Anda di halaman 1dari 14

Skenario 3.

Tuan Moon yang sering melamun

Tn. Moon datang dengan kakaknya ke klinik dengan keluhan sulit tidur dan tidak dapat berkonsentrasi
dengan baik, sering tampak melamun dan menangis sejak tiga bulan terakhir. Tiga bulan sebelumnya pasien
naik motor berboncengan dengan ibunya dan mengalami perampokan, ibunya dibunuh oleh perampok dengan
cara ditembak di bagian kepala, ibu pasien meninggal di tempat. Pasien sulit mengingat pelaku, pasien hanya
ingat bahwa pelaku memakai topi. Sejak saat itu pasien sering mimpi buruk, terbayang kejadian yang
menimpa dia dan ibunya. Pasien juga mengeluh sering mengalami flashback. Pasien merasa takut dan
menghindar apabila melihat pria yang memakai topi. Pasien lebih sering di kamar karena takut akan
bertemu dengan pria bertopi yang membunuh ibunya dan merasa bersalah karena tidak dapat menolong
ibunya. Pasien sudah tidak bekerja selama 3 bulan ini, pasien masih makan dan mandi tanpa diingatkan.
Sebelumnya pasien tidak mempunyai riwayat penyakit kronis ataupun riwayat penggunaan obat-obatan napza
ataupun alcohol. Dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan waham, halusinasi dan ilusi.

Capaian pembelajaran:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi/faktor resiko dan patogenesis kelainan diatas (PTSD)
2. Mahasiswa mampu menjelaskan penegakan diagnosis kasus tersebut (Alloananmesis , Pemeriksaan
status mental )
3. Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosis (multiakasial) dan diagnosa bandingnya serta alasan
penegakan diagnosa tersebut (PTSD)
4. Mahasiswa mampu menjelaskan kriteria diagnosa kasus tersebut menurut PPDGJ dan DSM-TSR V
5. Mahasiswa mampu menjelaskan tatalaksana pasien diatas (farmakologis dan non farmakologis)
6. Mahasiswa mampu menjelaskan peran dokter keluarga pada kasus
7. Mahasiswa mampu menjelaskan pandangan Islam terhadap kasus tersebut.

A. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi/faktor resiko dan patogenesis kelainan diatas (PTSD)
Post traumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan stress pasca trauma merupakan kondisi yang terbentuk
setelah terjadinya kejadian traumatik. Kejadian traumatik termasuk cedera fisik yang serius, kekerasan seksual,
ancaman kematian dan kekerasan atau kematian orang lain. Kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, perkosaan,
peperangan dan bencana alam termasuk kejadian traumatik. kejadian traumatik yang terjadi termasuk kejadian
yang dialami sendiri, menjadi saksi dari kejadian tersebut, kejadian yang dialami oleh orang terdekat atau tercinta
dan mengalami pengalaman yang kurang mengenakkan setelah kejadian. Pada DSM V kejadian traumatic ataupun
nontraumatik termasuk stressor.
Kejadian traumataik pada PTSD yaitu kejadian yang dialami sendiri atau menjadi sakasi kejadian tersebut,
kejadian yang terus menerus atau berulang, pada kejadian seperti :
 Kecelakaan yang parah
 kekerasan seksual dan fisik
 Kekerasan yang termasuk kekerasan terhadap anak dan KDRT
 Trauma yang berhubungan dengan pekerjaan
 Trauma akibat tindakan medis atau pengalaman saat melahirlan ( misal perawatan ICU atau kematiaan bayi
saat melahirkan)
 Perang dan konflik
 Penyiksaan
Faktor resiko terjadinya stress pasca trauma:
Faktor yang sudah ada sebelum trauma
 Gender (meningkat pada wanita)
 Pengalaman traumatik sebelumnya
 Riwayat penyakit kejiwaan
 Status ekonomi rendah
 Pendidikan dan intelegensi rendah
 Childhood adversity
Faktor peritraumatik
 Keparahan dan jenis trauma
 Kekerasan
 Disosiasi saat kejadian traumatik
Faktor posttraumatik
 Munculnya reaksi stress akut
 Stressor lainnya, seperti masalah ekonomi
 Dampak dari kejadian
 Tidak ada support sosial
Penelitian terdahulu, pasien dengan PTSD menunjukkan adanya reaktivasi otonom, ditandai dengan adanya
peningkatan detak jantung dan respon electrodermal (fenomena sementara kulit menjadi konduksi listrik yang
baik ketika terdapat stimulus ekternal maupun internalyang timbul pada rangsangan fisiologi) yang merupakan
respon dari trauma dan respon berlebih dari ketakutan. Temuan ini merupakan kumpulan gejala yang umum saat
teringat kejadian traumatik pada PTSD. Serta pada beberapa penelitian tentang uji farmakologi dengan yohimbine
(α-adrenergic receptor antagonis) memperlihatkan peningkatan respon neurochemical dan perilaku yang
konsisten dengan hiperaktivasi noradrenergic sentral pada PTSD.
Axis hipotalamus-pituitari- adrenal (HPA) dan sistem saraf simpatik bersama sama merupakan respon utama
stress di dalam tubuh. . pada korban trauma dengan PTSD terjadi pola yang tidak biasa yaitu level kortisol basal
yang rendah (unstimulated) dan peningkatan katekolamin, hal ini bertentang dengan prediksi awal yaitu
terjadinya peningkatan hormon stress pada pasien PTSD, hal ini kemungkinan akibat perbedaan Perubahan axis
HPA yang ditandai feedback negatif yang berlebih pada pasien dengan PTSD.
Gambar 1. Mekanisme axis HPA di PTSD
Terdapat perbeaan respon axis HPA terhadap stress pada
pasien dengan PTSD dan tanpa PTSD. Peningkatan sekresi
corticotropin-releasing hormon dari hipotalamus pada PTSD
digambarkan oleh garis hitam tebal. Penurunan pengeluaran
kortisol dari adrenal pada PTSD digambarkan dari garis hitam
tipis. Peningkatan feedback negatif cortisol pada ptsd
digambarkan garis merah tebal.

