Anda di halaman 1dari 25

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN

KORBAN PERKOSAAN

DI SUSUN OLEH:

DARUL KUTNI
DEDE ROHMAN S
DEDI IRAWAN
DEDY WILLYANTO
DENI SAPUTRA
DESI MASNIA

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU
LAMPUNG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, semakin banyak kasus pelecehan seksual dan perkosaan yang
menimpa anak-anak dan remaja. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan sebagian besar
menimpa anak-anak dan remaja putri. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan dimulai
dari anak-anak yang masih di bawah umur (Anonim, 2006), pelecehan seks di sekolah
(Anonim, 2006), bahkan kepala sekolah yang seharusnya memberi contoh pada murid-
muridnya melakukan pelecehan seksual kepada siswi-siswinya (Anonim,2007), walikota
yang menghamili ABG (Anonim, 2007), hingga personel tentara perdamaian pun
melakukan pelecehan seksual (Anonim, 2006).
Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki
muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan
tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif,
seperti: rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan
kesucian, dan sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban (Supardi, S.& Sadarjoen,
2006).
Walaupun sebagian besar korban pelecehan seksual dan perkosaan adalah wanita,
akan tetapi dalam beberapa kasus, laki-laki juga dapat menjadi korban pelecehan seksual
yang umumnya dilakukan oleh laki-laki juga. Pada sebagian besar kasus, perkosaan
dilakukan oleh orang sudah sangat dikenal korban, misalnya teman dekat, kekasih,
saudara, ayah (tiri maupun kandung), guru, pemuka agama, atasan, dan sebagainya.
Sedangkan sebagian kasus lainnya, perkosaan dilakukan oleh orang-orang yang baru
dikenal dan semula nampak sebagai orang baik-baik yang menawarkan bantuan,
misalnya mengantarkan korban ke suatu tempat.
Menurut Sadarjoen dalam tulisannya yang dimuat dalam sebuah situs internet,
pelecehan seksual yang terjadi pada anak, memang tidak sesederhana dampak
psikologisnya. Anak akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang
tadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada
obyek-obyek atau orang-orang lain (Supardi, S.& Sadarjoen, 2006).
Pelecehan seksual dan perkosaan dapat menimbulkan efek trauma yang
mendalam pada para korbannya. Korban pelecehan seksual dan perkosaan juga dapat
mengalami gangguan stres akibat pengalaman traumatis yang telah dialaminya.
Gangguan stres yang dialami korban pelecehan seksual dan perkosaan seringkali disebut
Gangguan Stres Pasca Trauma (Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Perkosaan (rape) merupakan bagian dari tindakan kekerasan (violence), sedangkan
kekerasan dapat berupa kekerasan secara fisik, mental, emosional dan hal-hal yang sangat
menakutkan pada korban. Perkosaan adalah suatu penetrasi penembusan penis ke vagina
perempuan yang tidak dikehendaki, tanpa persetujuan dan tindakan itu diikuti dengan pemaksaan
baik fisik maupun mental.
Pengertian pemerkosaan berdasarkan Pasal 381 RUU KUHP :
1. Seorang laki-laki dengan perempuan bersetubuh, bertentangan dengan kehendaknya, tanpa
persetubuhan atau dengan persetubuhan yang dicapai melalui ancaman atau percaya Ia suaminya
atau wanita dibawah 14 tahun dianggap perkosaan.
2. Dalam keadaan ayat (1), memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan,
benda bukan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.
Kalimat korban perkosaan menurut arti leksikal dan gramatikal adalah suatu kejadian,
perbuatan jahat, atau akibat suatu kejadian, atau perbuatan jahat. Perkosaan adalah
Menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi, merogol.
(Mendikbud,2010: 525, 757).

B. Gangguan Stres Pasca Trauma


Seorang psikiater di Jakarta yang bernama W. Roan menyatakan trauma berarti cidera,
kerusakan jaringan, luka atau shock. Sementara trauma psikis, dalam Psikologi diartikan
sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat suatu peristiwa dilingkungan seseorang yang
melampaui batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau menghindar (Roan, W.,
2003).
Gangguan stress pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)) merupakan suatu
sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari
pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas
ketahanan orang biasa (Kaplan et al., 1997). Menurut National Institute of Mental Health
(NIMH), definisi PTSD adalah gangguan berupa kecemasan yang bisa timbul setelah seseorang
mengalami suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa yang
menimbulkan trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa
manusia, kecelakaan atau perang (Anonim, 2005)
Sedangkan Hikmat mengatakan bahwa PTSD adalah sebuah kondisi yang muncul setelah
pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan, dan mengancam jiwa seseorang seperti
bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse (kekerasan seksual), atau perang (Hikmat, 2005).

