Anda di halaman 1dari 14

GANGGUAN PSIKOLOGI

“Gangguan Stres pasca-Trauma”

DISUSUN

O
L
E
H

NAMA : WINDA
NIM : P07120120002
PRODI : D3 KEPERAWATAN TKT.1

NAMA DOSEN : ANDI BUNGAWATI S.KM,M.Kes


KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

Maha Suci Allah yang senantiasa memberikan kasih sayang-Nya yang tiada batas pada
seluruh makhluk-Nya. Ucapan alhamdulillah kepada Rasulullah SAW. yang telah membawa kita
semua dari zaman jahiliyyah menuju zaman Ad-diinul Islam.

Ucapan syukur alhamdulillah kepada Allah SWT. yang telah memberikan anugerah
kepada kita, salah satunya yaitu kecerdasan, baik intelektual, emosional, spiritual, dsb., sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Psikologi untuk membuat makalah dengan judul
“Gangguan Stres Pasca-Trauma”.

Semoga makalah ini bermanfaat salah satunya menjadi referensi bahan belajar khususnya
bagi kami dan umumnya bagi pembaca.

Demikianlah pengantar dari kami. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih
banyak kekurangan oleh karena itu kami harapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari
pembaca semuanya.

Mohon maaf apabila terdapat kekurangan. Karena kebaikan datangnya dari Allah dan
keburukan datangnya dari nafsu. Terimakasih.

Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang..........................................................................................................1

B.Rumusan Masalah.....................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

A.Pengertian Stres Pasca-Trauma(Post-Traumatic Stress Disorder)...........................5

B.Gejala PTSD.............................................................................................................5

C.Penyebab dan Faktor Risiko PTSD..........................................................................6

D.Diagnosis PTSD.......................................................................................................8

E.Pengobatan PTSD.....................................................................................................8

F.Pencegahan PTSD.....................................................................................................9

BAB II PENUTUP

A.Kesimpulan...............................................................................................................11

B.Saran.........................................................................................................................11

DAFTAR ISI............................................................................................................................12
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gangguan stress merupakan respon organisme untuk menyesuaikan diri dengan
tuntututan-tuntutan yang berlangsung. Tuntutan-tuntutan ini bisa jadi berupa hal-hal yang
factual saat itu, bisa juga hal-hal yang baru mungkin akan terjadi, tetapi dipersepsi secara
actual.

Masyarakat sekarang terpacu cepat menciptakan stress bagi banyak anggotanya. Terus
menerus ditekankan untuk mencapai lebih banyak dalam waktu yang semakin sedikit.Sejak
kelahiran atau bahkan sejak pembuahan, setiap makhluk hidup sudah berada dalam situasi
yang menggambarkan adanya dua pihak yang saling bertentangan, yaitu pihak pertama
berupa “kondisi dari makhluk itu sendiri” dan pihak kedua adalah “ linkungan”. Terjadi
interaksi antara makhluk hidup (individu) dengan lingkungan. Interaksi ini akan
menyebabkan setiap pihak terpengaruh oleh pihak-pihak lainnya. Menurut Darwin, dalam
memperhatikaan kehidupannya, perlu adanya perjuangan dari makhluk tersebut untuk dapat
mempertahankan jenis dan selanjutnya bahkan untuk mengembangkan diri.

Adanya suatu situasi dalam diri individu ketika sesorang harus memenuhi tuntutan
lingkungan. Hal itu disebutkan juga kategori dari stressor. Stresor adalah adjustive demand
(tuntutan untuk menyesuaikan diri). Menurut Colemon, terdapat tiga sumber yang dapat
dimasukkan dari stesor, yaitu frustasi, konflik, dan tekanan.

Menurut Roges dan Dorothy, dalam bukunya “mental hygiene in elementary


education”, frustasi adalah suatu saat atau momen seseorang menghayati situasi terhambat
ketika melakukan upaya untuk mencapai apa yang diinginkannya atau ditujunya. Stress
merupakan hasil dari munculnya dua atau lebih kebutuhan atau motif yang tidak sesuai
secara bersama-sama, dengan kekuatan yang juga sama. Dalam kondisi tersebut, individu
seyogyanya membuat suatu keputusan berupa pilihan mana yang akan dilakukan dan mana
yang tidak. Jikaa pilihan sudah dijatuhkan, maka konflik dengan sendirinya selesai.

Konfliknya bisa terus terjadi seandainya kekuatan-kekuatan tersebut dalam kodisi


berimbang. Konflik kadang-kadang direferensikan pada suatu dilema karena beberapa hal
yang sifatnya negative dan beberapa sifatnya yang positif, dimana harus dicapai tanpa
memperhitungkan jalan mana yang harus ditempuhnya.
Dalam hal ini, masalah fleksibilitas merupakan hal penting dalam kepribadian orang
tersebut. Lentur atau fleksibelnya masalah tersebut, maka konflik semacam itu dapat
diselesaikan. Akan tetapi, jika kaku atau rigid, maka konflik akan berkelanjutan. Cara lain
yang dapat ditempuh adalah meembuat deal dengan sumber-sumber keterangan atau konflik
atau berpikir jangka panjang.

Pressure sering juga disebut sebagai dibawah tekanan. Stress dapat juga datang dari
tekanan-tekanan adalah suatu keadaan yang menimbulkan konflik, dimana individu merasa
terpaksa atau dipaksa untuk melakukan hal-hal yang tidak ingin dilakukan atau dipaksa untuk
tidak melakukan hal-hal yang diinginkannya.Suatu stress bisa ringan dan bisa juga berat.
Tentu saja stress yang berat akan lebih cepat, kuat, dan lebih lama membangkitkan gangguan
dalam diri seseorang. Demikian juga sebaliknya stres yang ringan baru setelah beberapa
waktu terasa dampaknya. Dalam hal ini yang penting adalah mengetahui factor-faktor apaa
yang dapat memperkuat atau mempengruhi suatu kemungkinan terjadi dan menjadikan stress
ringan atau stress berat.

Untuk itu, perlu mengetahui faktor-faktor predisposisi(pengarah)yang ada dalam diri


individu untuk mengalami stress. Adanya faktor-faktor ini didasari oleh pandangan bahwa
penderita karena adanya stress ditentukan oleh taraf yang menyangkutkan fungsi yang
disturbed(terganggu atau terguncang).Taraf gangguan yang actual dan menimbulkan atau
mengancam kehidupan seseorang memiliki karakteristik stress yang terdapat pada individu
baik personal maupun situsional atau relasi diantara keduanya. Adapun faktor-faktor
predisposisi tersebut adalah sumber hakiki stressor itu sendiri, persepsi dan toleransi individu
terhadap stres, dan sumber-sumber eksternal dan dukungan lingkungan terhadap individu.

Gangguan stress pasca trauma mencakup bagian dari asumsi etiologi yaitu, suatu
kejadian atau beberapa kejadian traumatis yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh
seseorang berupa kematian, atau ancaman kematian, cedera serius, ancaman terhadap
integritas fisik, atau diri seseorang. Hamper semua orang yang trauma mengalami stress,
terkadang sampai tingkat yang sangat berat, dan hal itu normal.Jika stressor menyebabkan
kerusakan yang signifikan dalam keberfungsian sisoal dan pekerjaan selama kurang dari satu
bulan, maka diagnosis yang ditegakkan adalah gangguan stress akut.

Simtom-simtom gangguan stress pasca trauma dikelompokkan dalam tiga kategori


utama, yaitu yang pertama mengalami kembali peristiwa traumatic, individu seringkali
teringat pada kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Kedua upaya
menghindar yang menetap terhadap hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa traumatic dan
pengumpulan respon terhadap stimulus tersebut. Orang yang beerrsanguktan berusaha
menghindari untuk berpikir tentang trauma atau menghadapi stimulus yang akan
mengingatkan pada kejadian tersebut sehingga dapat terjadi amnesia terhadap kejadian
tersebut.ketika meningkatkan aktivitas secara persisten,antara lain tidak dapat tidur.mudah
tersinggung atau emosi meledak,sulit konsentrasi,berjaga-jaga,respon terkejut yang
berlebihan.

Terdapat beberapa faktor resiko gangguan setres pasca trauma, berdasarkan kejadian
traumatic yang di alami, predictor gangguan setres pasca trauma mencakup ancaman yang di
rasakan terhadap nyawa, berjenis kelamin perempuan, berpisah dari orang tua dimasa kecil,
riwat gangguan dalam keluarga, berbagai pengalaman traumatis sebelumnya, dan gangguan
yang dialami sebelumnya (suatu gangguan axietas atau depresi) (Breslau dkk,1997 1999;
Ehlers, Malou & Bryant, 1998; Nisthith, Mechanic & Resick, 2000; stein,1997).

