Anda di halaman 1dari 12

A.

Pengertian
Perkosaan (rape) merupakan bagian dari tindakan kekerasan (violence), sedangkan
kekerasan dapat berupa kekerasan secara fisik, mental, emosional dan hal-hal yang sangat
menakutkan pada korban. Perkosaan adalah suatu penetrasi penembusan penis ke vagina
perempuan yang tidak dikehendaki, tanpa persetujuan dan tindakan itu diikuti dengan
pemaksaan baik fisik maupun mental.
Pengertian pemerkosaan berdasarkan Pasal 381 RUU KUHP :
1. Seorang laki-laki dengan perempuan bersetubuh, bertentangan dengan kehendaknya, tanpa
persetubuhan atau dengan persetubuhan yang dicapai melalui ancaman atau percaya Ia
suaminya atau wanita dibawah 14 tahun dianggap perkosaan.
2. Dalam keadaan ayat (1), memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut
perempuan, benda bukan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.
Kalimat korban perkosaan menurut arti leksikal dan gramatikal adalah suatu kejadian,
perbuatan jahat, atau akibat suatu kejadian, atau perbuatan jahat. Perkosaan adalah
Menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi, merogol.
(Mendikbud,2010: 525, 757).

B. Gangguan Stres Pasca Trauma


Seorang psikiater di Jakarta yang bernama W. Roan menyatakan trauma berarti cidera,
kerusakan jaringan, luka atau shock. Sementara trauma psikis, dalam Psikologi diartikan
sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat suatu peristiwa dilingkungan seseorang yang
melampaui batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau menghindar (Roan, W.,
2003).
Gangguan stress pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)) merupakan suatu
sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari
pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas
ketahanan orang biasa (Kaplan et al., 1997). Menurut National Institute of Mental Health
(NIMH), definisi PTSD adalah gangguan berupa kecemasan yang bisa timbul setelah
seseorang mengalami suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya.
Peristiwa yang menimbulkan trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam
yang menimpa manusia, kecelakaan atau perang (Anonim, 2005)
Sedangkan Hikmat mengatakan bahwa PTSD adalah sebuah kondisi yang muncul setelah
pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan, dan mengancam jiwa seseorang
seperti bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse (kekerasan seksual), atau perang
(Hikmat, 2005).

C. Tanda dan Gejala


1. Terdapat stressor yang berat dan jelas (kekerasan, perkosaan), yang akan
menimbulkan gejala penderitaan yang berarti bagi hampir setiap orang.
2. Penghayatan yang berulang-ulang dari trauma itu yang dibuktikan oleh terdapatnya
paling sedikit satu dari hal berikut :
a. ingatan berulang dan menonjol tentang peristiwa itu;
b. mimpi-mimpi berulang dari peristiwa itu;
c. timbulnya secara tiba-tiba perilaku atau perasaan seolah-olah peristiwa
traumatik itu sedang timbul kembali, karena berkaitan dengan suatu gagasan
atau stimulus/rangsangan lingkungan.
3. Penumpulan respons terhadap atau berkurangnya hubungan dengan dunia luar
(“psychic numbing” atau “anesthesia emotional”) yang dimulai beberapa waktu
sesudah trauma, dan dinyatakan paling sedikit satu dari hal berikut :
a. berkurangnya secara jelas minat terhadap satu atau lebih aktivitas yang cukup
berarti;
b. perasaan terlepas atau terasing dari orang lain;
c. afek (alam perasaan) yang menyempit (constricted affect) atau afek depresif
(murung, sedih, putus asa).
4. Paling sedikit ada dua dari gejala-gejala berikut ini yang tidak ada sebelum trauma
terjadi, yaitu :
a. kewaspadaan atau reaksi terkejut yang berlebihan;
b. gangguan tidur (disertai mimpi-mimpi yang menggelisahkan);
c. perasaan bersalah karena lolos dari bahaya maut, sedangkan orang lain tidak,
atau merasa bersalah tentang perbuatan yang dilakukannya agar tetap hidup;
d. hendaya (impairment) daya ingat atau kesukaran konsentrasi
e. penghindaran diri dari aktivitas yang membangkitkan ingatan tentang
peristiwa traumatik itu;
f. peningkatan gejala-gejala apabila dihadapkan pada peristiwa yang
menyimbolkan atau menyerupai peristiwa traumatik itu

