Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

Faktor Risiko dan Kriteria Diagnosis pada Post Traumatic Stress


Disorder di Daerah Bencana

Pembimbing:

dr. Sri Woroasih, SpKJ (K)

Disusun Oleh:

Agusdianto Bello Chrisdarmanta A.Putra


112017013

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT JIWA DAERAH DR. AMINO GONDOHUTOMO
PROVINSI JAWA TENGAH
2019
1
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan stress pasca trauma adalah suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah
mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma,
seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan yang serius. Peristiwa
trauma ini menyebabkan seseorang memberikan reaksi dalam keadaan ketakutan, dan tak
berdaya.
Resiko seseorang akan mengalami gangguan stres pasca trauma meningkat oleh karena
banyak faktor, termasuk intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh mana seseorang
terlibat di dalamnya, dan seberapa hebatnya orang tersebut bereaksi. Sementara itu penyebab
sebenarnya dari gangguan stres pasca trauma belum dapat dipastikan meski banyak teori yang
berkembang. Seseorang akan beresiko tinggi menderita gangguan stres pasca trauma jika
mempunyai riwayat keluarga depresi. Kemungkinan lain adalah dilepaskannya hormon-
hormon tertentu oleh dan zat-zat kimia lainnya sebagai respons terhadap rasa takut. Hormon-
hormon dan zat-zat kimia ini juga akan membangkitkan kenangan-kenangan tersebut. Orang-
orang dengan ketidakseimbangan zat kimia tertentu dalam otaknya mungkin resiko terjadinya
gangguan stres pasca trauma akan meningkat.
Secara geografis, Indonesia terletak di Asia Tenggara antara dua samudera yaitu
samudera Hindia dan Pasifik. Indonesia dikenal sebagai daerah tektonik aktif karena terdiri dari
tiga lempeng tektonik utama yang aktif. Indonesia juga memiliki lebih dari 500 gunung berapi,
termasuk 128 gunung berapi aktif, yang mewakili 15 persen dari gunung berapi aktif di dunia.
Karakteristik geografis dan geologi tersebut menandai bahwa Indonesia sebagai negara rawan
bencana alam.
Bencana alam merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus,
banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan atau faktor non
alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Dampak psikologis yang
paling sering muncul dalam kasus bencana antara lain Post Traumatic Stress Disorder (PTSD),
sedih berkepanjangan, depresi, gangguan kecemasan, gangguan penyalahgunaan zat, persepsi
terdistorsi, pesimisme, dan upaya bunuh diri.

2
Gangguan stres pasca trauma sebenarnya dapat diterapi sehingga seseorang memiliki
kualitas hidup yang lebih baik. Maka dari itu gangguan stres pasca trauma penting untuk
diketahui sehingga sebagai klinisi dapat membantu penyembuhan pasien.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Epidemiologi

Pada tahun 1980, American psychiatric association memperkenalkan gangguan jiwa


yang disebut gangguan stress pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD) dengan
kriteria diagnosis yang tercantum dalam DSM III. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa kasus gangguan stress pasca trauma merupakan salah satu kasus psikiatri
yang cukup sering ditemui. Kasus ini dijumpai pada 10,3% untuk pria dan 18,3% untuk wanita1.
Di Amerika Serikat, 60% laki-laki dan 50% wanita mengalami setidaknya sekali
masalah traumatik selama hidupnya. Dari mereka, 8% laki-laki dan 20% wanita bisa mengalami
PTSD. Kasus pemerkosaan lebih mungkin menjadi PTSD daripada kasus traumatic lainnya,
karena kasus pemerkosaan perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki (9% versus 1%),
mungkin ini yang menyebabkan kejadian PTSD lebih banyak pada wanita.
88% laki-laki dan 79% wanita yang mengalami PTSD juga memiliki riwayat gangguan
psikiatrik lainnya, hampir setengahnya menderita depresi mayor, 16% menderita gangguan
cemas selain PTSD, dan 28% memiliki riwayat fobia social. Dan para penderita PTSD lebih
beresiko untuk memiliki gaya hidup tidak sehat seperti penyalahgunaan alcohol yang dialami
52% laki-laki dan 28% perempuan penderita PTSD, sedangkan penggunaan NAPZA terlihat
pada 35% laki-laki dan 27% perempuan penderita PTSD2.

Etiologi
Faktor Predisposisi
Terdapat gangguan stress pasca trauma didahului adanya stressor berat yang melampaui
kapasitas hidup seseorang, serta menimbulkan penderitaan bagi setiap orang. Beberapa factor
predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami gangguan stress pasca trauma adalah:
1. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu
2. Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual
3. Kecenderungan untuk mudah menjadi kuatir
4. Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau antisosial
5. Punya karakter yang introvert dan memiliki gangguan dalam adaptasi
6. Adanya kebutuhan emosional secara bermakna
Tipe kejadian yang cenderung akan meningkatkan angka kejadian gangguan stress
pasca trauma dapat dikategorikam menjadi:

4
1. Mereka yang mengalami tindakan kekerasan interpersonal
2. Mereka yang mengalami kecelakaan atau bencana alam yang mengancam nyawa, baik
berupa kejadian yang alamiah atau kejadian yang diakibatkan manusia
3. Trauma berulang dan bersifat kronik

Faktor psikodinamik
Model psikoanalitik gangguan ini menghipotesiskan bahwa trauma mengaktifkan
kembali konflik psikologis yang sebelumnya tenang, tapi tidak terselesaikan. Penghidupan
kembali trauma masa kanak-kanak menimbulkan regresi dan menggunaan mekanisme defence
represi, penyangkalan, reaction formation, dan undoing. Konflik yang sebelumnya telah ada
secara simbolis dibangkitkan kembali dengan peristiwa traumatic yang baru. Ego
menghidupkan kembali dan dengan demikian mencoba menguasai dan mengurangi anxietas.