Efek kortisol pada sistem

Pada PTSD terjadi pula peningkatan catecholamine di otak akibat penurunan aktivitas enzim dan lambatnya
katalisasi catecholamine. Perubahan norephinefrine pada otak juga berhubungan dengan terjadinya PTSD. Axis
HPA bertanggung jawab untuk mengkoordinasi respon hormon terhadap stress. Disregulasi pada axis dan
peningkatan aktivitas sistem noradrenergic sentral dan perifer menjadi pengamatan pada pasien PTSD. Beberapa
neurotransmitter berpengaruh penting pada regulasi dan fungsi axis HPA. Norephinefrin berperan pentinga saat
terjadinya stress. Stimulasi norephinefrien menyebabkan hipervigilitas dan ketakutan berlebih dengan hal yang
berkaitan dengan trauma. Peningkatan level catecholamine. Tertama norephinerin menyebabkan gangguan tidur
seperti middle insomnia. Pembagian PTSD antara lain :

B. Mahasiswa mampu menjelaskan penegakan diagnosis kasus tersebut (Alloananmesis , Pemeriksaan


status mental )
Anamnesis psikiatri7
Pada gangguan jiwa ringan, anamnesis dapat dilakukan langsung pada penderita walaupun kadang – kadang infomasi
dari pihak lain juga berguna untuk mendapatkan kelengkapan riwayat penyakit penderita. Pada gangguan jiwa berat
untuk mendapatkan data – data tentang penderita dan riwayat penyakitnya mungkin harus kita gali dari orang lain
misalnya dari keluarga, teman atau tetangga penderita. Data yang harus kiat gali dari anamnesis ataupun aloanamnesis
adalah :
a. Identitas Penderita :
Identitas penderita yang perlu kita dapatkan adalah : nama. Umur, jenis kelamin, agama, alamat, pendidikan
pekerjaan, satatus pernikahan. Jika didapatkan dari alloanamnesis maka perlu juga untuk diketahui apakah sumber
aloanamnesa dapat dipercaya artinya benar – benar memahami tentang penderita, apakah penderita datang sendiri,
rujukan dari dokter lain atau datang dibawa orang lain ( keluarga, polisi, petugas panti, dll ).
b. Keluhan utama :
Pada gangguan jiwa ringan,penderita menyadari bahwa dirinya baik sehingga biasanya ia akan datang sendiri ke
dokter dan menceritakan keluhan utamanya. Berbeda dengan penderita gangguan jiwa berat yang memiliki insight I
tilikan dirinya jelek tidak merasa dirinya sakit , sehingga biasanya tidak dikatakan sebagai keluhan utama tetapi
dikatakan sebagai sebab dibawa ke rumah sakit.
Pada gangguan berat, biasanya penderita akan dibawa ke rumah sakit jika sudah melakukan tindakan – tindakan
yang tidak bisa ditoleransi lagi oleh lingkungannya. Misalnya mengamuk tanpa sebab, menyerang orang lain,
merusak barang – barang atau melakukan hal – hal yang membahayakan / meyakiti dirinya termasuk upaya bunuh
diri. Ketika penderita gangguan jiwa berat mulai menunjukkan perilaku perubahan awal ( gejala pradomal ) seperti
mengurung diri, banyak melamun, tidak mau bersosialisasi, malas untul beraktivitas, dll., keluarga kadang belum
perlu membawa ke rumah sakit. Tapi jika penderita sudah mengalami agitasi, agresif , melakukan upaya bunuh diri,
dll, barualah keluarganya membawa ke rumah sakit. Hal ini yang sering kali jadi penyebab terlambatnya tindakan
medis pada penderita jiwa gangguan jiwa berat.
Contoh keluhan utama : “saya sering merasa cemas, berdebar – debar, keluar keringat dingin, sulit tidur, sehingga
mengganggu aktivitas saya sehari – hari“ , “ia mengamuk tanpa sebab, memecah barang – barang yang ada dirumah
