Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Setelah mengalami traumatis, normal untuk merasa takut, sedih dan cemas.
Tetapi, apabila keadaan tersebut tidak hilang dan merasa terjebak dengan perasaan
yang menetap terhadap bahaya dan kenangan yang menyakitkan, mungkin orang
tersebut menderita gangguan stress pascatrauma (PTSD).1 Post Traumatic Stress
Disorder atau PTSD adalah gangguan kecemasan yang dapat terbentuk dari sebuah
peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan, sulit dan tidak
menyenangkan dimana terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam.2

Kebanyakan orang mengasosiasikan PTSD dengan pertempuran tentara dan


militer adalah penyebab paling umum pada pria. Tetapi setiap pengalaman hidup
yang luar biasa dapat memicu PTSD, terutama jika peristiwa tersebuttidak terduga
dan tidak terkendali. PTSD dapat mempengaruhi penderita secara pribadi mengalami
bencana, mereka yang menyaksikannya, dan orang-orang yang mengalami sebagian
dari pasca peristiwa tersebut, termasuk pekerja darurat dan aparat penegak hukum.
PTSD berkembang secara berbeda dari orang ke orang.1

Sedangkan gejala PTSD paling sering timbul dalam hitungan jam atau hari
pasca peristiwa traumatis, kadang-kadang dapat muncul setelah beberapa minggu,
bulan, atau bahkan bertahun – tahun.1 Untuk mendiagnosis PTSD, gejala harus
bertahan lebih dari 1 bulan pasca peristiwa traumatis dan sangat berpengaruh
terhadap kehidupannya, seperti keluarga dan pekerjaan. Pada DSM – V , gangguan
yang menyerupai PTSD disebut acute stress disorder, dimana gejala yang timbul
bertahan dalam kurun waktu 3 hari sampai dengan 1 bulan.4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Posttraumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan stres paskatrauma
GSPT) adalah sebuah gangguan mental yang berhubungan dengan stress dan trauma
yang diartikan sebagai pengulangan kejadian (re-experiencing), penghindaran,
keyakinan negatif, dan gejala hyperarousal pada orang yang telah melalui kesulitan
ekstrim. PTSD adalah hasil umum dari semua jenis peristiwa traumatik baik yang
paling mengerikan dan terjadi berlarut-larut seperti penangkaran dan penyiksaan, atau
yang peristiwa atau insiden yang lebih pendek dan singkat seperti kecelakaan.1

2.2 Epidemiologi
Insiden PTSD di semua umur berkisar 9-15% dengan prevalensi sekitar 8%
pada populasi umum, setidaknya sekitar 3% orang dewasa dari populasi umum
pernah mengalami PTSD sepanjang waktu hidupnya. Prevalensi PTSD pada
perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki 10%:4%. Angka kejadian ini dapat
meningkat pada populasi yang terkena dampak konflik, misalnya veteran Afganistan
dan Iraq dengan angka kejadian PTSD 13% dan mencapai >50% pada mereka yang
mengalami pemerkosaan. Gangguan ini paling banyak terjadi pada mereka yang
lajang, bercerai, menarik diri dari sosial, orang dengan tingkat ekonomi rendah. 2 & 3

2.3 Etiologi
1. Stresor
Menurut definisi stresor adalah faktor penyebab utama terjadinya PTSD,2
stresor traumatis yang melibatkan pengkhianatan atau pelanggaran terhadap
keamanan dasar seperti kekerasan fisik atau seksual, kekerasan keluarga, pemenjaran
yang kejam dan tidak manusiawi atau penyiksaan jika terjadi pada masa anak-anak
dan berulang kemungkinan besar akan berkembang menjadi PTSD. 3
Tetapi tidak

2
semua orang yang mengalami peristiwa traumatik akan berkembang menjadi PTSD.
Stresor saja tidak cukup untuk menyebabkan gangguan, klinisi juga harus
mempertimbangkan kondisi yang sudah ada pada individu sebelumnya, faktor
biologis dan psikososial, serta periwtiwa yang terjadi sebelum dan sesudah peristiwa.
2