Faktor perilaku-kognitif
Model perilaku PTSD menekankan adanya dua fase di dalam perkembangannya.
Pertama, trauma (stimulus yang tidak dipelajari), yang menimbulkan respons takut,
dipasangkan, melalui pembelajaran klasik, dengan stimulus yang dipelajari.kedua, melalui
pembelajaran instrumental, stimulus yang dipelajari mencetuskan respons takut yang bebas dari
stimulus asal yang tidak dipelajari, dan orang mengembangkan pola penghindaran terhadap
stimulus yang dipelajari maupun stimulus yang tidak dipelajari.3

Faktor biologis
1. Faktor genetic
Para peneliti meyakini bahwa polimorfisme pada gen promotor serotonin transporter (5-
HTTLPR) bisa mempengaruhi terjadinya depresi dan PTSD. Sjoberg membuktikan bahwa
karrier homozigot alel pendek dari 5-HTTLPR lebih sulit untuk mengendalikan respons mereka
terhadap stresor lingkungan dibandingkan dengan orang yang memiliki alel panjang pada gen
yang sama. Pada perempuan yang memliki alel pendek homozigot lebih mudah terpengaruh
oleh kejadian traumatik yang melibatkan pihak keluarga, sedangkan laki-laki lebih mudah
terpengaruh pada keadaan lingkungan tempat tinggal.4

5
2. Sistem noradrenergic
Para tentara dengan gejala mirip PTSD menunjukkan kegugupan, peningkatan tekanan
darah dan denyut jantung, palpitasi, berkeringat, dan tremor. Yaitu gejala yang berkaitan obat
adrenergic. Sejumlah studi menemukan peningkatan konsentrasi epinefrin urin 24 jam pada
veteran dengan PTSD dan meningkatnya konsentrasi katekolamin dengan anak perempuan
yang mengalamipenyiksaan seksual. Lebih jauh lagi, reseptor beta adrenergic limfosit dan alfa2
tromobosit mengalami downregulation pada PTSD, kemungkinan sebagai respons terhadap
konsentrasi katekolamin yang meningkat kronis. Temuan ini adalah bukti kuat perubahan
fungsi system noradrenergic pada PTSD.

3. Sistem opioid
Abnormalitas system opioid dikesankan dengan adanya penurunan konsentrasi beta-
endorfin plasma pada PTSD. Veteran perang dengan PTSD menunjukkan respons analgesic
yang reversible dengan nalokson untuk stimulus yang berkaitan dengan perang sehingga
meningkatkan kemungkinnan hiperregulasi system opioid yang serupa dengan hiperregulasi
pada system HPA.

4. Factor pelepas kortikotropin dan aksis hipotalamus


Beberapa faktor mengacu pada disfungsi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).
Sejumlah studi menunjukkan konsentrasi kortisol bebas yang rendah di dalam plasma dan urin
pada PTSD. Terdapat peningkatan resptor glukokortikoid pada limfosit dan tantangan denagn
faktor pelepas kortikotropin (CRF) eksogen menunjukkan respons hormon adrenokortikotropin
(ACTH) yang tumpul. Lebih lagi, supresi kortisol melalui tantangan dengan dosis rendah
dexametason meningkat pada PTSD. Hal ini menunjukkan hiperregulasi aksis HPA pada
PTSD.
Sejumlah studi juga telah menemukan terjadinya hipersupresi kortisol pada pasien yang
tepajan trauma tetapi dan mengalami PTSD dibandngkan pasien yang terpajan trauma dan
mengalami PTSD, sehingga mungkin hipersupresi ini secara spesifik berkaitan dengan PTSD
bukan hanya dengan trauma. Secara keseluruhan, hiperregulasi aksis HPA berbeda dengan
aktivitas neuroendokrinyang biasanya terlihat selama stres dan pada gangguan lain selain
depresi.3

6
Gambaran Klinis
Gambaran klinis utama dari gangguan stress pascatraumatik adalah pengalaman ulang
peristiwa yang menyakitkan, suatu pola menghindar dan kekuatan emosional dan kesadaran
yang berlebihan yang hampir tetap. Gangguan mungkin tidak berkembang sampai berbulan-
bulan atau bertahun- tahun setelah peristiwa. Pemeriksaan status mental seringkali
mengungkapkan rasa bersalah, penolakan dan penghinaan. Pasien mungkin juga
menggambarkan keadaan disosiatif dan serangan panik. Ilusi dan halusinasi mungkin
ditemukan. Tes kognitif mungkin mengungkapkan bahwa pasien memiliki ganguan daya ingat
dan perhatian. Gejala penyerta dapat berupa agresi, kekerasan. Pengendalian impuls yang buruk
dan depresi. Berbagai cirri anti sosial mungkin ditemukan, termasuk penyalah gunaan dan
ketergantungan alcohol dan obat, serangan panic, agresi kekerasan dan gangguan daya ingat
serta gangguan memusatkan perhatian(konsentrasi).3

