Anda di halaman 1dari 19

DAMPAK PSIKOLOGIS

Moch. Didik Nugraha


“ Trauma : kondisi dimana manusia mengalami kejadian / keadaan yang berkaitan dengan pengalaman seseorang.

Trauma : Trauma Psikologis dan Trauma Fisik.

TRAUMA PSIKOLOGIS biasa disebabkan oleh suatu peristiwa TRAUMA FISIK biasanya terjadi karena suatu
yang secara spontan hingga dapat merusak ketahanan mental keadaan yang mengakibatkan cidera bisa parah
seseorang maupun ringan yang hampir bisa membahayakan
Sehingga membuat orang tersebut selalu tertuju pada keadaan nyawa atau bagian tubuh tertentu dan biasanya
yang membuatnya sulit untuk melupakan kejadian, dimana hal membutuhkan pertolongan medis.
tersebut dapat menyerang psikologis diagnostic seseorang secara
menyeluruh
NON BENCANA BENCANA PASCA BENCANA

STABIL TRAUMA KRISIS TRAUMA


E R
KRISIS
Dampak Psikologis Pada Individu


Dampak bencana adalah akibat yang timbul dari Penyintas akan menunjukkan setidaknya
kejadian bencana dapat berupa korban jiwa, luka, beberapa gejala psikologis yang negatif setelah
pengungsian, kerusakan pada infrastruktur/aset, beberapa jam paska bencana.
lingkungan ekosistem, harta benda, gangguan pada
stabilitas sosial-ekonomi, dll.
Tahap Tanggap Darurat
Tahap ini adalah masa beberapa jam atau hari setelah bencana. Pada tahap ini kegiatan bantuan sebagian
besar difokuskan pada menyelamatkan penyintas dan berusaha untuk menstabilkan situasi. Penyintas harus
ditempatkan pada lokasi yang aman dan terlindung, pakaian yang pantas, bantuan dan perhatian medis, serta
makanan dan air yang cukup.

Selama tahap penyelamatan, berbagai jenis respon emosional bisa dilihat. Penyintas mungkin mengalami
perubahan dari satu jenis respon terhadap lain atau mungkin tidak menunjukkan sikap yang "biasa". Pada fase
ini kadang penyintas mengalami numbing, atau suatu kondisi mati rasa secara psikis.
Gejala-gejala dibawah ini dapat muncul pada tahap tanggap darurat:
1. Kecemasan berlebihan: Penyintas menunjukkan tanda-tanda kecemasan, mudah terkejut bahkan oleh hal-hal yang
sederhana, tidakmampu untuk bersantai, atau tidak mampu untuk membuat keputusan.
2. Rasa bersalah: Penyintas yang selamat, namun anggota keluarganya meninggal, seringkali kemudian menyalahkan
diri sendiri. Mereka merasa malu karena telah selamat, ketika orang yang dikasihinya meninggal.
3. Ketidaksatbilan emosi dan pikiran: Beberapa penyintas mungkin menunjukkan kemarahan tiba-tiba dan bertindak
agresiv atau sebaliknya, mereka menjadi apatis dan tidak peduli, seakan kekurangan energi. Mereka menjadi mudah
lupa ataupun mudah menangis.
4. Kadang-kadang, penyintas muncul dalam keadaan kebingungan, histeris ataupun gejala psikotik seperti delusi,
halusinasi, bicara tidak teratur, dan terlalu perilaku tidak teratur juga dapat muncul.
Tahap Pemulihan
Setelah situasi telah stabil, perhatian beralih ke solusi jangka panjang. Disisi lain, euforia bantuan mulai menurun,
sebagian sukarelawan sudah tidak datang lagi dan bantuan dari luar secara bertahap berkurang. Para penyintas mulai
menghadapi realitas.

