kembali ke aktivitas yang sebelumnya mereka lakukan, tanpa takut

"memperburuk gejala mereka”


DAFTAR PUSTAKA
1
Kaplan& Sadock’s Synopsis of Psyciatric 11th edition. New York: 2015
2
Henningsen P. Basi research: management of somatic symptom disorder. Dialogues Clin Neurosci:

2018; 20(1): h. 23-31


3
Heinbokel C, Lehmann M, Pohontsch NJ, Zimmermann T, Althaus A, Scherer M, dkk. Diagnostic

barriers for somatic symptom disorders in primary care: study protocol for a mixed methods study in

Germany. BMJ Open: 2017:h.1-6


4
Garrusi B, Danaei M, Aboosaeidi R. The Prevalence and Predictive Factors of Somatization and Its

Relationship with Anxiety and Depression in Irania Population. J Prev Med Hyg: 2019; 60:h. E400-406

5
Eikelboom EM, Tak LM, Roest AM, Rosmalen JG. A systematic review and meta-analysis of the

percentage of revised diagnoses in functional somatic symptoms. J Psychosom Res. 2016;88:60-67.

6
Putra DR, Kusumadewi S. Sistem Pendukung Keputusan Untuk Diagnosis Banding Gangguan

Somatoform Berbasis PPDGJ III. Jurnal FASILKOM: 2020; 10(2): h. 113-121


7
Patron DI, Vidales GM, Guerrero CG. Case report: diagnostic reconceptualization in the DSM-V on

somatoform disorders. Medicina Universitaria: 2015; 17(67): 102-107


8
Rosic T, Kalra S, Samaan Z. Case report: Somatic symptom disorder, a new DSM-5 diagnosis of an

old clinical challenge.


9
Guney ZEO, Sattel H, Witthoft M, Henningsen P. emotion regulation in patients with somatic

symptoms and related disorders: a systematic review.PLoS ONE: 2019: 14(6): h.1-29

10
Van den Bergh O, Witthöft M, Petersen S, Brown R. Symptoms and the body: taking the inferential

leap. Neurosci Biobehav Rev. 2017;74(pt A):185-203.

11
Kurlansik SI, Maffei MS. Somatic Symptom Disorder. Am Fam Physician: 2015; 93(1): h. 49-54
12
Kaplan& Sadock’s comprehensive terxtbook of psychiatry 10th edition.
13
Davidson W, Simberlund J. Case report: Somatic Symptom Disorder: costly, patients and providers,

and potentially lethal. The American J of Psych Residents J


14
Dunphy L, Penna M, El-kafsi J. Case report: Somatic symptom disorder:a diagnostic dilemma. BMJ

Case Rep: 2019; 12: h.1-4


15
Vishal G, Brahmbhatt M, Vanker G. Somatic symptom disorder: study of medically unexplained

symptoms. Sch J App Med Sci: 2014: 2(2B): 664-670


16
Piontek K, Shedden MC, Gladigau M, Kuby A, Lowe B. Diagnosis of somatoform disorders in

primary care: diagnostic agreement, predictors, and comparisons with depression and anxiety. BMC

Psychiatry: 2018; 18: h.1-9


17
Verdurmen MJH, Videler AC, Kamperman AM, Khasho D, Cornelis CMV. Cognitive behavioral

therapy for somatic symptom disorders in later life: a prospective comparative explorative pilot study

in two clinical populations. Neuropsychiatr Dis Treat: 2017: 13; h. 2331-2339

18
Kleinstäuber M, Witthöft M, Steffanowski A, et al. Pharmacological interventions for somatoform

disorders in adults. Cochrane Database Syst Rev 2014;11:CD010628.

Anda mungkin juga menyukai