2. Faktor Risiko
PTSD tidak hanya disebabkan karena paparan stresor traumatis meskipun
berdasarkan definisi PTSD hanya terjadi jika seorang terpapar stresor traumatis.
Bahkan ketika dihadapkan dengan trauma yang luar biasa kebanyakan orang sekitar
80-90% tidak berkembang menjadi PTSD,4 demikian pula peristiwa yang mungkin
tampak biasa saja dan kurang traumatik mungkin saja menyebabkan PTSD pada
sebagian orang. 2
Oleh karena itu klinisi menyimpulkan paparan stresor traumatis
diperlukan sebagai penyebab PTSD namun tidak cukup berkontribusi sendiri
menyebabkan PTSD.3
PTSD merupakan kombinasi perbedaan yang besar antara faktor risiko dan
faktor protektif, faktor-faktor ini dimulai sebelum stresor traumatis terjadi. Faktor
sebelum PTSD ini termasuk karakteristik genetik seseorang (diantaranya jenis
kelamin dan latar belakang etnokultural, variasi gen yang berkaitan dengan memori,
pembelajaran, motivasi, masalah emosional dan perilaku), termasuk juga usia (anak-
anak dan orang dewasa yang lebih tua memiliki risiko yang lebih rendah
dibandingkan remaja dan dewasa muda), serta paparan rang tersebut dan keluarganya
terhadap peristiwa traumatis dan episode PTSD sebelumnya, masalah kejiwaan atau
kecanduan, dan konflik interpersonal.4
Faktor risiko PTSD diantaranya adanya trauma masa kecil, orang dengan
gangguan kepribadian borderline,paranoid, dependent, dan antisosial, dukungan dari
orang tua dan teman sebaya yang tidak memadai, jenis kelamin perempuan,
kerentanan genetik terhadap penyakit kejiwaan, perubahan hidup yang penuh tekanan
dalam waktu dekat, dan penggunaan alkohol. 2
Faktor protektif diantaranya jenis

3
kelamin laki-laki, orang dengan etnis mayoritas, sosial ekonomi dan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, dan dukungan sosial. 4
3. Faktor Biologi
Banyak sistem neurotrasmiter yang terlibat dan menghasilkan teori tentang
norepinefrin, dopamin, opioid endogen, reseptor benzodiazepin, dan aksis
hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA). Penelitian menunjukkan bahwa sistem opiat
noradrenergik dan endogen, serta aksis HPA hiperaktif setidak pada beberapa pasien
PTSD. Ada juga peningkatan aktivitas dan responsivitas sistem saraf otonom dan
tidur yang tidak normal. 2,5

Gambar 2. 1 Gambar regio otak yang berperan dalam


terjadinya PTSD.5

Penelitian menunjukkan peningkatan konsentrasi epinefrin pada urin 24 jam


seorang veteran yang mengalami PTSD dan peningkatan katekolamin pada penderita
pelecehan seksual. Studi menunjukkan konsentrasi kortisol bebas dalam plasma dan

4
urin yang rendah pada PTSD. Adanya hiperregulasi aksis HPA di PTSD dan
hipersupresi kortisol pada pasien yang terpapar trauma yang berkembang menjadi
PTSD, dibandingkan dengan pasien yang terpapar trauma namun tidak mengalami
PTSD. Hal ini menunjukkan bahwa hal itu mungkin secara khusus berkaitan dengan
PTSD dan bukan hanya trauma. 2

2.4 Diagnosis
Diagnosis PTSD bergantung pada identifikasi peristiwa traumatik seperti
kematian atau terancam mati, cedera serius, kekerasan seksual yang dialami secara
langsung, menyaksikan, atau secara tidak langsung mengetahui keluarga/teman yang
sangat dekat terpapar kejadian traumatik, atau bahkan akumulasi paparan
langsung/tidak langsung terhada detil peristiwa traumatik-biasanya berkatian dengan
pekerja profesional (personel atau jurnalis yang menangani dan meliput kasus
traumatik).williams Selain kejjadian traumatik diperlukan pula konfirmasi gejala yang
termasuk dalam 4 kategori diagnostik: merasa mengalami kembali peristiwa
traumatik, penghindaran, perubahan negatif pada kognisi dan mood, dan
hyperarousal.1
1. DSM-5 – 309.81 (F43.10)
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM–5)
diagnosis PTSD memerlukan adanya paparan terhadap kejadian traumatik yang dapat
diidentifikasi dan adanya gejala yang diatur dalam 4 kategori: re-experiencing (5
gejala), penghindaran (2 gejala), perubahan negatiff pada kognisi dan mood (7
gejala), dan hyperarousal ( gejala), semua gejala ini dapat ditemukan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 mencantumkan gejala dalam tiap-tiap kategorinya.6
Kriteria diagnostik terpenuhi dengan adanya minimal 1 gejala pada kategori
dengan <5 gejala dan minimal 2 gejala pada kategori dengan 5 gejala, durasi
setidaknya harus 1 bulan dan gangguan harus membuat penderitaan atau gangguan
fungsional yang bukan diakibatkan pengobatan, penggunaan zat, dan penyakit lain.
DSM-5 juga mengandung subtipe PTSD dengan gejjala disosiatif (derealisasi dan