dan mengancam akan membunuh saudaranya.“
“ia hanya diam saja, jarang bicara, tidak mau makan dan tampak sangat sedih, kadang menangis dan sering merasa
sangat berdosa.“
c. Riwayat Perjalanan Sakit
 Onset
Apakah termasuk akut (kurang dari 1bulan ) subakut ( antara 1 – 6 bulan ) atau kronis ( lebih dari 6 bulan ).
Mulai munculnya penyakit pada gangguan jiwa berat kadang – kadang tidak langsung ditunjukkan dengan
adanya gejala yang menonjol ( Full blown psychotik ) tapi sering didahului oleh gejala – gejala prodomal pada
penderita dan sejak kapan gejala itu mulai ada.
 Kronologi (gejala utama & prodomal)
Perjalanan penyakit dimulai sejak adanya gejala prodomal. Gejala – gejala yang ada harus kita gali selengkap
mungkin. Misalnya keluarga menceritakan bahwa penderita tampak aneh, kita harus menanyakan apa yang
dimaksud dengan yang aneh tersebut. Misalnya : “penderita merasa sangat ketakutan tanpa sebab, merasa
dikejar – kejar orang lain yang akan membunuhnya,penderita sangat curiga pada orang – orang sekitarnya
sehingga dia tidak mau berkomunikasi dan tidak mau makan.penderita curiga apabila makanan / minuman
yang diberikan padanya mengandung racun untuk membunuh dirinya. Pada penderita yang cemas, maka harus
kita tanyakan : bagaimana frekuensinya apakah ada gejala fisik yang menyertai kecemasannya ( keringat
dingin, berdebar – debar , sulit tidur, apakah berhubungan dengan situasi tertentu, dll ).
 Hendaya fungsi, peran, waktu luang & perawatan diri
 Faktor presipitasi
juga harus kita gali dari penderita dan keluarganya , sehingga kita bisa memahami tentang permasalahan yang
dihadapi oleh pederita. Dengan demikian akan berguna bagi kita dalam penatalaksanaan penderita.
 Riwayat pengobatan yang telah dilakukan juga harus digali. Jenis pengobatannya keteraturan / kepatuhan dan
respon penderita terhadap terapi tersebut. Alasan mengapa baru sekarang dibawa ke rumah sakit. Jika sakitnya
bukan sakit yang pertama, maka harus dipastikan apakah sakitnya yang sekarang ini merupakan kelanjutan
sakit yang sebelumnya ataukah sudah dipisahkan oleh adanya kesembuhan, sehingga sakit yang sekarang
merupakan episode penyakit dan kesembuhan secara klinis ditunjukkan jika penderita dapat kembali ke fungsi
normalnya sebelum dia sakit. Jika ia adalah seorang mahasiswa dengan prestasi yang baik pula. Jika ia
karyawan, maka ia kembali berfungsi seperti sedia kala.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat gangguan jiwa sebelumnya
Jika ada gangguan jiwa sebelumnya, apa gejalanya,riwayat pengobatannya, jika dirawat di RS, tanyakan di RS
mana, berapa lama, efek dari pengobatan, akibat dari sakitnya, apakah bisa kembali ke fungsi normalnya atau
tidak setelah sakit.
 Riwayat penyakit medis umum sebelumnya.
Pada penyakit medis umum perlu digali apakah ada riwayat beberapa penyakit berat atau riwayat pembedahan
atau trauma berat yang sampai membutuhkan perawatan di rumah sakit. Perlu juga ditanyakan tentang adanya
kejang, penurunan kesadaran, perubahan pola nyeri kepala, perubahan pada pengelihatan, adanya kebingungan
dan disorientasi, adanya demam. Beberapa gangguan psikiatrik berkaitan erat dengan beberapa kondisi medis
diatas.
 Penggunaan alkohol dan obat – obatan serta zat lainnya termasuk kuantitas dan frekuensi penggunaannya.

