Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kejadian traumatik yang bersifat ekstrem, katastrofik dan menakutkan dapat


menimbulkan distress bagi hampir setiap orang. Sebagian besar akan pulih dalam
waktu satu bulan. Namun pada beberapa orang terjadi reaksi berkepanjangan berupa
Post-traumatic stress disorder (PTSD), gangguan fobik ataupun depresif.1

PTSD adalah suatu kondisi stress yang muncul akibat adanya kejadian
traumatic pada individu seperti kekerasan, perkelahian, kecelakaan yang
membahayakan nyawa atau adanya bencana alam.2

Prevalensi seumur hidup PTSD di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 8 %


dari populasi umum dan tambahan 5% hingga 8 % dapat berasal dari fase subklinis.
PTSD umumnya terjadi pada dewasa muda yang diakibatkan seringnya paparan
dengan situasi traumatic tersebut. Kejadian traumatic pada laki-laki biasanya
berhubungan dengan peperangan dan pada wanita dihubungkan dengan adanya
penyerangan atau pemerkosaan.3

Gejala dari PTSD meliputi adanya memori ataupun mimpi buruk mengenai
trauma yang mengganggu individu, mudah marah, hypervigilance (tingkat
kewasapadaan yang tinggi terhadap adanya gangguan ataupun stimulus dari luar)
kesulitan untuk tidur dan konsentrasi buruk. Individu dengan PTSD cenderung
menjauhi tempat, orang ataupun aktifitas yang dapat mengingatkannya terhadap
kejadian traumatik tersebut.2 Selain itu, produktivitas kerja akan berkurang sehingga
dapat meningkatkan beban bagi keluarga dan juga masyarakat pada umumnya.4

Tatalaksana PTSD terdiri dari psikoterapi dan farmakoterapi. Pada


psikoterapi, pendekatan dimulai dengan adanya dukungan, dorongan, untuk
mendiskusikan persitiwa tersebut, dan edukasi mengenai berbagai mekanisme

1
koping. Intervensi psikoteraupeutik PTSD mencakup terapi perilaku, kognitif dan
hypnosis.3 Psikoterapi jangka pendek dapat meminimalkan ketergantungan dan
mencegah progresivitas penyakit, namun seiring berjalannya waktu dapat timbul
masalalh kecurigaan, paranoid, dan kurangnya kepercayaan yang dapata menghambat
kepatuhan dalam minum obat. Obat golongan anti depresan antara lain golongan
selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), seperti sertraline dan paroksetin
memiliki efektivitas tolerabilitas dan tingkat keamanan yang baik sehingga menjadi
lini pertama dalam tatalaksana PTSD. Obat lainnya seperti imipramine dan
amitriptilin juga memberikan hasil yang baik walaupun dalam beberapa percobaan
memberikan hasil yang negative.3

1.2 Rumusan masalah


Referat ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi,
gejala klinis, kriteria diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis PTSD.

1.3 Tujuan penulisan


a. Memahami tentang definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis,
kriteria diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis
b. Meningkatkan kemampuan menulis ilmiah di bidang kedokteran khususnya di
bagian ilmu kedokteran jiwa.

1.4 Metode penulisan


Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka yang mengacu
pada beberapa literatur.

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Gangguan stress pasca trauma (posttraumatic seseorang stress disorder-
PTSD) adalah suatu sindrom yang timbul setelah melihat, terlibat didalam atau
mendengar stressor traumatic yang ekstrem. Reaksi berupa rasa takut dan tidak
berdaya akan muncul dan individu akan berusaha menghindari untuk mengingat
kejadian tersebut. 2,3

2.2. Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup PTSD di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 8
% dari populasi umum dan tambahan 5% hingga 8 % dapat berasal dari fase
subklinis. PTSD umumnya terjadi pada dewasa muda yang diakibatkan seringnya
paparan dengan situasi traumatic tersebut. Kejadian traumatic pada laki-laki biasanya
berhubungan dengan peperangan dan pada wanita dihubungkan dengan adanya
penyerangan atau pemerkosaan. 3
Individu dengan PTSD biasanya memiliki angka komorbid yang tinggi.
Sekitar dua pertiga pasien memilki sedikitnya dua gangguan lain. Gangguan tersebut
dapat berupa gangguan terkait zat, gangguan ansietas lain dan gangguan bipolar.3

2.3. Etiologi
Stressor yang menyebabkam stress akut dan PTS cukup hebat untuk
memengaruhi hampir setiap orang. Stressor dapat timbul dari pengalaman perang,
penyiksaan, bencana alam, penyerangan, perkosaan dan kecelakaan serius (contohnya
didalam mobil dan gedung terbakar). Meskipun demikian tidak setiap orang
mengalami gangguan ini setelah peristiwa traumatic. Stresosnya sendiri tidak cukup
untuk menimbulkan gangguan ini. Klinisi harus mempertimbangkan faktor
psikososial dan biologis yang sebelumnya ada dan peristiwa yang terjadi sebelum dan

3
setelah terjadi trauma. Contohnya, orang yang selamat dari bencana dapat mengalami
rasa bersalah yang dapat menjadi predisposisi atau memperberat PTSD.