5
depersonalisasi), penggunaanya anyak dikritik karena banyaknya kombinasi gejala
yang ditimbukan dan gejalanya tumpang tindih dengan gangguan kejiwaan lainnya. 6
Tabel 2.1 Gejala PTSD berdasarkan DSM-56
Re-experiencing Penghindaran Perubahan negatif Hyperarousal
kognisi dan mood
 Pikiran yang  Stimulus internal  Kognisi negatif  Waspada berlebih
mengganggu  Stimulus eksternal  Menyalahkan  Reaksi kaget
 Mimpi buru berlebih  Iritabel atau agresi
 Kilas balik  Emosi negatif  Perilaku berisiko
 Pengulangan  Anhedonia atau destruktif
emosi  Merasa terisolasi  Sulit konsentrasi
 Pengulangan Fisik  Minat menurun  Tidur terganggu
 Amnesia disosiatif

Untuk Dewasa, Remaja dan Anak >6 tahun

A. Paparan terhadap ancaman atau kejadian kematian, cedera serius, atau


kekerasan seksual, dari satu (atau lebih) kriteria di bawah ini:
1. Langsung mengalami kejadian traumatis.
2. Menjadi saksi mata, peristiwa tersebut terjadi pada orang lain.
3. Menghadapi kejadian traumatis yang terjadi pada keluarga dekat atau
teman dekat. Pada kasus ancaman atau kejadian kematian pada keluarga
atau teman, kejadian harus kekerasan atau kecelakaan.
4. Menghadapi paparan berulang atau ekstrim kejadian traumatis yang tidak
diinginkan. Tidak termasuk paparan lewat media elektronik, televisi,
film, atau gambar yang berhubungan dengan pekerjaan.

B. Adanya satu (atau lebih) gejala intrusi yang berhubungan dengan kejadian
traumatis, dimulai setelah kejadian traumatis terjadi:
1. Kejadian traumatis yang berulang, tidak disadari, dan menjadi ingatan
yang mengganggu.
Note: Pada anak di atas 6 tahun, mungkin ada mimpi buruk tanpa
mengenali isi mimpinya.

6
2. Mimpi distres yang berulang yang mana isinya dan/atau mempengaruhi
mimpi yang berhubungan dengan kejadian traumatis.
Note: Pada anak, mungkin ada mimpi buruk tanpa mengenali isi
mimpinya
3. Reaksi disosiatif (misalnya: kilas balik) dengan berperilaku atau
berperasaan seolah kejadian traumatis terjadi kembali. (Reaksi dapat
terjadi berlanjut, dengan ekspresi paling ekstrim dari kehilangan total
kesadaran akan keberadaan sekelilingnya)
Note: Pada anak, peragaan trauma spesifik dapat terjadi dalam permainan.
4. Distres psikologis yang terjadi secara intens atau berkepanjangan jika
berhadapan dengan hal atau simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa
traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara internal atau eksternal.
5. Reaksi fisiologis yang berhadapan dengan hal atau simbol yang berkaitan
dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara
internal atau eksternal.

C. Perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus yang berkaitan


dengan peristiwa traumatik yang dialami dan disertai dengan satu atau kedua
gejala di bawah ini:
1. Usaha menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan tentang atau
mendekati sesuatu yang berhubungan dengan kejadian traumatis.
2. Usaha untuk menghindari atau secara langsung menghindari pengingat
eksternal (orang, tempat, pembicaraan, aktivitas, objek, situasi) yang
menghidupkan ingatan, pikiran, atau perasaan tentang atau mendekati
sesuatu yang berhubungan dengan kejadian traumatis.

D. Perubahan negatif ada kognitif, dan mood yang berhubungan dengan


kejadian traumatis, diawali atau bertambah parah setelah kejadian traumatis
terjadi, yang ditunjukkan dengan dua (atau lebih) gejala di bawah ini:
1. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting kejadian traumatis

7
(biasa berhubungan dengan amnesia disosiatif dan tidak dipengaruhi
faktor lain seperti cedera kepala, alkohol, atau obat-obatan).
2. Kepercayaan yang persisten atau berlebihan atau ekspektasi tentang
seseorang, orang lain, atau dunia (contoh: “Saya buruk”, “Tidak ada
orang mempercayai saya”, “Dunia sangat berbahaya”, “Seluruh sistem
saraf saya tidak bekerja permanen”).
3. Gangguan kesadaran menetap tentang penyebab atau hasil dari kejadian
traumatis yang menyebabkan individu menyalahkan diri sendiri atau
orang lain.
4. Emosi negatif yang menetap (contoh: ketakutan, horor, kemarahan,
perasaan bersalah, rasa malu).
5. Penurunan jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam aktivitas
6. Merasa asing atau terpisah dari sekitarnya.
7. Ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi positif (contoh: tidak
dapat merasakan kebahagiaan, kepuasan, atau rasa sayang).