e. Riwayat keluarga
Dari riwayat keluarga harus kita gali tentang riwayat penyakit yang ada dalam keluarga terutama tentang adanya
riwayat gangguan jiwa pada keluarganya. cari data tentang :
 Apakah anggota keluarga memberikan dukungan sosial bagi penderita atau tidak.
 Bagaimana hubungan antara penderita dengan orang tua, saudara dan anggota keluarga yang lainnya. Beberapa
penderita mempunyai problem dengan keluarganya, maka harus kita pertimbangkan dalam penatalaksanaan
penderita.
 Dengan siapa penderita punya hubungan jiwa yang paling dekat dalam keluargannya.
 Bagaimana pola asuh yang didapatkan penderita sejak kecil.
 Bagaimana pola hubungan antar masing – masing anggota keluargannya yang ada.
 Bagaimana tingkat sosial ekonomi keluarga.
f. Riwayat Pribadi
 Riwayat Prenatal dan Perinatal
Riwayat tentang kehamilan akan memberikan data apakah penderita akan merupakan anak yang diharapkan oleh
orang tuanya atau tidak. Hal ini akan berpengaruh terhadap bagaimana sikap orang tua selanjutnya dalam
pengasuhan anak. Perlu kita gali tentang adanya masalah pada saat proses persalinan, bagaimana kondisi
kesehatan fisik dan mental ibu saat mengandung, apakah ibunya menggunakan alkohol atau subtansi yang lain
selama kehamilan.
 Usia 0 – 3 Tahun ( masa kanak awal )
Dalam usaha ini hal penting yang harus kita perhatikan adalah bagaimana kualitas hubungan antara ibu dan anak
yang berkaitan dengan masa penyusuan dan toilet training. Apakah anak hanya diasuh oleh orang tua atau
diasuh oleh orang lain, apakah orang tuanya mempunyai masalah sehingga mempengaruhi pola hubungan antara
orang tua dengan anaknya, dll.
Hal penting dalam masa ini adalah :
˗ Kebiasaan makan ; apakah anak mendapat ASI atau susu botol, apakah ada problem kesulitan makan pada
anak.
˗ Toilet training : berapa umur anak mulai dilakukan toilet training ( terlalu dini atau terlambat akan
menimbulkan masalah bagi anak ), bagaimana orang tua bersikap dalam toilet training ( terlalu keras akan
menimbulkan masalah bagi anak ), bagaimana sikap anak dalam toilet trainingnya ( ada anak yang berhasil
namun juga ada yang bermasalah dalam toilet trainingnya sehingga sering terjadi konstipasi, BAB
dicelana, dll ).
˗ Adanya gejala – gejala yang berhubungan dengan masalah berperilaku : menghisap jempol, mudah marah,
mimpi – mimpi buruk, mengigit kuku, ketakutan.
˗ Kepribadian anak : rewel, mudah bergaul, bersahabat, aktivitas berlebihan dan pola pola permainan yang
disukai.
 Usia 3 – 11 tahun ( Masa Kanak pertengahan )
Pada masa ini informasi yang kita butuhkan diantaranya adalah tentang identifikasi gender, bagaimana perilaku
orang tua dalam mengajarkan aturan2 dalam keluarga dan hukuman wajib dilanggarnya.
Masa awal anak mulai masuk sekolah juga kita perlukan,bagaimana anak beradaptasi dan bagaimana ketika
anak harus berpisah dengan orang tua dan pengasuhnya. Apakah ia dapat bergaul dengan dengan orang –
orang baru disekitarnya, apakah anak yang bersahabat atau pemalu. Apakah anak bisa mengikuti aturan –
aturan yang ada, riwayat tentang kemampuan membaca,perkembangan intelektual dan psikomotor yang
lain.
 Masa Kanak akhir ( Pubertas – Remaja ).
Pada masa ini merupakan masa pembentukkan identitas diri seseorang. Seseorang sudah mulai meninggalkan
ketergantungan kepada orang tuannya dan mulai membangun hubungan dengan teman yang sebaya dalam
aktivitasnya.
˗ Kita perlu menggali riwayat sekolahnya, hubungannya dengan guru dan teman – teman, kegiatan lain selain
aktivitas sekolah , hobinya dan masalah – masalah yang dihadapinya pada masa ini.
˗ Masalah identitas diri
˗ Masalah penggunaan alkohol dan zat lainnya
˗ Perkembangan dan aktivitas seksualnya
˗ Interaksi dengan teman – temannya, apakah ia diterima atau dikucilkan lingkungannya
˗ Hubungan dengan orang tua
˗ Masalah yang dihadapinya
˗ Permasalahan berhubungan dengan kenakalan remaja
˗ Persaannya berkaitan dengan perkembangan seksualnya