2.4. Faktor Risiko


4.1. Faktor Psikodinamik
Model psikoanalitik gangguan ini menghipotesiskan bahwa trauma
mengaktifkan kembali konflik psikologis yang sebelumnya tenang, tapi tidak
terselesaikan. Penghidupan kembali trauma masa kanak-kanak menimbulkan regresi
dan penggunaan mekanisme defens represi, penyangkalan reaction formation, dan
undoing. Menurut freud, pemecahan kesadaran terjadi pada pasien yang melaporkan
riwayat trauma seksual pada masa kanak kanak. Konfik yang sebelumnya telah ada
secara simbolis dibangkitkan kembali oleh peristiwa traumatic yang baru.

4.2. Faktor Perilaku-Kognitif


Model kognitif PTSD membuat postulat bahwa orang yang mengalaminya
tidak mampu memproses atau merasionalisasikan trauma yang mencetuskan
gangguan ini. Mereka terus mengalami stres dan berupaya menghindari mengalami
hal itu dengan teknik penghindaran. Konsisten dengan kemampuan parsial mereka
menghadapi peristiwa tersebut secara kognitif, orang tersebut mengalami periode
bergantian antara memahami dan memblok peristiwa. Model perilaku PTSD
menekankan adanya dua fase didalam perkembangannya. Pertama, trauma, yang
menimbulkan respon akut, dipasangkan, melalui pembelajaran klasik, dengan
stimulus yang dipelajari (pengingat fisik atau mental terhadap trauma seperti
penglihatan, bau atau suara). Kedua , melalui pembelajaran instrumental, stimulus
yang dipelajari mencetuskan respon akut yang bebas dari stimulus asal yang tidak
dipelajari, dan orang mengembangkan pola penghindaran terhadap stimulus yang
dipelajari maupun stimulus yang tidak dipelajari.

4.3. Faktor Biologis

4
Teori biologis PTSD berkembang dari studi praklinis pada model hewan.
Di dalam populasi klinis, data menyokong hipotesis bahwa sistem noradrenergic dan
opiate endogen, seperti aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal(HPA), hiperaktif pada
sediknya sejumlah pasien dengan PTSD.
Pada tentara yang mengalami PTSD menunjukkan kegugupan, peningkatan
tekanan darah dan denyut jantung, palpitasi, berkeringat, rona merah diwajah dan
tremor- yaitu gejala yang berkaitan dengan obat adrenergic. Sejumlah studi juga
menemukan adanya penigkatan konsentrasi epinefrin urin 24 jam pada tentara dengan
PTSD dan peningkatan katekolamin urin pada anak perempuan dengan penyiksaan
seksual.

4.4. Faktor Usia

PTSD dapat terjadi pada semua usia. Prevalensi kejadian PTSD pada anak-
anak dan remaja yang mengalami kejadian traumatik adalah sebanyak 36%.
Penelitian meta analisis oleh Allisic menunjukkan bahwa setelah kejadian traumatic
terjadi sebanyak 16% anak akan mengalami PTSD. 5 Penelitian lainnya menunjukkan
setelah kejadian bencana alam, insidensi kejadian PTSD pada anak-anak yang
selamat berkisar antara 30-60%.6

Anak-anak seringkali dianggap mengalami reaksi transisi setelah


mengalami kejadian traumatic dan dianggap akan mudah melupakannya.
Kesalahpahaman ini disebabkan karena anak-anak tidak dapat memberikan informasi
yang tepat dan lebih mudah untuk bertanya dengan orang dewasa. Faktanya, setiap
kali ditanya anak-anak akan menceritakan anomaly yang berkaitan dengan kejadian
traumatic yang menimpa dirinya. Ingatan itu akan melekat dan sering berulang-ulang
dipikirannya yang pada akhirnya akan menghasilkan reaksi penghindaran terhadap
lingkungan sekitar dan beberapa emosi lainnya. 7 Secara universal, kejadian PTSD
pada anak lebih tinggi daripada dewasa. Hal ini dikarenakan anak lebih rentan
mengalami pengalaman traumatic dibandingkan usia dewasa.