C. Tanda dan Gejala


1. Terdapat stressor yang berat dan jelas (kekerasan, perkosaan), yang akan menimbulkan
gejala penderitaan yang berarti bagi hampir setiap orang.
2. Penghayatan yang berulang-ulang dari trauma itu yang dibuktikan oleh terdapatnya
paling sedikit satu dari hal berikut :
a. ingatan berulang dan menonjol tentang peristiwa itu;
b. mimpi-mimpi berulang dari peristiwa itu;
c. timbulnya secara tiba-tiba perilaku atau perasaan seolah-olah peristiwa traumatik
itu sedang timbul kembali, karena berkaitan dengan suatu gagasan atau
stimulus/rangsangan lingkungan.
3. Penumpulan respons terhadap atau berkurangnya hubungan dengan dunia luar (“psychic
numbing” atau “anesthesia emotional”) yang dimulai beberapa waktu sesudah trauma,
dan dinyatakan paling sedikit satu dari hal berikut :
a. berkurangnya secara jelas minat terhadap satu atau lebih aktivitas yang cukup
berarti;
b. perasaan terlepas atau terasing dari orang lain;
c. afek (alam perasaan) yang menyempit (constricted affect) atau afek depresif
(murung, sedih, putus asa).
4. Paling sedikit ada dua dari gejala-gejala berikut ini yang tidak ada sebelum trauma
terjadi, yaitu :
a. kewaspadaan atau reaksi terkejut yang berlebihan;
b. gangguan tidur (disertai mimpi-mimpi yang menggelisahkan);
c. perasaan bersalah karena lolos dari bahaya maut, sedangkan orang lain tidak, atau
merasa bersalah tentang perbuatan yang dilakukannya agar tetap hidup;
d. hendaya (impairment) daya ingat atau kesukaran konsentrasi
e. penghindaran diri dari aktivitas yang membangkitkan ingatan tentang peristiwa
traumatik itu;
f. peningkatan gejala-gejala apabila dihadapkan pada peristiwa yang menyimbolkan
atau menyerupai peristiwa traumatik itu

D. Batasan Karakteristik
1. Fase akut
a. Respons somatic
 Peka rangsang gastrointerstinal (mual, muntah, anoreksia)
 Ketidaknyamanan genitourinarius (nyeri, pruritus)
 Ketegangan otot-otot rangka (spasme, nyeri).
b. Respons psikologis
 Menyangkal
 Syok emosional
 Marah
 Takut – akan mengalami kesepian, atau pemerkosa akan kembali
 Rasa bersalah
 Panik melihat pemerkosa atau adegan penyerangan
c. Respons seksual
 Tidak percaya pada laki-laki
 Perubahan dalam perilaku seksual

2. Fase jangka panjang


Setiap respons pada fase akut dapat berlanjut jika tidak pernah terjadi resolusi
a. Respons psikologis
 Fobia
 Mimpi buruk atau gangguan tidur
 Ansietas
 Depresi
E. Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan korban pemerkosaan
 Panic attack (serangan panik)
Anak / remaja yang mempunyai pengalaman trauma dapat mengalami serangan panik ketika
dihadapkan / menghadapi sesuatu yang mengingatkan mereka pada trauma. Serangan panik
meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau perasaan tidak nyaman yang menyertai gejala
fisik maupun psikologis. Gejala fisik meliputi jantung berdebar-debar, berkeringat, gemetar,
sesak nafas, sakit dada, sakit perut, pusing, merasa kedinginan, badan panas, mati rasa.
 Perilaku menghindar
Menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan penderita pada kejadian traumatis. Kadang-
kadang penderita mengaitkan semua kejadian dalam seluruh kehidupannya setiap hari dengan
kejadian trauma, padahal kondisi kehidupan sekarang jauh dari kondisi trauma yang pernah
dialaminya. Hal ini seringkali menjadi lebih parah sehingga penderita menjadi takut untuk keluar
rumah dan harus ditemani oleh orang lain jika harus keluar rumah.
 Depresi
Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman trauma dan menjadi tidak tertarik
dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa trauma. Mereka mengembangkan perasaan-
perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri, dan merasa bahwa
peristiwa yang dialaminya adalah merupakan kesalahannya, walaupun semua itu tidak benar.
 Membunuh pikiran dan perasaan
Kadang-kadang orang yang depresi berat merasa bahwa kehidupannya sudah tidak berharga.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50 % korban kejahatan mempunyai pikiran untuk bunuh
diri. Jika anda dan orang yang terdekat dengan anda mempunyai pemikiran untuk bunuh diri
setelah mengalami peristiwa traumatik, segeralah mencari pertolongan dan berkonsultasi dengan
para profesional.
 Merasa disisihkan dan sendiri
Perlunya dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali merasa sendiri dan
terpisah. Karena perasaan mereka tersebut, penderita kesulitan untuk berhubungan dengan orang
lain dan mendapatkan pertolongan. Penderita susah untuk percaya bahwa orang lain dapat
memahami apa yang telah dia alami.
 Merasa tidak percaya dan dikhianati
Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin kehilangan kepercayaan
dengan orang lain dan merasa dikhianati atau ditipu oleh dunia, nasib atau oleh Tuhan.
 Mudah marah
Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi yang umum diantara penderita trauma. Tentu saja
kita dapat salah kapan saja, khususnya ketika penderita merasa tersakiti, marah adalah suatu
reaksi yang wajar dan dapat dibenarkan. Bagaimanapun, kemarahan yang berlebihan dapat
mempengaruhi proses penyembuhan dan menghambat penderita untuk berinteraksi dengan orang
lain di rumah dan di tempat terapi.
 Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari
Beberapa gangguan yang terkait dengan fungsi sosial dan gangguan di sekolah dalam jangka
waktu yang lama setelah trauma. Seorang korban kejahatan mungkin menjadi sangat takut untuk
tinggal sendirian. Penderita mungkin kehilangan kemampuannya dalam berkonsentrasi dan
melakukan tugasnya di sekolah. Bantuan perawatan pada penderita sangat penting agar
permasalahan tidak berkembang lebih lanjut.
 Persepsi dan kepercayaan yang aneh
Adakalanya seseorang yang telah mengalami trauma yang menjengkelkan, seringkali untuk
sementara dapat mengembangkan ide atau persepsi yang aneh (misalnya : percaya bahwa dia
bisa berkomunikasi atau melihat orang-orang yang sudah meninggal). Walaupun gejala ini
menakutkan dan menyerupai halusinasi dan khayalan, gejala tersebut seringkali bersifat
sementara dan hilang dengan sendirinya.

