Anda di halaman 1dari 12

MATA KULIAH KEPERAWATAN JIWA 2

Dosen Pembimbing:

Disusun oleh:
Kelompok
1. Pandu Setiyawan (22020118183003)
2. Denny Safiudin (22020118183020)
3. Ibnu Foyas H (22020118183022)
4. Anita Susanti (22020118183023)
5. Yuwanti (22020118183025)
6. Ireneus Pape No Mbeong(22020118083031)

DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap orang pasti pernah mengalami kejadian/peristiwa yang hebat, mengejutkan
atau bahkan hal yang mengerikan. Kejadian-kejadian tersebut seringkali berdampak
pada kondisi kejiwaan. Seseorang dapat mengalami bencana secara tiba-tiba tanpa
dapat diprediksi sebelumnya, baik karena bencana alam ataupun tindak kejahatan
tertentu, sehingga dapat menyebabkan trauma. Reaksi/respon terhadap suatu peristiwa
traumatik mungkin dapat berbeda-beda pada setiap individu. Bencana pada sebagian
orang mungkin tidak menyebabkan gangguan psikologis, tetapi pada sebagian yang
lain bahkan menyebabkan trauma yang mendalam. Terkadang trauma yang dialami
menyebabkan seseorang tidak mampu menjalankan aktivitas sehari-hari. Bayangan
akan peristiwa tersebut senantiasa muncul kembali dalam ingatan dan mengusik hingga
timbul perasaan tak mampu untuk mengatasinya. Hal tersebut dapat mengakibatkan
perasaan takut, cemas, tidak berdaya, depresi atau perilaku-perilaku yang maladaptif.
Profesi keperawatan bersifat luwes dan mencakup segala kondisi, dimana perawat
tidak hanya terbatas pada pemberian asuhan di rumah sakit saja, melainkan juga
dituntut mampu bekerja dalam kondisi siaga tanggap bencana. Situasi penanganan
antara keadaan siaga dan keadaan normal memang sangat berbeda, sehingga perawat
harus mampu secara kemampuan dan teknik dalam menghadapi kondisi-kondisi pasca
trauma tersebut (Anggi, 2010).

B. Tujuan
1. Memahami konsep sindrom pasca trauma
2. Mengkaji pasien dengan sindrom pasca trauma
3. Merumuskan diagnosa keperawatan
4. Melaksanakan tindakan keperawatan
5. Mengevaluasi tindakan keperawatan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori
Trauma adalah reaksi fisik dan psikis yang bersifat stress buruk akibat suatu
peristiwa, kejadian atau pengalaman spontanitas atau secara mendadak (tiba-tiba), yang
membuat individu kaget, menakutkan, shock, tidak sadarkan diri yang tidak mudah
hilang begitu saja dalam ingatan manusia. Sebagaimana yang disebutkan The
American Psychological Association (2010), trauma as an emotional response to a
terrible event like an accident, rape or natural disaster.
Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah gangguan kecemasan yang dapat
terbentuk dari sebuah peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan, sulit
dan tidak menyenangkan dimana terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam
(American Psychological Association, 2010). PTSD adalah sebuah gangguan yang
dapat terbentuk dari peristiwa traumatik yang mengancam keselamatan anda atau
membuat anda merasa tidak berdaya (Smith & Segal, 2008).

B. Jenis-jenis trauma
Berdasarkan kajian psikologi (Saragi, 2017), jenis-jenis trauma yang dilihat dari
sifat dan sebab terjadinya trauma yaitu:
a. Trauma Psikologis
Trauma ini adalah akibat dari suatu peristiwa atau pengalaman yang luar biasa,
yang terjadi secara spontan (mendadak) pada diri individu tanpa berkemampuan
untuk mengontrolnya (loss control and loss helpness) dan merusak fungsi ketahanan
mental individu secara umum. Akibat dari jenis trauma ini dapat menyerang
individu secara menyeluruh (fisik dan psikis).
b. Trauma Neurosis
Trauma ini merupakan suatu gangguan yang terjadi pada saraf pusat (otak)
individu, akibat benturan-benturan benda keras atau pemukulan di kepala.
Implikasinya, kondisi otak individu mengalami pendarahan, iritasi, dan sebagainya.
Penderita trauma ini biasanya saat terjadi tidak sadarkan diri, hilang kesadaran,
yang sifatnya sementara.
c. Trauma Psikosis
Trauma psikosis merupakan suatu gangguan yang bersumber dari kondisi atau
problema fisik individu, seperti cacat tubuh, amputasi salah satu anggota tubuh,
yang menimbulkan shock dan gangguan emosi. Pada saat-saat tertentu gangguan
kejiwaan ini biasanya terjadi akibat bayang-bayang pikiran terhadap pengalaman
atau peristiwa yang pernah dialaminya, yang memicu timbulnya histeris atau fobia.
d. Trauma Diseases
Gangguan kejiwaan jenis ini oleh para ahli ilmu jiwa dan medis dianggap
sebagai suatu penyakit yang bersumber dari stimulus-stimulus luar yang dialami
individu secara spontan atau berulang-ulang, seperti keracunan, terjadi pemukulan,
teror, ancaman.