Pada fase ini kekecewaan dan kemarahan sering menjadi gejala dominan yang sangat terasa. Pada tahap ini berbagai
gejala pasca-trauma muncul, misalnya "Pasca Trauma Stress Disorder," "Disorder Kecemasan Generalized," "Abnormal
Dukacita, " dan " Post Traumatic Depresi "-
A. Akut Stress Paska Trauma. Gejala-gejala dibawah ini adalah normal, sebagai reaksi atas kejadian yang tidak
normal (traumatik). Biasanya gejala-gejala diawah ini akan menghilang seiring dengan berjalannya waktu.
1) Emosi. Mudah menangis ataupun kebalikkannya yakni mudah marah, emosinya labil, mati rasa dan
kehilangan minat untuk melakukan aktivitas, gelisah, perasaan ketidakefektifan, malu dan putus asa.
2) Pikiran. Mimpi buruk, mengalami halusinasi ataupun disasosiasi, mudah curiga (pada penyintas kasus
bencana karena manusia), sulit konsentrasi, menghindari pikiran tentang bencana dan menghindari tempat,
gambar, suara mengingatkan penyintas bencana; menghindari pembicaraan tentang hal itu
3) Tubuh. Sakit kepala, perubahan siklus mensruasi, sakit punggung, sariawan atau sakit magh yang terus
menerus sakit kepala, berkeringat dan menggigil, tremor, kelelahan, rambut rontok, perubahan pada siklus
haid, hilangnya gairah seksual, perubahan pendengaran atau penglihatan, nyeri otot
4) Perilaku. Menarik diri, sulit tidur, putus asa, ketergantungan, perilaku lekat yang berlebihan atau penarikan
social, sikap permusuhan, kemarahan, merusak diri sendiri, perilaku impulsif dan mencoba bunuh diri
B. Post Trauma Stress Disorder (PTSD), meliputi:
Jika setelah lebih dari dua bulan gejala gejala di atas (ASPT) masih ada maka, maka dapat diduga mengalami PTSD, jika
memunjukkan gejala ini selepas 2 bulan dari kejadian bencana:
1) Reecperience atau mengalami kembali. Penyintas sekan mengalami kembali peristiwa traumatic yang
mengganggu; misalnya melalui mimpi buruk setiap tidur, merasa mendengar, melihat kembali kejadian yang
berhubungan dengan bencana, dalam pikirannya kejadian bencana terus menerus sangat hidup, apapun yang
dilakukan tidak mampu mengalihkan pikirannya dari bencana. Pada anak-anak korhan konflik senjata, mereka
bermain perang-perangan berulang-ulang.
2) Avoidance, atau menghindar hal-hal yang berkaitan dengan ingatan akan bencana, misalnya menghindari
pikiran atau perasaan atau percakapan tentang bencana; menghindari aktivitas, tempat, atau orang yang
mengingatkan penyintas dari trauma, ketidakmampuan untuk mengingat bagian penting dari bencana,
termenung terus dengan tatapan dan pikiran yang kosong
3) Hyperarusal, atau rangsangan yang berlebihan. Misalnya kesulitan tidur; sangat mudah marah atau kesulitan
berkonsentrasi; jantung mudah berdebar-debar, keringat dingin, panik dan nafas terengah-engah saat teringat
kejadian, kesulitan konsentrasi dan mudah terkejut.
C. Generalized Anxiety Disorder: meliputi:
Kecemasan yang berlebihan dan khawatir tentang berbagai peristiwa ataupun kegiatan (tidak terbatas bencana).
Cemas berlebihan saat air tidak mengalir, seseorang tidak muncul tepat waktu
D. Dukacita Eksrim: Biasanya, setelah kematian orang yang dicintai. Seringkali respon pertama adalah penyangkalan.
Kemudian, mati rasa dan kadang kemarahan
E. Post Trauma Depresi: depresi berkepanjangan adalah salah satu temuan yang paling umum dalam penelitan
terhadap penyintas trauma. Gangguan ini sering terjadi dalam kombinasi dengan Post Traumatic Stress Disorder.
Gejala umum depresi termasuk kesedihan, gerakan yang lambat, insomnia (ataupun kebalikannya hipersomnia),
kelelahan atau kehilangan energi, nafsu makan berkurang (atau berlebihan nafsu makan), kesulitan dengan
konsentrasi, apatis dan perasaan tak berdaya, anhedonia (tidak menunjukkan minat atau kesenangan dalam
aktivitas hidup), penarikan sosial, pikiran negatif, perasaan putus asa, ditinggalkan, dan mengubah hidup tidak
dapat dibatalkan, dan lekas marah.
Tahap Rekontruksi
Satu tahun atau lebih setelah bencana, fokus bergeser lagi. Pola kehidupan yang stabil mungkin
telah muncul. Selama fase ini, walaupun banyak penyintas mungkin telah sembuh, namun beberapa yang
tidak mendapatkan pertolongan dengan tepat menunjukkan gejala kepribadian yang serius dan dapat
bersifat permanen. Pada tahap ini risiko bunuh diri dapat meningkatkan, kelelahan kronis,
ketidakmampuan untuk bekerja, kehilangan minat dalam kegiatan sehari-hari, dan kesulitan berpikir
dengan logis.
Dampak Bencana Thd Psikologis Pada Komunitas


Bencana tidak hanya berdampak pada pribadi tapi juga pada komunitas. Paska bencana dapat saja
tercipta masyarakat yang mudah meminta (padahal sebelumnya adalah pekerja yang tangguh),
masyarakat yang saling curiga (padahal sebelumnya saling peduli), masyarakat yang mudah
melakukan kekerasan (padahal sebelumnya cinta damai). Bencana yang tidak ditangani dengan baik
akan mampu merusak nilai-nilai luhur yang sudah dimiliki masyarakat.
“ Setiap orang dapat bereaksi secara berbeda terhadap
bencana yang sama
Faktor Yang Mempengaruhi Kerentanan Psikologis
Tidak semua orang akan mengalami gejala dan dampak psikologis yang sama pada saat menghadapi
bencana. Beberapa faktor dapat meningkatkan ataupun menurunkan risiko :
1. Tingkat keparahan. Semakin parah bencana yang terjadi, maka semakin buruk kemungkinan dampaknya. Pada kasus
kamp-kamp konsentrasi Nazi, genosida Rwanda, Killing Fields di Kamboja, hampir semua orang yang mengalami
peristiwa traumatis menderita akibatnya untuk waktu yang sangat panjang.
2. Jenis bencana. Bencana yang terjadi karena manusia akan berdampak lebih parah daripada bencana karena alam.
Perang, Terorisme dan kerusuhan sosial berdampak lebih merusak secara psikologis daripada Gempa, Tsunami
ataupun Banjir. Bencana karena manusia yang disengaja (pembakaran toko, pemerkosaan), akan lebih merusak
daripada yang tidak disengaja (kecelakaan kerja, robohnya bangunan).
3. Jenis kelamin dan usia. Wanita (terutama ibu-ibu yang memiliki anak balita), anak usia lima sampai sepuluh, dan
orang-orang tua lebih rentan daripada yang lain. Orang dengan daya tahan fisik yang lebih lemah, akan
mengintepretasikan suatu ancaman lebih besar/mengerikan daripada seseorang dengan daya tahan tubuh yang
lebih kuat. Sebaliknya pada bayi dan anak-anak dibawah 2 tahun, meski secara fisik mereka masih lemah, namun
kondisi psikologis mereka sangat ditentukan oleh orang tua atau orang dewasa yang ada di dekat mereka karena
kemampuan kognitif mereka dalam mengenali bahaya masih terbatas. Jika orang dewasa disekitar mereka bersikap
tenang, maka merek juga akan relatif tenang.
4. Kepribadian. Orang-orang dengan kepribadian yang matang, konsep diri yang positip dan reseliensi yang bagus
akan lebih mampu daripada yang tidak memiliki. Orang-orang yang tumbuh dengan tidak percaya diri, ketika
menghadapi bencana juga akan mempersepsi tentang kekuatan dirinya maupun masa depannya secara negatif dan
pesimis.
3. Ketersediaan jaringan dan dukungan sosial – Keberadaan keluarga yang mendukung, teman-teman,
dan masyarakat akan mampu mengurangi kemungkinan efek samping jangka panjang. Masyarakat yang masih erat,
dan saling peduli akan lebih mampu mengatasi masa-masa sulit daripada masyarakat yang individualis. Kunjungan
dan sapaan terhadap penyintas, akan mempercepat pemulihan mereka
4. Pengalaman sebelumnya. Mereka yang telah berhasil mengatasi dengan trauma di masa lalu, akan lebih dapat
mengatasi bencana berikutnya dengan lebih baik
Aktivitas Psikososial Pada Setiap Tahapan Paska Bencana
Jangka waktu setiap tahap bersifat fleksibel dan tidak kaku, tergantung pada tingkat bencana, aksesibilitas dan
respon pemerintah. Oleh karena itu program dibawah ini lebih bersifat fleksibel. #
Tahap Tanggap Darurat : Pasca dampak-langsung
1. Menyediakan pelayanan intervensi krisis untuk pekerja bantuan, misalnya defusing dan debriefing untuk
mencegah secondary trauma
2. Memberikan pertolongan emosional pertama (emotional first aid), misalnya berbagai macam teknik
relaksasi dan terapi praktis
3. Berusahalah untuk menyatukan kembali keluarga dan masyarakat.
4. Menghidupkan kembali aktivitas rutin bagi anak
5. Menyediakan informasi, kenyamanan, dan bantuan praktis.
Tahap Pemulihan: Bulan pertama
• Lanjutkan tahap tanggap darurat
• Mendidik profesional lokal, relawan, dan masyarakat sehubungan dengan efek trauma
• Melatih konselor bencana tambahan
• Memberikan bantuan praktis jangka pendek dan dukungan kepada penyintas
• Menghidupkan kembali aktivitas sosial dan ritual masyarakat

Tahap Pemulihan akhir: Bulan kedua


• Lanjutkan tugas tanggap bencana.
• Memberikan pendidikan dan pelatihan masyarakat tentang reseliensi atau ketangguhan.
• Mengembangkan jangkauan layanan untuk mengidentifikasi mereka yang masih membutuhkan pertolongan
psikologis.
• Menyediakan "debriefing" dan layanan lainnya untuk penyintas bencana yang membutuhkan.
• Mengembangkan layanan berbasis sekolah dan layanan komunitas lainnya berbasis lembaga.
.
Fase Rekonstruksi
1. Melanjutkan memberikan layanan psikologis dan pembekalan bagi pekerja kemanusiaan dan penyintas
bencana.
2. Melanjutkan program reseliensi untuk antisipasi datangnya bencana lagi.
3. Pertahankan "hot line" atau cara lain dimana penyintas bisa menghubungi konselor jika mereka
membutuhkannya.
4. Memberikan pelatihan bagi profesional dan relawan lokal tentang pendampingan psikososial agar mereka
mampu mandiri.

Anda mungkin juga menyukai