F. Kemungkinan perilaku anak-anak dan remaja yang mengalami trauma :


Saat perlu ditangani
Reaksi ketika sedang
Usia Korban Akibat yang normal oleh tenaga
stress
profesional
1-5 tahun Menghisap jempol,
Menangis tidak Keinginan menyendiri
mengompol, kurang dapat
terkontrol secara berlebihan
mengontrol diri
Tidak mengenal waktu. Gemetaran karena Tidak ada respon
Ingin menunjukkan ketakutan, tidak bisa terhadap perhatian
kemandirian bergerak khusus
Takut gelap atau Berlarian ketakutan tanpa
binatang, sehingga
merasa terteror di malam arah
hari
Terlalu ketakutan dan
Tidak mau lepas dari
tidak mau ditinggal
pegangan orang tua
sendirian
Perilaku agresif (kembali
Rasa ingin tahu,
menghisap jari atau
eksploratif
mengompol lagi)
Tidak dapat menahan
Amat sensitif dengan
kencing maupun buang
suara dan cuaca
air besar
Kesulitan bicara Bingung, panik
Perubahan selera makan Sulit makan
Perilaku regresif yang
5-11 tahun Rasa gelisah, ketakutan jelas terlihat (menjadi
lebih kekanak-kanakan)
Mengeluh Gangguan tidur
Senang menempel kepada
orang tua atau yang Ketakutan akan cuaca
dianggap dekat
Pusing, mual, timbul
Pertanyaan yang agresif masalah penglihatan dan
pendengaran
Berkompetisi dengan
sebayanya/saudaranya Ketakutan yang tidak
untuk mencari perhatian beralasan
orang tua/guru
Menolak untuk masuk
Menghindar atau malas sekolah, tidak bisa
ke sekolah konsentrasi, dan senang
berkelahi
Mimpi buruk, dan takut Tidak dapat beraktivitas
gelap dengan baik
Menyendiri dari kawan-
kawan
Hilang minat/konsentrasi
di sekolah
Remaja awal Disorientasi dan lupa
Gangguan tidur Menarik diri, menyendiri
(11-14 tahun) terhadap sesuatu
Depresi, kesedihan, dan Depresi berat dan
Tidak ada nafsu makan membayangkan bunuh tidak mau ketemu
diri orang
Menjadi pemberontak di
Memakai obat-obatan
rumah atau tidak mau Perilaku agresif
terlarang
mengerjakan tugasnya
Permasalahan kesehatan Tidak bisa merawat
(kulit, buang air besar, Depresi dirinya (makan,
pegal-pegal, pusing) minum, mandi)
Masalah psikosomatis
Remaja
(gatal, sulit buang air Bingung
(14-18 tahun)
besar, asma)
Halusinasi, ketakutan
Menarik diri dan
Pusing/perasaan tertekan akan membunuh diri
menyendiri
sendiri atau orang lain
Perilaku antisosial Tidak dapat
Gangguan selera makan (mencuri, agresif, dan memutuskan hal-hal
dan tidur mencari perhatian yang paling mudah
dengan bertingkah) sekalipun
Mulai
mengidentifikasikan diri Menarik diri dan tidur
Terlalu
dengan kawan sebaya, terlalu pulas atau
terobsesi/dikuasai oleh
ingin menyendiri dengan ketakutan di waktu
satu pikiran
menghindar dari acara malam
keluarga
Protes, apatis Depresi
Perilaku yang tidak
bertanggung jawab
Tidak bisa berkonsentrasi