C. Fase-fase PTSD
Fase-fase keadaan mental pasca bencana:
1. Fase Kritis
Fase dimana terjadi gangguan stres pasca akut (dini/cepat) yangmana terjadi selama
kira-kira kurang dari sebulan setelah menghadap bencana. Pada fase ini kebanyakan
orang akan mengalami gejala-gejala depresi seperti keinginan bunuh diri, perasaan
sedih mendalam, susah tidur,dan dapat juga menimbulkan berbagai gejala psikotik.
2. Fase setelah kritis
Fase dimana telah terjadi penerimaan akan keadaan yang dialami dan penstabilan
kejiwaan, umumnya terjadi setelah 1 bulan hingga tahunan setelah bencana, pada
fase ini telah tertanam suatu mindset yang menjadi suatu phobia/trauma akan suatu
bencana tersebut (PTSD) sehingga bila bencana tersebut terulang lagi, orang akan
memasuki fase ini dengan cepat dibandingkan pengalaman terdahulunya.
3. Fase stressor
Fase dimana terjadi perubahan kepribadian yang berkepanjangan (dapat
berlangsung seumur hidup) akibat dari suatu bencana dimana terdapat dogma
“semua telah berubah”.

Peristiwa traumatik yang dapat mengarah kepada munculnya PTSD termasuk:


1. Perang (War)
2. Pemerkosaan (Rape)
3. Bencana alam (Natural disasters)
4. Kecelakaan mobil / pesawat (A car or plane crash)
5. Penculikan (Kidnapping)
6. Penyerangan fisik (Violent assault)
7. Penyiksaan seksual/fisik (Sexual or physical abuse)
8. Prosedur medis, terutama pada anak (Medical procedures-especially in kids)

D. Tiga kategori utama gejala yang terjadi pada PTSD


Pertama, mengalami kembali kejadian traumatik (re-experience). Seseorang kerap
teringat akan kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Gejala
flashback (merasa seolah-olah peristiwa tersebut terulang kembali), nightmares (mimpi
buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik
yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.
Kedua, penghindaran (avoidance) stimulus yang diasosiasikan dengan kejadian
terkait atau mati rasa dalam responsivitas. Orang yang bersangkutan berusaha
menghindari untuk berpikir tentang trauma atau menghadapi stimulus yang akan
mengingatkan akan kejadian tersebut, dapat terjadi amnesia terhadap kejadian tersebut.
Mati rasa adalah menurunnya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan dan
ketidak mampuan untuk merasakan berbagai emosi positif. Gejala ini menunjukkan
adanya penghindaran aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang
berhubungan dengan trauma. Selain itu, juga kehilangan minat terhadap semua hal,
perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal.
Ketiga, gejala ketegangan (hyperarousal). Gejala ini meliputi sulit tidur atau
mempertahankannya, sulit berkonsentrasi, waspada berlebihan, respon terkejut yang
berlebihan, termasuk meningkatnya reaktivitas fisiologis.
Anak-anak dan remaja dapat memiliki reaksi ekstrim untuk trauma, akan tetapi
gejala yang ditunjukkan tidak sama dengan orang dewasa. Pada anak-anak yang sangat
muda, gejala-gejala ini dapat meliputi mengompol, melupakan bagaimana atau tidak
mampu untuk berbicara, memerankan peristiwa menakutkan selama bermain, menjadi
luar biasa menempel dengan orang tua atau orang dewasa lainnya (Hamblen J, 2006
dalam Wahyuni, 2016).

E. Dampak PTSD
Gangguan stres pasca traumatik ternyata dapat mengakibatkan sejumlah gangguan
fisik, kognitif, emosi, perilaku dan sosial.
1. Gejala gangguan fisik:
 pusing,
 gangguan pencernaan,
 sesak napas,
 tidak bisa tidur,
 kehilangan selera makan,
 impotensi, dan sejenisnya.
2. Gangguan kognitif:
 gangguan pikiran seperti disorientasi,
 mengingkari kenyataan,
 linglung,
 melamun berkepanjangan,
 lupa,
 terus menerus dibayangi ingatan yang tak diinginkan,
 tidak fokus dan tidak konsentrasi.
 tidak mampu menganalisa dan merencanakan hal-hal yang sederhana,
 tidak mampu mengambil keputusan.
3. Gangguan emosi:
 halusinasi dan depresi (suatu keadaan yang menekan, berbahaya, dan
memerlukan perawatan aktif yang dini),
 mimpi buruk,
 marah,
 merasa bersalah,
 malu,
 kesedihan yang berlarut-larut,
 kecemasan dan ketakutan.
4. Gangguan perilaku:
 menurunnya aktivitas fisik, seperti gerakan tubuh yang minimal. Misal duduk
berjam-jam dan perilaku repetitif (berulang-ulang).
5. Gangguan sosial:
 memisahkan diri dari lingkungan,
 menyepi,
 agresif,
 prasangka,
 konflik dengan lingkungan,
 merasa ditolak atau sebaliknya sangat dominan.

F. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian untuk klien dengan PTSD meliputi empat aspek yang akan bereaksi
terhadap stress akibat pengalaman traumatis, yaitu :
a. Pengkajian Perilaku (Behavioral Assessment)
1) Dalam keadaan yang bagaimana klien mengalami perilaku agresif yang
berlebihan.
2) Dalam keadan yang seperti apa klien mengalami kembali trauma yang
dirasakan.
3) Bagaimana cara klien untuk menghindari situasi atau aktifitas yang akan
mengingatkan klien terhadap trauma.
4) Seberapa sering klien terlibat aktivitas sosial.
5) Apakah klien mengalami kesulitan dalam masalah pekerjaan semenjak
kejadian traumatis.
b. Pengkajian Afektif (Affective Assessment)
1) Berapa lama waktu dalam satu hari klien merasakan ketegangan dan
perasaan ingin cepat marah.
2) Apakah klien pernah mengalami perasaan panik.
3) Apakah klien pernah mengalami perasaan bersalah yang berkaitan dengan
trauma.
4) Tipe aktivitas yang disukai untuk dilakukan.
5) Apa saja sumber-sumber kesenangan dalam hidup klien.
6) Bagaima hubungan yang secara emosional terasa akrab dengan orang lain
c. Pengkajian Intelektual (Intellectual Assessment)
1) Kesulitan dalam hal konsentrasi.
2) Kesulitan dalam hal memori.
3) Berapa frekuensi dalam satu hari tentang pikiran yang berulang yang
berkaitan dengan trauma.
4) Apakah klien bisa mengontrol pikiran-pikiran berulang tersebut.
5) Mimpi buruk yang dialami klien.
6) Apa yang disukai klien terhadap dirinya dan apa yang tidak disukai klien
terhadap dirinya.
d. Pengkajian Sosiokultural (Sociocultural Assessment)
1) Bagaimana cara keluarga dan teman klien menyampaikan tentang perilaku
klien yang menjauh dari mereka.
2) Pola komunikasi antara klien dengan keluarga dan teman.
3) Apa yang terjadi jika klien kehilangan kontrol terhadap rasa marahnya.
4) Bagaimana klien mengontrol kekerasan terhadap sistem keluarganya.

G. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada gangguan stres pasca traumatik
akibat bencana antara lain ansietas, risiko sindrom pasca trauma, ketakutan, duka cita,
koping defensif dan sindrom stres (NANDA, 2015), sedangkan menurut Standar
Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI, 2017) adalah sindroma pasca trauma.
Diagnosa keperawatan sindroma pasca trauma dapat diterapkan apabila klien
sebagai korban, saksi atau penolong peristiwa traumatik yang mengalami gejala-gejala
sindrom pasca trauma (lihat data subjektif dan objektif) (Keliat & Pasaribu, 2016
dalam Astuti, R. T., Amin, M. K., Purborini, N., 2018).

Sindroma pasca trauma (NANDA, 2015)


Domain 9 : Koping/Toleransi Stress
Kelas 1 : Respon Pasca trauma
Definisi : respon maladaptif kontinu terhadap peristiwa traumatik yang penuh
tekanan
Batasan karakteristik
 Agresia  Palpitasi jantung
 Penyalahgunaan zat  Iritabilitas (lambung, neurosensori)
 Amnesia disosiasi  Riwayat perpisahan
 Penyangkalan  Keputusasaan
 Ansietas  Perilaku menghindar
 Sakit kepala  Kilas balik
 Depresi  Pikiran yang mengganggu
 Perubahan konsentrasi  Ketakutan
 Duka cita  Malu
 Respon terkejut berlebihan  Marah
 Enuresis  Melaporkan merasa mati rasa
 Serangan panik  Mengamuk
 Horor  Mimpi buruk
NOC
1. Anxiety self-control
Definisi: tindakan seseorang untuk menhilangkan atau mengurangi perasaan
keprihatinan, ketegangan atau kekhawatiran dari sumber yang tidak dikenal.
Indikator:
 Monitor intensitas kecemasan
 Kurangi stimulasi lingkungan yang menyebabkan kecemasan
 Mencari informasi untuk mengurangi cemas
 Merencanakan strategi koping yang untuk situasi yang menyebabkan cemas
 Menggunakan strategi koping yang efektif
2. Fear self-control
Definisi: tindakan seseorang untuk menghilangkan atau mengurangi perasaan
keprihatinan, ketegangan atau kekhawatiran dari individu sumber yang tidak
diketahui.
Indikator:
 Monitor intensitas ketakutan
 Mencari informasi untuk mengurangi ketakutan
 Merencanakan strategi koping yang untuk situasi yang menyebabkan
stressfull
 Menggunakan strategi koping yang efektif
3. Coping
Definisi: tindakan seseorang untuk memanage sresssor bebab dari sumber individu
Indikator:
 Mengidentifikasi pola koping yang efektif
 Melaporkan adanya penurunan stress
 Mengatakan penerimaan terhadap situasi
 Mengidentifikasi strategi koping multiple
 Membutuhkan pendampingan dari tenaga kesehatan profesional
 Melaporkan peningkatan adanya kenyamanan psikologis
NIC
1. Anxiety reduction
Definisi: mengurangi kekhawatiran, ketakutan, firasat atau keprihatinan
berhubungan dengan sumber yang tidak diketahui dalam antisipasi
bahaya
 Bantu klien memahami situasi yang menyebabkan stressfull
 Tinggal dengan klien untuk menaikkan keamanan dan pengurangan rasa
takut
 Dukung verbalisasi perasaan, persepsi dan ketakutan
 Identifikasi kapan level kecemasan berubah
 Kontrol stimuli
 Berikan obat untuk mengurangi kecemasan bila diperlukan
2. Coping enhancement
Definisi: mendampingi klien untuk beradaptasi terhadap penerimaan stressor,
perubahan atau ancaman yang berhubungan dengan permintaan hidup
atau peran.
 Hargai dan diskusikan respon alternatif terhadap situasi
 Sediakan lingkungan yang mendukung terhadap penerimaan
 Evaluasi kemampuan klien dalam memecahkan masalah
 Dukung aktivitas sosial dan komunitas
 Dukung penggunaan sumber spiritual
 Dampingi klien mengidentifikasi respon positif
3. Counseling
Definisi: digunakan dalam fokus proses interaktif yang dibutuhkan, masalah
atau perasaan klien dan orang lain untuk meningkatkan koping yang
mendukung, pemecahan masalah dan hubungan interpersonal.
 Buat hubungan yang terapeutik berdasarkan rasa hormat dan percaya
 Dukung untuk pengekspresian perasaan
 Dukung perkembangan kemampuan yang baru pada klien
Daftar pustaka

Astuti, R. T., Amin, M. K., Purborini, N. (2018). Manajemen penanganan posttraumatic


stress disorder (PTSD) berdasarkan konsep dan penelitian terkini. Magelang:
Unnima Press
APA. (2010). Diagnostic and statistical manual of mental disorders. 4th edition (DSM-
IV). Washington, D.C.: American Psychiatric Association (APA)
NANDA. (2015). Diagnosis keperawatan: Definisi & klasifikasi 2015-2017. Edisi 10.
Jakarta: EGC
Pratiwi, Anggi. (2010). PTSD (Post Traumatic Stress Disolder). (online)
(https://www.scribd.com/document/140382454/41221173-askep-PTSD. Pada tanggal 24
Maret 2019)
Smith, M., Segal, R., Segal, J. (2008). Posttraumatic stress disorder (PTSD): Symptoms,
Treatment and Self Help.
http://helpguide.org/mental/post_traumatic_stress_disorder_symtopms_treatment
.htm. Pada tanggal 24 Maret 2019
Saragi, M. P. D. (2017). Konseling traumatik. Uinsi, 04, 92–97.
Wahyuni, H. (2016). Faktor Resiko Gangguan Stress Pasca Trauma Pada Anak Korban
Pelecehan Seksual. Khasanah Pendidikan, 10(1).

Anda mungkin juga menyukai