D. Batasan Karakteristik
1. Fase akut
a. Respons somatic
 Peka rangsang gastrointerstinal (mual, muntah, anoreksia)
 Ketidaknyamanan genitourinarius (nyeri, pruritus)
 Ketegangan otot-otot rangka (spasme, nyeri).
b. Respons psikologis
 Menyangkal
 Syok emosional
 Marah
 Takut – akan mengalami kesepian, atau pemerkosa akan kembali
 Rasa bersalah
 Panik melihat pemerkosa atau adegan penyerangan
c. Respons seksual
 Tidak percaya pada laki-laki
 Perubahan dalam perilaku seksual

2. Fase jangka panjang


Setiap respons pada fase akut dapat berlanjut jika tidak pernah terjadi resolusi
a. Respons psikologis
 Fobia
 Mimpi buruk atau gangguan tidur
 Ansietas
 Depresi

E. Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan korban pemerkosaan


 Panic attack (serangan panik)
Anak / remaja yang mempunyai pengalaman trauma dapat mengalami serangan panik ketika
dihadapkan / menghadapi sesuatu yang mengingatkan mereka pada trauma. Serangan panik
meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau perasaan tidak nyaman yang menyertai gejala
fisik maupun psikologis. Gejala fisik meliputi jantung berdebar-debar, berkeringat, gemetar,
sesak nafas, sakit dada, sakit perut, pusing, merasa kedinginan, badan panas, mati rasa.
 Perilaku menghindar
Menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan penderita pada kejadian traumatis. Kadang-
kadang penderita mengaitkan semua kejadian dalam seluruh kehidupannya setiap hari dengan
kejadian trauma, padahal kondisi kehidupan sekarang jauh dari kondisi trauma yang pernah
dialaminya. Hal ini seringkali menjadi lebih parah sehingga penderita menjadi takut untuk
keluar rumah dan harus ditemani oleh orang lain jika harus keluar rumah.
 Depresi
Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman trauma dan menjadi tidak
tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa trauma. Mereka
mengembangkan perasaan-perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah, menyalahkan diri
sendiri, dan merasa bahwa peristiwa yang dialaminya adalah merupakan kesalahannya,
walaupun semua itu tidak benar.
 Membunuh pikiran dan perasaan
Kadang-kadang orang yang depresi berat merasa bahwa kehidupannya sudah tidak berharga.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50 % korban kejahatan mempunyai pikiran untuk bunuh
diri. Jika anda dan orang yang terdekat dengan anda mempunyai pemikiran untuk bunuh diri
setelah mengalami peristiwa traumatik, segeralah mencari pertolongan dan berkonsultasi
dengan para profesional.
 Merasa disisihkan dan sendiri
Perlunya dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali merasa sendiri dan
terpisah. Karena perasaan mereka tersebut, penderita kesulitan untuk berhubungan dengan
orang lain dan mendapatkan pertolongan. Penderita susah untuk percaya bahwa orang lain
dapat memahami apa yang telah dia alami.
 Merasa tidak percaya dan dikhianati
Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin kehilangan
kepercayaan dengan orang lain dan merasa dikhianati atau ditipu oleh dunia, nasib atau oleh
Tuhan.
 Mudah marah
Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi yang umum diantara penderita trauma. Tentu
saja kita dapat salah kapan saja, khususnya ketika penderita merasa tersakiti, marah adalah
suatu reaksi yang wajar dan dapat dibenarkan. Bagaimanapun, kemarahan yang berlebihan
dapat mempengaruhi proses penyembuhan dan menghambat penderita untuk berinteraksi
dengan orang lain di rumah dan di tempat terapi.
 Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari
Beberapa gangguan yang terkait dengan fungsi sosial dan gangguan di sekolah dalam jangka
waktu yang lama setelah trauma. Seorang korban kejahatan mungkin menjadi sangat takut
untuk tinggal sendirian. Penderita mungkin kehilangan kemampuannya dalam berkonsentrasi
dan melakukan tugasnya di sekolah. Bantuan perawatan pada penderita sangat penting agar
permasalahan tidak berkembang lebih lanjut.
 Persepsi dan kepercayaan yang aneh
Adakalanya seseorang yang telah mengalami trauma yang menjengkelkan, seringkali untuk
sementara dapat mengembangkan ide atau persepsi yang aneh (misalnya : percaya bahwa dia
bisa berkomunikasi atau melihat orang-orang yang sudah meninggal). Walaupun gejala ini
menakutkan dan menyerupai halusinasi dan khayalan, gejala tersebut seringkali bersifat
sementara dan hilang dengan sendirinya.