Gejala gangguan stres pasca-trauma umumnya dapat di kelompokkan menjadi tiga


jenis: kenangan mengganggu (intrusive memories), menghindari dan mati rasa, dan kecemasan
atau peningkatan gairah atau emosi (hyperarousal).
Gejala dalam kelompok kenangan mengganggu (intrusive memories) antara lain:
 Kilas balik (flash back), atau hidupnya kembali peristiwa traumatis selama beberapa
menit atau bahkan berhari-hari
 Mengalami mimpi buruk tentang peristiwa traumatik
Gejala menghindari (avoidance) dan mati rasa (numbing) emosional dapat mencakup:
 Mencoba untuk menghindari dari berpikir atau berbicara tentang peristiwa
traumatik
 Merasa mati rasa emosional
 Menghindari aktivitas yang dulu Anda pernah sukai
 Keputusasaan tentang masa depan
 Gangguan memori
 Kesulitan berkonsentrasi
 Kesulitan mempertahankan hubungan dekat
Gejala kecemasan dan gairah emosional peningkatan meliputi:
 Lekas marah atau marah marah
 Rasa bersalah atau malu yang sangat
 Perilaku merusak diri sendiri, seperti minum alkohol terlalu banyak
7
 Sulit tidur
 Menjadi mudah kaget atau ketakutan
 Mendengar atau melihat hal yang tidak ada 1

Table 01. Common Signs and Symptoms After Exposure to a Traumatic Event.5
Physical Cognitive/Mental Emotional Behavioral

 Chills  Blaming others  Agitation  Increased


 Difficulty  Change in  Anxiety alcohol
breathing alertness  Apprehension consumption
 Dizziness  Confusion  Denial  Antisocial acts
 Elevated  Hypervigilance  Depression  Change in
blood  Increased or  Emotional activity
pressure decreased shock  Change in
 Fainting awareness of  Fear communication
 Fatigue surroundings  Feeling  Change in sexual
 Grinding  Intrusive images overwhelmed functioning
teeth  Memory problems  Grief  Change in
 Headaches  Nightmares  Guilt speech pattern
 Muscle  Poor abstract  Inappropriate  Emotional
tremors thinking emotional outbursts
 Nausea  Poor attention response  Inability to rest
 Pain  Poor concentration  Irritability  Change in
 Profuse  Poor decision  Loss of appetite
sweating making emotional  Pacing
 Rapid heart  Poor problem control  Startle reflex
rate solving intensified
 Twitches  Suspiciousness
 Weakness  Social
withdrawal

Modified from the Department of Veterans Affairs and the Department of Defense.

Kriteria Diagnostik

F43.1 Gangguan stres Pasca Trauma

Keadaan ini timbul sebagai respons yang berkepanjangan dan/atau tertunda terhadap
kejadian atau situasi yang menimbulkan stress (baik singkat maupun berkepanjangan) dari yang
bersifat katastrofik dan menakutkan, yang cenderung menyebabkan distress pada hampir setiap
orang (misalnya musibah yang alamiah maupun yang dibuat manusia sendiri, perperangan,
kecelakaan berat, menyaksikan kematian yang mengerikan, menjadi korban penyiksaan,
terorisme, perkosaan dan kejahatan-kejahatan lain).6

8
Factor predisposisi seperti ciri kepribadian (misalnya kompulsif, astenik) atau adanya riwayat
gangguan neurotic sebelumnya, dapat menurunkan ambang kerentanan untuk terjadinya
sindrom ini atau memperberat keadaanya, akan tetapi bukan merupakan hal yang menentukan
untuk terjadinya gangguan ini.6

Gejala khas mencakup episode-episode di mana bayangan-bayangan kejadian traumatic


tersebut terulang kembali (flash backs) atau dalam mimpi, terjadi dengan latar belakang yang
menetap berupa kondisi perasaan ‘beku’ dan penumpulan emmosi, menjauhi orang lain, tidak
responsive terhadap lingkungannya, anhedonia, menghindari aktivitas dan sitausi yang
berkaitan dengan traumanya. Lazimnya ada ketakutan dan penghindaran dari hal-hal yang
mengingatkannya kembali pada trauma yang dialami. Meskipun jarang, kadang-kadang bisa
terjadi reaksi yang dramatik, mendadak ketakutan, panik atau agresif, yang dicetuskan oleh
stimulus yang mendadak mengingatkannya kembali pada trauma yang dialaminya serta reaksi
asli terhadap trauma itu.6

Biasanya terjadi keadaan bangkitan otonomik yang berlebih dengan kenekatan yang
berlebih, mudah kaget, tertegun dan insomnia. Anxietas dan depresi lazimnya diserta dengan
gejala-gejala tersebut diatas, dan ide mengenai bunuh diri juga tidak jarang. Penggunaan
alkohol dan obat-obatan secara berlebihan dapat merupakan faktor komplikasi lain.6

Onset terjadi setelah terjadi trauma, dengan masa laten yang berkisar antara beberapa
minggu sampai beberapa bulan (jarang sampai melampaui 6 bulan). Perjalanaan keadaan ini
berfluktuasi dan pada kebanyakan kasus dapat diharapkan kesembuhan. Pada sejumlah kecil
pasien, perjalanan penyakitnya dapat menjadi kronis sampai beberapa tahun dan terjadi transisi
menuju suatu perubahan kepribadian yang berlangsung lama (F 62.0).6

Kriteria diagnosis dari gangguan stress pasca trauma berdasarkan PPDGJ III (F43.1)

• Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada bukti bahwa timbulnya
dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatik yang luar biasa berat. Kemungkinan
diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu antara terjadinya peristiwa dan
onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asalkan manifestasi klinisnya khas dan tidak
didapat alternatif lain yang memungkinkan dari gangguan lain (misalnya sebagai suatu
gangguan anxietas atau gangguan obsesif kompulsif atau episode depresif).1,6
• Sebagai tambahan, bukti adanya trauma, harus selalu ada dalam ingatan, bayangan atau
mimpi mengenai peristiwa tersebut secara beulang-ulang. Sering kali terjadi penarikan diri
9
secara emosional, penumpulan perasaan, dan penghindaran terhadap stimulus yang
mungkin mengingatkan kembali akan traumanya, akan tetapi hal ini tidak esensial untuk
diagnosis. 1,6
• Gangguan otonomik, gangguan suasana perasaan dan kelainan perilaku semuanya
mempengaruhi diagnosis tersebut tetapi bukan merupakan hal yang terlalu penting. 1,6
• Suatu sekuele kronis terlambat setelah suatu stres yang luar biasa, misalnya yang timbul
bebrapa puluh tahun setelah trauma, harus dikasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan
kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa) 1,6

Kriteria diagnosis dari gangguan Stres Pasca Trauma berdasarkan DSM IV adalah
sebagai berikut:1

1. individu pernah terpapar dengan peristiwa traumatik berupa;


a. individu mengalami, menjadi saksi mata atau berhadapan langsung dengan satu
kejadian atau beberapa kejadian yang mengerikan atau mengancam kehidupan
atau kecelakaan yang serius, atau ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri
atau orang lain
b. respons dari individu yang terlibat dalam peristiwa yang sangat mengerikan,
keputusasaan atau ketakutan yang luar biasa. Catatan; pada anak, kondisi ini
mungkin ditunjukkan oleh adanya perilaku yang disorganisasi atau agitasi
2. pengalaman peristiwa traumatik selalu timbul berulang dalam salah satu bentuk di
bawah ini;
a. adanya bayangan, pikiran atau persepsi yang berkaitan dengan peristiwa
traumatik yang timbul secara berulang dan menyebabkan penderitaan bagi
individu yang bersangkutan. Bagi anak, seringkali kondisi ini diekspresikan
melalui pola mainan yang bertemakan peristiwa traumatik yang dialaminya.
b. Adanya mimpi-mimpi buruk berulang yang menimbulkan penderitaan bagi
individu. Pada anak kondisi ini seringkali berupa timbulnya mimpi buruk tanpa
dapat dikenali isi dari mimpi-mimpi itu
c. Berperilakuatau berperasaan seolah-olah peristiwa traumatik yang dialami itu
terjadi kembali (termasuk ilusi, halusinasi, dan episode disosiatif yang bersifat
flashback)

10
d. Adanya distress psikologis jika berhadapan dengan hal-hal atau simbol-simbol
yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruh
secara internal maupun eksternal
e. Adanya reaksi fisiologis jika berhadapan dengan hal-hal atau simbol-simbol
yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya
secara internal maupun eksternal.
3. Adanya perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus-stimulus yang
berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialami dan disertai dengan respons emosi
yang membeku secara keseluruhan (tidak dijumpai sebelum trauma terjadi), yang
ditunjukkan oleh 3 atau lebih gejala di bawah ini;
a. adanya usaha untuk menghindari pikiran-pikiran, perasaan, atau pembicaraan
yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialaminya
b. adanya usaha untuk menghindari aktiviras, tempat-tempat atau orang-orang
yang membangkitkan ingatan-ingatan tentang peristiwa traumatik yang
dialaminya
c. kesulitan untuk mengingat kembali aspek-aspek penting yang berkaitan dengan
peristiwa traumatik yang dialaminya
d. penurunan yang jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam aktivitas-aktivitas
e. merasa asing atau merasa terpisah dari lingkungan atau orang-orang di
sekitarnya
f. adanya ekspresi afektif yang terbatas, misalnya tidak mampu lagi merasakan
perasaan dicintai
g. kehilangan motivasi untuk membina masa depanya, misalnya tidak mempunyai
keinginan lagi untuk mengembangkan karier, hidup perkawinan, mengasuh anak
atau dalam aktivitas sehari-harinya
4. adanya gejala yang menetap dari peningkatan kewaspadaan (tidak dijumpai sebelum
mengalami peristiwa traumatik), yang ditandai oleh 2 atau lebih gejala di bawah ini;
a. kesulitan untuk tidur atau jatuh tertidur
b. iritabilitas atau mudah mengalami ledakan kemarahan
c. kesulitan berkonsentrasi
d. hypervigilance
e. respons yang kacau dan tidak terkendali
5. durasi dari gejala-gejala dalam kriteria 2,3 dan 4 berlangsung lebih dari 1 bulan

11
6. gejala-gejala diatas jelas menimbulkan penderitaan atau hendaya dalam fungsi sosial,
pekerjaan atau fungsi-fungsi penting lainnya, dengan kelompok :
 akut : jika durasi gejala-gejala kurang dari 3 bulan
 kronik : jika durasi gejala-gejala berlangsung 3 bulan atau lebih
 dengan awitan lambat : jika awitan dari gejala-gejala terjadi paling lambat 6
bulan setelah mengalami peristiwa traumatik.

Diagnosis banding

Gangguan penyesuaian
Pada gangguan penyesuaian, keparahan stressor dan jenisnya dapat dapat bermacam-
macam dibandingkan yang dibutuhkan pada kriteria A PTSD. Diagnosis gangguan penyesuaian
digunakan bila respon terhadap stressor yang ada tidak memenuhi semua kriteria A PTSD (atau
kriteria untuk gangguan mental lain). Gangguan penyesuaian juga didiagnosis ketika pola
gejala PTSD terjadi sebagai respons terhadap stressor yang tidak memenuhi kriteria A PTSD
(misalnya, ditinggalkan pasangan, dipecat).7

Gangguan stres akut .