G. Pengobatan
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan korban pemerkosaan, yaitu dengan
menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.
1. Farmakoterapi
Mulai terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal. Terapi
dengan anti depresiva pada gangguan stress pasca traumatik ini masih kontroversial. Obat yang
biasa digunakan adalah benzodiazepin, litium, camcolit dan zat pemblok beta – seperti
propranolol, klonidin, dan karbamazepin. Obat tersebut biasanya diresepkan sebagai obat yang
sudah diberikan sejak lama dan kini dilanjutkan sesuai yang diprogramkan, dengan kekecualian,
yaitu benzodiazepin – contoh, estazolam 0,5 – 1 mg per os, Oksanazepam10-30 mg per os,
Diazepam (valium) 5 – 10 mg per os, Klonazepam 0,25 – 0,5 mg per os, atau Lorazepam 1- 2 mg
per os atau IM – juga dapat digunakan dalam UGD atau kamar praktek terhadap ansietas yang
gawat dan agitasi yang timbul bersama gangguan stres pasca traumatik tersebut (Kaplan et al,
1997).
2. Psikoterapi
 Anxiety Management
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu
mengatasi gejala korban pemerkosaan dengan lebih baik melalui :
 Relaxation Training
Yaitu belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan
kelompok otot-otot utama.
 Breathing retraining
Yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan menghindari bernafas
dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak
baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala.
 Positive thinking dan self-talk
Yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika
menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor).
 Assertiveness Training
Yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau
menyakiti orang lain.
 Thought Stopping
Yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang
membuat kita stress (Anonim, 2005).
 Cognitive therapy
Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan
mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan
diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran
yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan
pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu
mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005).
 Exposure therapy
Pada exposure terapi, terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek,
memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak
realistik dalam kehidupan sehari-hari. Terapi ini dapat berjalan dengan dua cara :
 Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara detail kenangan-
kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami hambatan untuk menceritakannya.
 Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena
menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misalnya : kembali ke rumah setelah terjadi
perampokan di rumah). Ketakutan itu akan bertambah kuat jika kita berusaha untuk mengingat
situasi tersebut dibanding berusaha untuk melupakannya. Pengulangan situasi yang disertai
penyadaran yang berulang-ulang akan membantu kita menyadari bahwa situasi lampau yang
menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya (Anonim, 2005).
 Play therapy
Terapi bermain digunakan untuk menerapi anak-anak dengan trauma. Terapis menggunakan
permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat
membantu anak-anak untuk lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman
traumatiknya (Anonim, 2005).
 Support  Group Therapy
Seluruh peserta dalam Support Group Therapy merupakan korban perkosaan, yang mempunyai
pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam
proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian
mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005).
 Terapi Bicara
Sejumlah studi penelitian membuktikan bahwa terapi berupa saling berbagi cerita mengenai
trauma mampu memperbaiki kondisi kejiwaan penderita. Dengan berbagi pengalaman, korban
bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendamnya selama ini. Bertukar cerita
dengan sesama penderita membuat mereka merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik
dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang dideritanya dan
melawan kecemasan (Anonim, 2005).