F.Kemungkinan perilaku anak-anak dan remaja yang mengalami trauma :


Saat perlu ditangani
Reaksi ketika sedang
Usia Korban Akibat yang normal oleh tenaga
stress
profesional
1-5 tahun Menghisap jempol,
Menangis tidak Keinginan menyendiri
mengompol, kurang dapat
terkontrol secara berlebihan
mengontrol diri
Tidak mengenal waktu. Gemetaran karena Tidak ada respon
Ingin menunjukkan ketakutan, tidak bisa terhadap perhatian
kemandirian bergerak khusus
Takut gelap atau
binatang, sehingga Berlarian ketakutan tanpa
merasa terteror di malam arah
hari
Terlalu ketakutan dan
Tidak mau lepas dari
tidak mau ditinggal
pegangan orang tua
sendirian
Perilaku agresif (kembali
Rasa ingin tahu,
menghisap jari atau
eksploratif
mengompol lagi)
Tidak dapat menahan Amat sensitif dengan
kencing maupun buang suara dan cuaca
air besar
Kesulitan bicara Bingung, panik

Perubahan selera makan Sulit makan


Perilaku regresif yang
5-11 tahun Rasa gelisah, ketakutan jelas terlihat (menjadi
lebih kekanak-kanakan)
Mengeluh Gangguan tidur
Senang menempel kepada
orang tua atau yang Ketakutan akan cuaca
dianggap dekat
Pusing, mual, timbul
Pertanyaan yang agresif masalah penglihatan dan
pendengaran
Berkompetisi dengan
sebayanya/saudaranya Ketakutan yang tidak
untuk mencari perhatian beralasan
orang tua/guru
Menolak untuk masuk
Menghindar atau malas sekolah, tidak bisa
ke sekolah konsentrasi, dan senang
berkelahi
Mimpi buruk, dan takut Tidak dapat beraktivitas
gelap dengan baik
Menyendiri dari kawan-
kawan
Hilang minat/konsentrasi
di sekolah
Remaja awal Disorientasi dan lupa
Gangguan tidur Menarik diri, menyendiri
(11-14 tahun) terhadap sesuatu
Depresi, kesedihan, dan Depresi berat dan
Tidak ada nafsu makan membayangkan bunuh tidak mau ketemu
diri orang
Menjadi pemberontak di
Memakai obat-obatan
rumah atau tidak mau Perilaku agresif
terlarang
mengerjakan tugasnya
Permasalahan kesehatan Depresi Tidak bisa merawat
(kulit, buang air besar, dirinya (makan,
pegal-pegal, pusing) minum, mandi)
Masalah psikosomatis
Remaja
(gatal, sulit buang air Bingung
(14-18 tahun)
besar, asma)
Halusinasi, ketakutan
Menarik diri dan
Pusing/perasaan tertekan akan membunuh diri
menyendiri
sendiri atau orang lain
Perilaku antisosial Tidak dapat
Gangguan selera makan (mencuri, agresif, dan memutuskan hal-hal
dan tidur mencari perhatian yang paling mudah
dengan bertingkah) sekalipun
Mulai
mengidentifikasikan diri Menarik diri dan tidur
Terlalu
dengan kawan sebaya, terlalu pulas atau
terobsesi/dikuasai
ingin menyendiri dengan ketakutan di waktu
oleh satu pikiran
menghindar dari acara malam
keluarga
Protes, apatis
Perilaku yang tidak
Depresi
bertanggung jawab
Tidak bisa berkonsentrasi