g. Dewasa
 Riwayat Pekerjaan
Digambarkan tentang pekerjaan yang dimiliki penderita, kualitas pekerjaan dan keseriusan penderita dengan
pekerjaannya. Sejak kapan dan berapa lama penderita bekerja, apakah dengan pekerjaan yang tetap atau
berganti-ganti atau berpindah-pindah pekerjaan dan apa alasannya. Apakah ada masalah yang berkaitan dengan
pekerjaan itu sendiri, faktor kepribadiannya atau interaksi dengan pimpinan dan teman-teman kerjanya atau
justru sudah merupakan manifestasi dari gangguannya.
 Riwayat Pernikahan
Dari riwayat pernikahan penderita, kita cari informasi tentang berapa lama penderita menikah dan masalah-
masalah yang berkaitan dengan pernikahan. Jika terjadi perceraian, maka kita harus gali apakah sebab dari
perceraian itu. Perceraian bisa sebagai factor presipitasi jika penderita mengalami gangguan jiwa setelah proses
itu. Namun kita juga harus berpikir jangan-jangan adanya gangguan jiwa pada diri penderitalah yang menjadi
sebab pasangannya meminta cerai. Ataukah disebabkan adanya masalah seksual dalam pernikahan.
 Riwayat Militer
Riwayat tentang keterlibatan penderita dalam kegiatan militer jika ada. Atau pengalaman penderita terlibat atau
menyaksikan langsung kejadian peperangan.
d. Riwayat Pendidikan
Riwayat tentang proses pendidikan penderita, motivasi, kualitas, dan masalah-masalah yang timbul berkaitan
dengan sekolahnya. Umur berapa penderita berhenti dari sekolahnya, apa sebabnya, apakah karena
ketidakmampuanintelektualnya atau masalah social ekonomi. Bagaimana prestasi sekolahnya selama ini, apakah
relative konstan atau mengalami penurunan dan apa sebabnya. Apakah pemilihan disiplin ilmu adalah sesuai
keinginannya atau paksaan dari pihak lain. Apakah penderita pernah mengalami kegagalan dalam proses
pendidikannya (tidak naik kelas, DO, nilai menurun drastis, dll).
 Aktivitas Keagamaan
Perlu kita cari informasi tentang aktivitas keagamaan dalam keluarga, latar belakang keagamaan kedua orang
tuanya, apakah orang tuanya termasuk keras atau permisif terhadap aktifitas keagamaan anaknya, apakah ada
konflik antara keagamaan anak dan orang tuanya. Bagaimana ketaatan penderita dalam agamanya. Kepahaman
kita terhadap data-data ini sangat bermanfaat terutama dalam penatalaksanaan penderita.
 Aktivitas Sosial
Bagaimana penderita selama ini berhubungan dengan lingkungan sosialnya, bagaimana sikap penderita dengan
teman sesame jenis dan lawan jenisnya, apakah penderita termasuk orang yang lebih suka mengisolasi diri atau
antisocial, kalau penderita lebih memilih mengisolasi diri harus kita cari informasi mengapa ia berlaku
demikian, apakah karena rendah dirinya, kecemasannya atau ketakutannya terhadap orang lain.
 Situasi Kehidupan Sekarang
Kehidupan penderita saat sekarang, apakah tinggal bersama orang tuanya atau bersama orang lain, apakah hidup
dip anti rehabilitasi atau asrama atau rumah keluarga sendiri. Apakah di tempat tinggalnya, ia dapat mempunyai
privasi, bagaimana hubungan penderita dengan orang-orang yang ada di tempat tinggalnya dan bagaimana
kondisi tempat tinggalnya termasuk social ekonomi keluarga penderita. Hal ini dapat berkaitan dengan family
support terhadap penderita.
 Riwayat Hukum
Apakah penderita pernah berurusan dengan masalah hukum, apa sebabnya?
h. Riwayat Perkembangan Seksual
Perlu kita tanyakan darimana penderita mendapat informasi tentang masalah seksual (menarche/spermache) dan
bagaimana sikap penderita terhadap perkembangan seksualnya. Masalah-masalah yang muncul berhubungan
dengan perkembangan seksualnya. Termasuk kekerasan seksual yang mungkin pernah terjadi pada penderita mulai
dari masa kecilnya dan mungkin sampai saat sekarang serta adanya hubungan seks pra nikah.
i. Fantasi, impian dan nilai-nilai
Kita tanyakan tentang fantasi, impian dan nilai-nilai yang dianut penderita, data-data ini bermanfaat membantu kita
untuk memahami penderita dan memudahkan dalam penegakan diagnosis serta penatalaksanaannya.
Pemeriksaan status mental1
Pemeriksaan status mental yang dilakukan kepada pasien dengan gejala depresi antara lain:
a. Deskripsi umum & sikap tingkahlaku
Retardasi psikomotor menyeluruh, agitasi psikomotor sering ditemukan pada lanjut usia. Gejala agitasi yang paling
umum adalah menggenggamkan tangan dan menarik-narik rambut. Pasien depresi sering memiliki postur
membungkuk, mata kosong, pandangan putus asa dan mengalihkan pandangan.
b. Mood, afek dan perasaan
Gangguan perasaan yang sering didapat adalah afek sedih, perasaan sedih atau kesepian, penarikan diri dari sosial
dan penurunan aktivitas menyeluruh. Pasien juga dapat mengeluhkan perasaan letih ataupun kehilangan energi
tanpa melakukan pekerjaan yang berat.
c. Bicara
Banyak pasien menunjukkan penurunan kecepatan dan volume bicara serta respon yang melambat (kualitas &
kuantitas).
d. Gangguan isi pikiran
Adanya waham pada pasien terdepresi menunjukkan episode berat dengan ciri psikotik. Waham sesuai mood adalah
waham bersalah, memalukan, tidak berguna, kemiskinan, kegagalan, kejar dan penyakit somatik terminal
sedangkan waham tidak sesuai mood adalah tidak sesuai mood terdepresi, dengan tema kebesaran.
e. Pikiran
Biasanya memiliki pandangan negatif tentang dunia dan dirinya. Dapat juga terjadi pelambatan pikiran (thought
blocking) dan kemiskinan isi pikiran sebanyak 10%.
f. Sensorium dan Kognisi
Gangguan orientasi lebih muncul pada depresi yang berat, meliputi orientasi terhadap orang, tempat dan waktu.
Gangguan daya ingat pada pasien depresi sering disebut pseudokognitif yang terjadi sekitar 50 – 70% dengan
gejala gangguan kognitif, kurangnya konsentrasi dan mudah lupa. Tilikan pasien terkadang berlebihan menekankan
gejala, gangguan dan masalah hidupnya. Informasi yang didapatkan terlalu menonjolkan hal yang negatif atau
buruk.

C. Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosis (multiakasial) dan diagnosa bandingnya serta alasan
penegakan diagnosa tersebut (PTSD)
Multiaxial8
I. = gangguan klinis, kondisi lain yang menjadi fokus perhatian
Pada kasus : F43.1 ganguan stress pasca trauma
II. = gangguan kepribadian, retardasi mental
Pada kasus : tidak ada
III. = kondisi medik umum
Pada kasus : tidak ada
IV. = masalah psikososial dan lingkungan (stressor)
Pada kasus : masalah berkaitan interaksi dengan tindak kriminal dan hukum
V. = penilaian fungsi global
Pada kasus : GAF 70 – 61 , beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara
umum masih baik.
Differential diagnosis
1. Trauma and stress related disorder
a) Reaksi strees akut
b) Gangguan penyesuaian
2. Gangguan panik
3. Gangguan depresi mayor
4. Gangguan anxietas menyeluruh
5. Dukacita, Kesedihan, dan Berkabung
6. Insomnia

D. Mahasiswa mampu menjelaskan kriteria diagnosa kasus tersebut menurut PPDGJ III dan DSM-TSR V
Pedoman diagnosis menurut PPDGJ III.
 Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian
traumatis berat (masa laten berkisar antara beberapa monggu sampai beberapa bulan , jarang melampaui 6
bulan),
 Kemungkinan diagnosa masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset
gangguan melebihi 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori
gangguan lainnya
 Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didaoatkan bayang-bayang atau mimpi –mimpi dari kejadian
traumatik secara berulang-ulang kembali (flashback).
 Gangguan otonom, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis, tetapi
tidak khas.
 Suatu “sequele” menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa misalnya saja beberapa puluh
tahun setelah bencana, diklasifikasikan dalam katagori F 62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung
setelah kejadian katas trofi,

Kriteria diagnostik untuk Posttraumatic Stress Disorder Menurut DSM-V


A. Terpapar kejadian yang mengancam nyawa atau berhubungan dengan kematian, cidera serius atau
pelecehan sexual dengan (satu atau lebih) cara berikut :
1. orang berpengalaman langsung kejadian traumatic
2. Menyaksikan secara langsung kejadian yang dialami orang lain
3. Memahami kejadian traumatik yang dialami keluarga dekat atau teman dekat. Dihadapkan dengan suatu
peristiwa atau kejadian yang melibatkan kematian aktual atau ancaman kematian atau cedera serius,
ataau kejadian yang diakibatkan kekerasan atau kecelakaan
4. Dialami berulang atau paparan berlebih rincian/detail dari kejadian yang tidak menyenangkan/ aversif
B. Mengalami satu atau lebih gejala intrusif/mengganggu yang berhubungan dengan kejadian traumatik,
dimulai setelah terpapar kejadian traumatik.
1. Ingatan dari kejadian taumatik yang terus mengganggu, berulang dan tidak terkontrol
2. Mimpi tentang sesuatu yang tidak menyenangkan berulang kali yang berisi tentang kejadian atau afek
dari mimpi tersebut mirip dengan kejadian trumatik
3. Pengalaman dissosiatif (seperti flashback) dimana orang tersebut merasa atau berperilaku seakan - akan
mengalami kembali kejadian traumatik tersebut. (kejadian ini dapat terjadi terus menerus, dengan
respon paling parah sampai hilangnya kesadaran terhadap lingkungan sekitar).
4. Distress psikologis secara terus menerus dan intens saat terdapat paparan internal atau eksternal yang
melambangkan atau menyerupai peristiwa traumatik
5. Reaksi fisik saat terdapat paparan internal atau eksternal yang melambangkan atau menyerupai
peristiwa traumatik
C. Terus-menerus menghindar dari stimulus yang terkait dengan kejadian trauma, dialami setelah
kejadian traumatik terjadi, ditunjukan satu atau lebih dari hal berikut:
1. Menghindar atau usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, ingatan yang tidak menyenangkan atau
perasaan yang berhubungan dekat dengan kejadian traumatik
2. Menghindar atau usaha untuk menghindari stimulus/ pengingat eksternal (kegiatan, percakapan,
aktivitas, objek/benda, situasi tempat, atau orang-orang) yang membangkitkan ingatan yang tidak
menyenangkan, pikiran atau perasaan yang berhubungan deket dengan kejadian traumattik
D. Perubahan negatif dari kognitif dan mood yang berhubungan dengan kejadian traumatik. Berawal dari
atau bertambah buruk setelah kejadian traumatik terjadi. Ditunjukkan dari satu atau lebih hal berikut :
1. Ketidakmampuan mengingat hal/ bagian penting dari kejadian traumatik (biasanya akibat amnesia
disosiatif dan tidak akibat dari trauma kepala, alkohol atau obat - obatan)
2. Ekspetasi atau kepercayaan yang buruk terus menerus dan berlebihan tentang diri sendiri, orang lain dan
dunia( contoh : saya jahat, tidak ada yang dapat dipercaya, seluruh hidupku hancur berantakan)
3. Distorsi pikiran yang persisten bahwa dia penyebab atau konsekuensi kejadian traumatik itu terjadi yang
akhirnya menyalahkan diri sendiri atau orang lain
4. Kondisi emosional yang buruk (seperti takut, horror, marah, bersalah atau malu)
5. Hilang minat terhadap kegiatan yang sebelumnya disukai
6. Merasa terasingkan dari orang lain
7. Tidak dapat merasakan perasaan yang positif secara persisten (tidak dapat merasakan kegembiraan,
kepuasan atau merasa dicintai)
E. Perubahan yang tampak pada respon dan reaksi terhadap segala sesuatu berhubungan dengan kejadian
traumatik, berawal atau bertambah buruk setelah kejadian traumatik terjadi, seperti yang ditunjukkan oleh
dua (atau lebih) dari yang berikut:
1. Irritable, mudah marah (dengan sedikit atau tanpa provokasi)
2. Perilaku tidak bertanggung jawab atau merusak diri sendiri
3. Gangguan tidur
4. kesulitan berkonsentrasi
5. hypervigilance
6. respon kaget yang berlebihan
F. Durasi gangguan (gejala pada Kriteria B, C, D dan E) lebih dari 1 bulan.
G. Gangguan tersebut menyebabkan distress klinis yang bermakna atau penurunan kemampuan dalam bidang
sosial, pekerjaan, atau fungsi.
H. Gangguan tidak dipengaruhi oleh obat - obatan atau gangguan medis lain

Tentukan jika:
 Akut : jika durasi gejala kurang dari 3 bulan
 Kronis : jika durasi gejala adalah 3 bulan atau lebih
 Dengan onset tertunda: jika timbulnya gejala setidaknya 6 bulan setelah stressor.
E. Mahasiswa mampu menjelaskan tatalaksana pasien diatas (farmakologis dan non farmakologis)
pasien yang telah mengalami trauma yang bermakna, pendekatan utama adalah dukungan, dorongan untuk
membahas kejadian, dan edukasi tentang berbagai mekanisme koping (misalnya, relaksasi). Penggunaan obat
penenang dan hipnotik juga dapat membantu. Ketika seorang pasien mengalami peristiwa traumatis di masa lalu
dan sekarang memiliki PTSD, penekanan harus pada pengetahuan tentang gangguan dan pengobatan, baik
farmakologis dan psikoterapi. Dokter juga harus bekerja untuk destigmatisasi gagasan penyakit mental dan PTSD.
Dukungan tambahan untuk pasien dan keluarga dapat diperoleh melalui kelompok dukungan lokal dan nasional
untuk pasien dengan PTSD.
Farmakoterapi
Hanya dua jenis obat yang terlah diakui FDA yaitu sertralin dan paroxetin yang termasuk selective serotonin
inhibitor. Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), seperti sertraline (Zoloft) dan paroxetine (Paxil), dianggap
pengobatan lini pertama untuk PTSD, karena efektivitas, tolerabilitas, dan efek samping rendah. SSRI mengurangi
gejala dari semua kelompok PTSD gejala, baik gejala yang mirip dengan depresi dan gangguan kecemasan lainnya.
Buspirone (BuSpar) adalah serotonergik dan juga mungkin digunakan.
Khasiat imipramine (Tofranil) dan amitriptyline (Elavil), dua obat trisiklik, dalam pengobatan PTSD didukung
oleh sejumlah uji klinis yang terkendali dengan baik. Meskipun beberapa percobaan dari dua obat memiliki
temuan negatif, kebanyakan dari uji coba ini memiliki cacat desain yang serius, termasuk terlalu pendek durasi.
Dosis imipramine dan amitriptyline harus sama dengan yang digunakan untuk mengobati gangguan depresi, dan
percobaan yang memadai harus berlangsung minimal 8 minggu. Pasien yang merespon dengan baik mungkin
harus terus farmakoterapi untuk setidaknya 1 tahun sebelum dilakukan usaha untuk menarik obat. Beberapa
studi menunjukkan bahwa farmakoterapi lebih efektif dalam mengobati depresi, kecemasan, dan hyperarousal
dari dalam mengobati menghindari, penolakan, dan mati rasa emosional.
Obat lain yang mungkin berguna dalam pengobatan PTSD meliputi inhibitor monoamine oxidase (MAOIs)
(misalnya, phenelzine [Nardil]), trazodone (Desyrel), dan antikonvulsan (misalnya, carbamazepine [Tegretol],
valproate [Depakene]). Beberapa penelitian juga mengungkapkan peningkatan PTSD pada pasien yang diobati
dengan reversibel inhibitor monoamine oxidase (Rimas). Penggunaan clonidine (Catapres) dan propranolol
(Inderal), yang adalah agen antiadrenergic, disarankan oleh teori tentang hiperaktif noradrenergik di gangguan.
Hampir tidak ada perhatian positif data penggunaan obat antipsikotik dalam gangguan, sehingga penggunaan
obat-obatan seperti haloperidol (Haldol) harus disediakan untuk kontrol jangka pendek agresi parah dan agitasi.
Psikoterapi
Psikoterapi psikodinamik mungkin berguna dalam pengobatan banyak pasien dengan PTSD. Dalam beberapa
kasus, rekonstruksi peristiwa traumatis dengan abreaksi terkait dan katarsis mungkin terapi, tetapi psikoterapi
harus individual karena reexperiencing trauma menguasai beberapa pasien.
Intervensi psikoterapi untuk PTSD meliputi terapi perilaku, terapi kognitif, dan hipnosis. Banyak dokter
menganjurkan psikoterapi waktu terbatas untuk korban trauma. Terapi seperti biasanya mengambil pendekatan
kognitif dan juga memberikan dukungan dan keamanan. Sifat jangka pendek dari psikoterapi yang meminimalkan
risiko ketergantungan dan kronisitas, tetapi isu-isu kecurigaan, paranoia, dan kepercayaan sering mempengaruhi
kepatuhan. Terapis harus mengatasi penolakan pasien dari peristiwa traumatik, mendorong mereka untuk
bersantai, dan menghapus mereka dari sumber stres. Pasien harus didorong untuk tidur, menggunakan obat jika
diperlukan. Dukungan dari orang-orang di lingkungan mereka (misalnya, teman-teman dan kerabat) harus
disediakan.
Psikoterapi setelah peristiwa traumatis harus mengikuti model intervensi krisis dengan dukungan, pendidikan,
dan pengembangan mekanisme koping dan penerimaan acara. Ketika PTSD telah mengembangkan, dua
pendekatan psikoterapi utama dapat diambil. Yang pertama adalah terapi pemaparan, di mana pasien
reexperiences peristiwa traumatik melalui teknik pencitraan atau dalam paparan vivo. Eksposur dapat intens,
seperti dalam terapi implosif, atau dinilai, seperti dalam desensitisasi sistematis. Pendekatan kedua adalah untuk
mengajarkan metode pasien manajemen stres, termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk
mengatasi stres. Beberapa data awal menunjukkan bahwa, meskipun teknik manajemen stres yang efektif lebih
cepat daripada teknik eksposur, hasil teknik eksposur bertahan lebih lama.
Teknik psikoterapi lain yang relatif baru dan agak kontroversial adalah gerakan mata desensitisasi dan
pengolahan ulang (EMDR), di mana pasien berfokus pada gerakan lateral jari klinisi tetap menjaga citra mental
dari pengalaman trauma. Kepercayaan umum adalah bahwa gejala dapat dikurangi sebagai pasien bekerja melalui
peristiwa traumatis sementara dalam keadaan relaksasi yang mendalam. Para pendukung pengobatan ini
menyatakan itu adalah sebagai efektif, dan mungkin lebih efektif, dibandingkan perawatan lain untuk PTSD dan
yang lebih disukai oleh dokter dan pasien yang telah mencobanya.
Selain teknik terapi individu, terapi kelompok dan terapi keluarga telah dilaporkan efektif dalam kasus PTSD.
Keuntungan dari terapi kelompok termasuk berbagi pengalaman traumatis dan dukungan dari anggota kelompok
lainnya. Terapi kelompok telah sangat sukses pada veteran Vietnam dan korban bencana bencana seperti gempa
bumi. Terapi keluarga sering membantu mempertahankan perkawinan melalui periode gejala diperburuk. Rawat
inap mungkin diperlukan bila gejala sangat parah atau ketika risiko bunuh diri atau kekerasan lainnya ada.

Daftar pustaka
1. Buku pentunjuk skill lab blok 13 Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang
2. Maslim, rusdi. Diagnosis Multiaksial. Dalam: Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Rujukan Ringkas PPDGJ-III
dan DSM - 5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya; 2013. hal: 79
3. Maslim, rusdi. Diagnosis Multiaksial. Dalam: Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Rujukan Ringkas PPDGJ-III
dan DSM - 5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya; 2013. hal: 253 - 255
4. Yehuda, Rachel, Charles W., Alexander C. post traumatic disorder. Macmillan publisher : 2005
5. Togay, Bilge, El-mallach. Posttraumatic stress disorder: from pathophysiology to pharmacology. Diakses
darri clinical neuroscince pada tanggal 10 September 2020

Anda mungkin juga menyukai