E. Kemunduran yang jelas pada kewaspadaan dan reaksi yang berhubungan


dengan kejadian traumatis, diawali atau bertambah parah setelah kejadian
traumatis terjadi, yang ditandai dengan dua (atau lebih) gejala di bawah ini:
1. Perilaku gelisah dan mudah mengalami ledakan kemarahan (dengan
sedikit atau tanpa provokasi) yang ditandai dengan perkataan maupun
perbuatan pada orang lain atau objek tertentu.
2. Perilaku sembrono atau merusak diri sendiri.
3. Hypervigilance (peningkatan kewaspadaan).
4. Respon terkejut yang berlebihan.
5. Kesulitan berkonsentrasi.
6. Gangguan tidur.
F. Durasi dari gangguan (Kriteria B, C, D, dan E) terjadi lebih dari satu bulan.
G. Gangguan menyebabkan penderitaan atau hendaya dalam fungsi sosial,

8
pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
H. Gangguan tidak disebabkanoleh efek fisiologis dari zat (obat- obatan,
alkohol) atau kondisi medik umum lainnya.
Tentukan jika:
Dengan gejala disosiatif: gejala individu memenuhi kriteria PTSD dan
sebagai respon terhadap stresor, individu juga mengalami gejala menetap
atau berulang seperti di bawah ini:

1. Depersonalisasi:Pengalaman menetap atau berulang subjektif bahwa


dirinya terasa tidak nyata, asing, atau tidak familiar.
2. Derealisasi: Pengalaman menetap atau berulang sebjektif terhadap
lingkungan yang tidak nyata.
Note: Untuk menggunakan subtipe ini, gejala disosiatif harus tidak merupakan efek
fisiologis dari zat atau kondisi medis umum.
Tentukan:Dengan Ekpresi Tertunda: Jika seluruh diagnostik tidak ditemui minimal
6 bulan (walaupun onset maupun gejala terjadi langsung).

Gangguan Stress Pasca Trauma Pada Anak ≤ 6 Tahun


A. Pada anak ≤ 6 tahun, paparan terhadap ancaman atau kejadian kematian, cedera
serius, atau kekerasan seksual, dari satu (atau lebih) kriteria di bawah ini:
1. Langsung mengalami kejadian traumatis.
2. Menjadi saksi mata, peristiwa tersebut terjadi pada orang lain.
3. Menghadapi kejadian traumatis yang terjadi pada orang tua atau perawatnya.
B. Adanya satu (atau lebih) gejala intrusi yang berhubungan dengan kejadian
traumatis, dimulai setelah kejadian traumatis terjadi:
1. Kejadian traumatis yang berulang, tidak disadari, dan menjadi ingatan yang
mengganggu.
2. Mimpi distres yang berulang yang mana isinya dan/atau mempengaruhi
mimpi yang berhubungan dengan kejadian traumatis.
3. Reaksi disosiatif (misalnya: kilas balik) dengan berperilaku atau berperasaan

9
seolah kejadian traumatis terjadi kembali. (Reaksi dapat terjadi berlanjut,
dengan ekspresi paling ekstrim dari kehilangan total kesadaran akan
keberadaan sekelilingnya). Distres psikologis yang terjadi secara intens atau
berkepanjangan jika berhadapan dengan hal atau simbol yang berkaitan
dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara
internal atau eksternal.
4. Reaksi fisiologis yang berhadapan dengan hal atau simbol yang berkaitan
dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara
internal atau eksternal
C. Satu (atau lebih) gejala di bawah ini, baik penghindaran menetap yang
berhubungan dengan kejadian traumatis, maupun kemunduran negatif kognitif
dan mood berhubungan dengan kejadian traumatis, harus ada, dimulai atau
bertambah parah setelah kejadian:
Penghindaran Stimulus Menetap
1. Usaha menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan tentang atau mendekati
sesuatu yang berhubungan dengan kejadian traumatis.
2. Usaha untuk menghindari atau secara langsung menghindari pengingat
eksternal (orang, tempat, pembicaraan, aktivitas, objek, situasi) yang
menghidupkan ingatan, pikiran, atau perasaan tentang atau mendekati
sesuatu yang berhubungan dengan kejadian traumatis
3. Kemunduran Negatif Kognitif
4. Frekuensi emosi negatif yang meningkat.
5. Penurunan jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam aktivitas, termasuk
pembatasan bermain.
6. Perilaku menarik diri.
7. Kemunduran menetap ekspresi emosi positif.
D. Kemunduran yang jelas pada kewaspadaan dan reaksi yang berhubungan dengan
kejadian traumatis, diawali atau bertambah parah setelah kejadian traumatis
terjadi, yang ditandai dengan dua (atau lebih) gejala di bawah ini:

10
1. Perilaku gelisah dan mudah mengalami ledakan kemarahan (dengan sedikit
atau tanpa provokasi) yang ditandai dengan perkataan maupun perbuatan pada
orang lain atau objek tertentu.
2. Hypervigilance (peningkatan kewaspadaan)
3. Respon terkejut yang berlebihan
4. Kesulitan berkonsentrasi
5. Gangguan tidur
E. Durasi dari gangguan terjadi lebih dari satu bulan.
F. Gangguan menyebabkan penderitaan atau hendaya dengan orang tua, saudara
kandung, teman main, atau perawat atau dengan perilaku sekolah.
G. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari zat (obat- obatan, alkohol)
atau kondisi medik umum lainnya.
Tentukan jika:
Dengan gejala disosiatif: gejala individu memenuhi kriteria PTSD dan sebagai
respon terhadap stresor, individu juga mengalami gejala menetap atau berulang
seperti di bawah ini:
1. Depersonalisasi:Pengalaman menetap atau berulang subjektif bahwa dirinya
terasa tidak nyata, asing, atau tidak familiar.
2. Derealisasi: Pengalaman menetap atau berulang sebjektif terhadap lingkungan
yang tidak nyata.
Note: Untuk menggunakan subtipe ini, gejala disosiatif harus tidak merupakan
efek fisiologis dari zat atau kondisi medis umum.
Tentukan: Dengan Ekpresi Tertunda: Jika seluruh diagnostik tidak ditemui
minimal 6 bulan (walaupun onset maupun gejala terjadi langsung).4
2. International Classification of Diseases (ICD) 11
International Classification of Diseases (ICD) 11 telah mengusulkan dua
diagnosis paralel PTSD dan Complex post-traumatic stress disorder Complex post-
traumatic stress disorder (CPTSD). Keduanya membutuhkan paparan kejadian

11
traumatik yang dapat diidentifikasi, dimasukkannya CPTSD dalam ICD 11
menimbulkan kritikan mengenai tumpang tindi terhadap gejala gangguan jiwa lain
dan kurangnya perbedaan dari PTSD.fulltext
PTSD digambarkan sebagai gejala yang diatur dalam 3 kategori: re-
experiencing (2 gejala), penghindaran (2 gejala), dan perasaan terancam meningkat (2
gejala). CPTSD didefinisikan sebagai terpenuhinya kriteria PTSD ditambah dengan
gangguan pengorganisasian diri (DSO), ditampilkan dalam 3 kriteria yaitu: gangguan
disregulasi afektif persisten (2 gejala), konsep diri negatif persisten (2 gejala), dan
gangguan dalam hubungan (2 gejala). Gejala-gejala ini dapat dilihat dalam tabel 2.2.
Untuk PTSD dan CPTSD gejala harus bertahan setidaknya selama beberaa minggu
dan menyebabkan gangguan fungsional dalam pekerjaan atau sosial.6
3. PPDGJ III- F43.17
Pedoman diagnostik berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa (PPDGJ) III yang secara umum digunakan di Indonesia, diagnosis
PTSD (F43.1) adalah bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan
setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu
sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan). Kemungkinan diagnosis
masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset
gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan
tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya.
Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau
mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali
(flashbacks). Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelaina tingkah laku semuanya
dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas. Suatu “sequelae” menahun yang terjadi
lambat setelah stress yang luar biasa, misalnya beberapa puluh tahun setelah trauma
diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama
setelah katastrofa).

2.5 Diagnosis Banding7

12
Kunci dari diagnosis PTSD yang tepat adalah pemeriksaan yang teliti dari
waktu timbulnya gejala dengan suatu kejadian traumatik sebelumnya. Pasien sering
menunjukkan reaksi kompleks terhadap trauma, sehingga klinisi harus hati-hati dalam
menentukan PTSD dengan sindrom lain.6
a. Gangguan Cemas Akibat Penyakit Umum (F06.4)
Gangguan cemas akibat penyakit umum, yaitu adanya gejala cemas, takut,
menghindar atau meningkatnya kesiagaan akibat fisiologik langsung dari penyakit
umum pada fisik, misalnya penyakit tiroid. Diagnosis termasuk dalam kriteria
F06.4 Gangguan Anxietas Organik pada PPDGJ III.6
b. Gangguan Cemas Akibat Zat (F10 – F19)
Gangguan cemas akibat zat yaitu adanya gejala akibat fisiologik langsung suatu zat
(misalnya, obat yang disalahgunakan, medikasi, toksin). Diagnosis termasuk dalam
kriteria F10 – F19 Gangguan Mental dan Perilaku Akubat Penggunaan Zat
Psikoaktif pada PPDGJ III tergatung zat apa yang dikonsumsi.6
c. Gangguan Panik dengan Agorafobia (F.40.01)
Adanya serangan panik berulang tak terduga dengan 1 bulan rasa kuatir, prihatin
tentang serangan atau perubahan perilaku. Agorafobia, misal, cemas berada di
tempat yang sulit menghindar atau memalukan bila terjadi serangan panik.
Diagnosis termasuk dalam kriteria F40.01 Agorafibia dengan gangguan panik pada
PPDGJ III.6
d. Gangguan Panik tanpa Agorafobia (F41)
Adanya serangan panik berulang tak terduga dengan 1 bulan rasa kuatir, prihatin
tentang serangan atau perubahan perilaku. Namun, tanpa agorafobia. Diagnosis
termasuk dalam kriteria F41 Gangguan Anxietas Lainnya pada PPDGJ III.6
e. Gangguan Panik Tanpa Riwayat Gangguan Panik (F40.0)
Adanya Agorafobia, misal cemas berada di tempat yang sulit menghindar atau
memalukan bila terjadi serangan panik. Namun tidak pernah terjadi keluhan serupa
sebelumnya. Diagnosis termasuk dalam kriteria F40 Agorafobia pada PPDGJ III.6