H. Beban Psikologis dan Kesehatan Korban Pemerkosaan


Kondisi, dampak, dan tantangan yang dihadapi tiap korban pemerkosaan berbeda satu sama lain.
Merasa takut, cemas, panik, shock, atau bersalah adalah hal yang wajar. Luka yang mereka
rasakan dapat menetap dan berdampak hingga seumur hidup. Banyak korban yang merasa
kehilangan kepercayaan diri dan kendali atas hidup mereka sendiri. Hal ini juga dapat membuat
mereka kesulitan mengungkapkan yang terjadi pada diri mereka, meski cerita mereka sangat
dibutuhkan untuk menindak pelaku. Berbagai perasaan yang campur aduk dan situasi rumit
tersebut akan membawa dampak bagi kesehatan dan psikologis mereka.
1. Beban Psikologis
Tindak pemerkosaan pasti mendatangkan trauma bagi yang mengalaminya. Respons tiap
orang terhadap pemerkosaan yang menimpanya pasti berbeda dengan munculnya
berbagai perasaan yang menjadi satu dan bahkan dapat baru terlihat lama setelah
peristiwa tersebut terjadi. Berikut ini adalah beberapa perubahan psikologis yang
umumnya dialami korban.
a. Menyalahkan diri sendiri
Sikap menyalahkan diri sendiri adalah kondisi yang paling umum dialami korban
pemerkosaan. Sikap inilah yang paling menghambat proses penyembuhan.
Korban pemerkosaan dapat berisiko menyalahkan diri sendiri karena dua hal:
 Menyalahkan diri karena perilaku. Mereka menganggap ada yang salah dalam tindakan
mereka sehingga akhirnya mengalami tindakan pemerkosaan. Mereka akan terus merasa
untuk seharusnya berperilaku berbeda sehingga tidak diperkosa.
 Menyalahkan diri karena merasa ada sesuatu yang salah di dalam diri mereka sendiri
sehingga mereka pantas mendapatkan perlakuan kasar.
Sayangnya orang-orang terdekat, seperti pasangan, belum tentu dapat mendukung
pulihnya kondisi pasien. Sebagian kerabat korban mungkin merasa tidak dapat menerima
kenyataan atau justru menyalahkan sehingga korban makin berada dalam posisi yang
sulit.
Kebanyakan korban pemerkosaan juga tidak dapat dengan mudah diyakinkan bahwa ini
bukanlah salah mereka. Rasa malu ini kemudian berhubungan erat dengan gangguan lain,
seperti pola makan, kecemasan, depresi, mengonsumsi minuman keras dan obat-obatan
terlarang, serta gangguan mental lain. Kondisi ini dapat diatasi dengan terapi perilaku
kognitif dalam melakukan reka ulang proses penyusunan fakta dan logika dalam pikiran.
b. Bunuh diri
Kondisi stres pascatrauma membuat korban pemerkosaan lebih berisiko untuk
memutuskan bunuh diri. Tindakan ini terutama dipicu oleh rasa malu dan merasa tidak
berharga.
c. Kriminalisasi korban pemerkosaan
Pada budaya dan kelompok masyarakat tertentu, korban pemerkosaan dapat menjadi
korban untuk kedua kalinya karena dianggap telah berdosa dan tidak layak hidup. Mereka
diasingkan dari masyarakat, tidak diperbolehkan menikah, atau diceraikan (jika telah
menikah). Dalam kelompok masyarakat lain, kriminalisasi pun dapat terjadi ketika
korban disalahkan karena dianggap perilaku atau cara berpakaiannya yang menjadi
penyebab diperkosa.
Selain itu, korban berisiko mengalami hal-hal lain seperti depresi, merasa seakan-akan
peristiwa tersebut terulang terus-menerus, sering merasa cemas dan panik, mengalami
gangguan tidur dan sering bermimpi buruk, sering menangis, menyendiri, menghindari
pertemuan dengan orang lain, atau sebaliknya tidak mau ditinggal sendiri. Ada kalanya
mereka menarik diri dan menjadi pendiam, atau justru menjadi pemarah.
2. Efek terhadap Fisik Korban
Selain luka psikologis, korban pemerkosaan membawa luka pada tubuhnya. Sebagian
mungkin terlihat, namun sebagian lagi barangkali baru dapat dideteksi beberapa waktu
kemudian.
Sementara secara fisik mereka dapat terlihat mengalami perubahan pola makan atau
gangguan pola makan. Tubuh mereka bisa terlihat tidak terawat, berat badan turun, dan
luka pada tubuh seperti memar atau cedera pada vagina.
Berikut beberapa kondisi yang umum terjadi pada korban pemerkosaan:
a. Penyakit menular seksual (PMS)
Penetrasi vagina yang dipaksakan membuat terjadinya luka yang membuat virus dapat
masuk melalui mukosa vagina. Kondisi ini lebih rawan terjadi pada anak atau remaja
yang lapisan mukosa vaginanya belum terbentuk dengan kuat.
Meski belum ada tanda-tanda yang terasa, namun korban pemerkosaan sebaiknya
memeriksakan diri untuk mendeteksi kemungkinan terkena penyakit menular seksual.
Infeksi seperti HIV (virus yang menyebabkan AIDS) dapat ditangani dengan post-
exposure prophylaxis (PEP), yaitu perawatan profilaksis setelah tubuh terpapar penyakit.
Namun perawatan ini harus dilakukan sesegera mungkin.
b. Penyakit lain
Selain penyakit menular seksual, korban perkosaan umumnya menderita
konsekuensi yang berpengaruh pada kesehatan mereka:
 Peradangan pada vagina atau vaginitis.
 Infeksi atau pendarahan pada vagina atau anus.
 Gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire
disorder/HSDD): keengganan esktrem untuk berhubungan seksual atau justru
menghindari semua atau hampir semua kontak seksual.
 Nyeri saat berhubungan seksual, disebut juga dyspareunia.
 Vaginismus: kondisi yang memengaruhi kemampuan wanita untuk merespons
penetrasi ke vagina akibat otot vagina yang berkontraksi di luar kontrol.
 Infeksi kantong kemih.
 Nyeri panggul kronis.
c. Kehamilan yang tidak diinginkan
Kehamilan adalah salah satu kondisi dan konsekuensi terberat yang mungkin
terjadi pada korban pemerkosaan. Belum berhasil menyembuhkan diri sendiri,
mereka harus dihadapkan pada kenyataan adanya kehidupan lain di dalam
tubuhnya yang sebenarnya tidak mereka harapkan. Kondisi psikologis wanita
yang buruk dapat membuat bayi berisiko tinggi mengalami kondisi kelainan atau
lahir prematur.
Dampak fisik mungkin dapat sembuh dalam waktu lebih singkat. Namun dampak
psikologis dapat membekas lebih lama. Peran keluarga, kerabat, dokter, dan
terapis akan menjadi kunci dari kesembuhan dan ketenangan bagi mereka yang
menjadi korban pemerkosaan.