Gangguan stres akut dibedakan dari PTSD karena pola gejala pada gangguan stres akut
dibatasi untuk jangka waktu 3 hari sampai 1 bulan setelah paparan peristiwa traumatis . 7
Kriteria diagnostic DSM-IV-TR gangguan stress akut: 1
A. Orang tersebut telah terpajan dengan peristiwa traumatic dan kedua hal ini ada:
1. Orang tersebut mengalami, menyaksikan, atau menghadapi peristiwa uang
melibatkan kematian atua cedera serius yang sebenarnya atau mengancam, atau
ancaman terhadap integritas fisik dirinya atau orang lain.
2. Respon orang tersebut melibatkan rasa takut yang intens, rasa tidak berdaya atau
horror.
B. Pengalaman peristiwa traumatic selalu timbul berulang dalam tiga atau lebih gejala
disosiatif berikut ini:
1. Rasa lepas atau tidak adanya respon emosional
2. Menurunnya kesadaran akan sekelilingnya (linglung)
3. Derealisasi
4. Depersonalisasi
5. Amnesia disosiatif
12
C. Peristiwa traumatic secara terus menerus dialami kembali pada satu atau lebih cara.
D. Penghindaran stimulus yang nyata dan membangkitkan kembali trauma.
E. Gejala ansietas atau meningkatnya keterjagaan yang nyata.
F. Gangguan ini menimbulkan distress yang secara klinis bermakna atau hendaya dalam
area fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain atau mengganggu lemampuan
seseorang menjalankan tugas penting, seperti memperoleh bantuan yang penting atau
berbagai hal- hal yang personal dengan bercerita pada angota keluarga mengenai
peristiwa traumatic.
G. Gangguan ini ada selama minimum 3 hari maksimum 4 minggu setelah peristiwa
traumatic.
H. Gangguan ini bukan disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat.

Gangguan depresif mayor


Depresi berat mungkin atau tidak mungkin didahului oleh peristiwa traumatik dan harus
didiagnosis jika gejala PTSD lainnya tidak ada. Khususnya, gangguan depresi mayor tidak
termasuk gejala kriteria B atau C PTSD. Juga tidak termasuk sejumlah gejala PTSD Kriteria D
atau E. 7

Gangguan disosiatif
Amnesia disosiatif, gangguan identitas disosiatif, dan gangguan depersonalisasi-
derealisasi mungkin atau mungkin tidak didahului dengan paparan peristiwa traumatis ataupun
mungkin atau tidak mungkin terjadi bersamaan dengan PTSD . Ketika kriteria PTSD juga
7
dipenuhi, namun, subtipe PTSD '' dengan gejala disosiatif " juga harus dipertimbangkan.

Gangguan konversi (gangguan gejala neurologis fungsional )


Onset baru dari gejala somatik dalam konteks distress post traumatik mungkin
merupakan indikasi dari PTSD daripada gangguan konversi (gangguan gejala neurologis
7
fungsional).

Gangguan psikotik
Flashback pada PTSD harus dibedakan dari ilusi, halusinasi, dan gangguan persepsi lain
yang mungkin terjadi pada skizofrenia, gangguan psikotik singkat, dan gangguan psikotik

13
lainnya ; depresi dan gangguan bipolar dengan psikotik; delirium ; gangguan terinduksi zat; dan
gangguan psikotik karena kondisi medis lain. 7

Traumatic Brain Injury .


Ketika cedera otak terjadi dalam konteks peristiwa traumatis (misalnya, kecelakaan
traumatis, ledakan bom, trauma akselerasi / deselerasi), gejala PTSD mungkin muncul .7

Penatalaksanaan Gangguan Stres Pasca Trauma


Tatalaksana gangguan stres pasca trauma dilakukan dalam bentuk yang komprehensif,
meliputi pemberian medikasi dan psikoterapi serta edukasi, dukungan psikososial, teknik untuk
meredakan kecemasan dan juga modifikasi pola hidup.

Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD, tatalaksana
gangguan stres pasca trauma sebaiknya mempertimbangkan hal – hal sebagai berikut:

1. Gangguan stres pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik dan berulang
serta sering berkomorbiditas dengan gangguan jiwa serius lainnya.
2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/ SSRI merupakan
obat pilihan pertama untuk kasus ini.
3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.
4. Expossure therapy merupakan terapi pendekatan psikososial terbaik yang dianjurkan
dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.1

A. Farmakoterapi

Medikasi lini pertama yang tergolong bermanfaat untuk mengatasi kasus gangguan
stres pasca trauma adalah pemberian obat – obatan antidepresan golongan SSRI seperti
Fluoxetin 10 – 60 mg/hari, Setralin 50 – 200mg/ hari atau Fluvoxamine 50 – 300 mg/ hari.
Selain obat antidepresan golongan SSRI, dapat pula digunakan obat antidepresan dari golongan
lainnya seperti antidepresan trisiklik, MAO inhibitors, SRNI ( Serotonin Norepineprin
Reuptake Inhibitors). Prinsip pengobatan selalu dimulai dari dosis rendah, ditingkatkan
bertahap sampai mencapai dosis terapeutik. Efek terapi baru akan tampak pada minggu ke 2 –
3 sehingga pemberian obat harus memperhatikan hal ini. Pada minggu pertama perlu diberikan
benzodiazepin yang memiliki efek cepat dalam memberikan rasa nyaman sambil menunggu