13
Gambar 2. 2

14
f. Gangguan Cemas Perpisahan (F93.0)
Gangguan cemas perpisahan adalah gangguan kecemasan yang terjadi ketika
seseorang merasa cemas secara berlebih akibat perpisahan dari rumah atau dari
seseorang yang memiliki ikatan emosional yang kuat dengan pengidap gangguan
ini (seperti orang tua, perawat, pasangan, atau saudara). Gangguan ini paling sering
muncul pada balita dan anak kecil, umumnya dari usia 6-7 bulan hingga 3 tahun,
walaupun gangguan ini juga dapat muncul secara patologis pada anak-anak,
remaja, dan orang dewasa. Diagnosis termasuk dalam kriteria F93.0 Gangguan
Anxietas Perpisahan Masa Kanak pada PPDGJ III.6
g. Fobia Sosial (F40.1)
Fobia sosial atau gangguan cemas sosial adalah takut diperhina atau dipermalukan
dalam situasi sosial atau dalam pentas. Diagnosis termasuk dalam kriteria F40.1
Fobia Sosial pada PPDGJ III.6
h. Fobia Spesifik (F40.2)
Fobia spesifik adalah ketakutan yang tidak wajar terhadap obyek atau situasi
tertentu yang khas. Diagnosis termasuk dalam kriteria F40.2 Fobia khas (terisolasi)
pada PPDGJ III.6
i. Gangguan Obsesif Kompulsif (F42)
Pada OCD, terdapat suatu pikiran mengganggu yang berulang, dan sesuai dengan
definisi dari obsesi. Sebagai tambahan, pikiran mengganggu itu tidak terkait
dengan suatu kejadian traumatis, biasanya juga terdapat kompulsi, sedangkan
gejala PTSD atau gangguan stress akut tidak ditemukan. Bukan merupakan
bangkitan dan gejala disosiatif terhadap gangguan panik maupun penghindaran,
gelisah, dan kecemasan dari gangguan cemas yang terkait dengan suatu kejadian
traumatis. Gejala gangguan kecemasan terhadap perpisahan secara jelas terkait
seperti berada jauh dari rumah atau keluarga daripada terhadap suatu kejadian yang
traumatis. Diagnosis termasuk dalam kriteria F42 Gangguan Obsesif Kompulsif
pada PPDGJ III.6

15
j. Gangguan Cemas Menyeluruh (F41.1)
Gangguan cemas menyeluruh adalah adanya gejala cemas dalam masa 6 bulan dari
cemas berat dan kuatir dengan gejala terkait, tapi tanpa terjadinya gangguan afektif
atau psikotik. Diagnosis termasuk dalam kriteria F41.1 Gangguan Anxietas
Menyeluruh pada PPDGJ III.6
k. Gangguan Stres Akut (F43.0)
Gangguan stress akut dapat dibedakan dari PTSD karena pola gejala pada
gangguan stress akut terbatas pada durasi 3 hari sampai 1 bulan mengikuti suatu
paparan kejadian traumatis. Gangguan stres akut adalah adanya gejala cemas yang
disebabkan oleh trauma berat. Pada stres akut adanya kilas balik kejadian,
kesiagaan, dan menghindari stimuli yang berhubungan dengan peristiwa traumatic
yang berlangsung singkat (<1 bulan). Diagnosis termasuk dalam kriteria F43.0
Reaksi Stres Akut pada PPDGJ III. 6

2.6 Tatalaksana
Pasien yang mengalami peristiwa traumatik dan sekarang berkembang
menjadi PTSD, penekanan terapi terutama pada edukasi tentang penyakit itu sendiri
dan tatalaksananya baik secara farmakologi ataupun psikoterapi. Menekan seseorang
yang enggan membicarakan tentang trauma untuk melakukan tatalaksana ini tanpa
edukasi yang baik akan cenderung memperberat PTSD dibanding menguranginya.
Dukungan tambahan untuk pasien dan keluarga mungkin diperoleh dari kelompok
dukungan lokal ataupun nasional untuk pasien dengan PTSD.2
Terdapat beberapa pedoman pengobatan PTSD dari beberapa organisasi,
selain itu banyak juga penelitian untuk mengevaluasi metode yang efektif untuk
terapi PTSD. Berdasar pedoman dan penelitian ini, pendekatan terapi PTSD
dikelompokkan menjadi intervensi psikologis dan terapi farmakologi. Derajat
keberhasilan terapi individu setelah intervensi standar berdasarkan penelitian
bervariasi, termasuk diantaranya pengurangan atau remisi gejala PTSD, hilangnya
diagnosis PTSD, muncul atau berkurangnya kondisi komorbid medis atau psikiatri,