I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut Doenges et.al (2007) pengkajian anak yang mengalami penganiayaan seksual
(sexual abuse) antara lain :
1. Aktivitas atau istirahat : Masalah tidur (misalnya tidak dapat tidur atau tidur berlebihan,
mimpi buruk, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang asing, keletihan.
2. Integritas ego
a. Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun karena
tindakannya terhadap orang tua.
b. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat)
c. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak berdaya
d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme pertahanan yang
paling dominan/menonjol)
e. Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap menunduk, takut
(terutama jika ada pelaku)
f. Melaporkan faktor stres (misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan finansial, pola
hidup, perselisihan dalam pernikahan)
g. Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain
3. Eliminasi
a. Enuresisi, enkopresis.
b. Infeksi saluran kemih yang berulang.
c. Perubahan tonus sfingter.
4. Makan dan minum : Muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia), makan
berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat badan yang sesuai .
5. Higiene
a. Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca (penganiayaan
seksual) atau tidak adekuat memberi perlindungan.
b. Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan kotor/tidak
terpelihara.
6. Neurosensori
a. Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat amuk atau pasivitas
dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan usia
b. Status mental : memori tidak sadar, periode amnesia, lap[oran adanya pengingatan
kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan konsentrasi/membuat keputusan. Afek
tidak sesuai, mungkin sangat waspada, cemas dan depresi.
c. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan penyesalan yang
dalam setelah penganiayaan seksual terjadi.
d. Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk, ketrampilan koping
terbatas, kurang empati terhadap orang lain.
e. Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain : gelisah (korban
selamat).
f. Manifestasi psikiatrik (misal : fenomena disosiatif meliputi kepribadian ganda
(penganiayaan seksual), gangguan kepribadian ambang (koeban inses dewasa)
g. Adanya defisit neurologis/kerusakaan SSP tanpa tanda-tanda cedera eksternal
2. Nyeri atau ketidaknyamanan
a. Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual
b. Berbagai keluhan somatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul kronis, spastik
kolon, sakit kepala)
3. Keamanan
a. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiran air panas, rokok)
ada bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan yang tidak wajar, ruam/gatal di area
genital, fisura anal, goresan kulit, hemoroid, jaringan parut, perubahan tonus sfingter.
b. Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/ cedera internal.
c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam aktivitas dengan
risiko tinggi
d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat menghindari
bahaya di dalam rumah
4. Seksualitas
a. Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi kompulsif,
permainan seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan mengulang atau melakukan
kembali pengalaman inses. Kecurigaan yang berlebihan tentang seks, secara seksual
menganiaya anak lain.
b. Perdarahan vagina , laserasi himen linier, bagian mukosa berlendir.
c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada anak).
5. Interaksi sosial
Menarik diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal kurang
responsif, peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan kritik, penurunan
penghargaan atau pengakuan verbal, merasa rendah diri. Pencapaian prestasi di sekolah
rendah atau prestasi di sekolah menurun. 
2. Intervensi Keperawatan
a. Harga diri rendah situasional
Tujuan dan Kriteria Hasil
NOC
           Body Image, disiturbed
           Coping, ineffective
           Personal identity, disturbed
           Health behavior, risk
           Self esteem situasional, low
Kriteria Hasil :
           Adaptasi terhadap ketunadayaan fisik : respon adaptif klien terhadap
tantangan fungsional penting akibat ketunadayaan fisik
           Resolusi berduka : penyesuaian dengan kehilangan aktual atau kehilangan
yang akan terjadi
           Penyesuaian psikososial : perubahan hidup : respon psikososial adaptiv
individu terhadap perubahan bermakna dalam hidup
           Menunjukkan Penilaian pribadi tentang harga diri
           Mengungkapkan penerimaan diri
           Komunikasi terbuka
           Mengatakan optimisme tentang masa depan
           Menggunakan strategi koping efektif