5
Beberapa faktor traumatik dapat menyebabkan tingginya kejadian PTSD
pada anak-anak hingga mencapai 100% seperti menyaksikan langsung pembunuhan
orang tua mereka, 90% pada anak-anak dengan kekerasan atau pelecehan seksual dan
35% pada anak-anak perkotaan yang mengalami kekerasan oleh kelompok tertentu.7

2.5. Patofisiologi

Patofisiologi PTSD meliputi hubungan yang kompleks pada susunan system saraf.
Beberapa hormon yang berperan dalam PTSD antara lain :8

1. Kortisol

Bukti menunjukkan bahwa kortisol rendah pada saat terpapar trauma dapat
memprediksi perkembangan PTSD dan bahwa hipokortisolemia dapat menjadi faktor
risiko untuk pengembangan PTSD. Ini mungkin menjelaskan mengapa hidrokortison
IV dosis tinggi setelah trauma dapat mencegah perkembangan PTSD.

2. Serotonin

Menurunnya transmisi serotonin berhubungan dengan hiper-kewaspadaan,


peningkatan agresi, impulsif serta peningkatan pembentukan dan ketahanan ingatan
intrusif yang memberikan peran bagi SSRI dalam pengobatan PTSD.

3. Nonadrenalin, Glutamat dan GABA

Pelepasan NA dikaitkan dengan peningkatan pengkondisian rasa takut dan


peningkatan memori emosional dengan peningkatan gairah dan kewaspadaan.
Pelepasan glutamat melalui reseptor NMDA yang terlibat dalam plastisitas sinaptik,
pembelajaran dan memori sedangkan GABA (penghambatan) melepaskan efek
mediasi anti-kecemasan.

6
Gambar 1. Peran HPA Axis dalam PTSD8

Selain neurotransmitter, beberapa bagian otak seperti hipokampus dan amigdala


berperan dalam terjadinya PTSD. Peran tersebut antara lain :8

1. Hipokampus

Penurunan volume hippocampal adalah fitur ciri khas PTSD. Hippocampus


memainkan peran penting dalam penghilangan dan pengkondisian rasa takut, respons
stres, dan memori deklaratif. Stres melalui peningkatan sekresi kortisol diketahui
merusak neurogenesis hippocampal dan merusak neuron hippocampal yang mungkin
menjelaskan ukuran hippocampal yang lebih kecil yang ditemukan pada pasien
dengan PTSD.

2. Amigdala

Amigdala memainkan peran penting dalam pemrosesan emosional dan perolehan


respons rasa takut. Amigdala mengingat respons penuh tekanan dengan meningkatkan

7
transmisi glutamat yang mengkonsolidasikan memori traumatis melalui aktivitas
reseptor NMDA. Setelah paparan pengingat traumatis di masa mendatang, respons
rasa takut diaktifkan. Analisis MRI struktural telah mengungkapkan kerusakan
patologis pada amigdala, yang dikaitkan dengan reaksi hiper-responsif terhadap
isyarat yang mengancam.. Individu dengan PTSD dapat menunjukkan aktivitas hiper
dalam wilayah yang berbeda dari sub-inti amigdala.

Gambar 2. Sirkuit otak pada PTSD berhubungan dengan ketakutan dan

perulangan kejadian8

2.6. Dampak Psikologis Terhadap Individu


Dalam bencana tidak ada patokan yang kaku tentang tahapan dalam merespon
bencana, ada banyak variasi pada setiap tahap dan tahap tumpang tindih. Oleh karena
itu munculnya gejala gangguan psikologis dapat bervariasi, tergantung banyak factor,
namun bisa mencapai 90%tau bahkan lebih. Penyintas akan menunjukkan setidaknya
beberapa gejala psikologis yang negatif setelah beberapa jam paska bencana . Pada

8
bencana social, misalnya konflik, dua belas minggu paska bencana, 20-50 persen atau
bahkan lebih masih dapat menunjukkan tanda-tanda signifikan dari gangguan
tersebut. Jika tidak diatasi dan diselesaikan dengan tepat dan cepat, reaksi tersebut
dapat menjadi gangguan psikologis yang serius.9

1. Tahap Tanggap Darurat9

Tahap ini adalah masa beberapa jam atau hari setelah bencana. Pada tahap ini
kegiatan bantuan sebagian besar difokuskan pada menyelamatkan penyintas dan
berusaha untuk menstabilkan situasi. Penyintas harus ditempatkan pada lokasi yang
aman dan terlindung, pakaian yang pantas, bantuan dan perhatian medis, serta
makanan dan air yang cukup. Selama tahap penyelamatan, berbagai jenis respon
emosional bisa dilihat. Penyintas mungkin mengalami perubahan dari satu jenis
respon terhadap lain atau mungkin tidak menunjukkan sikap yang "biasa".

