Anda di halaman 1dari 7

PSIKOLOGI ABNORMAL

STUDI KASUS GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA

Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Abnormal
Dosen pengampu : Eka Indah Nurmawati, S.Psi.,M.Psi., Psikolog

Disusun oleh :
Levia Fenoariyusta Mardatari
20090000139
Kelas D

UNIVERSITAS MERDEKA MALANG


FAKULTAS PSIKOLOGI
2021/2022
A. Studi Kasus
Pada 26 Desember 2004 lalu Samudera Hindia diguncang gempa dengan kekuatan
8,9 SR dan menyebabkan tsunami di daerah Aceh. Dari gelombang raksasa yang
meluluhlantakkan Aceh, sebanyak 230.000 jiwa dinyatakan menjadi korban, termasuk Tn. A
yang berusia 32 tahun pada 2019 lalu. Tn. A digulung ombak sejauh 2 km dan terdampar di
tingkat dua sebuah rumah. Akibat dari kejadian yang dialaminya ini ia menjadi takut air
sehingga Tn. A tidak berani mandi selama 10 hari. Tn. A juga diketahui bahwa ia takut
melihat riak-riak air, tidak berani berenang, berbicara gagap, dan tidur tak nyenyak.
Dalam jurnal dijelaskan bahwa Tn. A datang ke klinik psikiatri pada awal Januari
2005. Tn. A bercerita kepada tenaga ahli dengan mata yang membelalak ketakukan,
menangis tersedu-sehu hingga akhirnya terisak hebat. Tetapi, kemudian Tn. A menjadi lega
setelah menceritakan peristiwa yang dialaminya satu bulan lalu pada saat itu. Tn. A
didiagnosis gangguan stress pasca trauma oleh tenaga profesional dan kemudian ia
mendapatkan cognitive processing therapy.

B. Perspektif Teoritis Stress


1. Definisi Stress
Stress merupakan isitilah yang membingungkan karena terdapat banyak pendapat-
pendapat yang sangat berbeda. Dalam arti umum stress merupakan pola reaksi serta
adaptasi umum, dalam arti pola reaksi menghadapi stressor yang dapat berasal dari dalam
maupun luar individu yang bersangkutan dan bersifat nyata maupun tidak.
Stress adalah fenomena yang pasti dialami oleh semua manusia. Dalam ilmu
psikologi, stress adalah perasaan tertekan dan ketegangan mental. Stress merupakan salah
satu respons individu terhadap perubahan dalam situasi yang mengancam. Adapun
pendapat ahli yang menjelaskan bahwa stress sebenarnya merupakan kerusakan yang
dialami oleh tubuh akibat berbagai tuntutan yang ditempatkan pada diri individu tersebut
(Selye dalam Santrock, 2003).
2. Penyebab Stress
Stress muncul karena adanya stressor yang berupa tuntutan-tuntutan untuk
menyesuaikan diri. Stressor dianggap sebagai suatu ancaman yang nyata dan dirasakan

1
mengganggu stabilitas atau kenyamanans seseorang sehingga menyebabkan orang yang
bersangkutan menjadi stress. Stressor terbagi ke dalam tiga faktor, yakni:
a. Stressor fisik atau jasmani: suhu dingin atau panas, suara bising, rasa sakit,
kelelahan fisik, polusi udara, tempat tinggal tak memadai, dan sebagainya.
b. Stressor psikologis: rasa takut, kesepian, patah hati, marah, cemburu, jengkel, iri
hari.
c. Stressor sosial-budaya: hubungan sosial, kesulitan pekerjaan, menganggur,
pensiun, PHK, peripisahan perceraian, keterasingan, konflik.
3. Indikasi Gejala Stress
Pada umumnya, seseorang yang mengalami stress akan berperilaku lain
dibandingkan dengan tujuannya yang tidak mengalami stress. Gejala yang dialami oleh
individu dengan stress dapat dilihat baik secara fisik maupun psikologis. Seseorang yang
mengalami stress akan menunjukkan gejala fisik berupa gangguan irama jantung,
ketegangan pada otot, sakit kepala, telapak tangan dan atau kaki terasa dingin,
pernapasan tersengal-sengal, pusing, perut terasa mual-mual, gangguan pada pencernaan,
susah tidur. Sementara pada wanita yang mengalami stress, kemungkinan mereka akan
mengalami gangguan menstruasi dan gangguan seksual.
Berbeda dengan gejala fisik di atas, seseorang yang merasa stress akan mengalami
gejala psikologis seperti ditandai dengan perasaan selalu gugup dan cemas, peka dan
mudah tersinggung, gelidah, kelelahan yang hebat, enggan melakukan kegiatan,
kemampuan kerja dan penampilan menurun, perasaan takut, pemusatan diri yang
berlebihan, hilangnya spontanitas, mengasingkan diri dari kelompok dan pobia.
4. Jenis-jenis Stress
a. Stress akut: memiliki jangka yang pendek dan bisa terjadi beberapa kali dalam
satu hari. Stress akut muncul ketika ada tantangan, ancaman, atau sesuatu yang
tidak terduga terjadi.
b. Stress episodik: episode lanjutan dari stress akut yang sering kali terjadi.
Kemungkinan besar terjadi karena seseorang merasa hidupnya kacau karena terus
menghadapi krisis yang terasa sulit dan tidak berkesudahan.
c. Stress kronis: stress dengan tingkat yang tinggi dan terjadi dalam jangka waktu
yang lama. Memiliki dampak yang negatif bagi kesehatan, meliputi gangguan