16
kualitas hidup, kecacatan atau gangguan fungsional, kembali bekerja, dan kejadian
buruk.8
Sebagian besar pedoman tatalaksana PTSD mengatakan intervensi psikologi
terfokus trauma sebagai lini terapi pertama, termasuk terapi perilaku kognitif (CBT),
terapi pemrosesan kognitif (CPT), terapi kognitif (CT), restrukturisasi kognitif (CR),
terapi keterampilan koping (termasuk terapi inokulasi stres), terapi berbasis paparan,
desensitisasi dan pemrosesan ulang gerakan mata (EMDR), hipnosis dan hipnoterapi,
dan psikoterapi eklektik singkat. Terapi ini diberikan terutama pada individu, tetapi
beberapa juga dapat diberikan kepada keluarga atau suatu kelompok. Namun,
rekomendasi pedoman ini diproyeksikan secara empiris karena penelitian tentang
perbandingan hasil perawatan yang berbeda terbatas.8 Pedoman tatalaksana National
Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) merkomendasikan bahwa
CBT terfokus trauma harus dilaksanakan setidaknya dalam bulan pertama. 9

1. Farmakologi 2
Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), seperti sertraline (Zoloft) dan
paroxetine (Paxil), dianggap sebagai pengobatan lini pertamauntuk PTSD, karena
efikasi, tolerabilitas, dan peringkat keamanannya. SSRI mengurangi gejala dari
semua kelompok gejala PTSD dan efektif dalam memperbaiki gejala khas PTSD.
Buspiron
(BuSpar) bersifat serotonergik dan mungkin juga berguna. Khasiat imipramine
(Tofranil) dan amitriptyline (Elavil), dua obat trisiklik, dalam pengobatan PTSD
didukung oleh a sejumlah uji klinis terkontrol dengan baik. Obat lain yang mungkin
berguna dalam pengobatan PTSD termasuk oksidase monoamine, inhibitor (MAOIs)
(misalnya, phenelzine [Nardil]), trazodone (Desyrel), dan antikonvulsan (misalnya,
carbamazepine [Tegretol], valproate [Depakene]).
Beberapa penelitian juga mengungkapkan peningkatan PTSD pada pasien
yang diobati dengan inhibitor monoamine oksidase reversibel (RIMA). Penggunaan

17
clonidine (Catapres) dan propranolol (Inderal), yang merupakan agen antiadrenergik,
disarankan oleh teori tentang hiperaktivitas noradrenergik pada gangguan tersebut.

2. Psikoterapi 2
Psikoterapi psikodinamik mungkin berguna dalam pengobatan banyak pasien
dengan PTSD. Dalam beberapa kasus, rekonstruksi peristiwa traumatis dengan
abreaksi dan katarsis terkait mungkin menjadi terapeutik, tetapi psikoterapi harus
bersifat individual karena mencoba mengulang trauma akan menguasai beberapa
pasien. Intervensi psikoterapi untuk PTSD termasuk perilaku terapi, terapi kognitif,
dan hipnosis.
Abreaction—mengalami emosi yang terkait dengan kejadian tersebut—
mungkin bermanfaat bagi sebagian orang pasien. Ketika PTSD telah berkembang,
dua pendekatan psikoterapi utama dapat diambil. Yang pertama adalah terapi
eksposur, di mana pasien mengalami kembali peristiwa traumatis melalui pencitraan
teknik atau paparan in vivo. Pendekatan kedua adalah mengajarkan metode pasien
manajemen stres, termasuk relaksasi teknik dan pendekatan kognitif, untuk mengatasi
stres. Teknik psikoterapi lain yang relatif baru dan agak kontroversial adalah
desensitisasi gerakan mata dan pemrosesan ulang (EMDR), di mana pasien berfokus
pada gerakan lateral jari dokter sambil mempertahankan citra mental dari pengalaman
traumanya. Selain itu, terapi kelompok dan keluarga telah dilaporkan efektif dalam
kasus PTSD.