Pada fase ini kadang penyintas mengalami numbing, atau suatu kondisi mati
rasa secara psikis. Penyintas tampak tertegun, linglung, bingung, apatis dan tatapan
mata yang kosong. Secara tampak luar, penyintas tampak tenang, namun bisa saja hal
itu adalah ketenangan yang semu. Karena ketenangan itu akan segera diikuti oleh
penolakan atau upaya untuk mengisolasi diri mereka sendiri. Penyintas akan menolak
kenyataan yang sudah terjadi. Mereka menolak realita, dengan mengatakan ini hanya
mimpi, beberapa yang lain marah jika mendengar orang lain membicarakan tentang
anggta keluarganya yang meninggal bahkan menduh mereka adalah pembohong.

Namun hal itu juga tidak lama, penyintas akan mengalami perasaan takut
yang sangat kuat, disertai dengan rangsangan fisiologis: jantung berdebar-debar,
ketegangan otot, nyeri otot, gangguan gastrointestinal atau sakit magh. Beberapa
kemudian akhirnya menjadi depresif ataupun kebalikannya menjadi aktif secara
berlebihan.

9
2. Tahap Pemulihan9

Setelah situasi telah stabil, perhatian beralih ke solusi jangka panjang. Disisi
lain, euforia bantuan mulai menurun, sebagian sukarelawan sudah tidak datang lagi
dan bantuan dari luar secara bertahap berkurang. Para penyintas mulai menghadapi
realitas. Jika pada minggu-minggu pertama setelah bencana, penyintas mungkin akan
melalui fase "bulan madu", ditandai dengan perasaan yg aman dan optimisme tentang
masa depan. Tetapi dalam tahap pemulihan, mereka harus membuat penilaian yang
lebih realistis tentang hidup mereka.

Pada fase ini kekecewaan dan kemarahan sering menjadi gejala dominan yang
Gejala-gejala dibawah ini dapat muncul pada tahap tanggap darurat: • Kecemasan
berlebihan: Penyintas menunjukkan tanda-tanda kecemasan, mudah terkejut bahkan
oleh hal-hal yang sederhana, tidakmampu untuk bersantai, atau tidak mampu untuk
membuat keputusan.

 Rasa bersalah: Penyintas yang selamat, namun anggota keluarganya meninggal,


seringkali kemudian menyalahkan diri sendiri. Mereka merasa malu karena telah
selamat, ketika orang yang dikasihinya meninggal.

 Ketidaksatbilan emosi dan pikiran: Beberapa penyintas mungkin menunjukkan


kemarahan tiba-tiba dan bertindak agresiv atau sebaliknya, mereka menjadi apatis
dan tidak peduli, seakan kekurangan energi. Mereka menjadi mudah lupa ataupun
mudah menangis.

 Kadang-kadang, penyintas muncul dalam keadaan kebingungan, histeris ataupun


gejala psikotik seperti delusi, halusinasi, bicara tidak teratur, dan terlalu perilaku
tidak teratur juga dapat muncul sangat terasa.

Pada tahap ini berbagai gejala pasca-trauma muncul:

a) Akut Stress Paska Trauma (ASPT). Gejala-gejala dibawah ini adalah normal,
sebagai reaksi atas kejadian yang tidak normal (traumatik). Biasanya gejala-gejala
diawah ini akan menghilang seiring dengan berjalannya waktu.

10
1) Emosi.
Mudah menangis ataupun kebalikkannya yakni mudah marah,
emosinya labil, mati rasa dan kehilangan minat untuk melakukan aktivitas,
gelisah, perasaan ketidakefektifan, malu dan putus asa.

2) Pikiran.
Mimpi buruk, mengalami halusinasi ataupun disasosiasi, mudah curiga
(pada penyintas kasus bencana karena manusia), sulit konsentrasi,
menghindari pikiran tentang bencana dan menghindari tempat, gambar, suara
mengingatkan penyintas bencana; menghindari pembicaraan tentang hal itu

3) Tubuh.
Sakit kepala, perubahan siklus mensruasi, sakit punggung, sariawan atau
sakit magh yang terus menerus sakit kepala, berkeringat dan menggigil,
tremor, kelelahan, rambut rontok, perubahan pada siklus haid, hilangnya
gairah seksual, perubahan pendengaran atau penglihatan, nyeri otot
4) Perilaku.
Menarik diri, sulit tidur, putus asa, ketergantungan, perilaku lekat yang
berlebihan atau penarikan social, sikap permusuhan, kemarahan, merusak diri
sendiri, perilaku impulsif dan mencoba bunuh diri

b) Post Trauma Stress Disorder (PTSD), meliputi: Jika setelah lebih dari dua bulan
gejala gejala di atas (ASPT) masih ada maka, maka dapat diduga mengalami
PTSD, jika memunjukkan gejala ini selepas 2 bulan dari kejadian bencana:
1) Reecperience atau mengalami kembali. Penyintas sekan mengalami kembali
peristiwa traumatic yang mengganggu; misalnya melalui mimpi buruk setiap
tidur, merasa mendengar, melihat kembali kejadian yang berhubungan
dengan bencana, dalam pikirannya kejadian bencana terus menerus sangat
hidup, apapun yang dilakukan tidak mampu mengalihkan pikirannya dari
bencana. Pada anak-anak korhan konflik senjata, mereka bermain perang-
perangan berulang-ulang.
2) Avoidance, atau menghindar hal-hal yang berkaitan dengan ingatan akan
bencana, misalnya menghindari pikiran atau perasaan atau percakapan
tentang bencana; menghindari aktivitas, tempat, atau orang yang