2
kecemasan, penyakit jantung, depresi, hipertensi, dan sistem kekebalan tubuh
yang melemah.

C. Perspektif Teoritis Stress Pasca Trauma


1. Definisi Stress Pasca Trauma
Stress pasca trauma atau post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah stress yang
merupakan kelanjutan dari stress akut (Acute Stress Disorder/ASD) dan termasuk ke
dalam gangguan kecemasan dan labilitas otonomik. Nevid mendefinisikan PTSD sebagai
reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu peristiwa traumatis yang melibatkan
kematian atau ancaman kematian atau cedera fisik serius atau ancaman terhadap
keselamatan diri sendiri maupun orang lain.
Gangguan stress pasca trauma merupakan respons terhadap stressor yang bersifat
bencana mengerikan yang mampu diterima manusia secara umum. Bencana tersebut
dapat berupa kecelakaan hebat, perang, korban penyiksaan, aksi terotisme, pemerkosaan,
menyaksikan kematian yang mengerikan, dan berbagai peristiwa alam seperti kebakaran,
gunung meletus, banjir, tanah longsor, dan tsunami.
Sadock B.J & Sadock V.A dalam Diagnostic and Statisctical Manual of Mental
Disorder mendifinisikan PTSD sebagai suatu kejadian atau beberapa kejadian trauma
yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang dan dapat berupa kematian
atau ancaman kematian, cedera serius, ancaman terhadap integritas fisik atas diri
seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakukan yang ekstrem, horror, dan
rasa tidak berdaya sehingga dalam digolongkan ke dalam stress pasca trauma.
2. Penyebab Stress Pasca Trauma
Terdapat 3 faktor yang dapat memengaruhi terjadinya stress pasca trauma. Faktor-
faktor tersebut adalah :
a. Faktor biologis: riwayat kecemasan keluarga dan ukuran hipokampus yang lebih kecil
daripada umumnya, jenis kelamin, dan usia pada saat mengalami peristiwa traumatis.
b. Faktor psikologis: karakteristik kepribadian individu, pengalaman trauma masa anak-
anak, resiliensi dan kerentanan terhadap efek trauma, dan perasaan malu.

3
c. Faktor sosial: adanya dukungan sosial dari berbagai pihak, seperti orang tua,
keluarga, teman, sahabat, guru dan masyarakat sekitar akan sangat membantu
individu dalam terjadinya trauma.
3. Gejala-gejala Stress Pasca Trauma
Kriteria PTSD yang harus dipenuhi sesuai dengan DSM IV (Diagnostic and
Statisctical Manual of Mental Disorder IV-Text Revised) adalah :
a. Paparan terhadap peristiwa traumatis: subjek yang mengalami peristiwa traumatis
menderita cedera serius atau ancaman kematian dan emosi negatif yang dialami
secara intens.
b. Perasaan mengalami kembali peristiwa traumatis (re-experiencing): terjadi dalam
kilas balik kejadian, mimpi buruk, dan emosi negatif terhadap peristiwa traumatis.
c. Keinginan untuk menghindar dari stimulus yang mengingatkan tentang kejadian
traumatis serta perasaan mati rasa: subjek akan menghindari segala sesuatu yang
berkaitan dengan peristiwa traumatis, baik individu, perilaku, suasana, maupun
tempat.
d. Meningkatnya kewaspadaan berlebih: subjek akan meningkatkan kewaspadaan atau
kesiagaannya terhadap hal-hal yang sebenarnya tidak berbahaya bagi dirinya.
e. Adanya penurunan fungsi psikologis: terjadi penurunan pada fungsi individu secara
pribadi dan juga dalam kehidupan sosial. Subjek akan cenderung menarik diri dari
orang-orang di sekitarnya dan mengalami penurunan dalam menjalankan aktivitas
sehari-hari.
f. Gejala timbul selama satu bulan atau lebih.
4. Penanganan Stress Pasca Trauma
Penanganan PTSD bertujuan untuk meredakan respons emosi individu yang
terdiagnosis dan mengajarkan cara mengendalikan diri dengan baik ketika teringat pada
kejadian traumatis. Metode yang dapat dilakukan untuk penanganan PTSD adalah :
a. Psikoterapi
Psikoterapi merupakan pilihan pertama dalam mengatasi PTSD. Metode ini dapat
dilakukan secara individual atau berkelompok dengan penderita PTSD lainnya.
Dalam psikoterapi terdapat tiga jenis yang biasanya digunakan, yakni :