14
efek terapi antidepresan. Setelah efek terapi tercapai maka dilanjutkan dengan terapi
pemeliharaan untuk mencegah relaps selama paling sedikit 12 bulan.1,3

1. Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)


Golongan obat ini kurang memperlihatkan efek terhadap sistem kolinergik,
adrenergik atau histaminergik, sehingga efek sampingnya lebih ringan. Menurut
penelitian, obat – obat golongan ini lebih menujukkan hasil pengobatan yang baik untuk
pasien dengan gangguan stress pasca trauma.
Obat – obat golongan ini merupakan golongan obat yang secara spesifik
menghambat ambilan serotonin. Yang termasuk golongan obat ini adalah fluoksetin,
paroksetin, setraline, fluvoksamin, R-S sitalopram, dan S-sitalopram. Obat ini
merupakan inhibitor spesifik P450 isoenzim.
Masa kerja obat golongan ini panjang yaitu antara 15 – 24 jam, fluoksetin paling
panjang dengan masa kerja 24 – 96 jam. Paroksetin dan fluoksetin dapat meningkatkan
kadar anti depresi trisiklik berdasarkan hambatan enzim CYP. Efek samping yang
sering dikeluhkan adalah mual, penurunan libido, dan fungsi seksual lainnya.3,8

a. Fluoksetin
Obat ini merupakan golongan obat SSRI yang paling luas digunakan, karena
obat ini kurang menyebabkan antikolinergik, hampir tidak menimbulkan sedasi dan
cukup diberikan sekali sehari.
Sediaan obat ini dalam bentuk kapsul 10 mg dan 20 mg, dalam tablet bergaris
10 mg, dan dalam bentuk iv 20mg/5ml. Dosis awal dapat diberikan 20 mg/hari diberikan
setiap pagi, bila tidak diperoleh hasil maka dapat ditingkatkan 20mg hingga 30 mg per
hari.8

b. Setralin
Suatu golongan SSRI serupa dengan fluoksetin namun bersifat lebih selektif
terhadap SERT (transporter serotonin) dan kurang efektif terhadap DAT (transporter
dopamin). Tersedia dalam tablet garis 25 mg, 50 mg, dan 100mg. Dosis awal yang
dapat diberikan adalah 50 mg/hari dan dapat ditingkatkan bila tidak berespon.8

15
c. Flufoksamin
Efek sedasi dan efek antimuskarinik kurang dari fluoksetin. Obat ini cenderung
meningkatkan metabolit oksidatif benzodiazepin, klozapin, teofilin dan warfarin karena
menghambat CYP 1A2, CYP 2C19, dan CYP 3A3/4.8
d. Paroksetin
Masa paruh 22 jam. Obat ini meningkatkan kadar klozapin, teofilin dan
warfarin. Iritabilitas terjadi pada penghentian secara mendadak. Obat ini tidak boleh
diberikan pada anak karena dapat mengakibatkan gagasan bunuh diri dan agitasi.8
e. R-S sitalopram dan S-sitalopram
Selektivitas terhadap SERT paling tinggi. Masih belum diketahui apakah berarti
secara klinis.8

2. Antidepresan Trisiklik
Golongan obat ini bekerja dengan menghambat ambilan kembali neurotransmitter
di otak. Dari beraneka jenis antidepresan trisiklik terdapat perbedaan potensi dan
selektivitas hambatan ambilan kembali neurotransmitter. Ada yang sangat sensitive
terhadap pengambilan norepinefrin dan ada pula yang sensitif terhadapa serotonin serta
yang sensitif terhadap dopamin. Tidak jelas hubungan antara mekanisme penghambatan
ambilan kembali katekolamin dengan efek antidepresinya.
Efek samping obat ini adalah sering terjadi pengeluaran keringat berlebihan,
peningkatan tekanan darah, gangguan irama jantung. Pemberian obat ini harus hati – hati
pada pasien glaukoma atau hipertrofi prostat.8
a. Imipramin
Tersedia dalam bentuk tablet berlapis gula 10 dan 25 mg dan dalam bentuk
sediaan suntik 25 mg/ 2ml. Biasanya efek mulai timbul minggu 2-3 minggu dari
pemberian obat.8
b. Desmetilimipramin
Berbentuk tablet 25 mg. Dosis permulaan 3 kali 25 mg per hari, selama 7-10
hari. Dosis kemudian ditambahkan atau dikurangkan sesuai kebutuhan.
c. Amitriptilin
Tersedia dalam bentuk tablet 10 dan 25 mg, dan dalam bentuk larutan suntikan
100 mg/10ml.6
3. Monoamin Oksidase Inhibitors (MAO Inhibitors)

16
Golongan obat ini sudah lama digunakan sebagai antidepresan. MAO dalam tubuh
berfungsi dalam proses deaminasi oksidasif katekolamin dalam mitokondria. Bila proses ini
dihambat maka kadar epinefrin, norepinefrin dan 5-HT dalam otak akan meningkat.
Penggunaan obat ini sangat terbatas karena toksik.
Efek samping obat ini adalah hipotensi, hipertensi, gejala tremor, insomnia,
konvulsi, dan kerusakan hati.8
a. Isokarboksazid
Tersedia dalam tablet 10 mg. Dosis obat ini adalah 3 kali 10 mg perhari. Efek
terapi baru terlihat setelah 1-4 minggu.8
b. Nialamid
Tersedia dalam tablet 25 dan 100 mg. Sifat obat ini kurang toksik namun juga
kurang efektif.8
c. Moklobemid
Menghambat MAO-A secara spesifik dan reversibel. Belum ada cukup bukti
untuk menentukan status obat ini dalam pengobatan depresi.8