Intervensi Keperawatan
NIC
Self Esteem Enhancement
           Tunjukan rasa percaya diri terhadap kemampuan pasien untuk mengatasi
situasi
           Dorong pasien mengidentifikasi kekuatan dirinya
           Ajarkan keterampilan perilaku yang positif melalui bermain peran, model
peran, diskusi
           Dukung peningkatan tanggung jawab diri, jika diperlukan
           Buat statement positif terhadap pasien
           Monitor frekuensi komunikasi verbal pasien yang negative
           Dukung pasien untuk menerima tantangan baru
           Kaji alasan-alasan untuk mengkritik atau menyalahkan diri sendiri
           Kolaborasi dengan sumber-sumber lain (petugas dinas social, perawat
spesialis klinis, dan layanan keagamaan)
Counseling
           Menggunakan proses pertolongan interakftif yang berfokus pada
kebutuhan, masalah, atau perasaan pasien dan orang terdekat untuk
meningkatkan atau mendukung koping pemecahan masalah
Coping Enhancement
Body Image enhancement

b. Gangguan isolasi social (menarik diri)


NOC
         Social interaction skills
         Stress level
         Sosial support
         Post-Trauma Syndrome
Kriteria Hasil :
         Iklim sosial keluarga : lingkungan yang mendukung yang bercirikan
hubungan dan tujuan anggota keluarga
         Partisipasi waktu luang : menggunakan aktivitas yang menarik,
menyenangkan, dan menenangkan untuk meningkat kesejahteraan
         Keseimbangan pada perasaan : mampu menyesuaikan terhadap emosi
sebagai respon terhadap keadaan tertentu
         Keparahan kesepian : mengendalikan keparahan respon emosi, sosial atau
eksistensi terhadap isolasi.
         Penyesuaian yang tepat terhadap tekanan emosi sebagai respon terhadap
keadaan tertentu
         Tingkat persepsi positif tentang status kesehatan dan status hidup individu
         Partisipasi dalam bermain, penggunaan aktivitas oleh anak usia 1-11 tahun
untuk meningkatkan kesenangan, hiburan, dan perkembangan
         Meningkatkan hubungan yang efektif dalam perilaku pribadi, Interaksi
sosial dengan orang, kelompok, atau organisasi
         Ketersediaan dan peningkatakan pemberian aktual bantuan yang andal dari
orang lain
         Mengungkapkan penurunan perasaan atau pengalaman diasingkan

Intervensi Keperawatan
NIC
Socialization enhacement
         Fasilitasi dukungan kepada pasien oleh keluarga, teman dan komunitas
         Dukung hubungan dengan orang lain yang mempunyai minat dan tujuan
yang sama
         Dorong melakukan aktivitas sosial dan komunitas
         Berikan uji pembatasan interpersonal
         Berikan umpan balik tentang peningkatan dalam perawatan dan penampilan
diri atau aktivitas lain
         Hadapkan pasien pada hambatan penilaian, jika memungkinkan
         Dukung pasien untuk mengubah lingkungan seperti pergi jalan-jalan dan
bioskop
         Fasilitasi pasien yang mempunyai penurunan sensory seperti penggunaan
kacamata dan alat pendengaran
         Fasilitasi pasien untuk berpartisipasi dalam diskusi dengan group kecil
         Membantu pasien mengembangkan atau meningkatkan keterampilan sosial
interpersonal
         Kurangi stigma isolasi dengan menghormati martabat pasien
         Gali kekuatan dan kelemahan pasien dalam berinteraksi sosial
c. Gangguan alam perasaan depresi
TUM: klien tidak berisiko mencederai diri
TUK:
1.      Klien dapat membina hubungan saling percaya
2.      Klien dapat menggunakan  koping adaptif
3.      Klien terlindungi dari perilaku mencederai diri
4.      Klien dapat meningkatkan harga diri
5.      Klien dapat menggunakan dukungan sosial 