11
mengingatkan penyintas dari trauma, ketidakmampuan untuk mengingat
bagian penting dari bencana, termenung terus dengan tatapan dan pikiran
yang kosong.
3) Hyperarusal, atau rangsangan yang berlebihan. Misalnya kesulitan tidur;
sangat mudah marah atau kesulitan berkonsentrasi; jantung mudah berdebar-
debar, keringat dingin, panik dan nafas terengahengah saat teringat kejadian,
kesulitan konsentrasi dan mudah terkejut.

c) Generalized Anxiety Disorder: meliputi: Kecemasan yang berlebihan dan


khawatir tentang berbagai peristiwa ataupun kegiatan (tidak terbatas bencana).
Cemas berlebihan saat air tidak mengalir, seseorang tidak muncul tepat waktu.

d) Dukacita Ekstrim: Biasanya, setelah kematian orang yang dicintai. Seringkali


respon pertama adalah penyangkalan. Kemudian, mati rasa dan kadang
kemarahan. Post Trauma Depresi: depresi berkepanjangan adalah salah satu
temuan yang paling umum dalam penelitan terhadap penyintas trauma. Gangguan
ini sering terjadi dalam kombinasi dengan Post Traumatic Stress Disorder. Gejala
umum depresi termasuk kesedihan, gerakan yang lambat, insomnia (ataupun
kebalikannya hipersomnia), kelelahan atau kehilangan energi, nafsu makan
berkurang (atau berlebihan nafsu makan), kesulitan dengan konsentrasi, apatis
dan perasaan tak berdaya, anhedonia (tidak menunjukkan minat atau kesenangan
dalam aktivitas hidup), penarikan sosial, pikiran negatif, perasaan putus asa,
ditinggalkan, dan mengubah hidup tidak dapat dibatalkan, dan lekas marah.

3. Tahap Rekonstruksi.9

Satu tahun atau lebih setelah bencana, fokus bergeser lagi. Pola kehidupan
yang stabil mungkin telah muncul. Selama fase ini, walaupun banyak penyintas
mungkin telah sembuh, namun beberapa yang tidak mendapatkan pertolongan
dengan tepat menunjukkan gejala kepribadian yang serius dan dapat bersifat
permanen. Pada tahap ini risiko bunuh diri dapat meningkatkan, kelelahan kronis,

12
ketidakmampuan untuk bekerja, kehilangan minat dalam kegiatan sehari-hari, dan
kesulitan berpikir dengan logis. Pada penyintas penyiksaan atau pelecehan
seksual, yang telah disiksa di kamp konsentrasi, atau yang telah tinggal selama
bulanan atau tahunan dalam suatu keadaan kronis perang saudara akan menjadi
seseorang dengan kepribadian yang berbeda dari sebelumnya, merek menjadi
pribadi yangg penuh kebencian, pemarah dan anti sosial. Mereka menjadi
pendendam dan mudah menyerang orang lain termasuk orang-orang yang ia
sayangi. Gangguan ini pada akhirnya merusak hubungan penyintas dengan
keluarga dan komunitasnya.

2.7. Diagnosis
Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada bukti
bahwa timbulnya dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatic yang luar biasa
berat. Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu
antara terjadinya peristiwa dan onset gangguan melibihi waktu 6 bulan, asalkan
manifestasi klinisnya khas dan tidak didapat alternative lain yang memungkinkan dari
gangguan ini. Bukti adanya trauma, harus selalu ada dalam ingatan, bayangan atau
mimpi mengenai peristiwa tersebut secara berulang-ulang. Seringkali terjadi
penarikan diri secara emosional, penumpulan perasaan, dan penghindaran terhadap
stimulus yang mungkin akan mengingatkan kembali akan traumanya.3
Kriteria diagnostic DSM-IV-TR Gangguan Stress Pasca Trauma antara lain :3

a. Orang tersebut telah terpajan dengan peristiwa traumatic dan kedua hal ini ada:
1. Orang tersebut mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan peristiwa
atau sejumlah peristiwa yang melibatkan kematian atau cedera serius yang
sebenarnya atau mengancam, atau ancaman terhadap integritas fisik dirinya
atau orang lain.

13
2. Respon orang tersebut melibatkan rasa takut yang intens, rasa tidak berdaya
atau horror. Catatan : pada anak hal ini dapat dilihat dari perilaku agitasi atau
kacau.

b. Peristiwa traumatic secara terus menerus dialami kembali pada satu atau lebih
cara berikut :
1. Mengingat kembali peristiwa secara berulang dan mengganggu yang
menimbulkan distress, termasuk bayangan, pikiran, atau persepsi. Catatn :
pada anak yang masih kecil, dapat terjadi permainan berulang yang
mengekspresikan trauma atau apek trauma.
2. Mimpi berulang mengenai peristiwa tersebut yang menimbulkan penderitaan.
Catatan : pada anak biasanya timbul mimpi yang menakutkan tanpa
kandungan yang dapat dikenali.
3. Bertindak atau merasakan seolah-olah peristiwa traumatic tersebut terjadi
kembali( termasuk rasa membangkitkan kembali pengalaman, ilusi,
halusinasi, dan episode kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi saat
bangun atau mengalami intoksikasi). Catatan : pada anak yang masih kecil,
anak dapat melakukan kembali hal yang spesifik trauma
4. Penderitaan psikologisyang intens pada pajanan terhadap sinyal internal atau
eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatic.
5. Reaktivitas fisiologis pada pajanan sinyal internal atau eksternal yang
menyimbolkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatic.

c. Penghindaran persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma serta membuat


kebas responsivitas umum (tidak terjadi sebelum trauma) seperti yang
ditunjukkan dengan tiga atau lebih hal berikut:
1. Upaya menghindari pikiran, perasaan atau pembicaraan yang berkaitan
dengan trauma
2. Upaya menghindari aktivitas, tempat atau orang yang membangkitkan
ingatan akan trauma
3. Ketidakmampuan mengingat kembali aspek penting trauma
4. Minat atau partisipasi berkurang nyata pada aktivitas yang signifikan
5. Perasaan lepas atau menjadi asing dari oranglain
6. Kisaran afek yang terbatas
7. Rasa masa depan yang memendek

14
d. Menetapnya peningkatan keadaan terjaga (tidak terjadi sebelum trauma) seperti
yang ditunjukkan dengan dua atau lebih hal berikut :
1. Sulit tidur atau sulit tetap tidur
2. Iritabilitas atau ledakan kemarahan
3. Sulit berkonsentrasi
4. Hypervigilance
5. Respon kaget yang berlebihan
e. Durasi gangguan(gejala kriteria B,C,dan D) lebih dari satu bulan.
f. Gangguan ini menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau
gangguan didalam area fungsi social, pekerjaan atau area fungsi penting lain. .

2.8. Diagnosis Banding


Pertimbangan utama dalam diagnosis PTSD adalah kemungkinan bahwa
pasien juga menderita cedera kepala selama trauma. Pertimbangan organik lain yang
dapat menyebabkan dan memperberat gejala adalah epilepsi, gangguan penggunaan
alkohol, dan gangguan terkait zat lain. Intoksikasi akut atau putus zat juga dapat
menunjukkan gambaran klinis yang sulit dibedakan dengan gangguan ini sampai efek
zat hilang.
PTSD lazim didiagnosis sebagai gangguan jiwa lain dan kemudian diobati
dengan tidak sesuai. Klinisi harus mempertimbangkan diagnosis PTSD pada pasien
yang memiliki gangguan nyeri, penyalahgunaan zat, gangguan nsietas lain, dan
gangguan mood. Pada umumnya, PTSD dapat dibedakan dengan gangguan jiwa lain
dengan mewaawancarai pasien mengenai pengalaman traumatik sebelumnya dan
dengan sifat gejala saat ini. Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif,
gangguan buatan, dan malingering juga harus dipertimbangkan. Gangguan
kepribadian ambang dapat sulit dibedakan dengan PTSD karena kedua gangguan ini
dapat ada bersamaan atau bahkan penyebabnya dapat berkaitan. Pasien dengan
gangguan disosiatif biasanya tidak memmiliki derajat perilaku menghindar,
hyperarousal autonom,atau riwayat trauma yang dimiliki pasien PTSD. Sebagian
karena publisitas yang didapat PTSD, klinisi juga harus mempertimbangkan
gangguan buatan dan malingering.3

2.9. Penatalaksanaan

15
Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD,
tatalaksana gangguan stres pasca traumatik sebaiknya mempertimbangkan beberapa
aspek di bawah ini:4
1. Gangguan stres pasacatraumatik merupakan suatu gangguan yang kronik dan
berulang serta sering berkomorbiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius
lainnya.
2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/SSRI
merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini seperti fluoxetin 10-60
mg/hari, sertralin 50-200 mg/hari atau fluvoxamine 50-300 mg/hari. Anti
depresan lain yang juga dapat digunakan adalah amitriptilin 50-300 mg/hari dan
juga impiramin 50-300 mg/hari.
3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 2 bulan.
4. Exposure therapy (terapi pemaparan) merupakan terapi dengan pendekatan
psikososial terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.

a. Farmakoterapi3

Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), sepertib sertralin (Zoloft) dan


paroksetin (Paxil) dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk PTSD karena
efektivitas, tolerabilitas, dan tingkat keamanannya. SSRI mengurangi gejala semua
kelompok gejala PTSD dan efektif dalam memperbaiki gejala PTSD yang khas,
tidak hanya gejala yang serupa dengan depresi atau gangguan anxietas lain.

Efektivitas imipramin (Tofranil) dan amitriptilin (Elavil), dua obat trisiklik, untuk
terapi PTSD didukung oleh sejumlah percobaan klinis yang terkontrol baik.
Walaupun beberapa percobaan kedua obat tersebut memberikan temuan negatif,
sebagian besar percobaan ini memiliki kecatatan desain yang serius, termasuk durasi
yang terlalu singkat. Dosis imipramin dan amitriptilin harus sama dengan dosis yang
digunakan untuk mengobati gangguan depresif, dan lama minimum suatu percobaan
yang adekuat adalah 8 minggu. Pasien yang memberikan respon baik mungkin harus
meneruskan farmakoterapi sedikitnya satu tahun sebelum dicoba penghentian obat.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa farmakoterapi lebih efektif dalam tatalaksana

16
depresi, anxietas, dan hyperarousal, daripada tatalaksana penghindaran,
penyangkalan, dan penumpulan emosional.

Obat lain yang dapat berguna dalam terapi PTSD adalah monoamine oxidase
inhibitors (MAOI) (contohnya fenelzin [Nardil], trazodon [Desyrel], dan
antikonvulsan (contohnya karbamazepin [Tegretol] dan valproat [Depakene]).
Sejumlah studi juga mengungkapkan perbaikan PTSD pada pasien yang diberikan
reversible monoamine oxidase inhibitors (RIMA) seperti brofaromin. Penggunaan
klonidin (Catapres) dan propanolol (Inderal), yang merupakan agen antiadrenergik,
diajukan oleh teori mengenai hiperaktivitas noradrenergik pada gangguan ini. Hampir
tidak ada data positif mengenai penggunaan antipsikotik pada gangguan ini sehingga
penggunaan obat ini (contohnya haloperidol) harus dicadangkan untuk kontrol jangka
pendek agresi dan agitasi berat.

b. Psikoterapi3

Psikoterapi setelah peristiwa traumatik harus mengikuti model intervensi


krisis dengan dukungan edukasi, dan pembentukan mekanisme koping serta
penerimaan perisitiwa. Ketika timbul PTSD, dua pendekatan psikoterapeutik utama
dapat diambil. Pendekatan pertama adalah pajanan terhadap peristiwa traumatik
melalui teknik membayangkan atau pajanan in vivo. Pajanan ini dapat intens seperti
pada terapi implosif, atau bertahap seperti pada desensitisasi sistematik. Pendekatan
kedua adalah mengajari pasien metode penatalaksanaan stres, termasuk teknik
relaksasi dan pendekatan kognitif untuk menghadapi stres. Sejumlah data
sebelumnya menunjukkan bahwa walaupun teknik penatalaksanaan stres efektif
lebih cepat daripada teknik pemajanan, hasil teknik pemajanan lebih bertahan lama.

Teknik psikoterapeutik lainnya yang relatif baru dan kontroversial adalah eye
movement desensitization and reprocessing (EMDR), disini pasien berfokus pada
gerakan lateral jari klinisi sambil mempertahankan bayangan mental tentang
pengalaman trauma. Keyakinan umum adalah bahwa gejala dapat dipulihkan jika
pasien mengingat peristiwa traumatik sambil berada dalam keadaan relaksasi dalam.

17
Penggagas terapi ini mengatakan terapi ini sama efektif dan mungkin lebih efektif
daripada terapi PTSD lain dan lebih disukai klinisi maupun pasien yang telah
mencobanya.

Disamping teknik terapi individual, terapi kelompok dan terapi keluarga sering
dilaporkan efektif pada kasus PTSD. Keuntungan terapi kelompok mencakup saling
berbagi pengalaman traumatik dan dukungan dari anggota kelompok lain. Terapi
kelompok terutama berhasil pada veteran Vietnam dan orang yang selamat dari
bencana menakutkan seperti gempa bumi. Terapi keluarga sering membantu
mempertahankan perkawinan saat periode gejala memberat.

2.10. Prognosis
Prognosis yang baik didapatkan jika onset gejala cepat, durasi gejala yang
singkat (kurang dari enam bulan), dukungan sosial yang kuat, dan tidak adanya
gangguan psikiatrik, medis, atau berhubungan zat lainnya.3
Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak
kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia paruh
baya. Kemungkinan, anak-anak belum memiliki mekanisme mengatasi kerugian fisik
dan emosional akibat trauma. Demikian juga dengan orang lanjut usia, jika
dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda, kemungkinan memiliki
mekanisme mengatasi yang lebih kaku dan kurang mampu melakukan pendekatan
fleksibel untuk mengatasi efek trauma. Kecacatan psikiatrik yang ada sebelumnya,
apakah suatu gangguan kepribadian atau suatu kondisi yang lebih serius, juga
meningkatkan efek stresor tertentu. Tersedianya dukungan sosial juga mempengaruhi
perkembangan, keparahan, dan durasi gangguan stres pasca traumatik. Pada umunya,
pasoen yang memiliki jaringan dukungan sosial yang baik, kemungkinan tidak
menderita gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam bentuk yang parahnya.3

18
BAB III

KESIMPULAN

Gangguan stress pasca trauma (posttraumatic stress disorder-PTSD) adalah


suatu sindrom yang timbul setelah melihat, terlibat di dalam atau mendengar stressor
traumatic yang ekstrem. Reaksi berupa rasa takut dan tidak berdaya akan muncul dan
individu akan berusaha menghindari untuk mengingat kejadian tersebut.

PTSD umumnya terjadi pada dewasa muda yang diakibatkan seringnya


paparan dengan situasi traumatic tersebut. Kejadian traumatic pada laki-laki biasanya
berhubungan dengan peperangan dan pada wanita dihubungkan dengan adanya
penyerangan atau pemerkosaan. Individu dengan PTSD biasanya memiliki angka
komorbid yang tinggi. Sekitar dua per tiga pasien memilki sedikitnya dua gangguan
lain. Gangguan tersebut dapat berupa gangguan terkait zat, gangguan ansietas lain dan
gangguan bipolar.

PTSD biasanya disebabkan oleh stressor seperti pengalaman perang,


penyiksaan, bencana alam, penyerangan, perkosaan dan kecelakaan serius (contohnya

19
di dalam mobil dan gedung terbakar). Faktor risikonya terdiri dari beberapa faktor yaitu
faktor psikodinamik, faktor perilaku-kognitif, dan faktor biologis.

Penatalaksanaan PTSD dapat berupa farmakoterapi yaitu dengan pemberian


SSRI sebagai pilihan pertama dan psikoterapi yaitu dengan exposure therapy,
mengajari metode penatalaksanaan stres, EMDR, serta terapi kelompok dan keluarga.

Prognosis PTSD semakin baik jika didapatkan onset gejala cepat, durasi
gejala yang singkat (kurang dari enam bulan), dukungan sosial yang kuat, dan tidak
adanya gangguan psikiatrik, medis, atau berhubungan zat lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Maramis WF, A. Maramis A. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi Kedu.


Surabaya: Airlangga University Press; 2009.

2. Yehuda R, Hoge CW, Mcfarlane AC, et al. Post-traumatic stress disorder. Nat
Publ Gr. 2015;1(1):1-22. doi:10.1038/nrdp.2015.57.

3. J. Saddock B, Virginia AS. Kaplan & Saddock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi
Kedu. (EGC PBK, ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2016.

4. Wiguna T. Gangguan stress pasca trauma. In: Elvira D S, Hadisukanto G, eds.


Buku Ajar PSIKIATRI. Edisi Kedu. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015:277-
286.

5. Bui E, Ohye B, Palitz S, Olliac B, Goutaudier N, Raynaud JP, Kounou KB &


Stoddard FJ Jr. Acute and chronic reactions to trauma in children and
adolescents. In Rey JM (ed), IACAPAP e-Textbook of Child and Adolescent
Mental Health. Geneva: International Association for Child and Adolescent
Psychiatry and Allied Professions 2014.

20
6. Aminer DEK, Eedat SOS, Tein DANJS. Post-traumatic stress disorder in
children. World Psychiatry. 2005;4(2):121-125.

7. Damian SI, Knieling A, Ioan BG. Post-traumatic stress disorder in children.


Overview and case study. Rom J Leg Med. 2011;XIX(2):135-140.

8. Rege S. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) – A Primer on


Neuropsychiatry and Treatment. Psych scene hub.2017.[cited 2019 January 2].
Available from: https://psychscenehub.com/psychinsights/post-traumatic-
stress-disorder/

9. Kharismawan K. Panduan Program Psikososial Pasca Bencana. Jakarta:


Rineka Cipta; 2010.

21

Anda mungkin juga menyukai