4
A. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
CBT merupakan pendekatan psikoterapi yang menekankan bagaimana
mengenali pemikiran, perasaan, dan perilaku yang kurang tepat tentang suatu
hal, dan menitik beratkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang
menyimpang akibat kejadian yang merugikan diri penderita baik secara fisik
maupun psikis. Terapi ini dilakukan untuk mengenali dan mengubah pola
pikir penderita yang negatif menjadi positif dan untuk mengurangi trauma
psikologis. CBT terbukti efektif dalam menurunkan dan mengurangi gejala
PTSD dan gejala mental umum lainnya pada anak, remaja dan orang dewasa.
B. Prolonged Exposure (PE)
PE adalah strategi intervensi yang digunakan dalam terapi perilaku kognitif
untuk membantu individu menghadapi ketakutan. Terapi ini mengajarkan
individu untuk secera bertahap mendekati ingatan, perasaan, dan situasi
terkait trauma.
C. Eye Movement Desensitization Reprocessing (EMDR)
EMDR merupakan kombinasi terapi PE dan teknik gerakan mata untuk
mengubah respons penderita saat teringat kejadian traumatis. Terapi jenis ini
bertujuan untuk membantu seseorang fokus pada hal lain selain trauma yang
dialami dan lebih memerlukan waktu yang cukup singkat. Terapi EMDR
dilakukan sampai penderita terbiasa membicarakan trauma yang dialaminya.

D. Analisisi Penanganan Studi Kasus


Dalam kasus yang dialami oleh Tn. A, beliau didiagnosis mengalami stress pasca
trauma akut dan mendapatkan penanganan Cognitive Behavioral Therapy yang berfokus
restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat trauma yang dideritanya
setelah tergulung ombak sejauh 2 km. Pada kasus di atas, dijelaskan juga bahwa Tn. A tidak
berani untuk mandi selama 10 hari, takut melihat riak-riak air, tidak berani berenang, bicara
gagap, dan tidur tidak nyenyak. Sehingga tenaga profesional memberikan terapi CBT untuk
mengubah semua pikiran negatif Tn. A akan ketakukan dan kewaspadaan yang sebenarnya
tidak berbahaya bagi dirinya serta untuk menghilangkan perasaan bersakah karena ia masih
hidup sementara beberapa temannya meninggal dalam peristiwa Tsunami Aceh.

5
E. Daftar Pustaka
Hidayah, N.I. (2018). Gambaran Post Traumatic Stress Disorder. Diakses pada 19 April 2022
dari http://repository.ump.ac.id/7812/3/NOVI%20ISNAINI%20HIDAYAH%20BAB
%20II.pdf
Hidayati, L.N. & Harsono, M. (2021). Tinjauan literatur mengenai stres dalam organisasi. Jurnal
Ilmu Manajemen, 18(1), 20.
Karlina, D. (2019). Laporan kasus: Stres pasca trauma. Majalah Kedokteran UKI, XXXV(2), 75-
77.
Muslim, M. (2015). Manajemen stres upaya mengubah kecemasan menjadi sukses. ESENSI,
18(2), 149-150.
Nurmaningtyasih, I. (2015). Analisis faktor penyusun stres pada mahasiswa tahun pertama
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Diakses pada 19 April 2022
dari http://etheses.uin-malang.ac.id/1199/6/11410140_Bab_2.pdf
Pratiwi, C.A., Karini, S.M., & Agustin, R.W. (2012). Perbedaan tingkat post-traumatic stress
disorder ditinjau dari bentuk dukungan emosi pada penyintas erupsi merapi usia remaja
dan dewasa di Sleman, Yogyakarta. Jurnal Wacana, 4(2), 89-91. doi:
https://doi.org/10.13057/wacana.v4i2.22
Sukadiyanto, S. (2010). Stress dan cara menguranginya. Cakrawala Pendidikan, XXIX(1), 57-59.
Suprataba., Saleh, A., & Tahir., T. (2021). Penatalaksanaan psikologis pada penderita post
traumatic stress disorder. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 4(1), 14-15. doi:
https://doi.org/10.32584/jikj.v4i1.735

Anda mungkin juga menyukai