Table 02. Assessment of Pharmacotherapeutic Interventions for Post-traumatic Stress


Disorder in War Veterans.5
Significant
Benefit Some Benefit Unknown Benefit No Benefit

 SSRIs  MAO inhibitors  Atypical  Benzodiazepines


 SNRIs (phenelzine) antipsychotics [harmful]
[caution*] (monotherapy)  Guanfacine
 Mirtazapine  Atypical  Risperidone
 Nefazodone antipsychotics  Tiagabine
[caution*] (adjunctive)  Topiramate
 Prazosin (for  Bupropion  Valproate
sleep/nightmares)  Buspirone
 TCAs  Clonidine
 Conventional
antipsychotics
 Gabapentin
 Lamotrigine
 Non-
benzodiazepine
hypnotics
 Prazosin (for
global PTSD)
 Propranolol
 Trazodone
(adjunctive)

17
*
Attention to drug-drug and dietary interactions.

MAO = monoamine oxidase; SSRI = selective serotonin reuptake inhibitor; SNRI =


serotonin–norepinephrine reuptake inhibitor; TCA = tricyclic antidepressant.

Adapted from the Department of Veterans Affairs and the Department of Defense.

B. Non farmako terapi

a) Edukasi
Merupakan bagian yang sangat penting karena merupakan pendekatan untuk
membantu pasien mengerti akan perubahan – perubahan yang terjadi dalam fungsi pasien
baik secara fisik maupun psikis sebagai dampak dari peristiwa traumatik yang dialami, baik
adaptif maupun maladaptif.1,9

b) Dukungan psikososial
Dibutuhkan untuk mengurangi berbagai stigma negatif yang mungkin muncul akibat
dari diagnosis gangguan stres pasca trauma. Dukungan psikososial tidak hanya diberikan
oleh dokter, keluarga dan masyarakat lingkungan di sekitar pasien juga harus memberikan
dukungan kepada pasien.1,9

Pada tingkat klinis, Huntington, ahli trauma dan praktisi swasta Elizabeth Carll,
PhD, telah mengembangkan alat pendekatan untuk keluarga dengan anggota keluarga
PTSD .
Strategi Carll meliputi:10
 Mengajarkan keterampilan manajemen stres.
 Menggunakan copy keterampilan keluarga yang sebelumnya efektif untuk
membangun kerangka kerja ketahanan sekarang dan masa depan.
 Membahas bagaimana orang yang mengalami trauma dan anggota keluarganya
ingin berbicara kepada orang-orang di luar keluarga . Konsep ini sangat penting
dalam kasus trauma emosional seperti perkosaan .
 Membantu keluarga untuk memahami bahwa setiap orang terpengaruh oleh kejadian
tersebut, bahkan jika itu tidak jelas pada awalnya .
 Melihat anggota keluarga dalam konfigurasi yang fleksibel - individu , dyadic atau
tingkat tergantung pada kebutuhan kelompok dan pengobatan.

18
c) Teknik untuk meredakan kecemasan
Teknik yang dapat digunakan adalah pengaturan pernafasan serta mengontrol
pikiran – pikiran yang terus dilatih. Hal ini terbukti bermanfaat bagi pasien.1,9

d) Modifikasi pola hidup


Diet makanan sehat, mengatur konsumsi kafein, alkohol, rokok, dan obat – obatan
lainnya. Selain itu olahraga juga diperlukan dalam modifikasi pola hidup.1

e) Psikoterapi:
Psikoterapi psikodinamik dapat berguna dalam terapi pada banyak pasien PTSD. Di
sejumlah kasus, rekonstruksi peristiwa traumatik dengan abreaksi dan katarsis terkait dapat
bersifat terapeutik, tetapi psikoterapi harus diindividualisasi, karena mengalami kembali
trauma dapat terlalu berat untuk pasien.
Individualisasi psikoterapi pada PTSD meliputi terapi perilaku, terapi kognitif, dan
hipnosis. Psikoterapi setelah peristiwa traumatik harus mengikuti model intervensi krisis
dengan dukungan edukasi, dan pembentukan mekanisme koping (copyng mechanism) serta
penerimaan peristiwa.
Ketika timbul PTSD, dua pendekatan psikoterapeutik utama dapat diambil.
Pendekatan pertama adalah pajanan terhadap peristiwa traumatik melalui teknik
membayangkan atau pajanan in vivo. Pajanan ini dapat intens seperti terapi implosif atau
bertahap seperti pada desentisasi sistematik. Pendekatan kedua adalah dengan mengajari
pasien metode penatalaksanaan stres, termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif
untuk menghadapi stres.
Di samping terapi individualm terapi kelompok dan terapi keluarga sering
dilaporkan efektif pada kasus PTSD. Keuntungan terapi kelompok mencakup saling berbagi
pengalaman traumatik dan dukungan dari anggota kelompok lain.1,3,9

Prognosis
Jika tidak diobati, sekitar 30% psien akan pulih sempurna, 40% akan terus memiliki
gejala ringan, 20% akan terus memiliki gejala sedang, dan 10% tetap tidak berubah atau
bertambah buruk. Setelah 1 tahun, sekitar 50% pasien akan pulih.

19
Prognosis pasien menjadi lebih baik bila adanya awitan cepat, durasi gejala singkat
(kurang dari 6 bulan), fungsi pramorbid baik, dukungan sosial baik, dan tidak adanya gangguan
psikiatri, medis, atau gangguan terkait zat lain atau faktor risiko lain.

Umumnya orang yang sangat muda dan sangat tua lebih memiliki kesulitan dengan
peristiwa traumatik daripada orang usia pertengahan. Kemungkinan orang usia muda belum
memiliki mekanisme pertahanan copyng mecanism yang adekuat untuk mengatasi akibat buruk
emosional dan fisik dari trauma. Begitu pula dengan orang yang sangat tua, umumnya memiliki
copyng mecanism yang kaku untuk menghadapi masalah emosional dan fisik dari trauma yang
dialami.

PTSD yang terjadi bersamaan dengan gangguan lain umumnya lebih berat, lebih kronis
dan dapat sulit diobati. Ketersediaan dukungan sosial juga dapat memengaruhi timbulnya
gejala, keparahan, dan durasi PTSD. Umumnya, pasien yang memiliki jaringan dukungan sosial
yang baik lebih kecil kemungkinan untuk memiliki gangguan ini dan lebih jarang mengalami
PTSD dalam bentuk berat, serta lebih besar kemungkinan pulih dalam waktu cepat.3

Komorbiditas

Individu dengan PTSD 80% lebih mungkin dibandingkan mereka yang tidak memiliki
gejala PTSD memenuhi kriteria diagnostik untuk setidaknya satu gangguan mental lain
(misalnya, depresi, bipolar, kecemasan, atau gangguan penggunaan zat). Komorbiditas
gangguan penggunaan zat dan gangguan perilaku lebih sering terjadi pada laki-laki daripada
pada wanita. Di antara personil militer AS dan veteran perang yang dikerahkan untuk perang
di Afghanistan dan Irak, terjadinya PTSD dan TBI ringan sekitar 48%. Meskipun sebagian
besar anak-anak dengan PTSD juga memiliki setidaknya satu diagnosis lain, pola komorbiditas
berbeda dari pada orang dewasa, dengan gangguan pemberontak dan gangguan cemas
perpisahan Ada komorbiditas yang cukup besar antara PTSD dan gangguan neurokognitif
utama dan beberapa gejala tumpang tindih antar gangguan ini.7

20
BAB III

KESIMPULAN

Gangguan stress pasca trauma adalah suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah
mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma,
seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan yang serius. Peristiwa
trauma ini menyebabkan seseorang memberikan reaksi dalam keadaan ketakutan, tak berdaya
dan merasa cemas. Bila gejala-gejala gangguan stres pasca trauma menjadi parah, gangguan
tersebut menimbulkan gangguan dalam aktivitas. Terdapat berbagai penyebab terjadinya
gangguan stres pasca trauma. Stressor adalah penyebab utama terjadinya gangguan stress pasca
trauma. Stressor berupa kejadian yang traumatis misalnya akibat perkosaan, kecelakaan yang
parah, kekerasan pada anak atau pasangan, bencana alam, perang, atau dipenjara. Pedoman
untuk mendiagnosis PTSD dapat menggunakan PPDGJ III dan DSM IV/V.
Penatalaksaan gangguan stress pasca trauma berupa terapi farmakologi dan
nonfarmakologi. Terapi farmakologi yang merupakan lini pertama untuk PTSD adalah
golongan SSRI. Namun sebagai alternatif dapat digunakan golongan obat antidepresan lainnya
seperti antidepresan trisiklik, MAO inhibitors, atau SNRI. Terapi nonfarmakologi yang
dilakukan dapat berupa psikoterapi, dukungan sosial, modiikasi pola hidup dan edukasi.
Psikoterapi memegang peranan penting dalam pengobatan PTSD.
Umumnya prognosis pasien PTSD baik. Prognosis pasien menjadi lebih baik bila
adanya awitan cepat, durasi gejala singkat (kurang dari 6 bulan), fungsi pramorbid baik,
dukungan sosial baik, dan tidak adanya gangguan psikiatri, medis, atau gangguan terkait zat
lain atau faktor risiko lain.

21
Daftar Pustaka

1. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. Edisi 2. 2013. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.h. 277-86.
2. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Diunduh dari:
http://www.webmd.com/mental-health/post-traumatic-stress-disorder-ptsd, 22 februari
2019.
3. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry. 10th ed. 2007.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins p. 252-8.
4. Wynn GH, Benedek DM. Clinical Manual for Management of PTSD. 2011. Arlington:
American Psychiatrics Publishing p.46-7.
5. Alexander W. Pharmacotherapy for Post-traumatic Stress Disorder In Combat
Veterans. [serial online] 2012; 37(1):32–38. Diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3278188/, 23 februari 2019.
6. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. 1993. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI Direktoral jenderal Pelayanan Medis h.190-2.
7. American Psychiatric Association. Diagnostic an Statistical Manual Of Mental
Disorders. 5th edition. 2013. Arlington: American Psychiatric Association p. 278-80.
8. Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. 2007.
Jakarta: Balai penerbit FKUI.h.172-4.
9. Schnurr PP. Treatments for PTSD: Understanding the Evidence. PTSD Research
Quarterly [serial online] 2008 Summer; 19(3):13-8. Diunduh dari:
http://www.ptsd.va.gov/professional/newsletters/research-quarterly/V19N3.pdf., 21
februari 2019.
10. DeAngelis. Helping families cope with PTSD. [serial online] 2008; 39(1):44. Diunduh
dari: http://www.apa.org/monitor/jan08/helping.aspx , 23 februari 2019.

22

Anda mungkin juga menyukai