Peran Perawat
1. Pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada korban perkosaan :
a. Saya prihatin hal ini terjadi padamu
b. Anda aman disini
c. Saya senang anda hidup
d. Anda tidak bersalah. Anda adalah koban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun
keputusan yang anda buat pada saat pengorbanan adalah hak seseorang karena anda
hidup.
Korban yang telah diperkosa secara seksual takut terhadap kehidupannya dan harus
diyakinkan kembali keamanannya. Ia mungkin juga sangat ragu-ragu dengan dirinya
dan menyalahkan diri sendiri, dan penyataan-pernyataan ini membangkitkan rasa
percaya secara bertahap dan memvalidasi harga diri.
2. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan  dan mengapa. Pastikan bahwa
pengumpulan data dilakukan dalam perawatan, cara tidak menghakimi, untuk
menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk meningkatkan rasa percaya.
3. Pastikan bahwa pasien memiliki privasi yang adekuat untuk semua intervensi-intervensi
segera pasca-krisis. Cobakan sedikit mungkin orang yang memberikan perawatan segera
atau mengumpulkan bukti segera. Pasien pasca-trauma sangat rentan. Penambahan orang
dalam lingkungannya meningkatkan perasaan rentan ini dan bertindak  meningkatkan
ansietas.
4. Dorong pasien untuk menghitung jumlah serangan. Dengarkan, tapi tidak menyelidiki.
Mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan kesempatan untuk katarsis bahwa
pasien perlu memulai pemulihan. Jumlah yang rinci mungkin dibutuhkan untuk tindak  
lanjut secara legal, dan seorang klinisi sebagai pembela pasien, dapat menolong untuk
mengurangi trauma dari pengumpulan bukti.
5. Diskusikan dengan pasien siapa yang dapat dihubungi untuk memberikan dukungan atau
bantuan. Berikan informasi tentang rujukan setelah perawatan. Karena ansietas berat dan
rasa takut, pasien mungkin membutuhkan bantuan dari orang lain selama periode segera
pasca-krisis. Berikan informasi rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya (mis.,
psikoterapis, klinik kesehatan jiwa, kelompok pembela masyarakat.
6. Discharge Planning
Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan
penganiayaan seksual (sexual abuse) antara lain:
a. Anak tidak mengalami ansietas panik lagi.
b. Anak mendemonstrasikan derajat percaya kepada perawat primer.
c. Anak menerima perhatian dengan segera terhadap cedera fisiknya.
d. Anak memulai perilaku yang konsisten terhadap respons berduka.
e. Anak mendapatkan perhatian segera untuk cedera fisiknya jika ada.
f. Anak menyatakan secara verbal jaminan keamanannya dengan segera.
g. Anak mendiskusikan situasi kehidupannya dengan perawat primer.
h. Anak mampu menyatakan secara verbal pilihan –pilihan yang tersedia untuk
dirinya yang dari hal ini ia menerima bantuan.
i. Anak mendemosntrasikan rasa percaya kepada perawat utama melalui
mendiskusikan perlakuan penganiayaan melalui penggunaan terapi bermain.
j. Anak mendemonstrasikan suatu penurunan dalam perilaku agresif.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB III
PENUTUP
 
KESIMPULAN
Ketika seseorang mengalami kekerasan atau pelecehan secara seksual baik itu secara fisik
maupun psikologis, maka kejadian tersebut dapat menimbulkan suatu trauma yang sangat
mendalam dalam diri seseorang tersebut terutama pada anak-anak dan remaja. Dan kejadian
traumatis tersebut dapat mengakibatkan gangguan secara mental, yaitu Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD). Tingkatan gangguan stress pasca trauma berbeda-beda bergantung pada
seberapa parah kejadian tersebut mempengaruhi kondisi psikologis dari korban.
Untuk menyembuhkan gangguan stress pasca trauma pada korban kekerasan atau pelecehan
seksual diperlukan bantuan baik secara medis maupun psikologis, agar korban tidak merasa
tertekan lagi dan bisa hidup secara normal kembali seperti sebelum kejadian trauma. Dan
pendampingan itu sendiri juga harus dengan metode-metode yang benar sehingga dalam
menjalani penyembuhan atau terapi korban tidak mengalami tekanan-tekanan baru yang
diakibatkan dari proses pendampingan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Antonim. 2008. Askep Halusinasi. Dimuat


dalam http://augusfarly.wordpress.com/2008/08/21/askep-halusinasi/. (Diakses : 8
Agustus 2012)
Anonim. 2009. Askep dengan Halusinasi. Dimuat
dalam http://aggregator.perawat.web.id [Diakses : 15 Oktober 2011]
Anonim. 2008. Halusinasi . Dimuat dalam. http://harnawatiaj.wordpress.com/ [Diakses : 15
Oktober 2011] 
Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba Medika
Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .
Keliat Budi Ana. 1999. Proses  Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I. Jakarta : EGC
Nita Fitria. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat.
Jakarta: Salemba Medika.
Rasmun, (2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan
Keluarga. Konsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan Analisa Proses Interaksi (API).
Jakarta : fajar Interpratama.
Yosep , iyus. 2011. Keperawatan Jiwa. Bandung : PT. Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai