Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.
Setiap manusia dari berbagai lapisan bisa saja mengalami ketegangan hidup, yang
diakibatkan adanya tuntutan dan tantangan, kesulitan, ancaman ataupun ketakutan
terhadap bahaya kehidupan yang semakin sulit terpecahkan. Sehingga sering kali
didapati seseorang mengalami ketegangan psikologis, merasakan keluhan yang kadang
memerlukan perawatan dan pengobatan.
Keadaan atau konflik yang berkepanjangan yang terjadi dapat menimbulkan luka
kepada siapapun yang mengalaminya, pengalaman yang mengerikan merupakan
pangalaman traumatis bagi setiap orang dan sangat sulit untuk dilupakan, sehinggga
berdampak terhadap perilaku yang sering tidak wajar dan akan menimbulkan kecemasan
bagi orang-orang terdekat.
Pendapat yang dikemukan Sondang Irene menyatakan bahwa pengalaman traumatis
menggoncangkan dan melemahkan pertahanan individu dala menghadapi tantangan hidup
sehari-hari. Hal ini sangat wajar bila terjadi pada seseorang yang mengalami peristiwa
tersebut, artinya bahwa siapapun berpeluang untuk menampilkan reaksi yang berlabihan
akibat dari pengalaman yang begitu mengejutkan, menakutkan, menyedehkan,
mengancam sehingga menimbulkan trauma maupun stress.
Stres merupakan luka psikologis yang akan membekas dalam kurun waktu yang tidak
dapat diprediksi oleh siapapun, apabila tanpa penanganan serta pemulihan yang baik dari
semua pihak yang berkepentingan. Stress berdampak pada daya fikir, daya rasa dan daya
tindak dalam menjalani Langkah kehidupan.
Pada saat kejadian traumatis dialami seseorang, orang tersebut akan merespon dan
mengatasinya dengan mekanisme recovery yang dimilikinya sehingga tidak berdampak
negative pada waktu yang akan datang. Namun pada orang-orang tertentu yang tidak
terselesaikan dengan tuntas yang akan memimbulkan bekas luka atau sakit yang
mendalam, dalam waktu yang cukup lama yang akan berakibat terhadap pelirakunya, hal
tersebut yang disebut dengan tress pasca traumatic atau Post Traumatic Stress Dissorder.
Dalam keadaan yang demikian seseorang memiliki resiko yang tinggi untuk mengalami
gangguan Kesehatan mental seperti fobia, panic, depresi, kebingungan, kecemasan, dan
obsesif-kompulsif.
Traumatis akan muncul Kembali apabila muncul pemicu yang mengigatkan terhadap
kejadian tersebut seperti kesamaan tempat, warna, suara dan sebagainya. Orang -orang
yang mengalami gangguan pasca traumatic biasanya mengalami tress yang
berkepanjangan, sehingga mengakibatkan ganguan otak, berkurangnya kemampuan
intelektual, gangguan emosional maupun gangguan kemampuan social.
Pada dasarnya besar kecilnya masalah yang menegangkan tersebut adalah relative,
tergantung dari tinggi rendahnya kedewasaan kepribadian serta bagaimana sudut pandang
seseorang dalam menghadapinya. Sebagian besar dari mereka mengalami ketegangan
mengambil jalan pintas dengan menghisap roko secara berlebihan, obat penenang,
minuman keras dan lain sebagainya dengan harapan terhindar dari stress. Mereka tidak
menyadari bahwa menghindari stress dengan melakukan hal yang salah akan dapat
menerima akibat dari Kesehatan yang amat buruk.

1.2. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui definisi Trauma

2. Mengetahui definisi stress

3. Mengetahui definisi koping

4. Mengetahui definisi adaptasi keluarga


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Konsep Trauma

Trauma didefinisikan sebagai pengalaman yang akan menggaggu kasuseimbangan


biokimia dari system informasi pengolahan psikologi otak. Kasuseimbangan akan
menghalangi pemprosesan informasi untuk meneruskan proses tersebut dalam mencapai
suatu adaptif, sehingga persepsi, emosi dan keyakinan dan makna yang diperoleh dari
pengalaman tersebut terkunci dalam system saraf.

Suatu peristiwa yang luar biasa, yang menimbulkan luka atau perasaan sakit, namun
sering dianggap sebagai suatu luka atau perasaan sakit berat akibat dari suatu kejadian luar
biasa yang terjadi pada seseorang, secara langsung maupun tidak langsung, baik itu berupa
luka fisik maupun luka psikis ataupun dari keduannya adalah trauma. Berat atau ringannya
suatu peristiwa yang dirasakan setiap orang akan berbeda, sehingga pengaruh dari peristiwa
tersebut terhadap perilakunya juga akan berbeda.

Trauma bisa saja melanda siapapun yang mengalami suatu peristiwa yang luar biasa
seperti korban pemerkosaan, orang yang berada di daerah konflik, kematian orang terkasih
akibat kekerasan dan juga bencana alam. Sebagian orang yang mengalami traumatis secara
berulang memiliki resiko lebih besar untuk mengalami trauma Kembali pada perkembangan
hidupnya di masa yang akan datang. Hal tersebut dapat terjadi karena pengalaman traumatis
terdahulu yang belum terselesaikan yang membuat mereka merasa kesepian, memiliki trust
issues, terisolir, dan semakin rentan secara psikis. Trauma terbagi atas empat yaitu:

1. Trauma situasional ini sering terjadi akibat beberapa kondisi diataranya bencana alam,
kebakaran, perampokan, kecelakaan kendaraan, perceraian, permerkosaan, ditinggal
mati, kehilangan mata percaharian, kegagalan dalam bisnis maupun Pendidikan dan
sebagainnya.
2. Trauma perkembangan, trauma ini sering terjadi pada setiap tahapan perkembangan,
seperti kelahiran yang tidak dikehendaki, penolakan teman sebaya, peristiwa yang
berhubungan dengan berkencan, berkeluarga dan sebagainya.
3. Trauma intrapsikis, trauma ini sering terjadi disebabkan kejadian internal seseorang
yang memunculkan perasaan cemas yang sangat kuat, sperti munculnya perasaan
benci pada seseorang yang seharusnya dicintai, munculnya homo seksual atau LGBT
dan sebagainya.
4. Trauma eksistensional, trauma ini sering terjadi akibat munculnya kekurangan
berartian dalam kehidupan.

Ada beberapa teori yang menyatakan bahwa trauma merupakan kesakitan yang
dialami oleh seseorang yang dapat memberikan kerusakan terhadap fisik ataupun mental
yang akan menyebabkan menurunnya tingkat produktifitas dan aktivitas keseharian.
Trauma ini terjadi karena terdapat kebimbangan yang melampaui atau kebimbangan yang
traumatik oleh kerusakan fisk dan psikis yang dapat menyebabkan gangguan emosi yang
dicetuskan oleh peristiwa pahit yang akut.

2.2. Konsep Stres.

Stress diartikan sebagai setiap perubahan yang terjadi didalam diri baik secara internal
maupun eksternal yang menimbulkan reaksi dari individu, ada pula yang menyatakan bahwa
stress merupak reaksi dari tubuh terhadap situa tang menekan, atau mengancam seseorang
( Jordan, 1997). Reaksi seseorang dapat berbeda-beda terhadap stress, namun secara garis
besar dapat dibagi menjadi dua yaitu: menghadapinya atau lari dari situasi tersebut.

Stress merupakan respon tubuh yang tidak spesifik terhadap setiap kebutuhan tubuh
yang terganaggu, suatu fenomena universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan
tidak dapat dihindari,setiap orang mengalaminya, stress memberi dapak secara total pada
individu yaitu terhadap fisik, psikologis, intelektual, social dan spiritual, stress dapat dapat
mengancam keseimbangan fisiologis. Stress emosi dapat menimbulkan perasaan negative
atau destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain. Stress intelektual akan mengganggu
persepsi dan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan masalah, stress social akan
mengganggu hubungan individu terhadap kehidupan.

WHO (2003) mendefinisikan stress adalah reaksi atau respon tubuh terhadap stressor
psikososial (tekanan mental atau beban hidup). Stress dewasa ini digunakan secara bergantian
untuk menjelaskan berbagai stimulasi dengan intensitas berlebihan yang tidak disukai berupa
respons fisiologis, perilaku, dan subjektif terhadap stress, konteks yang menjembatani
pertemuan antara individu dengan stimulus yang membuat stress sebgai suatu system.

Istilah stress diperkenalkan oleh Selye tahun 1930 dalam bidang psikolodi dan
kedokteran, Selye mendefinisikan stress sebagai reaksi dari oeganisme terhadap situasi yang
membebani atau mengancam jiwanya, hubungan khusus seseorang dengan lingkungannya
yang dianggap melampaui kemampuannya dan membahayakan kesejahteraanya. Pengalaman
emosional negative yang Ketika tuntutan pada seseorang lebih besar daripada kapasitas
responnya.

Menurut Nasir dan Muhit (2011) stress adalah reaksi tertentu yang muncul pada tubuh
yang bisa disebabkan oleh berbagai tuntutan, misalnya Ketika manusia menghadapi
tantangan yang penting, Ketika dihadapkan pada ancaman, atau Ketika harus berusaha
mengatasi harapan-harapan yang tidak realistis dari lingkungan.

Stress bersal dari Bahasa latin yaitu stringere yang bermakna ketegangan dan tekanan,
stress dibagi menjadi dua jenis yaitu:

1. Eustress merupakan stress yang baik, memberikan dampak positif bagi individu.
2. Distress adalah stress yang memberikan dampak buruk atau negative yang memicu
timbulnya stress.
Stressor adalah agen pencetus atau presipitasi yang mengaktifkan proses stress, agen
presipitasi yang mengaktifkan stress dalam keluarga adalah peristiwa hidup atau kejadian
yang kuat untuk menyebabkan perubahan dalam system keluarga. Stressor keluarga dapat
berupa peristiwa atau pengalaman interpersonal (di dalam atau di luar keluarga), lingkungan,
ekonomi, atau social-budaya.
Pengalaman atau situasi yang penuh dengan tekanan yang dapat menimbulkan stress.
Sumber stress (stressor) dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu:
1. Life events focus pada perubahan kehidupan yang begitu banyak terjadi dalam waktu
yang singkat. Peristiwa kehidupan paling penting dan bisa memicu stress.
2. Chronic strains, kesulitan yang konsisten atau berulang-ulang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari.
3. Daily hassles berbagai peristiwa kecil yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan
memerlukan penyesuain dan menimbulkan stress sesaat.
Stress dapat menyebabkan berbagai gajala fisik, emosional, dan perilaku. Berbagai
gejala stress bisa mempengaruhi Kesehatan yang berbeda pada setiap orang. Namun padsa
Sebagian besar orang, hai ini cenderung menunjukkan respon atau cirinya tersendiri. Pada
orang berbeda mungkin respon yang muncul berupa sakit kepala dan yang lainnya muncul
diare atau tekanan darah yang meningkat.
Reaksi seseorang menghadapi stress akan berbeda pada setiap individu, namun reaksi
tersebut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu, menghadapinya atau melarikan
diri dari situasi tesebut. Apabila seseorang menghadapinya maka ada dua kemungkinan yaitu
bila berhasil menghadapi maka stress akan terlewati dan berakhir. Tapi bila stress itu terlalu
berat, berkesinambungan, atau memilih menyerah menghadapinya, maka dapat menimbulkan
ganguan fisik, perubahan psikologis (depresi), perubahan sikapa yang timbul dan akan dapat
menambah kecemasan sehingga meningkat menjadi stress.
Akumulasi atau tumpukan dan besarnya stressor dalam kehidupan keluarga
memberikan perkiraan jumlah stress yang dialami keluarga. McCubbin dan Patterson
(1983a). konsep akumulasi stressor kehidupan keluarga didefinisikan sebgai jumlah peristiwa
perkembangan (yang diharapkan) dan situasional ( yang tidak diharapkan) serta ketegangan
intrakeluarga (tekanan dalam hubungan di antara anggota keluarga).
2.2.1. Sumber Stres.
Sumber stress dapat berasal dari dalam tubuh dan diluar tubuh sumber stress dapat
berupa biologic/fiologik, kimia, spikologik, social dan spiritual, terjadinya stress karena
stressor tersebut dirasakan dan dipersepsikan oleh individu sebagai suatu ancaman
sehingga menimbulkan kecemasan yang merupakan tanda umum dan awal dari gangguan
Kesehatan fisik dan spikologis. Contoh sumber stress yakni:
1. Stressor biologic dapat berupa mikroba, bakteri, virus dan jasad renik lainnya, hewan,
bermacam tumbuhan dan makhluk hidup lainnya yang dapat mempengaruhi
Kesehatan misalnya: tumbuhnya jerawat, demam, digigit Binatang dan lain
sebagainya yang dipersepsikan dapat mengancam konsep diri individu.
2. Stressor fisik dapat berupa perubahan iklim, alam, suhu, cuaca, geografis yang
meliputi letak tempat tinggal, domisili, demografi, berupa jumlah anggota dalam
keluarga, nutrisi, radiasi, kepadatan penduduk, imigrasi, kebisingan dll.
3. Stressor kimia terseor ini berasal dari dalam tubuh dapat berupa serum darah dan
glukosa sedangkan dari luar tubuh dapat berupa obat, pengobatan, pemakaian alcohol,
nikotin, cafein, polusi udara, gas beracun, insektisida, pencemaran lingkungan, bahan-
bahan pengawet, pewarna dan lain sebagainya.
4. Stressor social psikologik, yaitu labeling dan prasangka, ketidak puasan terhadap diri
sendiri, kekejaman (aniaya, permerkosaan) konflik peran, percaya diri yang rendah,
perubahan ekonomi, emosi yang negative, dan kehamilan.
5. Stressor spiritual yaitu adanya persepsi negative terhadap nilai-nilai ke-Tuhanan.
2.2.1.1. Stress Keluarga
Teori stress keluarga telah berkembang selama 50 tahu terakhir, seperti yang
ditunjukkan oleh susunan model yang dikutip dalam literatur. Dua teori stress pada
keluarga, yang menekankan pada tahap prakrisis (Model ABCX) dan pascakrisisman
yang berguna bagi perawat yang bekerja dengan keluarga dan yang mengelola situasi
penuh stress. Salah satu perbedaan antara dua model ini adalah bahwa dalam Model
ABCX (Hil, 1949) suatu situasi Krisi dipandang sebagai sebuah tantangan, sebagai suatu
indikasi bahwa keluarga harus membuat beberapa perubahan yang mendasar mengenai
bagaimana fungsi umum keluarga dalam upaya beradaptasi dengan peristiwa stress.

Teori stress keluarga HILL

Teori stress keluarga Hill (1999) klasik merupakan model yang paling singkat dan
fasih dalam menguraikan factor.faktor yang menyebabkan krisis atau bukan krisis dalam
keluarga. Berdasarkan penelitian Hill yang dilakukan pada perangkat yang menyebabkan
perpisahan dan penyatuan, ia menyususn teori stress keluarga yang di sebut model
ABCX yaitu ia mengidentifikasi kumpulan variable besar ( factor A,B,C dan X) dan
hubungannya yang menyebabkan krisis/bukan krisis keluarga. Ia juga secata teoritis
menguraikan proses penyesuaian “roller coaster” pasca krisis yang dilewati keluarga.
Teori ini telah menjadi dasar bagi banyak studi penelitian dalam bidang stress dan koping
keluarga dan telah menjadi landasan karya Caplan (1964) dan klinisi lain untuk
menghasilkan teori dan prinsip praktik dalam intervensi krisis.

Kerangka ABCX memiliki dua bagian yakni: yang pertama adalah pernyataan yang
berhubungan dengan penentu krisis keluarga. A merupakan peristiwa dan kesulitan yang
terkait dan berinteraksi dengan B, sedangkan B merupakan sumber yang berhadapan
dengan krisis keluarga dan yang berinteraksi dengan C, C didifinisikan yang dibuat
keluarga mengenai peristiwa tersebut, dan menghasilkan X. Bagian keduannya adalah
pernyataan yang lebih berorientasi proses terkait dengan jalannya penyesuain setelah
krisis. Hill (1965) menjelaskan bahwa perjalanan penyesuaian keluarga setalah sebuah
krisis meliputi, a). periode disoragisasi, b). sudut pemulihan, dan c). reorganisasi dan
tingkat funsi baru keluarga. Untuk menguraikan teori Hill lebih lanjut, model ini
menjelaskan apa yang mencetuskan krisis dalam sebuah keluarga, dan ada tiga factor
dasat yang terlibat.
Yang pertama adala adanya stressor atau peristiwa stressor actual (factor A). factor
dasar kedua yang mempengaruhi hasil akhir krisis atau bukan krisis dalam berhadapan
dengan tresor adalah sumber dan pengunaan sumber dan mekanisme koping keluarga
(factor B). stressor utama walanya memaksa pertahanan yang stereotipe. Kemudian,
upaya koping muncul. Jika keluarga tidak mengunakan sumber dan mekanisme koping.
Akan tetapi, intervensi lebih mudah dalam kasus ini karena tidak terlau sulit untuk
membantu keluarga memanfaatkan pola koping masa lalu dibandingkan membantu
keluarga belajar cara merespons yang baru.

Yang ketiga dan terpenting dari tiga factor yang berperan adalah persepsi dan
interpretasi keluarga terhadap stressor atau peristiwa stressor (factor C). Lazarus dan
rekan (1974) menekankan bahwa penilaian kognitif seseorang atau kelompok terhadap
stressor yang mempengaruhi apa upaya koping yang dilakukan serta hasil akhirnya. Ingat
bahwa keluarga yang secara konsiten menerima dan mendefinisikan peristiwa serta
situasi sebagai ancaman dan bahaya bukan sebagai tantangan, cenderung terpajam krisis.
Keluarga yang fungsional akan mampu melihat peristiwa sebagai sesuatu yang dapat
dipahami dan dapat dikelola.

Factor X terlibat dengan krisis atau bukan krisis. Hill (1965) membahas factor-faktor
ini dalam hal kecenderungan krisis pada keluarga. Kecenderungan krisis menguraikan
bagaimana keluarga mengatasi factor B dan C dari teori. Ketika keluarga terpajan krisis,
keluarga cenderung mengalami peristiwa stressor dengan frekuensi yang lebih besar (A)
serta mendefinisikan ini lebih sering sebagai krisis (C). tipe keluarga ini juga lebih rentan
terhadap peristiwa stressor karena kurangnya sumber dan kemampuan koping (B) yang
mereka miliki. Selain itu, keluarga khasnya gagal belajar dari krisis yang lalu, yang
menyebabkan mereka melihat peristiwa stressor baru sebagai ancaman dan pencetus
krisis.

Factor X cenderung dilihat oleh Hill sebagai bukan atau hasil akhir, walaupun tahap
krisis atau bukan krisis pasti ada. Efek ketidakteraturan krisis dalam keluarga terlihat
dalam hubungan dan penampilan peran anggota keluarga. Hill mengamati bahwa
perilaku seksual pasangan yang menikah adalh petunjuk yang paling peka terhadap
adanya krisis.
2.3. koping.

2.31. Pengertian koping.

Koping didefinisikan sebagai proses yang dilalui oleh individu dalam


menyelesaikan situasi stresfull. Koping tersebut adalah merupakan respon individu
terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik.
Sesorang yang mengalami stress atau ketegangan psikologik dalam menghadapi
masalah kehidupan sehari-hari memerlukan kemampuan pribadi maupun dukungan
dari lingkungan, agar dapat mengurangi stress, cara yang digunakan oleh individu
untuk mengurangi stress itulah yang disebut dengan koping.
Secara alamiah baik disadari ataupun tidak, individu sesunguhnya telah
mengunakan strategi koping dalam menghadapi stress. Strategi koping adalah cara
yang dilakukan untuk merubah lingkungan atau situasi atau menyesuaikan masalah
yang sedang dirasakan atau dihadapi. Koping dapat diartikan sebagai upaya
perubahan kognitif dan perilaku secara konstan untuk menyelesaikan stress yang
dihadapi.
Koping yang efektif menghasilkan adaptasi yang menetap yang merupakan
kebiasaan baru dan perbaikan dari situasi yang lama, sedangkan koping yang
efektif berakhir dengan maladaptive yaitu perilaku yang menyimpang dari
keinginan normative dan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain atau
lingkungan. Setiap individu dalam melakukan koping tidak sendiri dan tidak hanya
mengunakan satu strategi tetapi dapat melakukannya bervariasi, hal ini tergantung
dari kemampuan dan kondisi individu.
Menurut Lazarut, Averill, dan Opton (1974) koping terdiri atas upaya pemecahan
masalah yang dihadapi oleh individu dengan tuntutan yang sangat relevan dengan
kesejahteraannya, tetapi membebani sumber seseorang. Sedangkan Pearlin dan
Schooler (1978) menambahkan pernyataan mengenai dugaan keefektifan respons
koping saat mereka mendefinisikan koping sebagi respons (kognitif perilaku atau
persepsi) terhadap ketegangan hidup eksternal yang berfungsi untuk mencegah,
menghindari, atau mengendalikan distress emosional. Koping adalah sebuah istilah
yang terbatas pada perilaku atau kognisi actual yang ditampilkan seseorang, bukan
pada sumber yang mungkin mereka gunakan.
2.3.2. Jenis-jenis koping.

Adapun jenis-jenis koping yakni:

1. Koping psikologis.
Pada umumnya gajala yang ditimbulkan akibat stress psikologis tergantung 2 yakfor
yakni:
a. Bagaimana persepsi atau penerimaan individu terhadap stressor, artinya seberapa
berat ancaman yang dirasakan oleh individu tersebut terhadap stressor yang
diterimanya.
b. Keefektifan strategi koping yang digunakan oleh individu, artinya dalam
menghadapi stressor, jika strategi yang digunakan efektif maka menghasilkan
adaptasi yang baik dan menjadi suatu pola baru dalam kehidupan, tetapi jika
sebaliknya dapat mengakibatkan gangguan Kesehatan fisik maupun psikologis.
2. Koping Psiko-sosial
Merupakan reaksi psiko-sosial terhadap adanya stimulus stress yang diterima atau
dihadapi oleh klien, menurut Stuart dan Sundeen (1991), mengatakan bahwa terdapat
2 kategori koping yang biasa dilakukan untuk mengatasi stress dan kecemasan:
a. Reaksi yang berorientasi pada tugas (task-oreinted) car aini digunakan untuk
menyelesaikan masalah, menyelesaikan konflik dan memenuhi kebutuhan dasar
terdapat 3 macam reaksi yang berorientasi pada tugas yakni:
1). Pelilaku menyerang
Individu mengunakan energinya untuk melakukan perlawanan dalam rangka
mempertahankan integritas pribadinya. Perilaku yang ditampilkan dapat
merupakan Tindakan konstruktif maupun dekstruktif. Dektruktif merupakan
Tindakan agressif (menyerang) terhadap sasaran atau objek dapat merupakan
benda, barang atau orang atau bahkan terhadap dirinya sendiri. Sedangkan
sikap bermusuhan yang ditampilkan adalah berupa rasa benci, dendam dan
marah yang memanjang. Sedangkan Tindakan konstuktif merupakan upaya
individu dalam menyelesaikan masalah secara asertif. Yaitu mengungkapkan
dengan kata-kata terhadap rasa ketidaksenangannya.

2). Perilaku menarik diri.


Menarik diri merupakan perilaku yang menunjukkan pengasingan diri dari
lingkungan dan orang lain, jadi secara physic dan psikologis individu secara
sadar pergi meninggalkan lingkungan yang menjadi sumber stressor misalnya,
individu melarikan diri dari sumber stress, menjauhi sumber beracun, polusi,
dan sumber infeksi. Sedangkan reaksi reaksi psikologid individu menampilkan
diri seperti apatis, pendiam dan munculnya perasaan tidak berminat yang
menetap pada individu.

3). Kompromi

Kompromi merupakan Tindakan konstruktif yang dilakukan oleh individu


untuk menyelesaikan masalah, lazimnya kompromi yang dilakukan dengan
cara bermusyawarah atau negoisasi untuk menyelesaikan masalah yang sedang
dihadapi, secara umum kompromi dapat mengurangi ketegangan dan masalah
dapat diselesaikan.

b. Reaksi yang berorientasi pada Ego


Reaksi ini sering digunakan oleh individu dalam menghadapi stress, atau
kecemasan, jika invidu melakukannya dala waktu sesaat maka akan dapat
mengurangi kecemasan, tetapi jika digunakan dalam waktu yang lama akan dapat
mengakibatkan gangguan orientasi realita, memburuknya hubungan interpersonal
dan menurunnya produktifitas kerja. Kopimg ini bekerja tidak sadar sehingga
penyelesainnya serung sulit dan tidak realistis.
2.3.3. Metode Koping
Terdapat metode koping yang digunakan oleh individu dalam mengatasi
masalah psikologis seperti yang dikemukakan oleh Bell (1977), metode tersebut
yakni:
1. Metode koping jangka Panjang
Cari ini ialah konstruktif dan merupakan cara yang efektif dan realistis
dalam menangani ,asalah psikologis untuk kurun waktu yang lama
contonya adalah:
a. Berbicara dengan orang lain contonya dengan teman, keluarga, atau
teman kerja tentang maslah yang dihadapi.
b. Mencoba mencari informasi lebih banyak tentang maslah yang sedang
dihadapi.
c. Menghungan situasi atau masalah yang sedang dihadapi dengan
kekuatan supra natural
d. Melakukan Latihan fisik untuk mengurangi ketegangan atau maslah.
e. Membuat berbagai alternatif Tindakan untuk mengurangi situasi.
f. Mengambil pelajaran dari peristirwa atau pengalaman masa lalu.
2. Metode koping jangka pendek.
Cara ini digunakan untuk mengurangi stress atau ketegangan psikologis
dan cukup efektif untuk waktu sementara, tetapi tidak efektif jika
digunakan dalam jangka Panjang contohnya adalah:
- Mengunakan alcohol atau obat-obatan
- Melamun dan fantasi
- Mencoba melihat aspek humor dati situasi yang tidak menyenangkan
- Tidak ragu, dan merasa yakin bahwa semua akan Kembali stabil
- Banyak tidur
- Banyak merokok
- Menangis
- Beralih pada aktifitas lain agar dapat melupakan masalah.
2.3.4. Koping keluarga
Koping keluarga menunjukkan tingkat analisis kelompok keluarga ( sebuah
tingkat analisis interaksional). Koping keluagra didefinisikan sebagai proses aktif
saat keluarga memanfaatkan sumber keluarga yang ada dan mengembangan
perilaku serta sumber baru yang akan memperkuat unit keluarga dan mengurangi
dampak peristiwa hidup penuh stress (McCubbin, 1979). Dengan bergesernya dari
tingkat individu ketingkat koping keluarga, kopinh menjadi lebih semakin kompleks.
Karena kesulitan dalam mengkaji upaya koping, Sebagian besar studi mengenai
keluarga menjelaskan kombinasi individu dan respons koping keluarga yang dibuat
oleh anggota keluarga dan keluarga.
Respons atau perilaku koping kelauraga adalah Tindakan atau kognisi khusus
yang dilakukan keluarga saat beradaptasi terhadap stress (McCubbin, McCubbin,
Nevi, & Cauble,1981), sedangkan pola dan strategi koping adalah respons serupa
yang berkelompok menjadi kumpulan yang homogen. Strategi koping keluarga dan
individu terbentuk serta berubah sepanjang waktu, sebagai respons terhadap tuntutan
atau stressor yang dialami (Menaghan, 1983).
2.3.5. Strategi Koping Keluarga
Strategi koping perilaku, kognitif, dan emosional keluarga serta individu
diartikan sebagai maslah atau situasi dan masalah atau situasi khusus. Perbedaan
situasi dan masalah membutuhkan pemecahan yang berbeda, yaitu respons koping
yang berbeda perlu diterapkan. Studi Burr dan rekan (1994) memastikan bahwa
strategi koping yang digunakan bergantung pada jenis stressor. Contohnya, strategi
kognitif (menerima situasi) sangat membatu bagi 90% ibu rumah tangga yang
bekerja, tetapi dirasakan kebih tidak menguntungkan oleh 39% pasangan yang
temngah mengatasi masalah ketidak suburban. Pada penelitian ini menyimpulkan
bahwa jika ibu rumah tangga yang bekerja menerima situasi mereka, mereka
selanjutnya dapat mencari Pendidikan yang lebih tinggi dan pekerjaan, serta
membentuk hubungan yang baru. Berlawanan dengan hal tersebut, menerima situasi
bagi pasangan yang tidan subur, artinyamereka menyerah mendapatkan anak
biologis dan hal ini tidak membantu mereka (Burr et al).
Oleh karena itu, peneliti stress dalam keluarga telah menunjukkan bahwa
dengan menggunakan berbagai koping strategi untuk mengatasi stress lebih penting
dibandingkan menggunakan satu atau dua strategi koping tertentu sepanjang waktu.
Burr dan rekannya menemukan bahwa perilaku koping yang paling membahayakan
adalah menyimpan perasaan di dalam (menekan emosi), mengeluarkan perasaan
kepda orang lain (dalam hubungan), menjaga orang lain dari mengetahui situasi
buruk yang tengah terjadi (kurang komunikasi), dan menyangkal, menghindari, atau
lari dari masalah. Tanpa konteks dan situsional keluarga tertentu, fungsionalitas
nyata dari pola perilaku tidak dapat ditentukan dengan pasti. Akan tetapi, keluarga
memiliki gaya atau pilihan koping tertentu, yang juga memengaruhi jenis upaya
koping tertentu yang dibawa keluarga guna mengemban masalah.
Cara lain memandang koping keluarga adalah dengan melihat apakah strategi
koping berasal dari dalam keluarga atau bergantung pada dukungan dan sumber di
luar keluarga. Ada dua klasifikasi strategi koping keluarga yakni system keluarga
internal dan eksternal.
*. Strategi koping keluarga internal ada tiga jenis strategi koping intra
keluarga yang umum dibahas yakni:
1. Strategi hubungan.
Strategi ini mengandalkan kelompok keluarga. Keluarga tertentu saat
mengalami tekanan mengatasi dengan menjadi lebih bergantung pada sumber
mereka sendiri. Bersatu adalah satu dari proses yang paling penting dalam
badai kehidupan keluarga. Keluarga berhasil melalui masalah dengan
mencipkana struktur dan organisasi yang lebih besar di rumah dan keluarga.
Penetapan waktu dan rutinitas keluarga, seperti melibatkan waktu makan,
waktu tidur, tugas rumah tangga, kunjungan ke keluarga besar, dan
penghargaan rutinitas ini dapat menjadi sumber kekluatan dan daya prediksi
saat keluarga di bawah tekanan (McCubbin&McCubbin, 1991). Kerika
keluarga menetapkan struktur yang lebih besar, hal ini merupakan upaya untuk
memiliki pengendalian yang lebih besar terhadap kehidupan mereka. Upaya
ini biasanya melibatkan penjadwalan waktu anggota yang lebih ketat, lebih
banyak tugas per anggota keluarga, organisasi ikatan yang lebih dekat, dan
rutinitas yang lebih kau dan terprogram. Bersamaan dengan makin ketatnya
Batasan keluarga, menimbulakan kebutuhan penggaturan dan pengendalian
anggota keluarga yang lebih besar, disertai harapan bahwa anggota akan lebih
disiplin dan menyesuaikan diri. Jika berhasil, keluarga menerapkan
pengendalian yang lebih besar dan mencapai integrasi dan kohevisitas yang
lebih besar.
Tipe koping keluarga ini biasanya berasal dari pengaruh etnik
Protenstan tradisional, yang menilai dan melihat pengendalian dan
kemandirian sebagai hal yang khususnya dibutuhakan selama masa sulit.
Bersamaan dengan strukturisasi adalah kebutuhan bagi beberapa keluarga
menjadi kuat dan belajar menyembunyikan perasaan dan menguasai
ketegangan dalam diri mereka. Akan tetapi, keluarga yang kuat kadang
memiliki ikatan yang lemah.
Burgess (1978) menekankan bahwa strategi koping khusus, termasuk
disiplin diri di antara anggota keluarga, sangat dibutuhkan dalam awal situasi
penuh stress seperti saat orang tua menghadapi kecelakaan serius dirumah.
Mereka harus memelihara ketenangan dan kemampuan memecahkan
masalah , karena mereka bertanggung jawab kemudian terhadap kehidupan
mereka sendiri dan kehidupan anak mereka, serta bahkan, Pearlin dan
Schooler (1978) menemukan bahwa kemandirian adalah respons koping yang
efesien dalam area mengukuhkan persn pernikahan dan orang tua. Pengelolaan
waktu adalah satu dari respons koping khusus yang mengikuti dalam strategi
koping yang lebih luas.
Walsh (1998) mencatat bahwa ada beberapa keluarga mandiri yang
berhadapan dengan masalah Kesehatan kronik atau serius dapat tampak terkait
secara patologis. Akan tetapi, kohesi tinggi yang mereka perlihatkan dapat saja
fungsional dan bahkan diperlukan dalam konteks situasi kesehtan mereka.
Perlu juga dikatankan bahwa strategi ini dapat saja disfungsional jika
kebutuhan terhadap pengendalian tidak disesuaikan dengan kebutuhan
menerima sesuatu yang tidak dapat dikendalikan dan dalam situasi saat
bantuan dari luar dibutuhkan tetapi tidak dicari.
Kebersaam yang lebih besar atau memperkuat kohesi keluarga adalah
salah satu cara membuat keluarga makin erta dan memelihara serta mengelola
tingkat stress dan moral yang dibutukahkan keluarga adalah dengan berbagai
perasaan dan pemikiran, serta terlibat dalam pengalaman atau aktivitas
keluarga. Kebersamaan yang lebih besar menghasilkan kohesi keluarga yang
lebih tinggi, atribut keluarga yang akan mendapatkan perhatian luas sebagai
atribut keluarga inti (Olson, 1993).
Olson memandang kohesi keluarga sebagai ikatan emosional yag
saling dirasakan anggota keluarga. Keluarga yang ekstrem adalah keluarga
yang kohesinya sangat tinggi atau sangat rendah. Ketika kohesi keluarga
sangat tinggi, keluarga tersebut dikatan terkait dan dapat kemandirian atau
otonomi yang lebih sedikit. Dalam tipe keluarga ini, anggota mencari
kepuasan dan hubungan terutama dalam rumah serta anak-anak lebih lama
meninggalkan rumah (Walsh, 1998). Ketika keluarga pecah atau kohesinya
sangat rendah , anggota keluarga juga tidak dekat satu sama lain dan memiliki
sedikit komitmen terhadap unit kelurga. Keluarga yang memiliki tingkat
kohesi sedang cenderung lebih fungsional dan lebih bisa beradaptasi terhadap
stress (Olson). Tingkat kohesi yang fungsional bagi keluarga juga dipengaruhi
oleh latar belakang budaya, tingkat kohesi yang lebih tinggi dalam kelompok
subbudaya tertentu diperlukan dan bersifat funsional.
Aktivitas keluarga di waktu luang merupakan sumber koping yang
sangat penting guna memperbaiki kohesivitas, moral, dan kepuasan keluarga
(McCubbin&McCubbin, 1991, Olson, 1993) sperti yang banyak dikemukkan
orang, sebuah keluargayang peran Bersama, tetap akan Bersama. Mengandung
banyak sekali kenemaran. Strategi koping ini akhirnya bertujuan membangun
integrasi, kohevitas, dan resiliency yang lebih besar dalam keluarga.
Fleksibilitas peran. Perubahan yang cepat dan pervasive dalam
masyarakat kita serta dalam hidup keluarga, fleksibilitas keluarga, khususnya
pada pasangan, merupakan tipe strategi keluarga yang sangat kuat. Olsan
(1993) dan Walsh (1998) telah mekankan bahwa fleksibilitas peran adalah
salah satu dari dimensi utama adaptasi keluarga. Keluarga harus mampu
beradaptasi terhadap perubahan perkembangan dan lingkungan. Ketika
keluarga berhasil mengarasi, keluarga mampu memelihara suatu
keseimbangan dinamik antara perubahan dan stabilitas. Fleksibilitas peran
memungkinkan keseimbangan ini berlanjut.
2. Strategi kognitif.
Normalisasi merupakan strategi koping fungsional keluarga lainnya
dan kecenderungan bagi keluarga untuk menormalisasi sesuatu sebnayak
mungkin saat mereka mengatasi stressor jangka Panjang yang cenderung
menggaungu kehidupan keluarga dan aktivitas rumah tangga. Beberapa
penulis mengunakan istilah normalisasi untuk membuat konsep tentang
bagaimana keluarga mengelola disabilitas anggota.
Peneliti pertama yang mengunakan istilah normalisasi ialah (Faux,
1998, Knafl, Deatrick& Kirby, 2001) dan Davis (1963) peneliti ini
mengambarkan respons keluarga terhadap penyakit atau disabilitas. Mereka
mengemukakan bahwa keluarga yang memiliki anak yang terkena polio
menormalkan situasi mereka dengan menimalkan keridak normalan
penampilan anak, dengan berpartisipasi pada aktivitas biasa, dan memelihara
ikatan social yang berkelanjutan.
Normalisasi adalah proses penetalaksanaan keluarga yang sering kali
dilakukan pada keluarga yang emiliki masalah Kesehatan kronik. Normalisasi
merupakan proses terus menerus yang melibatkan pengakuan peyakit kronik
tetapi menegaskan kehidupan keluarga sebagai kehidupan yang normal,
menegaskan efek social memiliki anggota yang menderita penyakit kronik
sebagai suatu yang minimal, dan terlibat dalam perilaku yang menunjukkan
kepada orang lain bahwa keluarga tersebut normal. Keluarga menormalkan
dengan tetap melakukan ritual dan rutinitas. Hal ini dapat membantu keluarga
mengatasi stress dan meningkatkan rasa keutuhan sepanjang waktu, sangat
penting guna menormalkan situasi keluarga.
Pengendalian makna masalah dengan membingkai ulang dan penilaian
pasif. Menurut penelitian yang dilakukan Pearlin dan Schooler (1978)
mengemukakan bahwa salah satu cara utama yang efektif dalam koping adalah
pemakaian mekanisme mental, pengendalian makna maslah tersebut. Strategi
koping kognitif ini memperbaiki atau secara kognitif menetralkan stimulus
yang mengancam dalam hidup.
Pemecahann masalah bersama dapat dijelaskan sebagai sebuah situasi
saat keluarga secara Bersama-sama mampu mendiskusikan masalah dengan
segera, mencari pemecahan yang didasarkan pada logika, dan memncapai
kesepakatan mengenai apa yang akan dilakukan berdasarkan sekumpulan
isyarat, persepsi, saran dari berbagai anggota keluarga.
Pemecahan masalah keluarga yang efektif meliputi tujuh Langkah
spesifik yakni:
a. Mengidentifikasikan masalah.
b. Mengkomunikasikan masalah
c. Menghasilkan solusi yang memungkinkan
d. Memutuskan solusi yang tepat
e. Melakukan Tindakan
f. Memantau atau memastikan bahwa Tindakan dilakukan
g. Mengevalusai seluruh proses pemecahan masalah

Mendapatkan informasi dan pengetahuan. Keluarga yang berbasis


kognitif berespons terhadap stress dengan mencari pengetahuan dan informasi
berkaitan dengan stressor. Hal ini terbukti dalam kasus masalah Kesehatan
berat atau yang mengancam hidup. Dengan mendapatkan informasi yang
bermanfaat, dapat meningkatkan perasaan memiliki beberapa pengendalian
terhadap situasi dan mengurangi rasa takut keluarga terhadap sesuatu yang
tidak diketahui juga membantu keluarga menilai stressor lebih akurat dan
mengambil Tindakan yang diperlukan.

3. Strategi komunikasi
Terbuka dan jujur. Kominikasi yang baik sangat penting bagi fungsi
keluarga. Hal ini menjadi penting selama periode stress dan krisis keluarga.
Anggota keluarga yang meninjukkan keterbukaan, kejujuran, pesan yang jelas,
dan perasaan serta efektif yang lebih besar dibutuhkan pasa keadaan ini.
Komunikasi dalam keluarga yang fungsional adalah langsung terbuka, jujur,
dan jelas. Keterbukaan adalah komunikatif dalam berbagai ide dan perasaan.
Mengunakan humor dan tawa. Resilency menekankan bahwa humor
tidak terhingga nilainya dalam mengatasi masalah dan penderitaan. Humor
akan meningkatkan system imun seseorang dalam menbantu penyembuhan.
Demikian juga bagi keluarga, rasa humor merupakn asset penting dan dapat
memperbaiki sikap keluarga terhadap masalah dan perawatan Kesehatan serta
mengurangi kecemasan dan ketegangan keluarga.
Wooten menegaskan bahwa humor dan tawa dapat dipandang sebgai
alat perawatan diri untuk mengatasi stress karena kemampuan untuk tertawa
dapat memberikan seseorang perasaan untuk memiliki kemampuan
menghadapi masalah. Humor dan tawa dapat menyokong sikap positif dan
harapan bukan perasaan tidak berdaya atau depresi dalam situasi yang penuh
stress.

*. Strategi koping keluarga eksternal

Walaupun strategi koping internal penting, banyak penulis yang


menulis di bidang tersebut saat ini juga menekankan untuk mendapatkan
informasi ekternal.

1. Strategi komunitas
Hal ini merupakan upaya koping keluarga yang terus menerus, jangka
Panjang dan umum, dan upaya seseorang untuk menyesuaikan dan
mengurangi stress khususnya pada kasus stress anggota keluarga adalah
peserta aktif dalam organisasi atau perkumpulan komunitas.
Keluarga berperan terhadap dan mendapatkan manfaat dari jaringan
dukungan dan layanan komunitas yang aktif. Alas an pentingnya hubungan ini
sebagai upaya koping berdasarkan pada teori system , yang menyatakan
bahwa setiap system social harus memiliki Gerakan informasi dan aktivitas
melawati batasannya jika ingin melakukan fungsinya.
Keluarga tidak dapat memenuhi semua kebutuhan anggota dan
kelompoknya sendiri tanpa sumber lain, memulai dan meningkatkan hubungan
yang menghasilkan pertumbuhan dilingkungan sekitar, kota, dan masyarakat
yang lebih luas.

2. Memanfaatkan system dukungan social.


Memanfaatkan system dukungan social dalam jaringan social keluarga
adalah trategi koping keluarga eksternal yang sangat utama dan penting, ikatan
pribadi adalah bagian kehidupan yang terjadi bersamaan, yang berfungsi
sebagai funsi social, psikologi, dan perilaku yang penting melintasi masa
hidup. Hubungan dengan dunia social khususnya penting bagi keluarga yang
memiliki masalah Kesehatan.
Dukungan social berfokus pada sifat interkasi yag berlangsung dalam
hubungan social yang sat ini dievaluasi oleh individu. Sedangkan jaringan
social merupakan struktur seperti jarring yang terdiri atas hubungan individu,
keluarga sangat dipengaruhi oleh jaringan ikatan ini dan keluarga adalah agens
aktif dalam memodifikasi dan mengadaptasi komunitas hubungan personal ini
guna memenuhi situasi yang selalu berubah.
Dukungan social keluarga merujuk pada dukungan social yang
dirasakan oleh anggota keluarga ada dan dapat diakses. Dukungan social
keluarga dapat datang dari dalam dukungan keluarga social keluarga, seperti
dukungan pasangan atau dukungan saudara, atau dari luar dukungan social
keluarga.
3. Dukungan spiritual.
Walaupun Sebagian besar orang berfikir mencari dan bergantung pada
dukungan social sebagi respons koping individu. Kepercayaan spiritual dan
religi seseorang dan keluarga merupakan inti dari semua koping dan adaptasi
keluarga. Keyakinan ini adalh kekuatan besar dalam meningkatkan resilency
keluarga.
Penelitian mengenai koping keluarga dan individu serta resilience
secara konsisten menunjukkan bahwa dukungan spiritual adalah penting
mengatasi stressor yang mengancam hidup. Penggunaan koping berbasis
spiritual juga dapat bervariasi bergantung pada siklus kehidupan keluarga.
Misalnya keluarga dalam study olson et al melaporkan bahwa mereka
menggunakan dukungan spiritual lebih sedikit selama tahap awal kehidupan
keluarga, tetapi menggunakan dukungan spiritual lebih banyak.

2.4. Adaptasi
Adaptasi merupakan penyesuaian diri dengan kebutuhan atau tuntutan baru yakni
suatu usaha untuk mencari keseimbangan Kembali kedalam keadaan normal.
Penyesuaian terhadap kondisi lingkungan, memodifikasi dari organisme atau
penyesuaian organ secara sempurna untuk dapat eksis pada kondisi lingkungan
tersebut.
Model konsep adaptasi pertama kali dikembang oleh Calista Roy (1960) konsep
ini dikembangkan dari konsep indivu dan proses adaptasi seperti diuraikan dengan
asumsi dasar model adaptasi Roy yakni:
1. Manusia adalah keseluruhan dari bio-psikologi dan social yang terus menerus
berinteraksi dengan lingkungan.
2. Manusia menggunakan mekanisme pertahanan untuk mengatasi perubahan-
perubahan bio-psikososial.
3. Terdapat 3 macam rangsangan yang menyebabkan terjadinya perubahan:
a. Focal yaitu rangsangan yang berhubungan langsung dengan perubahan
lingkungan misalnya polusi udara dapat menyebabkan infeksi paru,
kehilangan suhu pada bayi baru lahir.
b. Kontekstual yaitu berasal dari sumber lain, baik internal maupun ekternal
yang mempunyai pengaruh negative terhadap rangsang focal, misalnya
kemiskinan menimbulkan ibu-ibu hamil atau bali menjadi anemiadan
isoslasi social, yang merupakan rangkaian dari mata rantai.
c. Residual stimuli, yaitu kepercayaan, sikap dan pembawaan dari individu
yang dibawa dari perkembangan sikap masa lalu yang tidak mau berterus
terang, misalnya untuk sesaat seseorang dapat menerima rasa sakit
punggung tanpa complain, tetapi kemudian ia membutuhkan bantuan
karena tidak tahan merasakan sakit.
d. Setiap orang memahami bagaimana individu mempunyai batas
kemampuan untuk beradaptasi. Padahal hakekatnya manusia memberikan
respons terhadap semua rangsangan baik positif maupun negative.
e. Kemampuan adaptasi manusia berbeda-beda antara satu dengan lainnya,
jika seseorang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan makai a
mempunyai kemampuan untuk menghadapi rangsangan baik positif
maupun negative.

Setiap orang mempunyai kemampuan yang digunakan untuk menjaga integritas


baik fisik maupun psikologis, Roy membagi kedalam 4 bagian yakni:

1. Fisik (Physiological), adaptasi yang digunakan untuk tetap bersatunya fungsi


sisten tubuh, yaitu reaksi fisik terhadap adanya stressor yang masuk kedalam
tubuh, berupa adanya penolakan tubuh terhadap stressor, baik secara alami (rekasi
imunitas), maupun yang dipelajari yaitu Tindakan menghindar atau berlindung
menangkis untuk menolak atau mengurangi stressor.
2. Konsep diri (self consept), yaitu menyangkut persepsi diri, yang melibatkan
aktivitas mental dan pengungkapan perasaan diri. Konsep diri adal lima yakni: a).
identitas diri yaitu yang berhungan dengan ciri-ciri diri yang dipersepsikan. b).
ideal diri yaitu hal yang terkait dengan persepsi diri terhadap cita-cita, keinginan,
harapan hidupyang dipersepsikan, c). peran diri yaitu persepsi terhadap peran
dirinya di lingkungan social masyarakat contonya peran sebagai kepala keluarga,
jabatan social dimasyarakat, d). gambaran diri yaitu hal yang terkait dengan
persepsi dirinya terhadap keseluruhan bentuk fisik yang dipersepsikan, e). harga
diri yaitu persepsi terhadap keberadaan nilai dirinya didalam lingkungan social.
3. Fungsi peran (role function), yaitu keseluruhan dari fungsi psikososial yang
diperankan diberbagai peran dimasyarakat, keberadaanya sebagai kepala keuarga,
tokoh masyarakat, tokoh agama, pejabat negara. Dari peran yang dimiliki
bagaimana individu dapat menjaga integritas diri melalui proses adaptasi.
4. Kemandirian yaitu keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian di
dalam mencapai sesuatu.(Rasmun, 2004)
2.4.1. Adaptasi Keluarga
Adaptasi keluarga secara fungsional menurut McCubbi sebagai suatu proses
saat keluarga terlibat dalam respons langsung terhadap tuntutan stresor yang ekstensif,
dan menyadari bahwa perubahan sistematik dibutuhkan dalam unit keluarga, untuk
memperbaiki stabilitas fungsional dan memperbaiki kepuasan dan kesejahteraan
keluarga. Adaptasi melibatkan proses restrukturisasi pola dan fungsi keluarga.
Dalam analisis konsep oleh Clawson yang berfokus pada adaptasi keluarga
terhadap penyakit kronik anak, adaptasi keluarga didefinisikan sebagai proses system
keluarga yang berkelanjutan yang digunakan untuk mencapai tugas-tugas adaptif dalam
situasi penyakit kronik. Dari kedua teori ni menekankan bahwa adaptasikeluarga adalah
suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu saat anggota keluarga beradaptasi
terhadap situasi kehidupan penuh stress seperti merawat anggota keluaarga yang
mengidap penyakit kronik. Saat keluarga berhasil dalam berespons terhadap stressor,
keluarga dapat bergerak melewati situasi dengan relative mudah dan hasil akhir yang
positif muncul.
Fase adaptasi menurut teori Resilency, mengatakan bahwa situasi krisis tidak
perlu dipandang sebagai patologis atau merusak keluarga, tetapi menunjukkan bahwa
keluarga perlu membuat perubahan structural atau sistematik yang mendasar dalam
fungsinya sebgai upaya beradaptasi terhadap situasi tersebut. Dengan kata lain, cara
berfungsi yang lama tidak lagi adekuat, jadi diharapkan dapat memcari solusi yang
baru. Baik stressor perkembangan maupun situasional dapat menciptakan krisis dan
membutuhkan adaptasi oleh keluarga.
Situasi krisis dalam keluarga menuntut keluarga untuk membuat beberapa
perubahan yang sistematik untuk beradaptasi terhadap keadaan hidup yang penuh
masalah dan memperbaiki stabilitas anggota dan fungsi unit keluarga. Oleh karena itu,
krisis keluarga dipandang sebagai prakondisi yang diperlukan dalam upaya keluarga
beradaptasi terhadap stressor atau tuntutan yang dialami anggota keluarga.
Dalam fase adaptasi model Resiliency, respons terhadap situasi krisis
ditentukan oleh akumulasi kebutuhan, stressor, transisi dan ketegangan, serta kekuatan
dan kemampuan unit keluarga. Hal ini mencakup pola fungsi yang baru saja ditetapkan,
penilaian keluarga tentang bagaiman memenuhi kebutuhan dan pandangan luas
keluarga mengenai sumber dalam anggota keluarga secara perorangan, unit keluarga,
komunitas serta respons pemecahan masalah koping yang ada dalam keluarga dan yang
baru terbentuk.
LAPORAN PENDAHULUAN

A. PELECEHAN SEKSUAL
Pelecehan seksual merupakan bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang
dilakukan secara sepihak dan tidak diingikan oleh yang menjadi korban sehingga
menimbulkan reaksi negative. Pelecehan seksual bisas terjadi Ketika pelaku
mempunyai kekuasaan yang lebih dari pada korban. Kekuasaan dapat berupa posisi
pekerjaan yang lebih tinggi, kekuasaan ekonomi dan kekuasaan jenis kelamin, dan
jumlah personal yang lebih banyak.
Pelecehan seksual rentangnya sangat luas, contohnya main mata, siulan nakal,
komentar yang berkonotasi seks, humor porno, Gerakan tertentu atau isyarat yang
bersifat seksual, ajakan berkencan dengan iming-imingan dan sampai melakukan
hubungan seksual samapi perkosaan.
Sedangkan pelecehan seksual terhadap anak merupakan bentuk penyiksaan
anak dimana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk
rangsangan seksual. Bentuk pelecehan seksual anak dapat berupa menekan atau
meminta anaka untuk melakukan aktivitas seksual, memberikan paparan yang tidak
senonoh dari alat kelamin kepada anak, memperlihatkan pornografi kepada anak,
melakukan hubungan seksual terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin
anak ( terkecuali dalam konteks non-seksual tertentu seperi pemeriksaan medis),
melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik atau bahkan menggunakan anak untuk
memproduksi berbagai macam pornografi.
B. Bentuk-bentuk kekerasan atau pelecehan seksual pada anak.
1. Pelecehan seksual berupa sentuhan.
a. Pelaku meraba, memegang atau mengelus organ vital anak seperti slst
kelamin, payudara dan bokong.
b. Pelaku memasukkan benda atau bagian tubuhnya ke mulut, anus atau
kemaluan anak.
c. Pelaku memaksa anak untuk memegang bagian tubunya sendiri, bagian tubuh
si pelaku atau bagian tubuh korban dalam hal ini anak.
2. Pelecehan seksual yang tidak beruapa sentuhan.
a. Pelaku mengambil gambar dan merekan anak atau remaja dalam aktivitas tang
tidak senonoh, dalam adegan seksual yang jelas maupun adegan yang secara
samar memancing pemikiran seksual.
b. Pelaku memprtontonkan bagian tubuhnya atau alat kelaminnya pada anak atau
remaja secara tidak senono.
c. Pelaku memperdengarkan atau memperlihatakan visualisasi (foto, video,
gambar dan sejenisnya) yang mengandung muatan pornografi. Contohnya
mengajak anak menonton film porno.
d. Melakukan percakapan yang bermuatan seksual terhadap anak maupun
remaja, baik secara eksplisit maupun implisit.
e. Pelaku mengintip atau menonton saat anak atau remaja mandi atau menganti
pakaian.
C. Tanda terjadi kekerasan/pelecehan seksual.
Dari riset yang dilakukan Patricia A Moran, mengatakan bahwa korban
pelecehan seksual adalah anak laki-laki maupun perempuan berusia bayi sampai usia
18 tahun. Banyak dari pelaku merupakan orang terdekat atau orang yang dipercaya.
Banyak dari anak yang mengjadi korban pelecehan seksual menyimpan atau
merahasiakan kalua sianak telah menjadi korban kekerasan seksual dengan cara
bersiakap patuh, manis atau mereka berusaha agar tidak menjadi pusat perhatian.
Walaupun pelecehan seksual terhadap anak tidak memperlihatkan bukti yang
mutlak, tetapi bila ada tanda-tanda seperti ini terlihat terus menerus dalam jangka
waktu yang lama, maka perlu segera mempertimbangkan kemungkinan anak telah
menjadi atau mengalami pelecehan seksual. Tanda fisiknya seperti memer pada alat
kelamin atau mulut, penyakit kelamin, dan atau sakit tenggorokan tanpa penyebab
yang jelas bisa merupakan indikasi seks oral. Ataupun berupa tanda perilaku
emosional dan social seperti kelakuan yang tiba-tiba berubah.
FORMAT PENGKAJIAN

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA

Tn. S berusia 45 tahun dan Ny. R berusia 40tahun merupakan suami istri yang telah
mempunyai 1 orang anak yang Bernama An. C umur 15 tahun. An. C bersekolah di SLTP
Negeri 1 Mawar dan duduk di kelas 3. An. C merupakan anak yang ramah, periang dan
mudah bergaul. Keluarga tuan S tinggal di perumahan yang jarak antara rumah yang satu
dengan rumah yang lainnya agak berjauhan dan merupakan perumahan yang sepi. An. C jika
pulang dari sekolah melewati jalan yang sepi.

Akhir-akhir ini anak C terlihat murung dan suka menanggis, Ny. R sudah beberapa
kali menanyakan tentang kondisi dan penyebab An. C menjadi murung tetapi An. C tidak
mau menceritakan masalah dan kondisinya. Beberapa hari kemudian anak C mengeluh sakit
pada kemaluannya, setelah itu Ny. R langsung membawa An. C ke Puskesmas terdekat dan
dari pemeriksaan dokter didapatkan bahwa An. C mengalami kekerasan seksual ditandai
dengan robeknya selaput darah. Dan akhirnya An. C menceritakan kondisi yang dialaminya.
An. Mengatakan malu dan takut untuk bertemu dengan teman sebayanya, dan An. C juga
mengatakan takut mengalami kejadian serupa.

I. PENGKAJIAN
A. Data umum
1. Nama KK : Tn. S
2. Usia : 45
3. Pendidikan : S1
4. Pekerjaan : Karyawan Swasta
5. Alamat : jln. Sepakat
6. Komposisi angota keluarga :
Jenis Hubungan dengan Umur Pendidikan Pekerjaan
No Nama
Kelamin KK
1. Tn. S L Kepala Kelarga 45 thn S1 Kar. swasta
2. Ny. R P Ibu keluarga 40 thn S1 Kar. Swasta
3. An. C P Anak kandung 15 thn SLTP Pelajar

Genogram

7.Tipe keluarga : Nuklear family ( bapak ibu dan 1 anak )

8.Suku bangsa : Bugis/ Indonesia

9.Agama : Islam

10. Status Sosial ekonomi keluarga :

Pendapatan Utama yang digunakan adalah pendapatan kepala keluarga. Pendapatan


kepala keluarga juga di gunakan untuk membayar cicilan perumahan dan kendaraan
roda 4, dan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sedangkan pendapatan ibu
keluarga untuk di tabung.

11. Aktivitas keluarga :


a. Ayah : Bekerja Karyawan Swasta
b. Ibu : Bekerja Karyawan Swasta
c. Anak : Sekolah
B. Riwayat & tahap perkembangan keluarga
1. Tahap perkembangan keluarga saat ini :

Tahap perkembangan remaja pada anak An. C yang berumur 15 tahun.

2. Tahap perkembangan keluarga yang belum terpenuhi :

Tidak ada tahap keluarga yang sampai saat ini belum terpenuhi. Namun tugas
keluarga yang belum tercapai saat ini adalah belum memiliki penataan kembali peran
dan kegaiatan rumah tangga. Jadi masih memiliki peran dan kegiatan dengan urusan
masing-masing.

3. Riwayat keluarga inti :

Menurut Ny. R bahwa Tn. S perna terdiagnosis asam urat, dan anak C mengalami
korban pelecehan seksual.

4. Riwayat keluarga sebelumnya :

Keluarga Tn. S sebelumnya tidak ada yang mengalami atau menjadi korban pelecehan
seksual.

C. Lingkungan
1. Karateristik rumah (termasuk denah rumah) :
Status rumah yang ditempati adalah rumah milik sendiri

Toilet

Taman Dapur Toilet

Ruang Tamu & Ruang Keluarga


Tempat Sholat
2. Karateristik tetangga dan komunitas :

Ny. R mengatakan hubungan dengan tetangga berjalan dengan baik, walaupun mereka
jarang bertemu karna kesibukan masing-masing.

3. Mobilitas geografis keluarga :

Keluarga ini tinggal diperumahan, Tn.S mengatakan kendaraan yang digunakan untuk
bekerja adalah mobill, jarak tempat kerja dengan rumah 15 km, jarak layanan
kesehatan 2 km, jarak layanan keamanan 15 km, keluarga tidak pernah berpindah
tempat tinggal.

4. Perkumpulan keluarga & interaksi dengan masyarakat :

Keluarga Tn. “S” sesekali mengikuti kegiatan sosial dan berinteriaksi dengan
masyarakat disekitarnya.

5. Sistem pendukung keluarga :

Ny.P mengatakan pertolongan pertama saat sakit yang dilakukan keluarga adalah
fasilitas Kesehatan terdekat seperti Puskesmas

D. Struktur keluarga
1. Pola komunikasi keluarga :

Pola komunikasi keluarga dilakukan secara terbuka. Bahasa yang dipakai sehari-hari
adalah bahasa Indonesia. Frekuensi komunikasi antar anggota keluarga cukup baik.

2. Struktur kekuatan keluarga :

Pengendali keluarga adalah Bapak “S” sebagai kepala keluarga. Tetapi tetap jika harus
memilih dan mengambil keputusan harus dengan kesepakatan dan kebaikan bersama.

3. Struktur peran :

Peran kepala keluarga mencari nafkah, tugas istri membantu kepala keluarga mencari
nafkah dan mengurus anak, pendidikan anak dilakukan bersama.

4. Nilai dan norma budaya :


Nilai dan norma yang berlaku dikeluarga menyesuaikan dengan nilai agama yang
dianut dan norma yang berlaku di lingkungannya. Norma keluarga yang berkaitan
dengan kesehatan adalah bila ada keluarga yang sakit jika masih bisa dirawat dan
diberikan obat dirumah tidak di bawa ke rumah sakit, tetapi jika sakit yang diderita
harus dengan penanganan lebih lanjut maka akan dibawa ke rumah sakit. Dalam
setiap hari keluarga menjalani hidup dengan tuntunan agama islam.

E. Fungsi keluarga
1. Fungsi Afektif :
Tn.S mengatakan anggota keluarga mereka memiliki kesibukan masing-masing
2. Fungsi sosialisasi:

Interaksi antar anggota dalam keluarga kurang intens karena kesibukan masing-
masing anggota keluarga. Walaupun demikian Ny. P mengatakan bahwa semua
anggota keluarga beruhasa untuk selalu berinteraksi.

3. Fungsi perawatan kesehatan :


 Mengenal masalah kesehatan

Keluarga mengenal masalah kesehatan yang dialami An. C yaitu mengalami


korban seksual.

 Mengambil keputusan mengenai tindakan kesehatan

Untuk masalah kesehatan An. C Ny. R mengatakan menyerahkan semua proses


pemulihan anak kepada tenaga medis. Kemampuan merawat anggota keluarga
yang sakit

Keluarga merawat An. C dengan selalu mendampingi anak.

 Kemampuan keluarga memelihara/memodifikasi lingkungn yang sehat

Keluarga berusaha mengalihkan atau menghibur anak dengan cara mengajak


bicara, menonton atau memberikan buku bacaan kepada anak C.

 Kemampuan menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan

Dalam mengatasi masalah masalah An. C keluarga memanfaatkan fasilitas


Kesehatan yang ada yakni Puskesmas terdekat.
F. Stress dan koping keluarga
1. Stressor jangka pendek :

An. C mengatakan masalah yang membebaninya sekarang adalah bagaimana caranya


Kembali bersekolah, anak C mengatakan malu dan takut apabila hamil.

Kemampuan keluarga berespon terhadap masalah :

Keluarga mengatasi masalah tersebut adalah Tn. S dan Ny. P selalu memberikan
motivasi dan dukungan terhadap An. C

2. Strategi koping yang digunakan :

Jika ada masalah pada keluarga maka Tn. S dan Ny. P akan mendiskusikannya.

Strategi adaptasi disfungsional :

Jika anak C menangis atau melamun maka Ny. P akan mengajaknya menonton atau
mengajak ngobrol, agar anak C tidak terlalu memikirkan masalahnya.

G. Harapan Keluarga.
Tn. S mengatakan harapan keluarga adalah agar anak C segara pulih dari rasa
traumanya dan dapat beraktivitas seperti sebelumnya.
H. Pemeriksaan Fisik Individu

No Pemeriksaan Tn. M Ny. P An. C

1 Tanda vital Kedaan umum: Kedaan Kedaan umum:


Tampak sehat umum: Tampak lemas
Tampak
Kesadaran: Kesadaran:
sehat
Kompos mentis Kompos mentis
TD: 120/70mmHg Kesadaran: TD:
Kompos 110/80mmHg
RR: 20x/mnt
mentis TD:
RR: 20x/mnt
Nadi: 82x/mnt 110/70mmHg
Nadi: 80x/mnt
Suhu: 37,0˚C RR: 22x/mnt
Nadi: Suhu: 372,0˚C
80x/mnt

Suhu: 37,0˚C

Rambut/kepala Rambut hitam, Rambut Rambut hitam,


bersih, betuk pirang, ikal, lurus, bersih,
kepala normal bersih, kepala tidak ada
normal kelainan/normal

Mata Konjintiva normal, Konjintiva Konjintiva


mata simetris, normal, mata normal, mata
sklera putih, tidak simetris, simetris, sklera
ada keluhan sklera putih, putih, tidak ada
tidak ada keluhan.
keluhan

Telinga Pendengaran Pendengaran Pendengaran


normal normal normal

Mulut Mulut bersih, bibir Mulut bersih, Mulut bersih,


tidak kering. bibir tidak bibir tidak
kering. kering.

Hidung lubang hidung lubang lubang hidung


normal simetris, hidung normal simetris,
pernafasan normal pernafasan
versikuler. simetris, versikuler.
pernafasan
versikuler.

Leher tidak ada tidak ada tidak ada


pembesaran pembesaran pembesaran
kelenjar tyroid. kelenjar kelenjar tyroid.
tyroid.
Dada Bentuk dada Bentuk dada Bentuk dada
simetris, ictus simetris, ictus simetris, ictus
kordis tidak kordis tidak kordis tidak
Nampak, ictus Nampak, Nampak, ictus
cordis teraba di ictus cordis cordis teraba di
ICS 5, suara teraba di ICS ICS 5, suara
jantung pekak, S1 5, suara jantung pekak,
dan S2 tunggal, jantung S1 dan S2
irama regular, pekak, S1 tunggal, irama
pergerakan dada dan S2 regular,
simetris, vocal tunggal, pergerakan
fremitus teraba irama dada simetris,
sama, suara paru regular, vocal fremitus
sonor, vesikuler pergerakan teraba sama,
tidak ada suara dada simetris, suara paru
nafas tambahan. vocal sonor, vesikuler
fremitus tidak ada suara
teraba sama, nafas tambahan.
suara paru
sonor,
vesikuler
tidak ada
suara nafas
tambahan.

Perut Terdapat bekas Tidak ada Bentuk


luka op. App nyeri tekan. sbdomen flat,
bising usus
10x/mnt.

Genetalia Tidak terkaji Tidak terkaji Masih tampak


luka bekas
jahitan.
Tangan Dapat berfungsi Dapat Dapat berfungsi
dengan baik dan berfungsi dengan baik
tidak ada kelainan. dengan baik dan tidak ada
dan tidak ada kelainan.
kelainan.

Kaki Dapat berfungsi Dapat Dapat berfungsi


dengan baik dan berfungsi dengan baik
tidak ada kelainan. dengan baik dan tidak ada
dan tidak ada kelainan.
kelainan.

Analisa Data
No Data Penyebab Masalah

Ds : Riwayat korban perilaku Sindrom pasca


kekerasan Trauma (D.0104)
-. Tn. S dan Ny. P Mengatakan an.
C tidak mau bercerita apa yang dia
alami

-. An. C mengakatan tidak mau


keluar rumah karena takut kejadian
itu terjadi lagi

1. Do :

_ An. C sering mimpi buruk


tentang kejadian itu

_ An. C tampak ketakutan saat


dikaji

 An. C tampak berdiam diri


di kamar

Ds : Resiko kehamilan
tidak dikehendaki
An. C mengatakan takut hamil
akibat dari korban pelecehan (D.0073)
seksual

2. Ny. P mengatakan An. C akhir-


akhir ini jarang makan, jarang
berbicara dan hanya berdiam
diri di kamar

I. Prioritas Masalah

scoring pembenar
No Kriteria Nilai Bobot
an

Diagnosa : Sindrom pasca Trauma

1
Sifat masalah

Skala :
2/3x1 =
3
Tidak/kurang sehat 0.6
2
Ancaman kesehatan
1
Keadaan sejahtera 1

2 Kemungkinan masalah dapat diubah

skala :

Dengan mudah 2 2 2/2x2 = 2

Hanya sebagian 1

Tidak dapat 0
3 Potensi masalah untuk dicegah

Skala :

Tinggi 3 1 3/3x1=1

Cukup 2

Rendah 1

4 Menonjol masalah

Skala :
2
Masalah berat harus ditangani
1 1 0
Ada masalah tapi tidak perlu segera
0
ditangani

Masalah tidak dirasakan

Jumlah 3,6

scoring pembena
No Kriteria Nilai Bobot
ran

Diagnosa : Resiko kehamilan yang tidak dikehendaki

1 Sifat masalah

Skala :

Tidak/kurang sehat 3 1 0,3

Ancaman kesehatan 2

Keadaan sejahtera 1

2 Kemungkinan masalah dapat diubah 2 2

skala :

Dengan mudah 2

Hanya sebagian 1
Tidak dapat 0

3 Potensi masalah untuk dicegah

Skala :

Tinggi 3 1 1

Cukup 2

Rendah 1

4 Menonjol masalah

Skala :

Masalah berat harus ditangani


2 1 0
Ada masalah tapi tidak perlu segera
1
ditangani
0
Masalah tidak dirasakan

Jumlah 3,3

Intervensi Keperawatan

No
DIAGNOSA TUJUAN DAN
INTERVENSI
KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
1. Sindrom Pasca Trauma b.d Setelah dilakukan Reduksi Ansietas (I.09134)
Riwayat korban perilaku tindakan keperawatan Observasi
kekerasan d.d ketakutan 1x15 menit - Identifikasi saat tingkat
berulang (D.0104). diharapkan  ketahan ansietas berubah (mis.
Kategori : Psikologis an personal Kondisi, waktu, stressor)
Subkategori : Integritas meningkat - Identifikasi kemampuan
Ego Dengan kriteria hasil: mengambil keputusan
1. Verbalisasi harapan - Monitor tanda-tanda
yang positif ansietas (verbal dan
meningkat nonverbal)
2. Menggunakan
strategi koping yang Terapeutik
efektif meningkat - Ciptakan suasana terapeutik
3. Verbalisasi perasaan untuk menumbuhkan
meningkat kepercayaan
4. Menunjukkan harga - Temani pasien untuk
diri positif mengurangi kecemasan,
meningkat jika memungkinkan
(L. 09073) - Pahami situasi yang
membuat ansietas
- Dengarkan dengan penuh
perhatian
- Motivasi mengidentifikasi
situasi yang memicu
kecemasan
- Diskusikan perencanaan
realistis tentang perisitiwa
yang akan datang
Edukasi
- Jelaskan prosedur, termasuk
sensas yang mungkin
dialami
- Anjurkan keluarga untuk
tetap bersama pasien, jika
perlu
- Anjurkan mengungkapkan
perasaan dan persepsi.
2. Risiko Kehamilan Setelah dilakukan Manajemen Trauma
Tidak Dikehendaki tindakan keperawatan Pemerkosaan (I.09294)
d.d pemerkosaan 1x15 menit diharapkan Observasi
(D.0073) harapan meningkat - Identifikasi apakah sudah
Kategori : dengan kriteria hasil : membersihkan diri setelah
Fisiologis 1. Keterlibatan pemerkosaan
Subkategori : dalam aktifitas - Identifikasi status mental,
Reproduksi dan perawatan kondisi fisik (mis. Pakaian,
Seksualitas meningkat kotoran, dan debris) kejadian,
2. Selera makan bukti kekerasan, riwayat
meningkat ginekologis
3. Minat - Identifikasi adanya luka,
komunikasi memar, perdarahan, laserasi,
verbal atau benda cedera fisik lain
meningkat Terapeutik
(L.09068) - Berikan pendampingan selama
perawatan
- Lakukan prosedur
pemeriksaan (mis. Beri label,
simpan pakaian kotor, sekresi
dan rambut vagina)
- Lakukan intervensi krisis, jika
perlu
Edukasi
- Jelaskan prosedur
pemeriksaan pemerkosaan
dan informed consent
tindakan.
Implementasi dan Evaluasi
No. Dx Tanggal dan Implementasi Evaluasi
waktu
(D.0104) 1. Mengidentifikasi kemampuan S:
Senin, 1 Mei 2023
An. C sudah bisa
mengambil keputusan
Sindrom 11.00 WIB
2. Memonitor tanda-tanda mengungkapkan dan
Pasca
ansietas (verbal dan
menceritakan apa yang
Trauma nonverbal)
sebenarnya terjadi degannya
3. Memahami situasi yang
membuat ansietas
O:
4. Mendengarkan dengan penuh
perhatian - An. C tampak
5. Memotivasi mengidentifikasi takutnya sudah
situasi yang memicu
berkurang
kecemasan
6. Menganjurkan keluarga untuk - Keluarga An. C selalu
tetap bersama pasien mendampingi pasien
7. Menganjurkan A: Masalah sudah teratasi
mengungkapkan perasaan dan P: Lanjutkan Intervensi
persepsi.
(D.0073) 1. Mengidentifikasi status S: Ny. P mengatakan
Senin, 1 Mei
mental, kondisi fisik,
Risiko An.C sudah mau makan,
2023
kejadian bukti kekerasan,
Kehamilan dan sudah mau diajak
riwayat ginekologis
11.20 WIB
Tidak 2. Mengidentifikasi adanya berbicara
luka, memar perdarahan,
dikehendaki O:
laserasi, atau benda cedera
fisik lain - Tidak terdapat luka

3. Memberikan pendampingan memar, laserasi atau


selama perawatan
cedera fisik lainnya
4. Menjelaskan prosedur
A: Masalah sudah teratasi
pemeriksaan pemerkosaan
dan informed consent P : Lanjutkan Intervensi
tindakan.

Anda mungkin juga menyukai