Reaksi yang berkepanjangan biasanya terjadi menyusul peristiwa traumatik yang


extrem, yang bersifat menakutkan, yang menimbulkan distress pada hampir setiap orang.
Termasuk di sini adalah traumatik terhadap bencana alam (tsunami, gempa bumi, dan
lukifaksi). Tidak semua yang terlibat dalam pristiwa itu mengalami reaksi yang
berkepanjangan, sebagian besar pulih dalam waktu satu bulan. Reaksi jangka panjang yang
paling sering terjadi adalah gangguan setres pasca trauma, gangguan fobik dan gangguan
depresif.

Gejala utama gangguan stress trauma adalah mengalami kembali secara involunter
peristiwa traumatic dalam bentuk mimpi atau bayangan, yang menerobos masuk kedalam
kesadaraan secara tiba-tiba. Hal ini sering dipicu oleh hal-hal yang meningkatkan penderitaan
akan peristiwa traumatic yang pernah iritabilitas, insomnia, dan konsentrasi yang buruk.Jadi,
suatu kejadian yang membuat orang menjadi trauma, sangat berpengaruh terhadap gangguan
stress. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang analisa datanya dilakukan
secara kualitatif. Penelitian ini dikatakan kualitatif karena pada dasarnya penelitian ini
bertujuan untuk menjelaskan atau menerangkan keadaan atau fenomena dilapangan.
Fenomena tersebut akan dikaji berdasarkan data yang telah terkumpul yang digambarkan
dengan kata-kata atau kalimat. Pembagian data akan dipisahkan menurut kategori yang
sesuai untuk memperoleh sebuah kesimpulan.

Peneliti mengangkat penelitian ini dari studi fenomenologi, dimana kisah dari
penelitan ini diambil dari fenomena yang ada dan yang telah terjadi. Fenomologi memiliki
tujuan pokok diantaranya hendak secara radikal fondasi-fondasi pengetahuan agar serangan-
serangan skeptic terhadap rasionalitas dan prosedur-prosedurnya bisa diatasi. Secara umum,
riset psikilogi fenomologis bertujuan untuk menjelaskan situasi yang dialami oleh pribadi
dalam kehidupan sehari-hari. Teknik utama pengumpulan data pada penelitian. Kelengkapan
data dapat diperdalam dengan observasi partisipan, penelusuran dokumen, dan lain-lain.

B. Rumusan Masalah
1. Mengetahui pengertian dari gangguan stress pasca-trauma.
2. Mengetahui gejala gangguan stress pasca-trauma.
3. Mengetahui penyebab ganggaun stress pasca-trauma.
4. Mengetahui cara diagnosis gangguan stress pasca-trauma.
5. Mengetahui terapi dan pengobatan gangguan stress pasca-trauma.
6. Mengetahui pencegahan gangguan stress pasca-trauma.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Stres Pasca-Trauma (Post-Traumatic Stress Disorder)

PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) atau gangguan stres pasca trauma adalah
kondisi kesehatan jiwa yang dipicu oleh peristiwa yang traumatis, baik dengan
mengalaminya maupun menyaksikannya. Kebanyakan orang yang mengalami kejadian
traumatis akan menghadapi kesulitan dalam menjalaninya, tetapi dengan waktu dan
perawatan diri yang baik, kesulitan akan berkurang. Jika pengalaman yang traumatis tersebut
tetap menghantui sampai membuat seseorang kesulitan dalam menjalani hidup, maka orang
tersebut mengidap PTSD.

B. Gejala PTSD

Gejala PTSD muncul setelah seseorang mengalami peristiwa yang membuatnya


trauma. Waktu kemunculannya bisa beberapa bulan atau beberapa tahun setelah kejadian
traumatis tersebut. Tingkat keparahan dan lamanya gejala juga berbeda-beda pada tiap
penderita.

Beberapa gejala yang menunjukkan seseorang mengalami PTSD adalah:

1. Ingatan pada peristiwa traumatis

Penderita PTSD sering kali teringat pada peristiwa yang membuatnya trauma.
Bahkan, penderita merasa seakan mengulang kembali kejadian tersebut. Ingatan terhadap
peristiwa traumatis tersebut juga sering kali hadir dalam mimpi buruk, sehingga penderita
tertekan secara emosional.

2. Kecenderungan untuk mengelak

Penderita PTSD enggan memikirkan atau membicarakan peristiwa yang


membuatnya trauma. Hal ini ditunjukkan dengan menghindari tempat, aktivitas, dan
seseorang yang terkait dengan kejadian traumatis tersebut.

3. Pemikiran dan perasaan negatif

Penderita PTSD cenderung menyalahkan dirinya atau orang lain. Selain itu,
penderita juga kehilangan minat pada aktivitas yang dulu disukainya dan merasa putus
asa. Penderita juga lebih menyendiri dan sulit menjalin hubungan dengan orang lain.

4. Perubahan perilaku dan emosi


Penderita PTSD sering kali mudah takut atau marah meski tidak dipicu oleh
ingatan pada peristiwa traumatis. Perubahan perilaku ini juga sering membahayakan
dirinya atau orang lain. Penderita juga sulit tidur dan berkonsentrasi.

PTSD dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Namun, pada anak-anak,
terdapat gejala khusus, yaitu sering melakukan reka ulang peristiwa traumatis melalui
permainan. Anak dengan PTSD juga sering mengalami mimpi buruk yang bisa terkait
secara langsung maupun tidak dengan kejadian traumatis yang dialaminya.

C. Penyebab dan Faktor Risiko PTSD

1. Penyebab PTSD

PTSD bisa muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa yang
menakutkan atau mengancam nyawa. Belum diketahui secara pasti mengapa peristiwa
tersebut menyebabkan PTSD bagi sebagian orang. Namun, ada dugaan bahwa
penyebabnya adalah kombinasi dari sejumlah kondisi berikut:

a. Kepribadian bawaan yang temperamen.

b. Pengalaman yang menakutkan(seperti:bencana alam, kekerasan,pembunuhan,dan lain


sebagainya), termasuk jumlah dan tingkat keparahan trauma yang telah dialami dalam
hidup.

c. Mewarisi risiko kesehatan mental, seperti riwayat gangguan kecemasan dan depresi
dalam keluarga.

Peristiwa yang diketahui paling sering memicu PTSD meliputi:

a. Perang.

b. Kecelakaan.

c. Bencana alam.

d. Perundungan (bullying).

e. Kekerasan fisik.

f. Pelecehan seksual.

g. Prosedur medis tertentu, seperti operasi.

h. Penyakit yang mengancam nyawa, misalnya serangan jantung.

2. Faktor Risiko PTSD


Setiap orang bisa terserang PTSD setelah menyaksikan atau mengalami kejadian
tragis. Akan tetapi, PTSD lebih berisiko terjadi pada seseorang yang memiliki sejumlah
faktor risiko berikut:

a. Kurang mendapat dukungan dari keluarga dan teman.

b. Menderita kecanduan alkohol atau penyalahgunaan NAPZA.

c. Menderita gangguan mental lain, misalnya gangguan kecemasan.

d. Memiliki keluarga dengan riwayat gangguan mental, seperti depresi.

e. Mendapat pengalaman traumatis sebelumnya, misalnya dirundung (bullying) pada


masa kecil dan bencana alam(tsunami dan gempa)

f. Memiliki pekerjaan tertentu, misalnya tentara atau relawan medis di daerah perang.

g. Perubahan Negatif pada Cara Berpikir dan Mood:

 Pikiran negatif tentang orang lain, diri sendiri, lingkungan, bahkan dunia;

 Putus asa tentang masa depan;

 Masalah memori, termasuk tidak mengingat aspek penting dari peristiwa


traumatis;

 Kesulitan mempertahankan hubungan dekat;

 Merasa terlepas dari keluarga dan teman;

 Kurangnya minat dalam kegiatan yang pernah dinikmati;

 Kesulitan mengalami emosi positif; dan

 Merasa mati rasa secara emosional.

 Perubahan pada Reaksi Emosional maupun Fisik:

 Menjadi mudah kaget atau ketakutan;

 Selalu waspada terhadap bahaya;

 Perilaku merusak diri, seperti minum terlalu banyak atau mengemudi terlalu cepat;

 Kesulitan tidur;

 Kesulitan berkonsentrasi;

 Kerapuhan, ledakan kemarahan atau perilaku agresif; dan


 Rasa bersalah atau malu yang luar biasa.

D. Diagnosis PTSD

Dokter akan menanyakan gejala yang dialami pasien dan melakukan pemeriksaan
fisik untuk mencari tahu apakah gejala yang dialami pasien disebabkan oleh penyakit fisik.
Jika penyakit fisik tidak ditemukan, pasien akan dirujuk ke dokter spesialis kejiwaan atau
psikiater.

Seseorang baru dapat dikatakan menderita PTSD bila memiliki riwayat mengalami
kondisi atau pristiwa berikut sebelum gejala muncul:

1. Mengalami peristiwa traumatis secara langsung.

2. Menyaksikan peristiwa traumatis yang menimpa orang lain.

3. Mendengar bahwa orang terdekat mengalami peristiwa traumatis.

4. Berulang kali terbayang pada kejadian traumatis secara tidak sengaja.

Untuk dikategorikan sebagai PTSD, gejala yang dialami pasca peristiwa traumatis
harus berlangsung selama satu bulan atau lebih. Gejala juga harus mengganggu aktivitas
sehari-hari, terutama dalam hubungan sosial dan pekerjaan.

E. Pengobatan PTSD

Pengobatan PTSD bertujuan untuk meredakan respons emosi pasien dan mengajarkan
pasien cara mengendalikan diri dengan baik ketika teringat pada kejadian traumatis. Metode
pengobatan yang dilakukan meliputi:

1. Psikoterapi

Terapi kognitif. Membantu pengidap untuk mengenali cara pikir (pola kognitif)
yang menyebabkan terhambatnya pengidap dalam proses melalui peristiwa traumatis
tersebut.

2. Terapi paparan.

Terapi paparan bertujuan untuk membantu pengidap agar bisa menghadapi situasi
dan memori yang dianggap menakutkan sehingga pengidap dapat menghadapinya dengan
efektif. Terapi ini efisien terutama pada kasus dimana pengidap mengalami kilas balik
atau mimpi buruk.

3. Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR).


EMDR menggabungkan terapi paparan dan sebuah serial pergerakkan mata
terarah untuk membantu pengidap memproses sebuah peristiwa traumatis dan dokter
akan mengamati reaksi pengidap.

Obat-Obatan

Dokter akan memberikan obat-obatan untuk mengatasi gejala PTSD. Obat yang
diberikan tergantung pada gejala yang dialami pasien, antara lain:

1. Antidepresan. Obat ini membantu meringankan gejala depresi, cemas, gangguan tidur
dan gangguan konsentrasi.

2. Antikecemasan. Obat ini membantu meredakan gangguan cemas yang berat.

3. Prazosin. Efektivitas prazosin dalam meringankan gejala dan menekan terjadinya


mimpi buruk masih dalam perdebatan.

Dokter akan meningkatkan dosis obat bila tidak efektif dalam mengatasi gejala.
Namun, jika terbukti efektif, obat-obatan akan terus diberikan setidaknya sampai 1 tahun.
Kemudian, pengobatan akan dihentikan secara bertahap.

F. Pencegahan PTSD

Setelah selamat dari peristiwa traumatis, banyak orang mengalami gejala mirip PTSD
pada awalnya, seperti tidak dapat berhenti memikirkan apa yang terjadi. Ketakutan,
kecemasan, kemarahan, depresi, rasa bersalah adalah reaksi umum terhadap trauma. Namun,
mayoritas orang yang mengalami trauma tidak mengembangkan gangguan stres pasca-
trauma jangka panjang.

Pencegahan juga bisa dilakukan dengan mencari bantuan dan dukungan yang tepat
waktu. Hal ini bertujuan agar reaksi stres yang normal menjadi semakin buruk dan
berkembang menjadi PTSD, bisa dicegah. Ini bisa berarti beralih ke keluarga dan teman-
teman yang akan mendengarkan dan menawarkan kenyamanan. Hal ini bisa juga dilakukan
dengan mencari ahli kesehatan mental untuk terapi singkat. Beberapa orang mungkin juga
merasa berguna untuk beralih ke komunitas iman mereka.

Dukungan dari orang lain juga dapat membantu mencegah seseorang beralih ke cara
mengatasi trauma yang tidak sehat, seperti penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Gangguan stress pasca trauma adalah gangguaan kecemasan yang timbul setelah
mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehiudupan atau peristiwa-peristiwa trauma,
seperti perang militer, serangan dengan kekerasaan, kecelakaan yang serius dan bencana
alam(tsunami, gempa bumi, dan likuifaksi).

B. Saran

Dalam menghadapi masalah ini hendaklah kita selalu berserah diri kepada tuhan dan
mencari solusi atas kondisi yang kita rasakan.
DAFTAR PUSTAKA

Adaa.org (Diakses pada 2019). Post Traumatic Stress Disorder

Diperbarui pada 21 Agustus 2019

dr. Merry Dame Cristy Pane

Anda mungkin juga menyukai