G. Pengobatan
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan korban pemerkosaan, yaitu dengan
menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.
1. Farmakoterapi
Mulai terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal. Terapi
dengan anti depresiva pada gangguan stress pasca traumatik ini masih kontroversial. Obat
yang biasa digunakan adalah benzodiazepin, litium, camcolit dan zat pemblok beta – seperti
propranolol, klonidin, dan karbamazepin. Obat tersebut biasanya diresepkan sebagai obat
yang sudah diberikan sejak lama dan kini dilanjutkan sesuai yang diprogramkan, dengan
kekecualian, yaitu benzodiazepin – contoh, estazolam 0,5 – 1 mg per os, Oksanazepam10-30
mg per os, Diazepam (valium) 5 – 10 mg per os, Klonazepam 0,25 – 0,5 mg per os, atau
Lorazepam 1- 2 mg per os atau IM – juga dapat digunakan dalam UGD atau kamar praktek
terhadap ansietas yang gawat dan agitasi yang timbul bersama gangguan stres pasca
traumatik tersebut (Kaplan et al, 1997).
2. Psikoterapi
 Anxiety Management
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu
mengatasi gejala korban pemerkosaan dengan lebih baik melalui :
 Relaxation Training
Yaitu belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan
merelaksasikan kelompok otot-otot utama.
 Breathing retraining
Yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan menghindari bernafas
dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang
tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala.
 Positive thinking dan self-talk
Yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif
ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor).
 Assertiveness Training
Yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau
menyakiti orang lain.
 Thought Stopping
Yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang
membuat kita stress (Anonim, 2005).
 Cognitive therapy
Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi
dan mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin
menyalahkan diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah
mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran
tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran
yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005).
 Exposure therapy
Pada exposure terapi, terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek,
memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak
realistik dalam kehidupan sehari-hari. Terapi ini dapat berjalan dengan dua cara :
 Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara detail kenangan-
kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami hambatan untuk menceritakannya.
 Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari
karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misalnya : kembali ke rumah setelah terjadi
perampokan di rumah). Ketakutan itu akan bertambah kuat jika kita berusaha untuk
mengingat situasi tersebut dibanding berusaha untuk melupakannya. Pengulangan situasi
yang disertai penyadaran yang berulang-ulang akan membantu kita menyadari bahwa situasi
lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya (Anonim, 2005).
 Play therapy
Terapi bermain digunakan untuk menerapi anak-anak dengan trauma. Terapis menggunakan
permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat
membantu anak-anak untuk lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman
traumatiknya (Anonim, 2005).
 Support  Group Therapy
Seluruh peserta dalam Support Group Therapy merupakan korban perkosaan, yang
mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi)
dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis
mereka, kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005).
 Terapi Bicara
Sejumlah studi penelitian membuktikan bahwa terapi berupa saling berbagi cerita mengenai
trauma mampu memperbaiki kondisi kejiwaan penderita. Dengan berbagi pengalaman,
korban bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendamnya selama ini.
Bertukar cerita dengan sesama penderita membuat mereka merasa senasib, bahkan merasa
dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma
yang dideritanya dan melawan kecemasan (Anonim, 2005).