2.7 Prognosis2
PTSD biasanya berkembang beberapa waktu setelah trauma. Penundaan bisa
terjadi sesingkat 1 minggu atau selama 30 tahun. Gejala berfluktuasi dan mungkin
paling intens terjadi selama periode stres. Pasien yang tidak diobati akan sembuh total

18
sebanyak 30%, 40% berkembang memiliki gejala ringan, 20% dengan gejala sedang,
dan 10% tidak terjadi perubahan atau bahkan menjadi lebih buruk.
Setelah 1 tahun, sekitar 50% pasien akan sembuh. Orang yang sangat muda
dan sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan dengan trauma (sekitar 80% anak
kecil yang mengalami luka bakar menunjukkan gejala PTSD 1 atau 2 tahun setelah
luka awal, hanya 30% orang dewasa yang menderita cedera seperti itu memiliki
gejala PTSD setelah 1 tahun). Prognosis akan lebih baik jika onset gejala yang cepat,
durasi gejala yang singkat, fungsi pramorbid yang baik, dukungan sosial yang kuat
dan tidak ada gangguan psikiatri, medis, atau terkait zat lainnya.

19
BAB III
KESIMPULAN

Gangguan stress pascatrauma (posttraumatic stress disorder–PTSD) adalah


suatu sindrom yang timbul setelah seseorang melihat, terlibat didalam, atau
mendengar stresor traumatik yang ekstrim dan bereaksi terhadap pengalaman tersebut
dengan rasa takut dan tidak berdaya, sehingga mereka secara menetap menghidupkan
kembali peristiwa tersebut, dan mencoba menghindari mengingat hal itu. Insiden
menderita PTSD sepanjang hidup diperkirakan sekitar 9-15% dan prevalensi seumur
hidupnya sekitar 8% populasi umum.PTSD dapat terjadi pada usia berapapun dengan
prevalensi tersering dewasa muda akibat pajanan situasi penginduksi.

Faktor resiko PTSD bermacam-macam tergantung dari pretraumatik,


peritraumatik dan posttraumatik. Patogenesis PTSD tergantung pada setiap etiologi.
Etiologi PTSD meliputi: stressor, faktor psikodinamik, faktor perilaku – kognitif dan
faktor biologis. Penderita umumnya datang dengan keluhan berupa gejala- gejala
depresi, ide bunuh diri, penarikan diri dari lingkungan sosialnya, kesulitan tidur,
penyalahgunaan alkohol/zat adiktif lainnya, serta keluhan fisik yang
lainnya.Pemeriksaan status mental sering mengungkapkan rasa bersalah, penolakan,
dan cemooh.Kriteria diagnosis PTSD dengan menggunakan DSM – V atau PPDGJ –
III.

Pendekatan paling penting pada pasien trauma adalah dengan memberi


dukungan dan semangat untuk membicarakan kejadian dan memberikan pengajaran

20
mengenai berbagai mekanisme koping. Pemberian obat sedatif dan hipnotik juga
dapat membantu. Lini pertama terapi PTSD adalah Selective Serotonin Reuptake
Inhibitors (SSRIs), seperti Sertraline (Zoloft) dan Paroxetine (Paxil). Jika tidak
diobati, sekitar 30% pasien akan menjadi pulih kembali, 40% berlanjut memiliki
gejala ringan, 20% berlanjut dengan gejala sedang, dan 10% tidak akan mengalami
perubahan gejala atau bahkan bertambah buruk. Setelah 1 tahun, sekitar 50% dari
pasien akan menjadi pulih.

DAFTAR PUSTAKA

1. Shale AY, R.Marmar C. Postraumatic Stress Disorder. In: Kaplan and


Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. 10th ed. Philadelphia:
Wolters Kluwer; 2019. p. 4531–65.

2. Saddock BJ, Ahmad S, Saddock VA. Trauma and Stressor Related Disorder:
In Kaplan and Saddock’s Pocket Handbook of Clinical Psychiatry. 6th ed.
Philadelphia: Wolters Kluwer; 2019. 276–82 p.

3. Bisson JI, Cosgrove S, Lewis C, P.Robert N. Clinical Review: Post-traumatic


stress disorder. 2015;1–7.

4. Ford JD, Grasso DJ, Elhai JD, Courtois CA. What Cause PTSD. ElsevierInc.
2015;81–121.

5. Shalev A, Liberzon I, Marmar C. Post-traumatic Stress Disorder. N Engl J


Med. 2017;2459–47.

6. Bondjers K. Post-traumatic Stress Disorder Assessment of current diagnostic


definitions. Uppsala Univ. 2020;11–8.

7. Maslim R. Buku Saku: Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan RIngkas dari


PPDGJ-III, DSM-5, ICD-11. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya; 2019.

8. Miao X-R, Chen Q-B, Wei K, Tao K-M, Lu Z-J. Posttraumatic stress disorder:

21
from diagnosis to prevention. Mil Med Res. 2018;1–7.

9. Megnin-Viggars O, Mavranezouli I, Greenberg N, Hajioff S, Leach J. Post


Traumatic Disorder. Br J ofGeneralPractice. 2019;3328–9.

22

Anda mungkin juga menyukai