H. Beban Psikologis dan Kesehatan Korban Pemerkosaan


Kondisi, dampak, dan tantangan yang dihadapi tiap korban pemerkosaan berbeda satu sama
lain. Merasa takut, cemas, panik, shock, atau bersalah adalah hal yang wajar. Luka yang
mereka rasakan dapat menetap dan berdampak hingga seumur hidup. Banyak korban yang
merasa kehilangan kepercayaan diri dan kendali atas hidup mereka sendiri. Hal ini juga dapat
membuat mereka kesulitan mengungkapkan yang terjadi pada diri mereka, meski cerita
mereka sangat dibutuhkan untuk menindak pelaku. Berbagai perasaan yang campur aduk dan
situasi rumit tersebut akan membawa dampak bagi kesehatan dan psikologis mereka.
1. Beban Psikologis
Tindak pemerkosaan pasti mendatangkan trauma bagi yang mengalaminya. Respons
tiap orang terhadap pemerkosaan yang menimpanya pasti berbeda dengan munculnya
berbagai perasaan yang menjadi satu dan bahkan dapat baru terlihat lama setelah
peristiwa tersebut terjadi. Berikut ini adalah beberapa perubahan psikologis yang
umumnya dialami korban.
a. Menyalahkan diri sendiri
Sikap menyalahkan diri sendiri adalah kondisi yang paling umum dialami korban
pemerkosaan. Sikap inilah yang paling menghambat proses penyembuhan.
Korban pemerkosaan dapat berisiko menyalahkan diri sendiri karena dua hal:
 Menyalahkan diri karena perilaku. Mereka menganggap ada yang salah dalam
tindakan mereka sehingga akhirnya mengalami tindakan pemerkosaan. Mereka akan
terus merasa untuk seharusnya berperilaku berbeda sehingga tidak diperkosa.
 Menyalahkan diri karena merasa ada sesuatu yang salah di dalam diri mereka sendiri
sehingga mereka pantas mendapatkan perlakuan kasar.
Sayangnya orang-orang terdekat, seperti pasangan, belum tentu dapat mendukung
pulihnya kondisi pasien. Sebagian kerabat korban mungkin merasa tidak dapat
menerima kenyataan atau justru menyalahkan sehingga korban makin berada dalam
posisi yang sulit.
Kebanyakan korban pemerkosaan juga tidak dapat dengan mudah diyakinkan bahwa
ini bukanlah salah mereka. Rasa malu ini kemudian berhubungan erat dengan
gangguan lain, seperti pola makan, kecemasan, depresi, mengonsumsi minuman keras
dan obat-obatan terlarang, serta gangguan mental lain. Kondisi ini dapat diatasi
dengan terapi perilaku kognitif dalam melakukan reka ulang proses penyusunan fakta
dan logika dalam pikiran.
b. Bunuh diri
Kondisi stres pascatrauma membuat korban pemerkosaan lebih berisiko untuk
memutuskan bunuh diri. Tindakan ini terutama dipicu oleh rasa malu dan merasa
tidak berharga.
c. Kriminalisasi korban pemerkosaan
Pada budaya dan kelompok masyarakat tertentu, korban pemerkosaan dapat menjadi
korban untuk kedua kalinya karena dianggap telah berdosa dan tidak layak hidup.
Mereka diasingkan dari masyarakat, tidak diperbolehkan menikah, atau diceraikan
(jika telah menikah). Dalam kelompok masyarakat lain, kriminalisasi pun dapat
terjadi ketika korban disalahkan karena dianggap perilaku atau cara berpakaiannya
yang menjadi penyebab diperkosa.
Selain itu, korban berisiko mengalami hal-hal lain seperti depresi, merasa seakan-akan
peristiwa tersebut terulang terus-menerus, sering merasa cemas dan panik, mengalami
gangguan tidur dan sering bermimpi buruk, sering menangis, menyendiri,
menghindari pertemuan dengan orang lain, atau sebaliknya tidak mau ditinggal
sendiri. Ada kalanya mereka menarik diri dan menjadi pendiam, atau justru menjadi
pemarah.
2. Efek terhadap Fisik Korban
Selain luka psikologis, korban pemerkosaan membawa luka pada tubuhnya. Sebagian
mungkin terlihat, namun sebagian lagi barangkali baru dapat dideteksi beberapa
waktu kemudian.
Sementara secara fisik mereka dapat terlihat mengalami perubahan pola makan atau
gangguan pola makan. Tubuh mereka bisa terlihat tidak terawat, berat badan turun,
dan luka pada tubuh seperti memar atau cedera pada vagina.
Berikut beberapa kondisi yang umum terjadi pada korban pemerkosaan:
a. Penyakit menular seksual (PMS)
Penetrasi vagina yang dipaksakan membuat terjadinya luka yang membuat virus dapat
masuk melalui mukosa vagina. Kondisi ini lebih rawan terjadi pada anak atau remaja
yang lapisan mukosa vaginanya belum terbentuk dengan kuat.
Meski belum ada tanda-tanda yang terasa, namun korban pemerkosaan sebaiknya
memeriksakan diri untuk mendeteksi kemungkinan terkena penyakit menular seksual.
Infeksi seperti HIV (virus yang menyebabkan AIDS) dapat ditangani dengan post-
exposure prophylaxis (PEP), yaitu perawatan profilaksis setelah tubuh terpapar
penyakit. Namun perawatan ini harus dilakukan sesegera mungkin.
b. Penyakit lain
Selain penyakit menular seksual, korban perkosaan umumnya menderita
konsekuensi yang berpengaruh pada kesehatan mereka:
 Peradangan pada vagina atau vaginitis.
 Infeksi atau pendarahan pada vagina atau anus.
 Gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire
disorder/HSDD): keengganan esktrem untuk berhubungan seksual atau
justru menghindari semua atau hampir semua kontak seksual.
 Nyeri saat berhubungan seksual, disebut juga dyspareunia.
 Vaginismus: kondisi yang memengaruhi kemampuan wanita untuk
merespons penetrasi ke vagina akibat otot vagina yang berkontraksi di
luar kontrol.
 Infeksi kantong kemih.
 Nyeri panggul kronis.
c. Kehamilan yang tidak diinginkan
Kehamilan adalah salah satu kondisi dan konsekuensi terberat yang mungkin
terjadi pada korban pemerkosaan. Belum berhasil menyembuhkan diri sendiri,
mereka harus dihadapkan pada kenyataan adanya kehidupan lain di dalam
tubuhnya yang sebenarnya tidak mereka harapkan. Kondisi psikologis wanita
yang buruk dapat membuat bayi berisiko tinggi mengalami kondisi kelainan
atau lahir prematur.
Dampak fisik mungkin dapat sembuh dalam waktu lebih singkat. Namun
dampak psikologis dapat membekas lebih lama. Peran keluarga, kerabat,
dokter, dan terapis akan menjadi kunci dari kesembuhan dan ketenangan bagi
mereka yang menjadi korban pemerkosaan.
Sumber : https://id.scribd.com/document/362561143/Makalah-Jiwa-II-Korban-Perkosaan

Anda mungkin juga menyukai